Anda di halaman 1dari 50

REFERAT

ILMU BEDAH
KONSTIPASI

Pembimbing :
Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, Sp.B, FINACS, (K)-Trauma

Penyusun:
Eric Romy Candra (201704200240)
Ferro Pratama (201704200247)

SMF ILMU BEDAH RSU HAJI SURABAYA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2019
LEMBAR
PENGESAHAN
REFERAT
ILMU BEDAH

Referat “Konstipasi” ini telah diperiksa dan disetujui sebagai salah


satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di
bagian Ilmu Bedah RSU Haji Surabaya.

Mengesahkan, 26 April 2019


Dosen Pembimbing

Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, Sp.B, FINACS, (K)-Trauma

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’aalamiin.
Kami panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Referat ”Konstipasi” dalam rangka memenuhi tugas penulis dalam
menjalani kepaniteraan klinik di bagian Bedah RSU Haji Surabaya.
Dengan rasa hormat yang tinggi, penulis menyampaikan banyak
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran
pembuatan referat ini. Kami ucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Koernia
Swa Oetomo, Sp.B, FINACS, (K)-Trauma yang berkenan menjadi dokter
pembimbing kami serta memberikan dukungan dan motivasi dalam
menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan untuk memperbaiki referat ini maupun penulisan selanjutnya.
Semoga referat ini berguna dan memberikan informasi yang bermanfaat
bagi kami dan pembaca.

Surabaya, 26 April 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................... v
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Anatomi Usus .............................................................................. 3
2.2 Fisiologi Dan Pola Buang Air Besar .......................................... 6
2.2 Konstipasi .................................................................................... 9
2.2.1 Definisi ................................................................................... 9
2.2.2 Epidemiologi........................................................................ 10
2.2.3 Patofisiologi......................................................................... 10
2.2.4 Etiologi ................................................................................. 13
2.2.5 Gejala Klinis......................................................................... 16
2.2.6 Diagnosis ............................................................................. 20
2.2.7 Komplikasi ........................................................................... 22
2.2.8 Pemeriksaan Penunjang ..................................................... 23
2.2.8 Tatalaksana.......................................................................... 25
2.2.8 Kegagalan Terapi ................................................................ 39
BAB III KESIMPULAN ............................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 41

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Sistem saluran pencernaan. ..................................................... 4


Gambar 2 Usus kecil pada manusia. ......................................................... 5
Gambar 3 Usus besar dan rectum ............................................................. 6
Gambar 4 Fisiologi Kolon. .......................................................................... 7
Gambar 5 Fisiologi Defekasi. ..................................................................... 8
Gambar 6 Fisiologi Defekasi. ..................................................................... 9
Gambar 7 Patofisiologi Konstipasi. .......................................................... 12
Gambar 8 Patoisiologi Konstipasi. ........................................................... 13
Gambar 9 Kriteria ROMA. ........................................................................ 14
Gambar 10 Konstipasi Dengan Enkopresis. ............................................ 20
Gambar 11 Kriteria ROMA Untuk Menentukan Konstipasi Fungsional. ... 21
Gambar 12 Perbedaan konstipasi fungsional dan penyakit Hirschprung. 22
Gambar 13 Foto Polos Abdomen............................................................. 24
Gambar 14 A. Herring bone appearance, B. Air fluid level dan step ladder
sign. ......................................................................................................... 25
Gambar 15 Terapi Farmakologi Terbaru untuk Konstipasi. ..................... 36

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Frekuensi Normal Defekasi Pada anak ......................................... 9


Tabel 2 Penyebab Konstipasi Berdasarkan Umur ................................... 14
Tabel 3 Pemeriksaan Fisik Pada Anak Dengan Konstipasi ..................... 18
Tabel 4 Temuan Pada Pemeriksaan Fisik Yang Membedakan Konstipasi
Organik Dari Fungsional .......................................................................... 19
Tabel 5 Komplikasi Konstipasi Kronis Pada Anak.................................... 23

v
DAFTAR SINGKATAN

ASI = Air Susu Ibu


BAB = Buang Air Besar
CC = Chronic Constipation
CFTR = Cystic Fibrosis Transmembrane Conductance Regulator
cGMP = Cyclic Guanosine-3’,5’-Monophosphate
CIC-2 = Type-2 Chloride Channels
CSBMs = Complete Spontaneous Bowel Movements (CSBMs)
EMA = The European Medicines Agency
FDA = The US Food and Drug Administration
IBS-C = Inflamatorry Bowel Syndrome with Constipation
PEG = Polyethylene Glycol
QT (QTc) = QT Interval of Electrocardiogram
RCT = Randomized Controlled Trial
RFI = Rectal Fecal Impaction
5-HT4 = 5-Hydroxytryptamine Type 4

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pola defekasi yang normal umumnya dipandang sebagai petanda anak
sehat. Sementara orang tua sangat memperhatikan frekuensi defekasi dan
karakteristik anaknya. Konstipasi merupakan masalah yang biasa
ditemukan pada anak sehingga memicu orang tua untuk memeriksakan
anaknya.
Perubahan pola diet merupakan salah satu penyebab utama tingginya
kejadian konstipasi. Konstipasi umumnya memberikan gejala berupa rasa
cemas sewaktu defekasi karena nyeri yang dirasakan, nyeri perut berulang,
sampai keadaan penurunan nafsu makan dan gangguan pertumbuhan.
Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak
prevalensinya diperkirakan 0,3% sampai 8%. Menurut Van den Berg MM,
prevalensi konstipasi 0,7% sampai 26,9%. Pada studi retrospektif oleh
Loening-Baucke tahun 2005 didapatkan prevalensi konstipasi pada anak
sampai usia 1 tahun mencapai 2,9% dan meningkat pada tahun kedua,yaitu
sekitar 10,1%. Sejumlah 97% kasus konstipasi anak disebabkan oleh
konstipasi fungsional dengan kejadian yang sama antara laki-laki dan
perempuan. Bekkali NL mendapatkan usia anak yang menderita konstipasi
fungsional dan rectal fecal impaction(RFI) berkisar antara 4-16 tahun.
Keluhan konstipasi sering menjadi alasan orang tua membawa anaknya
berobat. Keluhan yang berhubungan dengan konstipasi ditemukan pada
3% anak yang berobat ke pusat pelayanan primer dan 25% berobat ke
spesialis Gastroenterologi. Konstipasi tidak dipengaruhi oleh status sosial,
ekonomi dan jumlah anak.Konstipasi harus dianggap suatu gejala, bukan
diagnosis, keadaan ini merupakan manifestasi berbagai kelainan atau
sebagai akibat sekunder dari suatu pengobatan, (Borowitz, 2019).
Penyebab konstipasi bermacam-macan dan perlu penanganan yang
tepat. Kasus konstipasi ringan yang memerlukan terapi adekuat beberapa

1
kasus memerlukan tindakan segera sementara kasus konstipasi kronis
memerlukan kesabaran dan penangan yang cermat, (Borowitz, 2019).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Usus


Usus halus merupakan tabung yang kompleks, berlipat-lipat yang
membentang dari pilorus sampai katup ileosekal. Pada orang hidup panjang
usus halus sekitar 12 kaki (22 kaki pada kadaver akibat relaksasi). Usus ini
mengisi bagian tengah dan bawah abdomen. Ujung proksimalnya bergaris
tengah sekitar 3,8 cm, tetapi semakin kebawah lambat laun garis tengahnya
berkurang sampai menjadi sekitar 2,5 cm.
Usus halus dibagi menjadi duodenum, jejenum, dan ileum. Pembagian
ini agak tidak tepat dan didasarkan pada sedikit perubahan struktur, dan
yang relatif lebih penting berdasarkan perbedaan fungsi. Duodenum
panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai kepada jejenum.
Pemisahan duodenum dan jejenum ditandai oleh ligamentum treitz, suatu
pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus
esofagus dan berinsersio pada perbatasan duodenum dan jejenum.
Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum suspensorium
(penggantung). Kira-kira duaperlima dari sisa usus halus adalah jejenum,
dan tiga perlima terminalnya adalah ileum. Jejenum terletak di regio
abdominalis media sebelah kiri, sedangkan ileum cenderung terletak di
region abdominalis bawah kanan. Jejunum mulai pada juncture
denojejunalis dan ileum berakhir pada juncture ileocaecalis.
Lekukan-lekukan jejenum dan ileum melekat pada dinding posterior
abdomen dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas
yang dikenal sebagai messenterium usus halus. Pangkal lipatan yang
pendek melanjutkan diri sebagai peritoneum parietal pada dinding posterior
abdomen sepanjang garis berjalan ke bawah dan ke kenan dari kiri vertebra
lumbalis kedua ke daerah articulatio sacroiliaca kanan. Akar mesenterium
memungkinkan keluar dan masuknya cabangcabang arteri vena
mesenterica superior antara kedua lapisan peritoneum yang membentuk
messenterium, (Moore, 2002).

3
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis
ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil.5
Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus semakin
kecil.2,3 Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum
terdapat katup ileocaecaal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum.
Sekum menempati dekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup
ileocaecaal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi
menjadi kolon asendens, transversum, desendens dan sigmoid. Kolon
ascendens berjalan ke atas dari sekum ke permukaan inferior lobus kanan
hati, menduduki regio iliaca dan lumbalis kanan. Setelah mencapai hati,
kolon ascendens membelok ke kiri membentuk fleksura koli dekstra
(fleksura hepatik). Kolon transversum menyilang abdomen pada regio
umbilikalis dari fleksura koli dekstra sampai fleksura koli sinistra, (Moore,
2002).

Gambar 1 Sistem saluran pencernaan, (Moore, 2002).

4
Kolon transversum, waktu mencapai daerah limpa, membengkok ke
bawah, membentuk fleksura kolisinistra (fleksura lienalis) untuk kemudian
menjadi kolon descendens. Kolon sigmoid mulai pada pintu atas panggul.
Kolon sigmoid merupakan lanjutan kolon descendens. Ia tergantung
kebawah dalam rongga pelvis dalam bentuk lengkungan. Kolon sigmoid
bersatu dengan rektum di depan sakrum. Rektum menduduki bagian
posterior rongga pelvis. Rektum ke atas dilanjutkan oleh kolon sigmoid dan
berjalan turun di depan sekum, meninggalkan pelvis dengan menembus
dasar pelvis. Disini rektum melanjutkan diri sebagai anus dalam perineum,
(Moore, 2002).

Gambar 2 Usus kecil pada manusia, (Moore, 2002).

5
Gambar 3 Usus besar dan rectum, (Moore, 2002)

2.2 Fisiologi Dan Pola Buang Air Besar


Mekanisme buang air besar dirangsang oleh gerakan peristaltik akibat
adanya masa tinja di dalam rektum. Rangsangan sensori pada kanal anus
akan menurunkan tonus sfingter anus internus, sehingga terjadilah proses
defekasi, (Guyton, 2007).

6
Gambar 4 Fisiologi Kolon, (Guyton, 2007).

Dua refleks defekasi yang terjadi:


 Refleks defekasi intrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding
rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus
mesentrikus unuk memulai gelombang peristaltik mendekati
anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, sfingter anal
interna tidak menutup dan bila sfingter ani externa tenang maka
feses keluar.
 Refleks defekasi parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke
spinal cord (sacrum 2-4) dan kemudian kembali ke kolon
desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal-sinyal parasimpatis
ini meningkatkan gelombang peristaltik melemaskan sfingter
anus internal dan meningkatkan refleks defekasi intrinsik,
(Guyton, 2007).

7
Gambar 5 Fisiologi Defekasi, (Guyton, 2007).

Relaksasi otot puborektal yang menyebabkan mekanisme yang


berperan dalam proses buang air besar. Selain itu proses buang air besar
dirangsang oleh adanya gerak peristaltik akibat adanya masa tinja di dalam
rektum. Rangsangan sensori pada kanal anus akan menurunkan tonus
sfingter anus internus sehingga terjadi proses defekasi. Proses diawali
dengan relaksasi otot puborektal yang menyebabkan sudut anorektal
melebar, diikuti oleh relaksasi otot levator yang menyebabkan pembukaan
kanal anus. Buang air besar terjadi akibat adanya bantuan dari tekanan
intra-abdominal yang meningkat akibat penutupan glottis, fiksasi diafragma,
dan kontraksi otot abdomen. Frekuensi BAB mempunyai korelasi dengan
watu transit gastrointestinal. Anak-anak dengan frekuensi BAB kurang dari
4 kali seminggu memiliki waktu transit lebih dari 33 jam. Keadaan ini lebih
rendah secara bermakna dibandingkan dengan anak yang mempunyai pola
BAB normal, (Guyton, 2007).

8
Gambar 6 Fisiologi Defekasi, (EmedicineHealth, 2019).

Frekuensi BAB pada anak menurun seiring dengan pertambahan usia.


Berikut ini merupakan frekuensi normal defekasi pada anak:

Tabel 1 Frekuensi Normal Defekasi Pada anak

Umur Defekasi/minggu Defekasi/hari


0-3 bulan
- ASI 5-40 2,9
- Formula 5-28 2,0
6-12 bulan 5-28 1,8
1-3 tahun 4-21 1,4
>3 tahun 3-14 1,0

(Endyami, B., 2004).

2.2 Konstipasi
2.2.1 Definisi
Konstipasi yaitu ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara
sempurna, yang tercermin dari 3 aspek yaitu, berkurangnya frekuensi
berhajat biasanya, tinja lebih keras dari sebelumnya, dan pada palpasi
abdomen teraba massa tinja (skibala) dengan atau tanpa disertai

9
enkopresis. Konstipasi adalah kesulitan defekasi atau berkurangnya
frekuensi defekasi tanpa melihat apakah tinjanya keras atau tidak, (Rogers).
Konstipasi merupakan kesulitan defekasi yang terjadi menimbulkan nyeri
dan distress pada anak, (Lewis &Muir). Konstipasi adalah suatu perubahan
dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan pola defekasi individu yang
bersangkutan yaitu frekuensi berhajat lebih jarang dan tinja lebih keras dari
biasanya. (Abel). Definisi lainnya adalah buang air besar kurang dari 3 kali
per minggu atau riwayat buang air besar dengan tinja yang banyak dan
keras. (Steffen dan Loening Baucke), (Firmansyah, 2010).
Obstruksi usus adalah gangguan propulsi atau pasase normal isi
usus kearah rectum karena hambatan ekstrinsik atau intrinsic, baik pada
usus kecil maupun usus besar. Obstruksi dibedakan berdasarkan
penyebab, yaitu obstruksi mekanik dan fungsional atau pseudo obstruksi
ata ileus yang diakibatkan motilitas usus yang inefektif, berdasarkan waktu
mulai dan durasi menjadi obstruksi akut atau kronik, berdasarkan ekstensi
dibagi menjadi obstruksi parsial dan komplet, berdasarkan tipe menjadi
obstruksi simple, close loop atau strangulasi.

2.2.2 Epidemiologi
Sekitar 3% kunjungan dan 10-15% ditangani oleh gastroenterologi
anak merupakan kasus konstipasi kronis. 90-95% merupakan konstipasi
fungsional, hanya 5-10% yang mempunyai penyebab organik. Pada 5-10%
bayi dan anak konstipasi disebabkan kelainan anatomis, neurologis, atau
penyebab lain.

2.2.3 Patofisiologi
Obstruksi usus diakibatkan kelainan pada:
1. Intraluminal (benda asing, batu empedu)
2. Intramural (tumor, Chron’s disease, striktur akibat peradangan)
3. Ekstrinsik (adesi, hernia, atau karsinoma)
Gas dan cairan terakumulasi dalam lumen usus proksimal obstruksi.
Sebagian besar gas dari udara yang tertelan dan sebagian lagi berasal dari

10
produksi gas dalam usus. Cairan berasal dari produksi gastrointestinal dan
sebagian dari cairan yang ditelan. Akibat akumulasi gas dan cairan, usus
mengalami distensi, tekanan intraluminal dan intramural meningkat. Bila
tekanan terus meningkat maka perfusi usus terganggu dan menyebabkan
iskemi dan akhirnya nekrosis. Kondisi ini disebut sebagai obstruksi usus
strangulasi. Pada obstruksi close-loop, strangulasi lebih cepat terjadi.
Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum.
Regangan tersebut menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna
yang akan direspons sampai individu mencapai toilet. Untuk proses
defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan
relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan rektum
terbuka, membentuk jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui anus.
Kemudian mendorong tinja keluar melalui anus. Pada keadaan normal,
epitel sensorik di daerah anus rektum memberitahu individu mengenai sifat
tinja, apakah padat, cair, gas, atau kombinasi ketiganya
Kolon berfungsi menyimpan dan mengeringkan tinja cair yang
diterimanya dari ileum. Makan maupun minum merupakan stimulus
terjadinya kontraksi kolon (refleks gastrokolik) yang diperantarai oleh
neuropeptida pada sistem saraf usus dan koneksi saraf visera. Kandungan
nutrisi tinja cair dari ileum yang masuk ke kolon akan menentukan frekuensi
dan konsistensi tinja. Kurangnya asupan serat (dietary fiber) sebagai
kerangka penyebab konstipasi. Berat tinja berkaitan dengan asupan serat
makanan. Tinja yang besar akan dievakuasi lebih sering. Waktu singgah
melalui saluran pencernaan lebih cepat apabila mengkonsumsi banyak
serat. Waktu singgah pada bayi berusia 1-3 bulan adalah 8,5 jam. Waktu
singgah meningkat dengan bertambahnya usia, dan pada dewasa berkisar
antara 30-48 jam. Berkurangnya aktivitas fisik pada individu yang
sebelumnya aktif menjadi tidak aktif merupakan predisposisi. Stress dan
perubahan aktivitas rutin sehari-hari dapat mengubah frekuensi defekasi,
seperti liburan, berkemah, masuk sekolah kembali setelah liburan,
ketersediaan toilet dan masalah psikososial, dapat menyebabkan
konstipasi, (Guyton, 2007).

11
Kebiasaan menahan tinja (retensi tinja) yang berulang akan
meregangkan rektum dan kemudian kolon sigmoid yang menampung bolus
tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami
reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala. Seluruh proses akan
berulang dengan sendirinya, yaitu tinja yang keras dan makin besar-nyeri
waktu berhajat dan seterusnya.

Gambar 7 Patofisiologi Konstipasi, (Guyton, 2007).

Bila konstipasi menjadi kronik, massa tinja berada di rektum, kolon


sigmoid, dan kolon desenden dan bahkan seluruh kolon. Distensi tinja
kronis sebagai akibat retensi tinja menyebabkan menurunnya kemampuan
sensor terhadap volume tinja, yang sebetulnya merupakan panggilan atau
rangsangan untuk berhajat.
Lingkaran setan terus berlangsung: tinja keras-nyeri waktu berhajat-
retensi tinja-tinja makin banyak-reabsorbsi air-tinja makin keras dan makin
besar-nyeri waktu berhajat-dan seterusnya.

12
Gambar 8 Patoisiologi Konstipasi, (Firmansyah, 2010).

2.2.4 Etiologi
Penyebab tersering dari obstruksi:
1. Adesi (60% kasus)
2. Hernia inguinalis lateralis inkarserata (10% kasus)
3. Keganasan usus besar
4. Volvulus
5. Invaginasi
6. Chron’s disease
7. Radiasi induced stricture
Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah1
1. Fungsional
2. Fisura ani
3. Infeksi virus dengan ileus
4. Diet
5. Obat-obatan: anestesi, analgesik narkotik, opuat, antikolinergik
dan simpatomimetik, antikonvulsan dan diet ketogenik, antimotilitas,
antipsikotik, anti depresan, barium untuk pemeriksaan radiologis,

13
penghambat kanal kalsium, antidisritmia, mineral (alumunium, kalsium,
besi, timbal, merkuri, arsen, bismuth), antiinflamasi non steroid.

Gambar 9 Kriteria ROMA, (WGO, 2007).

Jika diet anak berubah juga akan mengakibatkan konstipasi akut, hal
ini sering terjadi pada saat liburan. Bila diet mengandung banyak susu atau
rendah buah dan sayuran, kemungkinan penyebab konstipasi adalah faktor
diet. Dalam hal ini, modifikasi diet lebih diutamakan pada laksatif.
Perubahan diet dari ASI ke formula ke susu penuh (full cream) pada anak
usia 1 tahun dapat mebimbulkan konstipasi pada beberapa anak/bayi. Pada
konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi kronis
biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit
Hirschprung karena berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius.

Tabel 2 Penyebab Konstipasi Berdasarkan Umur

Neonatus/Bayi
- Meconium plug
- Penyakit Hirschprung
- Fibrosis kistik

14
- Malformasi anorektal bawaan, termasuk anus imperforata,
stenosis ani, anal band
- Chronic idiopatic intestinal pseudo-obstruction
- Endokrin: hipotiroid
- Alergi susu sapi
- Metabolik: diabetes insipidus, renal tubular asidosis
- Retensi tinja
- Perubahan diet
Toddler dan umur 2-4 tahun
- Fissura ani, retensi tinja
- Toilet refusal
- Alergi susu sapi
- Penyakit Hirschprung segmen pendek
- Penyakit saraf: sentral atau muskular dengan hipotoni
- Medulla spinalis: meningomielokel, tumor, tethered cord
Usia sekolah
- Retensi tinja
- Ketersediaan toilet terbatas
- Keterbatasan kemampuan mengenali rangsang fisiologis
- Preokupasi dengan kegiatan lain
- Tethered cord
Adolesen
- Irritabel bowel syndrome
- Jejas medulla spinalis (kecelakaan, trauma)
- Diet
- Anoreksia
- Kehamilan
- Laxative abuse
Segala usia
- efek samping obat, perubahan diet, paska operasi
- riwayat operasi anal-rektum
- retensi tinja dan enkoporesis akibat distensi tinja kronis

15
- perubahan aktivitas fisik, dehidrasi
- hipotiroid

(Endyami, B., 2004)

2.2.5 Gejala Klinis


Penyebab tersering konstipasi adalah menahan defekasi akibat
pengalaman nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fissura ani.
Pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Bila
konstipasi menjadi kronik, jumlah defekasi per hari atau per minggu
mungkin bukan indikator terpercaya untuk konstipasi pada anak. Awalnya
ditandai dengan gejala pola defekasi yang jarang dan sudah berjalan
beberapa bulan atau tahunan. Biasanya timbul gejala lainnya seperti
distensi abdomen yang hilang sesudah defekasi, tinja keras, dan atau
sangat besar yang menyumbat, tinja yang cair diantara yang keras.
Anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan yang akan membaik jika
konstipasi sudah diatasi. Berbagai posisi menahan tinja dapat pula diamati
pada anak-anak seperti menyilangkan kedua kaki, menarik kaki kanan dan
kiri bergantian kedepan dan ke belakang (seperti berdansa) merupakan
manuver untuk menahan tinja yang jika diamati kadang menyerupai kejang.
Inkontinensia urin dan infeksi saluran kemih seringkali berkaitan
dengan konstipasi pada anak. Kadangkala, retensi urin, megakistik, dan
refluks vesikoureter ditemukan pada anak dengan kostipasi kronis.
Pemeriksaan fisik didapatkan distensi abdomen dengan bising usus
normal, meningkat, atau berkurang. Massa abdomen dapat teraba atau
pada kasus yang kronis didapatkan massa tinja di daerah epigastrium.
Fissura ani serta ampula rekti yang besar dan lebar merupakan tanda
penting pada konstipasi, (EmedicineHealth, 2019).
Nyeri kolik, kembung, dan obstipasi akut yang akan disusul dengan
mual dan muntah. Pasase feses dan atau flatus terganggu dalam waktu 6-
12 jam setelah muncul gejala merupakan karakteristik obstruksi parsial.
Makin proksimal, makin dini dan makin menonjol gejala mual dan muntah,

16
sedangkan semakin distensi tidak terlalu menonjol. Mual lebih jarang pada
obstruksi kolon kecuali pada kondisi lanjut. Nyeri yang konstan dan
terlokalisir merupakan tanda telah terjadi strangulasi. Menanyakan riwayat
penyakit terdahulu harus dilakukan untuk mengetahui penyebab seperti
obstruksi usus yang terjadi sebelumnya, riwayat operasi sebelumnya,
riwayat konstipasi kronik, riwayat bowel habit changes, riwayat kanker dan
terapi sebelumnya.
Pemeriksaan fisik
a. Secara menyeluruh meliputi tanda vital, status hidrasi, inspeksi,
auskultasi, palpasi abdominal, termasuk mencari kemungkinan
defek hernia, bekas insisi operasi sebelumya dan pemeriksaan
rectum.
b. Distensi abdominal pada obstruksi ileum distal, mungkin tidak ada
bila obstruksi pada usus proksimal.
c. Darm contour dan steifung.
d. Bising usus hiperaktif sampai bunyi metalik, sebaliknya obstruksi
usus fungsional (ileus) tidak terdapat bising usus.
e. Defans muskuler bila telah terjadi perforasi.
f. Takikardia, hipotensi, dan oligouria merupakan tanda dehidrasi.
g. Demam bila terdapat strangulasi.

Pemeriksaan radiologis
a. Foto polos abdomen posisi supine, left lateral decubitus dan erect:
gambaran dilatasi usus dengan air-fluid level, pelebaran gas usus
halus, kolon, dan sigmoid masing-masing lebih dari 3, 9 dan 5 cm.
ada pneumobilia menunjukkan ada gall stone ileus. Volvulus sekum
dan sigmoid memberikan gambaran yang patognomonis.
b. Foto dengan kontras, Enterocyclis dengan kontras water soluble
dilakukan pada pasien tanpa riwayat operasi sebelumnya atau
kasus rekurensi tumor, dan enema barium.
c. Pemeriksaan CT-Scan abdomen dilakukan bila diduga penyebab
obstruksi adalah proses keganasan.

17
Pemeriksaan laboratorium
a. Hemokonsetrasi, leukositosis ringan dengan gangguan
keseimbangan elektrolit.
b. Bila terdapat strangulasi; leukositosis nyata dan asidosis.

Tabel 3 Pemeriksaan Fisik Pada Anak Dengan Konstipasi

Abdomen
- Distensi
- Hati dan limpa
- Massa tinja
Inspeksi anus
- Posisi
- Adanya tinja di sekitar anus atau celana
- Eritema sekitar anus
- Skin tags
- Fissura ani
Colok dubur
- Kedutan anus
- Tonus anus
- Massa tinja
- Adanya tinja
- Konsistensi
- Adakah massa lain
- Tinja menyemprot bila jari dicabut
- Darah dalam tinja
Punggung dan spina
- Lesung
- Berkas rambut
Neurologi
- Tonus
- Kekuatan

18
- Refleks kremaster
- Refleks tendon

(Endyami, B., 2004)

Tabel 4 Temuan Pada Pemeriksaan Fisik Yang Membedakan


Konstipasi Organik Dari Fungsional

- Gagal tumbuh
- Distensi abdomen
- Hilangnya lengkung lumbosakral
- Pilonidal dimple covered by a tuft hair
- Kelainan pigmentasi di garis tengah spina (lumbosakral)
- Agenesis sakrum
- Bokong datar
- Letak anus di depan
- Patulous anus
- Ampula rekti kosong padahal teraba massa tinja pada palpasi
abdomen
- Tinja menyemprot bila telunjuk dicabut pada pemeriksaan colok
dubur
- Darah dalam tinja
- Hilangnya kedutan anus
- Hilangnya reflek kremaster
- Tonus dan kekuatan otot ekstremitas bawah turun
- Hilang atau menurunnya fase relaksasi refleks tendon ekstremitas
bawah

(Endyami, B., 2004)

Pada pemeriksaan manometri anak dengan konstipasi kronis adalah


meningkatnya ambang rangsang sensasi rektum. Dengan pengobatan
jangka panjang, hal ini dapat kembali normal. Pada sebagian kasus yang

19
sembuh meninggalkan sensasi rektum yang abnormal sehingga memicu
kekambuhan.
Kontraksi puborektalis paradoksal merupakan kontraksi sfingter ani
eksterna dan m.puborektalis yang kurang selama upaya defekasi,
merupakan temuan yang biasa pada pemeriksaan manometri anorektum
anak dengan konstipasi kronis.

Gambar 10 Konstipasi Dengan Enkopresis, (EmedicineHealth, 2019).

2.2.6 Diagnosis
Menentukan diagnosis konstipasi minimal didapatkan salah satu
gejala berikut
(1) Defekasi kurang dari 3 kali seminggu
(2) Nyeri saat BAB
(3) Impaksi rektum
(4) Adanya massa feses di abdomen
Kriteria untuk anak berusia diatas 4 tahun agak berbeda, digunakan
kriteria sebagai berikut:
(1) Frekuensi BAB kurang atau sama dengan dua kali seminggu
tanpa menggunakan laksatif
(2) Dua kali atau lebih episode soiling/enkopresis dalam seminggu
20
(3) Teraba masa feses di abdomen atau rektum pada pemeriksaan
fisik, (Firmansyah, 2010).

Konstipasi dikatakan akut jika keluhan berlangsung kurang dari 1-4


minggu dan dikatakan kronis bila berlangsung lebih dari 1 bulan. Pada
konstipasi akut dikatakan mengancam nyawa apabila tampak tanda
obstruksi usus, dehidrasi dan botulisme infantil. Penyebab tersering
konstipasi akut adalah infeksi virus yang menyebabkan berkurangnya
frekuensi defekasi dan ileus nonspesifik.
Petunjuk penting dari konstipasi adalah umur pada saat awitan
gejala timbul. Jika gejala didapatkan sejak lahir kemungkinan disebabkan
penyakit Hirschprung. Bila gejala timbul pada saat usia toilet training (> 2
tahun) kemungkinan penyebabnya fungsional.
Lebih dari 90% konstipasi pada anak tergolong konstipasi
fungsional, beberapa etiologinya merupakan multifaktorial.

Gambar 11 Kriteria ROMA Untuk Menentukan Konstipasi Fungsional,


(WGO, 2007).

21
Gambar 12 Perbedaan konstipasi fungsional dan penyakit Hirschprung,
(WGO, 2007).

2.2.7 Komplikasi
Nyeri perut atau rektum dan enkopresis atau kebocoran (tidak
disengaja;involuntary) tinja cair atau lembek di sekitar massa tinja
merupakan komplikasi primer konstipasi pada anak, hal inilah yang
mendorong orang tua membawa anaknya ke dokter. Enuresis terjadi lebih
dari 40% anak dengan enkorporesis. Beberapa kasus enuresis menghilang
apabila massa tinja dievakuasi sehingga memungkinkan kandung kemih
mengembang. Kompilikasi urologis lainnya adalah dilatasi kolon distal
sehingga meningkatkan frekuensi miksi dan obstruksi ureter kiri, kemudian
dapat menyebabkan berkurangnya tonus kolon yang mengakibatkan
invaginasi, yang dapat bermanifestasi prolaps rekti setelah defekasi.
Prolaps kolon ringan yang berlangsung lama dapat berakibat ulkus iskemik
pada dinding mukosa rektum (ulkus soliter) yang secara klinis tampak

22
sebagai tinja yang berlendir dan berdarah apapun konsistensi tinjanya.
Iritasi difus pada kolon akibat tinja yang amat keras bahkan dapat
menyebabkan protein-losing enteropathy.
Sindrom stasis terlihat pada pseudo-obstruksi. Stigma sosial yang
berkaitan dengan sering flatus dan kecepirit yang menimbulkan bau tidak
sedap dapat mempengaruhi anak. Sebagian besar anak dengan
enkorporesis kronis akan menyangkal bila ditanyakan mengenai masalah
enkorporesisnya dan bahkan sering menyembunyikan celana dalamnya
karena kecepirit.

Tabel 5 Komplikasi Konstipasi Kronis Pada Anak

- Nyeri: anus atau abdomen


- Fissura ani
- Enkopresis
- Enuresis
- Infeksi salurah kemih/obstruksi ureter
- Prolaps rektum
- Ulkus soliter
- Sindrom stasis
 Bakteri tumbuh lampau
 Fermentasi karbohidrat, maldigesti
 Dekonjugasi asam empedu
 Steatorea

(Endyami, B., 2004)

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan dilakukan pada kasus tertentu yang dicurigai
mempunyai penyebab organik.
1. Foto polos abdomen

23
Melihat kaliber kolon dan massa tinja di kolon. Bila rectal
toucher tidak dapat dilakukan atau tidak teraba adanya distensi
rektum oleh massa tinja.
2. Barium enema
Mencari penyebab seperti Morbus Hirschprung dan obstruksi
usus.
3. Biopsi hisap rektum
Melihat adanya ganglion mukosa rektum secara
histopatologis untuk memastikan adanya penyakit Hirschprung.
4. Manometri
Menilai motilitas kolon
5. Lainnya, mencari penyebab organik lain, seperti hipotiroidisme,
ultrasonografi abdomen, MRI

Gambar 13 Foto Polos Abdomen, (EmedicineHealth, 2019).

24
Gambar 14 A. Herring bone appearance, B. Air fluid level dan step ladder
sign, (EmedicineHealth, 2019).

2.2.8 Tatalaksana
Tatalaksana konstipasi fungsional meliputi:
1. Edukasi orangtua
Anak dianjurkan banyak minum dan mengkonsumsi karbohidrat
dan serat. Buah-buahan seperti pepaya, semangka, bengkuang, dan melon
yang mengandung banyak serat dan air betujuan untuk melunakkan tinja.
Serat dan sorbitol banyak didapatkan pada prune, pear, dan apel dapat
dikonsumsi dalam bentuk jus untuk meningkatkan frekuensi defekasi dan
melunakkan tinja.
Makanan berserat akan mudah dihancurkan oleh bakteri di dalam
usus. Makanan serat dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu insoluble fibre dan
soluble fibre. Selain itu serat dapat meningkatkan retensi air sehingga dapat
melunakkan tinja, mempercepat waktu singgah di dalam kolon dan
meningkatkan frekuensi BAB.

2. Evakuasi tinja (disimpaction)


Fecal impaction adalah massa tinja (skibala) yang teraba pada
regio abdomen bawah, rektum yang dilatasi dan penuh dengan tinja yang

25
ditemukan pada rectal toucher atau tinja yang berlebihan dalam kolon yang
terlihat pada foto abdomen.
Evakuasi perlu dilakukan sebelum terapi rumatan, dilakukan
dengan obat oral atau rektal. Program dilakukan selama 2-5 hari sampai
evakuasi lengkap dan sempurna.
Pada terapi per oral, digunakan mineral oil (parafin liquid) dosis
15-30 ml/tahun umur (maksimal 240ml per hari) kecuali bayi. Larutan
polietilen glikol (PEG) 20 ml/kg/jam (maksimal 1000 ml/jam) diberikan
dengan pipa nasogstrik selama 4 jam per hari.
Evakuasi dengan obat per rektal menggunakan enema fosfat
hipertonik (3 ml/kg 2 kali sehari maksimal 6 kali enema), enema garam
fisiologis (600-1000 ml) atau 120 ml mineral oil. Pada bayi digunakan
suposituria/enema gliserin 2-5 ml.

3. Terapi rumatan
Setelah evakuasi berhasil terapi dilanjutkan untuk mencegah
kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku
dan pemberian laksatif untuk menjamin interval defekasi yang normal
dengan evakuasi tinja yang sempurna.

4. Modifikasi perilaku
Toilet training segera setelah makan pagi dan malam, anak
dianjurkan untuk buang air besar. Berikan waktu 10-15 menit bagi anak
untuk BAB. Bila dilakukan secara teratur mengembangkan refleks
gastrokolik pada anak berhasil melakukan defekasi. Sebaiknya berikan
pujian pada anak disetiap usahanya untuk BAB.
Anak dilatih untuk meningkatkan sensasi rektum, menguatkan
dan mengontrol sfingter anus, serta meningkatkan koordinasi kontraksi dan
relaksasi otot secara benar. Beberapa penulis mengemukakan bahwa
latihan ini berguna untuk konstipasi kronis dan enkopresis, namum
beberapa laporan terakhir meragukan efektifitasnya, karena mereka tidak
menemukan hasil yang berbeda dengan terapi konvensional. Pada anak

26
dengan soiling akibat nonretensi tinja, penambahan laksatif pada terapi
biofeedback training juga tidak memperlihatkan hasil yang berbeda
dibanding terapi biofeedback training saja. Peran pembedahan pada kasus
konstipasi pada anak hanya pada kasus tertentu, seperti obstruksi pelvic
outlet, inersia kolon, atau kombinasi keduanya.
Bila cara diatas tidak berhasil, perlu dikonsulkan ke ahli psikiatri
anak. Berikut ini kriteria untuk merujuk anak dengan konstipasi kepada
psikiatri antara lain:
(1) Kecurigaan kearah psikopatologi primer
(2) Psikopatologi sekunder yang berhubungan dengan konstipasi
(3) Tidak responsif terhadap terapi yang telah diberikan dengan
alasan yang tidak jelas

5. Medika mentosa
Obat umumnya masih diperlukan pada terapi rumatan. Laktosa
(larutan 70%) dapat diberikan dengan dosis 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali
pemberian. Mineral oil (parafin liquid) diberikan 1-3 ml/kgBB/hari, tetapi
tidak diberikan pada bayi dan anak dengan gangguan ginjal. Bila respon
terapi belum memadai, mungkin perlu ditambahkan cisapride 0,2
mg/kgBB/kali untuk 3-4 kali per hari selama 4-5 minggu. Terapi rumatan
dapat dikurangi kemudian dihentikan. Pengamatan masih perlu dilakukan
karena angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka panjang
banyak anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai adolesen,
(Firmansyah, 2010).
a. Laxative Konvensional
1. Polyethylene Glycol
Polietilen glikol (PEG) adalah pencahar osmotik yang tidak
diserap oleh usus kecil, dan mempertahankan osmotik tinggi tekanan di
usus besar. Jadi, produk-produk hipertonik ini diberikan efeknya dengan
mengarahkan air ke lumen. Didesain dengan baik studi tentang konstipasi
kronis (CC) telah menunjukkan PEG itu efektif dalam meningkatkan
frekuensi tinja, konsistensi, dan mengejan saat buang air besar.3-5 Di

27
kontrol secara acak percobaan, PEG diberikan kepada pasien dengan CC
selama 6 bulan dan tidak ada efek samping serius yang diamati. Baru-baru
ini studi pasien wanita dengan konstipasi kronik, PEG terbukti memiliki
kemanjuran yang sebanding dan tolerabilitas yang lebih baik daripada
prucalopride.7 Selanjutnya, PEG meringankan gejala sembelit pada pasien
dengan IBS dengan konstipasi (IBS-C) . PEG memiliki lebih sedikit efek
samping dan sangat hemat biaya, dan karenanya dihargai sebagai obat lini
pertama untuk sembelit, (Han Seung Ryu dan Suck Chei Choi, 2015).

2. Bisacodyl
Bisacodyl adalah pencahar stimulan polifenolik, dan
dianggap untuk menghambat penyerapan air dan elektrolit di usus besar
dan meningkatkan pergerakan usus dengan merangsang pleksus
myenteric kolon. Ini digunakan untuk jangka pendek persiapan usus pada
pasien dengan konstipasi kronik. Bisacodyl miliki telah dilaporkan
meningkatkan frekuensi dan konsistensi feses secara signifikan pada
pasien dengan konstipasi kronik dibandingkan dengan plasebo, dengan
efek samping yang mirip dengan yang ada pada placebo. Secara acak,
double-blind, uji coba terkontrol plasebo dilakukan di Inggris, bisacodyl
meningkatkan jumlah spontan komplit buang air besar (Complete
Spontane-ous Bowel Movements/ CSBM) per minggu, kualitas meningkat
kehidupan, dan dapat ditoleransi dengan baik. Obat ini dianjurkan sebagai
pengobatan lini pertama untuk konstipasi kronik karena efektivitas biaya
dan kemanjuran yang relatif tinggi. Namun, penelitian lebih lanjut tentang
kemanjuran jangka panjang dan efek sampingnya diperlukan, (Kamm MA.,
2011).

b. Agen Farmakologi Baru


1. Serotonergic Agents
a. Tegaserod
Tegaserod adalah parsial 5-hydroxytryptamine tipe 4
(5-HT4) agonis reseptor dan efektif dalam merawat pasien wanita dengan

28
konstipasi kronik. Dalam studi skala besar pasien dengan konstipasi kronik,
tegaserod meningkatkan CSBM, meningkatkan konstipasi gejala dan
kepuasan pasien, dan efektif selama 12 minggu.14 Badan Pengawas Obat
dan Makanan AS (FDA) mengatur penggunaan umum tegaserod pada
tahun 2007 karena risiko efek samping kardiovaskular yang serius.
Penggunaannya saat ini terbatas, di bawah protokol obat baru yang sedang
diselidiki, untuk wanita di bawah 55 tahun. Namun, multicenter baru-baru ini
studi yang dilakukan di AS dan Eropa menunjukkan bahwa tegaserod
memiliki kemanjuran tinggi pada wanita yang memiliki IBS dengan
kebiasaan usus campuran atau IBS-C.15 Dalam meta-analisis dari 11
secara acak studi terkontrol, kemanjuran komparatif tegaserod dilaporkan
0,85 (95% CI, 0,80−0,90), menunjukkan bahwa ia mampu memperbaiki
gejala.16 Dalam studi 81 Wanita Korea dengan IBS-C, tegaserod diberikan
untuk 4 minggu dan membaik baik gejala maupun kualitas hidup. Sebuah
studi kohort observasional 6 bulan dilakukan di AS tidak ada perbedaan
dalam risiko kardiovaskular peristiwa antara kelompok tegaserod, yang
terdiri dari 52.229 subjek, dan kelompok kontrol.18 Berdasarkan temuan ini,
beberapa peneliti berdebat tentang keputusan FDA untuk menghentikan
pemasaran tegaserod. Namun risikonya terkait dengan penggunaan
tegaserod masih dipertimbangkan lebih tinggi dari manfaatnya, 19,20 dan
tidak ada penelitian baru tentang Tegaserod telah dilaporkan sejak
perkembangan terakhir obat baru dengan peningkatan keamanan
kardiovaskular, (Chey WD., 2008).

b. Prucalopride
Prucalopride adalah obat yang bertindak sebagai
selektif, afinitas tinggi Agonis penuh 5-HT4 reseptor, dan efektif dalam
mengobati sembelit dengan meningkatkan kontraktilitas kolon. Dalam tiga
hal pentingpercobaan, alasan telah diverifikasi agar efektif dalam
meningkatkan CSBM per minggu, dan meningkatkan keparahan penyakit
yang dirasakan dan konstipasi kronik. 21-23 Dalam sebuah studi tentang
620 pasien dengan konstipasi kronik, peserta menerima 2 atau 4 mg

29
prucalopride selama 12 minggu peningkatan satu atau lebih CSBM per
minggu dibandingkan dengan pasien dalam kelompok kontrol. In percobaan
lain dari 713 pasien dengan konstipasi kronik, pemberian 2 atau 4 mg
prucalopride meningkatkan frekuensi tiga atau lebih CSBM per minggu, dan
peningkatan kelengkapan evakuasi, keparahan penyakit yang
dipersepsikan, dan kualitas hidup. Dalam sebuah studi tentang pasien lanjut
usia berusia 65 tahun dan lebih tua dengan konstipasi kronik, 1 mg
prucalopride diberikan selama 4 minggu, dan tidak ada perubahan dalam
interval elektrokardiogram atau QT (QTc) yang dilaporkan, menunjukkan
keamanannya untuk pengobatan konstipasi kronik pada lansia. Sebuah
studi tentang subyek Asia melaporkan tingginya kemanjuran dan keamanan
yang serupa dengan hasil uji klinis dengan populasi Barat. Dalam analisis
penelitian yang dikumpulkan dengan mata pelajaran Asia dan tiga
percobaan penting, meningkat frekuensi tinja dengan rata-rata tiga atau
lebih CSBM per minggu ditunjukkan di Asia (34% vs 11%, P <0,001) dan
wanita non-Asia (24,6% vs 10,6%, P <0,001), dan prucalopride ditemukan
aman dan ditoleransi dengan baik. Itu juga efektif dalam meningkatkan
gejala konstipasi kronik perut seperti ketidaknyamanan perut, perut
kembung, tegang, dan sakit Pergerakan. Dalam penelitian terhadap
sejumlah kecil pasien, prucalopride terbukti efektif tidak hanya dalam
perawatan sembelit transit lambat, tetapi juga buang air besar terhalang dan
IBS-C. Kejadian buruk yang biasa terjadi termasuk diare dan sakit kepala.
Tidak ada efek samping kardiovaskular yang dilaporkan. Obat-obatan
Eropa Agency (EMA) yang disetujui oleh pasiennya di konstipasi kronik.
Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memverifikasi jangka
Panjang efek, dan efek pada jenis sembelit lain seperti IBS-C, (Han Seung
Ryu dan Suck Chei Choi, 2015).

c. New Generations of 5-HT4 Receptor Agonists


Velusetrag, turunan kuinolon, dikembangkan
setelahnya prucalopride, benzofuran. Itu terbukti memiliki relative
kemanjuran dan keamanan yang tinggi dalam studi fase II pasien dengan

30
konstipasi kronik. Naronapride dan YKP10811 juga sedang dikembangkan
Lubiprostone. Lubiprostone adalah turunan prostaglandin E1 yang aktif
tipe-2 saluran klorida (ClC-2) pada permukaan apikal epitel sel-sel yang
melapisi saluran pencernaan, dan memicu sekresi elektrolit yang
mengandung air. Kemudian memasuki usus dan menginduksi pergerakan
usus, (Goldberg M., 2010).

2. Direct or Indirect Chloride Channel Activators


a. Lubiprostone
Lubiprostone tadinya disetujui untuk digunakan oleh
FDA pada orang dewasa dengan konstipasi kronik pada tahun 2006, dan
pada pasien wanita dengan IBS-C berusia 18 tahun ke atas di 2008. Dalam
studi yang diterbitkan setelah persetujuan, lubiprostone adalah terbukti
secara signifikan meningkatkan gejala pasien dengan IBS-C.32,33 Namun,
dalam studi tindak lanjut jangka Panjang 248 pasien dengan konstipasi
kronik, hanya 51% dari pasien yang dilaporkan telah menyelesaikan 48
minggu pemberian obat, meskipun fakta bahwa moderasi dosis diizinkan
berdasarkan keparahan efek samping. Perawatan yang paling umum terkait
efek samping adalah mual (19,8%), diare (9,7%), distensi abdomen (6,9%),
dan sakit kepala (6,9%). Baru-baru ini penelitian tentang lubiprostone
berfokus pada efeknya pada usus sekresi, mobilisasi lendir, dan mikrobiota,
(Han Seung Ryu dan Suck Chei Choi, 2015).

b. Linaclotide
Guanylate cyclase-C adalah reseptor di mukosa usus
sel-sel yang mengaktifkan transmembran fibrosis kistik konduktor pengatur
(CFTR). Melalui aktivasi CFTR chloride channel, mempromosikan sekresi
usus air dan elektrolit. Linaclotide, sebuah siklase guanylate-C agonis,
diberikan selama 5 hari dalam penelitian terhadap 36 wanita dengan IBS-
C, dan mengakibatkan percepatan waktu transit di ascending colon.37
Dalam dua studi fase III dari 1.604 pasien dengan IBS-C, linaclotide
meringankan gejala secara signifikan seperti sakit perut, tidak nyaman,

31
kembung, dan berlebihan mengedan, dan frekuensi tinja secara signifikan
meningkat. Perbaikan pada sakit perut atau ketidaknyamanan adalah
berbeda secara signifikan antara kelompok perlakuan (290 μg per hari) dan
kelompok plasebo. Grup-grup ini memiliki 54,8% vs 41,8% peningkatan
setelah 12 minggu administrasi, dan 53,6% vs peningkatan 36,0% setelah
26 minggu administrasi. Linaclotide mempengaruhi aferen sensorik kolon di
pasien dengan hipersensitivitas visceral kronis dengan mengurangi
aktivitas serat pengindra nyeri dengan meningkatkan ekstraseluler tingkat
siklik guanosin-3 ', 5' monofosfat (cGMP) efek superior linaclotide pada
pasien dengan konstipasi kronik telah diverifikasi dalam studi acak,
multisenter, double-blind 1.227 pasien dengan konstipasi kronik. Selain itu,
perbaikan di perut dan gejala usus dilaporkan pada pasien dengan
konstipasi kronik. Linaclotide disetujui oleh FDA pada 2012 untuk
perawatan dari IBS-C dan konstipasi kronik. Namun, penelitian lebih lanjut
tentang jangka panjangnya kemanjuran dan keamanan dibutuhkan, (Han
Seung Ryu dan Suck Chei Choi, 2015).

3. Probiotics
Studi tentang efek probiotik untuk pengobatan konstipasi
kronik heterogen dalam desain mereka, dan sangat sedikit yang dirancang
dengan baik. Dalam review sistematis dari lima acak terkontrol percobaan,
Bifidobacterium lactis DN-173 010, Lactobacillus casei Shirota, dan
Escherichia coli Nissle 1917 dilaporkan meningkatkan frekuensi buang air
besar dan konsistensi feses pada pasien dengan konstipasi kronik. Pada
penelitian baru-baru ini secara acak, double-blind, terkontrol placebo
percobaan pada pasien dengan konstipasi kronik melaporkan kemanjuran
dari persiapan sel mikroba yang mengandung fructooligosaccharide,
Bifidobacterium, dan Lactobacillus. Namun, ini Efeknya tidak dapat
langsung berkorelasi dengan efektivitas probiotik, karena probiotik
diberikan dalam bentuk sinbiotik. Dalam studi 2 minggu VSL#3 pada pasien
dengan konstipasi kronik, gejala klinis membaik dan lebih sedikit
Bifidobacterium dan spesies bacteroides terdeteksi pada tinja pasien

32
dengan sembelit. Namun, mekanisme yang digunakan probiotik
berkontribusi pada pengobatan pasien dengan konstipasi kronik belum
diidentifikasi, dan studi tindak lanjut jangka panjang jarang terjadi. Oleh
karena itu, sulit untuk membuat kesimpulan tentang kemanjuran probiotik
dalam pengobatan konstipasi kronik.

4. Antibiotics
Beberapa studi telah melaporkan hubungan antara
pertumbuhan berlebih dari mikrobiota usus penghasil metana dan sembelit.
Pertumbuhan berlebih dari usus penghasil metana mikroba telah dilaporkan
memiliki korelasi yang lebih tinggi dengan konstipasi kronis daripada IBS-
C. Dalam sebuah penelitian terbaru melaporkan asosiasi antara konstipasi
kronis dan keberadaan flora metanogenik, ates napas glukosa dilakukan
pada 96 pasien dengan konstipasi kronis dan 106 subyek sehat.
Berdasarkan ≥3 bagian per juta sebagai nilai dasar positif, kepositifan
dalam kelompok kontrol, kelompok sembelit transit normal, dan sembelit
transit lambat kelompok masing-masing 28%, 44%, dan 75%. Enam Puluh
Dua pasien dengan konstipasi dan 49 subyek sehat terdaftar dalam studi
transit kolon menggunakan penanda radio-opak dan tes napas laktulosa.
Hasil penelitian menunjukkan positif itu pada kelompok kontrol, kelompok
sembelit transit normal, dan kelompok sembelit transit lambat adalah 12%,
13%, dan 59%, masing-masing. Efek positif neomisin dan rifaximin
pengobatan pada pasien dengan IBS-C telah dilaporkan. Di sebuah studi
skala kecil baru-baru ini dari pasien dengan metana-positif. menjadi lebih
efektif daripada neomisin saja. Namun, itu kriteria untuk tes nafas belum
ditetapkan dengan benar, dan karena itu sulit untuk menyimpulkan bahwa
ada hubungan antara produksi metana dan sembelit. Sebelum memulai
pengobatan dengan antibiotik, standardisasi metode diagnostik, identifikasi
mekanisme, evaluasi bakteri resisten antibiotik dalam penggunaan jangka
panjang, dan keamanan harus ditetapkan, (Han Seung Ryu dan Suck Chei
Choi, 2015).

33
5. Bile Acid Transporter Inhibitors
Biasanya, lebih dari 95% asam empedu diserap kembali
dalam ileum terminal. Asam empedu yang tidak diserap bergerak ke usus
besar meningkatkan peristaltik dan mengaktifkan adenilat siklase, yang
meningkatkan permeabilitas selaput lendir usus besar, mengakibatkan
diare. Elobixibat, merupakan suatu empedu ileum selektif inhibitor
transporter asam diberikan dengan dosis 20 mg sekali sehari selama 2
minggu menjadi 36 pasien wanita dengan konstipasi kronik, berkurang
transit kolon dan gejala yang membaik seperti tinja konsistensi, frekuensi
feses, dan mengejan yang berlebihan. Pada percobaan fase IIb dari 190
pasien dengan konstipasi kronik, pasien secara acak diminta untuk
menerima plasebo atau elobixibat 5 mg, 10 mg, atau 15 mg sekali sehari
selama 8 minggu. Setelah minggu pertama, kelompok 10 mg dan 15 mg
menunjukkan tanda-tanda perbaikan dalam frekuensi tinja dan gejala
sembelit dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan efek ini
dipertahankan untuk seluruh periode 8 minggu. Efek samping yang paling
umum meliputi sakit perut dan diare, yang tergantung dosis. Namun,
penelitian lebih lanjut tentang kemanjuran, keamanan, dan efek asam
empedu yang berlebihan pada selaput lender usus besar diperlukan.
Perawatan Farmakologis untuk yang diinduksi, (Han Seung Ryu dan Suck
Chei Choi, 2015).

6. Pharmacologic Treatment for Opioid-Induced Constipation


Opioid memberikan efek analgesik dengan mengikat μ-
opioid reseptor di sistem saraf pusat. Mereka bisa menyebabkan sembelit
dengan menghambat buang air besar melalui reseptor pada μ-opioid di
saluran pencernaan. Dalam sebuah penelitian pasien dengan disfungsi
usus yang diinduksi opioid, alvimopan, antagonis reseptor opioid yang
bekerja secara perifer (PAMORA), frekuensi tinja meningkat secara
signifikan selama 8 jam dan waktu yang dibutuhkan untuk evakuasi pertama
dibandingkan dengan placebo. Alvimopan dilaporkan efektif dalam pasien
dengan reseksi ileus dan usus pasca operasi yang menerima analgesia
yang dikendalikan pasien. Alvimopan disetujui oleh FDA pada tahun 2008.
34
Methylnaltrexone, disetujui oleh FDA pada 2008, adalah penghambat
selektif reseptor opioid terletak di sel-sel otot usus, dan menormalkan usus
berfungsi tanpa mempengaruhi efek analgesik opioid. Studi pendahuluan
pada TD-1211 dan NKTR-118, oral baru PAMORA, telah dilaporkan.59
Lubiprostone, selektif Aktivator saluran ClC-2 yang disetujui oleh FDA pada
2013, adalah diberikan 48 mg per hari selama 12 minggu untuk pasien
dengan sembelit yang diinduksi opioid, frekuensi tinja spontan,
ketidaknyamanan perut, mengejan, dan konsistensi feses meningkat ke
tingkat yang lebih besar di lubiprostone daripada bahwa dalam kelompok
plasebo. Selain itu, naltrexone diperpanjang, kombinasi naltrexone dan
morfin, dan tapentadol, kombinasi dari reuptake norepinefrin inhibitor dan
agonis reseptor opioid, sedang dalam pengembangan. Obat-obatan ini
diharapkan memiliki arti yang lebih penting di masa depan karena
meningkatnya penggunaan opioid, (Han Seung Ryu dan Suck Chei Choi,
2015).

35
Gambar 15 Terapi Farmakologi Terbaru untuk Konstipasi, (Han Seung
Ryu dan Suck Chei Choi, 2015).

c. Terapi Pembedahan
Stimulasi saraf sakral dapat memperbaiki gejala sembelit
dengan merangsang saraf sakral parasimpatis pada saluran usus, yang
memainkan peran penting dalam mempercepat pergerakan usus besar.
Ada anecdotal laporan stimulasi saraf sakral untuk pasien dengan lambat
sembelit transit yang tidak merespons konvensional pengobatan. Dalam
sebuah penelitian terhadap 45 pasien dengan sembelit yang sulit
disembuhkan, 39 (87%) pasien menunjukkan peningkatan pada gejala
mereka. Namun, dalam penelitian lain, 58% pasien mengalami rasa sakit
atau kurang memiliki efek terapeutik. Apalagi setelah tiga tahun
pengamatan setelah stimulasi saraf sakral sebagai suatu pengobatan,

36
kelompok sembelit menunjukkan kemanjuran jangka panjang yang buruk.
Meskipun stimulasi saraf sacral terapi dapat dianggap sebagai metode non-
invasif untuk merawat pasien dengan sembelit yang tak tertahankan di
masa depan, itu tidak memiliki dasar yang cukup untuk bertindak sebagai
pengobatan lini pertama. sembelit refraktori, dan penelitian lebih lanjut
tentang yang sesuai metode stimulasi diperlukan. Kolektomi total atau
subtotal dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan sembelit yang tidak
tertangani yang tidak menanggapi medis pengobatan. Kepuasan pasien
pasca operasi bervariasi, berkisar dari 39−100% . Dalam studi jumlah yang
relatif besar pasien menggunakan kuesioner, kolektomi dan ileorectal
anastomosis terbukti memperbaiki kualitas hidup dalam jangka waktu
panjangnya. Selain itu, terapi pembedahan dilakukan bila penyebab
obstruksi bukan karena suatu adesi missal: hernia inkarserata, keganasan
kolorektal, dimana jenis operasi sesuai dengan penyebab obstruksi. Pasien
tanpa kelainan pada bagian kecil manometri usus sebelum operasi
cenderung memiliki prognosis yang baik. Oleh karena itu, pasien harus
diskrining sebelumnya untuk operasi melalui pemeriksaan terperinci dari
motilitas usus mereka, (Han Seung Ryu dan Suck Chei Choi, 2015).

6. Konsultasi
Evidence based medicine dan konstipasi1
Rekomendasi umum
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat
merupakan bagian penting dari evaluasi komperhensif bayi
atau anak dengan konstipasi (III).
- Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap
dan cermat ternyata cukup untuk mendiagnosis konstipasi
fungsional pada banyak kasus (III).
- Uji darah samar dalam tinja dianjurkan pada semua bayi
dengan konstipasi dan pada anak dengan konstipasi yang
juga mengalami sakit perut, gagal tumbuh, diare atau riwayat
keluarga menderita polip atau kanker kolorektal (III).

37
- Pada kasus tertentu, pemeriksaan foto polos abdomen, bila
diinterpretasi dengan benar, dapat bermanfaat dalam
mendiagnosis fecal impaction (II-2).
- Biopsi rektum dengan pemeriksaan histopatologis dan
manometri rektum merupakan satu-satunya cara yang akurat
untuk menyingkirkan penyakit Hirschsprung (II-1).
- Pada kasus tertentu, pengukuran waktu singgah dengan
petanda radioopak dapat menentukan apakah terdapat
konstipasi (II-3).

Rekomendasi untuk bayi


- Pada bayi, evakuasi feses dapat dilakukan dengan
supositoria gliserin. Enema harus dihindari (II-3).
- Pada bayi, jus yang mengandung sorbitol, seperti jus prune,
pear, dan apel, dapat mengurangi konstipasi (II-3).
- Barley malt extract, corn syrup, latulosa atau sorbitol (laksatif
osmotik) dapat digunakan sebagai pelunak tinja (III).
- Mineral oil (parafin) dan laksatif stimulan tidak dianjurkan
pada bayi (III).

Rekomendasi untuk anak


- Pada anak, evakuasi tinja dapat dilakukan dengan
pengobatan peroral atau rektal termasuk enema (II-3).
- Pada anak, diet seimbang yang mengandung whole grains,
buah dan sayuran dianjurkan sebagai bagian pengobatan
konstipasi (III).
- Pemakaian obat-obatan dikombinasikan dengan modifikasi
perilaku dapat mengurangi waktu remisi pada anak dengan
konstipasi fungsional (I).
- Mineral oil (pelicin) dan magnesium hidroksida, laktulosa dan
sorbitol (laksatif osmotik) merupakan obat yang aman dan
efektif (I).

38
- Terapi emergensi dengan pemberian laksatif stimulan dapat
dilakukan pada kasus-kasus tertentu (II-3).
- Senna dan bisakodil (laksatif stimulan) dapat bermanfaat
pada kasus tertentu yang sulit ditangani (II-1).
- Cisapride telah terbukti bermanfaat sebagai laksatif pada
beberapa penelitian (walaupun tidak semua) dan dapat
digunakan pada kasus tertentu (I).
- Larutan elektrolit polietilen glikol (PEG), diberikan dalam dosis
rendah dalam waktu lama, mungkin merupakan alternatif
pengobatan efektif pada konstipasi yang sulit diatasi (III).

Catatan:
Kategori kualitas bukti adalah sebagai berikut:
I Bukti diperoleh dari minimal satu penelitian RCT
II-1 Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol
tanpa randomisasi
II-2 Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol,
terutama pada lebih dari 1 senter atau pusat penelitian
II-3 Bukti penelitian dari laporan kasus berkala dan multipel
dengan atau tanpa intervensi
III Pendapat ahli yang didasarkan pada pengalaman klinis,
penelitian deskriptif, atau laporan komite ahli

2.2.8 Kegagalan Terapi


Kegagalan terapi terjadi pada 20% anak dengan konstipasi
fungsional. Anak yang cenderung mengalami kegagalan terapi umumnya
adalah mereka yang telah mengambil keuntungan di balik keadaan
konstipasinya, misalnya mendapatkan perhatian orangtua yang
sebelumnya tidak didapatkannya.

39
BAB III
KESIMPULAN

Konstipasi sering ditemukan pada anak, baik yang akut maupun


kronis. Sebagian besar (90%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi
fungsional. Pada sebagian besar kasus, anamnesis dan pemeriksaan fisik
saja sudah cukup memadai untuk penatalaksanaan anak dengan
konstipasi. Pada sebagian kecil kasus, yang diduga penyebabnya organik,
beberapa pemeriksaan perlu dilakukan untuk memastikan penyebabnya.
Pengobatan konstipasi terdiri dari evakuasi tinja bila terjadi skibala dan
dilanjutkan dengan terapi rumatan yang terdiri dari obat, modifikasi perilaku,
edukasi pada orangtua dan konsultasi. Terapi memerlukan waktu lama
(berbulan-bulan) dan memerlukan kerjasama yang baik dengan orangtua.
Prognosis umumnya baik sepanjang orangtua dan anak dapat mengikuti
program terapi dengan baik.

40
DAFTAR PUSTAKA

American Gastroenterological Association, Bharucha AE, Dorn SD, Lembo


A, Pressman A. American Gastroenterological As-sociation medical
position statement on constipation. Gastro-enterology 2013;144:211-
217.
Andorsky RI, Goldner F. Colonic lavage solution (polyethyleneglycol
electrolyte lavage solution) as a treatment for chronic constipation: a
double-blind, placebo-controlled study. Am J Gastroenterol
1990;85:261-265.
Attar A, Lémann M, Ferguson A, et al. Comparison of a low dose
polyethylene glycol electrolyte solution with lactulose for treatment of
chronic constipation. Gut 1999;44:226-230.
Borowitz S. Constipation. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/928185-overview.
Cinca R, Chera D, Gruss HJ, Halphen M. Randomised clinical trial:
macrogol/PEG 3350+electrolytes versus prucalopride in the
treatment of chronic constipation - a comparison in a con-trolled
environment. Aliment Pharmacol Ther 2013;37:876-886.
Chapman RW, Stanghellini V, Geraint M, Halphen M. Random-ized clinical
trial: macrogol/PEG 3350 plus electrolytes for treatment of patients
with constipation associated with irritable bowel syndrome. Am J
Gastroenterol 2013;108:1508-1515.
Chey WD, Paré P, Viegas A, Ligozio G, Shetzline MA. Tegaserod for female
patients suffering from IBS with mixed bowel habits or constipation:
a randomized controlled trial. Am J Gastroen-terol 2008;103:1217-
1225.
Constipation in children. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com/constipation_in_chldren/article_e
m.htm. 2019
Delegge M, Kaplan R. Efficacy of bowel preparation with the use of a
prepackaged, low fibre diet with a low sodium, magnesium citrate

41
cathartic vs. a clear liquid diet with a standard sodium phosphate
cathartic. Aliment Pharmacol Ther 2005;21:1491-1495.
Dianne Yusri. Konstipasi pada Anak. Kalbemed. From web
http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_200Konstipasi%20Anak.pdf
. 2019
DiPalma JA, DeRidder PH, Orlando RC, Kolts BE, Cleveland MB. A
randomized, placebo-controlled, multicenter study of the safety and
efficacy of a new polyethylene glycol laxative. Am J Gastroenterol
2000;95:446-450.
Dipalma JA, Cleveland MV, McGowan J, Herrera JL. A random-ized,
multicenter, placebo-controlled trial of polyethylene gly-col laxative
for chronic treatment of chronic constipation. Am J Gastroenterol
2007;102:1436-1441.
Endyarni B, Syarif H Badriul. Konstipasi Fungsional.Sari Pediatri, Vol. 6, No.
2, September 2004. 75-90
Essential clinical anatomy.,Keith L Moore, Anne 2002.
Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY,
Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar
gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2010.
h.201-14
Goldberg M, Li YP, Johanson JF, et al. Clinical trial: the efficacy and
tolerability of velusetrag, a selective 5-HT4 agonist with high intrinsic
activity, in chronic idiopathic constipation − a 4-week, randomized,
double-blind, placebo-controlled, dose-response study. Aliment
Pharmacol Ther 2010;32:1102-1112.
Guyton,Arthur C. Textbook of medical physiology / Arthur C. Guyton, John
E. Hall.—11th ed. 2007.
Ryu HS, and Choi SC. Recent Updates on the Treatment of Constipation,
Department of Internal Medicine, Digestive Disease Research
Institute, Wonkwang University College of Medicine, 2015

42
Kamm MA, Mueller-Lissner S, Wald A, Richter E, Swallow R, Gessner U.
Oral bisacodyl is effective and well-tolerated in pa-tients with chronic
constipation. Clin Gastroenterol Hepatol 2011;9:577-583.
Kamm MA, Muller-Lissner S, Talley NJ, et al. Tegaserod for the treatment
of chronic constipation: a randomized, double-blind, placebo-
controlled multinational study. Am J Gastroenterol 2005;100:362-
372.
Kienzle-Horn S, Vix JM, Schuijt C, Peil H, Jordan CC, Kamm MA. Efficacy
and safety of bisacodyl in the acute treatment of constipation: a
double-blind, randomized, placebo-controlled study. Aliment
Pharmacol Ther 2006;23:1479-1488.
Verghese VJ, Ayub K, Qureshi W, Taupo T, Graham DY. Low-salt bowel
cleansing preparation (LoSo Prep) as prepara-tion for colonoscopy:
a pilot study. Aliment Pharmacol Ther 2002;16:1327-1331.
Wyllie R. Constipation. Dalam : Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB,
th
Stanton BF, penyunting. Nelson Text Book of Pediatrics. 18 ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007. h.1525-65
World Gastroenterology Organisation. World gastroenterology organization
practice guidelines: constipation. WGO. 2007.

43

Anda mungkin juga menyukai