Oleh
Marda Aditya Suphardiyan
NIM 162310101184
NIM : 162310101184
Hari :
Tanggal :
TIM PEMBIMBING
Ns. Ns.
NIP NIP
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................ii
1.3 Epidemiologi.................................................................................... 3
1.5 Klasifikasi......................................................................................... 4
1.6 Patofisiologi......................................................................................5
3.1 Pengkajian........................................................................................12
3.4 Evaluasi............................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................26
iii
BAB 1. LAPORAN PENDAHULUAN
1
Duktus sistikus kira-kira panjangnya 3,5 cm. Berjalan dari leher
kandung empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus dan
membentuk saluran empedu ke duodenum (Pearce, 2016).
1.2 Definisi
2
pengosongan kandung empedu dan merupakan salah satu penyebab insiden
kolelitiasis yang tinggi, serta terjadinya infeksi atau radang empedu memberikan
peran dalam pembentukan batu empedu (Rendi, 2012).
1.3 Epidemiologi
Kolelitiasis menjadi penyakit yang cukup umum dan dapat ditemukan pada
sekitar 6% pria dan 9% wanita. Prevalensi tertinggi kolelitiasis terdapat pada
populasi penduduk asli Amerika. Kolelitiasis jarang terjadi pada penduduk Afrika
atau Asia. Banyaknya penduduk yang mengalami obesitas mengakibatkan
prevalensi kolelitiasis di Amerika meningkat (Tanaja & Meer, 2018).
1.4 Etiologi
Etiologi secara pastinya belum diketahuiakan tetapi ada faktor predisposisi
yang penting diantaranya: gangguan metabolisme, yang menyebabkan terjadinya
perubahan komposisi empedu, adanya statis empedu,dan infeksi atau radang pada
empedu. Perubahan yang terjadi pada komposisi empedu sangat mungkin menjadi
faktor terpenting dalam terjadinya pembentukan batu empedu karena hati
penderita cholelitiasis kolesterol mengekskresi empedu yang sangat jenuh dengan
kolesterol. Kolesterol yang berlebihan tersebut mengendap di dalam kandung
empedu (dengan cara yang belum diketahui secara pasti) untuk membentuk batu
empedu, gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingterrodi, atau
mungkin keduanya dapat menyebabkan statis empedu dalam kandung empedu.
Faktor hormon (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan
3
keterlambatan pengosongan kandung empedu, infeksi bakteri atau radang empedu
dapat menjadi penyebab terbentuknya batu empedu. Mukus dapat meningkatkan
viskositas empedu dan unsur selatau bakteri dapat berperansebagai pusat
pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu, dibanding
penyebab terbentuknya cholelitiasis (Haryono,2012).
1.5 Klasifikasi
Menurut Sudoyo dalam Amri (2017) dari gambaran makroskopik dan
komposisi kimia, batu saluran empedu ini dapat di klasifikasikan menjadi tiga
kategori yaitu :
a. Batu kolesterol, yaitu komposisi kolesterol lebih dari 70%. Batu kolesterol
mengandung campuran kolesterol (50-99% dari beratnya), matriks
glikoprotein, dan sedikit kalsium dan bilirubin. Pembentukan kristal
kolesterol membutuhkan satu atau lebih dari faktor berikut: supersaturasi
kolesterol, percepatan nukleasi, atau hipomotilitas kandung empedu, stasis
cairan empedu, dan faktor genetik.
b. Batu pigmen coklat atau batu calcium bilirubinate yang mengandung Ca-
bilirubin sebagai komponen utama. Batu pigmen coklat mengandung
kalsium bilirubinat, kalsium palmitat, dan stearat, serta kolesterol. Batu
jenis ini jarang ditemukan di kandung empedu. Batu ini terbentuk di
duktus biliaris (saluran empedu) dan berhubungan dengan stasis cairan
empedu yang terinfeksi, dan biasanya radiolusen. Bakteri ditemukan pada
90% kasus dan sering intrahepatik. Mereka yang berisiko mendapat batu
jenis ini adalah penderita kolangitis sklerosan, penyakit Caroli, infestasi
parasit di traktus biliaris (misalnya oleh Clonorchis sinensis dan Ascaris
lumbricoides)
c. Batu pigmen hitam yang kaya akan residu hitam yang tak terekstraksi.
Biasanya terjadi pada klien yang memiliki riwayat penyakit hemolitik
kronik, sirosis hepar, Gilber’ts syndrome atau cystic fibrosis. Batu pigmen
hitam terutama terbentuk dari polimer pigmen bilirubin insolubel yang
bercampur dengan kalsium fosfat dan karbonat. Tidak ada kolesterol di
4
dalamnya. Dikatakan bahwa terbentuknya batu ini adalah akibat
supersaturasi cairan empedu dengan bilirubin tak terkonjugasi, perubahan
pH dan kalsium, serta produksi berlebih matriks organik (glikoprotein).
Mereka yang berisiko mendapat batu jenis ini adalah penderita hemolisis
kronik (misalnya sferositosis herediter atau penyakit sel sabit), dan
prostese mekanik (misalnya katup jantung) dalam sirkulasi, sirosis
(khususnya alkoholik), dan penyakit Crohn.
1.6 Patofisiologi
1. Batu pigmen
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion
ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada
kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karna
adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan
karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang
akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini
disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut
dalam lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak
terkonjugasi yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.
5
(fosfolipid). Batu empedu kolesterol terbentuk terutama karena sekresi
kolesterol berlebihan oleh sel-sel hati dan hipomotilitas atau gangguan
pengosongan kantong empedu.
Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak menunjukkan gejala pada
saat didiagnosis maupun perawatan. Namun, sebagian kecil pasien dengan batu
6
empedu menunjukkan gejala kolik biller (nyeri pada perut atas) lebih dari 30
menit dan kurang dari 12 jam. Letak nyeri yang dikeluhkan terdapat pada
epigastrium, terkadang pada hypochondria kiri dan prekordial (Setiati dkk, 2015).
7
kandung empedu. Prosedur ini menggunakan gelombang suara (sound
wave) untuk membentuk gambaran (image) suatu organ tubuh.Indikasi
adanya kolesistitis akut pada pemeriksaan USG ditunjukkan dengan
adanya batu, penebalan dinding kandung empedu, cairan perikolesistikus
dan Murphy sign positif akibat kontak dengan probe USG.
2. Computed Tomography (CT) Scan
Deteksi batu empedu dapat dilakukan dengan CT scan, namun
hasilnya tidak seakurat USG dalam mendeteksi batu empedu.
3. Cholescintigraphy
Pemeriksaan cholescintigraphy menggunaka zat radioaktif, biasanya
derivat imidoacetic acid, yang dimasukkan kedalam tubuh secara
intravena, zat ii akan diabsorbsi hati dan diekskresikan kedalam empedu.
Scan secara serial menunjukkan radioaktivitas didalam kandung empedu,
duktus koledokus dan usus halus dalam 30-60 menit. Pemeriksaan ini
dapat memberikan keterangan mengenai adanya sumbatan pada duktus
sistikus.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography (MRCP)
MRCP merupakan suatu pemeriksaan yang relatif baru, yang
menggunakan MRI imaging dengan software khusus. Pemeriksaan ini
mampu menghasilkan gambaran yang serupa Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP) tanpa risiko sedasi, pankreatitis atau
perforasi. MRCP membantu dalam menilai obstruksi biliaris dan anatomi
duktus pankreatikus. Pemeriksaan ini lebih efektif dalam mendeteksi batu
empedu dan mengevaluasi kandung empedu untuk melihat adanya
kolesistitis.
5. Oral Cholecystography
Merupakan suatu pemeriksaan non invasif lain, namun jarang
dilakukan. Pemeriksaan ini memerlukan persiapan terlebih dahulu, yaitu
pasien harus menelan sejumlah zat kontras oral yang mengandung iodine
sehari sebelum dilakukan pemeriksaan. Zat kontras tersebut akan
8
diabsorpsi dan disekresikan kedalam empedu. Iodine didalam zat kontras
menghsilkan opasifikasi dari lumen kandung empedu pada foto polos
abdomen keesokan harinya. Batu empedu tampak sebagai gambaran filling
defects. Pemeriksaan ini terutama digunakan untuk menentukan keutuhan
duktus sistikus yang diperlukan sebelum melakukan lithotripsy atau
metode lain untuk menghancurkan batu empedu. Pemeriksaan ini
memerlukan persiapan 48 jam sebelumnya.
6. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) adalah
pemeriksaan gold standart untuk mendeteksi batu empedu didalam duktus
koledokus dan mempunyai keuntungan terapeutik untuk mengangkat batu
empedu. ERCP adalah suatu teknik endoskopi untuk visualisasi duktus
koledokus dan duktus pankreatikus. Pada pemeriksaan ini menggunakan
suatu kateter untuk memasukkan alat yang dimasukkan kedalam duktus
biliari dan pankreatikus untuk mendapatkan gambaran x-ray dengan
fluoroscopy. Selama prosedur, tenaga klinis dapat melihat secara langsung
gambaran endoskopi dari duodenum dan papila major, serta gambaran
duktus biliari dan pankreatikus.
7. Endoscopic Ultrasonography (EUS)
Endoscopic Ultrasonography (EUS) adalah suatu prosedur diagnostik
yang menggunakan ultrasound frekuensi tinggi untuk mengevaluasi dan
mendiagnosis kelainan traktus digestivus. EUS menggunakan
duodenoskop dengan probe ultrasound pada bagian distal yang dapat
menggambarkan organ, pembuluh darah, nodus limfatikus, dan duktus
empedu. Dari bagian dalam lambung atau duodenum, endoskop dapat
memberikan gambaran pankreas dan struktur yang berdekatan. EUS dapat
mendiagnosis secara akurat adanya batu empedu didalam duktus
koledokus tetapi tidak mempunyai nilai terapeutik seperti ERCP.
9
1. Pembedahan
Menurut Diane C.Boughman&JoAnn C (2000) adapun jenis
pembedahan untuk mengatasi batu empedu yakni :
a. Koleksistektomi
Pengangkatan kandung kemih setelah ligasi duktus sistikus dan
arteri sistikus
b. Minikoleksistektomi
Pengangkatan kandung kemih melalui insisi 4 cm
c. Koleksistektomi laparoskopi
Pembedahan yang dilakukan melalui insisi kecil atau pungsi yang
dibuat melalui dinding abdomen dalam umbilikus
2. Farmakoterapi
Adapun terapi farmakologi pada penyakit empedu, yakni :
a. Analgesik
Obat analgesik seperti meperidin. Penggunaan morfin dihindari
karena dapat meningkatkan spasme sfingter Oddi
b. Asam senodeoksikolik (chenidiol atau CDCA)
Berfungsi untuk menghancurkan batu kolesterol utama
c. Tindak lanjut jangka panjang dan pemantauan enzim-enzim hepar
harus dilakukan
B. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Sasaran dalam terapi yang diberikan ialah mengurangi insiden serangan
akut nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif
dan diit. Penatalaksaan diit dan suportif meliputi :
1. Mencapai remisi dengan istirahat, cairan IV, penghisapan nasogastrik
(NG), analgesia dan antibiotik
2. Diit segera setelah serangan dengan cairan rendah lemak selama 4-6
minggu
10
BAB 2. CLINICAL PATHWAY
11
BAB 3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1) Identitas Klien
Nama :-
Umur : Orang yang berusia > 40 tahun memiliki resiko lebih besar
terkena batu empedu dari pada orang yang lebih muda.
Jenis Kelamin : Wanita lebih beresiko mengalami batu empedu dari pada pria.
Ekstra estrogen dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam empedu dan
mengurangi kontraksi kandung empedu, yang dapat menyebabkan batu empedu
terbentuk. Perempuan memiliki ekstra estrogen karena kehamilan, terapi
penggantian hormon, atau pil KB.
Agama :-
Status : -
Tgl MRS :-
2) Riwayat Kesehatan
a. Diagnosa Medis:Kolelitiasis.
b. Keluhan Utama : Sakit perut sisi kanan atas, nyeri yang berpindah-pindah
menjalar kadang sampai pundak, mual, muntah, perut terasa kembung, kulit
berwarna kuning (apabila batu empedu menghalangi saluran empedu), suhu
badan tinggi (demam).warna urine menjadi lebih gelap pekat.
12
c. Riwayat Kesehatan Sekarang: Data dapat diperoleh dari kronlogis kejadian
sampai muncul masalah dan keluhan utama, misalnya:
13
4. Kondisi rumah(ventilasi, jendela, kamarmandi/MCK) yang memadai?
3) Pemeriksaan Fisik
14
Bawah : Skala kekuatan otot 5, kebersihan kuku terjaga
B. Pola fungsi kesehatan
1. Pola persepsi dan tata laksana kesehatan: pola hidup sehat pasien yang
menderita kolesistitis harus di tingkatkan dalam meningkatkan status
kesehatannya, perawatan, dan tatalaksana hidup sehat. Keluarga juga
perlu untuk terus melakukan perawatan selain tim kesehatan guna
meningkatkan kesehatannya.
2. Pola nutrisi dan metabolisme : pola nutrisi pasien dengan kolelitiasis
terganggu, hal ini di karenakan pasien mengalami mual, muntah, dan
kembung sehingga pasien mengalami resiko perubahan nutrisi.
3. Pola eliminasi : pola eliminasi pada pasien dengan kolelitiasis
mengalami gangguan yang ditandai dengan urine yang berwarna pekat
dan gelap serta feses yang berwarna seperti tanah liat.
4. Pola aktivitas : Pasien dengan kolelitiasis mengalami perubahan pola
aktivitasnya. Hal ini dikarenakan pasien mengalmi nyeri peru tkanan atas
serta adanya perubahan nutria yang menyebabkan kelemahan.
Perubahan pola nutrisi juga dapat mempengaruhi aktivitasnya.
5. Pola istirahat dan tidur : Pola istirahat pada pasien kolelitiasis juga
mengalami gangguan karena nyeri yang dirasakan.
6. Pola kognitif dan persepsi sensori yaitu pola mengenai pengetahuan
pasien dan keluarga terhadap penyakit yang diderita klien
7. Pola konsep diri : Bagaimana persepsi keluarga dan pasien terhadap
pengobatan dan perawatan yang akan dilakukan.
8. Pola hubungan-peran: Peran keluarga sangat dibutuhkan dalam
perawatan dan memberi dukungan serta dampingan pada pasien dengan
kolelitiasis.
9. Polaseksual-seksualitas: Apakah selama sakit terdapat gangguan atau
tidak yang berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada pasien
kolelitiasis mengalami gangguan dalam reproduksi karena nyeri yang
dirasakan.
10. Pola mekanisme koping: Keluarga perlu memberikan dukungan dan
15
semangat sembuh bagi pasien kolelitiasis.
11. Pola nilai dan kepercayaan: Keluarga selalu optimis dan berdoa agar
penyakit pada pasien kolelitiasis dapat sembuh dengan cepat.
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap:
a. Leukositosis sedang (akut), bilirubin dan amilase
serum:meningkat.
b. Enzim hati serum-AST (SGOT) : ALT (SGPT) ; LDH ; agak
meningkat alkaline fosfat dan 5-nukletiase; Di tandai obstruksi bilier.
c. Kadar protrombin: Menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus
menurunkan absorbsi vitamin K.
2. Penunjang
a. Ultrasound: Menyatakan kalkuli, dan distensi kandung empedu
dan/atau ductus empedu (sering merupakan prosedur diagnostik awal).
Gambar 1 : Hasil USG kolelitiasis
(sumber : https://vdocuments.net/kolelitiasis-55ab5957d47b3.html)
16
d. Kolesistogram (untuk kolositisis kronis): Menyatakan batu pada sistem
empedu. Catatan: kontraindikasi pada kolesititis karena pasien terlalu
lemah untuk menelan zat lewat mulut.
17
g. Foto abdomen (multiposisi): Menyatakan gambaran radiologi
(klasifikasi) batu empedu, klasifikasi dinding atau pembesaran kandung
empedu.
h. Foto dada: Menunjukan pernapasan yang menunjukkan penyebaran
nyeri.
3.2 Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d obstruksi, kontraksi dinding kandung empedu, inflamasi
b. Gangguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan mencerna makanan
d. Kerusakan integritas kulit b.d gangguan pigmentasi
e. Risiko Infeksib.d supresi respons inflamasi
f. Risiko kekurangan volume cairan b.d kehilangan volume cairan aktif.
g. Resiko perdarahan b.d gangguan fungsi hati
h. Gangguan citra tubuh b.d penyakit yang dialami.
18
3.3 Intervensi Keperawatan
Dx Noc Nic Rasional
19
4. Ringan biarkan klien tekanan intraabdomen; namun
5. Tidak ada melakukan posisi klien akan melakukan posisi yang
yang nyaman menghilangkan nyeri secara
alamiah.
- Nyeri yang dilaporkan (210201)
- Ekspresi nyeri wajah (210206) 4. Gunakan sprei 4. Menurunkan iritasi/kulit kering
- Mengernyit (210224) halus/katun; cairan dan sensasi gatal
kalamin; minyak
mandi (Alpha
K Keri); kompres
dingin/lembab
sesuai indikasi
5. Kontrol suhu 5. Dingin pada sekitar ruangan
lingkungan membantu meminimalkan
ketidaknyamanan kulit
6. Dorong 6. Meningkatkan istirahat,
menggunakan memusatkan kembali perhatian
teknik relaksasi, dapat meningkat koping.
contoh bimbingan
20
imajinasi,
visualisasi, latihan
nafas dalam.
Berikan aktivitas
senggang
7. Sediakan waktu 7. Membantu dalam
untuk mendengar meningkatkan cemas dan
dan memusatkan kembali perhatian
mempertahankan yang dapat menghilangkan nyeri
kontak dengan
klien sering
Kolaborasi
8. Pertahankan 8. Membuyang sekret gaster yang
status puasa, merangsang pengeluaran
masukan/pertahan kolesistokinin dan kontraksi
kan penghisapan kandung empedu.
NG sesuai indikasi
9. Berikan obat 9. Menghilangkan rasa nyeri
sesuai indikasi
21
Risiko 1. Klien menunjukkan keseimbangan cairan Mandiri
kekurangan Setelah dilakukan asuhan keperawatan dalam 3 x 1. Pertahankan 1. Memberikan informasi tentang
volume 24 jam diharapkan masalah keseimbangan cairan masukan dan status cairan/volume sirkulasi
cairan (0601) , dengan indikator : haluaran akurat, dan kebutuhan penggantian
perhatikan
No Indikator Awal Tujuan
. haluaran kurang
1 2 3 4 5 dari masukkan,
1. Tekanan 3 √
darah peningkatan berat
2 Keseimbanga 3 √ jenis urine. Kaji 2. Muntah berkepanjangan,
n intake dan
output dalam membran aspirasi gaster, dan pembatasan
24 jam mukosa/kulit, pemasukan oral dapat
3 Kelembapan 3 √
membran nadi perifer, dan menimbulkan defisit natrium,
mukosa pengisian kapiler kalium dan klorida
2. Awasi
Keterangan
tanda/gejala
1. Sangat terganggu
peningkatan/kebe
2. Banyak terganggu
rlanjutannya 3. Menurunkan rangsangan pada
3. cukup terganggu
mual/muntah, pusat muntah
4. sedikit terganggu
kram abdomen, 4. Menurunkan kekeringan
22
5. tidak terganggu kelemahan, membran mukosa, menurunkan
- tekanan darah (060101) kejang, kejang risiko perdarahan oral
- Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam ringan, kecepatan 5. Protombin darah menurun
(060107) jantung tak duawaktu koagulasi memanjang
- Kelembapan membran mukosa (060117) teratur, bila empedu terhambat,
parestesia, meningkatkan risiko
hipoaktif atau tak perdarahan/hemoragi
adanya bising
usus, depresi
pernafasan 1. Menurunkan mual dan
3. Hindarkan dari mencegah muntah
lingkungan yang 2. Mempertahankan volume
berbau sirkulasi dan memperbaiki
4. Lakukan ketidakseimbangan
kebersihan oral
dengan pencuci
mulut; berikan
minyak
5. Kaji
23
perdarahan yang
tak biasanyan,
contoh
perdarahan terus
menerus pada sisi
injeksi, mimisan,
perdarahan gusi,
ekimosis, petekie,
hematernesis/mel
ena
Kolaborasi
1. Berikan
antiemetik,
contoh
proklorperazin
(Compazine)
2. Berikan cairan
IV, elektrolit dan
24
vitamin K
25
kesukaan/ketidak makan/menurunkan mual
- Energi (100403)
sukaan klien,
- Asupan Gizi (100401)
makanan yang
menyebabkan 6. Mulut yang bersih
distres dan jadwal meningkatkan nafsu makan
makan yang
disukai 1. Berguna dalam membuat
5. Berikan kebutuhan nutrisi indikasi
suasana melalui rute yang paling tepat
menyenangkan 2. Pembatasan lemak
pada saat makan, menurunkan rangsangan pada
hilangkan kandung empedu dan nyeri
rangsangan sehubungan dengan tidak semua
berbau lemak dicerna dan berguna dalam
6. Berikan mencegah kekambuhan
kebersihan oral
sebelum makan
Kolaborasi
1. Konsul dengan
26
ahli diet/tim
pendukung nutrisi
sesuai indikasi
2. Mulai diet cair
rendah lemak
setelah selang
NGT dilepas
27
3.4 Evaluasi
Dalam evaluasi masalah akan dinilai menjadi 3 yaitu masalah teratasi,
teratasi sebagian, dan tidak teratasi. Evaluasi yang diharapkan pada klien dengan
kolelitiasis meliputi; rasa nyeri yang dirasakan klien hilang, homeostatis klien
meningkat, komplikasi dapat dicegah/minimal serta proses penyakit, prognosis,
dan program pengobatan dipahami.
25
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Regi A. 2017 “Proporsi Penderita Batu Empedu Dengan Status Gizi
Obesitas Di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Pada Tahun 2015
-2016” Jakarta. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
http://www.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37486/1/R
EGI%20AZISTHA%20AMRI-FKIK.pdf diakses pada 08 Januari 2019.
Pukul 21.00 WIB
Pearce, E.V. 2016. Anatomi & Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
26
Rendy, M. Clevo &TH, Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
dan Penyakit Dalam. Yogjakarta : Nuha Medika.
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Syam, A.F., dan Simadibrata,
M. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta : Interna
Publishing
27