Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Mata merupakan salah satu organ indra manusia yang mempunyai fungsi yang
sangat besar. Penyakit mata seperti kelainan-kelainan refraksi sangat membatasi
fungsi tersebut. Ada tiga kelainan refraksi, yaitu: miopia, hipermetropia,
astigmatisme, atau campuran kelainan-kelainan tersebut. Diantara kelainan refraksi
tresebut, miopia adalah yang paling sering dijumpai, kedua adalah hipermetropia, dan
yang ketiga adalah astigmatisma (H. Sidarta Ilyas, 2004). Hasil survai Morbiditas
Mata dan Kebutaan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan RI
bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia pada tahun 1982,
menunjukkan bahwa kelainan refraksi menduduki urutan paling atas dari 10 penyakit
mata utama. (Departemen Kesehatan RI, 1983; Hamurwono, 1984) Dari hasil survai
kesehatan anak di daerah DKI Jaya yang dilakukan oleh Kanwil Depkes DKI
bersama PERDAMI Cabang DKI pada anak Sekolah Dasar dan lbtiddaiah di seluruh
wilayah DKI diketahui bahwa angka kelainan refraksi ratarata sebesar 11,8%.
Sehingga di Indonesia dari ± 48,6 juta murid Sekolah Dasar diperkirakan terdapat 5,8
juta orang anak yang menderita kelainan refraksi. (Biro Pusat Statistik, 1986)
Sementara, walaupun gambaran jumlah hipermetropi telah dipublikasikan,
angka pasti hipermetropi di dunia tidak diketahui. Hipermetropia diyakini menyerag
jutaan orang Amerika dan ratusan juta orang di seluruh dunia (Manolette R Roque,
2008). Sementara bangsa Hispanik menunjukkan prevalensi hipermetropia yang lebih
tinggi daripada anak-anak Afrika di Amerika. Prevalensi hipermetropia mencapai titik
terrendah di sekitar usia 24 bulan namun naik dan tetap lebih tinggi setelah usia itu.
(Multi-Ethnic Pediatric Eye Disease Study Group, 2010)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelainan Refraksi


Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina tetapi di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu
titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan
astigmatisma (Ilyas, 2006). Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar
ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea serta panjangnya bola mata.
Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding media penglihatan mata
lainnya. Lensa memegang peranan terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila
melihat benda yang dekat. Panjang bola mata seseorang berbeda-beda. Bila terdapat
kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya
perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata, maka sinar normal tidak
dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia (Ilyas, 2006).

2.2 Etiologi Kelainan Refraksi


Ametropia aksial adalah ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata
lebih panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau
di belakang retina. Pada miopia aksial, fokus akan terletak di depan retina karena bola
mata lebih panjang. Sedangkan pada hipermetropia aksial, fokus bayangan terletak di
belakang retina. Ametropia indeks refraktif adalah ametropia akibat kelainan indeks
refraksi media penglihatan. Sehingga walaupun panjang sumbu mata normal, sinar
terfokus di depan (miopia) atau di belakang retina (hipermetropia). Kelainan indeks
refraksi ini dapat terletak pada kornea atau pada lensa (cembung, diabetik).
Ametropia kurvatur disebabkan kelengkungan kornea atau lensa yang tidak normal
sehingga terjadi perubahan pembiasan sinar. Kecembungan kornea yang lebih berat
akan mengakibatkan pembiasan lebih kuat sehingga bayangan dalam mata difokuskan
di depan bintik kuning sehingga mata ini akan menjadi mata miopia atau rabun jauh.

2
Sedangkan kecembungan kornea yang lebih kurang atau merata (flat) akan
mengakibatkan pembiasan menjadi lemah sehingga bayangan dalam mata difokuskan
dibelakang bintik kuning dan mata ini menjadi hipermetropia atau rabun dekat (Ilyas,
2006).

2.3 Manifestasi Klinis Kelainan Refraksi

Sakit kepala terutama daerah dahi atau frontal, silau, kadang rasa juling atau melihat
ganda, mata leleh, penglihatan kabur melihat dekat (Ilyas, 2006). Sering mengantuk,
mata berair, pupil agak miosis, dan bilik mata depan lebih dangkal (Istiqomah, 2005).

2.4 Hipermetropia
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat. Hipermetropia
merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh
tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang makula lutea
(Ilyas, 2004). Hipermetropia adalah suatu kondisi ketika kemampuan refraktif mata
terlalu lemah yang menyebabkan sinar yang sejajar dengan sumbu mata tanpa
akomodasi difokuskan di belakang retina (Istiqomah, 2005). Hipermetropia adalah
keadaan mata yang tidak berakomodasi memfokuskan bayangan di belakang retina.
Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak sesuai antara bola mata dan kekuatan
pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang
retina (Patu, 2010).

2.5 Klasifikasi Hipermetropia


Terdapat berbagai gambaran klinik hipermetropia seperti:
- Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan
kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.
Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan
hipermetropia fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa siklopegik
dan hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata maksimal.

3
- Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi
dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang hanya
mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata.
Bila diberikan kacamata positif yang memberikan penglihatan normal, maka
otot akomodasinya akan mendapatkan istirahat. Hipermetropia manifes yang
masih memakai tenaga akomodasi disebut sebagai hipermetropia fakultatif.
- Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan
akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya
hipermetropia laten yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini.
Hipermetropia manifes yang tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali
disebut sebagai hipermetropi absolut.
- Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegia (otot
yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.
Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia. Makin
muda makin besar komponen hipermetropia laten seseorang. Makin muda
makin besar komponen hipermetropia laten seseorang. Hipermetropia total,
hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia
(Ilyas, 2004).

2.6 Etiologi Hipermetropia


Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih pendek.
Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan difokuskan di belakang
retina. Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia dapat dibagi atas :
Hipermetropia sumbu atau aksial, merupakan kelainan refraksi akibat bola mata
pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek. Hipermetropia kurvatur, dimana
kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga bayangan difokuskan di belakang
retina. Hipermetropia indeks refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada
sistem optik mata (Ilyas, 2006).

4
2.7 Manifestasi Klinik Hipermetropia
Gejala yang ditemukan pada hipermetropia adalah penglihatan dekat dan jauh kabur,
sakit kepala, silau, dan kadang rasa juling atau lihat ganda. Pasien hipermetropia
sering disebut sebagai pasien rabun dekat.

Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan
sakit karena terus menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan
bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di daerah makula lutea.
Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terus menerus berakomodasi,
maka bola mata bersama-sama melakukan konvergasi dan mata akan seering terlihat
mempunyai kedudukan esotropia atau juling ke dalam (Sidarta Ilyas, 2010 : 79).
Gejala klinis hipermetropia :
a. subjektif :
1) kabur bila melihat dekat
2) mata cepat lelah, berair, sering mengantuk dan sakit kepala (astenopia
akomodatif).
b. objektif :
1) pupil agak miosis
2) bilik mata depan lebih dangkal (Indriani Istiqomah, 2004 : 206).

2.8 Diagnosis
2.8.1 Pemeriksaan Tajam Penglihatan (Visus)
Subjektif: Pemeriksaan ini dilakukan satu mata bergantian dan biasanya
pemeriksaan refraksi dimulai dengan mata kanan kemudian mata kiri, kartu Snellen
di letakkan di depan pasien, pasien duduk menghadap kartu Snellen dengan jarak 6
meter, dan satu mata ditutup biasanya mulai dengan menutup mata kiri untuk menguji
mata kanan, dengan mata yang terbuka pasien diminta membaca baris terkecil yang
masih dapat dibaca, kemudian diletakkan lensa positif + 0,50 untuk menghilangkan
akomodasi saat pemeriksaan di depan mata yang dibuka, bila penglihatan tidak
tambah baik, berarti pasien tidak hipermetropia, bila bertambah jelas dan dengan
kekuatan lensa yang ditambah berlahan-lahan bertambah baik, berarti pasien
menderia hipermetropia. Lensa positif yang terkuat yang masih memberikan
ketajaman terbaik merupakan ukuran lensa koreksi untuk mata tersebut, bila
penglihatan tidak bertambah baik, maka diletakkan lensa negatif. Bila menjadi jelas,

5
berarti pasien menderita miopia. Ukuran lensa koreksi adalah lensa negatif teringan
yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal, bila penglihatan tidak maksimal
pada kedua pemeriksaan untuk hipermetropia dan miopia dimana penglihatan tidak
mencapai 6/6 atau 20/20 maka lakukan uji pinhole (Ilyas, 2006).

2.9 Diagnosis Banding


2.9.1 Presbiopi
Presbiopi adalah gangguan akomodasi akibat elastisitas lensa berkurang akibar umur
lanjut. Yang dimaksud dengan gangguan akomodasi adalah gangguan kemampuan
lensa untuk mencembung sehingga bayangan sinar yang masuk ke mata dapat jatuh
tepat pada retina.
2.10 Penatalaksanaan
Mata dengan hipermetropia akan memerlukan lensa cembung untuk mematahkan
sinar lebih kaut kedalam mata. Koreksi hipermetropia adalah di berikan koreksi lensa
positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia
sebaiknya diberikan kaca mata lensa positif terbesar yang masih memberi tajam
penglihatan maksimal (Ilyas, 2006).
Pengobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia manifes dimana
tanpa sikloplegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan
tajaman penglihatan normal.
Bila terdapat juling ke dalam atau esotropia diberikan kacamata koreksi
hipermetropia total. Bila terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksoforia) maka
diberikan kacamata koreksi positif kurang.
Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis positif terkuat
atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal. Bila
pasien dengan + 3.0 ataupun dengan + 3.25 memberikan ketajaman penglihatan 6/6,
maka diberikan kacamata + 3.25. Hal ini untuk memberikan istirahat pada mata. Pada
pasien dimana akomodasi masih sangat kuat atau pada anak-anak, maka sebaiknya
pemeriksaan dilakukan dengan memberikan sikloplegik atau melumpuhkan otot
akomodasi. Dengan melumpuhkan otot akomodasi, maka pasien akan mendapatkan
koreksi kacamata dengan mata yang istirahat.
Pada pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena
matanya masih masih mampu melalukan akomodasi kuat untuk melihat benda dengan

6
jelas. Pada pasien dengan banyak membaca atau mempergunakan matanya, terutama
pada pasien yang telah lanjut, akan memberikan keluhan kelelahan setelah membaca.
Keluhan tersebut berupa sakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan.

7
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : NKS
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 44 tahun
Alamat : Sayan, Ubud
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Floris (Perangkai Mote Menjadi Kalung)
Status : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 26 Juli 2016

3.2 Anamnesis
Keluhan utama
Mata kanan dan kiri kabur, sulit melihat jauh maupun dekat.
Autoanamnesa
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik Mata RSUP Sanglah sendiri pada tanggal 26 Juli
2016 dengan keluhan kedua mata pasien kabur. Keluhan kabur pada kedua mata
sudah dirasakan sejak kurang lebih 7 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan memburuk
sejak 3 hari (23 Juli 2016) sebelum memeriksakan diri ke poliklinik Mata RSUP
Sanglah. Keluhan dirasakan terus menerus baik saat pasien bekerja maupun saat di
rumah, ketika melihat benda jauh dan dekat. Pasien mengatakan keluhan mata kabur
sering disertai dengan sakit kepala dan mata berair. Keluhan dikatakan bukan untuk
pertama kali, sebelumnya pasien memang sudah memakai kacamata tetapi dikatakan
sudah tidak nyaman dengan kacamata lama. Keluhan mata merah dan nyeri disangkal
oleh pasien, keluhan mata gatal, mual muntah, silau, serta melihat bayangan ganda
juga disangkal oleh pasien.

8
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat pemakaian kacamata sebelumnya. Riwayat penyakit
kencing manis, tekanan darah tinggi, asma dan alergi obat ataupun makanan
disangkal oleh pasien. Riwayat pengobatan sebelumnya dikatakan belum ada
diberikan pengobatan untuk mengatasi keluhannya tersebut.

Riwayat Penyakit Keluarga


Dikatakan pada keluarga pasien tidak ada anggota keluarga yang menderita
keluhan yang serupa.

Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pegawai di rumah produksi kerajinan seperti
kalung dan aksesoris lainnya, pasien mengatakan setiap harinya sering memasukkan
mote-mote dengan jarum untuk dirangkai menjadi kalung atau aksesoris lainnya.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present
a. Kesan umum : Baik
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. GCS : E4V5M6
d. Tekanan darah : 110/70 mmHg
e. Nadi : 80x/menit, regular, isi cukup
f. Laju respirasi : 20x/menit, regular
g. Suhu aksila : 36,50C

Status Generalis
a. Mata : dijelaskan pada status ophthalmologi
b. THT : kesan tenang
c. Mulut : sianosis (-)
d. Leher : pembesaran kelenjar (-)
e. Thoraks : simetris (+)
Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

9
f. Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
g. Ekstremitas : hangat + + edema - -
+ + - -

Status Ophthalmologi
OD OS
6/12 PH 6/6 Visus 6/15 PH 6/6
Normal Palpebra Normal
Tenang Konjungtiva Tenang
Jernih Kornea Jernih
Dangkal Bilik mata depan Dangkal
Bulat, regular Iris Bulat, regular
RP (+), RAPD (-) Pupil RP (+), RAPD (-)
Jernih Lensa Jernih
Jernih Vitreous Jernih
Reflex Fundus (+) Funduskopi Reflex Fundus (+)

Gambar 3.1 Tampilan kedua mata pasien

10
Gambar 3.2 Tampak mata kanan pasien Gambar 3.3 Tampak mata kiri pasien

3.4 Pemeriksaan Laboratorium


Tidak ada indikasi sehingga tidak dilakukan.

3.5 Diagnosis Banding


 ODS Hipermetropia + Presbiopia
 ODS Miopia
 ODS Astigmatisma

3.6 Diagnosis Kerja


ODS Hipermetropia + Presbiopia

3.7 Penatalaksanaan
a) Medikamentosa (Pembuatan Kacamata Bifokal)
 Resep kacamata OD: S +1,25 ADD S +1,50
OS : S +1,00 ADD S +1,50
 PD : 62/60

b) KIE
 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit pasien

11
 Mengingatkan pasien untuk menggunakan kacamata secara terus-
menerus kecuali saat mandi atau tidur
 Mengingatkan pasien untuk sesekali melihat jauh agar mata dapat
beristirahat setelah bekerja lama memasukkan mote-mote ke jarum
atau bila mata terasa lelah.
c) Monitoring
 Kontrol bila ada keluhan memburuk atau memberat

BAB IV
PEMBAHASAN

12
Dasar diagnosis hipermetropia dan presbiopi ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan tambahan. Pada anamnesis ditemukan
adanya penglihatan kabur saat melihat dekat (membaca), disertai mata perih, terasa
panas dan keluar air saat melihat dekat serta kadang disertai sakit kepala. Gejala-
gejala ini muncul karena mata berusaha mefokuskan bayangan yang jatuh dibelakang
retina agar jatuh tepat di retina dengan cara berakamodasi. Untuk melihat benda yang
dekat, mata harus berakomodasi lebih kuat lagi agar bayangan tidak jatuh lebih jauh
di belakang retina, kerana adanya akomodasi yang berlebihan itu, mata menjadi lelah,
perih, berat dan panas sampai keluar air mata. Bila penderita tidak mengistirahatkan
matanya dan terus berakomodasi maka gejala yang timbul makin berat dan
menimbulkan sakit kepala.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan visus mata kanan 6/12 (PH-6/10) dan mata
kiri 6/15 (PH-6/10) Setelah melalui pemeriksaan subjektif dengan menggunakan
metode trial and error, didapati bahawa kelainan refraksi pada kedua mata dapat
dikoreksi dengan mengunakan lensa sferif positif 1,25. Dengan demikian, hasil
pemeriksaan subjektif ini makin mengarahkan diagnosa hipermetropia.

Melalui pemeriksaan objektif, ditemukan pupil isokor miosis dan bilik mata
depan dangkal. Bilik mata depan dangkal disebabkan oleh karena adanya akomodasi
yang terus menerus sehingga tejadi hipertrofi otot corpus sililaris dengan
pendorongan lensa dan iris ke depan, sehingga bilik mata depan menjadi dangkal dan
pupil menjadi kecil.

Penderita ini juga didiagnosis dengan presbiopia kerana usianya telah


mencapai 44 tahun, mengeluh penglihatannya kabur saat membaca. hal ini sensuai
dengan kepustakan yang meyatakan bahwa bertambahnya usia, biasanya mulai umur
40 tahun, setiap lensa mata mengalami kemunduran kemampuan untuk mencembung
sehingga memberikan kesukaran melihat dekat.

Penanganan hipemetropia yaitu dengan memberikan lenda sferis positif tebesar


memberikan visus terbaik. Penggunaan lensa sferis positif ini ditujukan untuk

13
mebelokkan sinar-sinar yang datang sehingga fokus sinar-sinar tersebut dapat
dimajukan Dan difokuskan tepat pada retina, dimana pada penderita in, hasil koreksi
yang digunakan untuk oculus dextra Dan mata kiri adalah menggunakan lensa S+
1.25. Pemilihan kekuatan lensa yang dipakai untuk mengoreksi kelainan refraksi
pasien ini adalah dengan menggunakan lensa yang bekuatan terbesar yang masih
memberikan perbaikan visus yang optimal. Hal in dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya under correction.

Penanganan presbiopia pada kasus in adalah dengan menambahkan koreksi


lensa S+ 2.25 untuk mata kanan Dan mata kiri. Nilai lensa sferis ini didapatkan
sesuai demean usia penderita, yaitu 44 tahun, dimana pada umur ini, daya akomodasi
lensa telah bekurang sehingga mencapai 1 D.

Selain penanganan dengan pemberian kaca mata, penderita juga diberikan terapi
simptomatis untuk megurangi gejala keletihan pada mata setelah membaca lama Dan
nonton tv, berupa pemberian augentonic yang mengandung eksulina, vitamin A Dan
zat-zat lain yang dapat menguatkan mata.

Setelah diterapi, penderita dianjurkan untuk memperbaiki kebiasan yang dapat


merugikan kesehatan mata,seperti membaca lama Dan nonton tv lama tanpa
beristirehat serta posisi membaca yang salah. Mulai menggunakan kaca mata Dan
membiasakan diri untuk memeriksa kesehatan mata secara teratur. Dengan demikian
diharapkan agar kelainan hipermetropianya tidak bertambah buruk dan
perkembangan prebiopia dapat selalu diatasi segera

Prognosis penderita ini dubia ad bonam, kerana belum ditemukan adanya


komplikasi glaukoma.

BAB V
KESIMPULAN

14
Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak beakomodasi mefokuskan bayangan
di belakang retina dan presbiopi adalah gangguan akomodasi akibat elastisitas lensa
berkurang akibar umur lanjut. Gejala yang ditemukan pada hipermetropia adalah
penglihatan dekat dan jauh kabur, sakit kepala, silau, dan kadang rasa juling atau lihat
ganda. Pasien hipermetropia sering disebut sebagai pasien rabun dekat. hipermetropia
akan memerlukan lensa cembung untuk mematahkan sinar lebih kaut kedalam mata.
Koreksi hipermetropia adalah di berikan koreksi lensa positif maksimal yang
memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia sebaiknya diberikan kaca mata
lensa positif terbesar yang masih memberi tajam penglihatan maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, S. 2004. Hipermetropia dalam Kelainan Refraksi dan Koreksi Penglihatan.


Jakarta: Penerbit FKUI. hal: 35-45.
2. Riordan, Paul, Whitcher, John P. 2000. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.

15
Jakarta: EGC. Hal: 401-402.
3. James, Bruce,Chris C., Anthony B..2005. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta :
Erlangga. Hal: 35.
4. Ilyas, S. 2003. Pemeriksaan Hipermetropia dalam Dasar – Teknik Pemeriksaan
dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Penerbit FKUI. hal: 31-34.
5. Ilyas, S. 2001. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Penerbit FKUI. hal: 6-8.
6. Ilyas, Sidarta, 2005. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata
Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Khurana A K. 2007. Chapter 3 Optics and Refraction,Comprehensive

Ophtamology, fourth edition. New Age international, New Delhi


8. Ilyas, S. 2003. Uji Presbiopia dalam Dasar – Teknik Pemeriksaan dalam Ilmu
Penyakit Mata. Jakarta: Penerbit FKUI. hal: 38-39

16

Anda mungkin juga menyukai