Disusun Oleh :
Fransisca Magdalena Sutrisna – 112014083
Pembimbing :
dr. Diany Nurliana Taher, SpPD
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul “Hematemesis Melena et causa
Pecahnya Varises Esofagus et causa Sirosis Alkoholik” ini dapat diselesaikan.
Laporan kasus ini merupakan salah satu pemenuhan syarat kepaniteraan klinik
di bagian Ilmu Kesehatan Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto.
Terima kasih penyusun ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak
membantu dalam penyusunan laporan kasus ini, khususnya kepada dr. Diany Nurliana
Taher, SpPD sebagai pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan, serta
dukungan dalam penyusunan laporan kasus ini. Penyusun juga mengucapkan terima
kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang banyak membantu dalam
penyusunan laporan kasus ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk
perbaikan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Demikianlah kata pengantar dari penyusun, semoga laporan kasus ini
bermanfaat untuk menambah wawasan kita semua. Sekian dan terima kasih.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
2
2.27 Indikasi dan Kontraindikasi Endoskopi Saluran Cerna ................................ 46
2.28 Penyulit Komplikasi Endoskopi ................................................................... 47
2.29 Diet Penyakit Hati ......................................................................................... 48
BAB III : STATUS PASIEN ILMU PENYAKIT DALAM
3.1 Identitas Pasien ............................................................................................... 51
3.2 Anamnesis ....................................................................................................... 51
3.3 Anamnesis Sistem ........................................................................................... 53
3.4 Riwayat Hidup ................................................................................................ 56
3.5 Pemeriksaan Jasmani ...................................................................................... 56
3.6 Laboratorium & Pemeriksaan Penunjang Lainnya ......................................... 61
3.7 Ringkasan (Resume) ....................................................................................... 66
3.8 Diagnosis Kerja & Dasar Diagnosis ............................................................... 67
3.9 Diagnosis Diferensial & Dasar Diagnosis Diferensial .................................... 67
3.10 Pemeriksaan Yang Dianjurkan ..................................................................... 68
3.11 Rencana Pengelolaan .................................................................................... 68
3.12 Pencegahan ................................................................................................... 69
3.13 Follow Up Harian ......................................................................................... 69
3.14 Prognosis ....................................................................................................... 70
BAB IV : KESIMPULAN .......................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 74
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan dan pembahasan presentasi kasus ini agar dapat memahami
mengenai hematemesis melena pada pecahnya varises esofagus yang sering disebabkan
oleh sirosis hati dimana pada kasus ini sirosis hati disebabkan karena alkohol. Penting
untuk dokter umum sebagai tenaga medis terdepan untuk mendiagnosis dan tatalaksana
dini secara tepat sebelum timbulnya komplikasi lebih lanjut dari penyakit pasien.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Gambar 2. Permukaan Posterior Hati. 5
7
dari vena porta. Peningkatan tekanan dalam sistem ini sering menjadi manifestasi
gangguan hati dengan akibat serius yang melibatkan pembuluh-pembuluh darimana
darah portal berasal. Beberapa lokasi anastomosis portakaval memiliki arti klinis yang
penting. Pada obstruksi aliran ke hati, darah porta dapat dipirau ke sistem vena
sistemik.3
Metabolisme pigmen empedu Bilirubin, pigmen empedu utama, merupakan hasil akhir
metabolisme pemecahan sel darah merah yang sudah
tua; proses konjugasinya.
Metabolisme karbohidrat Hati memegang peranan penting dalam mempertahankan
Glikogenesis kadar glukosa darah normal dan menyediakan energi
Glikogenolisis untuk tubuh. Karbohidrat disimpan dalam hati sebagai
Glukoneogenesis glikogen.
Metabolisme protein Protein serum yang disintesis oleh hati termasuk albumin
Sintesis protein serta α dan β globulin (γ globulin tidak).
Faktor pembekuan darah yang disintesis oleh hati adalah
fibrinogen (I), protrombin (II), dan faktor V, VII, VIII,
8
IX, dan X.
Vitamin K
diperlukan
sebagai
kofaktor
pada
sintesis
semua
faktor ini
kecuali
faktor V.
9
Pembentukan urea Urea dibentuk semata-mata dalam hati dari NH3, yang
Penyimpanan protein (asam kemudian diekskresi dalam kemih dan feses.
amino) NH3 dibentuk dari deaminsasi asam amino dan kerja
bakteri usus terhadap asam amino.
Metabolisme lemak Hidrolisis trigliserida, kolesterol, fosfolipid, dan
lipoprotein (diabsorbsi dari usus) menjadi asam lemak
dan gliserol.
Ketogenesis
Sintesis kolesterol Hati memegang peranan utama pada sintesis kolesterol,
sebagian besar diekskresi dalam empedu sebagai
kolesterol atau asam kolat.
Penyimpana lemak
Penyimpanan vitamin dan Vitamin yang larut lemak (A, D, E, K) disimpan dalam
mineral hati; juga vitamin B12, tembaga dan besi.
10
terbatas, maka sekelompok sel pruripotensial oval yang berasal dari duktulus-duktulus
empedu akan berproliferasi sehingga membentuk kembali hepatosit dan sel-sel bilier
yang tetap memiliki kemampuan beregenerasi.4,6
Dari penelitian model binatang ditemukan bahwa hepatosit tunggal dari tikus
dapat mengalami pembelahan hingga ± 34 kali, atau memproduksi jumlah sel yang
mencukupi sel-sel untuk membentuk 50 hati tikus. Dengan demikian dpaat dikatakan
sengatlah memungkinkan untuk melakukan hepatektomi hingga 2/3 dari seluruh hati.4,6
11
2.7 Vaskularisasi Esofagus
Vaskularisasi esofagus mengikuti pola segmental. Pada esofagus bagian atas
disuplai oleh cabang-cabang arteria tiroidea inferior dan subklavia, bagian tengah
disuplai oleh cabang-cabang segmental aorta dan arteria bronkialis, sedangkan bagian
subdiafragmatika disuplai oleh arteria gastrika sinistra dan frenika inferior. Aliran darah
vena juga mengikuti pola segmental. Vena-vena esofagus daerah leher mengalirkan
darah ke vena azigos dan hemiazigos, yang selanjutnya ke vena kava superior, dan di
bawah diafragma vena esofagus mengalir ke vena gastrika sinistra, yang selanjutnya ke
vena porta.9
Pembuluh darah sistem gastrointestinal merupakan bagian dari sistem yang
disebut sirkulasi splanknik. Sirkulasi ini meliputi aliran darah dari usus, limpa, pankreas
dan hati. Model dari sistem ini adalah sedemikian rupa sehingga semua darah yang
melewati usus, limpa, dan pankreas akan menuju ke hati melalui vena porta. Aliran
darah pada vena porta, yang berasal dari aliran darah vena mesenterika superior (vena
mesenterika inferior mengalir ke vena splenika) dan vena splenika, membawa sekitar
1500 ml darah per menit. Suplai darah ke hati ini adalah sekitar 80%.9
Di dalam hati, darah akan mengalir melewati berjuta-juta sinusoid hati (saluran
vaskuler intrahepatik) yang sangat kecil dan akhirnya meninggalkan hati melalui vena
hepatika yang masuk ke dalam vena kava dari sirkulasi sistemik (Gambar 6).10
12
2.8 Klasifikasi dan Etiologi Sirosis Hepatis
Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul
lebih dari 3 mm) atau mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm) atau campuran
mikro dan makronodular. Selain itu juga diklasifikasikan berdasarkan etiologi,
fungsional namun hal ini juga kurang memuaskan.1
Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan
morfologis menjadi: 1). alkoholik, 2) kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrosis), 3)
biliaris, 4) kardiak, dan 5) metabolik, keturunan, dan terkait obat.
Etiologi dari sirosis hati disajikan dalam Tabel 1. Di negara barat yang tersering
akibat alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B
maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan
sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30—40%, sedangkan 10-20%
penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (non B-non
C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali
karena belum ada datanya.1
13
sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadang-kadang disebut sirosis mikronodular.
Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi hati
utama akibat induksi alkohol adalah 1). Perlemakan hati alkoholik, 2). Hepatitis
alkoholik, dan 3). Sirosis alkoholik.1
Tabel 2. Sebab-sebab Sirosis dan/atau Penyakit Hati Kronik.1
Hepatitis Alkoholik
Fibrosis perivenular berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat masukan
alkohol dan destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang terjadi dapat
berkontraksi di tempat cedera dan merangsang pembentukan kolagen. Di daerah
periportal dan perisentral timbul septa jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya
menghubungkan triad portal dengan vena sentralis. Jalinan jaringan ikat halus ini
mengelilingi massa kecil sel hati yang masih ada yang kemudian mengalami regenerasi
dan membentuk nodulus. Namun demikian kerusakan sel yang terjadi melebihi
14
perbaikannya. Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil, berbenjol-
benjol (nodular) menjadi keras, terbentuk sirosis alkoholik.1
Mekanisme cedera hati alkoholik masih belum pasti. Diperkirakan
mekanismenya sebagai berikut: 1). Hipoksia sentrilobular, metabolisme asetaldehid
etanol meningkatkan konsumsi oksigen lobular, terjadi hipoksemia relatif dan cedera
sel di daerah yang jauh dari aliran darah yang teroksigenasi (misal daerah perisentral);
2). Infiltrasi/aktivitas neutrofil, terjadi pelepasan chemoattractants neutrofil oleh
hepatosit yang memetabolisme etanol. Cedera jaringan dapat terjadi dari neutrofil dan
hepatosit yang melepaskan intermediet oksigen reaktif, proteasa, dan sitokin; 3).
Formasi acetaldehyde-protein adducts berperan sebagai neoantigen, dan menghasilkan
limfosit yang tersensitisasi serta antibodi spesifik yang menyerang hepatosit pembawa
antigen ini; 4). Pembentukan radikal bebas oleh jalur alternatif dari metabolisme etanol,
disebut sistem yang mengoksidasi enzim mikrosomal.
Patogenesis fibrosis alkoholik meliputi banyak sitokin, antara lain faktor
nekrosis tumor, interleukin-1, PDGF, dan TGF-beta. Asetaldehid kemungkinan
mengaktifasi sel stelata tetapi bukan suatu faktor patogenik utama pada fibrosis
alkoholik.1
15
2.11 Manifestasi Klinis Sirosis Hepatis
Gejala-gejala Sirosis
Stadium awal sirosis sering tanoa gejala sehingha kadang ditemukan pada waktu pasien
melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal
sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan
berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat
timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan
seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala- gejala lebih menonjol
terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya
rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya
gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus
dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta
perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai
koma.1
Temuan Klinis
Temuan klinis sirosis meliputi, spider angio maspiderangiomata (atau spider
telangiektasi), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini
sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak
diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol/testosteron
bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan
pula pada orang sehat, walau umumnya ukuran lesi kecil.1
Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan.
Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen. Tanda ini juga
tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritis reumatoid,
hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.
Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horisontal dipisahkan dengan
warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat
hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang
lain seperti sindrom nefrotik.1
Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier. Osteoartropati hipertrofi
suatu periostitis proliferatif kronik, menimbulkan nyeri.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur
fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan
16
dengan sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien diabetes melitus, distrofi
refleks simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula
mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu,
ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki
mengalami perubahan ke arah feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi
cepat berhenti sehingga dikira fase menopause.1
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini
menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.
Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau mengecil.
Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular.
Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta.
Fetor hepatikum, bau napas yang khas pada pasien Sirosis disebabkan
peningkatan konsentrasi dimetil sulfid akibat pintasanporto sistemik yang berat.
Ikterus-pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi
bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.
Asterixis-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-ngepak dari
tangan, dorsofleksi tangan.1
Tanda-tanda lain yang menyertai di antaranya :1
Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar.
Batu pada vesikafelea akibat hemolisis
Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini akibat
sekunder inñltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat resistensi
insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas.1
17
Gambar 7. Manifestasi Klinis Sirosis Hepatis. (Harrison's Principles of Internal
Medicine)
Gambaran Laboratoris
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada
waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi
keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma
glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin, dan waktu protrombin.1
18
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat (SGOT) dan
alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT)
meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih meningkat daripada ALT, namun bila
transaminase normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.1
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan
Sirosis bilier primer.
Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali
fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik,
karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan
bocornya GGT dari hepatosit.
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa
meningkat pada sirosis yang lanjut.
Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai
dengan perburukan sirosis.
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari
pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi
produksi imunoglobulin.
Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan disfungsi sintesis hati,
sehingga pada sirosis memanjang.
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.1
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia
normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia
dengan trombositopenia, lekopenia, dan netropenia akibat splenomegali kongestif
berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi
adanya hipertensi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan karena
pemeriksaannya non invasif dan mudah digunakan, namun sensitivitasnya kurang.
Pemeriksaan hati yang bisa dinilai dengan USG meliputi sudut hati, permukaan hati,
ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular,
permukaan irregular, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG
juga bisa untuk melihat asites, splenomegali, trombosis vena porta dan pelebaran vena
porta, serta skrining adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.1
19
Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG, tidak rutin
digunakan karena biayanya relatif mahal.
Magnetic resonance imaging, peranannya tidak jelas dalam mendiagnosis
sirosis selain mahal biayanya.1
20
gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Pada sindrom hepatopulmonal
terdapat hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal.1
21
peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam
penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan
sebagai anti fibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam penelitian.1
22
Klasifikasi Child-Pugh (Tabel 2), juga untuk menilai prognosis pasien sirosis
yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada
tidaknya asites dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri dari Child A,
B, dan C. Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C berturut-
turut 100, 80, dan 45 %.1
Penilaian prognosis yang terbaru adalah Model for End Stage Liver Disease
(MELD) digunakan untuk pasien sirosis yang akan dilakukan transplantasi hati.
Tabel 3. Klasifikasi Child Pasien Sirosis Hati dalam Terminologi Cadangan Fungsi
Hati.1
23
Hyperdinamic
Portal hypertension
circulation •adrenergic system
•Deranged (vascular) (increased cardiac
•vasoconstrictor/ index) •increased portal
architecture
dilator imbalance blood flow
•renin - angiotensin
system (renal Na⁻ •increased resistance
and water to portal flow
CIRRHOSIS retention)
Counterregulatory
mechanism
Bila ada obstruksi aliran darah vena porta, apapun penyebabnya, akan
mengakibatkan naiknya tekanan vena porta. Tekanan vena porta yang tinggi merupakan
penyebab dari terbentuknya kolateral portosistemik, meskipun faktor lain seperti
angiogenesis yang aktif dapat juga menjadi penyebab. Walaupun demikian, adanya
kolateral ini tidak dapat menurunkan hipertensi portal karena adanya tahanan yang
tinggi dan peningkatan aliran vena porta. Kolateral portosistemik ini dibentuk oleh
pembukaan dan dilatasi saluran vaskuler yang menghubungkan sistem vena porta dan
vena kava superior dan inferior. Aliran kolateral melalui pleksus vena-vena esofagus
menyebabkan pembentukan varises esofagus yang menghubungkan aliran darah antara
vena porta dan vena kava.11
Pleksus vena esofagus menerima darah dari vena gastrika sinistra, cabang-
cabang vena esofagus, vena gastrika short/brevis (melalui vena splenika), dan akan
mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos. Sedangkan vena gastrika sinistra
menerima aliran darah dari vena porta yang terhambat masuk ke hepar.
Sistem vena porta tidak mempunyai katup, sehingga tahanan pada setiap level
antara sisi kanan jantung dan pembuluh darah splenika akan menimbulkan aliran darah
yang retrograde dan transmisi tekanan yang meningkat. Anastomosis yang
menghubungkan vena porta dengan sirkulasi sistemik dapat membesar agar aliran darah
dapat menghindari (bypass) tempat yang obstruksi sehingga dapat secara langsung
masuk dalam sirkulasi sistemik.12
24
Hipertensi portal paling baik diukur secara tidak langsung dengan menggunakan wedge
hepatic venous pressure (WHVP). Perbedaan tekanan antara sirkulasi porta dan sistemik
(hepatic venous pressure gradient, HVPG) sebesar 10–12 mmHg diperlukan untuk
terbentuknya varises. HVPG yang normal adalah sekitar 5–10 mmHg. Pengukuran tunggal
berguna untuk menentukan prognosis dari sirosis yang kompensata maupun yang tidak
kompensata, sedangkan pengukuran ulang berguna untuk memonitoring respon terapi obat-
obatan dan progresifitas penyakit hati.11,12
Bila tekanan pada dinding vaskuler sangat tinggi dapat terjadi pecahnya varises.
Kemungkinan pecahnya varises dan terjadinya perdarahan akan meningkat sebanding dengan
meningkatnya ukuran atau diameter varises dan meningkatnya tekanan varises, yang juga
sebanding dengan HVPG. Sebaliknya, tidak terjadi perdarahan varises jika HVPG di bawah 12
mmHg. Risiko perdarahan ulang menurun secara bermakna dengan adanya penurunan dari
HVPG lebih dari 20% dari baseline. Pasien dengan penurunan HVPG sampai <12 mmHg, atau
paling sedikit 20% dari baseline, mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk terjadi
perdarahan varises berulang, dan juga mempunyai risiko yang lebih rendah untuk terjadi asites,
peritonitis bakterial dan kematian.11
Beberapa penelitian menunjukkan peranan endotelin-1 (ET-1) dan nitric oxide (NO)
pada patogenesis hipertensi porta dan varises esofagus. Endotelin-1 adalah vasokonstriksi kuat
yang disintesis oleh sel endotel sinusoid yang diimplikasikan dalam peningkatan tahanan
vaskuler hepatik pada sirosis dan fibrosis hati. Nitric oxide adalah vasodilator, yang juga
disintesis oleh sel endotelial sinusoid. Pada sirosis hati, produksi NO menurun, aktivitas
endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dan produksi nitrit oleh sel endotelial sinusiod
berkurang.12
25
Tabel 5. Etiologi Hipertensi Portal.12
Prehepatik Intrahepatik Pascahepatik
Trombosis vena plenik Fibrisis hepatik kongenital Sindroma Budd-
Trombosis vena porta Hipertensi portal idiopatik Chiari
Kompresi ekstrinsik Tuberkulosis Trombosis vena
pada vena porta Schistosomiasis kava inferior
Penyakit wilson
Defisiensi antitripsin alfa-1
Hepatitis aktif kronis
Hepatitis fulminan
26
Dalam Konsensus Baveno I (1990), disebutkan bahwa untuk diagnosis perdarahan
varises mutlak dibutuhkan pemeriksaan endoskopi secepat mungkin. Untuk itu perlu dicatat
waktu pemeriksaan endoskopi (tanggal dan jam pemeriksaan) dalam setiap laporan. Sebagai
batasan perdarahan aktif disebutkan bila tampak ada perdarahan pada saat pemeriksaan
endoskopi (oozing atau spurting), Sebagai tanda bekas perdarahan baru (recent bleeding),
dipakai tanda papil putih (white nipple). Sedang bila terdapat bekuan darah, harus dibersihkan
dengan pengyemprotan (wash). Diagnosis perdarahan varises tanpa sumber perdarahan lain,
dapat digunakan bila ditemukan darah dalam lambung dan/atau endoskopi dikerjakan dalam
waktu 24 jam.2
Secara endoskopi batasan perdarahan varises adalah : perdarahan dari varises esofagus
atau lambung yang tampak pada saat pemeriksaan endoskopi, atau ditemukan adanya varises
esofagus yang besar dengan darah di lambung tanpa adanya penyebab perdarahan yang lain.
Perdarahan disebut bermakna secara klinik bila kebutuhan transfusi darah 2 unit atau lebih
dalam waktu 24 jam sejak pasien masuk rumah sakit, disertai dengan tekanan darah sistolik
kurang dari 100 mmHg, atau penurunan tekanan darah lebih dari 20 mmHg dengan perubahan
posisi, dan atau nadi lebih dari 100 kali/menit pada saat masuk rumah sakit.
Sesuai dengan konsensus Baveno (I sampai III) maupun Inggris (UK consensus), untuk
menilai beratnya Sirosis, dapat digunakan skor Child-Pugh (Tabel 6).
Tabel 6. Sistem Skor yang Dipakai Menurut Cara Child-Pugh.2
Menurut sistem skor di atas, kelas A Child-Pugh sesuai dengan skor 6 atau kurang,
Kelas B = skor 7 -9 kelas C = 10 atau lebih.
Pasien dari kelas A, biasanya meninggal akibat efek perdarahannya sendiri, sementara
pasien dengan kelas C, kebanyakan akibat penyakit dasarnya. (Rekomendasi kuat tingkat AI)
Untuk menilai derajat besarnya varises, baik konsensus Inggris maupun Baveno I-1990
sampai dengan III-2000 semuanya menganjurkan pemakaian cara yang paling sederhana, yaitu
membagi menjadi 3 tingkatan (Tabel 7).2
27
Tabel 7. Pembagian Derajat Varises.2
Dari Konsensus Baveno II-l995, telah disepakati bahwa pada semua pasien Sirosis hati
seyogyanya secara rutin diperiksa ada tidaknya hipertensi portal, dengan pemeriksaan
endoskopi dan USG (sebaiknya dengan doppler), terutama pada pasien yang belum pernah
mengalami perdarahan SMBA. Sarana diagnosis yang lain seperti: pengukuran tekanan varises
dengan cara langsung, angiografi, dan MRI, hanya dianjurkan untuk keperluan penelitian saja.
Dalam Konsensus Baveno II ini ada beberapa kesepakatan baru yang dibuat, antara lain:
perdarahan varises baru berarti secara klinik bila memenuhi persyaratan membutuhkan
minimal 2 unit darah dalam waktu 24 jam. Sedang perdarahan ulang terjadi bila timbul
hematemesis dan atau melena baru, setelah 24 jam keadaan umum pasien stabil (tensi, nadi,
Hb, PCV) pasca perdarahan akut.
Konsensus Baveno III-2000 (41) menyebutkan bahwa diagnosis klinik hipertensi portal
(CSPH = clinical significant of portal hypertension), dapat ditegakkan berdasarkan :2
Meningkatnya gradien tekanan portal di atas batas sekitar 10 mmHg.
Adanya varises, perdarahan varises, dan/atau asites, dapat dipakai sebagai dasar adanya
hipertensi portal secara klinik (CSPH).
Selain itu, semua pasien sirosis seyogyanya dilakukan skrining secara rutin untuk
mengetahui adanya varises pada saat diagnosis awal sirosis dibuat. Pemeriksaan ulang untuk
setiap pasien yang dengan atau tanpa tanda-tanda klinik hipertensi portal (CSPH) dapat
dilakukan seperti berikut :2
Pada pasien dengan sirosis kompensata tanpa varises, pemeriksaan endoskopi dapat
diulangi setiap 2 - 3 tahun, untuk mengetahui kapan varises mulai timbul.
Pada pasien dengan sirosis kompensata dengan varises kecil, endoskopi dapat diulangi
setiap 1 - 2 tahun, untuk mengetahui progresivitas pembesaran varises.
Untuk diagnosis perdarahan akut akibat gastropati hipertensi portal (GHP),
dibutuhkan pembuktian secara endoskopik adanya lesi yang berdarah aktif. Bila ditemukan
varises csofagus atau lambung, endoskopi dapat diulangi dalam waktu 12-24 jam. Untuk
klasifikasi GHP, Konsensus Baveno II sepakat untuk menggunakan sistem skoring seperti
28
dalam tabel 8. Kriteria untuk menetapkan perdarahan kronik akibat GHP, adalah adanya
fecal blood loss, penurunan Hb > 2 gram% dalam 3 bulan, dan saturasi transferin yang
rendah, disertai adanya GHP pada pemeriksaan endoskopi, tanpa adanya kolopati,
duodenopati, supresi sumsum tulang, penyakit ginjal kronik, maupun pemakaian obat-obat
antiinflamasi (OAIN).2
Tabel 8. Sistem Skoring pada Gastropati Hipertensi Portal Menurut Konsensus Baveno II –
1995 (4).2
Varises esofagus biasanya tidak memberikan gejala bila varises belum pecah yaitu bila
belum terjadi perdarahan. Oleh karena itu, bila telah ditegakkan diagnosis sirosis hendaknya
dilakukan skrining diagnosis melalui pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi (EGD) yang
merupakan standar baku emas untuk menentukan ada tidaknya varises esofagus. Pada pasien
dengan sirosis yang kompensata dan tidak didapatkan varises, ulangi EGD setiap 2–3 tahun,
sedangkan bila ada varises kecil, maka pemeriksaan EGD diulangi setiap 1–2 tahun. Pada
sirosis yang dekompensata, lakukan pemeriksaan EGD setiap tahun. Efektivitas skrining
dengan endoskopi ini bila ditinjau dari segi biaya, masih merupakan kontroversi, maka untuk
keadaan-keadaan tertentu disarankan untuk menggunakan gambaran klinis, seperti jumlah
platelet yang rendah, yang dapat membantu untuk memprediksi pasien yang cenderung
mempunyai ukuran varises yang besar.13
Bila standar baku emas tidak dapat dikerjakan atau tidak tersedia, langkah diagnostik
lain yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan ultrasonografi Doppler dari sirkulasi darah
(bukan ultrasonografi endoskopik). Alternatif pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan
radiografi dengan menelan barium dari esofagus dan lambung, dan angiografi vena porta serta
manometri.11,14
Pada pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, sangatlah penting menilai lokasi (esofagus
atau lambung) dan besar varises, tanda-tanda adanya perdarahan yang akan terjadi (imminent),
29
perdarahan yang pertama atau perdarahan yang berulang, serta bila mungkin untuk mengetahui
penyebab dan beratnya penyakit hati.11
Varises esofagus biasanya dimulai dari esofagus bagian distal dan akan meluas sampai
ke esofagus bagian proksimal bila lebih lanjut. Berikut ini adalah derajat dari varises esofagus
berdasarkan gambaran endoskopis (Gambar 9).
Pada pemeriksaan endoskopi didapatkan gambaran derajat 1, terjadi dilatasi vena (<5
mm) yang masih berada pada sekitar esofagus. Pada derajat 2 terdapat dilatasi vena (>5 mm)
menuju kedalam lumen esofagus tanpa adanya obstruksi. Sedangkan pada derajat 3 terdapat
dilatasi yang besar, berkelok-kelok, pembuluh darah menuju lumen esofagus yang cukup
menimbulkan obstruksi. Dan pada derajat 4 terdapat obstruksi lumen esofagus hampir lengkap,
dengan tanda bahaya akan terjadinya perdarahan (cherry red spots).6
Setelah varises esofagus telah diidentifikasi pada pasien dengan sirosis, risiko
terjadinya perdarahan varises adalah sebesar 25-35 %. Oleh karena sirosis hati akan
mempunyai prognosis buruk dengan adanya perdarahan varises, maka penting untuk dapat
mengidentifikasi mereka yang berisiko tinggi dan pencegahan kejadian perdarahan pertama.
Perdarahan varises esofagus biasanya tanpa rasa sakit dan masif, serta berhubungan dengan
tanda perdarahan saluran cerna lainnya, seperti takikardi dan syok. Faktor risiko untuk
perdarahan pada orang dengan varises adalah derajat hipertensi portal dan ukuran dari varises.
Varises sangat tidak mungkin untuk terjadi perdarahan jika tekanan portal < 12 mmHg.6,13
30
Perdarahan varises didiagnosis atas dasar ditemukannya satu dari penemuan pada
endoskopi, yaitu tampak adanya perdarahan aktif, white nipple, bekuan darah pada varises.1
Sedangkan adanya red wale markings atau cherry red spots yang menandakan baru saja
mengeluarkan darah atau adanya risiko akan terjadinya perdarahan (Gambar 10).
31
2.19 Faktor Risiko Pada Perdarahan Pertama
Faktor-faktor predisposisi dan yang memacu terjadinya perdarahan varises, sampai saat
ini masih tetap belum jelas. Dugaan bahwa esofagitis dapat memacu terjadinya perdarahan
varises telah diabaikan. Pada saat ini faktor- faktor paling penting yang dianggap bertanggung
jawab adalah: 1). Tekanan dalam varises; 2). Ukuran varises; 3). Tekanan di dinding varises,
dan; 4). Beratnya penyakit hati.
Pada sebagian besar kasus, tekanan portal yang merefleksikan (menunjukkan) tekanan
intravarises, dan gradien tekanan vena hepatika (HVPG = hepatic venous pressure gradient)
lebih besar dari 12 mmHg, dibutuhkan untuk terjadinya perdarahan varises esofagus; namun
tidak ditemukan hubungan lurus antara beratnya hipertensi portal dan risiko terjadinya
perdarahan varises. Gradien tekanan vena hepatika (HPVG) menunjukkan tendensi lebih tinggi
pada pasien yang mengalami perdarahan, demikian pula pasien yang mempunyai varises yang
lebih besar. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa risiko perdarahan varises
meningkat dengan makin besarnya ukuran varises.
Dengan menggunakan model in vitro, Polio dan Groszmann menunjukkan bahwa
pecahnya varises berhubungan dengan tegangan (tension) pada dinding varises. Tegangan ini
tergantung pada radius varises. Pada model ini, meningkatnya ukuran varises dan
mengurangnya tebal dinding varises, menyebabkan varises pecah.
Gambaran endoskopi, seperti bintik kemerahan (red spots) dan tanda wale, pertama kali
dikemukakan oleh Dagradi. Kedua tanda ini digambarkan sebagai sangat penting dalam
meramalkan terjadinya perdarahan varises. Dalam penelitian retrospektif di Jepang (The
Japanese Research Society for Portal Hypertension), Beppu dan kawan-kawan menunjukkan
bahwa 80% pasien yang mempunya varises kebiruan (blue varices) atau bintik kemerahan
(cherry red spots) ternyata mengalami perdarahan varises. Hal itu menimbulkan dugaan bahwa
keduanya merupakan prediktor penting untuk terjadinya perdarahan varises esofagus pada
Sirosis.
Kedua penelitian ini - The North Italian Endoscopic Club (NIEC) dan data dari Jepang
menunjukkan bahwa risiko perdarahan tergantung pada 3 faktor : 1). Beratnya penyakit hati
(diukur dengan klasifikasi Child); 2). Ukuran varises, dan; 3). Tanda kemerahan (red wale
markings).
32
Penelitian lebih jauh menunjukkan bahwa gradien tekanan vena hepatika (HVPG) dan
tekanan intravarises juga merupakan prediktor independen untuk timbulnya perdarahan varises
yang pertama.
Sebagai ringkasan, 2 faktor terpenting (utama) yang menentukan risiko perdarahan
varises adalah : beratnya penyakit hati dan ukuran varises. Pengukuran gradien tekanan vena
hepatika (HPVG) berguna sebagai petunjuk untuk seleksi pasien, guna menentukan cara
pengobatan dan responsnya terhadap terapi.
Baru sekitar tahun 1970, setelah ditemukannya preparat vasopresor baru, somatostatin
dan analognya pada tahun 1978, pengobatan perdarahan varises esofagus mengalami
perubahan revolusioner. Temuan ini kemudian disusul dengan penggunaan endoskopi untuk
pengobatan skleroterapi endoskopik (STE) sekitar tahun 1973, dan ligasi varises endoskopik
(LVE) secara rutin mulai tahun 1986.2
33
Tabel 10. Sarana Pengobatan pada Hipertensi Portal.2
Tabel 11. Angka Kematian Pasien Hipertensi Portal dengan Perdarahan SMBA di Beberapa
RS di Indonesia.2
Di Indonesia, sirosis hati masih tetap merupakan penyebab perdarahan saluran cerna
yang paling banyak ditemukan. Frekuensinya bervariasi antara 25 — 82 %, tergantung di
daerah mana pemeriksaan dikerjakan. Dari hasil pemeriksaan endoskopi, perdarahan varises
esofagus ditemukan hampir merata di seluruh Indonesia, dengan frekuensi bervariasi antara 15
- 63 %.2
Angka kematian rata-rata pada serangan perdarahan pertama pada sebagian besar
penelitian menunjukkan sekitar 50%. Angka kematian ini berhubungan erat dengan beratnya
penyakit hati. Dalam pengamatan rata-rata selama 1 tahun, angka kematian rata-rata akibat
perdarahan varises berikutnya adalah sebesar 5 % pada pasien dengan Child kelas A, 25 %
pada Child kelas B, dan 50 % pada Child kelas C. Walaupun kreatinin serum dapat dipakai
sebagai prediktor ketahanan hidup secara menyeluruh pada beberapa penelitian, klasifikasi
Child masih dianggap lebih superior dibanding prediktor-prediktor lain, dalam menentukan
mortalitas dalam 6 minggu atau 30 hari setelah perdarahan pertama.2
Vinel dan kawan-kawan menunjukkan bahwa HVPG dapat dipakai sebagai prediktor
ketahanan hidup, bila diukur 2 minggu setelah perdarahan akut. Masih belum jelas, apakah
34
perdarahan aktif pada saat pemeriksaan endoskopi dapat dipakai sebagai prediktor mortalitas.
Namun perdarahan aktif pada saat endoskopi ini dapat dipakai sebagai prediktor terjadinya
perdarahan ulang yang lebih awal. Risiko kematian menurun dengan cepat sesudah perawatan
di rumah sakit, demikian pula risiko kematian ini menjadi konstan sekitar 6 minggu setelah
perdarahan.2
Indeks hati (Tabel 12) juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menilai prognosis
pasien hematemesis melena yang mendapat pengobatan secara medik. Dari hasil penelitian
sebelumnya, pasien yang mengalami kegagalan hati ringan (indeks hati 0-2), angka kematian
antara 0-16 %, sementara yang mempunyai kegagalan hati sedang sampai berat (indeks hati 3-
8) angka kematian antara 18-40 %.2
Tabel 12. Indeks Hati untuk Menilai Prognosis Pasien Hematemesis Melena yang Mendapat
Terapi Medik (Hernomo K, Thesis, 1983).2
35
sejumlah masalah yang berhubungan dengan interpretasi penelitian ini, karena tiap-tiap senter
(ada 22 pusat penelitian) ternyata menggunakan teknik devaskularisasi yang berbeda-beda.
Hasil penelitian ini masih membutuhkan konfirmasi lebih jauh.2
Panduan utama penggunaan obat farmakologi sebagai profilaksis primer perdarahan
varises masih tetap propranolol, yang terbukti dapat menurunkan gradien tekanan portal,
menurunkan aliran darah vena azigos, dan juga tekanan varises. Efek ini disebabkan karena
vasokonstriksi splanknik dan penurunan volume semenit. Hasil metaanalisis menunjukkan
bahwa risiko perdarahan lebih rendah secara bermakna, namun untuk angka kematian hanya
berbeda sedikit. Perhatian terhadap pemakaian vasodilator, seperti isosorbid mononitrat
tumbuh karena dalam penelitian terbukti bahan ini dapat menekan tekanan portal sama
efektifnya dengan propranolol. Kombinasi nadolol dan isosorbid mononitrat telah
dibandingkan dengan nadolol sebagai obat tunggal, dalam penelitian acak terkontrol. Ternyata
terapi kombinasi dapat menekan frekuensi perdarahan secara bermakna, tetapi tidak berbeda
dalam angka kematian pasien.2
Terdapat bukti-bukti yang kuat bahwa penurunan denyut nadi istirahat sebesar 25 %
dengan penghambat beta (propranolol, atenolol, atau nadolol) dapat mencegah perdarahan
pertama, karena penurunan ini berhubungan langsung dengan penurunan tekanan portal.
Isosorbide- S-mononitrate 2 x 40 mg, dalam penelitian yang belum terlalu banyak, efektif juga
untuk mencegah perdarahan yang pertama. Masih dibutuhkan metodologi penelitian yang lebih
baik untuk menetapkan siapa saja yang mempunyai risiko yang paling tinggi untuk berdarah,
sehingga dengan demikian dapat diketahui siapa saja yang paling diuntungkan untuk
pengobatan profilaksis. Metodologi yang lebih baik juga dibutuhkan untuk menetapkan obat
mana yang efektif untuk menurunkan tekanan portal.2
Endoskopi juga telah dipakai sebagai salah satu teknik untuk mencegah perdarahan
varises. Sklero Terapi Endoskopi (STE) telah dipakai sejak beberapa tahun untuk pengobatan
perdarahan varises, namun akhir-akhir ini tidak dianjurkan lagi sebagai pengobatan profilaksis
karena kurang efektif. Ligasi varises endoskopi (LVE) mungkin bermanfaat untuk pengelolaan
perdarahan varises akut, tetapi untuk pengobatan profilaktik masih belum banyak dipakai,
sehingga efektivitasnya juga masih perlu dibuktikan.2
Pada saat ini skleroterapi endoskopi (STE) belum dapat direkomendasi sebagai terapi
profilaksis untuk perdarahan varises pada pasien sirosis. Sarin dan kawan-kawan
membandingkan terapi ligasi varises (LVE) dengan tanpa terapi aktif dengan cara acak, dan
36
hasilnya menunjukkan terjadi penurunan secara bermakna perdarahan varises pada pasien yang
mendapat pengobatan LVE. Sementara angka kematian tidak berbeda. Penelitian selanjutnya
yang menyangkut 120 pasien, menunjukkan hasil yang sama. LVE juga telah dibandingkan
dengan propranolol dalam penelitian secara acak, hasilnya menunjukkan bahwa LVE dapat
menekan frekuensi perdarahan pertama, namun tidak mempengaruhi angka kematian.2
Sesuai dengan rekomendasi Inggris, juga rekomendasi Baveno III-2000, metode
profilaksis primer yang paling baik dan efektif adalah :2
Terapi farmakologi dengan propranolol merupakan modalitas terapi terbaik yang ada pada
saat ini. (Rekomendasi tingkat AI.)
Tujuan pengobatan dengan propranolol : Menurunkan gradien tekanan vena hepatika
(HVPG = hepatic venous pressure gradient) menjadi kurang dari 12 mmHg. (Rekomendasi
tingkat AI).
Dosis: Mulai dengan dosis 2 x 40 mg, dinaikkan hingga 2 x 80 mg bila perlu. Pemakaian
long acting propranolol dalam dosis 80 atau 160 mg dapat dipakai untuk memperbaiki
ketaatan pasien. (Rekomendasi tingkat AI).
Pada kasus di mana terdapat kontraindikasi atau terjadi intoleransi tehadap propranolol,
pengobatan LVE merupakan pilihan utama (Rekomendasi tingkat AI).
Dalam situasi di mana baik propranolol maupun LVE tidak dapat digunakan, isosorbide
mononitrate dapat dipakai sebagai obat pilihan utama (2 x 20 mg). (Rekomendasi tingkat
BI.)
1. Siapa yang harus dilakukan surveilans untuk perdarahan varises ?2
Semua pasien dengan sirosis sebaiknya dikerjakan endoskopi pada saat diagnosis
dibuat. (Rekomendasi tingkat CI).
2. Berapa kali pasien sirosis harus di endoskopi ?2
Bila pada saat endoskopi pertama tidak ditemukan varises, pasien sirosis harus
dilakukan endoskopi berkala dengan jarak 3 tahun sekali. (Rekomendasi tingkat AII).
Bila ditemukan varises kecil pada saat diagnosis dibuat, pasien harus dilakukan
endoskopi berkala setiap tahun sekali. (Rekomendasi grade aii).
3. Pasien sirosis mana yang harus diberi profilaksis primer ?2
Bila dibuat diagnosis varises tingkat 3, pasien harus mendapat profilaksis primer, tanpa
melihat beratnya gangguan faal hati pasien (Rekomendasi tingkat AI).
37
Bila pasien mempunyai varises tingkat 2, dengan gangguan faal hati Child kelas B atau
C, mereka harus mendapat profilaksis primer. (Rekomendasi tingkat BI).
38
merupakan kontraindikasi pemberian obat ini. Pemberian nitrogliserin intravena dalam dosis
0.3 mg/menit, atau secara sublingual, maupun transdermal (patch) dapat ditambahkan pada
vasopressin untuk menurunkan risiko terhadap komplikasi pada jantung dan pembuluh darah.
Octreotide (analog sintetik dari somatostatin) dapat menurunkan tekanan portal tanpa
menimbulkan efek samping seperti pada vasopressin. Penelitian menunjukkan bahwa dosis
efektif octreotide adalah 25-200 mcg/jam secara intravena, dengan atau tanpa didahului bolus
50 - 100 mcg. Plasma segar beku (FFP = fresh frozen plasma) dapat diberikan pada pasien yang
terus berdarah yang menunjukkan PPT yang memanjang. Demikian pula tombosit (TC =
thrombocyte concentrate) dapat diberikan bila trombosit < 50,000/ml dan perdarahan masih
berlangsung. 2
Pasien dengan ensefalopati, intoksikasi, atau gangguan mental/kesadaran yang lain,
perlu dilakukan pemasangan intubasi endotrakheal sebelum pemeriksaan endoskopi, atau
prosedur invasif lain, karena risiko aspirasi cukup tinggi. Setiap pasien dengan perdarahan
varises mempunyai tambahan risiko tinggi untuk mengalami efek samping yang lebih berat,
bila terjadi komplikasi seperti aspirasi pneumonia atau infeksi. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa pasien dengan sirosis yang mengalami perdarahan, menunjukkan
perbaikan perjalanan klinik dengan pemberian antibiotika profilaksis (amoksisilin-asam
klavulanik dan siprofloksasin). 2
39
operasi (pintasan/shunt, ligasi, devaskularisasi), Transjugular Intrahepatic Portosystemic
Shunts (TIPS), atau orthotopic liver transplantation (OLT).2
Terapi definitif awal yang terpilih adalah STE atau LVE. Baik penyuntikan bahan
sklerosan (1.5% sodium tetradecyl sulfate atau 5% ethanolamine oleate) dan pemasangan
ligator pada varises esofagus, terbukti dapat mencegah perdarahan ulang varises dan
memperpanjang ketahanan hidup pasien (survival). Untuk mencapai tujuan ini, pasien harus
diterapi secara berkala dan teratur, dengan pengobatan awal selanjutnya dengan interval 1-2
minggu sampai varises dapat dieradikasi. Makin cepat eradikasi tercapai, makin baik hasil
prevensi perdarahannya. Sayangnya, STE mempunyai banyak efek samping seperti : demam,
nyeri dada, mediastinitis, efusi pleura, tukak esofagus yang dalam, perforasi esofagus, dan
striktur). LVE lebih efektif dari pada STE, mempunyai efek samping jauh lebih sedikit, juga
menunjukkan perdarahan ulang yang lebih sedikit serta mortalitas yang lebih baik dibanding
STE. Dengan pemakaian ligator ganda (multiple ligators), pemakaian overtube dapat dikurangi
bahkan dihindari, sehingga LVE menjadi lebih aman dan lebih cepat.2
Embolisasi radiologik pada arteri koronaria gastrika dan kolateralnya, yang memberi
pasokan pada varises yang berdarah, dapat menghentikan perdarahan secara efektif. Namun
pendekatan transhepatik menjadi sulit pada hati yang sangat sirotik, keras, dan disertai asites,
dan dapat menimbulkan risiko komplikasi yang sangat tinggi, Pendekatan lewat vena
transmesenterik tampaknya dapat mengatasi masalah ini, namun membutuhkan insisi kecil,
yang tetap masih dapat memberi tambahan komplikasi. Tindakan bedah mempunyai hasil yang
sangat bervariasi. Devaskularisasi lambung bagian proksimal dan esofagus, dengan atau tanpa
transeksi esofagus, mempunyai beberapa keuntungan, namun tindakan ini belum dapat diterima
secara luas sebagai tindakan yang aman dan efektif. Pintasan portosistemik dengan bermacam
cara, sangat efektif untuk menghentikan perdarahan, tetapi mempunyai angka morbiditas dan
mortalitas yang bermakna, khususnya pada pasien dengan Child C. Pintasan mesokaval (H-
graft) dan splenorenal distal (Warren) telah dikembangkan untuk menekan angka ensefalopati
pasca pintasan. Meskipun hasilnya cukup lumayan, pada beberapa kasus pintasan ini dapat
mengalami pembuntuan (clotting), sehingga ensefalopati tetap dapat timbul di kemudian hari.2
Pengenalan prosedur TIPS menambah perbaikan dan makin banyaknya variasi pilihan
pengobatan pada pasien yang mengalami kegagalan dengan pengobatan endoskopi. Di tangan
seorang radiolog yang handal atau terlatih, kesuksesan prosedur TIPS dapat mencapai 95%
40
kasus. Pintasan ini dapat menurunkan tekanan portal secara efektif sampai <12 mmHg,
sehingga dapat menekan angka perdarahan ulang cukup tinggi. Pintasan ini juga tetap
mempunyai risiko untuk buntu, karena itu perlu di monitor secara berkala dengan USG atau
dengan venografi, pada banyak kasus. Dengan demikian, TIPS sering dianggap sebagai
jembatan emas menuju ke transplantasi hati. Prosedur ini juga dapat digunakan pada pasien
yang bukan kandidat transplantasi, yang menginginkan untuk kembali, untuk manajemen
tindak lanjut. Sayangnya, ensefalopati cukup sering dijumpai pasca TIPS, yang membatasi
penggunaan cara ini, khususnya pada pasien dengan fungsi hati yang jelek. Transplantasi hati
masih tetap merupakan pilihan paling baik untuk pasien dengan perdarahan varises yang tidak
terkontrol.2
Adanya varises lambung merupakan situasi yang lebih sulit untuk diatasi, karena
biasanya tidak mudah dieradikasi baik dengan STE maupun LVE. STE dengan jumlah
sklerosan yang banyak dikatakan sedikit lebih baik daripada dengan dosis standard, namun
hasilnya tetap lebih jelek dibandingkan dengan hasil pengobatan pada varises esofagus.
Kombinasi STE + LVE dilaporkan efektif pada pasien dengan varises terisolasi di daerah
kardia lambung. Pasien-pasien ini membutuhkan pengobatan supresi asam lebih banyak setelah
pemasangan ligator, untuk menghindari dislokasi ligator lebih awal. Penyuntikan bahan lem
atau glue (sianoakrilat) ke dalam varises lambung cukup efektif, tapi bahan ini belum tersedia
di AS. Pasien-pasien seperti ini seyogyanya disiapkan untuk pemasangan pintasan lebih awal,
dibanding pasien dengan perdarahan varises esofagus.2
Sesuai dengan rekomendasi Inggris : idealnya pasien dengan perdarahan varises
seyogyanya dirawat di unit dimana tenaga yang ada sudah familiar dengan pengelolaan pasien
dan penggunaan semua alat-alat untuk intervensi secara rutin. (Rekomendasi tingkat CII).2
Tabel 13. Tempat : Di mana Monitoring Hemodinamik Ada dan Bisa Dikerjakan
(Rekomendasi tingkat BIII).2
41
1. Resusitasi
2. Saat Melakukan Endoskopi
Secepat mungkin begitu hemodinamiknya stabil. (Rekomendasi tingkat BIII).
3. Mengatasi Perdarahan
LVE (ligasi varises endoskopik) merupakan pilihan pertama. (Rekomendasi tingkat AI)
Bila LVE sulit karena perdarahan yang masif dan terus berlangsung, atau teknik tidak
memungkinkan, STE dapat dikerjakan (Rekomendasi tingkat AI).
Bila endoskopi tidak memungkinkan, pemberian vasokonstriktor seperti octreotide atau
glypressin, atau pemasangan pipa Sengstaken (dengan pengawasan yang ketat), dapat
dikerjakan sambil menunggu tindakan yang lebih definitif. (Recommendation grade
AI).
4. Kegagalan Mengatasi Perdarahan Aktif
Dalam keadaan di mana perdarahan sulit dikontrol, pipa Sengstaken dapat dipasang,
sampai pengobatan lanjutan seperti terapi endoskopi, TIPSS, atau tindakan bedah dapat
dikerjakan. (Rekomendasi tingkat BI).
Pada saat ini konsultasi kepada spesialis harus segera dikerjakan, dan bila mungkin juga
pemindahan pasien ke unit spesialis yang lebih pengalaman dalam menangani keadaan
seperti ini. (Rekomendasi tingkat BII).
Modalitas pengobatan seperti antara lain, intervensi bedah seperti transeksi esofagus
atau TIPSS harus ditetapkan dulu berdasarkan pengalaman serta tersedianya spesialis
yang biasa mengerjakan tindakan tersebut di pusat rujukan yang dituju. (Rekomendasi
tingkat BII).
44
Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena varises
esofagus. Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi perdarahan varises
esofagus. Dengan ligasi varises dapat dihindari efek samping akibat pemakaian sklerosan, lebih
sedikit frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai distal mendekati cardia
bergerak spiral setiap 1 — 2 cm. Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau bila
ditemukan tanda baru mengalami perdarahan seperti bekuan darah yang melekat, bilur-bilur
merah, noda hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi endoskopik sebagai alternatif bila
ligasi endoskopik sulit dilakukan karena perdarahan yang masif, terus berlangsung, atau teknik
tidak memungkinkan. Sklerosan yang bisa digunakan antara lain campuran sama banyak
polidokanol 3%, NaCl 0,9%, dan alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum skleroterapi
dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal mendekati kardia dilanjutkan ke
proksimal bergerak spiral sampai sejauh 5 cm. Pada perdarahan varises lambung dilakukan
penyuntikan cyanoacrylate, Skleroterapi untuk varises lambung hasilnya kurang baik. 10
45
2.27 Indikasi dan Kontraindikasi Endoskopi Saluran Cerna
Indikasi pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA) : 15
Untuk menerangkan perubahan-perubahan radiologis yang meragukan atau tidak jelas,
atau untuk menentukan dengan lebih pasti/tepat kelainan radiologis yang didapatkan
pada esofagus, lambung atau duodenum.
Pasien dengan gejala menetap (disfagia, nyeri epigastrium, muntah-muntah) yang pada
pemeriksaan radiologis tidak didapatkan kelainan.
Bila pemeriksaan radiologis menunjukkan atau dicurigai suatu kelainan misalnya
tukak, keganasan atau obstruksi pada esofagus, indikasi endoskopi yaitu memastikan
lebih lanjut lesi tersebut dan untuk membuat pemeriksaan fotografi, biopsi, atau
sitologi.
Perdarahan akut saluran cerna bagian atas memerlukan pemeriksaan endoskopi
secepatnya dalam waktu 24 jam untuk mendapatkan diagnosis sumber perdarahan yang
paling tepat.
Pemeriksaan endoskopi yang berulang-ulang diperlukan juga untuk memantau
penyembuhan tukak yang jinak dan pada pasien-pasien dengan tukak yang dicurigai
kemungkinan adanya keganasan (deteksi dini karsinoma lambung)
Pada pasien-pasien pascagastrektomi dengan gejala/keluhan-keluhan saluran cerna
bagian atas diperlukan pemeriksaan endoskopi karena interpretasi radiologis biasanya
sulit; iregularitas dari lambung dapat dievaluasi paling baik dengan visualisasi langsung
melalui endoskopi.
Kasus sindrom dispepsia dengan usia lebih dari 45 tahun atau di bawah 45 tahun dengan
“tanda bahaya”, pemakaian obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dan riwayat
kanker pada keluarga. Yang dimaksud dengan tanda bahaya yaitu muntah-muntah
hebat, demam, hematemesis, anemia, ikterus dan penurunan berat badan.
Prosedur terapeutik seperti polipektomi, pemasangan selang makanan (nasogastric
tube), dilatasi pada stenosis esofagus atau akalasia, dll.
2. Kontraindikasi relatif :
Luka korosif akut pada esofagus, aneurisma aorta, aritmia jantung berat.
Kifoskoliosis berat, divertikulum Zenker, osteofit bear pada tulang servikal, struma
besar. Pada keadaan tersebut, pemeriksaan endoskopi harus dilakukan dengan hati-hati
dan “halus”.
Pasien gagal jantung
Penyakit infeksi akut (misal pneumonia, peritonitis, kolesistitis).
Pasien anemia berat misal karena perdarahan, harus diberi transfusi darah terlebih dulu
sampai Hb sedikitnya 10 g/dl.
Toksemia pada kehamilan terutama bila disertai hipertensi berat atau kejang-kejang.
Pasien pasca bedah abdomen yang baru.
Gangguan kesadaran.
Tumor mediastinum.
47
2.29 Diet Penyakit Hati
Terdapat 3 jenis diet khusus penyakit hati. Hal ini didasarkan pada gejala dan keadaan
penyakit pasien. Jenis diet penyakit hati tersebut adalah Diet Hati I (DH I), Diet Hati II (DH
II), dan Diet Hati III (DH III). Selain itu pada diet penyakit hati ini juga menyertakan Diet
Garam Rendah I. 16
1. Diet Garam Rendah I (DGR I)
Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan atau hipertensi
berat. Pada pengolahan makanannya tidak menambahkan garam dapur. Dihindari bahan
makanan yang tinggi kadar natriumnya. Kadar Natrium pada Diet garam rendah I ini adalah
200400 mg Na.
2. Diet Hati I (DH I)
Diet Hati I diberikan bila pasien dalam keadaan akut atau bila prekoma sudah dapat
diatasi dan pasien sudah mulai mempunyai nafsu makan. Melihat keadaan pasien, makanan
diberikan dalam bentuk cincang atau lunak. Pemberian protein dibatasi (30 g/hari) dan lemak
diberikan dalam bentuk mudah dicerna. Formula enteral dengan asam amino rantai cabang
(Branched Chain Amino Acid /BCAA) yaitu leusin, isoleusin, dan valin dapat digunakan. Bila
ada asites dan diuresis belum sempurna, pemberian cairan maksimal 1 L/hari.
Makanan ini rendah energi, protein, kalsium, zat besi, dan tiamin; karena itu sebaiknya
diberikan selama beberapa hari saja. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan
diberikan sebagai Diet Hati I Garam rendah. Bila ada asites hebat dan tanda-tanda diuresis
belum membaik, diberikan Diet Garam Rendah I. Untuk menambah kandungan energi, selain
makanan per oral juga diberikan makanan parenteral berupa cairan glukosa.
3. Diet Hati II (DH II)
Diet hati II diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet hati II kepada pasien
dengan nafsu makannya cukup. Menurut keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk
lunak/ biasa. Protein diberikan 1 g/Kg berat badan dan lemak sedang (20-25% dari kebutuhan
enegi total) dalam bentuk yang mudah dicerna. Makanan ini cukup mengandung energi, zat
besi, vitamin A & C, tetapi kurang kalsium dan tiamin. Menurut beratnya retensi garam atau
air, makanan diberikan sebagai diet hati II rendah garam. Bila asites hebat dan diuresis belum
baik, diet mengikuti pola Diet Rendah garam I.
48
4. Diet Hati III (DH III)
Diet Hati III diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati II atau kepada
pasien hepatitis akut (Hepatitis Infeksiosa/A dan Hepatitis Serum/B) dan Sirosis hati yang
nafsu makannya telah baik, telah dapat menerima protein, lemak, mineral dan vitamin tapi
tinggi karbohidrat. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai Diet
Hati III Garam Rendah I.
50
BAB III
STATUS PASIEN ILMU PENYAKIT DALAM
Nama Mahasiswa : Fransisca Magdalena S Tanda Tangan
NIM : 112014083
Dr. Pembimbing : dr. Diany Nurliana Taher, Sp.PD .........................
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Tn. D Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 5 Mei 1961 Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Pegawai swasta Agama : Islam
Alamat : Jl. Gg. Tongkang RT 015/001, Kramat Pendidikan : SLTA
Senen
3.2 ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis Tn. D Tanggal : 3 November 2015 Jam : 21.00
Keluhan utama :
Lemas sejak 1 hari yang lalu.
Penyakit Dahulu :
(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu ginjal/Saluran kemih
(-) Cacar Air (-) Disentri (-) Burut (Hemia)
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Penyakit Prostat
(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir
(+) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes
(-) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Khorea (-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh
(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Pendarahan Otak
(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis
(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis
(-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu Lain-lain : (-) Operasi
(-) Kecelakaan
Riwayat Keluarga
Hubungan Umur Jenis Kelamin Keadaan Penyebab
(tahun) Kesehatan meninggal
Kakek - Laki-laki Meninggal Tidak diketahui
Nenek - Perempuan Meninggal Tidak diketahui
Ayah 75 Laki-laki Meninggal Usia tua
Ibu 76 Perempuan Meninggal Usia tua
Saudara 58, 55 Laki-laki, Sehat -
Perempuan
52
Anak-anak 7, 28 Perempuan, Meninggal, Radang otak
perempuan Sehat
Kulit
(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat malam (-) Lain-lain
(-) Kuku (+) Kuning/Ikterus (-) Sianosis
Kepala
(-) Trauma (+) Sakit kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri pada sinus
Mata
(-) Nyeri (-) Radang
(-) Sekret (-) Gangguan penglihatan
(+) Kuning/Ikterus (-) Ketajaman penglihatan menurun
53
Telinga
(-) Nyeri (-) Gangguan pendengaran
(-) Sekret (-) Kehilangan pendengaran
(-) Tinitus
Hidung
(-) Trauma (-) Gejala penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis
Mulut
(-) Bibir (-) Lidah
(-) Gusi (-)Gangguan pengecapan
(-) Selaput (-) Stomatitis
Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara
Leher
(-) Benjolan (-) Nyeri Leher
Abdomen (Lambung/Usus)
(-) Rasa kembung (-) Wasir
(+) Mual (-) Mencret
(-) Muntah (+) Tinja darah
(+) Muntah darah (-) Tinja berwarna dempul
(-) Sukar menelan (-) Tinja berwarna ter
54
(-) Nyeri perut, kolik (-) Benjolan
(+) Perut membesar
Ekstremitas
(-) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri (-) Sianosis
Berat Badan :
Berat badan rata – rata (kg) : -
Berat tertinggi kapan (kg) :-
Berat badan sekarang (kg) : 52 kg
(bila pasien tidak tahu dengan pasti)
(+) Tetap (-) Turun (-) Naik
55
3.4 RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat Lahir : (-) di rumah (+) Rumah Bersalin (-) R.S Bersalin
Ditolong oleh : (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun (-) lain - lain
Riwayat Imunisasi
(+) Hepatitis (+) BCG (+) Campak (+) DPT (+) Polio (+) Tetanus
Riwayat Makanan
Frekuensi / hari : 3 kali
Jumlah / hari : 1 piring makan setiap kali makan
Variasi / hari : Bervariasi
Nafsu makan : Normal
Pendidikan
(-) SD (-) SLTP (+) SLTA (-) Sekolah Kejuruan
(-) Akademi (-) Universitas (-) Kursus (-) Tidak sekolah
Kesulitan
Keuangan : Tidak ada
Pekerjaan : Tidak ada
Keluarga : Tidak ada Lain
– lain : Tidak ada
Aspek Kejiwaan
Tingkah laku : Wajar
Alam perasaan : Biasa
Proses pikir : Wajar
Kulit
Warna : Sawo matang Effloresensi : Tidak ada
Jaringan parut : Tidak ada Pigmentasi : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Distribusi merata Pembuluh darah : Tidak terlihat
Suhu raba : Afebris Lembab/Kering : Lembab
Keringat : Tidak ada kelainan Turgor : Normal
Lapisan lemak : Normal Ikterus : Seluruh tubuh
Lain-lain : Tidak ada Edema : Tidak ada
Pertumbuhan bulu ketiak: ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula : Tidak membesar Leher : Tidak membesar
Supraklavikula : Tidak membesar Ketiak : Tidak membesar
Lipat paha : Tidak membesar
Kepala
Ekspresi wajah : Wajar
Rambut : Kusam (-), mudah patah (-)
57
Simetri muka : Simetris
Pembuluh darah temporal : Tidak diketahui
Mata
Exophthalamus : Tidak ada Enopthalamus : Tidak ada
Kelopak : Edema (-), nyeri (-) Lensa : Jernih
Konjungtiva : Anemis (+/+) Visus : Normal
Sklera : Ikterik (-/-) Gerakan Mata : Baik segala arah
Lapangan penglihatan : Normal Tekanan bola mata : Normal/palpasi
Deviatio konjugae : Tidak ada Nystagmus : Tidak ada
Telinga
Tuli : Tidak ada Selaput pendengaran : Intak, RC (+/+)
Lubang : Lapang Penyumbatan : Tidak ada
Serumen : Sedikit Pendarahan : Tidak ada
Cairan : Tidak ada
Mulut
Bibir : Tidak kering, sianosis (-) Tonsil : T1-T1 tenang
Langit-langit : Hiperemis (-) Bau pernapasan : Tidak ada
Gigi geligi : Lengkap Trismus : Tidak ada
Faring : Hiperemis (-) Selaput lendir : Kering (-),
Lidah : Coated tounge (-) Koplik spot (-)
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5-2 cmH2O
Kelenjar tiroid : Tidak membesar, nyeri tekan (-)
Kelenjar limfe : Tidak membesar, nyeri (-)
Dada
Bentuk : Normochest, simetris
Pembuluh darah : Spider nevi (-)
58
Buah dada : Ginekomastia (-)
Paru – Paru
Depan Belakang
Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Kanan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi Kiri Benjolan (-), nyeri tekan (-), Benjolan (-), nyeri tekan (-),
Fremitus taktil simetris Fremitus taktil simetris
Kanan Benjolan (-), nyeri tekan (-), Benjolan (-) , nyeri tekan (-),
Fremitus taktil simetris Fremitus taktil simetris
Perkusi Kiri Sonor diseluruh lapangan paru Sonor diseluruh lapangan paru
Kanan Sonor diseluruh lapangan paru Sonor diseluruh lapangan paru
Auskultasi Kiri Vesikuler, Rh (-), Wh (-) Vesikuler, Rh (-), Wh (-)
Kanan Vesikuler, Rh (-), Wh (-) Vesikuler, Rh (-), Wh (-)
Jantung
Inspeksi : Tidak terlihat iktus kordis
Palpasi : Teraba iktus kordis di ICS 4 linea midklavikula sinistra, tidak kuat angkat,
tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Redup
Batas kanan : Linea sternalis dextra, sela iga III
Batas kiri : Linea midclavicularis sinistra, sela iga IV
Batas atas : Linea parasternalis sinistra, sela iga II
Auskultasi : Bunyi jantung 1-2 reguler, murmur (-), gallop (-).
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis : Teraba pulsasi
Arteri Karotis : Teraba pulsasi
Arteri Brakhialis : Teraba pulsasi
Arteri Radialis : Teraba pulsasi
Arteri Femoralis : Teraba pulsasi
59
Arteri Poplitea : Teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : Teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : Teraba pulsasi
Perut
Inspeksi : Warna kulit sawo matang, tidak terdapat striae, tidak terdapat
sikatrik , tidak tampak caput medusa, tampak buncit.
Palpasi Dinding perut : Defense muskular (-), Supel
Hati : Tidak teraba
Limpa : Splenomegali (+) Schuffner 3
Ginjal : Tidak teraba, Ballottement (-)
Perkusi : Redup, Undulasi (+), Shifting dullness (+), CVA (-/-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Refleks dinding perut : Ada
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : Normotonus Normotonus
Massa : Tidak ada Tidak ada
Sendi : Nyeri (-), tahanan (-) Nyeri (-), tahanan (-)
Gerakan : Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Kekuatan : +5 +5
Segmen 64 50 – 70 %
Limfosit 20 20 – 40 %
Monosit 6 2–8%
MCV 82 80 – 96 fl
MCH 27 27 – 32 pg
MCHC 34 32 – 36 g/dl
KOAGULASI
Waktu Protrombin (PT)
61
Kontrol 10.9 Detik
Pasien 13.8 9.3-11.8 detik
APTT
Kontrol 32.8 Detik
KIMIA KLINIK
Bilirubin Total 2.49 < 1.5 mg/dL
SGOT (AST) 27 < 35 U/L
SGPT (ALT) 11 < 40 U/L
Ureum 55 20 – 50 mg/dL
Kreatinin 0.9 0.5 – 1.5 mg/dL
Natrium (Na) 146 135 – 147 mmol/L
Kalium (K) 3.7 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 110 95 – 105 mmol/L
IMUNOSEROLOGI
KIMIA KLINIK
Natrium (Na) 143 135 – 147 mmol/L
Kalium (K) 3.5 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 112 95 – 105 mmol/L
62
DARAH RUTIN 5/11/2015 06:30:58 Nilai Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 8.7 13 – 18 g/dl
Hematokrit 27 40 – 52 %
Eritrosit 3.2 4.3 – 6.0 juta/µl
Leukosit 2770 4800 – 10.800 /µl
Trombosit 64000 150.000 – 400.000/µl
MCV 86 80 – 96 fl
MCH 27 27 – 32 pg
MCHC 32 32 – 36 g/dl
63
Hasil USG Abdomen
Hepar : Ukuran mengecil; echostructure kasar dan meningkat. Permukaan irregular.
Tidak tampak lesi fokal.
Kd. Empedu : Besar dan bentuk normal, dinding menebal. Tidak tampak batu ataupun studge.
Pancreas : Besar dan bentuk normal, echostructure homogen. Tidak tampak lesi fokal.
Duktus pankreatikus tidak melebar.
Lien : Besar dan bentuk normal, echostructure homogen. Tidak tampak lesi fokal.
V. Lienalis tidak melebar.
Tampak fluid collection di perihepatika, perilienalis dan perivesica.
Tidak tampak efusi pleura kanan dan kiri.
Ginjal kanan/kiri : Besar bentuk normal. Struktur cortex – medulla dalam batas normal.
Tidak tampak lesi fokal ataupun batu.
V. urinaria : Besar dan bentuk normal, dinding tidak menebal. Tidak tampak batu.
Prostat : Besar dan bentuk normal, echostructure homogeny. Tidak tampak lesi
fokal
Aorta : tidak tampak pembesaran KGB para aorta.
KESAN :
- Gambaran sirosis hepar dengan asites, splenomegaly dan vena lienalis yang prominent.
- Penebalan dinding kandung empedu, DD/ = Hipoalbuminemia, Cholelithiasis.
- Organ-organ intra abdominal lainnya dalam batas normal.
64
65
3.7 RINGKASAN (RESUME)
Anamnesis
Seorang laki-laki 54 tahun dirawat di ruang Perawatan Umum RSPAD Gatot Soebroto
dengan keluhan hematemesis melena sejak 1 hari yang lalu. Awalnya pasien muntah darah
merah segar dan kental di pagi hari ± 100 cc lalu dibawa ke IGD RSPAD Gatot Soebroto,
sekitar jam 13:00 WIB pasien muntah darah segar yang ke 2 kalinya ± 350 cc, kesadaran pasien
semakin menurun dan tidak lama kemudian dipindahkan ke ruang Perawatan Umum. Keluhan
lemas, mual, nyeri kepala seperti ditusuk-tusuk namun ringan dirasakan pasien dan cukup
mengganggu aktivitas pasien. Riwayat hematemesis melena 6 kali dalam 1 tahun terakhir,
sudah menjalani ligase ke 2 kalinya. Riwayat sirosis hepatis dan pecahnya varises esofagus.
Riwayat penggunaan alkohol ± 10 tahun dengan jumlah 1-2 botol setiap hari namun sudah
berhenti, merokok 1 bungkus/hari.
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran pasien compos mentis, keadaan umum tampak sakit sedang, tekanan darah
100/50 mmHg, frekuensi nadi 80 kali/menit, frekuensi pernapasan : 20 kali/menit, suhu 36,1oC.
Pada inspeksi kulit tampak ikterik seluruh tubuh hingga kuku jari sedikit ikterik, konjungtiva
kedua mata tampak pucat/anemis, perut membuncit/cembung. Pada palpasi teraba
splenomegali dengan schuffner 3. Pada perkusi abdomen terdengar redup, undulasi (+), dan
shifting dullness (+).
Pemeriksaan Penunjang
Dari hasil laboratorium didapatkan hasil hemoglobin, hematocrit, eritrosit, trombosit,
leukosit, kalium, albumin dan kolinesterase yang menurun. HBsAg, Anti HBs, Anti HCV non
reaktif. Eosinofil, RDW, PT, APTT, Bilirubin total, ureum, klorida, dan globulin meningkat
serta hasil darah samar – Benzidine Test tinja didapatkan hasil positif. Pada hasil USG
Abdomen didapatkan kesan gambaran sirosis hepar dengan asites, splenomegali dan vena
lienalis yang prominent. Penebalan dinding kandung empedu, DD/ = Hipoalbuminemia,
Cholelithiasis.
66
3.8 DIAGNOSIS KERJA & DASAR DIAGNOSIS
Hematemesis melena ec. pecahnya varises esofagus ec. sirosis hepatis alkoholik
Dasar diagnosis :
Anamnesis : Muntah darah merah segar dan kental serta BAB hitam (+), lemas (+), mual
(+), riwayat ligasi, riwayat hematemesis melena akibat PVO, riwayat sirosis hepatis (+)
Pemeriksaan Fisik : Kulit ikterik seluruh tubuh, konjungtiva kedua mata pucat/anemis,
perut membuncit/cembung, splenomegali (+) schuffner 3, undulasi (+), shifting dullness
(+), perkusi abdomen redup.
Pemeriksaan Penunjang : Hb, Ht, eritrosit, trombosit, leukosit, albumin menurun. Bilirubin
total meningkat, globulin meningkat, ureum sedikit meningkat, darah samar feses (+).
PT/APTT memanjang. HBsAg, Anti HBs, Anti HCV non reaktif. Pada hasil USG
Abdomen didapatkan kesan gambaran sirosis hepar dengan asites, splenomegali dan vena
lienalis yang prominent. Penebalan dinding kandung empedu.
67
2. Hematemesis melena ec. keganasan hati
Dasar diagnosis :
Anamnesis : Muntah darah merah segar dan kental serta BAB hitam (+), lemas (+),
mual (+), nyeri kepala (+), riwayat penggunaan alkohol ± 10 tahun dan merokok,
riwayat sirosis hepatis.
Pemeriksaan Fisik : Kulit ikterik seluruh tubuh, konjungtiva kedua mata pucat/anemis,
perut membuncit/cembung, splenomegali (+) schuffner 3, undulasi (+), shifting
dullness (+), perkusi abdomen redup.
Pemeriksaan Penunjang : Kulit ikterik seluruh tubuh, konjungtiva kedua mata
pucat/anemis, perut membuncit/cembung, splenomegali (+) schuffner 3, undulasi (+),
shifting dullness (+), perkusi abdomen redup.
Faktor Penyingkir : Belum dilakukan biopsi hati.
68
3.12 PENCEGAHAN
Menghentikan konsumsi alkohol, mencegah obesitas atau menjaga berat badan tetap ideal,
dan hindari sex bebas atau penggunaan narkoba (penggunaan jarum suntik bersama) agar
terbebas dari hepatitis B/C.
5/11/2015 S = Perut membuncit (+), BAB sudah P = Cek darah rutin, protein
tidak hitam total, albumin, globulin,
O = CM, TSS kolinesterase (CHE), feses rutin
TD : 100/70 mmHg
N : 84 x/menit
Stop IVFD Comafusin
P : 20 x/menit
Diet hati II rendah garam
S : 36,3 °C
Cefotaxime 3x1 g IV
Mata : Konjungtiva anemis (-/-),
Omeprazole 1x40 mg IV
sklera ikterik (+/+)
Vitamin K 3x10 mg IV
Kulit : Ikterus (+), kuku ikterik (+)
Octreotide 0,2 mg dalam NS
Abdomen : Perut membuncit, supel,
100 cc drip dalam 4 jam
hepar tidak teraba, splenomegali
Propranolol 3x10 mg PO
schuffner 3, undulasi (+), shifting
Lactulose syrup 4x10 cc PO
dullness (+)
Furosemide 1x40 PO
Ektremitas : Akral hangat, edema (-)
Spironolaktone 1x100 mg PO
A = Post hematemesis melena ec.
pecahnya varises esophagus ec.
sirosis alkohol
69
6/11/2015 S = Perut membuncit (+) P = Rencana rawat jalan setelah
O = CM, TSS hasil USG keluar
TD : 100/60 mmHg
N : 80 x/menit Diet hati III rendah garam
P : 20 x/menit Cefotaxime 3x1 g IV
S : 36,2 °C Omeprazole 1x40 mg IV
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Octreotide 0,2 mg dalam NS
sklera ikterik (+/+) 100 cc drip dalam 4 jam
Kulit : Ikterus (+), kuku ikterik (+) Propranolol 3x10 mg PO
Abdomen : Perut membuncit, supel, Lactulose syrup 4x10 cc PO
hepar tidak teraba, splenomegali Furosemide 1x40 PO
schuffner 3, undulasi (+), shifting Spironolaktone 1x100 mg PO
dullness (+)
Ektremitas : Akral hangat, edema (-)
A = Post hematemesis melena ec.
pecahnya varises esophagus ec.
sirosis alkohol
3.14 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Malam
Quo ad sanationam : Malam
70
BAB 1V
KESIMPULAN
71
Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi tubuh
sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada beberapa fungsi hati yaitu :
sebagai metabolisme karbohidrat, sebagai metabolisme lemak, sebagai metabolisme protein,
sebagai hemodinamik, sebagai detoksikasi, sebagai metabolisme bilirubin.
Kegagalan fungsi hati menimbulkan keluhan seperti rasa lemah, turunnya berat badan,
kembung, dan mual. Kulit tubuh di bagian atas, muka, dan lengan atas akan bisa timbul bercak
mirip laba-laba (spider nevi). Telapak tangan bewarna merah (eritema palmaris), perut
membuncit akibat penimbunan cairan secara abnormal di rongga perut (asites), dan pembesaran
payudara pada laki-laki. Bisa pula timbul hipoalbuminemia, pembengkakan pada tungkai
bawah sekitar tulang (edema pretibial), dan gangguan pembekuan darah yang bermanifestasi
sebagai peradangan gusi, mimisan, atau gangguan siklus haid. Kegagalan hati pada sirosis hati
fase lanjut dapat menyebabkan gangguan kesadaran akibat encephalopathy hepatic atau koma
hepatik.
Tekanan portal yang normal antara 5-10 mmHg. Pada hipertensi portal terjadi kenaikan
tekanan dalam sistem portal yang lebih dari 15 mmHg dan bersifat menetap. Keadaan ini akan
menyebabkan limpa membesar (splenomegali), pelebaran pembuluh darah kulit pada dinding
perut disekitar pusar (caput medusae), pada dinding perut yang menandakan sudah
terbentuknya sistem kolateral, wasir (hemoroid), dan penekanan pembuluh darah vena esofagus
atau cardia (varices esofagus) yang dapat menimbulkan muntah darah (hematemesis), atau
berak darah (melena). Kalau pendarahan yang keluar sangat banyak maka penderita bisa timbul
syok (renjatan). Bila penyakit akan timbul asites, encephalopati, dan perubahan ke arah kanker
hati primer (hepatoma).
Ada 2 faktor yang mempengaruhi terbentuknya asites pada penderita Sirosis Hepatis,
yaitu :
Tekanan koloid plasma yang biasa bergantung pada albumin di dalam serum. Pada keadaan
normal albumin dibentuk oleh hati. Bilamana hati terganggu fungsinya, maka pembentukan
albumin juga terganggu, dan kadarnya menurun, sehingga tekanan koloid osmotic juga
berkurang. Terdapatnya kadar albumin kurang dari 3 gr % sudah dapat merupakan tanda
kritis untuk timbulnya asites.
Tekanan vena porta. Bila terjadi perdarahan akibat pecahnya varises esophagus, maka
kadar plasma protein dapat menurun, sehingga tekanan koloid osmotic menurun pula,
kemudian terjadilah asites. Sebaliknya bila kadar plasma protein kembali normal, maka
72
asitesnya akan menghilang walaupun hipertensi portal tetap ada. Hipertensi portal
mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal pun menurun. Hal
ini meningkatkan aktifitas plasma rennin sehingga aldosteron juga meningkat. Aldosteron
berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit terutama natrium. dengan peningkatan
aldosteron maka terjadi terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan retensi
cairan.
Tatalaksana yang akan diberikan pada pasien ini pertama-tama melakukan pemasangan
NGT untuk melakukan bilas lambung dan persiapan puasa untuk USG Abdomen, kemudian
dipikirkan untuk pemberian infus NS 500 cc untuk pengganti cairan tubuh yang keluar akibat
hematemesis namun tidak perlu diberikan terlalu banyak karena tidak baik untuk pasien dengan
sirosis hati. Diberikan juga infus TE 1000 500 cc/jam untuk pengganti nutrisi secara parenteral
selama bilas lambung dan diberikan juga diet hati I rendah garam sebelum pasien dipuasakan
untuk rencana USG Abdomen. Tujuan pemberian diet hati I rendah garam agar mencapai dan
mempertahankan status gizi optimal tanpa memberatkan fungsi hati, mencegah atau
mengurangi asites, varises esophagus, dan hipertensi portal dimana diet hati I diperuntukan
bagi pasien dalam keadaan akut dengan nafsu makan yang sudah membaik. Pemberian
Omeprazole dapat diberikan untuk menekan produksi asam lambung sehingga tidak mual dan
dipikirkan juga zat besi dalam darah akibat pecahnya varises esofagus yang masuk ke dalam
lambung bercampur dengan asam lambung dapat membuat pasien terasa mual. Vitamin K
dapat diberikan untuk membantu pembekuan darah disertai pemberian FFP untuk koreksi
pembekuan darah. Cefotaxim dan laktulosa diberikan untuk mencegah siklus enterohepatik
akibat reaksi darah dengan kuman dalam usus sehingga eliminasi kuman dan hemoglobin di
dalam usus dapat dipercepat dengan laktulosa, laktulosa sendiri di berikan sampai pasien buang
air besar sebanyak 3 kali perhari untuk mensterilkan usus dari amonia sehingga siklus
enterohepatik tidak terjadi. Untuk mengkoreksi hemoglobin pasien dapat diberikan tranfusi
PRC. Propanolol diberikan untuk menurunkan gradient ekanan portal, menurunkan aliran
darah vena azigos, dan juga tekanan varises. Perlu juga diberikan octreotide untuk membantu
menurunkan tekanan portal dengan cepat untuk menghentikan perdarahan. Pemberian
furosemide dan spironolakton digunakan untuk mengatasi asites pasien.
Sangat perlu dilakukan endoskopi (esofagoskopi) untuk melihat varises yang pecah di
sebelah mana dan menentukan penatalaksanaan untuk lebih lanjut. Perlu juga dipikirkan untuk
dilakukan biopsy hati jika ada kecurigaan pada keganasan hati.
73
DAFTAR PUSTAKA
1. Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S,
editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1 Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. h.
668-73.
2. Kusumobroto H. Penatalaksanaan perdarahan varises esofagus. Dalam Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1 Edisi
V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006. h. 297-305.
3. Wilson LM, Lester LB. Hati, saluran empedu, dan pankreas. In Wijaya C, editor.
Patofisiologi konsep klinis proses proses penyakit. Jakarta: ECG; 1994. p. 426-63.
4. Guyton AC, Hall JE. The liver as an organ. In textbook of medical physiology. 11th ed.:
Elsevier; 2006. p. 859-64.
5. Netter FH, Machade CAG. Interactive atlas of human anatomy [Electronic Atlas].:
Saunders/Elsevier; 2003.
6. Amiruddin R. Fisiologi dan biokimia hati. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS,
Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1 Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. h.
627-33.
7. Ala I, Sharara S, Don C, Rockey R. Gastroesophageal variceal hemorrhage. N Engl J Med
2001. Available from: www.nejm.org. Diakses tanggal 16 November 2015.
8. Jane Y, Yang Y, Ellen S, Deutsch D, James S, Reilly R. Bronchoesophagology. In: James
B, Snow JR, John JB, eds. Otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th ed. Ontario:
BC Decker Inc; 2003. h. 1562-73.
9. Wilson LMC. Esofagus. Dalam: Price SA, Wilson LMC, ed. Patofisiologi. Edisi 4. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC; 2002. hal. 357-450.
10. Guyton AC, Hall JE. Prinsip-prinsip umum fungsi gastrointestinal-motilitas, pengaturan
saraf, dan sirkulasi darah. Dalam: Guyton AC, ed. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2006. h. 817-9.
74
11. Dite P, Labrecque D, Fried M, Gangl A, Khan AG, Bjorkman D, et al. Esophageal varices.
World gastroenterology organisation practise guideline 2007. Available from :
http://www.worldgastroenterology.org/graded-evidence-access.html. Diakses tanggal 16
November 2015.
12. Azer SA, Katz J. Esophageal varices 2010. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/175248-overview. Diakses tanggal 16 November
2015.
13. Vaezi MF. Upper gastrointestinal bleeding. In: Vaezi MF, Park W, Swoger J, eds.
Esophageal diseases. Oxford: An imprint of atlas medical publishing Ltd; 2006. p. 110-4.
14. Bendtsen F, Krag A, Moller S. Treatment of acute variceal bleeding. Digestive and liver
disease 2008. Available from: www.sciencedirect.com. Diakses tanggal 16 November
2015.
15. Simadibrata M. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, K. MS, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1 Edisi V. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. h. 467-73.
16. Atmarita I, Hadi H. Nutrition problem in Indonesia : a systematic review. Int j food sci nutr;
2005. 28(2):43-56.
75