Anda di halaman 1dari 36

1

LAPORAN PENDAHULUAN KONSTIPASI

OLEH

DONI JENJEN MENNO


NIM: 37902822

MENGETAHUI

PEMBIMBING KLINIK PEMBIMBING INSTITUSI

Antonius Ili, S. Kep., Ns Yosinta H. Pella, S.Kep.,Ns., M. Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA
KUPANG
2023
2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN.......................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................iii

KATA PENGANTAR.....................................................................................iv

DAFTAR ISI....................................................................................................vii

DAFTAR TABEL...........................................................................................x

DAFTRA GAMBAR.......................................................................................xi

DAFTAR SINGKATAN.................................................................................xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................1

B. Tujuan...................................................................................................6

C. Manfaat penulisan.................................................................................7

D. Sistematika penulisan............................................................................8

BAB II TINJAUAN KASUS KELOLAN

A. TINJAUAN TEORI..............................................................................10

1. Konsep Lansia................................................................................10

a) Pengertian Lansia....................................................................10
3

b) Batasan Umur Lanjut Usia......................................................11

c) Perubahan yang terjadi pada lanjut usia..................................13

d) Faktor Risiko...........................................................................19

e) Konsekuensi Fungsional.........................................................21

2. Konsep Konstipasi pada lansia.......................................................23

a) Pengertian Konstipasi..............................................................23

b) Anatomi fisiologi Prankreas....................................................24

c) Etiologi konstipasi...................................................................29

d) Patofisiologi............................................................................32

e) Pathway...................................................................................37

f) Penatalaksanaan......................................................................38

3. Konsep Asuhan Keperawatan........................................................46

a) Pengkajian Keperawatan.........................................................46

b) Diagnosa Keperawatan............................................................67

c) Rencana Keperawaan dan Rasional........................................68

d) Implementasi...........................................................................80

e) Evaluasi...................................................................................80

4. Intervensi dan Evaluasi...................................................................113

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan..............................................................................................141

B. Saran........................................................................................................143

Daftar Pustaka
4

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konstipasi merupakan gangguan pada pola eliminasi akibat adanya feses

kering atau keras yang melewati usus besar. Konstipasi adalah bukan penyakit

melainkan gejala yang dimana menurunnya frekuensi BAB disertai dengan

pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan. BAB yang keras dapat

menyebabkan nyeri rectum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal

lebih lama, sehingga banyak air yang diserap. Perjalanan feses yang lama

karena jumlah air yang diabsorpsi sangat kurang menyebabkan feses menjadi

kering dan keras (Mubarak, Indrawati, & Susanto, 2015). Konstipasi dengan

kelemahan otot abdomen dengan defekasi kurang 2 kali seminggu (PPNI,

2017).

Konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran tinja lebih dari 2


minggu, yang konsistensi tinja bersifat keras, kering dan kecil yang dapat
menyebabkan nyeri ketika dikeluarkan (Loka, Sinuhaji, & Yudiyanto, 2014).
Konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan defekasi tinja secara sempurna
yang tercermin dari tiga aspek, yaitu berkurangnya frekuensi berhajat dari
biasanya, tinja lebih keras dari pada sebelumnya dan pada palpasi abdomen
teraba masa tinja (skibala) (Muzal, 2017). Konstipasi merupakan kegagalan
kolon mengeluarkan isi lumen atau adanya peningkatan tahanan luar karena
disfungsi pelvis dan anorektal yang menyebabkan kesulitan untuk defekasi
(Maghfuroh, 2018).
5

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan masalah konstipasi?

1.3. Tujuan

Tujuan Umum :

Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan masalah
konstipasi.

Tujuan Khusus :

1. Mengetahui definisi konstipasi.


2. Mengetahui epidemiologi lansia dengan konstipasi.
3. Mengetahui etiologi konstipasi.
4. Mengetahui patofisiologi konstipasi.
5. Mengetahui manifestasi klinis dari konstipasi.
6. Mengetahui penatalaksanaan lansia dengan konstipasi. 

1.4. Manfaat

1. Mengetahui perjalanan penyakit yang terjadi sehingga dapat memberikan asuhan


keperawatan yang tepat.
2. Menambah pengetahuan khususnya di bidang keperawatan gerontik sebagai
referensi dalam memberikan asuhan keperawatan.
3. Meningkatkan ketrampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien
lansia dengan konstipasi
6

BAB 2

PENDAHULUAN

A. Konsep Lansia

1. Definisi Lansia

Menua atau menjadi tua adalah suatu proses biologis yang tidak dapat

dihindari. Proses penuaan terjadi secara alamiah. Hal ini dapat menimbulkan

masalah fisik, mental, sosial, ekonomi dan psikologis.(Mustika, 2019).

Lansia merupakan suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia.

Menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya bisa dimulai dari suatu

waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua

merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang akan melewati tiga tahap

dalam kehidupannya yaitu masa anak, dewasa dan juga tua.(Mawaddah, 2020).

Jika ditanya kapan seseorang dikatakan lansia jawabannya adalah jadi kita

ada dua kategori lansia yaitu kategori usia kronologis dan usia biologis artinya

adalah jika usia kronologis adalah dihitung dalam atau dengan tahun kalender. Di

Indonesia usia pensiun 56 tahun biasanya disebut sudah lansia namun ada

Undang – undang mengatakan bahwa usia 60 tahun ke atas baru paling layak

atau paling tepat disebut usia lanjut usia biologis adalah usia yang sebenarnya

kenapa begitu karena dimana kondisi pematangan jaringan sebagai indeks usia

lansia pada biologisnya.

Artinya proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri

dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat

bertahan terhadap lesion atau luka (infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang
7

diderita. Hal ini dikarenakan fisik lansia dapat menghambat atau memperlambat

kemunduran fungsi alat tubuh yang disebabkan bertambahnya umur.(Friska et

al., 2020).

2. Ciri-Ciri Lansia

Menurut Oktora & Purnawan, (2018) adapun ciri dari lansia diantaranya :

a. Lansia merupakan periode kemunduran Kemunduran pada lansia

sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis sehingga motivasi

memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Misalnya

lansiayang memiliki motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka

akanmempercepat proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang

memilikimotivasi yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih

lama terjadi.

b. Penyesuaian yang buruk pada lansia prilaku yang buruk terhadap lansia

membuat mereka cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga

dapat memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk.Akibat dari perlakuan yang

buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula. Contoh:

lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk

pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah

yang menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan

bahkan memiliki harga diri yang rendah.


8

3. Karakteristik Lansia

Karakteristik lansia menurut (Kemenkes.RI, 2017) yaitu :

a. Seseorang dikatakan lansia ketika telah mencapai usia 60 tahun keatas

b. Status pernikahan Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI SUPAS 2015,

penduduk lansia ditilik dari status perkawinannya sebagian besar berstatus

kawin (60 %) dan cerai mati (37 %). Adapun perinciannya yaitu lansia

perempuan yang berstatus cerai mati sekitar 56,04 % dari keseluruhan yang

cerai mati, dan lansia laki-laki yang 13 berstatus kawin ada 82,84 %. Hal ini

disebabkan usia harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan

usia harapan hidup laki-laki, sehingga presentase lansia perempuan yang

berstatus cerai mati lebih banyak dan lansia laki-laki yang bercerai umumnya

kawin lagi

c. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,

kebutuhan biopsikososial dan spiritual, kondisi adaptif hingga kondisi

maladaptive.

d. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi

4. Klasifikasi lansia

Menurut Lilik Marifatul (2011) terdapat beberapa versi dalam pembagian

kelompok lansia berdasarkan batasan umur, yaitu sebagai berikut

a. Menurut WHO, lansia dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:

1). Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45-59 tahun

2). Lansia (edderly), yaitu kelompok usia 60-74 tahun

3). Lansia tua (old),yaitu kelompok usia 75-90 tahun


9

4). Lansia sangat tua (very old),yaitu kelompok usia lebih dari 90 tahun.

5. Perubahan Terjadi Pada Lansia

Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara degeneratif

yang biasanya akan berdampak pada perubahan- perubahan pada jiwa atau diri

manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan

sexual (National & Pillars, 2020).

a. Perubahan fisik

Dimana banyak sistem tubuh kita yang mengalami perubahan seiring umur

kita seperti:

1) Sistem Indra Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran)

oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam,

terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak

jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60 tahun. 2)

Sistem Intergumen: Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis

kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis

dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan

glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal

dengan liver spot.

b. Perubahan Kognitif

Banyak lansia mengalami perubahan kognitif, tidak hanya lansia biasanya

anak- anak muda juga pernah mengalaminya seperti: Memory (Daya ingat,

Ingatan)

c. Perubahan Psikososial

Sebagian orang yang akan mengalami hal ini dikarenakan berbagai masalah

hidup ataupun yang kali ini dikarenakan umur seperti:


10

1) Kesepian Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat

meninggal terutama jika lansia mengalami penurunan kesehatan,

seperti menderita penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan

sensorik terutama pendengaran.

2) Gangguan cemas Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan

cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif

kompulsif, gangguangangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa

muda dan berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi,

efek samping obat, atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.

3) Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab morbilitas yang signifikan.

Ada beberapa dampak serius gangguan tidur pada lansia misalnya

mengantuk berlebihan di siang hari, gangguan atensi dan memori, mood

depresi, sering terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya, dan

penurunan kualitas hidup. Angka kematian, angka sakit jantung dan

kanker lebih tinggi pada seseorang yang lama tidurnya lebih dari 9 jam

atau kurang dari 6 jam per hari bila dibandingkan. dengan seseorang yang

lama tidurnya antara 7-8 jam per hari. Berdasarkan dugaan etiologinya,

gangguan tidur dibagi menjadi empat kelompok yaitu, gangguan tidur

primer, gangguan tidur akibat gangguan mental lain, gangguan tidur akibat

kondisi medik umum, dan gangguan tidur yang diinduksi oleh zat.
11

B. Konsep Lansia Sebagai Populasi Beresiko

Masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda dari orang dewasa,

masalah yang terjadi pada lansia sering disebut dengan sindroma geriatri

(Geriatric Syndrome) yaitu kumpulan gejala-gejala mengenai kesehatan yang

sering dikeluhkan oleh para lanjut usia dan atau keluarganya (istilah 14 1),

yaitu:

a. Immobility (kurang bergerak)

- Immobility merupakan keadaan tidak bergerak/ tirah haring selama 3 hari

atau lebih.

- Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan

otot, ketidakseimbangan, masalah psikologis, depresi atau demensia.

- Komplikasi yang timbul adalah luka di bagian yang mengalami

penekanan terus menerus (lecet bahkan infeksi), kelemahan otot,

kontraktur/ kekakuan otot dan sendi, infeksi paru-paru dan saluran kemih,

konstipasi dan lain-lain.

- Penanganan latihan fisik, perubahan posisi secara teratur, menggunakan

kasur anti dekubitus, monitor asupan cairan dan makanan yang berserat.

b. Instability (mudah jatuh)

- Penyebab jatuh misalnya kecelakaan seperti terpeleset, sinkop/kehilangan

kesadaran mendadak, dizzines/vertigo, hipotensi orthostatik, proses

penyakit.

- Dipengaruhi oleh faktor intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien

misalnya kekakuan sendi, kelemahan otot, gangguan pendengaran

penglihatan, gangguan keseimbangan, penyakit misalnya hipertensi, DM.

jantung) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor yang terdapat di lingkungan


12

misalnya alas kaki tidak sesuai, lantai licin, jalan tidak rata, penerangan

kurang, benda-benda dilantai yang membuat terpeleset).

-Akibat yang ditimbulkan akibat jatuh berupa cedera kepala, cedera

jaringan lunak, sampai patah tulang yang bisa menimbulkan imobilisasi.

-Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas dan

riwayat jatuh adalah: mengobati berbagai kondisi yang mendasari

instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa

latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang

sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan

yang cukup, pegangan, lantai yang tidak licin

c. Incontinence (tidak mampu menahan BAB/ BAK atau beser)

-Inkontinensia urin merupakan keluarnya urin yang tidak dikehendaki

dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga menimbulkan masalah sosial

dan/atau kesehatan.

-Inkontinensia urin akut terjadi secara mendadak dapat diobati bila penyakit

yang mendasarinya diatasi misalnya infeksi saluran kemih,

gangguankesadaran, obat-obatan, masalah psikologik dan skibala.

-Inkontinesia urin yang menetap di bedakan atas :

1) Tipe urgensi yaitu keinginan berkemih yang tidak bisa ditahanpenyebanya

overaktifitas kerja otot detrusor karena hilangnya kontrol neurologis, terapi

dengan obat-obatan antimuskarinik prognosis baik

2) Tipe stres kerena kegagalan mekanisme sfingter/katup saluran kencing untuk

menutup ketika ada peningkatan tekanan intra abdomen mendadak seperti

bersin, batuk, tertawa terapi dengan latihan otot dasar panggul.


13

3) Tipe overflow yaitu menggelembungnya kandung kemih melebihi volume

normal, post void residue> 100 ce terapi tergantung penyebab misalnyaatasi

sumbatan retensi urin.

-Inkontinensia alvi/fekal sebagai perjalanan spontan atau ketidakmampuan

untuk mengendalikan pembuangan feses melalui anus, penyebab cedera

panggul, operasi anus/rektum, prolaps rektum, tumor.

-Pada inkontinensia urin ntuk menghindari sering mengompol pasien sering

mengurangi minum yang menyebabkan terjadi dehidrasi.

d. Intellectual Impairment (gangguan intelektual/ demensia)

- Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang

disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan

tingkat kesadaran sehingga mempengaruhi aktifitas kerja dan sosial secara

bermakna.

-Demensia tidak hanya masalah pada memori. Demensia

mencakupberkurangnya kemampuan untuk mengenal. berpikir, menyimpan

atau mengingat pengalaman yang lalu dan juga kehilangan pola sentuh,

pasien menjadi perasa, dan terganggunya aktivitas.

-Faktor risiko: hipertensi, DM, gangguan jantung, PPOK dan obesitas.

e. Infection (rentang mengalami infeksi)

-Pada lanjut usia terdapat beberapa penyakit sekaligus, menurunnya

dayatahan imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasi pada

lanjut usia sehingga sulit jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi

secara dini.

-Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan

meningkatnya temperatur badan, dan hal ini sering tidak dijumpai pada usia

lanjut, malah suhu badan yang rendah lebih sering dijumpai.


14

-Keluhan dan gejala infeksi semakin tidak khas antara lain berupa

konfusi/delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-

tiba,badan menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi

padapasien usia lanjut.

f. Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran,

penglihatan dan penciuman)

- Gangguan pendengaran sangat umum ditemui pada lanjut usia dan

menyebabkan pasien sulit untuk diajak komunikasi

-Penatalaksanaan untuk gangguan pendengaran pada geriatri adalah dengan

cara memasangkan alat bantu dengar atau dengan tindakan bedah berupa

implantasi koklea

-Gangguan penglihatan bisa disebabkan gangguan refraksi, katarak atau

komplikasi dari penyakit lain misalnya DM, HT dll. penatalaksanaan

dengan memakai alat bantu kacamata atan dengan operasi pada katarak.

g. Isolation (rentan depresi/ stres sehingga sering menyendiri)

-Isolation (terisolasi) depresi, penyebab utama depresi pada lanjut usia

adalah kehilangan seseorang yang disayangi, pasangan hidup, anak, bahkan

binatang peliharaan

-Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan,

menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi. Keluarga yang mulai

mengacuhkan karena merasa direpotkan menyebabkan pasien akan merasa

hidup sendiri dan menjadi depresi. Beberapa orang dapat melakukan usaha

bunuh diri akibat depresi yang berkepajangan.

h. Inanition (kurang gizi)

Asupan makanan berkurang sekitar 25% pada usia 40-70 tahun. Anoreksia

dipengaruhi oleh faktor fisiologis (perubahan rasa kecap, pembauan, sulit


15

mengunyah, gangguan usus, dan lain-lain), psikologis (depresi dan

demensia) dan sosial (hidup dan makan sendiri) yang berpengaruh pada

nafsu makan dan asupan makanan

i. Impecunity (penurunan penghasilan)

- Dengan semakin bertambahnya usia maka kemampuan fisik dan mental

akanberkurang secara berlahan-lahan, yang menyebabkan ketidakmampuan

tubuhdalam mengerjakan atau menyelesaikan pekerjaan sehingga tidak

dapatmemberikan penghasilan.

- Usia pensiun dimana sebagian dari lansia hanya mengandalkan hidup

daritunjangan hari tuanya.

- Selain masalah finansial, pensiun juga berarti kehilangan teman sejawat,

berarti interaksi sosial pun berkurang memudahkan seorang lansia

mengalami depresi.

j. latrogenic (menderita penyakit pengaruh obat-obatan)

-Lansia sering menderita penyakit lebih dari satu jenis sehingga

membutuhkan obat yang lebih banyak, apalagi sebagian lansia sering

menggunakan obat dalam jangka waktu yang lama tanpa pengawasan

dokter sehingga dapat menimbulkan penyakit.

-Akibat yang ditimbulkan antara lain efek samping dan efek dari interaksi

obat obat tersebut yang dapat mengancam jiwa.

k. Insomnia (sulit tidur)

-Dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang menyebabkan

seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa penyakit juga dapat

menyebabkaninsomnia seperti diabetes melitus dan gangguan kelenjar

thyroid, gangguan diotak juga dapat menyebabkan insomnia. Jam tidur

yang sudah berubah jugadapat menjadi penyebabnya.


16

- Berbagai keluhan gangguan tidur yang sering dilaporkan oleh lansia yaitu

sulit untuk masuk kedalam proses tidur, tidurnya tidak dalam dan mudah

terbangun, jika terbangun sulit untuk tidur kembali, terbangun dini hari,

lesu setelah bangun di pagi hari.

- Agar bisa tidur: hindari olahraga 3-4 jam sebelum tidur, santai mendekati

waktu tidur, hindari rokok waktu tidur, hindari minum minuman berkafein

saut sore hari, batasi asupan cairan setelah jam makan malam ada nokturia,

batasi tidur siang 30 menit atau kurang, hindari menggunakan tempat tidur

untuk menonton tv, menulis tagihan dan membaca

l. Immunodeficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh)

Daya tahan tubuh menurun bisa disebabkan oleh proses menua disertai

penurunanfungsi organ tubuh, juga disebabkan penyakit yang diderita,

penggunaan obat obatan, dan keadaan gizi yang menurun

m. Impotence (Gangguan seksual)

Impotensi pada usia lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik

seperti gangguan hormon, syaraf, dan pembuluh darah dan juga depresi.

n. Impaction (sulit buang air besar)

-Faktor yang mempengaruhi kurangnya gerak fisik, makanan yang kurang

mengandung serat, kurang minum, akibat obat-obat tertentu.

-Akibatnya pengosongan usus menjadi sulit atau isi usus menjadi tertahan,

kotoran dalam usus menjadi keras dan kering dan pada keadaan yang berat

dapat terjadi penyumbatan di dalam usus dan perut menjadi sakit.


17

panti dan kebersihan lingkungan yang diciptakan antar individu (Brewster et al.,

2019). Faktor Psikologis yang menyebabkan gangguan tidur pada lansia panti

sangat beragam. Antara lain seperti kisah hidup traumatis, masalah rumah tangga

terdahulu, kekhawatiran masa kini dan masa depan, mimipi buruk dan perasaan

gelisah. Lansia yang stress dan memilih menghabiskan waktu siang nya untuk

tidur dapat memicu gangguan tidur di malam hari. Hal ini mempengaruhi

kualitas tidur secara negatif pada lansia (Aşiret & Dutkun, 2018). Status

kesehatan lanjut usia dipengaruhi oleh faktor gizinya. Status gizi pada lanjut usia

harus mendapatkan perhatian khusus karena dapat mempengaruhi status

kesehatan, penurunan kualitas tidur, kualitas hidup dan mortalitas. Gizi kurang

maupun gizi lebih pada masa dewasa akhir dapat memperburuk kondisi

fungsional dan kesehatan fisik.(Morehen et al., 2020). Sedangkan faktor gaya

hidup dan aktivitas fisik dipengaruhi oleh keaktifan lansia sehari-hari, kebiasaan

menghabiskan waktu harian hal ini terkait dengan imobilitas yang dihubungkan

dengan tirah baring. Bedrest kronis mengganggu ritme sikardian / dan ritme

waktu tidur. Terlalu lama berbaring di tempat tidur di siang hari menyebabkan

episode bangun pendek di malam hari dan kualitas tidur lansia menjadi buruk.

(Friska et al., 2020).


18

C. Konsep Masalah

a. Konsep Dasar Konstipasi

1. Definisi

Konstipasi merupakan gangguan pada pola eliminasi akibat adanya

feses kering atau keras yang melewati usus besar. Konstipasi adalah bukan

penyakit melainkan gejala yang dimana menurunnya frekuensi BAB

disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan. BAB

yang keras dapat menyebabkan nyeri rectum. Kondisi ini terjadi karena

feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air yang diserap.

Perjalanan feses yang lama karena jumlah air yang diabsorpsi sangat

kurang menyebabkan feses menjadi kering dan keras (Mubarak, Indrawati,

& Susanto, 2015). Konstipasi dengan kelemahan otot abdomen dengan

defekasi kurang 2 kali seminggu (PPNI, 2017).

Konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran tinja lebih dari 2

minggu, yang konsistensi tinja bersifat keras, kering dan kecil yang dapat

menyebabkan nyeri ketika dikeluarkan (Loka, Sinuhaji, & Yudiyanto,

2014). Konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan defekasi tinja secara

sempurna yang tercermin dari tiga aspek, yaitu berkurangnya frekuensi

berhajat dari biasanya, tinja lebih keras dari pada sebelumnya dan pada

palpasi abdomen teraba masa tinja (skibala) (Muzal, 2017). Konstipasi

merupakan kegagalan kolon mengeluarkan isi lumen atau adanya

peningkatan tahanan luar karena disfungsi pelvis dan anorektal yang

menyebabkan kesulitan untuk defekasi (Maghfuroh, 2018). Konstipasi


19

merupakan defekasi yang tidak teratur serta terjadi pengerasan pada feses

yang menyebabkan sulit BAB, menimbulkan nyeri saat BAB, frekuensi

defekasi berkurang, dan retensi feses dalam rektum (Smeltzer & Bare,

2008).

2. Anatomi Fisiologi Eliminasi Fekal

Gambar 2.1 Anatomi eliminasi fekal (DeLaune & Ladner, 2011)

Dari gambar di atas, anatomi dan fisiologi eliminasi fekal menurut

Nurachman & Angriani (2011) yaitu:

a. Struktur kolon

Struktur kolon terdiri dari beberapa lapisan, yaitu:

1) Lapisan serosa

Lapisan serosa ialah lapisan terluar yg terdiri dari pembuluh

darah, limfe, serta saraf. Lapisan serosa usus besar berbentuk

jaringan ikat yg ditutupi oleh peritoneum visceral. Lapisan serosa

mempunyai rongga-rongga kecil yg mengeluarkan cairan serosa

yg berfungsi menjadi pelumas gerakan otot.

2) Lapisan otot

Lapisan otot pada usus besar merupakan lapisan otot polos yang

bekerja tanpa kita sadari. Terdapat 2 jenis serabut otot, yaitu


20

serabut otot longitudinal (memanjang) dan serabut otot sirkuler

(melingkar). Kombinasi dari kontraksi kedua jenis otot ini akan

menghasilkan gerakan peristaltik usus yang berfungsi untuk

memecah makanan serta membawanya ke organ pencernaan

selanjutnya.

3) Lapisan submukosa

Berupa lapisan jaringan ikat longgar yang berisi pembuluh darah,

limfe, saraf dan kelenjar lendir. Pembuluh darah di lapisan

submukosa usus besar memegang peranan penting dalam

mengedarkan makanan yang diserap.

4) Lapisan mukosa

Lapisan mukosa disusun oleh sel epitel sederhana dan jaringan

ikat tipis. Lapisan mukosa memiliki sel goblet yang dapat

menghasilkan lendir. Lendir ini merupakan sekresi dari seluruh

kelenjar yang terdapat di usus besar. Lapisan yang produksinya

dipengaruhi oleh hormon sekretin dan enterokirin ini sering juga

disebut intestinal juice.

b. Bagian-bagian Kolon

Kolon terdapat beberapa bagian, yaitu:

1) Sekum (Caecum)

Sekum atau Caecum merupakan bagian pertama dari usus besar

yang berbentuk seperti kantong. Bisa dikatakan bahwa Sekum

adalah gabungan dari bagian terakhir usus halus (ileum) dengan

bagian pertama usus besar. Sekum memiliki panjang sekitar 7 cm.


21

Fungsi utama dari kantong ini adalah untuk melakukan

penyerapan nutrisi yang tidak diserap di usus halus.

2) Kolon Asenden

Kolon Asenden merupakan kolon yang berbentuk vertikal dan

memanjang ke atas dimulai dari dasar perut (kanan) sampai ke

hati. Kolon asenden merupakan bagian awal dari usus besar.

Fungsi utama dari kolon asenden adalah untuk menyerap

makanan yang belum terserap di usus halus.

3) Kolon Tranversum

Kolon tranversum merupakan lanjutan dari kolon asenden dengan

bentuk horizontal. Kolon tranversum melekat pada perut, jaringan

yang bertugas untuk menopang perlekatan ini disebut jaringan

omentum. Fungsi utama dari kolon tranversum adalah untuk

menyempurnakan penyerapan nutrisi dari makanan dan

membantu memadatkan feses.

4) Kolon Desenden

Kolon Desenden merupakan lanjutan dari kolon tranversum yang

bergerak memanjang ke bawah dan berakhir di kolon sigmoid.

Kolon desenden berfungsi sebagai tempat penampungan feses

sementara dan membantu menyesuaikan kepadatan feses.

5) Kolon Sigmoid

Kolon Sigmoid adalah lanjutaan dari kolon desenden, berukuran

pendek dan berbentuk seperti huruf S. Kolon sigmoid terletak di

sisi kiri bawah perut. Kolon sigmoid memiliki jaringan otot kuat
22

sehingga dapat menjalankan fungsinya yaitu untuk menekan feses

agar menuju ke rektum.

6) Rektum

Rektum merupakan bagian terakhir dari usus halus dengan

struktur lapisan mukosa yang tebal dan kaya akan pembuluh

darah. Fungsi utama dari rektum adalah tempat penyimpanan

sementara feses yang kemudian akan disekresikan keluar melalui

anus. Penumpukan feses akan merangsang saraf yang terdapat

pada rektum untuk melakukan defekasi (BAB).

7) Anus

Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana

bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari

permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus.

Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses

dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar) yang

merupakan fungsi utama anus.

3. Etiologi

Menurut SDKI, PPNI (2017), etiologi Konstipasi adalah fisiologis

yang terdiri dari penurunan motilitas gastrointestinal, ketidakadekuatan

pertumbuhan, ketidakcukupan diet, ketidakcukupan asupan serat,

ketidakcukupan asupan cairan, hingga terjadinya pengeluaran feses sulit

hingga mengakibatkan konstipasi. Dan dari psikologis yaitu konfusi atau

sering disebut menganggu orientasi disertai oleh gangguan kesadaran

sampai depresi yang ditandai dengan gangguan emosional hingga


23

mempengaruhi perubahan kebiasaan makanan tidak baik dan tidak teratur,

ketidakadekuatan toileting, aktifitas fisik menurun, penyalahgunaan

laksatif berefek dalam farmakologis, ketidakteraturan defekasi dalam

menahan dorongan defekasi dan juga dalam perubahan lingkungan seperti

cemas, khawatir, takut, atau stress dapat mempengaruhi pergerakan usus

jadi lebih lambat, akibatnya, tektur feses jadi lebih padat dan kering

sehingga sulit dikeluarkan hingga menimbulkan masalah konstipasi.

Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah menahan buang air

besar akibat pengalaman nyeri pada saat buang air besar sebelumnya,

biasanya disertai dengan fisura ani (robekan atau belahnya lapisan anus).

Kebiasaan menahan tinja (retensi tinja) yang berulang akan meregangkan

rektum dan kemudian kolon sigmoid yang akan menampung bolus tinja

berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami reabsorbsi

air dan elektrolit dan membentuk skibala (pengerasan tinja). Seluruh

proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja yang keras dan besar

menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus, dan akan menimbulkan

rasa sakit pada saat buang air besar (Juffrie, 2009). Selain karena menahan

pada saat buang air besar, penyebab lain anak mengalami konstipasi yaitu,

karena kurang mengonsumsi makanan yang banyak mengandung serat,

kurang cairan, kurang gerak, dan bisa karena penyakit yang lain seperti,

kanker rectum dan penyumbatan pada usus (Madanijah, 2014).

Konstipasi bisa ditimbulkan oleh sejumlah komponen, khususnya

variabel mekanik, unsur fisiologis, unsur mental dan unsur farmakologis

(Nanda, 2015). Variabel mekanis diidentifikasi dengan masalah


24

neurologis. Awal, pengurangan kerja mesin yang menyebabkan

imobilisasi. Fleksibilitas dan kerentanan yang terhambat (dekondisi) ialah

problem yang amat dikenal luas dirasakan oleh pasien stroke (Ginting et

al., 2015).

Penyebab konstipasi pada lansia bukan hanya dari penurunan fungsi

organ tubuh seperti sistem gastrointestinal tetapi dapat disebabkan oleh

beberapa faktor antara lain diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan

buang air besar yang tidak teratur, kurang olahraga, dan penggunaan obat-

obatan. Selain itu konstipasi juga dapat disebabkan oleh asupan serat,

asupan cairan, aktivitas fisik, stres, konsumsi kopi, konsumsi minuman

probiotik, dan posisi saat buang air besar (Pradani dkk, 2015).

Pada pasien stroke konstipasi terjadi karena gangguan neurologis yang

mana saraf otonom mengalami gangguan fungsi. Saraf gastrointestinal

dipersarafi oleh saraf simpatis maupun parasimpatis dari sistem saraf

otonom, kecuali sfingter ani eksterna yang berada dalam dalam

pengendalian volunter, yang mana kolon berfungsi dalam proses absorbsi

cairan. Jika terjadi gangguan fungsi kolon maka akan terjadi gangguan

dari defekasi. Pasien stroke pasca rawatan mengalami immobilisasi yang

akan berpengaruh terhadap konstipasi. selain itu konstipasi pada pasien

stroke juga diakibatkan oleh gangguan pada saraf otonom (S.C. Smeltzer

& B.G. Bare, 2008 dalam Sibarani dkk, 2019).


25

4. Patofisiologi

Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis

yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan

sentral dan perifer, koordinasi dari system refleks, kesadaran yang baik

dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesulitan diagnosis

dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang

terlibat pada proses buang air besar (BAB) normal. Dorongan untuk

defekasi secara nomal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap

kerja, antara lain rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot

sfingter internal, relaksasi otot sfingter eksternal dan otot dalam region

pelvik serta peningkatan tekanan intra-abdomen. Gangguan dari salah satu

mekanisme ini dapat berakibat konstipasi (Mardalena, 2017).

Refleks buang air besar diilhami oleh refleks wajib yang diperantarai

oleh sistem sensorik usus. Kerusakan mesin yang paling banyak dikenal

pada pasien stroke ialah hemiparesis, yakni kekurangan pada bagian badan

dan hemiplegia atau hilangnya gerak pada bagian dari (Muttaqin, 2008).

Pasien Imobilitation atau tirah baring akan mengurangi peristaltik dan

dapat membuat feses mundur cukup lama ke rektum dan reabsorpsi cairan

limbah sehingga feses menjadi padat. Karena kekurangan embel-embel,

pasien stroke tidak dapat bergerak secara mandiri dan kehilangan gerakan,

dari tirah baring yang tertunda yang menyebabkan kerangka terkait perut,

suara isi perut akan berkurang dan akan terjadi penyumbatan (Ginting,

2015).
26

Pembuangan kotoran adalah akhir dari siklus terkait perut. Bagian sisa

makanan yang tidak dapat diproses lagi oleh sistem pencernaan, akan

masuk ke organ pencernaan (kolon) sebagai massa yang tidak dapat

dimampatkan dan basah. 25 Di sini, air yang melimpah di bagian sisa

makanan dikonsumsi oleh tubuh. Kemudian, pada saat itu massa bergerak

ke (rektum) yang dalam kondisi biasa mendukung perkembangan

peristaltik organ dalam. Buang air besar secara teratur terjadi pada lebih

dari satu kesempatan seperti jarum jam (Akmal et al., 2010)

5. Tanda dan Gejala

Menurut PPNI (2016) tanda dan gejala konstipasi disajikan dalam tabel :

Tabel 2.1 : Gejala dan Tanda Mayor Konstipasi

Subjektif Objektif
Defekasi kurang dari 2 kali seminggu Feses keras
Pengeluaran feses lama dan sulit Peristaltic usus menurun
Sumber : PPNI, Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (2016)

Tabel 2.2 : Gejala dan Tanda Minor Konstipasi

Subjektif Objektif
Mengejan saat defekasi Distensi abdomen
Kelemahan umum
Teraba massa pada rectal
Sumber : Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (2016)

(Akmal et al., 2010) memaparkan sejumlah manifestasi dan tanda yang

lazim konstipasi , meliputi:

a. Merasakan kebegahan perut sehingga terasa kaku dan penuh;

b. Daya tahan tubuh menurun, lemas, mudah capek yang akhirnya

enggan melakukan perihal dan juga kerap merasakan kantuk;

c. Kotoran lebih panas, hitam, padat dan tergolong tidak banyak

dibanding sebelumny;
27

d. Susah mengeluarkan kotoran saat BAB, ketika berbarengan keringat

dingin keluar dari tubuh dan kadangkala merasakan kejan maupun

perut serasa tertusuk sebelum kotoran keluar;

e. Kepenuhan yang dirasakan pada anus, berat, dan seperti terhambat

sesuatu yang diiringi rasa sakit sebab bertabrakan dengan kotoran

kering dan padat atau sebab ambeyen yang akhirnya ketika duduk

merasakan ketidaknyamanan;

f. Kerap kentut dengan bau yang tidak sedap dari biasanya;

g. Terjadi penurunan frekuensi BAB.

6. Komplikasi Konstipasi

Menurut Loka et al., (2014) konstipasi kronis dapat menyebabkan

beberapa komplikasi yaitu, hemorrhoid (wasir) yang disebabkan karena

pemaksaan untuk buang air besar, atau robeknya kulit di sekitar anus, ini

terjadi ketika feses yang keras dapat melonggarkan otot sphincter. Dampak

yang lain yaitu, divertikulosis atau penyakit yang ditandai dengan

terbentuknya divertikula (kantong) pada usus besar dan biasanya juga

disebabkan karena peningkatan tekanan intrakolon.

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Juffrie (2009) pada anak yang mengalami konstipasi bisa

diperiksa dengan pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber

kolon dan massa tinja dalam kolon. Pemeriksaan ini dilakukan bila

pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan atau bila pada pemeriksaan

colok dubur tidak teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja. Selain

itu bisa dilakukan pemeriksaan fisik abdomen untuk mengetahui keadaan


28

yang ada didalam perut, salah satunya untuk mengetahui peristaltik usus,

apakah normal atau abnormal.

8. Pencegahan Konstipasi

Beberapa pencegahan untuk mengatasi konstipasi menurut Claudina,

Rahayuning, & Kartini (2018), sebagai berikut:

a. Diet makan banyak serat dan konsumsi air

Serat akan memperlunak dan memperbesar masa feses. Serat

banyak terkandung dalam sayuran, buah-buahan dan gandum. Batasi

makanan yang tinggi lemak, makanan yang banyak mengandung gula

dan makanan yang hanya mengandung sedikit serat seperti, es krim,

keju, daging, dan makanan instan.

Cairan membuat feses menjadi lunak dan mudah untuk

dikeluarkan. Hindari cairan yang mengandung kafein, minuman

tersebut dapat membuat saluran pencernaan menjadi kekurangan

cairan. Jus yang mengandung sorbitol seperti, jus apel dan pear dapat

mengurangi terjadinya konstipasi pada bayi dan usia lebih dari 6

bulan. Tetapi mengonsumsi jus buah dalam jumlah berlebih dapat

menyebabkan masalah pada sistem gastrointestinal. Oleh karena itu,

pastikan bahwa pemberiannya dalam jumlah yang sesuai dengan yang

dibutuhkan.

b. Olahraga

Olahraga yang teratur dapat menjaga sistem pencernaan tetap sehat

dan aktif. Dukung anak untuk berolahraga setiap hari.


29

c. Berikan Penjelasan pada anak untuk tidak menahan pergi ke toilet

Menunggu dan menunda hanya akan memperparah terjadinya

konstipasi. Maka jadilah orang tua yang sering membiasakan anak

bangun pagi segingga anak memiliki waktu yang cukup untuk pergi ke

toilet sebelum kegiatan.

b. Konsep Massage Abdomen

1. Definisi

Pijat merupakan suatu gerakan manipulasi jaringan lunak di area

seluruh tubuh untuk memberikan kenyamanan kesehatan, seperti relaksasi,

mencegah timbulnya gangguan pencernaan, dan dapat memperlancar

buang air besar (Suarsyaf, 2015). Massage abdomen merupakan suatu

tindakan mengelus, menggosok, dan menekan pada bagian tubuh tertentu

untuk memberikan rasa nyaman dan mengurangi rasa sakit dan dapat

menurunkan konstipasi melalui beberapa mekanisme yang berbedabeda

antara lain dengan menstimulasi sistem persyarafan simpatis sehingga

dapat menurunkan tegangan pada otot abdomen serta memberikan efek

pada relaksasi sfringter (Nirva & Agusrianto 2019).

Terapi pijat abdomen ini efektif untuk menstimulasi gerakan

peristaltik, menurunkan transit kolon, meningkatkan frekuensi buang air

besar, dan menurunkan perasaan tidak nyaman pada saat buang air besar

(Lamas et al., 2011). Selain untuk menstimulasi gerakan peristaltik, pijat

perut dapat meningkatkan nafsu makan pada anak, karena pijat dapat

menstimulasi metabolisme seluler dan meningkatkan distribusi nutrisi ke


30

sel dan jaringan, sehingga nutrisi yang telah digunakan dapat memicu

meningkatnya nafsu makan (Braun, 2010).

Petugas medis mengambil bagian penting dalam penghindaran dan

pelaksana penghentian. Penghentian para pelaksana dalam asuhan

keperawatan dapat menyebabkan masalah karena fluktuasi kecenderungan

orang dalam (Turan & Asti, 2016). Standar yang digunakan untuk

mengobati penghentian adalah penyesuaian diet, cairan dan kerja nyata,

obat-obatan sebagai pencahar, pembersihan manual buang air besar dan

douche (McClurg et al., 2017).

Salah satu mediasi keperawatan yang dapat digunakan untuk

mengatasi obstruksi adalah gosok perut (masase abdomen yang

memperkuat peristaltik gastrointestinal melalui pijatan dengan lembut ke

bagian tengah dengan cara searah jarum jam (Turan & Asti, 2016).

Masase ini lebih mengembangkan kapasitas dengan baik, berbeda

dengan penggunaan obat-obatan usus yang disertai dengan efek samping

yang buruk. Hal ini mengurangi manifestasi gastrointestinal

(penyumbatan, nyeri perut, pelepasan padat). Pemberian gosok perut ini

dapat meningkatkan kerja parasimpatis untuk meningkatkan motilitas otot

perut, meningkatkan emisi dan mengendurkan sfingter saluran pencernaan.

Tujuan pemberian pasien dengan obstruksi tidak Cuma untuk

menguranginya namun pula untuk memudahkan pasien dengan mencegah

pengulangan penghentian. Jadi, tindakan ini ialah aspek esensial dari

perawatan (Baran & Ates, 2019).


31

Metode ini langsung diterapkan pada dinding lambung yang

diselesaikan dengan cara beraturan dan selanjutnya dicampur dengan saat

pelepasan yang nantinya dapat dengan cepat meningkatkan refleks

gastrokolic dan menambah penarikan organ pencernaan dan rectum

(Pailungan dkk, 2017)

2. Tujuan

Tujuan masase abdomen menurut Nirva & Agusrianto (2019) yaitu:

a. Menurunkan tegangan pada otot abdomen.

b. Meningkatkan motilitas pada sistem pencernaan.

c. Meningkatkan sekresi pada sistem intestinal.

d. Memberikan efek pada pada relaksasi sfingter.

3. Indikasi dan Kontraindikasi Masase Abdomen

Menurut Sinclair (2011), terdapat beberapa kontraindikasi

dilakukannya masase abdomen pada pasien stroke, diantaranya adanya

penyakit radang usus besar, penyakit crohn atau kolitis ulserativa, adanya

cedera tulang belakang yang tidak stabil, operasi perut, adanya tumor pada

area abdominal, obstruksi illeus, adanya perdarahan pada intestinal, pasien

yang mendapatkan terapi radiasi pada area abdomen serta pada pasien

yang mengalami tindakan pembedahan pada area abdomen. Sedangkan

indikasi dilakukannya masase abdomen yaitu frekuensi gerakan usus

rendah dan Konstipasi kronis.


32

4. Manfaat massage abdomen

Masase Perut yakni prosedur pelepasan yang dapat memperkuat

peristaltik gastrointestinal sehingga dapat mempercepat reabsorpsi di usus

besar dan dapat membangun kekambuhan pelepasan padat. Manfaat

masase abdomen adalah untuk memperkuat kekuatan otot dan dapat

memperluas kompresi ke dalam dan dubur sehingga dapat bekerja dengan

kerangka terkait perut (Johnson J. Y, 2010).

Suarsyaf et al. (2015), masase abdomen dapat menstimulasi

peristaltik, menurunkan waktu transit kolon, meningkatkan frekuensi

buang air besar pada pasien yang mengalami konstipasi dan mengurangi

rasa tertekan saat buang air besar. Oleh karena itu, menggosok punggung

perut bisa menjadi pengobatan elektif untuk penghentian. Sementara itu,

seperti yang ditunjukkan oleh (Liu et al., 2005), menggosok punggung

perut dapat meningkatkan tekanan intra-lambung. Dalam kasus neurologis,

menggosok punggung perut dapat memberikan perbaikan rektal refleks

somato-otonom dan sensasi untuk buang tinja. Perjalanan kotoran

dipercepat oleh perluasan ketegangan intra-perut dan penyempitan abs.

Jalannya buang air besar dapat dikendalikan dengan sengaja

menyempitkan otot sfingter luar dan otot levator ani sehingga sedikit demi

sedikit dinding rektum akan mengendur dan ingin melepas lelah (Johnson

J. Y, 2010).

Sejalan dengan (Liu et al., 2005), menunjukkan bahwa masase

abdomen efektif untuk menyusutkan konstipasi dengan cara sejumlah

langkah yang tidak sama yakni dengan melakukan gerakan stimulasi pada
33

sistem persarafan yang 29 akhirnya bisa mengurangi tekanan pada

kekuatan otot, meningkatkan motilitas pada sistem terkait perut,

meningkatkan pelepasan pada sistem pencernaan dan mempengaruhi

pelepasan sfingter. Masase abdomen merupakan terapi yang aman untuk

mengatasi konstipasi pada pasien stroke nonhemoragik, karena tidak

melibatkan teknik intensif yaitu hanya memberikan penekanan relaksasi

pada dinding abdomen. Selain itu masase abdomen mudah dipelajari,

biaya murah dan efektif untuk mengatasi konstipasi (McClurg et al., 2017)

5. Mekanisme Abdominal Massage

Masase perut dilaksanakan dengan cara regangan langsung pada

lambung dengan cara beraturan dan selanjutnya disebar dengan durasi

pelemas yang nantinya bisa mempercepat menambah gastrocolic reflex

dan menambah penarikan organ pencernaan dan rektum. Refleks omong

kosong itu sendiri terinspirasi oleh refleks khas yang diperantarai oleh

sistem sensorik usus di dekatnya. Pada saat kotoran masuk ke dalam

rektum, pemanjangan dinding rektum menciptakan sinyal aferen yang

berproliferasi melalui pleksus mienterikus untuk menghasilkan gelombang

peristaltik di kolon, sigmoid dan rectum dan mendorong kotoran ke arah

pantat. Saat gelombang peristaltik bergerak ke arah belakang, sfingter butt-

centric bagian dalam longgar oleh tanda-tanda penghambatan dari pleksus

mienterikus, jika sphincter butt-centric bagian luar diketahui, sengaja

terlepas dan jika itu terjadi secara bersamaan akan terjadi. Perjalanan

kotoran dipercepat oleh perluasan ketegangan intra-perut dan penarikan

abs (Kyle, 2014; Lamas, 2011; Sinclair, 2011). Masase perut menyokong
34

menyegarkan peristaltik saluran cerna dan memperkuat kekuatan otot serta

membantu rangka terkait lambung sehingga dapat berjalan sesuai harapan.

Dalam kasus neurologis, gosok punggung perut dapat memberikan

peningkatan refleks somato-otonomik dan sensasi untuk buang air besar

(Ginting dkk, 2015).

Selain itu, setiap teknik gerakan yang digunakan dalam massage

abdomen memberi efek positif yang berbeda terhadap sistem pencernaan

Fungsi tersebut meliputi:

a. Pengusapan pada area saraf vagus merangsang persarafan sistem

pencernaan sehingga merangsang gerakan peristaltic.

b. Pengusapan pada kolon menuju rektum merangsang pergerakan feses

ke dalam rektum;

c. Pemerasan pada kolon memecahkan feses terutama pada feses yang

menumpuk di rektum sehingga feses lebih mudah dikeluarkan;

d. Pengusapan kolon mendorong feses bergerak ke rektum kembali; serta

e. Vibrasi pada dinding abdomen membantu pengeluaran gas (NHS,

2014)

6. Prosedur Massage Abdomen

Gosok perut yang dilakukan pada pasien dengan masalah

penyumbatan adalah menggunakan prosedur gosok punggung Swedia,

yakni menggosok punggung dengan penekanan halus pada jaringan yang

dapat lebih meningkatkan aliran darah, bekerja pada sistem terkait perut

dan memberikan keamanan. Penekanan yang dilakukan terdiri

daristroking, effleurage, kneeding dan vibrating (Sinclair, 2011).


35

Sejumlah riset terkait masase abdomen memakai sejumlah cara

yang tidak sama yakni sama halnya dengan (Lämås et al., 2009), memakai

cara efflurage dengan waktu 7 menit, semetara (Emly, 2007), memakai

moderate pressure yakni efflurage, kneading dan vibrasi dengan waktu 10

hingga 20 menit.

Pijat perut telah terbukti andal menjadi pengobatan korelatif untuk

mengobati obstruksi, walaupun terdapat sejumlah langkah yang bisa

dipakai. Berikut teknik terapi massage abdomen dilakukan dengan gerakan

memutar serah jarum jam meliputi:

a. Pengusapan pada area saraf vagus merangsang persarafan sistem

pencernaan sehingga merangsang gerakan peristaltic.

b. Pengusapan pada kolon menuju rektum merangsang pergerakan feses

ke dalam rektum;

c. Pemerasan pada kolon memecahkan feses terutama pada feses yang

menumpuk di rektum sehingga feses lebih mudah dikeluarkan;

d. Pengusapan kolon mendorong feses bergerak ke rektum kembali; serta

e. Vibrasi pada dinding abdomen membantu pengeluaran gas (NHS,

2014) selama 15 menit di pagi hari.

D. Konsep Asuhan Keperawatan Gerontik

  1. Pengkajiana.

a. Biodata pasien .

b. Keluhan Utama

c. Riwayat Kesehatan.

d. Riwayat kesehatan

Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang awitan dan


36

durasi konstipasi, pola emliminasi saatini dan masa lalu, serta harapan

pasien tentang eliminasi defekasi. Informasi gaya hidup harus dikaji,

termasuk latihan dan tingkat aktifitas, pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan,

serta stress. Riwayat medis dan bedah masa lalu,terapi obat - obatan saat ini,

dan penggunaan laksatif serta enema adalah penting. pasien harus ditanya

tentang adanya tekanan rektal atau rasa penuh, nyeri abdomen, mengejan

berlebihan saat defekasi, flatulens, atau diare encer.

e. Riwayat / Keadaan /pisikososial.

f. pemeriksaan fisik.

g. pola Kebiasaan sehari-hari.

h. Analisa Data

pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna, bau,

konsistensi, ukuran, bentuk, dan komponen. Abdomen diauskultasi

terhadap adanya bising usus dan karakternya. Distensi abdomen diperhatikan.

Area peritoneal diinspeksi terhadap adanya hemoroid, fisura, dan iritasi kulit.

2. Diagnosa.

a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu

makan.

c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.

d. Intervensi.

e. Implementasi.

f. Evaluasi

Anda mungkin juga menyukai