Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

“ELIMINASI”
(MATA KULIAH BERPIKIR KRITIS)

DOSEN PEMBIMBING:
Ns. FEBRIANTI ASTUTI, M.Kep

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 3

1. TINA MUSTIKA, A. Md.Kep

2. MUHAMAD RIPAI, A. Md.Kep

3. JOHARIAH, A.Md.kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM

PROGRAM S1 KEPERAWATAN ALIH JENJANG KLU-2


2022

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Makalah Eliminasi.
Makalah ini disusun guna melengkapi tugas Kelompok Kami.

Makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, saya
ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Ns. Febrtianti Astuti, M.Kep, selaku dosen Mata Kuliah Kebutuhan Dasar
manusia (KDM)

2. Semua Teman yang telah membantu mengerjakan Makalah ini

Saya menyadari bahwa Makalah ini mungkin terdapat kesalahan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca dan mudah-mudahan Makalah ini dapat mencapai sasaran
yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Lombok Utara, 21 November 2022

Penyusun
Kelompok 3 Progsus S1 Keperawatan KLU
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................. 2
DAFTAR ISI................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 4
1.1  Latar Belakang......................................................................................... 4
1.2  Rumusan Masalah.................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 6
2.1.1 Definisi ............................................................................................... 6
2.1.2 Anatomi Fisiologi Eliminasi Urin......................................................... 6
2.1.3 Anatomi Fisiologi Eliminasi fekal........................................................ 12
2.1.4 Etiologi.................................................................................................. 19
2.1.5 Faktor Predisposisi/Faktor Pencetus..................................................... 22
2.1.6 Klasifikasi............................................................................................. 23
2.1.7 Patofisiologi.......................................................................................... 24
2.1.8 Manifestasi Klinis/Tanda dan Gejala................................................... 27
2.1.9 komplikasi............................................................................................ 28
2.1.10 Pemeriksaan Penunjang...................................................................... 29
2.1.11 penatalaksanaan.................................................................................. 30

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ELIMINASI................................................ 33


BAB IV PENUTUP.................................................................................................... 43
4.1 Kesimpulan.............................................................................................. 43
4.2 Saran........................................................................................................ 43
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 44
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolism tubuh baik


berupa urin atau bowel (feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung
kemih bila kandung kemih sudah terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam
terjadinya proses eliminasi urin adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra.
(Hidayat, 2017).
Eliminasi merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
oleh setiap manusia. Kebutuhan dasar manusia terbagi menjadi 14 kebutuhan
dasar, menyatakan bahwa kebutuhan eliminasi terdapat pada urutan ketiga.
Apabila sistem perkemihan tidak dapat berfungsi dengan baik, sebenarnya
semua organ akhirnya akan berpengaruh. Secara umum,gangguan pada ginjal
mempengaruhi eliminasi. Sehingga mengakibatkan masalah kebutuhan eliminasi
urin, antara lain: retensi urin, inkontinensia urin, enuresis dan ureterotomi.
Masalah kebutuhan eliminasi urin sering terjadi pada pasien-pasien rumah sakit
yang terpasang kateter tetap. (Hidayat, 2017).
Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi
tubuh yang normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah
pada gastrointestinal dan bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus tergantung
pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan masing-
masing orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari perawat untuk
memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit dapat menghindari
mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka menjadi tidak mempunyai
kemampuan fisik untuk menggunakan fasilitas toilet yang normal; lingkungan
rumah bisa menghadirkan hambatan untuk klien dengan perubahan mobilitas,
perubahan kebutuhan peralatan kamar mandi. Untuk menangani masalah
eliminasi klien, perawata harus mengerti proses eliminasi yang normal dan
faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
masalah yaitu: Bagaimana cara pemberian asuhan keperawatan dan
pemenuhan Kebutuhan Dasar Eliminasi.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penulisan ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan
pengalaman langsung tentang bagaimana menerapkan Asuhan
Keperawatan pada pasien dengan kebutuhan dasar Eliminasi

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mahasiswa dapat melengkapi Asuhan Keperawatan pada pasien
dengan kebutuhan dasar manusia tentang kebutuhan eliminasi.
2. Mahasiswa dapat melakukan pengkajian, menganalisa, menentukan
diagnosa keperawatan, membuat intervensi keperawatan, mampu
melakukan perawatan dan mengevaluasi tindakan keperawatan yang
sudah diberikan.
3. Mahasiswa dapat memberikan Tindakan keperawatan yang
diharapkan dapat mengatasi masalah keperawatan pada pasien
dengan kebutuhan dasar manusia tentang kebutuhan eliminasi.
4. Mahasiswa dapat mendokumentasikan hasil dari asuhan
keperawatan yang telah dilaksanakan pada pasien dengan
kebutuhan dasar manusia tentang kebutuhan eliminasi.
5. Mahasiswa dapat mengungkapkan faktor-faktor yang menghambat
dan mendukung serta permasalahan yang muncul dari asuhan
keperawatan yang diberikan.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Kebutuhan Eliminasi


2.1.1 Definisi
Menurut kamus bahasa Indonesia, eliminasi adalah pengeluaran,
penghilangan, penyingkiran, penyisihan.dalam bidang kesehatan,
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa
urin atau bowel (feses). Eliminasi pada manusia digolongkan menjadi 2
macam, yaitu:
1. Defekasi
Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses
makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau
setengah-padat yang berasal dari system pencernaan (Dianawuri,
2018).
2. Miksi
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung
kemih terisi. Miksi ini sering disebut buang air kecil.

2.1.2 Anatomi Fisiologi Eliminasi Urin


Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses
penyaringan darah (sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak
dipergunakan oleh tubuh) dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan
oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air
dan dikeluarkan dari tubuh berupa urin (air kemih). (Syaifuddin, 2019).
Sistem perkemihan memiliki fungsi:
1. Keseimbangan transportasi air dan zat terlarut.
2. Mensekresi hormon yang membantu mengatur tekanan darah,
erithropoietin dan metabolism kalsium.
3. Menyimpan nutrient.
4. Ekskresi zat buangan.
5. Mengatur keseimbangan asam basa.
6. Membentuk urin.
Gambar. 2.1 Sitem Urinaria

Sistem perkemihan disebut juga urinari sistem atau renal sistem. Terdiri
dari:
1. Dua buah ginjal, yang berfungsi membuang zat-zat sisa metabolisme
atau zat yang berlebihan dalam tubuh serta membentuk urin.
2. Dua buah ureter, yang berperan untuk mentransport urin ke kandung
kemih/ bladder.
3. Kandung kemih/ bladder, yang merupakan tempat penampungan
urin.
4. Uretra, yang merupakan saluran yang mengalirkan urin dari bladder/
kandung kemih keluar tubuh.

1. Anatomi Ginjal
Masing-masing ginjal mempunyai panjang kira-kira 12 cm dan lebar
2,5 cm pada bagian paling tebal. Berat satu ginjal pada orang
dewasa kira-kira 150 gram dan kira-kira sebesar kepalan tangan.
Ginjal terletak retroperitoneal dibagian belakang abdomen. Ginjal
kanan terletak lebih rendah dari ginjal kiri karena ada hepar disisi
kanan. Ginjal berbentuk kacang, dan permukaan medialnya yang
cekung disebut hilus renalis, yaitu tempat masuk dan keluarnya
sejumlah saluran, seperti pembuluh darah, pembuluh getah bening,
saraf, dan ureter.
Pembungkus ginjal:
a. Bagian dalam: capsula renalis yang berlanjut dengan lapisan
permukaan ureter.
b. Bagian tengah: capsula adiposa yang merupakan jaringan lemak
untuk melindungi ginjal dari trauma.
c. Bagian luar: Fascia renalis (jaringan ikat) yang membungkus
ginjal dan menghubungkannya dengan dinding abdomen
posterior. Jaringan flexible ini memungkinkan ginjal bergerak
dengan lembut saat diafragma bergerak waktu bernafas.
Mencegah penyebab infeksi dari ginjal ke bagian tubuh lainnya.

Gambar 2.2 Ginjal


2. Anatomi Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke
vesika urinaria. Panjangnya ± 25-30cm, dengan penampang 0,5cm.
Ureter sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi
terletak pada rongga pelvis. Panjang ureter sekitar 25 cm yang
menghantar kemih. Ia turun ke bawah pada dinding posterior
abdomen di belakang peritoneum. Di pelvis menurun ke arah luar
dandalam dan menembus dinding posterior kandung kemih secara
serong (oblik). Cara masuk ke dalam kandung kemih ini penting
karena bila kandung kemih sedang terisi kemih akan menekan dan
menutup ujung distal ureter itu dan mencegah kembalinya kemih ke
dalam ureter.

Gambar 2.3 Ureter


Lapisan dinding ureter terdiri dari:
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos.
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa Lapisan dinding ureter
menimbulkan gerakan gerakan peristaltik yang mendorong urin
masuk ke dalam kandung kemih.
3. Anatomi Kandung kemih
Vesika urinaria atau kandung kemih terletak dibelakang simpisis
pubis, berfungsi menampung urin untuk sementara waktu. Organ ini
berbentuk seperti buah pir (kendi). Letaknya di belakang simfisis
pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat mengembang
dan mengempis seperti balon karet.
Terdapat segitiga bayangan yang terdiri atas 3 lubang yaitu 2 lubang
ureter dan satu lubang uretra pada dasar kandunng kemih yang
disebut dengan trigonum/ trigon. Lapisan dinding kandung kencing
(dari dalam keluar): lapisan mukosa, submukosa, ototpolos dan
lapisan fibrosa. Lapisan otot disebut dengan otot detrusor.
Otot longitudinal pada bagian dalam dan luar dan lapisan sirkular
pada bagian tengah. Ukuran kandung kencing berbeda-beda. Pada
usia dewasa kandung kencing mampu menampung sekitar 300-500
ml urin. Pada keadaan tertentu kandung kencing dapat menampung
dua kali lipat lebih jumlah keadaan normal.
Miksi/ berkemih /buang air kecil merupakan proses pengosongan
kandung kemih bila kandung kemih terisi. Dua langkah utama yaitu:
jika kandung kemih terisi secara progresif sampai tegangan
dindingnya meningkat diatas nilai ambang akan mencetuskan refleks
miksi dan refleks miksi akan berusaha mengosongkan kandung
kemih,menimbulkan kesadaran akan keinginan berkemih. Meskipun
refleks miksi adalah autonom medula spinalis, refleks ini bisa juga
dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang
otak.
Persyarafan utama kandung kemih adalah nervus pelvikus yang
berhubungan dengan medulla spinalis melalui pleksus sakralis
terutama berhubungan dengan medulla spinalis segmen S2 dan S3.
Serat sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung
kemih. Saraf mototrik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah
serat parasimpatis.
Selain nervus pelvikus terdapat dua tipe persyarafan lain yang
penting untuk kandung kemih yaitu serat otot lurik yang berjalan
melalui nervus pudendal menuju sfingter eksternus. Ini adalah serat
saraf somatik yang mempersyarafi dan mengontrol otot lurik pada
sfingter. Kandung kemih juga menerima syaraf simpatis dari
rangkaian simpatis melalui nervus hipogastrikus terutama
berhubungan dengan segmen L2 medulla spinalis. Serat simpatis ini
merangsang pembuluh darah dan sedikit mempengaruhik ontraksi
kandung kemih. Beberapa serat syaraf sensorik juga berjalan melalui
syaraf simpatis dan penting dalam menimbulkan sensasi rasa penuh
dan rasa nyeri.

Gambar 2.4 Kanding Kemih

4. Anatomi Uretra
Uretra merupakan saluran yang mengeluarkan urin keluar tubuh.
Uretra terbentang dari dasar kandung kencing ke orifisium uretra
eksterna. Pada laki-laki panjangnya sekitar 20 cm sedangkan pada
wanita panjangnya sekitar 3-5 cm.
Uretra pria panjang 18-20 cm dan bertindak sebagai saluran untuk
system reproduksi maupun perkemihan. Pada wanita panjang uretra
kira-kira 4 cm dan bertindak hanya sebagai system Perkemihan.
Uretra mulai pada orifisium uretra internal dari kandung kemih dan
berjalan turun dibelakang simpisis pubis melekat ke dinding anterior
vagina. Terdapat sfinter internal dan external pada uretra, sfingter
internal adalah involunter dan external dibawah kontrol volunter
kecuali pada bayi dan pada cedera atau penyakit saraf.
Dinding urethra terdiri dari 3 lapisan:
a. Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari Vesika
b. urinaria. Mengandung jaringan elastis dan otot polos. Sphincter
urethra menjaga agar uretra tetap tertutup.
c. Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung pembuluh
darah dan saraf.
d. Lapisan mukosa.

Gambar 2.5 Uretra

2.1.3 Anatomi Fisiologi Eliminasi Fekal


1. Definisi Eliminasi Fekal
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik
berupa urin atau feses. Eliminasi fekal adalah proses pembuangan
atau pengeluaran sisametabolisme berupa feses yang berasal dari
saluran pencernaan melalui anus. Perawat sering kali menjadi tempat
konsultasi atau terlibat dalam membantu klien yang mengalami
eliminasi.
2. Fisiologi Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum, sedangkan
fisiologi defekasi adalah mekanisme perjalanan makanan hingga
akhirnya keluar menjadi feses melalui anus dalam proses defekasi.
Frekuensi defekasi sangat bersifat individual, yang beragam dari
beberapa kali sehari hingga dua atau tiga kali seminggu.Jumlah yang
dikeluarkan juga bervariasi pada setiap orang. Jika gelombang
peristaltic menggerakkan feses ke kolon sigmoid dan rektum,saraf
sensorik di rektum di stimulasi dan individu menjadi ingin defekasi.
Jika sfingter anal internal relaks, maka feses akan bergerak menuju
anus. Setelah individu di dudukkan pada toilet, sfingter anal eksternal
akan berelaksasi secara volunter. Pengeluaran feses dibantu oleh
kontraksi otot abdomen dan diagfragma, yang meningkatkan tekanan
abdomen dan oleh kontraksi otot dasar panggul, yang memindahkan
feses ke saluran anus.
Berikut ini akan dibahas secara singkat organ-organ yang berperan
dalam sistem pencernaan beserta fungsinya :
a. Mulut
Proses pertama dalam sistem pencernaan berlangsung di mulut.
Makanan akan dipotong, diiris, dan dirobek dengan bantuan gigi.
Makanan yang masuk ke mulut dipotong menjadi bagian yang
lebih kecil agar mudah di telan dan untuk memperluas
permukaan makanan yang akan terkena enzim. Setelah
makanan dipotong menjadi bagian yang lebih kecil, maka
selanjutnya makanan akan diteruskan ke faring dengan bantuan
lidah.
b. Faring
Faring adalah rongga dibelakang tenggorokan yang berfungsi
dalam sistem pencernaan dan pernafasan.Dalam sistem
pencernaan, faring berfungsi sebagai penghubung antara mulut
dan esofagus.
c. Esofagus
Esofagus adalah saluran berotot yang relatif lurus yang
terbentang antara faring dan lambung. Pada saat menelan,
makanan akan dipicu oleh gelombang peristaltik yang akan
mendorong bolus menelusuri esofagus dan masuk ke lambung.
d. Lambung
Lambung adalah organ yang terletak antara esofagus dan usus
halus. Di dalam lambung makanan yang masuk akan disimpan
lalu disalurkan ke usus halus. Sebelum makanan masuk ke usus
halus, makanan terlebih dahulu akan dihaluskan dan
dicampurkan Kembali sehingga menjadi campuran cairan kental
yang biasa disebut dengan kimus. Lambung menyalurkan kimus
ke usus halus sesuai dengan kapasitas usus halus dalam
mencerna dan menyerap makanan dan biasanya satu porsi
makanan menghabiskan waktu dalam hitungan Menit.
e. Usus halus
Usus halus adalah tempat sebagian besar pencernaan dan
penyerapan berlangsung.
f. Usus besar
Usus besar adalah organ pengering dan penyimpan
makanan.Kolon mengekstrasi H2O dan garam dari isi lumennya
untuk membentuk massa padat yang disebut feses.Fungsi utama
usus besar adalah untuk menyimpan feses sebelum
defekasi.Kolon terdiri dari 7 bagian, yaitu sekum, kolon
asendens, kolon transversal, kolon desendens, kolon
sigmoid, rektum dan anus.
Usus besar adalah sebuah saluran otot yang dilapisi oleh
mukosa. Serat otot yang dilapisi oleh membrane mukosa. Serat
otot berbentuk sikular dan longitudinal yang memungkinkan usus
membesar dan berkontraksi melebar dan memanjang. Otot
longitudinal lebih pendek dibandingkan kolon, oleh karena itu
usus besar membentuk kantung atau yang biasa disebut dengan
haustra. Kolon juga memberi fungsi perlindungan karena
mensekresikan lendir. Lendir ini berperan untuk melindungi usus
besar dari trauma akibat pembentukan asam di dalam feses dan
berperan sebagai pengikat yang akan menyatukan materi
fekal. Lendir ini juga akan melindungi usus besar dari aktifitas
bakteri.
Di dalam usus besar terdapat 3 tipe pergerakan yaitu gerakan
haustral churning, peristalsis kolon, peristalsis masa. Gerakan
haustral churning akan menggerakan makanan ke belakang dan
ke depan yang berperan untuk menyatukan materi feses,
membantu penyerapan air dan untuk menggerakan isi usus
kedepan. Gerakan peristalsis kolon adalah gerakan yang
menyerupai gelombang yang akan mendorong isi usus kedepan.
Gerakan ini sangat lambat dan diduga sangat sedikit
menggerakan materi feses tersebut disepanjang usus besar.
Yang ketiga adalah gerakan peristalsis massa. Gerakan ini
melibatkan suatu gerakan kontraksi yang sangat kuat sehingga
menggerakkan sebagian besar kolon.Biasanya gerakan ini terjadi
setelah makan, distimulasi oleh keberadaan makanan di dalam
lambung dan usus halus. Gerakan peristalsis massa hanya
terjadi beberapa kali dalam sehari pada orang dewasa.
Gambar 2.6 Usus Besar dan Bagiannya

g. Rektum dan Anus


Rektum pada orang dewasa biasanya memiliki panjang 10 – 15
cm sedangkan saluran anus memiliki panjang 2,5 – 3 cm. Di
dalam rektum terdapat lipatan-lipatan yang dapat meluas secara
vertical. Setiap lipatan vertikal berisi sebuah vena dan arteri.
Diyakini bahwa lipatan ini membantu menahan feses di dalam
rektum.Jika vena mengalami distensi seperti yang dapat terjadi
jika terdapat tekanan berulang.Saluran anus diikat oleh otot
sfingter internal dan eksternal. Sfingter internal berada dibawah
kontrol involunter dan dipersarafi oleh sistem saraf otonom,
sedangkan sfingter eksternal berada di bawah kontrol volunter
dan dipersarafi oleh sistem saraf somatik.

Gambar 2.7 Anatomi Sistem Pencernaan Manusia

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal


Pada defekasi bertahap dalam kehidupan yang berbeda. Keadaan
diet, asupan dan haluran cairan, aktivitas, faktor psikologis, gaya
hidup, pengobatan dan prosedur medis, serta penyakit juga
mempengaruhi defekasi.
a. Perkembangan
Bayi yang baru lahir, batita, anak – anak,dan lansia adalah
kelompok yang anggotanya memiliki kesamaan dalam pola
eliminasi.
1) Bayi yang baru lahir
Mekonium, adalah materi feses pertama yang dikeluarkan
oleh bayi baru lahir, normalnya terjadi dalam 24 jam pertama
setelah lahir. Bayi sering mengeluarkan feses, sering kali
setiap sesudah makan. Karena usus belum matur, air tidak
diserap dengan baik dan feses menjadi lunak, cair, dan
sering dikeluarkan. Apabila usus telah matur, flora bakteri
meningkat. Setelah makanan padat diperkenalkan, feses
menjadi lebih keras dan frekuensi defekasi berkurang.
2) Batita
Sedikit kontrol defekasi telah mulai dimiliki pada usia 1 ½
sampai 2 tahun. Pada saat ini anak – anak telah belajar
berjalan dan system saraf dan sistem otot telah terbentuk
cukup baik untuk memungkinkan kontrol defekasi. Keinginan
untuk mengontrol defekasi di siang hari dan untuk
menggunakan toilet secara umum dimulai pada saat anak
menyadari ketidaknyamanan yang disebabkan oleh popok
yang kotor dan sensasi yang menunjukkan kebutuhan untuk
defekasi. Kontrol di siang hari umumnya diperoleh pada usia
2 ½ tahun, setelah sebuah proses pelatihan eliminasi.
3) Anak usia sekolah dan remaja
4) Anak usia sekolah dan remaja memiliki kebiasaan defekasi
yang sama dengan kebiasaan mereka saat dewasa. Pola
defekasi beragam dalam hal frekuensi, kuantitas, dan
konsistensi. Beberapa anak usia sekolah dapat menunda
defekasi karena aktivitas seperti bermain.
5) Lansia
6) Konstipasi adalah masalah umumpada populasi lansia. Ini,
sebagian, akibat pengurangan tingkat aktivitas,
ketidakcukupan jumlah asupan cairan dan serat, serta
kelemahan otot. Banyak lansia percaya bahwa “keteraturan”
berarti melakukan defekasi setiap hari. Mereka yang tidak
memenuhi kriteria ini sering kali mencari obat yang dijual
bebas untuk meredakan kondisi yang mereka yakini sebagai
konstipasi. Lansia harus dijelaskan bahwa pola normal
eliminasi fekal sangat beragam.
b. Diet
Bagian massa (selulosa, serat) yang besar di dalam diet
dibutuhkan untuk memberikan volume fekal. Diet lunak dan diet
rendah serat berkurang memiliki massa dan oleh karena itu
kurang menghasilkan sisa dalam produk buangan untuk
menstimulasi refleks defekasi.
Makanan tertentu sulit atau tidak mungkin untuk dicerna oleh
beberapa orang. Ketidakmampuan ini menyebabkan masalah
pencernaan dan dalam beberapa keadaan dapat menghasilkan
feses yang encer.
c. Cairan
Bahkan jika asupan cairan atau haluaran (misalnya urine atau
muntah) cairan berlebihan karena alasan tertentu, tubuh terus
akan menyerap kembali cairan dari kime saat bergerak di
sepanjang kolon. Kime jadi lebih lebih kering dibandingkan
normal, menghasilkan feses yang keras. Selain itu pengurangan
asupan cairan memperlambat perjalanan kime disepanjang usus,
makin meningkatkan penyerapan Kembali cairan dari kime.
d. Aktivitas
Aktivitas menstimulasi peristalsis, sehingga memfasilitasi
pergerakan kime disepanjang kolon. Otot abdomen dan panggul
yang lemah sering kali tidak efektif dalam meningkatkan tekanan
intra abdomen selama defekasi atau dalam mengontrol defekasi.
e. Faktor psikologis
Beberapa orang yang merasa cemas atau marah mengalami
peningkatan aktivitas peristaltik dan selanjutnya mual dan diare.
Sebaliknya, beberapa orang yang mengalami depresi dapat
mengalami perlambatan motilitas usus, yang menyebabkan
konstipasi. Bagaimana seseorang berespons terhadap keadaan
emosional ini adalah hasil dari perbedaaan individu dalam
respons sistem saraf enterik terhadap vagal dari otak.
f. Kebiasaan defekasi
Pelatihan defekasi sejak dini dapat membentuk kebiasaan
defekasi pada waktu yang teratur. Banyak orang yang
melakukan defekasi setelah sarapan, saat refleks gastrokolik
menyebabkan gelombang peristaltic massa di usus besar.
g. Obat-obatan
Beberapa orang memiliki efek samping yang dapat mengganggu
eliminasi normal. Beberapa obat menyebabkan diare: obat lain
seperti obat penenang tertentu dalam dosis besar dan pemberian
morfin dan kodein secara berulang, menyebabkan konstipasi
karena obat tersebut menurunkan aktivitas gastrointestinal
melalui kerjanya pada sistem saraf pusat.
h. Proses diagnostic
Sebelum prosedur diagnostik tertentu seperti visualisasi kolon,
klien dilarang mengomsumsi makanan atau minuman. Bilas
enema dapat dilakukan pada klien sebelum pemeriksaan. Dalam
kondisi ini, defekasi normal biasanya tidak akan terjadi sampai
klien mengomsumsi makanan kembali.
i. Anastesia dan pembedahan
Anestesi umum menyebabkan pergerakan kolon normal berhenti
atau melambat dengan menghambat stimulasi saraf parasimpatis
ke otot kolon. Klien yang mendapatkan anastesia regional atau
spinal kemungkinan lebih jarang mengalami masalah ini.
Pembedahan yang melibatkan penanganan usus secara
langsung dapat menyebabkan penghentian pergerakan usus
secara sementara. Kondisi ini disebut ileus.
j. Kondisi patologis
Cedera medula spinalis dan cedera kepala dapat menurunkan
stimulasi sensorik untuk defekasi. Hambatan mobilitas dapat
membatasi kemampuan klien untuk merespons terhadap
desakan defekasi dan klien dapat mengalami konstipasi, atau
seorang klien dapat mengalami inkontinensia fekal karena
buruknya fungsi sfingter anal.
k. Nyeri
Klien yang tidak mengalami ketidaknyamanan saat defekasi
sering menekan keinginan akibat defekasinya untuk menghindari
nyeri. Akibatnya klien tersebut dapat mengalami konstipasi. Klien
yang meminum analgesik narkotik untuk mengatasi nyeri dapat
juga mengalami konstipasi sebagai efek samping obat tersebut.

2.1.4 Etiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
a. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan
sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi
meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan,
akibatnya output urine lebih banyak.

b. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot.
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang
baik untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus
otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan
kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara
terus menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak
pernah merenggang dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas
yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah urine yang
diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolisme
tubuh.
1) Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal,
striktur urethra
2) Infeksi
3) Kehamilan
4) Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
5) Trauma sumsum tulang belakang
6) Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung
kemih, urethra.
7) Umur
8) Penggunaan obat-obatan

2. Gangguan Eliminasi Fekal


a. Pola diet tidak adekuat/ tidak sempurna:
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi
feses. Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk
memperbesar volume feses. Makanan tertentu pada beberapa
orang sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini
berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian
jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi
defekasi. Makan yang tidak teratur dapat mengganggu
keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang
sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon
fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola
aktivitas peristaltik di colon.
b. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika
pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth:
urine, muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh
melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di
sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari
normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi
berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan
chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan
reabsorbsi cairan dari chime.

c. Meningkatnya stress psikologi


Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi.
Penyakit-penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus
pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui
juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat
meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah
lagi orang yang depresi bisa memperlambat motilitas intestinal,
yang berdampak pada konstipasi.
d. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan
gerak peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses
menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan
feses sehingga feses mengeras.
e. Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh
terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare;
yang lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan
diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein,
menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung
mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat yang merangsang
aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini
melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat-obatan
tertentu seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan
aktivitas peristaltik dan kadang-kadang digunakan untuk
mengobati diare.
f. Usia; Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi
juga pengontrolannya.
Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem
neuromuscular berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun.
Orang dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang
dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di
antaranya adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal)
dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada
melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses,
dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yang juga
menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung.
Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan control
terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada
proses defekasi.
g. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus,
kecelakaan pada spinal cord dan tumor. Cedera pada sumsum
tulang belakan dan kepala dapat menurunkan stimulus sensori
untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan
klien untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketika dia
tidak dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan.
Akibatnya, klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien
bisa mengalami fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya
fungsi dari spinkter ani.

2.1.5 Faktor Predisposisi/ Faktor Pencetus


1. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi.
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon
awal untuk berkemih atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan
di kandung kemih. Begitu pula dengan feses menjadi mengeras
karena terlalu lama di rectum dan terjadi reabsorbsi cairan.
2. Gaya hidup.
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal
eliminasi urine dan defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar
mandi dapat mempengaruhi frekuensi eliminasi dan defekasi. Praktek
eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
3. Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya
frekuensi keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif
untuk keinginan berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang
diproduksi.
4. Tingkat perkembangan.
Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih.
Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena
adanya tekanan dari fetus atau adanya lebih sering berkemih. Pada
usia tua terjadi penurunan tonus otot kandung kemih dan penurunan
gerakan peristaltik intestinal.
5. Kondisi Patologis.
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter).
6. Obat-obatan, diuretiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik
dapat terjadi retensi urine.

2.1.6 Klasifikasi
1. Eliminasi Urin
a. Retensi urine
Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata didalam
kandung kemih akibat ketidakmampuan mengosongkan kandung
kemih.
b. Dysuria
Adanya rasa nyeri, sakit atau kesulitan dalam berkemih.
c. Polyuria
Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti
2500 ml/ hari, tanpa adanya intake cairan.
d. Inkontinensi Urin Ketidaksanggupan sementara atau permanen
otot spingter eksternal untuk mengontrol keluarnya urin dari
kantong kemih.
e. Urinari suppresi Adalah berhenti mendadak produksi urin

2. Eliminasi Fekal
a. Konstipasi
Konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi , yang diikuti
oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering.
b. Impaksi
Impaksi feses merupakan akibat dari konstipasi yang tidak
diatasi. Impaksi adalah kumpulan feses yang mengeras,
mengendap di dalam rektum, yang tidak dapat dikeluarkan.
c. Diare
d. Diare adalah peningkatan jumlah feses dan peningkatan
pengeluaran feses yang cair dan tidak berbentuk. Diare adalah
gejala gangguan yang mempengaruhi proses pencernaan,
absorpsi, dan sekresi di dalam saluran GI.
e. Inkontinensia
Inkontinensia feses adalah ketidakmampuan mengontrol
keluarnya feses dan gas dari anus.
f. Flatulen
Flatulen adalah penyebab umum abdomen menjadi penuh,
terasa nyeri, dan kram.
g. Hemoroid
Adalah vena-vena yang berdilatasi, membengkak dilapisan
rectum.

2.1.7 Patofisiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah
dijelaskan di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan
oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma
yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan
gangguan dalam mengkontrol urin atau inkontinensia urin. Gangguan
traumatik pada tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada
medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu
terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa
kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa
mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera medulla
spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi
saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik
dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan
sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba
aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat
cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian
segmen medulla yang ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis
komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini
mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan
defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi
refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi usus (Brunner &
Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004),
pada komplikasi syok spinal terdapat tanda gangguan fungsi
autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi
ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian
dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini
saling berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot
kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin
dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase
pengisian, pengaruh system saraf simpatis terhadap kandung kemih
menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran
kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem
simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan
peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal
uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang
simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini
dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai
neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik.
Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf
sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan
informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal.
Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan
relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan
sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan
skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan
resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum
merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut.
Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema
sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural
anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik,
hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomy atau abdominal, khususnya
pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan
manuver Valsalva. Retensi urine post operasi biasanya membaik
sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.

2. Gangguan Eliminasi Fekal


Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang
sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali
perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan
rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks
defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum,
pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar
melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik
pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.
Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang
peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan
bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam
rectum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan
kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum.
Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik,
melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks
defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau bedpan,
spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan
diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh
kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang
menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal
dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di
dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah
kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi
dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus
spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara
berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung
kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi
keras dan terjadi konstipasi.

2.1.8 Manifestasi Klinis/ Tanda dan Gejala


1. Gangguan Eliminasi urin
a. Retensi Urin
1) Ketidak nyamanan daerah pubis.
2) Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
3) Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
4) Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
5) Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia urin
1) Pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum
sampai di WC
2) Pasien sering mengompol
2. Gangguan Eliminasi Fekal
a. Konstipas
1) Menurunnya frekuensi BAB
2) Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3) Nyeri rectum
b. Impaction/ impaksi
1) Tidak BAB
2) Anoreksia
3) Kembung/kram
4) Nyeri rektum
c. Diare
1) BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
2) Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3) Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang
menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.
4) Feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat
mengontrol dan menahan BAB.
d. Inkontinensia Fekal
1) Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,
2) BAB encer dan jumlahnya banyak
3) Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler,
trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal
e. Flatulens
1) Menumpuknya gas pada lumen intestinal,
2) Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri
dan kram.
3) Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus
(flatus)
f. Hemoroid
1) Pembengkakan vena pada dinding rectum
2) Perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
3) Merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
4) Nyeri

2.1.9 Komplikasi
1. Masalah Kulit. seperti ruam, infeksi kulit dan luka.
2. Infeksi Saluran Kemih. Inkontinensia bisa meningkatkan risiko
terjadinya infeksi saluran kemih berulang.
3. Mengganggu Kehidupan Sosial. Inkontinensia urine merupakan
masalah yang memalukan, sehingga bisa memengaruhi hubungan
sosial, pekerjaan, dan hubungan pribadi pengidapnya.
4. Prolaps. Bagian dari vagina, kandung kemih, dan terkadang uretra
dapat jatuh ke pintu masuk vagina. Hal ini biasanya disebabkan oleh
melemahnya otot dasar panggul.

2.1.10 Pemeriksaan Penunjang


1. Pielogram Intravena
Memvisoalisasi duktus dan pelvis renalis serta memperlihatkan
ureter, kandung kemih dan uretra. Prosedur ini tidak bersifat invasif.
Klien perlu menerima injeksi pewarna radiopaq secara intra vena.
2. Computerized Axial Tomography
Merupakan prosedur sinar X terkomputerisasi yang digunakan untuk
memperoleh gambaran terperinci mengenai struktur bidang tertentu
dalam tubuh. Scaner temografik adalah sebuah mesin besar yang
berisi computer khusus serta sistem pendeteksi sinar X yang
berfungsi secara simultan untuk memfoto struktur internal berupa
potongan lintang transfersal yang tipis.
3. Ultra Sonografi
Merupakan alat diagnostik yang noninvasif yang berharga dalam
mengkaji gangguan perkemihan. Alat ini menggunakan gelombang
suara yang tidak dapat didengar, berfrekuensi tinggi, yang memantul
dari struktur jaringan.
4. Prosedur Invasif
a. Sistoscopy
Sistocopy terlihat seperti kateter urine. Walaupun tidak fleksibel
tapi ukurannya lebih besar sistoscpy diinsersi melalui uretra
klien. Instrumen ini memiliki selubung plastik atau karet. Sebuah
obturator yang membuat skop tetap kaku selama insersi. Sebuah
teleskop untuk melihat kantung kemih dan uretra, dan sebuah
saluran untuk menginsersi kateter atau isntrumen bedah khusus.
b. Biopsi Ginjal
c. Menentukan sifat, luas, dan progronosis ginjal. Prosedur ini
dilakukan dengan mengambil irisan jaringan korteks ginjal untuk
diperiksa dengan tekhnik mikroskopik yang canggih. Prosedur ini
dapat dilakukan dengan metode perkutan (tertutup) atau
pembedahan (terbuka).
d. Angiography (arteriogram)
Merupakan prosedur radiografi invasif yang mengefaluasi sistem
arteri ginjal. Digunakan untuk memeriksa arteri ginjal utama atau
cabangnya untuk mendeteksi adanya penyempitan atau okulasi
dan untuk mengefaluasi adanya massa (cnth: neoplasma atau
kista)
e. Sitoure Terogram Pengosongan (volding cystoureterogram)
Pengisian kandung kemih dengan zat kontras melalui kateter.
Diambil foto saluran kemih bagian bawah sebelum, selama dan
sesudah mengosongkan kandung kemih. Kegunaannya untuk
mencari adanya kelainan uretra (misal, stenosis) dan untuk
menentukan apakah terdapat refleks fesikoreta.
5. Arteriogram Ginjal
Memasukan kateter melalui arteri femonilis dan aorta abdominis
sampai melalui arteria renalis. Zat kontras disuntikan pada tempat ini,
dan akan mengalir dalam arteri renalis dan kedalam cabang-
cabangnya.
6. Pemeriksaan Urine
Hal yang dikaji adalah warna,kejernihan, dan bau urine. Untuk
melihat kejanggalan dilakukan pemeriksaan protein, glukosa, dll.
7. Tes Darah
Hal yang di kaji Blood Urea Nitrogen (BUN), bersih kreatinin, nitrogen
non protein, sistoskopi, intravenus, pyelogram.

2.1.11 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan pada eliminasi fekal (PPNI, 2018):
a. Konstipasi
1) Periksa tanda dan gejala konstipasi
2) Periksa pergerakan usus, karakteristik feses
3) Identifikasi factor risiko konstipasi
4) Monitor tanda dan gejala rupture usus dan/ atau peritonisis
5) Anjurkan diet tinggi serat
6) Lakukan massage abdomen
7) Lakukan evakuasi feses secara manual
8) Berikan enema atau irigasi
9) Jelaskan etiologi masalah dan alasan tindakan
10) Anjurkan peningkatan asupan cairan
11) Latih buang air besar secara teratur
12) Ajarkan cara mengatasi komstipasi/impaksi
13) Konsultasi dengan tim medis tentang penurunan/
peningkatan frekuensi
14) suara usus
15) Kolaborasi penggunaan obat pencahar
b. Diare
1) Identifikasi penyebab diare
2) Identifikasi riwayat pemberian makanan
3) Identifikasi gejala invaginasi-Monitor warna, volume,
frekuensi, dan konsistensi tinja.
4) Monitor tanda dan gejala hypovolemia
5) Monitor iritasi dan ulserasi kulit di daerah perineal
6) Monitor jumlah pengeluaran diare
7) Monitor keamanan penyiapan makanan
8) Berikan asupan cairan oral
9) Pasang jalur intravena
10) Berikan cairan intravena
11) Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan
elektrolit
12) Ambil sampel feses untuk kultur, jika perlu
13) Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap
14) Anjurkan menghindari makanan,pembentuk gas, pedas, dan
mengandung laktosa-
15) Kolaborasi pemberian obat antimotilitas
16) Kolaborasi pemberian obat antispasmodic/ spasmolitik
17) Kolaborasi pemberian obat pengeras feses

2. Penatalaksanaan inkontinensia urine yaitu


a. Pemanfaatan kartu berkemih
b. Terapi non farmakologi
c. Terapi farmakologi
d. Terapi pembedahan
e. Modalitas lain
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN ELIMINASI

3.1 Pengkajian Keperawatan


3.1.1 Pengkajian pada kebutuhan eleminasi urine meliputi :
1. Riwayat keperawatan
Riwayat keperawatan mencakup tinjauan ulang pola eleminasi dan
gejala-gejala perubahan urinarius serta mengkaji faktor-faktor lain
yang dapat mempengaruhi klien untuk berkemih secara normal.
a. Pola perkemihan
Perawat menanyakan pada klien mengenai pola berkemih
hariannya, tremasuk frekuensi dan waktunya, volume normal urine
yang dikeluarkan setiap kali berkemih, dan adanya perubahan
yang terjadi baru-baru ini. Frekuensi berkemih bervariasi pada
setiap individu dan sesuai dengan asupan serta jenis-jenis
haluaran cairan dari jalur yang lain. Waktu berkemih yang umum
ialah saat bangun tidur, setelah makan, dan sebelum tidur.
Kebanyakna orang berkemih rata-rata sebanyak lima kali atau
lebih dalam satu hari. Klien yang sering berkemih padamalam hari
kemungkinan mengalami penyakit ginjal atau pembesaran prostat.
Informasi tentang pola berkemih merupakan dasar yang tidak
dapat dipungkiri untuk membuat suatu perbandingan. Dibawah
merupakan gejala umum pada perubahan perkemihan:
1) Urgensi : merasakan kebutuhan untuk segera berkemih
2) Disuria : merasa nyeri atau sudut berkemih
3) Frekuensi : berkemih dengan sering
4) Keraguan : sulit memulai berkemih
5) Poliuria : mengeluarkan sejumlah besar urine
6) Oliguria : haluaran urine menurun dibandingkan cairan yang
masuk ( biasanya kurang dari 400 ml dalam 24 jam )
7) Nukturia : berkemih berlebihan atau sering pada malam hari
8) Dribling ( urine yang menetes) : kebocoran atau rembesan
urine walaupun ada kontrol terhadap pengeluaran urine.
9) Hematuria : terdapat darah dalam urine
10) Retensi : akumulasi urine di dalam kandung kemih disertai
ketidakmampuan kandung kemih untuk benar-benar
mengosongkan diri
11) Residu urine : volume urine yang tersisa setalah berkemih
(volume 100 ml atau lebih )
b. Gejala perubahan perkemihan
Gejala tertentu yang khusus terkait dengan perubahan
perkemihan, dapat timbul dalam lebih dari satu jenis gangguan.
Selama pengkajian, perawat menanyakan klien tentang gejala-
gejala yang tertera. Perawat juag mengkaji pengetahuan klien
mengenai kondisi atau faktor-faktor yang mempresipitasi atau
memperburuk gejala tersebut.
c. Faktor yang mempengaruhi perkemihan
Perawat merangkum faktor-faktor dalam riwayat klien, yang dalam
kondisi normal mempengaruhi perkemihannya, seperti usia, faktor-
faktor lingkungan dan riwayat pengobatan.
2. Pengkajian fisik
Pengkajian fisik memungkinkan perawat untuk menentukan
keberadaan dan tingkat keparahan masalah eleminasi urine.organ
utama yang ditinjau kembali meliputi kulit, ginjal, kandung kemih, dan
uretra.
3. Pengkajian urine
Pengkajian urine dilakukan dengan mengukur asupan cairan dan
haluaran urine serta mengobservasi karakteristik urine klien.
a. Asupan dan haluaran
b. Karatekristik urine
c. Pemeriksaan urine

3.1.2 Pengkajian pada kebutuhan eleminasi fecal meliputi :


1. Riwayat keperawatan
a. Perilaku defekasi : penggunaan laksatif, cara mempertahankan pola.
b. Deskripsi feses : warna, bau, dan tekstur.
c. Diet : makanamempengaruhi defekasi, makanan yang biasa
dimakan, makanan yang dihindari, dan pola makan yang teratur atau
tidak.
d. Cairan : jumlah dan jenis minuman/hari
e. Aktivitas : kegiatan sehari-hari
f. Kegiatan yang spesifik.
g. Sters : stres berkepanjangan atau pendek, koping untuk
menghadapi atau bagaimana menerima.
h. Pembedahan/penyakit menetap.
2. Pengkajian fisik
Perawat melakukan pengkajian fisik sistem dan fungsi tubuh yang
kemungkinan dipengaruhi oleh adanya masalah eleminasi. Ada
beberapa pemeriksaan fisik pada seorang klien yaitu :
a. Mulut : inspeksi gigi, lidah, dan gusi klien.
b. Abdomen : perawat menginspeksi keempat kuadaran abdomen
untuk melihat warna, bentuk, kesimetrisan, dan warna kulit..
c. Rektum : perawat menginspeksi daerah sekitar anus untuk melihat
adanya lesi, perubahan warna, inflamasi dan hemoroid.

3. Karakteristik feses
a. Warna yang normal : kuning (bayi), cokelat (dewasa)
b. Bau yang normal : menyengat yang dipengaruhi oleh tipe makanan
c. Konsistensi yang normal : lunak, berbentuk
d. Frekuensi yang normal : bervariasi ; bayi 4-6 kali sehari ( jika
mengonsumsi ASI) atau 1-3 kali sehari ( jika mengonsumsi susu
botol ) ; orang dewasa setiap hari atau 2-3 kali seminggu
e. Jumlah yang normal : 150 gr per hari ( orang dewasa)
f. Bentuk yang normal : menyerupai diameter rektum
g. Unsur-unsur yang normal : makanan tidak dicerna, bakteri mati,
lemak, pigmen empedu, sel-sel yang melapisi mukosa usus, air

4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Analisis kandungan feses : untuk mengetahui kondisi patologis
seperti : tumor, perdarahan dan infeksi.
b. Tes Guaiak : pemeriksaan darah samar di feses yang mengitung
jumlah darah mikroskopik di dalam feses.

3.2 Diagnosa Keperawatan


Menurut Nanda Internasional, sebagai berikut :
3.2.1 Gangguan Eliminasi Urine
1. Retensi urine
Definisi: pengosongan kandung kemih tidak komplet.
Batasan karakteristik
a. Tidak ada haluaran urine
b. Distensi kandung kemih
c. Menetes
d. Disuria
e. Sering berkemih
f. Inkotinensia aliran berlebih
g. Residu urine
h. Sensasi kandung kemih penuh
i. Berkemih sedikit
Faktor yang berhubungan
a. Sumbatan
b. Tekanan ureter tinggi
c. Inhibisi arkus refleks
d. Sfingter kuat

2. Gangguan pola eliminasi urine: inkontinensia berhubungan dengan:


a. Gangguan neuromuskuler
b. Spasme bladder
c. Trauma pelvic
d. Infeksi saluran kemih
e. Trauma medulla spinalis

3.2.2 Gangguan Eliminasi fekal


1. Konstipasi
Definisi: penurunan pada frekuensi normal defekasi yang disertai oleh
kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses dan/ atau
pengeluaran feses yang keras, kering, dan banyak.
Batasan Karakteristik:
a. Nyeri abdomen
b. Anoreksia
c. Borborigmi
d. Darah merah pada feses.
e. Perubahan pada pola defekasi
f. Penurunan frekuensi.
g. Penurunan volume feses.
h. Distensi abdomen
i. Rasa rektal penuh.
j. Rasa tekanan rektal.
k. Keletihan umum
l. Feses keras dan berbentuk
m. Sakit kepala
n. Bising usus hiperaktif.
o. Bising usus hipoaktif.
p. Tidak dapat makan.
q. Mual.
r. Rembesan feses cair.
s. Nyeri pada saat defekasi.
t. Masa abdomen yang dapat diraba.
u. Masa rektal yang dapat diraba.
v. Perkusi abdomen pekak.
w. Sering flatus.
x. Mengejan pada saat defekasi.
y. Tidak dapat mengeluarkan feses.
z. Muntah.
Faktor yang berhubungan:
Fungsional
a. Kelemahan otot abdomen
b. Kebiasaan mengabaikan dorongan defekasi.
c. Ketidakadekuatan toileting (misal, batasan waktu, posisi untuk
defekasi, privasi).
d. Kurang aktivitas fisik.
e. Kebiasaan defekasi tidak teratur.
f. Perubahan lingkungan saat ini.

Psikologis
a. Depresi.
b. Stres emosi.
c. Konfusi mental.
Farmakologis
a. Antasida mengandung aluminium.
b. Antikolinergik.
c. Antikonvulsan.
d. Antidepresan.
e. Agens antilipemik.
f. Garam bismuth.
g. Kalsium karbonat.
h. Penyekat saluran kalsium.
i. Diuretik.
j. Garam besi.
k. Penyalahgunaan laksatif.
l. Agens antiinflamasi.
m. Nonsteroid.
n. Opiat.
o. Penotiazid.
p. Sedatif.
q. Simpatomimetik
Mekanis
a. Ketidakseimbangan elektrolit.
b. Hemoroid
c. Penyakit Hirschsprung.
d. Gangguan neurologis
e. Obesitas
f. Obstruksi pasca bedah
g. Kehamilan
h. Pembesaran prostat
i. Abses rektal
j. Fisura anal rektal
k. Striktur anal rektal
l. Prolaps rektal
m. Ulkus rektal
n. Rektokel
o. Tumor
Fisiologis
a. Perubahan pola makan
b. Perubahan makanan
c. Penurunan motilitas traktus gastrointestinal
d. Dehidrasi
e. Ketidakadekutan gigi geligi
f. Ketidakadekuatan higiene oral
g. Asupan serat tidak cukup
h. Asupan cairan tidak cukup
i. Kebiasaan makan buruk
2. Diare
Definisi: pasase feses yang lunak dan tidak berbentuk
Batasan karakteristik
a. Nyeri abdomen
b. Sedikitnya tiga kali defekasi perhari
c. Kram
d. Bising usus hiperaktif
e. Ada dorongan
Faktor yang berhubungan:
Psikologis
a. Ansietas
b. Tingkat stres tinggi
Situasional
a. Efek samping obat
b. Penyalahgunaan alkohol
c. Kontaminan
d. Penyalahgunaan laksatif
e. Radiasi
f. Toksin
g. Melakukan perjalanan
h. Selang makan

Fisiologis
a. Proses infeksi
b. Inflamasi
c. Iritasi
d. Malabsorpsi
e. Parasit

3.1.1 Intervensi Keperawatan


1. Gangguan Eliminasi Urin
Diagnosa Keperawatan
No yang mungkin muncul Tujuan Intervensi Rasional

1 Gangguan pola Setelah diberikan 1. Monitor keadaan 1. Membantu


eliminasi urine: asuhan keperawatan bladder setiap 2 jam mencegah distensi
inkontinensia ...x24 jam diharapkan atau komplikasi
kemungkinan pola eliminasi urine 2. Tingkatkan aktivitas 2. Meningkatkan
berhubungan dengan.... pasien normal dengan dengan kolaborasi kekuatan otot ginjal
kriteria hasil: dokter/fisioterapi dan fungsi bladder
3. Kolaborasi dalam 3. Menguatkan otot
1. Pasien dapat bladder training dasar pelvis
mengontrol 4. Hindari factor
pengeluaran urine pencetus 4. Mengurangi atau
setiap 4 jam inkontinensia urine menghindari
2. Tidak ada tanda- seperti cemas inkontinensia
tanda retensi dan 5. Kolaborasi dengan 5. Mengatasi faktor
inkontinensia urine dokter dalam penyebab
3. Pasien berkemih pengobatan dan
dalam keadaan kateterisasi
rileks 6. Jelaskan tentang 6. Meningkatkan
 Pengobatan pengetahuan dan
 Kateter diharapkan pasien
 Penyebab lebih kooperatif
 Tindakan
lainnya
2 Retensi urine Setelah diberikan 1. Monitor keadaan 1. Menentukan
kemungkinan asuhan keperawatan bladder setiap 2 jam masalah
berhubungan dengan... 3x24 jam diharapkan 2. Ukur intake dan
tanda dan gejala retensi output cairan setiap 2. Memonitor
urine pasien tidak ada 4 jam keseimbangan
dengan kriteria hasil: 3. Berikan cairan 2000 cairan
ml/hari dengan 3. Menjaga defisit
Pasien dapat kolaborasi cairan
mengontrol 4. Kurangi minum 4. Mencegah nokturia
pengeluaran bladder setelah jam 6
setiap 4 jam. malam
5. Kaji dan monitor 5. Membantu
analisis urine memonitor
elektrolit dan berat keseimbangan
badan cairan
6. Lakukan latihan 6. Meningkatkan
pergerakan fungsi ginjal dan
bladder
7. Lakukan relaksasi 7. Relaksasi pikiran
ketika duduk dapat
berkemih meningkatkan
kemampuan
8. Ajarkan teknik berkemih
latihan dengan 8. Menguatkan otot
kolaborasi dokter/ pelvis
fisioterapi
9. Kolaborasi dalam 9. Mengeluarkan urine
pemasangan kateter

2. Gangguan Eliminasi Fekal


Diagnosa Tindakan dan
No Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil

1. Gangguan pola Setelah diberikan NIC : Konstipation atau


eliminasi fekal : asuhan impaction management
konstipasi keperawatan 1. Monitor tanda dan
berhubungan selama ...x 24 jam gejala konstipasi 1. Mencegah dan
dengan... diharapkan pola mengatasi konstipasi
eliminasi fekal 2. Monitor frekuensi, 2. Mengetahui penyebab
pasien normal warna, dan dini terjadinya konstipasi
dengan kriteria konsistensi. 3. Meningkatkan
hasil : NOC : Bowel 3. Anjurkan pada pasien pergerakan usus.
elimination untuk makan buah-
1. Buang air buahan dan serat
besar / BAB tinggi dengan
dengan konsultasi bagian gizi.
konsistensi 4. Mobilisasi bertahap 4. Untuk merangsang
lembek eliminasi defekasi
2. Pasien pasien.
menyatakan 5. Kolaborasikan dengan 5. Meningkatkan eliminasi
mampu tenaga medis
mengontrol pola mengenai pemberian
BAB laksatif, enema dan
3. Memperta pengobatan
hankan pola 6. Berikan pendidikan 6. Mengurangi atau
eliminasi usus kesehatan tentang: menghindari
tanpa ileus kebiasaan diet, cairan inkontinensia
dan makanan yang
mengandung gas,
aktivitas dan
kebiasaan BAB
7. Intruksikan agar 7. Untuk mencegah
pasien tidak mengejan perubahan pada tanda
saat defekasi vital, limbung atau
perdarahan.
2. Gangguan pola Setelah diberikan 1. Timbang berat badan 1. Untuk mengetahui berat
eliminasi fekal : asuhan pasien badan pasien dan untuk
diare keperawatan melakukan tindakan
berhubungan selama ...x 24 jam selanjutnya.
dengan... diharapkan feses 2. Ajarkan pasien untuk 2. Agar tidak menimbulkan
pasien berbentuk menggunakan obat masalah/diare yang
dan lembek dengan antidiare yang benar berlanjut
kriteria hasil :
NOC: 3. Instruksikan 3. Mengetahui
Bowel elimination pasien/keluarga untuk perkembangan pasien
Fluid Balance mencatat warna, tentang diarenya.
Hydration jumlah, frekuensi dan
Electrolyte and konsistensi dari feses
Acid base Balance 4. Evaluasi intake 4. Mengetahui penyebab
Kriteria Hasil : makanan yang masuk diare.
a. Feses 5. Anjurkan pasien untuk 5. Menghindari terjadinya
berbentuk, BAB menghindari susu, diare yang lebih parah
sehari sekali- kopi, makanan pedas,
tiga hari dan makanan yang
b. Menjaga daerah mengiritasi saluran
sekitar rectal cerna.
dari iritasi 6. Ajarkan tehnik 6. Stres meningkatkan
c. Tidak menurunkan stress stimulus bowel.
mengalami 7. Kolaborasi pemberian 7. Mempertahankan status
diare obat antidiare hidrasi
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesiimpulan
Eliminasi merupakan proses pembuangan dan terdiri dari eliminasi uri dan
eliminasi alvi. Organ yang berperan dalam proses eliminasi urin adalah ginjal,
kandung kemih, uretra. Gangguan eliminasi urin misalnya retensi urin,
inkontinensia urine dan enuresis.
Sedangkan gangguan eliminasi fecal misalnya konstipasi, impaction,
diare, inkontinesia fecal, flatulens, dan hemoroid. Gangguan eliminasi urine dan
fecal dapat di bantu dgn menggunakan pispot dan urinal, memasang kateter
sementara dan memasang kateter menetap.

4.2 Saran
Demi perbaikan proses pembuatan makalah kedepannya, diharapkan
mahasiswa lebih serius dalam pelaksanaan pembuatan makalah. Bagi rekan
rekan mahasiswa disarankan agar dapat memanfaatkan setiap kesempatan
untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito-Moyet, Lynda Juall.2013.Buku Saku Diagnosa Keperawatan.Jakarta:EGC

Nanda.2012-2014.Panduan Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.Jakarta:


EGC

Potter & Perry.2010.Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 2.Jakarta: Buku


Kedokteran EGC

Wilkinson,Judith M.2011.Buku Saku Diagnosis Keperawatan,Diagnosis NANDA,


Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC Edisi 9.Jakarta: EGC

Wartonah, tarwoto.2006.Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses


Keperawatan.Jakarta:Salemba Medik

Brooker, Christine.2001.Kamus Saku Keperawatan.Jakarta:EGC

Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Eliminasi. Terdapat pada :


http://911medical.blogspot.com/2007/06/asuhan-keperawatan-klien-dengan-
masalah.html
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. enerbit Kedokteran
EGC:
Jakarta.
Harnawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal. Terdapat
pada :
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-pemenuhan-
kebutuhaneliminasi-
fecal/
Septiawan, Catur E. 2008. Perubahan Pada Pola Urinarius. Terdapat pada:
www.kiva.org
Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran EGC: Jakarta.
Supratman. 2000. askep Klien Dengan Sistem Perkemihan
Andi Visi Kartika. Retensi Urin Pospartum. Http://www.jevuska.com/2007/04/19/retensi-
urinepost-
partum
Siregar, c. Trisa , 2004, Kebutuhan Dasar Manusia Eliminasi BAB, Program Studi Ilmu
Keprawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Johnson M., Meridean, M., Moorhead, 2000. NANDA, NIC, NOC. PENERBIT: MOSBY
https://123dok.com/document/qoo40v5q-anatomi-sistem-urinaria.html
https://www.academia.edu/98 Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Eliminasi.
Terdapat pada : http://911medical.blogspot.com/2007/06/asuhan-keperawatan-
kliendengan-
masalah.html
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. enerbit Kedokteran
EGC:
Jakarta.
Harnawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal. Terdapat
pada :
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-pemenuhan-
kebutuhaneliminasi-
fecal/83646/Laporan_Pendahuluan_Kebutuhan_Eliminasi

Anda mungkin juga menyukai