Anda di halaman 1dari 48

TUGAS KHUSUS CASE STUDY

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


DI RUMAH SAKIT ISLAM IBNU SINA PEKANBARU

“Sirosis Hepatik, Hepatoma dan Hepatitis B”

Disusun Oleh:

Ulbis Zulhamdi, S.Farm (2002032)

Fitra Annisa, S.Farm (2002014)

Lailatul Rizki Tiara D.A, S.Farm (2002021)

ANGKATAN IV

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIV RIAU

FEBRUARI, 2021

i
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR ISI .................................................................................................. i


BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB II TINJAUAN UMUM.......................................................................... 3
2.1 Sirosis Hati............................................................................................ 3
2.1.1 Pengertian Sirosis Hati............................................................. 4
2.1.2 Etiologi .................................................................................... 3
2.1.3 Manifestasi Klinik.................................................................... 5
2.1.4 Diagnosa .................................................................................. 5
2.1.5 Terapi ....................................................................................... 8
2.2 Hepatitis B......................................................................................... 8
2.2.1 Pengertian Hepatitis B.............................................................. 9
2.2.2 Penyebab Hepatitis B................................................................ 12
2.2.3 Diagnosa .................................................................................. 12
2.2.4 Penatalaksanaan ....................................................................... 12
2.2.5 Monitoring ............................................................................... 13
BAB III ANALISIS FARMAKOTERAPI .................................................. 15

2.1 Identitas Pasien.................................................................................. 15


2.2 Riwayat Penyakit .............................................................................. 14
2.3 Data Pemeriksaan Fisik...................................................................... 16
2.4 Follow Up.......................................................................................... 16
2.5 Data Laboratorium ............................................................................ 22
2.4............................................................................................................Diag
nosis .................................................................................................. 25
2.5............................................................................................................Moni
toring Efek Samping Obat (MESO) ................................................. 25
2.6............................................................................................................Lemb
ar Pengobatan .................................................................................... 26
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................... 41

i
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 43
4.1 Kesimpulan ....................................................................................... 47
4.2 Saran ................................................................................................. 47

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Hepatocellular Carcinoma (HCC) atau disebut juga kanker hati adalah salah satu
kasus penyebab kematian tertinggi akibat kanker (Obayya et al. 2016). HCC merupakan
pertumbuhan sel yang berlangsung secara tidak normal pada bagian hati yang ditandai
dengan meningkatnya jumlah sel dalam hati yang memiliki kemampuan membelah dan
disertai dengan perubahan sel hati menjadi ganas (ButarButar. 2013). Menurut DepKes RI
(2013), prevalensi penyakit kanker secara keseluruhan pada penduduk tertinggi pada
kelompok usia 75 tahun keatas, yaitu sebesar 5% dan prevalensi terendah pada anak
kelompok usia 1-4 tahun dan 5-14 tahun sebesar 0,1%. Kasus HCC yang ditemukan di
Indonesia pada usia 50-60 tahun didominasi pada laki--laki. Perbandingan kasus yang terjadi
antara laki-laki dan peremp uan berkisar antara 2-6 : 1. HCC pada laki-laki menempati
peringkat kelima dan untuk perempuan menempati peringkat kesembilan untuk kasus HCC
(ButarButar. 2013).

Beberapa faktor penyebab dari Hepatocellular Carcinoma (HCC) dintaranya, yaitu


infeksi virus hepatitis B (HBV), infeksi virus hepatitis C (HCV), sirosis hati, alfatoksin dan
alkohol (Gurakar et al. 2013). HCC sering kali tidak dapat terdiagnosis karena gejala kanker
tertutup oleh penyakit yang mendasari yaitu sirosis hati atau hepatitis kronis. Gejala dari
kanker hati juga jarang ditemukan sampai kanker memasuki tahap akhir (ButarButar. 2013).

Hepatitis B merupakan salah satu penyebab dari HCC adalah jenis penyakit infeksi
yang menular. Penyakit infeksi ini menyerang organ hati manusia yang disebabkan oleh
Hepatitis B Virus (HBV). Lebih dari dua milyar penduduk dunia terinfeksi oleh virus ini.
Sekitar 360 juta penduduk memiliki faktor resiko menuju kematian, khususnya faktor resiko
yang telah berkembang menjadi sirosis hati dan Hepatocellular Carcinoma (HCC) (WHO,
World Health Organization, 2009). Penyakit hepatitis B menyerang semua umur, usia, dan
ras di seluruh dunia. Hepatitis B dapat menyerang dengan atau tanpa gejala . Sekitar 5%
penduduk dunia mengidap hepatitis B tanpa gejala. Angka prevalensi bervariasi sesuai
dengan kemampuan negara yang bersangkutan dalam menangani penyakit ini. Prevalensi
hepatitis B di negara maju (AS dan eropa) sekitar 0,1% sedangkan di A sia dan Afrika dapat
mencapai 15%. Prevalensi di Indonesia sekitar 5-17% (endemisitas sedang- tinggi)
(H.Masriadi, 2017).

1
Berdasarkan uraian tersebut diperlunya peran apoteker dalam pemantauan
keberhasilan terapi pasien. Mendampingi, memberikan konseling dan bekerja sama dengan
pasien dalam meningkatkan kualitas hidup pasien, mencegah dan mengendalikan komplikasi
yang mungkin timbul, mencegah dan mengendalikan efek samping obat, memberikan
rekomendasi penyesuaian regimen dan dosis obat yang harus dikonsumsi pasien bersama
dengan dokter penanggung jawab pasien.

2
BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Sirosis Hati


2.1.1 Pengertian Sirosis Hati
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses
peradangan nekrosis sel hati yang luas. Pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi
nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro
menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Smeltzer & Bare,
2001).
Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan
menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel-sel
hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati (Mansjoer, 2001).
2.1.2 Etiologi
Ditinjau dari pembentukan parut, maka sirosis dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1. Sirosis Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi
daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat
lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati disekitar saluran
empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis)
2.1.3 Manifestasi Klinik
Menurut Smeltzer & Bare (2001) manifestasi klinis dari sirosis hepatis antara lain:

1. Pembesaran Hati
Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat
diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari
pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan
pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih
lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan
jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba berbenjol-benjol
(noduler).

3
2. Obstruksi Portal dan Asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis
dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ
digestif praktis akan berkumpul dalam vena porta dan dibawa ke hati. Karena hati
yang sirotik tidak memungkinkan perlintasan darah yang bebas, maka aliran darah
tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi
bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain,
kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat
bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita
dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-
angsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein dan menumpuk dirongga
peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya
shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring
telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru
kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan
keseluruhan tubuh.
3. Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga
mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem gastrointestinal
dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam pembuluh darah
dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering
memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada
inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah diseluruh traktus
gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah
yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh
darah ini akan membentuk varises atau hemoroid tergantung pada lokasinya. Karena
fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat
sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan
perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui
perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih
25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi
masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.

4
4. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk
terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.
5. Defisiensi Vitamin dan Anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang
tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin
tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan
dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal
bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut
menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status
nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang
mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
Akibat dari sirosis hati, maka akan terjadi 2 kelainan yang fundamental yaitu
kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Manifestasi dari gejala dan tanda-tanda
klinis ini pada penderita sirosis hati ditentukan oleh seberapa berat kelainan
fundamental tersebut. Gejala dan tanda dari kelainan fundamental ini dapat dilihat di
tabel 1.

Tabel 1. Gejala Kegagalan Fungsi Hati dan Hipertensi Porta

2.1.4 Diagnosis
Diagnosa Sirosis Hepatis Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium, terdiri dari:

5
1. Urin
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada
ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi Natrium (Na) dalam urin
berkurang (urin kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah terjadi
syndrome hepatorenal.
2. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen, pada penderita dengan ikterus,
ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah, di
dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan
tinja berwarna cokelat atau kehitaman.
3. Darah
Biasanya dijumpai normostik normo kronik anemia yang ringan, kadang–
kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asamfolik dan vitamin
B12 atau karena Splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan
gastrointestinal maka akan terjadi hipokromik anemi, juga dijumpai likopeni
bersamaan dengan adanya trombositopeni.
4. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi
penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin
bertambah, sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap hari akan diproduksi
10-16 gr albumin, pada orang dengan Sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9
gr/hari. Kadar normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dl. Jumlah albumin dan globulin
yang masing-masing diukur melalui proses yang disebut elektroforesis protein serum.
Perbandingan normal albumin:globulin (2:1) atau lebih. Selain itu, kadar asam
empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi kelainan
hati secara dini (Hadi, 2002).

Pemeriksaan Penunjang

1. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan adalah: pemeriksaan foto
toraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography (PTP) (Hadi, 2002).
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi kelainan di hati,
termasuk sirosis hati. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat ringannya

6
penyakit. Pada tingkat permulaan Sirosis akan tampak hati membesar, permulaan
irregular, tepi hati tumpul. Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu
tampak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak membesar
dan sebagian lagi dalam batas nomal.
3. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hepatis akan
jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang besar atau
kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali
didapatkan pembesaran limpa.

Komplikasi

1 Varises Esophagus dan Perdarahan


Setiap penderita sirosis hati dekompensata terjadi hipertensi portal dan timbul
varises esophagus.Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah,
sehingga timbul perdarahan. Sifat perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah
atau hematemesis, biasanya mendadak tanpa didahului rasa nyeri pada epigastrium.
Varises esophagus merupakan komplikasi Sirosis hati yang biasanya ditemukan pada
kira-kira 50% pasien saat diagnosis sirosis dibuat. Varises ini memiliki kemungkinan
pecah dalam 1 tahun pertama sebesar 5-15% dengan angka kematian dalam 6 minggu
sebesar 15-20% .
2 Koma Hepatikum
Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat rusak,
sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Koma hepatikum
memiliki gejala yaitu hilangnya kesadaran penderita. Koma hepatikum dibagi menjadi
dua. Pertama koma hepatikum primer yaitu disebabkan oleh nekrosis hati yang
meluas dan fungsi vital terganggu seluruhnya maka metabolisme tidak dapat berjalan
dengan sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder yaitu koma hepatikum yang
timbul bukan karena kerusakan hati secara langsung melainkan karena perdarahan
akibat terapi terhadap asites karena obat-obatan dan pengaruh substansia nitrogen.
3 Ensefalopati Hepatikum
Ensefalopati Hepatikum adalah gangguan neuropsikiatrik yang terjadi karena
kerusakan hati terutama pada sirosis hati, morbiditasnya 70% dan mortalitasnya 20%.
Ensefalopati hepatikum ditandai dengan meningkatnya kadar ammonia dalam serum
dan sistem saraf pusat. Sebagian besar kasus ensefalopati hepatikum disebabkan oleh

7
zat-zat toksik diantaranya ammonia. Tingginya kadar ammonia dapat mengganggu
kerja otak sehingga muncul keluhan seperti apatis, gelisah, mengantuk, kebingungan,
kesadaran menurun sampai kedaan tidak sadar.
4 Peritonitis Bakterial Spontan
Peritonitis Bakterial Spontan adalah infeksi cairan acites oleh salah satu jenis
bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa
gejala namun dapat timbul gejala demam dan nyeri abdomen. Peritonitis bakterial
spontan disebabkan oleh adanya translokasi bakteri menembus dinding usus dan juga
oleh karena penyebaran bakteri secara hematogen. Bakteri penyebabnya antara lain:
escherechia coli, stereptococcus pneumoniae, spesies klebsiella dan organisme enterik
gram negatif lainnya. Diagnosa peritonitis bakterial spontan berdasarkan pemeriksaan
pada cairan asites dimana ditemukan sel polimorfonuklear lebih dari 250 sel/mm³
dengan kultur cairan positif.
5 Kanker Hati (Hepatocellular Carcinoma)
Apapun penyebab Sirosis, dapat meningkatkan risiko kanker hati primer
(hepatocellular carcinoma). Istilah primer menunjukkan tumor berasal dari hati.
Kanker hati sekunder merupakan kanker hati yang berasal dari penyebaran kanker
dari tempat lain dalam tubuh (metastasis). Keluhan terbanyak kanker hati primer
adalah nyeri perut, pembengkakan, pembesaran hati, penurunan berat badan, dan
demam. Sebagai tambahan, kanker hati dapat memproduksi dan melepaskan sejumlah
bahan yang menimbulkan berbagai kelainan diantaranya: peningkatan sel darah merah
(eritrositosis), gula darah yang rendah (hipoglikemia) dan kalsium darah yang tinggi
(hiperkalsemia). Sirosis merupakan kondisi premaligna dan berhubungan dengan
risiko peningkatan kanker hepatoseluler. Dari data statistik selama selama dua dekade
terakhir, kejadian kanker jenis ini meningkat di Amerika Serikat, terutama karena
penyebaran HBV dan HCV. Untuk itu diperlukan langkah-langkah pencegahan,
pengukuran pencegahan termasuk didalamnya skrining dengan alpha-fetoprotein dan
ultrasonografi setiap 6 bulan (Anand, 2002).

2.2 Hepatitis B
2.2.1 Pengertian Hepatitis B
Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, masuk melalui darah ataupun cairan
tubuh dari seseorang yang terinfeksi seperti halnya virus HIV. Hepatitis B hampir 100 kali
lebih infeksius dibandingkan dengan virus HIV. Virus ini tersebar luas di seluruh dunia

8
dengan angka kejadian yang berbeda-beda. Angka kejadian di Indonesia mencapai 4%-30%
pada orang normal, sedangkan pada penyakit hati menahun dapat ditemukan angka kejadian
20%-40%. Apabila seseorang terinfeksi dengan virus ini maka gejalanya dapat sangat ringan
sampai berat sekali. Pada orang dewasa dengan infeksi akut biasanya jelas dan akan sembuh
sempurna pada sebagian besar (90%) pasien. Akan tetapi pada anak-anak terutama balita,
sebagian besar dari mereka penyakitnya akan berlanjut menjadi menahun

Di Asia terutama Asia Tenggara Hepatitis B sangat penting karena prevalensinya


sangat tinggi.4 Prevalensi hepatitis B kronik di Asia Tenggara, Afrika, dan Kepulauan Pasifik
sebanyak 8-20%.5 Kira-kira 3,5-9,1% prevalensi HBsAg ditemukan pada populasi umum di
Indonesia, dengan ratarata 5,1 %. Berdasarkan data tersebut, secara epidemiologi Indonesia
dikategorikan negara dengan tingkat endemisitas intermediate hingga tinggi.6 Virus ini
biasanya ditularkan secara parenteral melalui luka pada kulit atau membran mukosa, baik
melalui transfusi darah atau komponen darah atau melalui jarum yang terkontaminasi.
Transmisi seksual terjadi melalui kontak seksual dengan individu yang mengandung HBsAg
positif yang bersifat infeksius, baik heteroseksual maupun homoseksual. Prevalensi hepatitis
B yang tinggi terjadi pada bayi yang ibunya mempunyai HBsAg pada serum.7 Masa
inkubasinya berkisar antara 30-180 hari.1 Infeksi klinis maupun subklinis dapat
menyebabkan infeksi kronik.5 Kemungkinan karier HBsAg menjadi hepatitis kronik dapat
terjadi pada 10-30% kasus.8 Pada pasien dengan HIV lebih mungkin menjadi infeksi kronik.
Dari kasus hepatitis B kronis dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau karsinoma
hepatoselular.
2.2.2 Etiologi Hepatitis B

Hepatitis B virus merupakan jenis virus DNA untai ganda, dengan ukuran sekitar 42
nm yang terdiri dari 7 nm lapisan luar yang tipis dan 27 nm inti di dalamnya. VHB dapat
tetap inaktif ketika disimpan pada suhu 30-32°C selama paling sedikit 6 bulan dan ketika
dibekukan pada suhu -15°C dalam 15 tahun. (WHO, 2002)

Virus ini memiliki tiga antigen spesifik yaitu antigen surface, envelope dan core.
Hepatitis B surface antigen (HBsAg) merupakan kompleks antigen yang ditemukan pada
permukaan VHB, dahulu disebut dengan Australia(Au) antigen atau hepatitis associated
antigen (HAA). Adanya antigen ini menunjukkan infeksi akut atau karier kronis yaitu lebih
dari 6 bulan. Hepatitis B core antigen (HbcAg) merupakan antigen spesifik yang
berhubungan dengan 27 nm inti pada VHB (WHO,2002). Antigen ini tidak terdeteksi secara

9
rutin dalam serum penderita infeksi VHB karena hanya berada di hepatosit. Hepatitis B
envelope antigen (HBeAg) merupakan antigen yang lebih dekat hubungannya dengan
nukleokapsid VHB. Antigen ini bersirkulasi sebagai protein yang larut di serum. Antigen ini
timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg, dan hilang beberapa minggu sebelum HBsAg
hilang (Price&Wilson, 2005). Antigen ini ditemukan pada infeksi akut dan pada beberapa
karier kronis. (Mandal & Wilkins, 2006)
Virus ini mempunyai lapisan luar (selaput) yang berfungsi sebagai antigen HBsAg.
Virus mempunyai bagian inti dengan partikel inti HBcAg dan HBeAg (Widoyono, 2011).
Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari (Sudoyo, 2009).
Perubahan dalam tubuh penderita akibaat infeksi virus Hepatitis B terus berkembang. Dari
infeksi akut berubah menjadi kronis, sesuai dengan umur penderita. Makin tua umur, makin
besar kemungkinan menjadi kronis kemudian berlanjut menjadi pengkerutan jaringan hati
yang disebut dengan sirosis. Bila umur masih berlanjut keadaan itu akan berubah menjadi
karsinoma hepatoseluler (Yatim, 2007).
2.2.3 Diagnosis

Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda


virologi, biokimiawi dan histologi. (Suharjo, 2006) Pemeriksaan laboratorium padaVHB
terdiri dari:

1. Pemeriksaan Biokimia Stadium akut VHB ditandai dengan AST dan ALT
meningkat > 10 kali nilai normal, serum bilirubin normal atau hanya meningkat sedikit,
peningkatan Alkali Fosfatase (ALP) > 3 kali nilai normal, dan kadar albumin serta kolesterol
dapat mengalami penurunan. Stadium kronik VHB ditandai dengan AST dan ALT kembali
menurun hingga 2 – 10 kali nilai normal dan kadar albumin rendah tetapi kadar globulin
meningkat. (Hardjoeno, 2007)

2. Pemeriksaan Serologis Indikator serologi awal dari VHB akut dan kunci diagnosis
penanda infeksi VHB kronis adalah HBsAg, dimana infeksi bertahan di serum > 6 bulan
(EASL,2009). Pemeriksaan HBsAg berhubungan dengan selubung permukaan virus. Sekitar
5 – 10 % pasien, HBsAg menetap di dalam darah yang menandakan terjadinya hepatitis
kronis atau carrier (Hardjoeno, 2007).

3. Pemeriksaan Molekuler Pemeriksaan molekuler menjadi standard pendekatan


secara laboratorium untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum atau plasma.
Pengukuran kadar secara rutin bertujuan untuk mengidentifikasi carrier, menentukan

10
prognosis, dan monitoring efikasi pengobatan antiviral. Metode pemeriksaan molekuler
antara lain :

a) Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan karena waktu paruh pendek dan


diperlukan penanganan khusus dalam prosedur kerjadan limbahnya.
b) Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC) merupakan teknik hibridisasi yang lebih
sensitif dan tidak menggunakan radioisotop karena sistem deteksinya menggunakan
substrat chemiluminescence.
c) Amplifikasi signal (metode branched DNA / bDNA) bertujuan untuk menghasilkan
sinyal yang dapat dideteksi hanya dari beberapa target molekul asam nukleat.
d) Amplifikasi target (metode Polymerase Chain Reaction/PCR) telah dikembangkan
teknik real-time PCR untuk pengukuran DNA VHB. Amplifikasi DNA dan
kuantifikasi produk PCR terjadi secara bersamaan dalam suatu alat pereaksi tertutup
(Hardjoeno, 2007).
Pemeriksaan amplifikasi kuantitatif (PCR) dapat mendeteksi kadar VHB DNA sampai
dengan 102 kopi/mL, tetapi hasil dari pemeriksaan ini harus diinterpretasikan dengan
hati – hati karena ketidakpastian arti perbedaan klinis dari kadar VHB DNA yang
rendah. Berdasarkan pengetahuan dan definisi sekarang tentang hepatitis B kronik,
pemeriksaan standar dengan batas deteksi 105-106 kopi/mL sudah cukup untuk
evaluasi awal pasien dengan Hepatitis B kronis. Untuk evaluasi keberhasilan
pengobatan maka tentunya diperlukan standar batas deteksi kadar VHB DNA yang
lebih rendah dan pada saat ini adalah yang dapat mendeteksi virus sampai dengan <
104 kopi/mL (Setiawan et al, 2006).

2.2.4 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan VHB ini adalah untuk mencegah atau menghentikan radang hati
(liver injury) dengan menekan replikasi virus atau menghilangkan injeksi. Titik akhir dalam
pengobatan hepatitis B adalah hilangnya bertanda replikasi virus yang aktif secara menetep
(Sudoyo, 2006).
Tidak semua pasien dengan infeksi VHB kronis perlumendapatkan terapi antiviral.
Pemberian antiviral pada pasien hepatitis kronis tanpa pertimbangan yang benar hanya akan
merugikan pasien, baik dari aspek biaya, keberhasilan terapi, dan resiko resistensi obat
(Cahyono, 2008). Banyak obat antiviral yang telah dicoba untuk mengobati hepatitis B tapi

11
belum ada yang memuaskan. Saat ini yang dianggap paling baik hasil adalah interferon dan
lamivudin.
 Interferon, diberikan secara intensif 3 kali seminggu. Lamanya minimal 4- 6 bulan.
Keberhasilannya 40%-50%. Efek sampingnya mengganggu dan harganya sangat
mahal. Ada jenis interferon kerja panjang yang bisa diberikan cukup 1 kali seminggu,
yaitu Peggylated Interferon.
 Lamivudin, diberikan per oral, efek sampingnya sedikit. Diberikan bersama dengan
interferon atau dosis tunggal (Hilman dkk, 2010).
2.3 Hepatoma
2.3.1 Pengertian Hepatoma
Hepatoma disebut juga kanker hati atau karsinoma hepatoseluler atau karsinoma
hepato primer. Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak normal yang di tandai
dengan bertambahnya jumlah sel dalam hati yang memiliki kemampuan membelah/mitosis
disertai dengan perubahan sel hati yang menjadi ganas. Kanker hati sering disebut "penyakit
terselubung". Pasien seringkali tidak mengalami gejala sampai kanker pada tahap
akhir, sehingga jarang ditemukan dini. Pada pertumbuhan kanker hati, beberapa pasien
mungkin mengalami gejala seperti sakit di perut sebelah kanan atas meluas kebagian
belakang dan bahu, bloating, kehilangan nafsu makan, kelelahan, mual, muntah, demam, dan
ikterus. Penyakit-penyakit hati lainnya dan masalah masalah kesehatan juga dapat
menyebabkan gejala-gejala tersebut, tapi setiap orang yang mengalami gejala seperti ini harus
berkonsultasi dengan dokter (Hussodo, 2006). Kanker Hati atau Karsinoma Hepato
Seluler (KHS) merupakan tumor ganas hati primer yang sering di jumpai di Indonesia. KHS
merupakan tumor ganas dengan prognosis yang amat buruk, di mana pada umumnya
penderita meninggal dalam waktu 2-3 bulan sesudah diagnosisnya di tegakkan (Misnadiarly,
2007)
2.3.2 Etiologi Hepatoma (Gurakar et al. 2013)
Beberapa penyebab dari Hepatocellular Carcinoma (HCC), diantaranya :
a) Hepatitis B dan C Hepatitis B dan C adalah dua faktor yang bisa menyebabkan
Hepatocellular Carcinoma (HCC). Di Amerika Serikat dan Eropa, hepatitis B dan C
memiliki perbandingan yang sama untuk kasus ini. Di bagian Cina dan Taiwan, 80%
penyebab HCC adalah hepatitis B. Kasus HCC yang lebih tinggi terjadi pada pasien
dengan hepatitis C dibandingkan hepatitis B (10,4% : 3,9%).

12
b) Sirosis Hati Pada populasi tertentu, pasien penderita sirosi memiliki resiko 3 sampai 4
kali lebih tinggi mengalami HCC dibanding dengan pasien penderita hepatitis kronis.
Di daerah dengan kejadian yang rendah, lebih dari 90% pasien penderita HCC
memiliki sirosis.
c) Faktor Lain Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit HCC adalah
alkohol, alfatoxins, hemochromatosis, dan penggunaan anabolic steroid. Alfaatoxins
sendiri di hasilkan oleh jamur jenis Aspergillus Paraticus dan Aspergillus Flavus,
yang umum ditemukan di wilayah tertentu Asia Tenggara dan subSahara Afrika.
Untuk HCC yang di sebabkan oleh hemachromatosis bisa mencapai 45% pasien.
2.3.3 Diagnosis
Untuk mendiagnosis penyakit Hepatocellular Carcinoma (HCC) dapat dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya adalah :
a. Alpha-Fetoprotein (AFP)
Alpha-Fetoprotein (AFP) adalah penanda kanker yang dapat meningkat 60- 70% pada
pasien Hepatocellular Carcinoma (HCC). AFP dapat diketahui melalui tes darah.
Level normal dari AFP adalah 10ng/ml. Pasien yang mengalami peningkatan AFP
harus melakukan USG perut, CT-Scan ataupun MRI untuk mengetahui HCC,
terutama jika sudah memasuki tingkatan dasar dari HCC.
b. Diagnosis Radiografi
Akurasi yang dihasilkan dari USG, CT, MRI dan angiography tergantung dari jumlah
variabel. Dibutuhkan keahlian operator (terutama untuk USG), peralatan yang
canggih, adanya sirosis, dan yang terpenting pengalaman operator. Untuk kanker
dengan ukuran yang kecil (pembesaran ukuran kanker, yang akhirnya mencapai 100%
dengan ukuran kanker yang sangat besar.
c. Biopsi Liver Biopsi dapat dilakukan apabila diagnosis dianggap meragukan. Jika AFP
meningkat secara signifikan dan terlihat adanya kanker didalam hati, maka dapat di
asumsikan sebagai diagnosis dari Hepatocellular Carcinoma (HCC) dan tidak
disarankan untuk melakukan biopsi.
2.3.4 Penatalaksanaan
Ada beberapa pengobatan yang bisa dilakukan untuk Hepatocellular Carcinoma
(HCC), diantaranya transpalntasi hati, hepatic resection, dan kemoterapi (Befeler et al. 2002).
a. Transplantasi Hati Melakukan transplantasi hati adalah pengobatan terbaik untuk
HCC, karena dapat menghilangkan jaringan hati yang beresiko untuk perkembangan

13
kanker dan bisa mengembalikan fungsi hati. Namun, ketersediaan donor yang terbatas
dan sesuai dengan pasien membuat transplantasi hati menjadi kurang efektif.
b. Hepatic Resection
Selain dengan melakukan transplantasi hati, bisa dilakukan dengan cara bedah, yaitu
dengan cara pengangkatan bagian hati yang terinfeksi dengan HCC. Melakukan
pembedahan tidak berarti dapat menghilangkan sisa hati yang beresiko kembali
terjangkit dan tidak memperbaiki fungsi hati.
c. Kemoterapi Kemoterapi umumnya dilakukan pasien yang tidak setuju untuk terapi
resection dan transplantasi. Kemoterapi dilakukan sesuai dengan batasan, termasuk
untuk yang menderita sirosis.

14
BAB III
ANALISIS FARMAKOTERAPI

3.1 Identitas Pasien

Data Umum
No. MR : 5409xx
Nama Pasien : Tn. S
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 170 cm
Umur : 60 tahun
Ruangan : Rawat Inap Mina II
: hemiparise, stroke infak/stroke
Diagnosa Awal
hemoragik
Diagnosa Akhir : stroke hemoragik
Tgl. MRS : 08/02/2021
Tgl. KRS :13/02/2021
Dokter Penanggungjawab : dr. L., Sp. Pd

3.2 Riwayat Penyakit


 Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan lemah anggota tubuh gerak sebelah kanan
secara mendadak, mual (-), muntah (-), pusing (-), BAB dan BAK tidak ada
keluhan.

 Riwayat Penyakit Terdahulu : hipertensi tidak terkontrol


 Riwayat Penyakit Keluarga : -

15
3.3 Data Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : • Tekanan Darah: mmHg
 Nafas : kali per menit • Nadi : kali per menit
 Suhu :°C
3.4 Follow Up

Tanggal Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi


08/02/21 Subjektif :
IGD Kondisi umum pasien lemah, pasien Pasien mengatakan lemah anggota
gerak sebelah kanan
Objektif :
TD:180/100 ; N:90 ; S:36.5 ; RR:20 ; SPO2:96
Terapi yang didapat:
1. Oral

2. Parenteral:
 Inj. Asam Traneksamat 4x1gram
 Inj. Citicolin 2x1gram
 Manitol inf 5x150cc
 Drip. Nicardipin
Assessment :

Plan :

09/02/21 Subjektif:
Rawat Pasien mengatakan lemah anggota gerak sebelah kanan.
Inap Objektif :
Ksadaran : Compos Mentis, TD:170/100 ; N:68 ; S:37 ; RR:20 ; SPO2:94%
Terapi yang didapat
1. Oral
 Candesartan 2x32mg
 Simvastatin 1x20mg

2. Parenteral :

16
 Inj. Asam Traneksamat 4x1gram
 Inj. Citicolin 2x1gram
 Inj. Ranitidin 2x50
 Manitol inf 5x150cc
 Drip. Nicardipin

Assessment :

Plan :

10/02/21 Subjektif :
Pasien mengatakan lemah anggota gerak sebelah kanan.
Objektif :
Kesadaran : Compos Mentis ; TD:160/100 ; N:69 ; S:36.8 ; RR:20 ; SPO2:97
; Skala Nyeri : 4 ; Skor Jatuh : 40.
Terapi yang didapat
1. Oral :
 Amlodipin 1x10mg
 Candesartan 2x32mg
 Simvastatin 1x1
 HCT 1x1
 Lactulax syr 3x1

2. Parenteral:
 Inj. Asam Traneksamat 4x1gram
 Inj. Citicolin 2x1gram
 Inj. Ranitidin 2x50
 Manitol inf 5x150cc

Assessment :

Plan :

17
11/02/21 Subjektif :
Pasien mengatakan lemah anggota gerak sebelah kanan masih lemah
Objektif :
Kesadaran : Compos Mentis, TD: 170/100, N : 71, S : 36.8, RR : 20, SatO 2 :
97
Oral
 Amlodipin 1x10mg
 Na. Diclofenac 2x1
 Candesartan 2x16mg
 Simvastatin 1x20mg
 HCT 1x1
 Lactulax syr 3x1

Parenteral:
 Inj. Asam Traneksamat 4x1gram
 Inj. Citicolin 2x1gram
 Inj. Ranitidin 2x50
 Manitol inf 5x150cc

Assement :

Plan :

12/02/21 Subjektif :
Pasien mengatakan lemah anggota gerak sebelah kanan masih lemah
Objektif :
Kesadaran: Compos Mentis, TD : 130/100 N : 72, S : 36.6, RR : 20, SatO2 :
95
Oral :
 Amlodipin 1x10mg
 Na. Diclofenac 2x1
 Candesartan 2x32mg
 Simvastatin 1x1

18
 HCT 1x1
 Lactulax syr 3x1
 Dulcolax sup 1x1

Parenteral:
 Inj. Asam Traneksamat 4x1gram
 Inj. Citicolin 2x1gram
 Inj. Ranitidin 2x50
 Manitol inf 5x150cc

Assesment :
Plan :

13/02/21 Subjektif :
Pasien mengatakan lemah anggota gerak sebelah kanan masih lemah
Objektif :
Kesadaran:Compos Mentis, TD: 130/100 mmHg, N : 100x/menit, S : 36.40C
, RR : 20x/ menit, SatO2 : 99%, Skor Jatuh: 35, Skor Nyeri: 4.
Oral :
 Amlodipin 1x10mg
 Na. Diclofenac 2x1
 Candesartan 2x32mg
 Simvastatin 1x1
 HCT 1x1
 Lactulax syr 3x1
Parenteral:
 Inj. Asam Traneksamat 4x1gram
 Inj. Citicolin 2x1gram
 Inj. Ranitidin 2x50
 Manitol inf 5x150cc

19
Assesment :
Inj lansoprazol distop dan dilanjutkan dengan penggunaan pantoril.
Plan : terapi dilanjutkan sesuai terapi DPJP
14/02/21 Subjektif :
Pasien mengatakan perut tambah membesar, sakit dan menyesak terasa sakit
saat dibawa makan
Objektif :
TD : 120/80 N : 87, S : 36.5, RR : 20, SatO2 : 96
Oral :
Spironolactone 100mg 1x1
Hp pro 3x2
Acetil sistein 400mg 3x1
Propranolol 10mg 2x1
Ulcetra 2x1
Xepazym 2x1
New diatab 3x1
Loperamide k/p
Hevlav 1x100
Parenteral:
Inj. Furosemide 2x1
Inj. Vit K 3x1
Inj. Metoclopramide 3x1
Inj. Plasminak 3x1
Inj. Ondavel 3x1
Inj. Pantovil 2x1
Inj. Ceffacef 2x1
Assesment :
Penggunaan hevlav yang berisi lamifudin 100 mg 1x1 sebagai antivirus
untuk hepatitis B
Penggunaan ceffacef yang berisi cefixime untuk terapi cholesistasis.
Plan : terapi dilanjutkan sesuai terapi DPJP
Obat untuk dirumah
Oral :

20
Spironolactone 1x100mg
Furosemide 2x40mg
Hp pro 3x2
Vitamin K 3x1
Propranolol 2x10mg
Orinox 1x120mg
Loperamid k.p
Heplav 1x100mg
Vip albumin 3x2 tab
Xepazym 3x1

3.5 Data laboratorium

 Pemeriksaan USG Abdomen


Kesan : Hepatomegali susp. Ec. Massa di lobus dextra hepar, Cholesistasis,
Splenomegali, Asites
 Pemeriksaan Organ Vital

Tanggal
Pemeriksaa Nilai
08/02/ 09/02/ 10/02/ 11/02/ 12/09/ 13/09/
n normal
21 21 21 21 21 21
Tekanan 120/80
120/90 110/80 110/70 100/70 100/70 120/70
darah mmHg
60-100
Nadi 82 70 77 60 62 60
x /m
36,5 –
Suhu 36,5 36,1 36 36,4 36,4 36
37,2
12-20
Pernafasan 22 20 20 20 20 20
x/m
95-
SPO2 97 97 97 97 96
99%
Ket :
Merah : Diatas normal
Biru : Dibawah normal

21
 Pemeriksaan Darah Lengkap

Tanggal
Pemeriksaa Nilai
n normal 08/02/21 09/02/2
10/02/21 11/02/21 12/02/21
1
14.0-
Hemoglobin 15.6 - - - -
18.0
4000-
Leukosit 8980 - - - -
11000
150-
Trombosit 186.000 - - - -
450
37.0-
Hematocrit 43.5 - - - -
47.0
Eusinofil 1.0-3.0 1.8 - - - -
50.0-
Neutrophil 74.8 - - - -
79.0
20.0-
Limfosit 16.2 - - - -
40.0
Neutrophil
Limfosit <3.13 4.61 - - - -
Rasio
Monosit 2.0-8.0 6.4 - - - -
Basophil 0-1 0.8 - - - -
Ket :
Merah : Diatas normal
Biru : Dibawah normal

 Pemeriksaan Fungsi Hati

Tanggal
Nilai
Pemeriksaan
normal 08/02/ 09/02/ 10/02/ 11/02/ 12/02/
13/02/
21 21 21 21 21
21
<10-40
Ureum - 536 - - - 563
mg/dl
SGPT <42 - 183 - - - 192
Bilirubin
0.2-1.3 - 3.6 - - - 3.5
Total

22
Bilirubin
0-0.4 - 2.9 - - - 3.0
direct
Bilirubin
<0.6 - 0.8 - - - 0.5
Indirek
Protein
6.4-8.3 - 4.8 - - - -
Total
Albumin 3.4-4.8 - 4.2 - - - -
Globulin 3-3.5 - 0.6 - - - -
Ket :
Merah : Diatas normal
Biru : Dibawah normal

3.6 Diagnosa
Berdasarkan hasil pemeriksaan USG abdomen, SGOT , SGPT, bilirubin pasien di diagnosa
menderita penyakit Sirosis hati, hepatoma dan hepatitis B.

3.7 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

1. Monitoring kadar kadar SGOT dan SGPT


2. Monitoring gangguan melena
3. Monitoring cairan(asites)

23
3.8 Lembar Pengobatan
Tanggal
08/02/21 09/02/21 10/02/21 11/02/21 12/02/21 13/02/21 14/02/21
Obat Dosis Frek Rute Obat Pulang
IGD RAWAT INAP
Non Parenteral
Spironolacton 100 mg (1x1) p.o √ √ √ √ √ √ √ spironolakton
Curcuma (3x1) p.o √ √ STOP - - - - furosemid
Furosemid 40 mg (1x1) p.o √ - √ √ √ √ - Hp Pro
HP pro (3x2) p.o √ √ √ √ √ √ √ Vitamin k
Acetil sistein 400 mg (3x1) p.o √ √ √ √ √ √ √ propanolol
Vit K (3x1) p.o √ - √ √ √ √ - orinox
Ulcetra (2x1) p.o √ - √ √ √ √ √ loremid
propanolol 10 mg (2x1) p.o - - √ √ √ √ √ heplav
dulcolax p.o - - √ √ - - - Vip albumin
Sukralfat syr (3x1) p.o - - - √ √ √ - xepazym
xepazym (2x1) p.o - - - - √ √ √
tracetat (2x1) p.o - - - - √ √ -
New diatab (3x1) p.o - - - - - - √
loperamid p.o - - - - - - √
Parenteral
Drip Dexketofren 1g (1x2) i.v √ √ - √ √ √ -
-
Inj Lansoprazol 8 mg (1x1) i.v √ √ √ √ - -


Inj Furosemid (2x1) i.v - √ - - √ √

-
Inj Ondansentron 8 mg (3x1) i.v - - √ √ √ -

24
-
Inj Ranitidin 500 mg (3x1) i.v √ - - - - -

-
Inj keterolac 500 mg (1x1) i.v √ - - - - -

-
Inj dexketofren 1g 1x1 amp i.v - - √ √ - -

10
(2x1
SNMC mg/2 i.v - - √ √ - - -
amp)
ml

Inj vit K i.v - - - - √ √

Inj √
i.v - - - - √ √
metoklopramid
-
S.omevel i.v - - - - √ -


Inj plasminak i.v - - - - √ √

Inj ondavel i.v - - - - √ √ √



Inj. pantovil i.v - - - - - √

25
3.9 DRUG RELATED PROBLEM (DRP)

Kod YA TIDAK KET


Klasifikasi
e
P1 Adverse reactions
Mengalami efek samping (non √
P1.1
alergi)
P1.2 Mengalami efek samping (alergi) √
P1.3 Mengalami efek toksik √
P2 Drug choice problem
P2.1 Obat yang tidak tepat √
P2.2 Sediaan obat yang tidak tepat √
P2.3 Duplikasi zat aktif yang tidak tepat √
√ Penggunaan Keterolak
P2.4 Kontraindikasi dan dexketo
meningkatkan gastritis
P2.5 Obat tanpa indikasi yang jelas √
Ada indikasi yang jelas namun tidak √
P2.6
diterapi
P3 Dosing problem
Dosis dan atau frekuensi terlalu √
P3.1
rendah
Dosis dan atau frekuensi terlalu √
P3.2
tinggi
P3.3 Durasi terapi terlalu pendek √
P3.4 Durasi terapi terlalu panjang √
P4 Drug use problem
P4.1 Obat tidak dipakai seluruhnya √
P4.2 Obat dipakai dengan cara salah √
P5 Interactions
√ propanolol dan
spironolacton
P5.1 Interaksi yang potensial meningkatkan kadar
kalium sehingga perlu
dipantau
P5.2 Interaksi yang terbukti terjadi √
P6 Other
Pasien tidak merasa puas dengan √
P6.1 terapinya sehingga tidak
menggunakan obat secara benar
Kurangnya pengetahuan terhadap √
masalah kesehatan dan penyakit
P6.2
(dapat menyebabkan masalah
dimasa datang)

26
Keluhan yang tidak jelas, perlu √
P6.3
klarifikasi lebih lanjut.
Keluhan terapi (alasan tidak √
P6.4
diketahui)

Klasifikasi masalah menurut PCNE V.05


3.10 Penjelasan Obat

Furosemid Indikasi

Untuk mengeluarkan kelebihan cairan dari dalam tubuh melalui


urine
Dosis
Dosis awal 1x40 mg pagi hari , penunjang 20-40 mg sehari,
maksimal 80 mg pada udem yang resisten.
Kontraindikasi
Hipovolemia, hiponatremia, anuri.
Efek samping
Hipotensi, hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia,
hiperurisemia
Interaksi obat

Antiinflamasi non-steroid (AINS), sukralfat


Spironolacton Indikasi

edema dan asitas pada sirosis hati, asites malignan, sindroma


nefrotik, gagal jantung kongestif; hiperaldosteronism primer.
Dosis

Dewasa: 100-200 mg sehari, jika perlu tingkatkan sampai 400


mg; Anak. dosis awal 3 mg/kg bb dalam dosis terbagi.
Kontraindikasi

Anuria, Acute Renal insuffiency, hiperkalemia


Efek samping
gangguan saluran cerna, impotensi, ginekomastia, menstruasi
tidak teratur, letargi, sakit kepala, bingung; ruam kulit;
hiperkalemia; hiponatremia; hepatotoksisitas, osteomalasia
Interaksi obat

Efek spironolacton dapat meningkat ketika diberikan dengan

27
OAINS (DIH)
Spironolacton dapat meningkatkan kadar pottasium ketika
diberikan dengan propanolol atau keterolac. (Medscape)

Inj Ketorolac Indikasi


Penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang
sampai berat setelah prosedur bedah
Dosis
Oral : 10 mg setiap 4-6 jam, maksimal 40 mg/hari
Injeksi im/iv : diberikan dalam waktu tidak kurang dari 15
detik. Dosis awal 10 mg, kemudian 10-30 mg setiap 4-6 jam
apabila diperlukan. Dosis maksimal 90 mg/hari. Lama
pengobatan maksimal 5 hari.
Kontraindikasi
Riwayat alergi terhadap asetosal atau OAINS lain, ulkus
peptikum aktif atau perdarahan gastrointestinal, penyakit ginjal
sedang sampai berat, hamil, laktasi, anak dibawah 16 tahun,
penyakit serebrovaskular, gangguan koagulasi, hypovolemia.
Efek samping
Diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal, mual, sakit kepala,
pusing, mengantuk, berkeringat.
Interaksi obat

 Pemberian bersama dengan metotreksat meningkatkan


toksisitas metotreksat
 Penggunaan bersama warfarin dihubungkan dengan
perdarahan berat
 Ketorolac mengurangi respon diuretik terhadap
furosemide
Indikasi
Dulcolax Konstipasi, pembersihan kolon sebelum prosedur radiologi dan
(Bisacodyl) bedah
Dosis
Dewasa dan anak < 10 tahun

28
Konstipasi : 5 mg peroral (malam), atau suppositoria 5 mg
(pagi)
Pembersihan kolon : 10-20 mg peroral (malam),
dilanjutkan dengan 10 mg suppositoria (pagi).
Anak 4-10 tahun
Konstipasi : 5 mg peroral (malam) atau suppositoria 5 mg
(pagi)
Pembersihan kolon : 5 mg per oral (malam), dilanjutkan dengan
5 mg suppositoria (pagi)
Kontraindikasi
Ileus, obstruksi intestinal, inflammatory bowel diease akut,
appendistis, dehidrasi berat, fissura anal, hemoroid (untuk
pemberian suppositoria).
Efek samping
Gangguan saluran cerna ( keram & nyeri abdomen, diare)
reaksi alergi hipokalemia, iritasi lokal pada penggunaan

suppositoria.

Interaksi obat
Antasida dan susu dapat mengurangi absorpsi (beri jarak 1jam)
Perhatian

Kehamilan, menyusui, anak < 4 tahun.

Inj ondanse tron Indikasi


Mual dan muntah akibat kemoterapi dan radioterapi
pencegahan mual dan muntah pasca operasi
Dosis
Dosis anak : iv lambat, 100 mcg/kgBB (maksimal 4 mg)
sebelum, selama dan setelah induksi anastesi.
Kontraindikasi
Hipersensitifitas.
Efek samping
Sakit kepala sensasi hangat atau kemerahan konstipasi
Perhatian

29
Hipersensitifitas terhadap antagonis 5HT3 lainnya obstruksi
intestinal sub akut kehamilan menyusui gangguan hati sedang
dan berat
Interaksi obat
Fenitoin, karbamazepin dan rifampisin meningkatkan
metabolisme ondansentron ondansentron menurunkan efek
Tramadol.
Inj ranitidine Indikasi
Tukak lambung tukak duodenum refluks esofagitis
Dosis
im : 50 mg (2ml) tiap 6 jam.
iv : 50 mg diencerkan sampai 20 ml dan diberikan selama tidak
kurang dari 2 menit, dapat diulang tiap 6-8 jam.
Kontraindikasi
Penderita yang hipersensitif terhadap ranitidin atau H2 receptor
antagonist lainnya
Efek samping
Sakit kepala pusing mengantuk konstipasi diare mual muntah
nyeri perut
Interaksi obat

Penggunaan bersamaan dengan antasida dapat mengurangi


bioavailabilitas ranitidin sehingga berikan ranitidin berselang 2
jam Setelah penggunaan antasida pemberian bersama warfarin
dapat meningkatkan atau menurunkan waktu protrombin

Plasminac Indikasi
(Asam Tranexsamat) Fibrionolysis, pendarahan abnormal pasca operasi
Dosis
500 mg diberikan 3-4x sehari, injeksi 500-1000 mg dengan
dosis injeksi lambat 3x1 (1mL/menit)
Kontraindikasi
Hipersensitivitas
Efek samping

30
Mual, Muntah, Diare, Hipotensi

Interaksi obat
Plasminex oral dapat berinteraksi dengan hormon esterogen
Plasminex injeksi dapat berinteraksi dengan antibiotik penisilin.
Curcuma Indikasi
Untuk membantu memelihara kesehatan fungsi hati, serta
membantu memperbaiki nafsu makan.
Dosis
3 x sehari 1-2 tablet

Kontra Indikasi
-

Efek Samping
Mual, diare, perdarahan pada orang-orang dengan kondisi
kesehatan tertentu (batu ginjal atau penyakit autoimun)
Interaksi Obat
Aspirin, obat NSAID, obat diabetes, obat hipertensi, obat
pengencer darah
Aceti Sistein Indikasi
Terapi hipersekresi mukus kental dan tebal pada saluran
pernafasan
Dosis
3x 400 mg per hari

Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap acetylcystein

Efek Samping
Urtikaria, mual, muntah, diare

Interaksi Obat

31
Vitamin K Indikasi
pembekuan darah, mencegah kekurangan (defisiensi) vitamin
K, dan mengobati osteoporosis (melemahnya tulang).
Dosis
10-40 mg/ hari

Kontra Indikasi
Anemia , hamil, dan memiliki alergi atau reaksi hipersensitifitas
terhadap vitamin K.
Efek Samping

Berkeringat, pusing, kesemutan.
Interaksi Obat

Vitamin K dapat memiliki potensi interaksi apabila diberikan


bersamaan dengan antibiotik, antikoagulan (seperti warfarin),
dan aspirin. Vitamin K juga disarankan untuk tidak dikonsumsi
bersamaan dengan alkohol karena dapat meningkatkan efek
samping mengantuk. 
Hp Pro Indikasi
Membantu memelihara kesehatan fungsi hati.

Dosis

3 kali sehari 1 kapsul


Kontra Indikasi

Jangan memberikan HP Pro Kapsul untuk pasien yang


hipersensitif terhadap komponen obat.

Efek Samping
-

Interaksi Obat
-

Ulcetra Indikasi
(tramadol, paracetamol) Analgetik, antipiretik

Dosis

Kontra Indikasi

 Hipersensitif atau alergi dengan paracetamol dan

32
tramadol.
 Intoksikasi akut dengan opioid, alkohol, hipnotik,
narkotika, analgesik kerja terpusat, obat-obatan
psikotropika
Efek Samping

Mual, Pusing, Mengantuk


Interaksi Obat

 Tidak boleh diberikan bersamaan dengan MAOI, SSRI,


cimetidine.
 Peningkatan metabolisme tramadol jika diberikan
bersamaan dengan carbamazepine.
 Menambah konsentrasi jika diberikan bersamaan
dengan quinidine.
 INR meningkat jika diberikan bersamaan dengan
senyawa warfarin.
 Penghambatan metabolisme jika diberikan bersamaan
dengan CYP2D6 misalnya, fluoxetine, paroxetine,
amitriptyline.
Inj Lansoprazol Indikasi
Tukak duodenum dan tukak lambung, refluks esofagitis

Dosis
Dosis disesuaikan dengan kondisi pasien.

Kontra Indikasi
Penderita yang hipersensitif tehadap lansoprazol

Efek Samping
Diare, mual, sakit kepala

Interaksi Obat
Meningkatkan kadar warfarin, diazepam, phenytoin

Indikasi
Drip Dexketo Meredakan gejala nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang

Dosis
Dosis 50 mg tiap 8–12 jam. Jika diperlukan, suntikan akan
kembali diberikan setelah 6 jam. Dosis maksimal 150 mg per
hari.
Kontra Indikasi
Hipersensitivitas dengan OAINS lainnya, asma, bronkhopasme,

33
rinitis akut, polip nasal, urtikaria, edema angioneurotik yang
dipicu OAINS lainnya.
Efek Samping
Pusing, Mual, Muntah, Diare, dan Nyeri ulu hati.

Interaksi Obat

 Peningkatan efek toksik dari lithium, methotrexate,


hydantoin, atau sulfonamida
 Peningkatan risiko terjadinya kerusakan ginjal jika
digunakan dengan ciclosporin, tacrolimus, atau ACE
inhibitor
 Penurunan efektivitas obat diuretik atau
obat antihipertensi
 Peningkatan risiko terjadinya perdarahan saluran
pencernaan jika digunakan dengan OAINS, aspirin, obat
trombolitik, kortikosteroid, antiplatelet,
atau antikoagulan, seperti warfarin
 Peningkatan konsentrasi dexketoprofen di dalam darah
jika digunakan dengan probenecid
 Peningkatan risiko terjadinya hipoglikemia jika
digunakan dengan sulfonilurea

Propanolol Indikasi
terapi hipertensi, angina, aritmia, pencegahan migrain

Dosis
Dewasa dan anak > 12 tahun untuk hipertensi : 20 mg, 3-4 kali
sehari; aritmia : 10-20 mg, 3-4 kali sehari; angina : 10-20 mg,
3-4 kali sehari; mencegah migrain : 40 mg,2-3 kali sehari.
Anak-anak : aritmia : 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 kali
pemberian; hipertensi : 1-3 mg/kgBB/hari dibagi 3 kali
pemberian.
Kontra Indikasi
Pasien yang memiliki riwayat hipersensitif terhadap
propranolol.
Pasien yang memiliki riwayat penyakit sinus bradikardia, syok
kardiogenik (gangguan jantung), sindrom sakit sinus, asma
bronkial.

34
Efek Samping
lemah, lesu, mual, bradikardi (denyut jantung lebih lambat),
konstipasi, diare
Interaksi Obat
amiodarone atau antagonis kalsium, reserpine, OAINS seperti
ibuprofen atau indomethacin, warfarin, obat bius, lidocaine.
SNMC Indikasi
untuk memperbaiki fungsi hati abnormal pada penyakit hati
kronis
Dosis
Dosis 40-60 mL dengan injeksi intravena atau infus infus
intravena sekali sehari. Dosis dapat disesuaikan tergantung
pada usia dan gejala pasien. Dosis harian maksimal: 100 mL.
Kontra Indikasi
alergi terhadap kandungan Stronger Neo-Minophagen C dan
pasien dengan riwayat aldosteronisme, miopati dan
hipopotasemia.
Efek Samping
syok, pseudoaldosteronisme misalnya, hipopotasemia berat,
hipertensi, cairan tubuh dan retensi Na, pembengkakan, dan
peningkatan berat badan.
Interaksi Obat
obat thiazide, ethiazide dan trichlomethiazide, ethacrynic acid
dan furosemide.
Sucralfat Indikasi
Tukak lambung, tukak duodenum

Dosis
4x1 gr/hari (2 jam sebelum makan dan sebelum tidur malam)
maks 8 gr/hari. Larutan suspensi: 2 sdt 4x/hari
Kontra Indikasi
Hipersensitivitas terhadap kandungan obat Gangguan fungsi
ginjal Kesulitan menelan Gangguan intestinal

35
Efek Samping
Konstipasi, diare, mulut kering, sakit kepala

Interaksi Obat
Menurunkan absorpsi ciprofloxacin, warfarin

Dexketoprofen Indikasi
Meredakan gejala nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang

Dosis
Dosis 12,5 mg tiap 4–6 jam atau 25 mg tiap 8 jam. Dosis
maksimal adalah 75 mg per hari
Kontra Indikasi
Hipersensitivitas dengan OAINS lainnya, asma, bronkhopasme,
rinitis akut, polip nasal, urtikaria, edema angioneurotik yang
dipicu OAINS lainnya.
Efek Samping

Pusing, Mual, Muntah, Diare, dan Nyeri ulu hati.


Interaksi Obat

 Peningkatan efek toksik dari lithium, methotrexate,


hydantoin, atau sulfonamida
 Peningkatan risiko terjadinya kerusakan ginjal jika
digunakan dengan ciclosporin, tacrolimus, atau ACE
inhibitor
 Penurunan efektivitas obat diuretik atau
obat antihipertensi
 Peningkatan risiko terjadinya perdarahan saluran
pencernaan jika digunakan dengan OAINS, aspirin, obat
trombolitik, kortikosteroid, antiplatelet,
atau antikoagulan, seperti warfarin
 Peningkatan konsentrasi dexketoprofen di dalam darah
jika digunakan dengan probenecid
 Peningkatan risiko terjadinya hipoglikemia jika
digunakan dengan sulfonilurea

Xepazym Indikasi
untuk mengatasi kembung, gangguan lambung dan usus
Eso: mual muntah rasa tidak nyaman di saluran pencernaan

36
Dosis
Pancreatin 170 mg.
Simethicone 80 mg.
Kontra Indikasi
Pasien yang memilki alergi terhadap komponen obat ini.
Penderita dengan kerusakan saluran empedu
Efek Samping
Diare, sakit kepala. Konstipasi, sembelit,nyeri sendi, iritasi
antara gusi dan pipi
Interaksi Obat
Acarbose - menurunkan efektivitas acarbose.
Asam folat - mengganggu penyerapan asam folat.
S.Omevell Indikasi
untuk mengobati pasien dengan gangguan Gastroesophageal
Reflux Disease (GERD) dengan esofagitis (peradangan pada
lapisan kerongkongan) atau simptom refluks yang berat dan
pasien tukak lambung (Ulkus peptik) yang diakibatkan
konsumsi OAINS.
Dosis
Esofagitis drajat C dan D rusak : 40 mg sehari sekali selama 4
minggu
Esofagitis drajat A dan B rusak : 20 mg sehari sekali
GERD : 20 mg sekali sehari
Kontra Indikasi
Hipersensitif atau alergi terhadap obat esomeprazole atau
atazanavir, dan benzimidazoles.
Efek Samping
Kelainan sistem hematologi dan kelenjar getah bening.
Diare, mual, muntah.
Gangguan sistem kekebalan.
Gangguan metabolisme dan nutrisi.
Gangguan jiwa.
Gangguan sistem saraf pusat.

37
Gangguan penglihatan, gangguan pernapasan.
Mediastinum (sekat dada bagian tengah rongga dada yang
memisahkan paru-paru kiri dan kanan).
Obstruksi hati dan empedu.
angguan kulit dan jaringan subkutan.
Gangguan muskuloskeletal.
Obstruksi ginjal dan saluran kemih.
Gangguan reproduksi dan payudara
Interaksi Obat
Dapat berinteraksi dengan obat Ketokonazol, itrakonazol,
atazanavir, ritonavir, citalopram, diazepam, imipramine, derivat
coumarin, fenitoin, clomipramine, warfarin, amoksisilin,
kuinidin.
Inj Ondavel Indikasi
mencegah mual dan muntah yang di sebabkan oleh kemoterapi
sitotoksik dan radioterapi.
Dosis
Dewasa: Awalnya 8 mg infus intravena lambat atau 15 menit
segera sebelum kemoterapi, diikuti oleh infus lebih lanjut 1
mg / jam hingga 24 jam atau 2 dosis 8 mg infus intravena
lambat atau 15 menit setiap 4 jam terpisah. Salah satu rejimen
kemudian di lanjutkan dengan 8 mg per oral setiap 8 jam
hingga 5 hari. Kemoterapi Kurang emetogenik: 8 mg infus
intravena lambat atau 15 menit infus segera sebelum
kemoterapi
Anak usia > 4 tahun: 5 mg / m2 di berikan infus intravena
selama 15 menit segera sebelum kemoterapi, diikuti dengan 4
mg per oral setiap 8 jam sampai 5 hari.
Kontra Indikasi
hipersensitif , jangan gunakan bersamaan apomorphine

Efek Samping
Sakit kepala, sensasi kemerahan atau kehangatan di kepala dan
epigastrium, dan sembelit.

38
Interaksi Obat
Dexamethasone Na phosphate dapat mempotensiasi efek
antiemetik.Dapat mengembangkan sindrom serotonin
(termasuk perubahan status mental, ketidakstabilan otonom,
kelainan neuromuskuler) dengan SSRI, MAOI, mirtazapine,
fentanil, litium, metilen biru, serotonin noradrenalin reuptake
inhibitor (SNRI).
Tracetat Indikasi
Pengobatan kanker endometrium dan kanker payudara

Dosis
160 mg/tab

Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap obat ini, kondisi ketika tromboemboli

Efek Samping
Peningkatan berat badan

Interaksi Obat
Konsentrasi indinavir dapat dikurangi.
Kemungkinan efek terapi cisplatin.
Waktu paruh warfarin dapat ditingkatkan.
Konsentrasi megestrol dapat dikurangi dengan
aminoglutethimide dan obat penginduksi enzim.

39
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang pasien Tn. S datang ke rumah sakit dengan keluhan pasien merasa perut
begah dan kembung, mual (+), muntah (-). Pasien mau makan nasi tapi sedikit. Pasien
memiliki BB 65 kg, TB 170 cm, TD:120/90, N:82, S:36.5, RR:22, SPO 2:93, Hb:15.6,
Leukosit:8980, trombosit:186000, HT:43.5, serta hasil pemeriksaan USG abdomen
menunjukkan kesan hepatomegali di lobus dextra hepar, cholestasis, splenomegali dan
ascites. dokter mendiagnosa pasien tersebut mengalami sirosis hepatis, hepatoma dan
hepatitis B.

Pasien masuk pertama kali ke ruang IGD, adapun terapi yang diberikan kepada pasien
adalah curcuma 3x1 sebagai hepatoptotektor selain itu juga untuk meningkatkan nafsu makan
pasien. Pasien juga diberikan spironolakton 100mg 1x1 dn inj furosemid 2x1. Salah satu
komplikasi yang muncul pada pasien ketika menderita sirosis hati adalah asites/penumpukan
cairan, sehingga dibutuhkan tatalaksana untuk mengurangi jumlah cairan. Tujuan pemberian
spironolacton dengan furosemid adalah untuk menutupi efek samping masing-masing obat
dimana furosemid dapat menurunkan kadar kalium dan spironolacton dapat meningkatkan
kadar kalium. Pasien diberikan injeksi ketorolac 10 mg/ml dan injeksi dexketofren sebagai
antinyerinya. Namun Ketorolac berinteraksi dengan furosemide dan inj furosemid (minor)
yang dapat menyebabkan penurunan efek dari furosemide dengan menghambat absorpsi
garam dan cairan dalam tubulus ginjal. Namun pemberian antara furosemid dan ketorolac
sudah dijarakkan. Pemberian OINS secara bersamaan juga tidak direkomendasikan karena
dapat meningkatkan terjadinya gastrointestinal bleeding, kemudian diberikan Inj Ranitidin
dan Lansoprazole untuk mengatasi kenaikan asam lambung dan mengurangi terjadinya GI
bleeding.

Pada hari kedua perut pasien semakin membuncit, perut kembung dan nyeri.
Dilakukan pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan urinalisa dan pemeriksaan fungsi
hati. Dilihat dari hasil laboratorium, nilai SGOT dan SGPT yang menjadi salah satu
parameter terjadinya gangguan hati. Dan ditemukan adanya bilirubin pada urine pasien.Untuk
pengobatan, pemberian curcuma dihentikan. Pasien mendapatkan injeksi Lansoprazol 1x1
yang digunakan untuk mengurangi gejala gastritis. Pasien mendapatkan furosemid 40 mg 1x1
dan spironolacton 100 mg 1x1. Penggantian curcuma dengan HP Pro karena curcuma
memiliki sifat sebagai antioksidan dan antiinflamasi sedangkan HP Pro memiliki kemampuan

40
yang lebih banyak yaitu sebagai antioksidan, mempercepat regenerasi sel dan memperbaiki
fungsi hati.HP pro yang berisi Silybum marianum memiliki kemampuan antihepatotoksik
melalui aksi sebagai antioksidan dan juga meningkatkan laju sintesis asam ribonukleat
ribosom melalui stimulus nuclear polymerase I. protein mensintesis dan mempercepat proses
regenerasi sel dan efektif untuk melawan hepatitis serta dapat sebagai antiinflamasi (Czygan
et al, 2001)
Regimen dosis kombinasi diuretik yang direkomendasikan American Association for
the Study of Liver Diseases (AASLD) adalah spironolakton 100 mg/hari dan furosemid 40
mg/hari. Jika dengan dosis tersebut pasien belum menunjukkan penurunan berat badan harian
dan natriuresis yang cukup, maka dapat dilakukan peningkatan dosis tiap 3- 5 hari dengan
dosis maksimum spironolakton 400 mg/hari dan furosemid 160 mg/hari. Peningkatan dosis
harus tetap mempertahankan rasio spironolakton 100 mg : furosemid 40 mg untuk menjaga
normokalemia. Kemudian pasien diberikan asetil sistein 3x400mg yang berfungsi sebagai
anti inflamasi. Untuk managemen nyeri digunakan inf drip dexketoprofen/12 jam.

Penggunaan OAINS non selektif dapat menimbulkam efek samping berupa gastritis,
selain itu pasien juga berpotensi mengalami melena sehingga penggunaan OAINS non
selektif perlu di pertimbangkan. Dengan cara memberikan antibiotik yang selektif karena
OAINS non selektif yaitu kerusakan mukosa lambung terjadi akibat produksi
prostaglandinyang menurun. Prostaglandin merupakan substansi sitoproteksi yang sangat
penting bagi mukosa lambung (Tjay TH, 2005).

Dihari ketiga, pasien masih mengeluhkan perut tegang dan menyesak serta terasa
nyeri. Setelah dilakukan penilaian dan evaluasi nyeri yang dirasakan pasien adalah 4,
termasuk kedalam kategori sedang. Pasien mendapatkan terapi yang sama dengan hari kedua
namun terdapat penambahan seperti, vitamin K 3x1, menurut Senzollo dkk., (2006) pasien
dengan penyakit hati yang parah mengalami penurunan sintesis plasma fibrinogen sehingga
risiko perdarahan akan meningkat, maka dari itu diperlukan terapi sebagai profilaksis.
Pemberian Uretra 2x1 dan inj Dexketo sebagai management nyeri. Diberikan Dulcolax 2
tablet bertujuan agar feses lunak dan tidak memicu pendarahan dan juga mendapatkan
propanolol 2x10 mg. Pemberian propanolol bertujuan untuk mengatasi hipertensi porta.
Untuk hepatoprotektornya digunakan Inj SNMC (Stronger Neo-minophagen C). Inj SNMC
yang berisi Glisirizin memiliki manfaat dalam perbaikan fungsi hati.

41
Pada hari keempat pasien masih merasakan perut tegang, menyesak dan nyeri serta
mual, pengobatannnya ditambah dengan sukralfat syrup 3x10ml dan inj ondansetron karena
pasien masih mengalami mual. Terdapat interaksi antara sukralfat dengan furosemid yaitu
sukralfat dapat menurunkan absorbsi furosemid sehingga penggunaannya tidak boleh
bersamaan. Dihari kelima ditambahkan penggunaan xepazym 2x1, Tracetat 2x10 ml, inj
metoklopramid, injeksi plasminak. Dihari keenam kondisi pasien perutnya tambah membesar
dan menyesakkan pengobatannya ditambahkan dengan inj pantovil, diberikan inj ceffacef
serta diberikan inj triject 2x1 . Pada hari ketujuh pasien diberikan pengobatan yang sama
dengan sebelumya, dan pasien pulang di hari ketujuh dengan kondisi belum sembuh dan
mendapatkan obat pulang.

Pasien mengalami cholesistasis dilihat dari hasil MSCT abdomen untuk tatalaksana
cholisistasis yaitu istirahat total, diet rendah lemak, pemberian antibiotik. Terapi antibiotik
pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi. Antibiotik yang dapat digunakan
adalah golongan ampisilin, sefalosporin generasi ketiga dan keempat serta metronidazole.
Pada kasus ini pasien disarankan untuk diberikan antibiotic cefixime 2x1 (Irawan, dkk,
2013).

Pasien yang menerima terapi hepatoprotektor yaitu pasien-pasien dengan nilai


ALT/AST >2x BANN. Nilai ALT/AST dipantau setiap 3 bulan (Anonim, 2006). Dosis dan
durasi untuk penggunaan terapi hepatoprotektor telah sesuai dengan guideline yang ada.
Curcuma dan HP Pro diberikan secara oral yaitu dengan dosis masing-masing 200 mg dan
500 mg, sedangkan untuk SNMC diberikan secara intravena dengan dosis per hari 40 mg
dalam cairan. Pemberian hepatoprotektor ditujukan untuk mengembalikan fungsi hati agar
kembali membaik. Dengan kembali pulihnya fungsi dan kondisi hati, maka nilai-nilai
parameter hati salah satunya ALT/AST dapat juga kembali normal.

42
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pasien didiagnosa sirosis hati, Hepatoma dan hepatitis B. Pasien sudah mendapatkan

terapi untuk diagnosa tersebut. Pasien juga mendapatkan terapi untuk keluhan seperti nyeri,

mual dan masalah lambung namun masih belum ada perbaikan.

5.2 Saran

Dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan pasien disarankan melakukan

pemeriksaan penunjang agar dapat memberikan terapi yang tepat.

43
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Konsensus PPHI tentang Panduan Tata Laksana Infeksi Hepatitis B Kronik.
Jakarta. 2006

European Association for the Study of the Liver. EASL: clinical practice guidelines
on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and
hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Hepatol. 2010;53:397-417.

H.Masriadi. (2017). Epidemiologi Penyakit Menular (2 ed.). Depok: PT.


RajaGrafindo Persada.

Handaya, A. Y. (2017). Deteksi Dini & Atasi 31 Penyakit Bedah Saluran Cerna
(Digestif). Yogyakarta: Rapha Publishing.

Hincliff, Sue. 2000. Kamus Keperawatan Jakarta: EGC.Huang LL., Xiang Xia HH.,
and Lin Zhu S. Ascitic fluid analysis in the differential diagnosis of ascites:
focus on cirrhotic ascites. Journal of Clinical and Translational Hepatology.
2014 vol. 2; 58-64.

Irawan, C., Tarigan dan Marbun. 2015. Kolisistisis akut, Panduan Tata Laksana
Kegawatdaruratan di Bidang Ilmu penyakit dalam- Internal Medicine
Emmergency Life Support, Jakarta: Interna Publishing.

Misnadiarly, 2007. Beberapa FaktorYang Berhubungan Dengan Status Kelengkapan


lmunisasi Hepatitis B pada Bayi di Puskesmas Lanjas Kabupaten Barito Utara,
Kalimantan Tengah, MedikIndonesia ; 4:251-7.

Mustofa, S., & Kurniawaty, E. (2013). Manajemen Gangguan Saluran Cerna :


Panduan bagi dokter umum. Bandar Lampung: Aura Printing & Publishing.

Price & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jakarta:
EGC.

Senzollo, M., Burra, P., Cholongitas, E., dan Burroughs, A., 2006. New insights into
the coagulopathy of liver disease and liver transplantation. World Journal of
Gastroenterology, 12: 7725–7736.

44
Sievert, William, Melvyn G. Korman, Terry Bolin. (2010). SegalaSesuatutentang
Hepatitis. Jakarta: Arcar.

Sufianto,W, 2002. Survey Kerentanan Anakanak Lombok Terhadap Infeksi Hepatitis


B di Daerah Endemik. Lombok

Sulaiman, H. A. (2012). Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta: CV. Agung Seto.

Tjay TH, Raharja K. Obat-obat penting. Jakarta: PT Gramedia; 2005.

WHO. (2009). Weekly Epideiological Record.

45

Anda mungkin juga menyukai