Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2021


UNIVERSITAS HASANUDDIN

TATALAKSANA REHABILITASI MEDIK INKONTINENSIA URIN


PADA PASIEN LANJUT USIA

DISUSUN OLEH:
Megawati
C014202039

SUPERVISOR PEMBIMBING :

dr. Imran Safei, M.Kes, Sp.KFR(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK PADA

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Megawati

Nim : C014202039

Judul Referat : Tatalaksana Rehabilitasi Medik Inkontinensia pada Pasien Geriatri

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu

Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, November 2021

Supervisor Pembimbing

dr. Imran Safei, M.Kes, Sp.KFR(K)


ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................... iii
Daftar tabel ...................................................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 3
2.1 Definisi Inkontinensia Urin ................................................................................................ 3 2.2
Epidemiologi Inkontinensia Urin Pada Lansia .................................................................... 3 2.3
Faktor Resiko dan Patofisiologi Inkontinensia Urin Pada Lansia......................................... 3 2.4
Klasifikasi Inkontinensia Urin ............................................................................................ 5
2.4.1 Inkontinensia Urin Tekanan (stress urinary incontinence).................................................. 5
2.4.2 Inkontinensia Urin desakan (urgency urinary incontinence) ............................................... 5
2.4.3 Inkontinensia Urin Campuran (mixed urinary incontinence) .............................................. 5
2.4.4 Inkontinensia Urin Luapan (overflow urinary incontinence) .............................................. 5
2.4.5 Inkontinensia Urin Terus-Menerus/Kontinue (continuous urinary incontinence) ................ 5
2.5 Perubahan Sistem Urogenital Pada Usia Lanjut .................................................................. 5 2.6
Diagnosis Inkontinensia Urin Pada Usia Lanjut .................................................................. 6 2.6.1
Anamnesis ........................................................................................................................ 6 2.6.2
Pemeriksaan Fisik ............................................................................................................. 7 2.6.3
Penilaian Kekuatan Otot Dasar Panggul ............................................................................ 7 2.6.4
Penilaian Residu Urin........................................................................................................ 8 2.6.5
Pemeriksaan penunjang..................................................................................................... 8 2.7
Tatalaksana Rehabilitasi Medik Inkontinensia Urin Pada Usia Lanjut ................................. 9 2.7.1
Rehabilitasi Yang Tidak Membutuhkan Pelaku Perawat/Mandiri (Patient Independent) ..... 9 2.7.2
Rehabilitasi Yang Dibantu Oleh Pelaku Rawat (Caregiver Dependent) ............................ 10 BAB
III........................................................................................................................................... 12
PENUTUP ...................................................................................................................................... 12
3.1 Kesimpulan............................................................................................................................... 12
Daftar Pustaka................................................................................................................................. 13

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Obat-Obatan Yang Dapat Menyebabkan Inkontinensia


Urin…………………………………………………………………………………………….4
Tabel 2 : Efek Perubahan Organ Sistem Urogenital Pada
Inkontinesia……………………………………………………………………………………6
Tabel 3 : Rekomendasi Tatalaksana Rehabilitasi Inkotntinensia Berdasarkan Jenis
Inkontinensia Urin Pada Lanjut Usia …………………………………………………………9
iii
BAB I

PENDAHULUAN

Pada masa lanjut usia secara bertahap seseorang mengalami berbagai kemunduran,
baik kemunduran fisik, mental, dan social. Perubahan fisik yang terjadi pada setiap lanjut usia
sangat bervariasi, perubahan ini terjadi dalam berbagai sistem, yaitu sistem integumen, system,
kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, sistem reproduksi, system muskuloskeletal, sistem
neurologis, dan sistem urologi. Semua perubahan fisiologis ini bukan merupakan proses
patologis, tetapi perubahan fisiologis umum yang perlu diantisipasi.

Inkontinensia urin merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dijumpai pada
lansia. Hal tersebut jarang disampaikan oleh pasien maupun keluarga karena dianggap
memalukan (tabu) atau wajar terjadi pada lansia sehingga tidak perlu diobati. Inkontinensia
urin dinilai bukan sebagai penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat menimbulkan berbagai
gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup. Inkontinensia
urin merupakan keluarnya urin tidak disadari dan pada waktu yang tidak diinginkan (tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlah) yang mengakibatkan masalah sosial dan higienisitas
penderitanya.

Penduduk dunia semakin menua. Saat ini, penduduk berusia lanjut di dunia mencapai
12,3% dari total populasi. Berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017,
penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia (usia 60 tahun atau lebih) mencapai 23,66 juta jiwa
(9,03%). Diprediksi jumlah penduduk lansia tahun 2020 mencapai 27,08 juta jiwa dan 2035
mencapai 48,19 juta jiwa

Prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring bertambahnya usia dan kerentanan,


serta 1,3 hingga 2 kali lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki. Populasi di atas
usia 65 tahun akan mengalami peningkatan kejadian inkontinensia urin mulai 13% pada tahun
2010 dan diperkirakan dapat mencapai 20,2% pada tahun 2050. Diperkirakan inkontinensia
urin dialami oleh hampir 60% lansia di panti rawat (nursing home), 25–30% lansia berusia
lebih dari 65 tahun yang baru pulang dari perawatan rumah sakit karena penyakit akut, serta
10–15% laki-laki dan 20–35% perempuan berusia lebih dari 60 tahun yang masih ambulatori
di komunitas.6 Di Eropa, prevalensi inkontinensia urin mencapai lebih dari 30% dan di

1
Amerika Serikat mencapai 37%. Prevalensi inkontinensia urin di Asia bervariasi dengan
prevalensi tertinggi di Thailand (17%) dan terendah di Cina (4%).

Berdasarkan penjabaran diatas disebutkan bahwa inkontinensia merupakan salah satu


masalah yang paling sering terjadi pada pasien lanjut usia, ditambah dengan data pendukung
yang menjelaskan tentang penduduk dunia semakin menua maka perlu dilakukan Rehabilitasi
medik pada pasien lanjut usia yang menderita inkontinensia yang bertujuan untuk menguatkan
otot dasar panggul sehingga dapat mengurangi frekuensi berkemih, inkontinensia urin, dan
mengurangi volume urine, serta yang paling penting dapat meningkatkan kualitas hidup sehari
hari dari pasien tersebut.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Inkontinensia Urin


Inkontinensia urin adalah kondisi yang ditandai oleh defek spingter kandung kemih atau
disfungsi neurologis yang menyebabkan hilangnya control terhadap buang air kecil.1,2
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefenisikan sebagai keluarnya
urin secara involunter yang menimbulkan masalah social dan hygiene serta secara objektif
tampak nyata. Pada pasien usia lanjut inkontinensia urin merupakan salah satu masalah yang
bukan saja menimbulkan persoalan fisik tetapi juga menyebabkan masalah psikologis, social
dan ekonomi sehingga mempengaruhi kualitas hidup lansia.1,3

2.2 Epidemiologi Inkontinensia Urin Pada Lansia


Penduduk dunia semakin menua. Saat ini, penduduk berusia lanjut di dunia mencapai
12,3% dari total populasi. Berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017,
penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia (usia 60 tahun atau lebih) mencapai 23,66 juta jiwa
(9,03%). Diprediksi jumlah penduduk lansia tahun 2020 mencapai 27,08 juta jiwa dan 2035
mencapai 48,19 juta jiwa.4,5

Prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring bertambahnya usia dan kerentanan,


serta 1,3 hingga 2 kali lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki. Populasi di atas
usia 65 tahun akan mengalami peningkatan kejadian inkontinensia urin mulai 13% pada tahun
2010 dan diperkirakan dapat mencapai 20,2% pada tahun 2050. Diperkirakan inkontinensia
urin dialami oleh hampir 60% lansia di panti rawat (nursing home), 25–30% lansia berusia
lebih dari 65 tahun yang baru pulang dari perawatan rumah sakit karena penyakit akut, serta
10–15% laki-laki dan 20–35% perempuan berusia lebih dari 60 tahun yang masih ambulatori
di komunitas.6 Di Eropa, prevalensi inkontinensia urin mencapai lebih dari 30% dan di
Amerika Serikat mencapai 37%. Prevalensi inkontinensia urin di Asia bervariasi dengan
prevalensi tertinggi di Thailand (17%) dan terendah di Cina (4%).7

2.3 Faktor Resiko dan Patofisiologi Inkontinensia Urin Pada Lansia Inkontinensia urin
umumnya terjadi akibat oleh abnormalitas pada kandung kemih, abnormalitas pada sfingter,
atau campuran keduanya. Inkontinensia urin bukan merupakan hal yang wajar atau kondisi
normal pada pasien geriatri. Usia lanjut bukan penyebab utama terjadinya inkontinensia urin,
melainkan hanya sebagai salah satu faktor predisposisi. Proses

3
menua mengakibatkan perubahan anatomis dan fisiologis pada system urogenital bagian
bawah.8

Pada inkontinensia urin yang bersifat akut dapat digunakan akronim DIAPPERS untuk
mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya yaitu:9,10
• Delirium atau status konfusional akut

• Infection

• Trophic vaginitis atau urethritis

• Pharmaceutical (Pengaruh Obat-Obatan)

• Psychological condition

• Endocrine disorder (hiperglikemia, hiperkalsemia) atau excess urine output (

• Stool impaction

Seiring bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih dan kemampuan untuk menahan
buang air kecil menurun, sedangkan residu urine meningkat. Prevalensi terjadinya kontraksi
kandung kemih involunter atau detrusor overactivity juga meningkat dengan bertambahnya
usia. Kontraksi kandung kemih involunter tidak selalu menyebabkan inkontinensia urin atau
menyebabkan gejala, namun jika dikombinasikan dengan gangguan mobilitas, kontraksi
kandung kemih tersebut dapat menimbulkan inkontinensia urin pada usia lanjut dengan
hambatan fungsional.11

Tabel 1 : Obat-obatan yang dapat menyebabkan inkontinensia urin

4
2.4 Klasifikasi Inkontinensia Urin
Inkontinensia terbagi atas dua, yaitu inkontinensia akut dan persisten/kronik.
Inkontinensia akut adalah inkontinensia yang onsetnya tiba-tiba, biasanya berkaitan
dengan penyakit akut atau masalah iatrogenis dan bersifat sementara, sehingga dapat
sembuh bila masalah penyakit atau obat-obatan telah diatasi. Inkontinensia urin
persisten adalah inkontinensia yang tidak terkait penyakit akut dan bersifat menetap.
Ada 5 Tipe Inkontinensia persisten :12

2.4.1 Inkontinensia Urin Tekanan (stress urinary incontinence)


Inkontinensia yang ditandai dengan keluarnya urin di luar kehendak yang
berhubungan dengan meningkatnya tekanan abdomen yang terjadi Ketika bersin,
batuk, atau tekanan fisik lainnya

2.4.2 Inkontinensia Urin desakan (urgency urinary incontinence)


Inkontinesia yang ditandai dengan keluarnya urin di luar kehendak yang
diawali oleh desakan berkemih

2.4.3 Inkontinensia Urin Campuran (mixed urinary incontinence)


Inkontinensia yang ditandai dengan keluarnya urin di luar kehendak yang
diawali dengan desakanberkemih Dan juga berkaitan dengan bersin, batuk, atau
tekanan fisik lainnya

2.4.4 Inkontinensia Urin Luapan (overflow urinary incontinence)


Keluarnya urin di luar kehendak yang disebabkan karena luapan urin yang
berkaitan oleh sumbatan infravesika atau kelemahan otot detrusor kandung kemih.

2.4.5 Inkontinensia Urin Terus-Menerus/Kontinue (continuous urinary incontinence)


Keluarnya urin di luar kehendak secara terus-menerus

2.5 Perubahan Sistem Urogenital Pada Usia Lanjut


Proses menua akibat bertambahnya usia dapat menyebabkan berbagai
perubahan pada tubuh orang berusia lanjut. Perubahan dapat terjadi pada struktur
kandung kemih dan saluran kemih bagian bawah, fungsi berkemih, kadar hormonal
hingga perubahan pada persarafan.6 Pada sistem urogenital terjadi perubahan yang
signifikan. Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi,
ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal.

5
Tabel 2 : Efek Perubahan Organ Sistem Urogenital Pada Inkontinesia

2.6 Diagnosis Inkontinensia Urin Pada Usia Lanjut

2.6.1 Anamnesis
Anamnesis secara umum (termasuk obat-obatan yang dikonsumsi pasien,
penyakit komorbid, dan Riwayat operasi daerah pelvis), anamnesis sistem, status
fungsional (menggunakan kuesioner Activity Daily Living/ADL atau Barthel Index),
status kognitif (menggunakan kuesioner Mini Mental Status Exami-nation/ MMSE),
status mental (menggunakan kuesioner Geriatric De- pression Scales/ GDS), dan status
nutrisi (menggunakan kuesioner Mini Nutritional Assessment).

Anamnesis terkait inkontinensia urin perlu menggali karakteristik inkontinensia


urin dengan menggunakan catatan harian berkemih. Instrumen tersebut berisi
informasi meliputi frekuensi,waktu,volume,urin yang keluar,jumlah dan jenis asupan
cairam, pencetus, gejala kesulitan dalam berkemih seperti :

• Meningkatnya frekuensi berkemih di malam hari (frequency)


6
• Tidak dapat menahan atau terburu-buru ingin berkemih (urgency)

• Seringnya terbangun malam hari untuk berkemih (nocturia)

• Pancaran urine lemah (weak streaming)

• Menunggu keluarnya urine saat berkemih (hesitancy)

• Aliran urine yang terputus-putus (intermittency)

• Menetesnya urine di akhir pancaran berkemih (terminal dribbling) •

Sensasi kandung kemih seperti masih terisi setelah berkemih (incomplete

emptying)

• Mengedan saat berkemih (straining)

Pada pasien dengan keluhan nokturia, anamnesis difokuskan pada keadaan


penyebab nokturia, yaitu poliuria nokturia, sleep apnea, dan keadaan yang
menyebabkan residu urine tinggi (PVR tinggi). Bila pada anamnesis didapatkan
informasi adanya inkontinensia alvi, perlu dipikirkan kemungkinan adanya
inkontinensia neurogenic. Pada anamnesis perlu dilakukan evaluasi mengenai dampak
inkontinensia urin terhadap kualitas hiduo dengan menggunakan kuesioner EQ5D.

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik secara menyeluruh termasuk pemeriksaan terkait dengan
inkontinensia urin. Pemeriksaan fisik khusus meliputi pemeriksaan abdomen untuk
menilai ada tidaknya distensi kandung kemih, nyeri tekan suprapubic, massa di regio
abdomen bagian bawah. Selian itu, perlu dilakukan pemeriksaan pada genitalia dan
pemeriksaan status neurologis terkait dengan inervasi saraf urogenital. Dalam
pemeriksaan pelvis pada wanita harus dilakukan inspeksi adanya pelvic organ prolapse
(POP), tanda inflamasi seperti vaginitis atrofi (berupa bercak eritema dan
bertambahnya vaskularisasi daerah labia minora dan epitel vagina,petekie, dan eritama
pada urethra yang sering disertai karunkel di bagian bawah urethra, kondisi kulit
perineal, massa di daerah pelvis, dan kelaian anatomi lainnya.

2.6.3 Penilaian Kekuatan Otot Dasar Panggul


Penilaian kekuatan otot dasar panggul dapat dilakukan dengan pemeriksaan:

7
• Pemeriksaan colok dubur untuk menilai sensasi perineal dan TSA saat aktif dan
istirahat. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk menilai adanya impaksi feses
serta menilai keadaan prostat pada pasien pria.

• Pemeriksaan colok vagina untuk memeriksa adanya kelainan organ genitalia seperti
prolaps uteri.

• Pemeriksaan stress test. Pemeriksaan ini dapat menilai inkontinensia urin tekanan
dengan cara pasien diposisikan berbaring telentang di atas meja periksa, kemudian
kandung kemih yang terisi penuh namun tanpa keinginan kuat untuk berkemih, lalu
pasien diminta batuk. Jika urine menetes selama pasien batuk, dapat dijadikan
diagnosis presumtif inkontinensia urin tekanan.

2.6.4 Penilaian Residu Urin


Pemeriksaan residu urin adalah jumlah urin yang masih tersisa di dalam
kandung kemih setelah berkemih. Hal tersebut mengindikasikan efisiensi berkemih
yang buruk yang disebabkan oleh berbagai faktor. Pemeriksaan ini terutama dilakukan
pada pasien dengan faktor risiko tinggi antara lain:

• Diabetes melitus

• Riwayat retensi urin atau PVR tinggi

• ISK berulang

• Obat-obatan yang memengaruhi pengosongan kandung kemih (mis. antiko

linergik)

• Konstipasi kronis

• IU yang menetap atau memburuk dengan obat-obatan antimuskarinik •

Riwayat pemeriksaan urodinamik dengan hasil detrusor underactivity (DUA)

dan/atau bladder outlet obstruction (BOO)

2.6.5 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi seperti urinalisis, USG, dan

urodinamik. Pemeriksaan urinalisis dapat menilai adanya infeksi saluran kemih (ISK),
proteinuria, hematuria atau glikosuria.

8
2.7 Tatalaksana Rehabilitasi Medik Inkontinensia Urin Pada Usia Lanjut
Tata laksana ditujukan berdasarkan kemampuan pasien geriatri dalam
melakukan aktivitas hidup sehari-hari secara mandiri atau membutuhkan pelaku rawat.
Pasien yang tidak membutuhkan pelaku rawat tujuan tata laksananya adalah
mengembalikan pola berkemih dan kontinensia menjadi normal, sedangkan pasien
yang membutuhkan pelaku rawat bertujuan untuk menjaga pasien dan lingkungannya
tetap kering. Pemilihanterapi dilakukan berdasarkan jenis IU dan kondisi pasien
tersebut.

Tabel 3 : Rekomendasi Tatalaksana Rehabilitasi Inkotntinensia berdasarkan Jenis Inkontinensia Urin Pada
Lanjut Usia

2.7.1 Rehabilitasi Yang Tidak Membutuhkan Pelaku Perawat/Mandiri (Patient


Independent)
a. Latihan Otot Dasar Panggul (Kegel Exercise)

Latihan ini dilakukan secara berulang antara kontraksi dan relaksi otot dasar
panggul setiap hari. Tujuan latihan ini adalah menguatkan otot dasar panggul sehingga
dapat mengurangi frekuensi berkemih, inkontinensia urin, dan mengurangi volume
urine inkontinensia urin. Latihan ini berguna untuk inkontinensia urin dengan tipe
tekanan, desakan, dan campuran. Latihan otot dasar panggul disertai penurunan berat
badan efektif dalam memperbaiki inkontinensia urin pada pasien perempuan lansia.

Cara memperkenalkan kepada pasien tentang kontraksi otot dasar panggul dengan
benar adalah:
- Pasien diminta seolah-olah akan flatus, kemudian mencoba menahannya agar angin
tidak keluar;

9
- Lakukan ‘stop test’ yaitu membayangkan pasien sedang berkemih dan seketika
menghentikan pancaran urine;

- Pasien diminta merasakan bahwa dua kegiatan di atas seolah-olah otot-otot panggul
terasa berkumpul di tengah serta anus terangkat dan masuk ke dalam;

- Ajarkan pasien untuk merasakan gerakan tersebut sehingga pasien yakin bahwa

gerakannya benar.

Ada 2 jenis kontraksi yang dilakukan yaitu:

- Kontraksi cepat: kontraksi – relaksasi – kontraksi – relaksasi, dan seterusnya dengan


hitungan cepat.

- Kontraksi lambat: tahan kontraksi 3–4 detik dengan cara menghitung 101, 102, 103,
104 untuk kontraksi dan 105, 106, 107, 108 untuk relaksasi, dan dilakukan seterusnya.

b. Latihan Kandung Kemih (Bladder Training)

Latihan ini merupakan proses edukasi dan perilaku pada pasien usia lanjut
dengan inkontinensia urin. Latihan ini berupa edukasi, catatan berkemih, strategi
control berkemih, dan termasuk Latihan otot dasar panggul. Latihan ini
membutuhkan terapis yang terlatih dan fungsi kognitif dan fisik serta motivasi yang
baik.

c. Melatih Kembali Kandung kemih

Latihan kandung kemih yang digunakan pada pasien inkontinensia akut seperti
pasca kateterisasi dengan inkontinensia urin desakan atau luapan atau pasca strok.

2.7.2 Rehabilitasi Yang Dibantu Oleh Pelaku Rawat (Caregiver Dependent) a.


Prompted Voiding

Prompted voiding adalah pasien ditawarkan minuman secara rutin dan


ditawarkan untuk berkemih setiap 2 jam sepanjang siang, namun ke toilet/tempat
berkemih hanya bila pasien menginginkannya. Tindakan ini bertujun untuk
meningkatkan keinginan pasien untuk berkemih secara baik dan diharapkan dapat
menurunkan frekuensi inkontinensia urin. Terapi ini berguna untuk inkontinensia urin
dengan tipe desakan, tekanan, fungsional, dan campuran.

10
b.Melatih Kebiasaan Berkemih (Habib Training)

Habit training yaitu dibuatkan jadwal berkemih berdasarkan pola kebiasaan


berkemih sesuai catatan harian berkemih (bladder/voiding diary) pasien. Tujuannya
adalah untuk mencegah kejadian mengompol dan biasanya berguna untuk pasien
dengan gangguan kognitif atau fisik.

c. Berkemih yang terjadwal ( Scheduled Training)

Scheduled toileting, yaitu pasien diminta berkemih setiap interval waktu tertentu
secara rutin dan teratur; tiap 2 jam pada siang hari dan tiap 4 jam pada sore dan
malam hari.Tujuannya adalah untuk mencegah kejadian mengompol dan biasanya
berguna untuk pasien dengan gangguan kognitif atau fisik. Pasien diharuskan berkemih
dengan pola yang tetap. Misalkan 2-3 jam sekali dalam sehari. Tindakan ini
merupakan Tindakan pasif karena tidk mengubah pola pikir atau perilaku pasien serta
tidak membentuk pola berkemih bagi pasien. Habit training yaitu dibuatkan jadwal
berkemih.

.
11
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Inkontinensia urin adalah kondisi yang ditandai oleh defek spingter kandung
kemih atau disfungsi neurologis yang menyebabkan hilangnya control terhadap buang
air kecil.1,2 Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefenisikan
sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah social dan
hygiene serta secara objektif tampak nyata. Gejala dari inkontinensia urin sangat
bervariasi tergantung dengan jenis inkontinensia yang dialami. Inkontinensia urin
bukan merupakan hal yang wajar atau kondisi normal pada pasien geriatri. Usia lanjut
bukan penyebab utama terjadinya inkontinensia urin, melainkan hanya sebagai salah
satu faktor predisposisi. Proses menua mengakibatkan perubahan anatomis dan
fisiologis pada system urogenital bagian bawah.
Rehabilitasi medik yang dilakukan pada pasien usia lanjut dengan
inkontinensia bertujuan untuk menguatkan otot dasar panggul sehingga dapat
mengurangi frekuensi berkemih, inkontinensia urin, dan mengurangi volume urine,
serta yang paling penting dapat meningkatkan kualitas hidup sehari-hari dari pasien
tersebut. Rehabilitasi medik yang dapat dilakukan yakni, Latihan dasar otot panggul,
Latihan kandung kemih, prompted voiding, Melatih Kebiasaan Berkemih (Habib
Training), dan scheduld training.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Yu B, Xu H, Chen X, Liu L. Science Direct Analysis of coping styles of elderly

women patients with stress urinary incontinence. Int JNurs Sci [Internet].

2016;3(2):153–7. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijnss.2015.10.009

2. Silay K, Akinci S, Ulas A, Yalcin A, Silay YS, Akinci MB, et al. Occult urinary

incontinence in elderly women. 2016;447–51

3. Charalambous S, Trantafylidis A. Review article Impact of urinary incontinence on

quality of life. :51–3

4. UN Department of Economic and Social Affairs, Population Divison. World

Population Prospects. 2017.

5. Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI. 2017.

6. Vaughan CP, Johnson TM. Incontinence. In: Halter JB, Ouslander JG, Studenski S,

High KP, Asthana S, Ritchie CS, et al. Hazzard’s Geriatric Medicine and

Gerontology. USA. McGraw-Hill. p. 801–19.

7. Sohn K, Lee CK, Shin J, Lee J. Association between female urinary incontinence and

geriatric health problems: results from Korean Longitudinal Study of Ageing. Korean

J Fam Med. 2018;39(1):10–4.

8. Diokno AC. Incidence and prevalence of stress urinary incontinence. Advance Studies

in Medicine. 2003;3(8E):S284–8.

9. Lutz W, Sanderson W, Scherbow S. The coming acceleration of global population

aging. Nature. 2008;451:716–9.

10. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Inkontinensia Urin pada Usia Lanjut.

Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia. Jakarta. 2007.

13
11. Burkhard FC, Bosch JLHR, Cruz F, Lemack GE, Nambiar AK, Thiruchelvam N, et

al. EAU Guideline on Urinary Incontinence in Adults. European Association of

Urology. 2018. p. 8-40

12. Abrams P, Cardozo L, Fall M, Griffiths D, Rosier P, Ulmsten U, et al. The

standardisation of terminology of lower urinary tract function report from the

standardization sub-comitte of the international continence Society. Neurourol Urodyn,

2002;21(2):167-78.
14

Anda mungkin juga menyukai