Anda di halaman 1dari 39

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA

DENGAN MASALAH INKONTINENSIA URINE

DAN INKONTINENSIA ALVI

Dosen Pengampu : Wahyu Riniasih, S.Kep.,Ns.,M.Kes

DI SUSUN OLEH:

Dilla fifa M ( 18012313)


Novi kurniasari ( 18012334)
Nur afni alawiyah ( 18012335)
Hesti feronika ( 18012339)
Ria fitri rohmah ( 18012340)
Siti maimunah ( 18012346)
Siti maysaroh ( 18012347)

UNIVERSITAS AN NUR PURWODADI

DIII KEPERAWATAN

2019/2020

1
2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Konsep asuhan keperawatan lansia dengan masalah inkontinensia urine dan inkontinensia
alvi ”. Makalah ini ditulis berdasarkan pencarian dari berbagai sumber.

Pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada : Ibu Wahyu Riniasih selaku dosen pengampu mata kuliah Keperawatan Anak di
Universitas An Nuur Purwodadi.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun akan di terima dengan senang hati,
semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca semuanya.

Akhirnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan
sehingga terselesaikan makalah ini, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya dan sukses selalu.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

3
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI ......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................
C. Tujuaan.....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
I. KONSEP TEORI INKONTINENSIA URIN

A. Definisi.............................................................................................................
B. Klasifikasi.........................................................................................................
C. Etiologi.............................................................................................................
D. Patofisiologi......................................................................................................
E. Manifestasi Klinis.............................................................................................
F. Pemeriksaan penunjang ...................................................................................
G. Penatalaksanaan ...............................................................................................
II. KONSEP ASKEP PADA LANSIA DENGAN INKONTINENSIA URIN
A. Pengkajian ........................................................................................................
B. Diagnose keperawatan .....................................................................................
C. Intervensi .........................................................................................................
D. Implementasi ....................................................................................................
E. Evaluasi ............................................................................................................
III.KONSEP TEORI INKONTINENSIA ALVI
A. Pengertian..........................................................................................................
B. Klasifikasi .........................................................................................................
C. Etiologi ..............................................................................................................
D. Patofisiologi ......................................................................................................
E. Manifestasi klinis ..............................................................................................
F. Pemeriksaan penunjang ....................................................................................
G. Penatalaksanaan ................................................................................................
IV.KONSEP ASKEP PADA LANSIA DENGAN INKONTINENSIA ALVI

4
A. Pengkajian .........................................................................................................
B. Diagnose keperawatan ......................................................................................
C. Intervensi ..........................................................................................................
D. Implementasi .....................................................................................................
E. Evaluasi .............................................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................

5
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan bertambahnya usia, fungsi organ dalam tubuh akan mengalami
penurunan, tidak terkecuali pada sistem genitourinaria. Adanya penurunan fungsi dari
sistem genitourinaria ini dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia. Inkontinensia
adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang
cukup untuk mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau social. Inkontinensia
dapat berupa inkontinensia urin dan inkontinensia alvi. Inkontinensia urin adalah
keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya. Sedangkan inkontinensia alvi adalah
keluarnya feses pada waktu yang tidak dikehendaki dan lebih jarang ditemukan.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar
antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di
rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau feses atau inkontinensia
jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu
atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu
yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine ataupun alvi merupakan gejala
yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan
kualitas hidup (Rochani, 2002).
Inkontinensia urin atau alvi yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian
basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat
menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera
ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati,
2000).
Berdasarkan hal tersebut di atas penulis akan membahas mengenai
inkontinensia urin dan alvi pada lansia agar dapat menambah pengetahuan pembaca
serta mampu memberikan penanganan pada lansia yang mengalaminya, dan

6
khususnya penanganan oleh perawat sebagai tenaga kesehatan melalui pemberian
asuhan keperawatan gerontik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
2. Apa saja klasifikasi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
3. Apa etiologi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
4. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
5. Apa tanda dan gejala inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi?
8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
3. Untuk mengetahui etiologi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
4. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang inkontinensia urin dan inkontinensia
alvi
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi.
8. Untuk mengetahui dan mampu menerapkan konsep asuhan keperawatan pada
lansia dengan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.

7
BAB II
PEMBAHASAN

I. KONSEP TEORI INKONTINENSIA URIN


A. Pengertian
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.
Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter
dan Perry, 2005).
Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan
otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin.
Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran
kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau
sedatif.
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak
yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian
basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat
menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera
ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin
(Hariyati, 2000).
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi
dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya
(FKUI, 2006)

B. Klasifikasi
Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat (2006) :
1. Inkontinensia dorongan :
keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa sadar,
terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya terjadi miksi (miksi
lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat,2006). Pasien
8
inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing segera
setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor
sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih
belum terpenuhi.
2. Inkontinensia total
Keadaan diaman seseorang mengalami pengeluaran urin yang terus
menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia
total antara lain: disfungsi neorologis, kontraksi independen dan reflex
detrusor karena pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf
medulla spinalis, fistula, neuropati
3. Inkontinensia stress
Tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan peningkatan
tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih dan sering miksi.
Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak dapat
menahan keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekanan diabdomen
secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk,
bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa.
4. Inkontinensia reflkex
Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak
dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan
neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan
tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih
penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada
interval teratur.
5. Inkontinensia fungsional
Keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari
dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan
tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih
penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin

9
C. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis.
Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun
kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di
saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau
adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen
topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya
dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika
perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi
urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti
diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan
yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang
bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi
urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet
secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah
masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena
penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau
penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal
pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika,
antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic
alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti
10
antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU.
Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal
yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot
dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan
otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar
hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi
penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah
obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009)

D. Patofisiologi

11
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat
di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume
kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengendalian kandung kencing dan sfinkter diperlukan agar terjadi
pengeluaran urin secara kontinen. Pengendalian memerlukan kegiatan otot
normal diluar kesadaran dan yang didalam kesadaran yang dikonrdinasi oleh
refleks urethrovsien urinaris. Bila terjadi pengisian kandung kencing tekanan
didalam kandung kemih meningkat. Otot detrusor (lapisan yang tiga dari
dinding kencing) memberikan respon dengan relaksasi agar memperbesar
volume daya tampung. Bila sampai 200 ml urin daya rentang reseptor yang
terletak pada dinding kandung kemih mendapat rangsangan. Stimulus
ditransmisikan lewat serabut reflek eferen ke lengkungan pusat refleks untuk
meksitrurisasi. Impuls kemudian disalurkan melalui serabut eferen dari
lengkungan refleks ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor.
Sfinkter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama sama
membuka dan urin masuk ke uretra posterior. Relaksasi sfinkter eksterna dan
otot pariental mengkuti dan isi kandung kemih keluar. Pelaksanaaan kegiatan
refleks bisa mengalami interupsi dan berkemih ditangguhkan melalui
dikeluarkannya impuls inhibitor dari pusat kortek yang berdampak kontraksi
diluar kesadaran dan sfinkter eksterna. Bila disalah satu bagian mengalami
kerusakan maka akan dapat mengakibatkan inkontenensia

E. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (Alimul Azis, 2006)
1) Inkontinensia Dorongan
a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih
2) Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia stres
12
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4) Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.
5) Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

F. Pemeriksaan Pnunjang
1. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam
urine.
2. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi
pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.
3. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal,
dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
4. Urografi ekskretorik
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur
dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih. Urografi ekskretori bawah
kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
5. Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan
jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

13
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal
tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut
misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar
secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula
waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi
berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk
berkemih bila belum waktunya.Lansia dianjurkan untuk berkemih pada
interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan
berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan
lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul
dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah
dengan cara : Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan
terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke
depan ke belakang ± 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat
kita buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar
panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.
3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
14
Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter
relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik
antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan
secara singkat.
4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi,
bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia
tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk
menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu,
divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
5. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia
yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.
6. Pemantauan Asupan Cairan
Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari
dengan rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan
asumsi tidak ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat
membatasi asupan cairan secara tidak tepat untuk mencegah kejadian-
kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan cairan sebelum waktu tidur
dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi cairan harus
diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total asupan cairan setiap
harinya tetap sama.

15
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN
INKONTINENSIA URIN

A. PENGKAJIAN
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan klien
dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine :
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha
yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih)
yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.
5. Riwayat Penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang
menderita DM, Hipertensi.
6. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
a)   B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b)   B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c)   B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d)   B4 (bladder)

16
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah  apabila ada lesi pada bladder, pembesaran
daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri
saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien
terpasang kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah
supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing /
dapat juga di luar waktu kencing.
e)   B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
f)   B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung
kemih
2. Gangguan pola istirahat dan tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan
3. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang
lama.
4. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine.
5. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
6. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kondisi penyakit.

C. INTERVENSI
1. Diagnosa 1
Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung
kemih.
17
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan
bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia.
Kriteria Hasil: Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan
rasional penatalaksanaan.
Intervensi :
a. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi
kandung kemih
b. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya
enurasis
c. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang
telah direncanakan
R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung
volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.
d. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada
kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan
dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu.
R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.
e. Anjurkan klien melakukan latihan kegel exercise atau blader training

R/ Untuk mengencangkan otot di sekitar vagina, sehingga klien lebih


mampu menahan keinginan buang air kecil.

f. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan


cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
R: Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.
g. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan
tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat
untuk menurunkan frekuensi inkonteninsia.

2. Diagnose 2

Tujuan : Kebutuhan istirahat dan tidur terpenuhi.

18
Kriteria hasil : klien mampu istirahat dan tidur dengan waktu yang
cukup, klien mengungkapkan sudah bisa tidur, klien mampu menjelaskan
factor penghambat tidur.

Intervensi :

a. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur/istirahat


dan kemungkinan cara untuk menghindarinya.

R/ Meningkatkan pengetahuan klien sehingga klien mau kooperatif


terhadap tindakan keperawatan.

b. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan


tidur.

R/ Menentukan rencana untuk mengatasi gangguan.

c. Batasi masukan cairan waktu malam hari dan berkemih sebelum tidur.

R/ Mengurangi frekuensi berkemih pada malam hari

d. Batasi masukan minuman yang mengandung kafein

R/ Kafein dapat merangsang untuk sering berkemih

3. Diagnosa 3
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam
waktu yang lama.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
berkemih dengan nyaman.
Kriteria Hasil : Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine
menunjukkan tidak adanya bakteri.
Intervensi :
a. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
b. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x
sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu
akan tidur) dan setelah buang air besar.

19
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung
kemih dan naik ke saluran perkemihan.
c. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan
tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal,
pengosongan kantung drainase urine, penampungan spesimen urine).
Pertahankan teknik aseptik bila melakukan kateterisasi, bila
mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
d. Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan
anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
e. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
a) Tingkatkan masukan sari buah berri.
b) Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari
buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman
urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh
dalam pengobatan infeksi saluran kemih.

4. Diagnosa 4
Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi
konstan oleh urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan
integritas kulit teratasi.
Kriteria Hasil :
a. Jumlah bakteri <100.000/ml.
b. Kulit periostomal tetap utuh.
c. Suhu 37° C.
d. Urine jernih dengan sedimen minimal.

Intervensi :
1) Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam.
20
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil
yang diharapkan.
2) Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi.
Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang
baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar
diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang
benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit
dan peningkatan resiko infeksi.

5. Diagnosa 5
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume
cairan seimbang
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
a. Awasi TTV
R: Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume
intravascular, khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
b. Catat pemasukan dan pengeluaran
R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan
dan penurunan resiko kelebihan cairan
c. Awasi berat jenis urine
R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn
urine
d. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan
yang terbatas dan menurunkan rasa haus
e. Timbang BB setiap hari
R: Untuk mengawasi status cairan
21
6. Diagnosa 6
Tujuan :supaya pengetahuan klien tentang kondisinya bertambah.
Kriteria Hasil : klien dapat mengatakan secara akurat tentang
diagnosis dan pengobatan, mengikuti prosedur dengan baik dan
menjelaskan tentang alas an mengikuti prosedur tersebut, mempunyai
inisiatif dalam perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam pengobatan,
bekerjasama dengan pemberi informasi.
Intervensi :
a. Tentukan persepsi klien tentang kondisinya
R/ Memungkinkannya dilakukan pembenaran terhadap kesalahan
persepsi dan konsepsi serta kesalahan pengertian.
b. Beri informasi yang akurat dan actual. Jawab pertanyaan secara spesifik,
hindari informasi yang tidak diperlukan.
R/ Membantu klien dalam memahami proses penyakit
c. Berikan bimbingan kepada klien atau keluarga sebelum mengikuti
prosedur pengobatan, terap, dan komplikasi.
R/ Membantu klien dan keluarga dalam membuat keputusan pengobatan.
d. Anjurkan klien untuk memberikan unpan balik verbal dan mengkoreksi
miskonsepsi tentang penyakitnya
R/ Mengetahui sampai sejauh mana pemahaman klien dan keluarga
mengenai penyakit klien

D. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan yang telah dibuat.

E. EVALUASI
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan inkontinensia dapat dinilai dari adanya
kemampuan dalam :
1. Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai
dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat,
kompresi pada kandung kemih atau kateter
2. klien mampu istirahat dan tidur dengan waktu yang cukup, klien
mengungkapkan sudah bisa tidur, klien mampu menjelaskan factor
penghambat tidur.
22
3. Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal kering
tanpa inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.
4. Memerikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak
ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.
5. Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi
inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.
6. klien dapat mengatakan secara akurat tentang diagnosis dan pengobatan,
mengikuti prosedur dengan baik dan menjelaskan tentang alas an mengikuti
prosedur tersebut, mempunyai inisiatif dalam perubahan gaya hidup dan
berpartisipasi dalam pengobatan, bekerjasama dengan pemberi informasi.

23
III. KONSEP TEORI INKONTINENSIA ALVI
A. Pengertian
Ikontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air
besar, menyebabkan  feses bocor tidak terduga dari dubur. Inkontinensia alvi
juga disebut inkontinensia usus.
Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan
mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat.
Inkontinensia alvi adalah keadaan individu yang mengalami perubahan
kebiasaan dari proses defekasi normal mengalami proses pengeluaran feses tak
disadari,atau hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran feses
dan gas melalui spingter akibat kerusakan sfingter.

B. Klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4
kelompok (Pranarka, 2000):
1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
2. Inkontinensia alvi simtomatik
3. Inkontinensia alvi neurogenik
4. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal

C. Etiologi
Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah sembelit,
penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti dimensia dan
stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan
kerusakan sfingter rektum.
Penyebab inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi empat kelompok (Brock
Lehurst dkk, 1987; Kane dkk,1989):
1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
a. Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan atau
impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Massa feses yang tidak
dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari anus dan
menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal. Kemampuan
sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus, cairan

24
atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar
(broklehurst dkk, 1987).
b. Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa
rektum dan terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya
melalui sela – sela dari feses yang impaksi akan keluar dan terjadi
inkontinensia alvi (kane dkk, 1989).
2. Inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus
besar
Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari
macam – macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare.
Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan
dengan bertambahnya usia  dari proses kontrol yang rumit pada fungsi
sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian
atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair  (broklehurst dkk,
1987)
Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah obat –
obatan, antara lain yang mengandung unsur besi, atau  memang akibat
pencahar (broklehurst dkk, 1987: Robert – Thomson)
3. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses
defekasi (inkontinensia neurogenik)
Inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguann fungsi
menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan atau distensi
rektum. Proses normal dari defekasi melalui reflek gastro-kolon. Beberapa
menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan menyebabkan
pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rekum. Distensi rektum akan
diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak
terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal, karena
ada inbisi atau hambatan dari pusat di korteks serebri (broklehurst dkk,
1987).
4. Inkontinensia alvi karena hilangnya reflek anal
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya refleks anal,
disertai kelemahan otot-otot seran lintang.
Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh
broklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit – unit yang
25
berfungsi motorik pada otot – otot daerah sfingter dan pubo-rektal,
keadaan ini menyebabkan hilangnya reflek anal, berkurangnya sensasi
pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat
inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra abdomen dan prolaps
dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli
progtologi untuk pengobatannya (broklehurst dkk, 1987).

D. Patofisiologi
Reflek defekasi parasimpatis

Feses masuk rectum

Saraf rectum

Dibawa ke spinal cord

Kembali ke colon desenden,sigmoid dan rectum

Intensifkan peristaltic

Kelemahan spingter interna anus

Inkontinensia alvi

Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang


hidup. Namun demikian beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan
akibat motilitas yang melambat. Peristaltik di esophagus kurang efisien pada
lansia. Selain itu, sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi, mengakibatkan
pengosongan esophagus terlambat.keluhan utama biasanya berpusat pada
perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster
juga menurun, akibatnya terjadi keterlambatan pengosongan isi lambung.
Berkurangnya sekresi asam dan pepsin akan menurunkan absorsi besi, kalsium
dan vitamin B12.
Absorsi nutrient di usus halus juga berkurang dengan bertambahnya
usia namun masih tetap adekuat. Fungsi hepar, kantung empedu dan pankreas
tetap dapat di pertahankan, meski terdapat insufisiensi dalam absorsi dan

26
toleransi terhadap lemak. Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi
otot polos pada sfingter mengakibatkan inkontinensia alvi.

E. Manifestasi Klinis
Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000):

1. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes.
2. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari,
dipakaian atau ditempat tidur.

Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat
mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk
diagnosis.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Anal Manometry, memeriksa keketatan dari sfingter anal dan kemampuan
sfingter anal dalam merespon sinyal serta sensitivitas dan fugsi dari rektum.
MRI terkadang juga digunakan untuk mengevaluasi sfingter.
2. Anorectal Ultrasonography, memeriksa dan mengevaluasi struktur dari
sfingter anal
3. Proctography, menunjukan berapa banyak feses yang dapat ditahan oleh
rektum, sebaik apa rektum mampu menahannya dan sebaik mana rektum
mampu mengosongkannya.
4. Progtosigmoidoscopy, melihat kedalam rektum atau kolon untuk menemukan
tanda-tanda penyakit atau masalah yang dapat menyebabkan inkontinensia
fekal seperti inflamasi, tumor, atau jaringan parut.

G. Penatalaksanaan
1. Peningkatan Keteraturan Defekasi
Perawat dapat membantu klien memperbaiki keteraturan defekasi dengan
a. Memberikan privacy kepada klien saat defekasi
b. Mengatur waktu, menyediakan waktu untuk defeksi
c. Memperhatikan nutrisi dan cairan, meliputi diit tinggi serat seperti
sayuran, buah-buahan, nasi; mempertahankan minum 2 – 3 liter/hari

27
d. Memberikan latihan / aktivitas rutin kepada klien
e. Positioning
2. Privacy
Privacy selama defekasi sangat penting untuk kebanyakan orang. Perawat
seharusnya menyediakan waktu sebanyak mungkin seperti kepada klien yang
perlu menyendiri untuk defeksi. Pada beberapa klien yang mengalami
kelemahan, perawat mungkin perlu menyediakan air atau alat kebersihan
seperti tissue dan tetap berada dalam jangkauan pembicaraan dengan klien.
3. Waktu
Klien seharusnya dianjurkan untuk defeksi ketika merasa ingin defekasi.
Untuk menegakkan keteraturan eliminasi alvi, klien dan perawat dapat
berdiskusi ketika terjadi peristaltik normal dan menyediakan waktu untuk
defekasi. Aktivitas lain seperti mandi dan ambulasi seharusnya tidak menyita
waktu untuk defekasi.
4. Nutrisi dan Cairan
Untuk mengatur defekasi normal diperlukan diet, tergantung jenis feses klien
yang terjadi, frekuensi defekasi dan jenis makanan yang dirasakan klien
dapat membantu defekasi normal.
5. Untuk Konstipasi
Tingkatkan asupan cairan dan instruksikan klien untuk minum cairan hangat
dan jus buah, juga masukkan serat dalam diet.
6. Untuk Diare
Anjurkan asupan cairan dan makanan lunak. Makan dalam porsi kecil dapat
membantu karena lebih mudah diserap. Minuman terlalu panas / dingin
seharusnya dihindari sebab merangkasang peristaltik. Makanan tinggi serat
dan tinggi rempah dapat mencetuskan diare. Untuk manajemen diare, ajarkan
klien sebagai berikut :
a. Minum minimal 8 gelas / hari untuk mencegah dehidrasi
b. Makan makanan yang mengandung Natrium dan Kalium. Sebagian besar
makanan mengandung Na. Kalium ditemukan dalam daging, beberapa
sayuran dan buah seperti tomat, nanas dan pisang.
c. Tingkatkan makanan yang mengandung serat yang mudah larut seperti
pisang
d. Hindari alkohol dan minuman yang mengandung kafein
28
e. Batasi makanan yang mengandung serat tidak larut seperti buah mentah,
sereal
f. Batasi makanan berlemak
g. Bersihkan dan keringkan daerah perianal sesudah BAB untuk mencegah
iritasi
h. Jika mungkin hentikan obat yang menyebabkan diare
i. Jika diare telah berhenti, hidupkan kembali flora usus normal dengan
minum produk-produk susu fermentasi.
7. Untuk Flatulensi
Batasi minuman berkarbinat, gunakan sedotan saat minum dan mengunyah
gusi; untuk meningkatkan pencernaan udara. Hindari makanan yang
menghasilkan gas, seperti kubis, buncis, bawang dan bunga kol.
8. Latihan
Latihan teratur membantu klien mengembangkan pola defekasi normal. Klien
dengan kelemahan otot abdomen dan pelvis (yang mengganggu defekasi
normal) mungkin dapat menguatkannya dengan mengikuti latihan isometrik
sebagai berikut :
Dengan posisi supine, perketat otot sbdomen dengan mengejangkan, menahan
selama 10 detik dan kemudian relax. Ulangi 5 – 10 kali sehari tergantung
kekuatan klien.
9. Positioning
Meskipun posisi jongkong memberikan bantuan terbaik untuk defekasi. Posisi
pada toilet adalah yang terbaik untuk sebagian besar orang. Untuk klien yang
mengalami kesulitan untuk duduk dan bangun dari toilet, maka memerlukan
alat bantu BAB seperti commode, bedpad yang jenis dan bentuknya
disesuaikan dengan kondisi klien
10. Obat-obatan
Obat-obatan yang termasuk kategori mempengaruhi eliminasi alvi adalah
katarsis dan laxantive, antidiare dan antiflatulensi
11. Mengurangi flatulensi
Ada banyak cara untuk mengurangi / mengeluarkan flatus, meliputi
menghindari makanan yang menghasilkan gas, latihan, bergerak di tempat
tidur dan ambulasi. Gerakan merangsang peristaltik dan membantu
melepaskan flatus dan reabsorbsi gas dalam kapiler intestinal. Satu metode
29
untuk penanganan flatulensi adalah dengan memasukkan suatu rectal tube.
Caranya adalah sebagai berikut :
a. Gunakan rectal tube ukuran 22 – 30 F untuk dewasa dan yanglebih kecil
untuk anak
b. Tempatkan klien pada posisi miring
c. Berikan lubrikasi untuk mengurangi iritasi
d. Buka anus dan masukkan rectal tube dalam rektum (10 cm). Rectal tube
akan merangsang peristaltik. Jika tidak ada flatus yang keluar, masukkan
tube lebih dalam. Jangan menekan tube jika tidak bisa masuk dengan
mudah.
e. Lepaskan tube jangan lebih dari 30 menit untuk menghindari iritasi. Jika
terjadi distensi abdomen, masukkan tube setiap 2 – 3 jam.
f. Jika tube tidak dapat mengurangi flatus, konsul dengan dokter untuk
pemakaian suppository, enema atau obat-obatan yang lain.
12. Pemberian Enema
Enema adalah larutan yang dimasukkan dalam rektum dan usus besar. Cara
kerja enema adalah untuk mengembangkan usus dan kadang-kadang
mengiritasi mukosa usus, meningkatkan peristaltik dan membantu
mengeluarkan feses dan flatus.
13. Program Bowel Training
Pada klien yang mengalami konstipasi kronik, sering terjadi obstipasi /
inkontinensia feses, program bowel training dapat membantu mengatasinya.
Program ini didasarkan pada faktor dalam kontrol klien dan didesain untuk
membantu klien mendapatkan kembali defekasi normal. Program ini berkaitan
dengan asupan cairan dan makanan, latihan dan kebiasaan defekasi. Sebelum
mengawali program ini, klien harus memahaminya dan terlibat langsung.
Secara garis besar program ini adalah sebagai berikut :
a. Tentukan kebiasaan defekasi klien dan faktor yang membantu dan
menghambat defekasi normal.
b. Desain suatu rencana dengan klien yang meliputi :
1) Asupan cairan sekitar 2500 – 3000 cc/hari
2) Peningkatan diit tinggi serat
3) Asupan air hangat, khususnya sebelum waktu defekasi
4) Peningkatan aktivitas / latihan
30
c. Pertahankan hal-hal berikut secara rutin harian selama 2 – 3 minggu :
1) Berikan suppository katarsis (seperti dulcolax) 30 menit sebelum waktu
defekasiklien untuk merangsang defekasi.
2) Saat klien merasa ingin defekasi, bantu klien untuk pergi ke toilet /
duduk di Commode atau bedpan. Catat lamanya waktu antara
pemberian suppository dan keinginan defekasi.
3) Berikan klien privacy selama defekasi dan batasi waktunya, biasanya
cukup 30 – 40 menit.
4) Ajarkan klien cara-cara meningkatkan tekanan pada kolon, tetapi
hindari mengecan berlebihan, karena dapat mengakibatkan hemorrhoid.
d. Berikan umpan balik positif kepada klien yang telah berhasil defekasi.
Hindari negativefeedback jika klien gagal. Banyak klien memerlukan
waktu dari minggu sampai bulan untuk mencapai keberhasilan

31
IV. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN
INKONTINENSIA ALVI
A. PENGKAJIAN
Untuk mengkaji pola eliminasi danmenentukan adanya kelainan,
perawatmelakukan pengkajian riwayatkeperawatan, pengkajian fisik
abdomen,menginspeksi karakteristik feses danmeninjau kembali hasil
pemeriksaan yang berhubungan.
1. Riwayat Keperawatan
a. Pola defekasi
1) Kapan anda biasanya ingin BAB ?
2) Apakah kebiasaan tersebut saat ini mengalami perubahan ?
b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi
Apakah anda memperhatikan adanya perubahan warna, tekstur (keras,
lemah, cair), permukaan, atau bau feses anda saat ini ?
c. Masalah eliminasi fekal
1) Masalah apa yang anda rasakan sekarang (sejak beberapa hari yang lalu)
berkaitan dengan BAB (konstipasi, diare, kembung, merembes /
inkontinensia{tidak tuntas}) ?
2) Kapan dan berapa sering hal tersebut terjadi ?
3) Menurut anda kira-kira apa penyebabnya (makanan, minuman, latihan,
emosi, obat-obatan, penyakit, operasi) ?
4) Usaha apa yang anda lakukan untukmengatasinya dan bagaimana
hasilnya ?
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi
1) Menggunakan alat bantu BAB. Apa yang anda lakukan untuk
mempertahankan kebiasaan BAB normal ? Menggunakan bahan-bahan
alami seperti makanan / minuman tertentu atau obat-obatan ?
2) Diet. Makanan apa yang anda percaya mempengaruhi BAB ? Makanan
apa yang biasa anda makan ? yang biasa anda hindari, berapa kali anda
makan dalam sehari ?
3) Cairan. Berapa banyak dan jenis minuman yang anda minum dalam
sehari ? (misalnya 6 gelas air, 2 cangkir kopi)
4) Aktivitas dan Latihan. Pola aktivitas / latihan harian apa yang biasa
dilakukan ?
32
5) Medikasi. Apakah anda minum obat yang dapat mempengaruhi sistem
pencernaan (misalnya Fe, antibiotik) ?
6) Stress. Apakah anda merasakan stress. Apakah dengan ini anda mengira
berpengaruh pada pola BAB (defekasi) anda ? Bagaimana ?
7. Ada ostomi dan penanganannya
1) Apa yang biasa anda lakukan terhadap kolostomy anda ?
2) Jika ada masalah, apa yang anda lakukan ?
3) Apakah anda memerlukan bantuan perawat untuk menangani kolostomy
anda ? Bagaimana caranya ?

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi inspeksi,
auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran intestinal. Auskultasi
dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat merubah peristaltik.
Pemeriksaan rektum dan anus meliputi inspeksi dan palpasi.Inspeksi Feses.
Observasi feses klien terhadap warna, konsistensi, bentuk permukaan, jumlah,
bau dan adanya unsur-unsur abdomen.

3. Karakteristik feses normal dan abnormal


a. Warna
1) Normal : Kecoklatan
2) Abnormal
a) Pekat/putih
Penyebab : Adanya pigmen empedu (obstruksi empedu);
pemeriksaan diagnostik menggunakan barium
b) Hitam / spt ter.
Penyebab : Obat (spt. Fe); PSPA (lambung, usus halus); diet tinggi
buah merah dan sayur hijau tua (spt. Bayam)
c) Merah
Penyebab : PSPB (spt. Rektum), beberapa makanan spt bit.
d) Pucat
Penyebab : Malabsorbsi lemak; diet tinggi susu dan produk susu dan
rendah daging.
e) Orange atau hijau
33
Penyebab : infeksi usus
b. Konsisten
1) Normal : Berbentuk, lunak, agak cair/lembek, basah
2) Abnormal :
Keras, kering. Penyebab : Dehidrasi, penurunan motilitas usus akibat
kurangnya serat, kurang latihan, gangguan emosi dan laksantif abuse.
Diare Penyebab : Peningkatan motilitas usus (mis. akibat iritasi kolon
oleh bakteri).
c. Bentuk
1) Normal
Silinder (bentuk rektun) dengan 2,5 cm u/ orang dewasa
2) Abnormal
Mengecil , bentuk pensil atau seperti benang
Penyebab : Kondisi obstruksi rectum
d. Jumlah
Normal Tergantung diet (100-400 gr/hari)
e. Bau
1) Normal Aromatik :dipengaruhi oleh makanan yang dimakan dan flora
bakteri.
2) Abnormal
Tajam, pedas Penyebab : infeksi, perdarahan
f. Unsure pokok
1) Normal Sejumlah kecil bagian kasar makanan yang tidak dicerna,
potongan bakteri yang mati, sel epitel, lemak, protein, unsur-unsur
kering cairan pencernaan (pigmen empedu dll)
2) Abnormal
a) Pus (infeksi bakteri )
b) Mukus (kondisi peradangan)
c) Parasit (perdarahan gastrointestinal)
d) Darah (malabsorbsi)
e) Lemak dalam jumlah besar (salah makan)
f) Benda asing

34
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan diare berkepanjangan
2. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan
a. Diare berkepanjangan
b. Inkontinensia fekal
3. Harga diri rendah berhubungan dengan
a. Inkontinensia fekal
b. Perlunya bantuan untuk toileting
4. Defisit pengetahuan tentang bowel training

C. INTERVENSI
1. Diagnosa 1
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diare
berkepanjangan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan
seimbang
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
a. Awasi TTV
R : Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume
intravascular, khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk
b. Catat pemasukan dan pengeluaran
R : Untuk menentukan fungsi usus, kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan cairan yang keluar melalui feses.
c. Catat karakteristik
R : feses yang cair
d. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
R : membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan
rasa haus
e. Timbang tiap hari
f. R : untuk mengawasi status cairan.

2. Diagnose 2

35
Resiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan inkontinensia
fekal
Kriteria Hasil: Pasien akan mempertahankan integritas kulit
Intervensi
a. Kaji kulit tiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi dan sensasi
R : Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
b. Pertahankan dalam higiene kulit, misalnya membasuh kemudian
mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan
menggunakan lotion atau krim.
R : Mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi
barier infeksi. Pembasuhan kulit kering sebagai ganti menggaruk
menurunkan resiko trauma dermal pada kulit yang kering/rapuh. Masase
meningkatkan sirkulasi kulit dan meningkatkan kenyamanan.
c. Pertahankan sprei bersih dan tidak berkerut
R : friksi kulit disebabkan oleh kain yang berkerut dan basah yang
menyebabkan iritasi dan potensial terhadap infeksi
d. Gunting kuku secara teratur
R : Kuku yang panjang/kasar meningkatkan resiko kerusakan dermal.

3. Diagnose 3
Resiko tinggi terhadap isolasi sosial yang berhubungan dengan rasa malu
tentang inkontinensia di depan orang lain.
Kriteria Hasil.
Klien akan:
Mengekspresikan keingingan untuk bersosialisasi, Menunjukkan maksud
untuk membuat atau meningkatkan pola sosialisasi
Intervensi
a. Akui frustasi klien dengan inkontinensia
R : Bagi klien, inkontinensia dapat tampak seperti kembali keadaan seperti
bayi dimana ia tidak mempunyai kontrol terhadap fungsi tubuhnya dan
merasa diasingkan oleh orang lain. Pengakuan kesulitan situasi dapat
membantu mengurangi perasaan frustasinya.

36
b. Tentukan kemampuan klien untuk mengikuti pelatihan untuk mengatasi
inkontinensia fesef
R : Tindakan ini dapat meningkatkan kontrol dan mengurangi rasa takut
terhadap cedera.
c. Ajarkan klien cara untuk mengontrol masalah inkontinensia
R : dengan membantu klien dengan mengatasi inkontinensiia akan
mendorong sosialisasi
d. Berikan dorongan klien untuk melakukan sosialisasi keluar dalam waktu
singkat pada awalnya, kemudian meningkatkan lamanya kontak sosial bila
sukses pada penanganan peningkatan inkontinensia.
R : Perjalanan singkat membantu klien secara bertahap meningkatkan
percaya diri dan mengurangi rasa takutnya.

4. Defisit pengetahuan tentang bowel training, manajemen ostomy berhubungan


dengankurangnyapengalaman
Tujuan : pasien mengetahui cara latihan bowel training
Intervensi
a. Berikan pengetahuan tentang latihan bowel training pada pasien
R : Latihan bowel training dapat membantu untuk menangani inkontinensia
urine dengan melatih otot anus/rectum
b. Berikan latihan / aktivitas rutiin kepada klien
R : Latihan yang rutin dappat membantu klien menangani masallah
inkontinensia alvi

D. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan yang telah dibuat.

E. EVALUASI
a. Asupan cairan dan diet klien sudah tepat
b. Harga diri pasien kembali normal
c. Klien dan keluarga memahami instruksi tentang training bowel

37
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine merupakan keluahan yang banyak dijumpai pada lanjut
usia. Prevalensinya meningakat dengan bertambahnya umur, lebih banyak didapatkan
pada wanita. Inkontinensia alvi lebih jarang ditemukan dibanding inkontinensia urine.
Defekasi, seperti halnya berkemih, adalah proses fisiologik yang melibatkan
koordinasi sistem saraf, respon refleks, kontraksi otot polos, kesadaran cukup serta
kemampuan mencapai tempat buang air besar. Perubahan-perubahan akibat proses
menua dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia, tetapi inkontinensia alvi bukan
merupakan sesuatu yang normal pada lanjut usia.  Inkontinensia keadaan dimana
pengeluaran urin atau feses tanpa disadari, dalam batas dan yang cukup sehigga
mengakibatkan masalah gangguan kesehatan kesehatan atau social. Inkontinensia
urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau
terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan inflamasi
( sistitis ), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun , jika kejadian ini timbul karena
kelainan neurologis yang serius ( paraplegia ), kemungkinan besar bersifat permanen.

B. Saran
1. Kurangi aktitas yang benar seperti mengangkat benda yang berat
2. Buatlah jadwal ketika ingin berkemih
3. Lakukan latihan bowel training inkontinensia alvi
4. Ketika merasakan sensasi ingin BAK/BAB segeralah ke toilet
5. Lakukan latihan blaidder training pada inkontinensia uri

38
DAFTAR PUSTAKA

Darmojo B. 2009. Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi Keempat. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Proses Dan Praktik.
Ed. 4. Jakarta: EGC.
Rochani. 2002. Penduduk Indonesia Idap Inkontinensia Urin. Diakses dari
http://www.pdpersi.co.id  pada tanggal 14 Juni 2015.
Taylor, Cynthia M. 2010. Diagnose Keperawatan: dengan Rencana Asuhan. Jakarta:
EGC.
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal  pada
tanggal 14 April 2020

39

Anda mungkin juga menyukai