Pembimbing :
dr. Hendrata, Sp.Pd
Penyusun :
Azrul Hildan Safrizal 20170400208
Bagus Arizona Putra 20170400209
Bagus Eko Andreanto 20170400210
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.
Sementara pada populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap
1 juta orang, 3000 orang terdiagnosa efusi pleura. Secara keseluruhan,
insidensi efusi pleura sama antara pria dan wanita. Namun terdapat
perbedaan pada kasus-kasus tertentu dimana penyakit dasarnya
dipengaruhi oleh jenis kelamin. Misalnya, hampir dua pertiga kasus
efusi pleura maligna terjadi pada wanita. Dalam hal ini efusi pleura
maligna paling sering disebabkan oleh kanker payudara dan keganasan
ginekologi. Sama halnya dengan efusi pleura yang berhubungan
dengan sistemic lupus erytematosus, dimana hal ini lebih sering
dijumpai pada wanita. Di Amerika Serikat, efusi pleura yang
berhubungan dengan mesotelioma maligna lebih tinggi pada pria. Hal
ini mungkin disebabkan oleh tingginya paparan terhadap asbestos.
b. Bila efusi terjadi akibat obstruksi aliran getah bening, cairannya bisa
transudat atau eksudat dan ada limfosit.
1. Transudat
2. Eksudat
Rivalta - +
2.4 Etiologi
Infeksi
Efusi Pleura karena Virus atau mikoplasma agak jarang. Bila terjadi
jumlahnya pun tidak banyak dan kejadiannya hanya selintas saja. Jenis-
jenis virusnya adalah : Echo Virus, Coxsackie Virus, Chlamidia,
Rickettsia, dan Mikoplasma. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi
leukosit antara 100 – 6000 per cc.
3. Pleuritis Tuberkulosa
Non Infeksi
Gangguan Kardiovaskuler
Payah jantung (decompensatio cordis) adalah penyebab terbanyak
timbulnya efusi pleura. Penyebab Iainnya dalah perikarditis dan
sindrom vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat terjadinya
peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler pulmonal
akan menurunkan kapasitas reabsorbsi pembuluh darah sub pleura
dan aliran getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga
filtrasi cairan ke rongga pleura dan paru-paru meningkat.
Emboli Pulmonal
Efusi pleura dapat terjadi pada sisi paru yang terkena emboli
pulmonal. Keadaan ini dapat disertai infark paru ataupun tanpa infark.
Emboli menyebabkan turunnya aliran darah arteri pulmonalis,
sehingga terjadi iskemia maupun kerusakan parenkim paru dan
memberikan peradangan dengan efusi yang berdarah (warna merah).
Di samping itu permeabilitas antara satu atau kedua bagian pleura
akan meningkat, sehingga cairan efusi mudah terbentuk. Cairan efusi
biasanya bersifat eksudat, jumlahnya tidak banyak, dan biasanya
sembuh secara spontan, asal tidak terjadi emboli pulmonal lainnya.
Pada efusi pleura dengan infark paru jumlah cairan efusinya lebih
banyak dan waktu penyembuhannya juga lebih lama.
Hipoalbuminemia
Efusi pleura juga terdapat pada keadaan hipoalbuminemia seperti
sindrom nefrotik, malabsorbsi atau keadaan lain dengan asites serta
anasarka. Efusi terjadi karena rendahnya tekana osmotik protein
cairan pleura dibandingkan dengan tekana osmotik darah. Efusi yang
terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat.
Trauma
yaitu trauma tumpul, laserasi, Iuka tusuk pada dada, rupture
esophagus karena muntah hebat atau karena pemakaian alat pada
saat tindakan esofagoskopi.
Uremia
Salah satu gejala penyakit uremia lanjut adalah poliserositis yang
terdiri dari efusi pleura, efusi perikard dan efusi peritoneal (asites).
Mekanisme penumpukan cairan ini belum diketahui betul, tetapi
diketahui dengan timbulnya eksudat terdapat peningkatan
permeabilitas jaringan pleura, perikard atau peritoneum. Sebagian
besar efusi pleura karena uremia tidak memberikan gejala yang jelas
seperti sesak nafas, sakit dada, atau batuk.
Mixedema
Efusi pleura dan efusi perikard dapat terjadi sebagai bagian
miksedema. Efusi dapat terjadi tersendiri maupun secara bersama-
sama. Cairan bersifat eksudat dan mengandung protein dengan
konsentrasi tinggi.
Limfedema
Limfedema secara kronik dapat terjadi pada tungkai, muka, tangan
dan efusi pleura yang berulang pada satu atau kedua paru. Pada
beberapa pasien terdapat juga kuku jari yang berwarna kekuningan.
Reaksi Hipersensitif terhadap obat
Pengobatan dengan nitrofurantoin, metisergid, praktolol kadang-
kadang memberikan reaksi/perubahan terhadap paru-paru dan pleura
berupa radang dan dan kemudian juga akan menimbulkan efusi
pleura.
Efusi pleura idiopatik
Pada beberapa efusi pleura, walaupun telah dilakukan prosedur
diagnostik secara berulang-ulang (pemeriksaan radiologis, analisis
cairan, biopsy pleura), kadang-kadang masih belum bisa didapatkan
diagnostik yang pasti. Keadaan ini dapat digolongkan dalam efusi
pleura idiopatik.
Efusi pleura dapat terjadi secara steril karena reaksi infeksi dan
peradangan yang terdapat di bawah diafragma, seperti pankreatitis,
pseudokista pankreas atau eksaserbasi akut pankreatitis kronik,
abses ginjal, abses hati, abses limpa, dll. Biasanya efusi terjadi pada
pleura kiri tapi dapat juga bilateral. Mekanismenya adalah karena
berpindahnya cairan yang kaya dengan enzim pankreas ke rongga
pleura melalui saluran getah bening. Efusi disini bersifat eksudat
serosa, tetapi kadang-kadang juga dapat hemoragik. Efusi pleura juga
sering terjadi setelah 48-72 jam pasca operasi abdomen seperti
splenektomi, operasi terhadap obstruksi intestinal atau pasca operasi
atelektasis.
Sirosis Hati
Efusi Pleura dapat terjadi pada pasien sirosis hati. Kebanyakan efusi
Pleura timbul bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat
kesamaan antara cairan asites dengan cairan pleura, karena terdapat
hubungan fungsional antara rongga pleura dan rongga abdomen
melalui saluran getah bening atau celah jaringan otot diafragma.
Sindrom Meig
Tahun 1937 Meig dan Cass menemukan penyakit tumor pada ovarium
(jinak atau ganas) disertai asites dan efusi pleura. Patogenesis
terjadinya efusi pleura masih belum diketahui betul. Bila tumor
ovarium tersebut dioperasi, efusi pleura dan asitesnya pun segera
hilang. Adanya massa di rongga pelvis disertai asites dan eksudat
cairan pleura sering dikira sebagai neoplasma dan metastasisnya.
Dialisis Peritoneal
Efusi pleura dapat terjadi selama dan sesudah dilakukannya dialisis
peritoneal. Efusi terjadi pada salah satu paru maupun bilateral.
Perpindahan cairan dialisa dari rongga peritoneal ke rongga pleura
terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya
komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisa.
2.6 Patofisiologi
Permeabilitas
Tekanan hidrostatik Edema
vaskular
Efusi pleura
2. USG Dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan.
Jumlahnya sedikit dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini sangat
membantu sebagai penuntun waktu melakukan aspirasi cairan dalam
rongga pleura. Demikian juga dengan pemeriksaan CT Scan dada.
3. CT scan dada
CT scan dada dapat menunjukkan adanya perbedaan densitas cairan
dengan jaringan sekitarnya sehingga sangat memudahkan dalam
menentukan adanya efusi pleura. Selain itu juga bisa menunjukkan
adanya pneumonia, abses paru atau tumor. Hanya saja pemeriksaan ini
tidak banyak dilakukan karena biayanya masih mahal.
4. Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui
torakosentesis.Torakosentesis adalah pengambilan cairan melalui
sebuah jarum yang dimasukkan diantara sel iga ke dalam rongga dada
di bawah pengaruh pembiasan lokal dalam dan berguna sebagai sarana
untuk diagnostik maupun terapeutik. Pelaksanaan torakosentesis
sebaiknya dilakukan pada penderita dengan posisi duduk. Aspirasi
dilakukan toraks, pada bagian bawah paru di sela iga v garis aksilaris
media dengan memakai jarum Abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000 — 1500 cc
pada setiap kali aspirasi. Adalah lebih baik mengerjakan aspirasi
berulang-ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat
menimbulkan pleural shock (hipotensi) atau edema paru. Edema paru
dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme
sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya
tekanan intra pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran
darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal
5. Biopsi pleura
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya maka
dilakukan biopsi dimana contoh lapisan pleura sebelah luar untuk
dianalisa. Pemeriksaan histologi satu atau beberapa contoh jaringan
pleura dapat menunjukkan 50 - 75% diagnosis kasus-kasus pleuritis
tuberkulosa dan tumor pleura. Bila ternaya hasil biopsi pertama tidak
memuaskan, dapat dilakukan beberapa biopsi ulangan. Pada sekitar
20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh,
penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan. Komplikasi
biopsi antara lain pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau
tumor pada dinding dada.
7. Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber
cairan yang terkumpul. Bronkoskopi biasanya digunakan pada
kasuskasus neoplasma, korpus alineum dalam paru, abses paru dan
lain-lain
8. Scanning Isotop
Scanning isotop biasanya digunakan pada kasus-kasus dengan emboli
paru.
Adanya gejala subyektif seperti sakit atau nyeri, dipsneu, rasa berat
dalam dada.
2. Pemasangan WSD
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara
lambat dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:
a) Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9
linea aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea
medioklavikuralis.
b) Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal
selebar kurang lebih 2 cm sampai subkutis.
c) Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
d) Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai
mendapatkan pleura parietalis.
e) Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian
trokar ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi
selang toraks.
f) Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat
dengan kasa dan plester.
g) Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung
selang diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar
udara dari luar tidak dapat masuk ke dalam rongga pleura.
h) WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada
selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru
mengembang. Untuk memastikan dilakukan foto toraks.
i) Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100 ml dan
jaringan paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi
maksimum.
3. Pleurodesis
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan
penanganan terpilih pada efusi pleura dengan keganasan. Bahan yang
digunakan adalah sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard,
5 fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat
dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal tiotepa 45 mg)
diberikan selang waktu 7-10 hari; pemberian obat tidak perlu Pemasangan
WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang
menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah penimbunan kembali
cairan dalam rongga tersebut.
4. Chest Tube
Jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya banyak, lebih baik dipasang
selang dada (chest tube), sehingga cairan dapat dialirkan dengan lambat
tapi sempurna. Tidaklah bijaksana mengeluarkan lebih dari 500 ml cairan
sekaligus. Selang dapat diklem selama beberapa jam sebelum 500 ml
lainnya dikeluarkan. Drainase yang terlalu cepat akan menyebabkan
distress pada pasien dan disamping itu dapat timbul edema paru.
Kanker
Beberapa kanker menyebar ke paru-paru atau pleura. Hal ini dapat
menyebabkan sejumlah besar cairan terbentuk di sekitar paru-paru.
Dokter biasanya mengeluarkan cairan dengan jarum. Jika cairan terus
masuk, mungkin perlu memasukkan Chest tube untuk pertama kali
mengeuarkan cairan, dan kemudian mengirimkan obat-obatan khusus
ke dalam dada yang mengurangi kemungkinan terjadinya penumpukan
cairan lagi.
Kenyamanan (comfort)
Penumpukan cairan atau udara di dada yang besar bisa membuat sulit
bernafas. Melepaskan sebagian cairan atau udara dapat mengurangi
ketidaknyamanan dan memudahkan pasien bernafas.
2.10 Prognosis
Bahar, Asril. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid ll. Ed. 3. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI
Emedicine.medscape.com/article/299959-overview
Halim, Hadi. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid ll. Ed. 3. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI