DISUSUN OLEH:
Megawati
C014202039
SUPERVISOR PEMBIMBING :
MAKASSAR
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Megawati
Nim : C014202039
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Supervisor Pembimbing
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................... iii
Daftar tabel ...................................................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 3
2.1 Definisi Inkontinensia Urin ................................................................................................ 3 2.2
Epidemiologi Inkontinensia Urin Pada Lansia .................................................................... 3 2.3
Faktor Resiko dan Patofisiologi Inkontinensia Urin Pada Lansia......................................... 3 2.4
Klasifikasi Inkontinensia Urin ............................................................................................ 5
2.4.1 Inkontinensia Urin Tekanan (stress urinary incontinence).................................................. 5
2.4.2 Inkontinensia Urin desakan (urgency urinary incontinence) ............................................... 5
2.4.3 Inkontinensia Urin Campuran (mixed urinary incontinence) .............................................. 5
2.4.4 Inkontinensia Urin Luapan (overflow urinary incontinence) .............................................. 5
2.4.5 Inkontinensia Urin Terus-Menerus/Kontinue (continuous urinary incontinence) ................ 5
2.5 Perubahan Sistem Urogenital Pada Usia Lanjut .................................................................. 5 2.6
Diagnosis Inkontinensia Urin Pada Usia Lanjut .................................................................. 6 2.6.1
Anamnesis ........................................................................................................................ 6 2.6.2
Pemeriksaan Fisik ............................................................................................................. 7 2.6.3
Penilaian Kekuatan Otot Dasar Panggul ............................................................................ 7 2.6.4
Penilaian Residu Urin........................................................................................................ 8 2.6.5
Pemeriksaan penunjang..................................................................................................... 8 2.7
Tatalaksana Rehabilitasi Medik Inkontinensia Urin Pada Usia Lanjut ................................. 9 2.7.1
Rehabilitasi Yang Tidak Membutuhkan Pelaku Perawat/Mandiri (Patient Independent) ..... 9 2.7.2
Rehabilitasi Yang Dibantu Oleh Pelaku Rawat (Caregiver Dependent) ............................ 10 BAB
III........................................................................................................................................... 12
PENUTUP ...................................................................................................................................... 12
3.1 Kesimpulan............................................................................................................................... 12
Daftar Pustaka................................................................................................................................. 13
iii
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Pada masa lanjut usia secara bertahap seseorang mengalami berbagai kemunduran,
baik kemunduran fisik, mental, dan social. Perubahan fisik yang terjadi pada setiap lanjut usia
sangat bervariasi, perubahan ini terjadi dalam berbagai sistem, yaitu sistem integumen, system,
kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, sistem reproduksi, system muskuloskeletal, sistem
neurologis, dan sistem urologi. Semua perubahan fisiologis ini bukan merupakan proses
patologis, tetapi perubahan fisiologis umum yang perlu diantisipasi.
Inkontinensia urin merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dijumpai pada
lansia. Hal tersebut jarang disampaikan oleh pasien maupun keluarga karena dianggap
memalukan (tabu) atau wajar terjadi pada lansia sehingga tidak perlu diobati. Inkontinensia
urin dinilai bukan sebagai penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat menimbulkan berbagai
gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup. Inkontinensia
urin merupakan keluarnya urin tidak disadari dan pada waktu yang tidak diinginkan (tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlah) yang mengakibatkan masalah sosial dan higienisitas
penderitanya.
Penduduk dunia semakin menua. Saat ini, penduduk berusia lanjut di dunia mencapai
12,3% dari total populasi. Berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017,
penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia (usia 60 tahun atau lebih) mencapai 23,66 juta jiwa
(9,03%). Diprediksi jumlah penduduk lansia tahun 2020 mencapai 27,08 juta jiwa dan 2035
mencapai 48,19 juta jiwa
1
Amerika Serikat mencapai 37%. Prevalensi inkontinensia urin di Asia bervariasi dengan
prevalensi tertinggi di Thailand (17%) dan terendah di Cina (4%).
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.3 Faktor Resiko dan Patofisiologi Inkontinensia Urin Pada Lansia Inkontinensia urin
umumnya terjadi akibat oleh abnormalitas pada kandung kemih, abnormalitas pada sfingter,
atau campuran keduanya. Inkontinensia urin bukan merupakan hal yang wajar atau kondisi
normal pada pasien geriatri. Usia lanjut bukan penyebab utama terjadinya inkontinensia urin,
melainkan hanya sebagai salah satu faktor predisposisi. Proses
3
menua mengakibatkan perubahan anatomis dan fisiologis pada system urogenital bagian
bawah.8
Pada inkontinensia urin yang bersifat akut dapat digunakan akronim DIAPPERS untuk
mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya yaitu:9,10
• Delirium atau status konfusional akut
• Infection
• Psychological condition
• Stool impaction
Seiring bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih dan kemampuan untuk menahan
buang air kecil menurun, sedangkan residu urine meningkat. Prevalensi terjadinya kontraksi
kandung kemih involunter atau detrusor overactivity juga meningkat dengan bertambahnya
usia. Kontraksi kandung kemih involunter tidak selalu menyebabkan inkontinensia urin atau
menyebabkan gejala, namun jika dikombinasikan dengan gangguan mobilitas, kontraksi
kandung kemih tersebut dapat menimbulkan inkontinensia urin pada usia lanjut dengan
hambatan fungsional.11
4
2.4 Klasifikasi Inkontinensia Urin
Inkontinensia terbagi atas dua, yaitu inkontinensia akut dan persisten/kronik.
Inkontinensia akut adalah inkontinensia yang onsetnya tiba-tiba, biasanya berkaitan
dengan penyakit akut atau masalah iatrogenis dan bersifat sementara, sehingga dapat
sembuh bila masalah penyakit atau obat-obatan telah diatasi. Inkontinensia urin
persisten adalah inkontinensia yang tidak terkait penyakit akut dan bersifat menetap.
Ada 5 Tipe Inkontinensia persisten :12
5
Tabel 2 : Efek Perubahan Organ Sistem Urogenital Pada Inkontinesia
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis secara umum (termasuk obat-obatan yang dikonsumsi pasien,
penyakit komorbid, dan Riwayat operasi daerah pelvis), anamnesis sistem, status
fungsional (menggunakan kuesioner Activity Daily Living/ADL atau Barthel Index),
status kognitif (menggunakan kuesioner Mini Mental Status Exami-nation/ MMSE),
status mental (menggunakan kuesioner Geriatric De- pression Scales/ GDS), dan status
nutrisi (menggunakan kuesioner Mini Nutritional Assessment).
emptying)
7
• Pemeriksaan colok dubur untuk menilai sensasi perineal dan TSA saat aktif dan
istirahat. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk menilai adanya impaksi feses
serta menilai keadaan prostat pada pasien pria.
• Pemeriksaan colok vagina untuk memeriksa adanya kelainan organ genitalia seperti
prolaps uteri.
• Pemeriksaan stress test. Pemeriksaan ini dapat menilai inkontinensia urin tekanan
dengan cara pasien diposisikan berbaring telentang di atas meja periksa, kemudian
kandung kemih yang terisi penuh namun tanpa keinginan kuat untuk berkemih, lalu
pasien diminta batuk. Jika urine menetes selama pasien batuk, dapat dijadikan
diagnosis presumtif inkontinensia urin tekanan.
• Diabetes melitus
• ISK berulang
linergik)
• Konstipasi kronis
urodinamik. Pemeriksaan urinalisis dapat menilai adanya infeksi saluran kemih (ISK),
proteinuria, hematuria atau glikosuria.
8
2.7 Tatalaksana Rehabilitasi Medik Inkontinensia Urin Pada Usia Lanjut
Tata laksana ditujukan berdasarkan kemampuan pasien geriatri dalam
melakukan aktivitas hidup sehari-hari secara mandiri atau membutuhkan pelaku rawat.
Pasien yang tidak membutuhkan pelaku rawat tujuan tata laksananya adalah
mengembalikan pola berkemih dan kontinensia menjadi normal, sedangkan pasien
yang membutuhkan pelaku rawat bertujuan untuk menjaga pasien dan lingkungannya
tetap kering. Pemilihanterapi dilakukan berdasarkan jenis IU dan kondisi pasien
tersebut.
Tabel 3 : Rekomendasi Tatalaksana Rehabilitasi Inkotntinensia berdasarkan Jenis Inkontinensia Urin Pada
Lanjut Usia
Latihan ini dilakukan secara berulang antara kontraksi dan relaksi otot dasar
panggul setiap hari. Tujuan latihan ini adalah menguatkan otot dasar panggul sehingga
dapat mengurangi frekuensi berkemih, inkontinensia urin, dan mengurangi volume
urine inkontinensia urin. Latihan ini berguna untuk inkontinensia urin dengan tipe
tekanan, desakan, dan campuran. Latihan otot dasar panggul disertai penurunan berat
badan efektif dalam memperbaiki inkontinensia urin pada pasien perempuan lansia.
Cara memperkenalkan kepada pasien tentang kontraksi otot dasar panggul dengan
benar adalah:
- Pasien diminta seolah-olah akan flatus, kemudian mencoba menahannya agar angin
tidak keluar;
9
- Lakukan ‘stop test’ yaitu membayangkan pasien sedang berkemih dan seketika
menghentikan pancaran urine;
- Pasien diminta merasakan bahwa dua kegiatan di atas seolah-olah otot-otot panggul
terasa berkumpul di tengah serta anus terangkat dan masuk ke dalam;
- Ajarkan pasien untuk merasakan gerakan tersebut sehingga pasien yakin bahwa
gerakannya benar.
- Kontraksi lambat: tahan kontraksi 3–4 detik dengan cara menghitung 101, 102, 103,
104 untuk kontraksi dan 105, 106, 107, 108 untuk relaksasi, dan dilakukan seterusnya.
Latihan ini merupakan proses edukasi dan perilaku pada pasien usia lanjut
dengan inkontinensia urin. Latihan ini berupa edukasi, catatan berkemih, strategi
control berkemih, dan termasuk Latihan otot dasar panggul. Latihan ini
membutuhkan terapis yang terlatih dan fungsi kognitif dan fisik serta motivasi yang
baik.
Latihan kandung kemih yang digunakan pada pasien inkontinensia akut seperti
pasca kateterisasi dengan inkontinensia urin desakan atau luapan atau pasca strok.
10
b.Melatih Kebiasaan Berkemih (Habib Training)
Scheduled toileting, yaitu pasien diminta berkemih setiap interval waktu tertentu
secara rutin dan teratur; tiap 2 jam pada siang hari dan tiap 4 jam pada sore dan
malam hari.Tujuannya adalah untuk mencegah kejadian mengompol dan biasanya
berguna untuk pasien dengan gangguan kognitif atau fisik. Pasien diharuskan berkemih
dengan pola yang tetap. Misalkan 2-3 jam sekali dalam sehari. Tindakan ini
merupakan Tindakan pasif karena tidk mengubah pola pikir atau perilaku pasien serta
tidak membentuk pola berkemih bagi pasien. Habit training yaitu dibuatkan jadwal
berkemih.
.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Inkontinensia urin adalah kondisi yang ditandai oleh defek spingter kandung
kemih atau disfungsi neurologis yang menyebabkan hilangnya control terhadap buang
air kecil.1,2 Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefenisikan
sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah social dan
hygiene serta secara objektif tampak nyata. Gejala dari inkontinensia urin sangat
bervariasi tergantung dengan jenis inkontinensia yang dialami. Inkontinensia urin
bukan merupakan hal yang wajar atau kondisi normal pada pasien geriatri. Usia lanjut
bukan penyebab utama terjadinya inkontinensia urin, melainkan hanya sebagai salah
satu faktor predisposisi. Proses menua mengakibatkan perubahan anatomis dan
fisiologis pada system urogenital bagian bawah.
Rehabilitasi medik yang dilakukan pada pasien usia lanjut dengan
inkontinensia bertujuan untuk menguatkan otot dasar panggul sehingga dapat
mengurangi frekuensi berkemih, inkontinensia urin, dan mengurangi volume urine,
serta yang paling penting dapat meningkatkan kualitas hidup sehari-hari dari pasien
tersebut. Rehabilitasi medik yang dapat dilakukan yakni, Latihan dasar otot panggul,
Latihan kandung kemih, prompted voiding, Melatih Kebiasaan Berkemih (Habib
Training), dan scheduld training.
12
DAFTAR PUSTAKA
women patients with stress urinary incontinence. Int JNurs Sci [Internet].
2. Silay K, Akinci S, Ulas A, Yalcin A, Silay YS, Akinci MB, et al. Occult urinary
5. Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI. 2017.
6. Vaughan CP, Johnson TM. Incontinence. In: Halter JB, Ouslander JG, Studenski S,
High KP, Asthana S, Ritchie CS, et al. Hazzard’s Geriatric Medicine and
7. Sohn K, Lee CK, Shin J, Lee J. Association between female urinary incontinence and
geriatric health problems: results from Korean Longitudinal Study of Ageing. Korean
8. Diokno AC. Incidence and prevalence of stress urinary incontinence. Advance Studies
in Medicine. 2003;3(8E):S284–8.
13
11. Burkhard FC, Bosch JLHR, Cruz F, Lemack GE, Nambiar AK, Thiruchelvam N, et
2002;21(2):167-78.
14