Anda di halaman 1dari 16

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

GANGGUAN KEBUTUHAN ELIMINASI AKIBAT PATOLOGIS SISTEM


PENCERNAAN
ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA ALVI

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 3
ADILA HIDAYATI : PO7220120 1631
DWI ULAN KURNIAWATI : PO7220120 1638
FITRI RAHMAWATI RIVA’IE : PO7220120 1640
M. RAZALI : PO7220120 1647
M.KRISNA IKHWANDI : PO7220120 1646
NUR AINUN : PO7220120 1650
PRISKA SETIANI SINAGA : PO7220120 1653
SILVIA ANGGRAYNI : PO7220120 1657
SRI WAHYUNI : PO7220120 1661
SURYADI : PO7220120 1662
YUSRI ANGGRAYNI : PO7220120 1655

DOSEN PEMBIMBING : Ns. MUTHIA DELIANA,S.Kep.,M.Kep

MATA KULIAH : KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I


KELAS : 2A KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES TANJUNG PINANG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang bertema”Gangguan Kebutuhan Eliminasi akibat Patologis
Sistem Pencernaan dengan Asuhan Keperawatan Inkontinensia Alvi” tepat waktu. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah. Selain
itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
Asuhan Keperawatan dengan Inkontinensia Alvi.
Dalam proses penyusunan makalah ini, penulis merangkum materi dari berbagai
sumber dan informasi di media massa. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen
mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah , Ns. MUTHIA DELIANA,S.Kep.,M.Kep atas
bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini.
Makalah ini jauh dari kata sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Tanjung Pinang, 15 September 2021

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................... .................. i
DAFTAR ISI ......................................................................................... .................. ii
PENDAHULUAN ................................................................................ .................. 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................... .................. 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................ .................. 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................. .................. 2
PEMBAHASAN ................................................................................... .................. 3
2.1 Definisi Inkontinensia Alvi .................................................. .................. 3
2.2 Anatomi Fisiologi Inkontinensia Alvi ................................. .................. 3
2.3 Klasifikasi Inkontinensia Alvi .............................................. .................. 3
2.4 Etiologi Inkontinensia Alvi ................................................... .................. 5
2.5 Manifestasi Klinis Inkontinensia alvi ................................... .................. 6
2.6 Komplikasi Inkontinensia Alvi ............................................. .................. 6
2.7 Evaluasi Diagnostik Inkontinensia Alvi ............................... .................. 6
2.8 Penatalaksanaan Inkontinensia Alvi ..................................... .................. 6
2.9 WOC Inkontinensia Alvi ...................................................... .................. 8
2.10 Asuhan Keperawatan Teoritis Inkontinensia Alvi .............. .................. 8
PENUTUP ............................................................................................. .................. 12
3.1 Kesimpulan ...................................................................................... .................. 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... ................ 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan
melalui proses homeostasis, baik fisiologis maupun psikologis. Adapun kebutuhan merupakan
suatu hal yang sangat penting, bermanfaat, atau diperlukan untuk menjaga homeostasis dan
kehidupan itu sendiri. Banyak ahli filsafat, psikologis, dan fisiologis menguraikan
kebutuhan manusia dan membahasnya dari berbagai segi. Orang pertama yang menguraikan
kebutuhan manusia adalah Aristoteles. Sekitar tahun 1950, Abraham Maslow seorang psikolog
dari Amerika mengembangkan teori tentang kebutuhan dasar manusia yang lebih dikenal
dengan istilah Hierarki Kebutuhan Dasar Manusia Maslow (Wolf, Lu Verne,dkk , 1984). Suatu
hal yang sangat diperlukan tubuh dalam kaitannya dengan proses pertumbuhan dan
perkembangan adalah nutrisi yang adekuat. Pemenuhan kebutuhan nutrisi akan sangat
membantu seseorang untuk mempertahankan kondisi tubuh dalam mencegah terjadinya
suatu penyakit, mempertahankan suhu tubuh dalam kondisi yang normal serta menghindari
proses infeksi. Eliminasi fecal atau defekasi merupakan proses pembuangan metabolisme
tubuh yang tidak terpakai. Eliminasi yang teratur dari sisa- sisa produksi usus penting untuk
fungsi tubuh normal. Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan masalah pada
gastrointestinal dan bagian tubuh lain, karena sisa-sisa produk usus adalah racun. Pola
defekasi bersifat individual, bervariasi dari beberapa kali sehari sampai beberapa kali
seminggu. Jumlah feses yang dikeluarkan pun berfariasi jumlahnya tiap individu. Feses normal
mengandung 75% air dan 25% materi padat. Feses normal berwarna coklat karena adanya
sterkobilin dan uriobilin yang berasal dari bilirubin. Warna feses dapat dipengaruhi oleh kerja
bakteri Escherecia coli. Flatus yang dikelurkan orang dewasa selama 24 jam yaitu 7-10 liter
flatus dalam usus besar. Kerja mikroorganisme mempengaruhi bau feses. Fungsi usus
tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan (Berman, et.al.,
2009).
Inkontinensia alvi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius pada pasien
geriatri. Angka kejadian inkontinensia alvi ini lebih sedikit dibandingkan pada kejadian
inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar negeri menyebutkan bahwa 30-50% pasien
geriatri yang mengalami inkontinensia urin juga mengalami inkontinensia alvi. Inkontinensia
alvi merupakan hal yang sangat mengganggu bagi penderitannya, sehingga harus
diupayakan mencari penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan
meningkatnya angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan
akan terjadi pula peningkatan angka kejadian inkontinensia alvi. Untuk itu diperlukan
penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia alvi, agar tidak
menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien. Berikut ini akan dibahas mengenai inkontinensia alvi dan penanganannya.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi inkontinensia alvi ?
2. Bagaimana anatomi fisiologi dari inkontinensia alvi?
3. Apa klasifikasi dari inkontinensia alvi?
4. Bagaimana etiologi inkontinensia alvi ?
5. Bagaimana manifestasi klinis inkontinensia alvi ?
6. Bagiamana komplikasi dari inkontinensia alvi ?
7. Bagiamana evaluasi diagnostik inkontinensia alvi ?
8. Bagaimana penatalaksanaan inkontinensia alvi ?
9. Bagaimana bentuk WOC dari inkontinensia alvi ?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan inkontinensia alvi ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam lagi yang dimaksud dengan
inkontinensia alvi dan untuk mendapatkan gambaran umum secara teoritis konsep dasar,
asuhan keperawatan pada klien dengan inkontinensia alvi.
2. Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui definisi inkontinensia alvi ?
 Untuk mengetahui anatomi fisiologi dari inkontinensia alvi?
 Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia alvi?
 Untuk mengetahui etiologi inkontinensia alvi ?
 Untuk mengetahui manifestasi klinis inkontinensia alvi ?
 Untuk mengetahui komplikasi dari inkontinensia alvi ?
 Untuk mengetahui evaluasi diagnostik inkontinensia alvi ?
 Untuk mengetahui penatalaksanaan inkontinensia alvi ?
 Untuk mengetahui bentuk WOC dari inkontinensia alvi ?
 Untuk mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan inkontinensia alvi ?

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Inkontinensia Alvi
Menurut Bharucha A.E., Blandon R.E. (2007), kontinensia adalah kemampuan untuk
menahan keluarnya luaran tubuh (bodily discharge) secara sadar/volunter. Kata kontinensia
berasal dari kata latin continere atau tenere yang berarti “menahan”. Anorektal adalah akhir
kaudal dari traktus gastrointestinal, yang bertanggung jawab pada kontinensia fekal dan proses
defekasi.
Rao S.S.C. (2007) menyatakan bahwa inkontinensia fekal adalah keluarnya feces atau
gas secara involunter atau ketidakmampuan mengendalikan keluarnya feces atau gas
melalui anus. Sedangkan menurut U.S. Departement of Health and Human Services (2009) dan
Junizaf (2011), inkontinensia fekal adalah ketidakmampuan dalam menahan keinginan
buang air besar sampai mencapai toilet, juga diartikan sebagai ketidakmampuan menahan
gas, feces cair, maupun feces padat.
Inkontinensia fecal lebih jarang ditemukan dibandingkan inkontinensia urin. Defekasi,
seperti halnya berkemih, adalah proses fisiologik yang melibatkan koordinasi sistem saraf,
respon refleks, kontraksi otot polos, kesadaran cukup serta kemampuan mencapai tempat buang
air besar. Perubahan-perubahan akibat proses menua dapat menyebabkan terjadinya
inkontinensia, tetapi inkontinensia fecal bukan merupakan sesuatu yang normal pada lanjut
usia.
Inkontinensia alvi (inkontinensia feses) adalah ketidakmampuan untuk mengontrol
buang air besar, menyebabkan tinja (feses) bocor tak terduga dari dubur/rektum. Inkontinensia
tinja juga disebut inkontinensia usus.
Inkontinensia tinja berkisar dari terjadi sesekali saat duduk hingga sampai benar-benar
kehilangan kendaliInkontinensia Alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air
besar,menyebabkan tinja (fese) bocor tak terduga dari dubur. Kontinensia tinja berkisar dari
terjadi sesekali saat tubuh hingga sampai benar-benar kehilangan kendali.

2.2 Anatomi Fisiologi Inkontinensia Alvi


Sistem tubuh yang memiliki peran dalam eliminasi fekal adalah sistem gastrointestinal
bawah yang meliputi usus halus, usus besar, rektum dan anus (Hidayat, 2006).
a. Usus Halus
Usus halus merupakan kelanjutan dari lambung yang terletak di antara sfingter pilorus
lambung dengan katup ileosekal yang merupakan bagian awal usus besar, posisinya terletak di
sentral bawah abdomen yang didukung oleh lapisan mesenterika (berbentuk seperti kipas) yang
memungkinkan usus halus ini mengalami perubahan bentuk (seperti berkelok-kelok).
Mesenterika ini dilapisi pembuluh darah, persarafan, dn saluran limfa yang menyuplai
kebutuhan dinding usus ( Tarwoto & Wartonah, 2010).

3
Usus halus memiliki saluran paling panjang dari saluran pencernaan dengan panjang
sekitar 3 meter dengan lebar 2,5 cm, walaupun tiap orang memiliki ukuran yang berbeda-beda.
Usus halus sering disebut dengan usus kecil karena ukuran diameternya lebih kecil jika
dibandingkan dengan usus besar. Usus halus ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu duodenum (±
25 cm), jejunum (± 2,5 m), serta ileum (±3,6 m). (Tarwoto & Wartonah, 2010).
Adapun fungsi dari usus halus adalah menerima sekresi hati dan pankreas,
mengabsorbsi saripati makanan, dan menyalurkan sisa hasil metabolisme ke usus besar. Pada
usus halus hanya terjadi pencernaan secara kimiawi saja, dengan bantuan senyawa kimia yang
dihasilkan oleh usus halus serta senyawa kimia dari kelenjar pankreas yang dilepaskan ke usus
halus. Senyawa yang dihasilkan oleh usus halus adalah sebagai berikut (Tarwoto & Wartonah,
2010).
Senyawa Kimia Fungsi Disakaridase Menguraikan disakarida menjadi monosakarida.
Erepsinogen Erepsin yang belum aktif yang akan diubah menjadi erepsin. Erepsin mengubah
pepton menjadi asam amino. Hormon Sekretin Merangsang kelenjar pankreas mengeluarkan
senyawa kimia yang dihasilkan ke usus halus. Hormon CCK (kolesistokinin) Merangsang hati
untuk mengeluarkan cairan empedu ke dalam usus halus. Usus menerima makanan dari
lambung dalam bentuk kimus (setengah padat) yang kemudian dengan bantuan peristaltik akan
didorong menuju ke usus besar (Tarwoto & Wartonah, 2010).
b. Usus Besar atau Kolon
Kolon merupakan usus yang memiliki diameter lebih besar dari usus halus. Ia memiliki
panjang 1,5 meter dan berbentuk seperti huruf U terbalik. Usus besar dibagi menjadi 3 daerah,
yaitu : kolon asenden, kolon transversum, dan kolon desenden (Tarwoto & Wartonah, 2010).
Fungsi kolon adalah (Tarwoto & Wartonah, 2010) :
 Menyerap air selama proses pencernaan.
 Tempat dihasilkannya vitamin K dan vitamin H (Biotin) sebagai hasil simbiosis dengan
bakteri usus, misalnya E.coli.
 Membentuk massa faeses.
 Mendorong sisa makanan hasil pencernaan ( feses) keluar dari tubuh

c. Rektum
Rektum merupakan lubang tempat pembuangan feses dari tubuh. Sebelum dibuang
lewat anus, feses akan ditampung terlebih dahulu pada begian rektum. Apabila feses sudah siap
dibuang, maka otot sfingter rektum mengatur pembukaan dan penutupan anus. Otot sfingter
yang menyusun rektum ada 2 yaitu otot polos dan otot lurik (Tarwoto & Wartonah, 2010).
2.3 Klasifikasi Inkontinensia Alvi
Inkontinensia Alvi dibagi menjadi 4 kelompok (Pranarka,2000)
 Inkontinensia Alvi akibat konstipasi
 Inkontinensia Alvi simtomatik
 Inkontinensia Alvi neurogenik
 Inkontinensia Alvi akibat hilangnya reflek awal

4
2.4 Etiologi Inkontinensia Alvi
Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah sembelit, penggunaan
pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti dimensia dan stroke, serta gangguan
kolorektum seperti diare, neuropati diabetic, dan kerusakan sfingter rektum.
Penyebab inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi empat kelompok (Brock Lehurst dkk,
1987; Kane dkk, 1989):
a. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
1.a . Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan atau impaksi dari massa
feses yang keras (skibala). Massa feses yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen
bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal. Kemampuan
sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses
yang cair akan merembes keluar (broklehurst dkk, 1989).
1.b. Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan terjadi
produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela – sela dari feses yang impaksi akan
keluar dan terjadi inkontinensia al#i (kane dkk, 1989).
b. Inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar
Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari macam –
macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah
dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit
pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian atas
dalam membedakan flatus dan feses yang cair (broklehurst dkk, 1987)
Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah obat – obatan, antara
lain yang mengandung unsur besi, atau memang akibat pencahar (broklehurst dkk, 1987:
Robert – Thomson).
c. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi
(inkontinensia neurogenik)
Inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguann fungsi menghambat dari
korteks serebri saat terjadi regangan atau distensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui
reflek gastro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan
menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rekum. Distensi rektum akan
diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi
intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal, karena ada inbisi atau hambatan dari pusat di
korteks serebri (broklehurst dkk, 1987).
d. Inkontinensia alvi karena hilangnya reflek anal
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya refleks anal, disertai kelemahan
otot-otot seran lintang.
Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh broklehurst dkk,
1987), menunjukkan berkurangnya unit – unit yang berfungsi motorik pada otot – otot daerah
sfingter dan pubo-rektal, keadaan ini menyebabkan hilangnya reflek anal, berkurangnya

5
sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia alvi
pada peningkatan tekanan intra abdomen dan prolaps dari rektum.
Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli progtologi untuk
pengobatannya (broklehurst dkk, 1987).

2.5 Manifestasi Klinis Inkontinensia Alvi


Inkontensia alvi tampak dalam dua keadaan :
 Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes
 Keluarnya feses yang cair atau belum berbentuk, sekali atau dua kali perhari dipakaian
atau tempat tidur.
Gejalanya antara lain :
 Tidak dapat mengendalikan gas atau kotoran, yang mungkin carik atau padat dari perut
 Tidak sempat ketoilet
 Berkurangnya pengontrolan oleh usus
 Pengeluaran feses yang tidak dikehendaki
Inkontensia alvi bisa disertai dengan masalah usus lainnya, seperti :
 Diare
 Sembelit
 Flatus dan kembung
 Kram perut

2.6 Komplikasi Inkontinensia Alvi


Beberapa komplikasi yang dapat diakibatkan oleh inkontinensia tinja, antara lain:
 Gangguan emosional, akibat rasa malu, frustrasi, dan depresi.
 Iritasi serta infeksi kulit, akibat kontak berulang dengan tinja.

2.7 Evaluasi Diagnostik Inkontinensia Alvi


 Memahami eliminasi normal
 Mempertahankan defekasi normal
 Mempertahankan rasa nyaman
 Mempertahankan integritas kulit (daerah perianal)

2.8 penatalaksaan inkontinensia Alvi


Penanganan yang baik terhadap sembelit akan mencegah timbulnya skibala dan dapat
menghindari kejadian inkontinensia alvi. Langkah utama dalam penanganan sembelit pada
pasien geriatri adalah dengan mengidentifikasi faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya
sembelit.

6
Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam penanganan inkontinensia alvi adalah dengan
mengatur waktu ke toilet, meningkatkan mobilisasi, dan pengaturan posisi tubuh ketika sedang
melakukan buang air besar di toilet.
Pada inkontinensia alvi yang disebabkan oleh gangguan saraf, terapi latihan otot dasar
panggul terkadang dapat dilakukan, meskipun sebagian besar pasien geriatri dengan dimensia
tidak dapat menjalani terapi tersebut.
Penatalaksanaan inkontinence tergantung pada jenis inkontinensia yang telah diuraikan di atas:
 Pada overflow inkontinence yang disebabkan konstipasi, perlu diberikan obat pencahar,
dan perlu pula dibantu dengan pemberian makanan yang mengandung banyak serat
(buah-buahan dan sayur-sayuran, tahu, tempe dan lain-lain), minum yang cukup serta
perlu gerakan tubuh yang cukup.
 Pada inkontinensia simtomatik, perlu diketahui terlebih dahulu penyakit yang
menyebabkannya dan memberikan pengobatan.
 Pada neurogenic incontinence, pengobatannya sulit. Hal yang paling penting adalah
melatih penderita untuk memasuki kamar kecil (WC) setiap kali setelah makan dan
berjalan di pagi hari ataupun setelah minum air panas. Latihan ini saja dapat memadai
pada sebagian penderita. Jika perlu, dapat diberikan obat pencahar setelah makan dan
dua puluh menit kemudian, penderita harus telah berada di kamar kecil. Jika tidak
menolong dapat dilakukan dengan memompa kotoran tadi dengan alat dan melatih pola
buang air besar yang teratur.
 Pada anorektal inkontinence perlu dilatih kekuatan otot-otot pada dasar panggul.

7
2.9 WOC Inkontinensia Alvi

Berkurangnnya
Sembelit jangka Penggunaan Dimensia dan unit unit motorik
panjang obat pencahar stroke pada sfingter dan
berlebihan
pubo rektal

Terbentuk Gangguan Korteks cerebri Hilangnya


skibala kolorektum terhambat reflek anal

Perubahan Iritasi pada


besar sudut mukosa Ganguan pada Ganguan pada
ano-rektal rektum sfingter sfingter

Kemampuan
sensor
menurun

Mk : diare mk: sembelit

2.10. Asuhan Keperawatan Inkontinensia


1. Pengkajian
a) Data identitas pasien: meliputi nama,tempat tanggal lahir, pendidikan, agama,status
perkawinan,TB/BB, penampilan, alamat.
b) Riwayat keluarga: terdiri atas susunan anggota keluarga, genogram, tipe keluarga.
c) Riwayat pekerjaan: meliputi pekerjaan saat ini, pekerjaan masa lalu, alat transportasi
yang digunakan,jarak dengan tempat tinggal, serta sumber pendapatan saat ini.
d) Riwayat lingkungan hidup: meliputi tipe rumah, jumlah tongkat di kamar, kondisi
tempat tinggal, jumlah orang yang tinggal dalam 1 rumah, tetangga terdekat dan
bagaimana pola interaksi dengan tetangga.
e) Riwayat rekreasi: hobi/minat yang dimiliki, keanggotaan dan kegiatan liburan yang
biasa dilakukan, hal ini dikaji untuk mengetahui aktivitas yang dapat dilakukan untuk
menguragi kebosanan.
f) Sistem pendukung: sistem pendukung yang dimiliki keluarga yang memiliki pengaruh
terhadap kesehatan seperti dokter, bidan, klinik, dan dukungan dari keluarga untuk

8
merawat anggota keluarga yang mengalami inkontinensia alvi, termasuk kebutuhan
personal hygiene.
g) Status kesehatan: status kesehatan yang pernah diderita selama 5 tahun yang lalu,
keluhan utama yag dirasakan sekarang yaitu ketidakmampuan menahan bab, dan
diuraiaka secara PQRST, obat,obatan yang pernah diminum,status imunisasi dan
riwayat alergi.
h) Aktivitas hidup sehari hari: dikaji melalui indeks katz,khususnya pengkajian eliminasi
Termasuk pola eliminasi,keadan feses : warna bau konsistensi ,bentuk.
 Kegiatan yang mampu dilakukan lansia
 Kekuatan fisik lansia (otot, sendi, pendengaran, penglihatan,)
 Kebiasaan lansia merawat diri sendiri
 Kebiasaan makan, minum, istirahat/tidur,BAB / BAK.
 Kebiasaan gerak badan / olah raga.
 Perubahan-perubahan fungsi tubuh yang sangat bermakna dirasakan.
Pola komunikasi dan interaksi dengan orang lain,perlu dikaji untuk mengetahui sebagai
respon terhadap keterbatan fisik dan psikis yang terjadi, meliputi persepsi diri,bagaimana
penilaian dia terhadap kondisinya yang mengalami inkontinensia, konsep diri ,apakah dia
merasa malu dengan kondisinya yang mengalami inkontinensia,dan meknisme koping yang
dilakukan.
i) Pemeriksaan fisik: keadaan umum,tingkat kesadaran, GCS,TTV, dan pemeriksaan
persistem
 khususnya pemeriksaan gastrointestinal, termasuk bising usus,peristaltik dan
sistem integumen sekitar anus
 Sistem integumen / kulit
 Muskuluskletal
 Respirasi
 Kardiovaskuler
 Perkemihan
 Persyarafan
 Fungsi sensorik )penglihatan, pendengaran, pengecapan dan penciuman)
 Kaji tentang data status mental, dengan sekala depresi beck, Short Portable
Mental Status Questionnaire (SPMSQ), dan Mini Mental State Examination
(MMSE) serta tingkat keasadarn klien.
2. Diagnosa keperawatan
 Gangguan eliminasi alvi (inkontinensia alvi) berhubungan dengan
a. melemahnya spingter interna anus
b. gangguan spingter rektal akibat cedera rektum/tindakan pembedahan
c. kurangnya kontrol pada spingter
d. distensi rektum akibat konstipasi kronik
e. kerusakan kognitif
f. ketidakmampuan mengenal/merespon defekasi

9
Tujuan:
1. pasien dapan mengontrol pengeluaran feses
2. pasien kembali pada pola eliminasi yang normal
Kriteria hasil:
1. Px bisa menahan BABnya
2. Px tidak BAB di celana
3. Bab terkotrol
4. pola bab teratur

 Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan


1. Perubahan pola sosial sekunder akibat defisit fungsi perawatan diri
2. Perubahan pola sosial sekunder akibat kehilangan pasangan
3. Perubahan pola sosial sekunder akibat pensiun
Tujuan :
1. tidak terjadi gangguan interaksi dengan masyarakat
2. komunikasi dengan masyarakat berjalan lancar
Kriteria hasil:
a. px merasa percaya diri saat berinteraksi dengan masyarakat
b. px merasa tidak malu saat beriteraksi dengan masyarakat
c. frekuensi interaksi pasien dengan masyarakat meningkat

3. Intervensi Keperawatan
 Gangguan eliminasi alvi (inkontinensia alvi) berhubungan dengan Penurunan fungsi
otot-otot pada anus
Intervensi :
a. kaji perubahan faktor yang mempengaruhi masalah eliminasi
R/ alvi sebagai data dasar untuk menentukan intervensi selanjutnya
b. berikan latihan BAB dan anjurkan pasien selalu berusaha latihan
R/ utuk mengontrol pola eliminasi sehingga dapat mengurangi terjdinya
inkontinensia
c. jelaskan eliminasi yang normal
R/ meningkatkan pengetahuan pasien tentang pola eliminasi yang benr
d. bantu defekasi secara manual
R/ melatih kekuatan spingter anus agar tidak terjadi kebocoran/inkontinensia
e. bantu bab denga cara yang benar
R/ meotivasi pasien untuk latihan kekuatan otot spingter anus
f. Lakukan latihan otot panggul
R/ untuk menguatkan otot dasar pelvis

 Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan Perubahan pola sosial sekunder akibat
defisit fungsi perawatan diri

10
Intervensi:
 Kaji tigkat kemampuan px dalam berinteraksi dengan masyarakat
R/ Sebagai data dasar untuk perencanaan selanjutnya
 Kaji tentang penyebab terjadinya gangguan interaksi social
R/ Dengan mengetahui penyabab ,maka dapat menetukan intervensi yang sesuai
 Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkakan perasaanya
R/ Membantu klien untuk mengurangi beban fikiran dengan mengeksplor perasaanya
 Jelaskan kepada klien tentan manfaat interaksi social
R/ Dapat memotifasi klien untuk meningkatkan kemampuan dalam berinteraksi dengan
masyarakat
 Motivasi klien untuk melakukan interaksi social
R/ Dapat memotifasi klien untuk meningkatkan kemampuan dalam berinteraksi dengan
masyarakat

4. Evaluasi
a. memahami eliminasi normal
b. mempertahankan defekasi normal
c. mempertahankan rasa nyaman
d. mempertahankan integritas kulit (daerah perianal)

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Inkontinensia alvi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius pada
pasien geriatri. Inkontinensia alvi (inkontinensia feses) adalah ketidakmampuan untuk
mengontrol buang air besar, menyebabkan tinja (feses) bocor tak terduga dari dubur/rektum.
Inkontinensia tinja juga disebut inkontinensia usus.
Inkontinensia tinja berkisar dari terjadi sesekali saat duduk hingga sampai benar-benar
kehilangan kendaliInkontinensia Alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air
besar,menyebabkan tinja (fese) bocor tak terduga dari dubur. Kontinensia tinja berkisar dari
terjadi sesekali saat tubuh hingga sampai benar-benar kehilangan kendali.
Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah sembelit, penggunaan
pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti dimensia dan stroke, serta gangguan
kolorektum seperti diare, neuropati diabetic, dan kerusakan sfingter rektum.
Gejala yang ditimbulkan antara lain tidak dapat mengendalikan gas atau kotoran, yang
mungkin carik atau padat dari perut, tidak sempat ketoilet , berkurangnya pengontrolan oleh
usus , pengeluaran feses yang tidak dikehendaki.
Komplikasi yang dapat diakibatkan oleh inkontinensia tinja, antara lain: gangguan
emosional, akibat rasa malu, frustrasi, dan depresi, iitasi serta infeksi kulit, akibat kontak
berulang dengan tinja.
Penanganan yang baik terhadap sembelit akan mencegah timbulnya skibala dan dapat
menghindari kejadian inkontinensia alvi. Langkah utama dalam penanganan sembelit pada
pasien geriatri adalah dengan mengidentifikasi faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya
sembelit.
Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam penanganan inkontinensia alvi adalah dengan
mengatur waktu ke toilet, meningkatkan mobilisasi, dan pengaturan posisi tubuh ketika sedang
melakukan buang air besar di toilet

12
DAFTAR PUSTAKA

M.Permata, M.Wulandari, M.Amelia, R(2015). “MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II.


ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA ALVI” https://docplayer.info/73142278-Makalah-
keperawatan-medikal-bedah-ii-asuhan-keperawatan-inkontinensia-alvi.html (diakses pada 15
september 2021)

Fhaul fazry. (2013). “Askep Lansia dengan Inkontinensia Alvi”


https://id.scribd.com/document/194346412/Askep-Lansia-Dengan-Inkontinensia-Alvi
(diakses pada 15 september 2021)

13

Anda mungkin juga menyukai