Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN INKONTINENSIA URINE

DISUSUN OLEH KELOMPOK 7

NADELLA AULIANINGTYAS
( P031814401020 )
NUR SYAKILA ERBELA
( P031814401024 )
SALWATI ANGGRAINI
( P031814401032 )

POLTEKKES KEMENKES RIAU


D III KEPERAWATAN TK.3A
TA 2020-2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Inkontinensia Urine” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “keperawatan medikal
bedah II” Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
“Inkontinensia Urine” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembibing yang telah


memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang penulis pelajari. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari, makalah yang penulis tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru,19 Agustus 2020

TIM PENULIS

ii
DAFTAR ISI

COVER …………………………………..……i
KATA PENGATAR …………………………………..……ii
DAFTAR ISI ……………………………………..…iii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………..1
1.1 Latar Belakang ……………………………………..…1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………..2
1.3 Tujuan Penulis ………………………………………..3
1.3.1 Tujuan Umum …………………………………..……3
1.3.2 Tujuan Khusus …………………………………..……3
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………..…4
2.1 Konsep Medik ……………………………………..…4
2.1.1 Pengertian Inkontinensia Urine ……………………………………..…4
2.1.2 Anatomi dan fisiologi inkontinensia urine ………………………………..………4
2.1.3 etiologi inkontinensia urine …………………………………..……8
2.1.4 patofisiologi inkontinensia urine …………………………………..……10
2.1.5 patoflowdiagram inkontinensia urine …………………………………..……11
2.1.6 Manifesatasi Klinis ……………………………………..…12
2.1.7 Komplikasi Inkontinensia urine ……………………………………..…13
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik Inkontinensia Urine ………………………………………..13
2.1.9 Penatalaksanaan Inkontinensia Urine ………………………………………..15
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan ………………………………………..16
2.2.1 Pengkajian Keperawatan ………………………………………..16
2.2.2 Diagnoosa Keperawatan ………………………………………..18
2.2.3 Intervensi Keperarwatan ………………………………………..19
2.2.4 Impelemtasi Keperawatan ………………………………………..20
2.2.5 Evalausi Keperarwatan ……………………………………..…20
BAB III PENUTUP ……………………………………..…22
3.1 Kesimpulan ………………………………..………22
3.2 Saran …………………………………..……22
DAFTAR ISI …………………………………..……23

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing.
Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada
yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan
otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah
menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-
kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan
kontinensia urine yang baik. Dalam proses berkemih secara normal, seluruh
komponen sistem saluran kemih bawah yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter
uretra eksterna berfungsi secara terkordinasi dalam proses pengosongan maupun
pengisian urin dalam buli-buli. Secara fisiologis dalam setiap proses miksi
diharapkan empat syarat berkemih yang normal terpenuhi, yaitu kapasitas buli-
buli yang adekuat, pengosongan buli-buli yang sempurna, proses pengosongan
berlangsung di bawah kontrol yang baik serta setiap pengisian dan pengosongan
buli-buli tidak berakibat buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan ginjal. Bila
salah satu atau beberapa aspek tersebut mengalami kelainan, maka dapat timbul
gangguan miksi yang disebut inkontinensia urin
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati.
Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami
gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan
berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15
tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun
mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65
tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu
mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.

5
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres,
artinya keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain
dan jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan
keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga
sebelum mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis
inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada kandung kemih.
Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai
penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering
didapati inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Konsep Medik
a. Pengertian Inkontinensia Urine
b. Anotomi Dan Fisiologi Inkontinensia Urine
c. Etiologi Inkontinensia Urine Inkontinensia Urine
d. Patofisiologi Inkontinensia Urine
e. Patoflowdiagram Inkontinensia Urine
f. Manifestasi Klinis Inkontinensia Urine
g. Komplikasi Inkontinensia Urine
h. Pemeriaksaan Diagnostik Inkontinensia Urine
i. Penatalaksanaan Medis Inkontinensia Urine
2. Konsep Asuhan Keperawatan
a. 1Pengkajian
b. Diagnosa keperawatan
c. Intervensi keperawatan
d. Implementasi Keprawatan
e. Evaluasi Keperawatan

6
1.3 Tujuan Penulis
1.3.1Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan medikal bedah II
mahasiswa semester 5 dapat mengerti dan memahami konsep teori dan asuhan
keperawatan pada klien dengan inkontenensia urine dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Konsep Medik
a. Pengertian Inkontinensia Urine
b. Anotomi Dan Fisiologi Inkontinensia Urine
c. Etiologi Inkontinensia Urine Inkontinensia Urine
d. Patofisiologi Inkontinensia Urine
e. Patoflowdiagram Inkontinensia Urine
f. Manifestasi Klinis Inkontinensia Urine
g. Komplikasi Inkontinensia Urine
h. Pemeriaksaan Diagnostik Inkontinensia Urine
i. Penatalaksanaan Medis Inkontinensia Urine
2. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
b. Diagnosa keperawatan
c. Intervensi keperawatan
d. Implementasi Keprawatan
e. Evaluasi Keperawatan

7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Medik
2.1.1 pengertian Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine (iu) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai
bahasa awam  merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut
usia. Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam
jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah
gangguan kesehatan dan sosial. Variasi dari inkontinensia urin meliputi
keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan
terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses)
(brunner, 2011)
inkontinensia urin (iu) oleh international continence society (ics)
didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau
dikontrol; secara objektif dapat diperlihatkan dan merupakan suatu masalah
sosial atau higienis. Hal ini memberikan perasaan tidak nyaman yang
menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial, psikologi, aktivitas
seksual dan pekerjaan. Juga menurunkan hubungan interaksi sosial dan
interpersonal. Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten.
Inkontinensia urin yang bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau
masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi saluran kemih, gangguan
kesadaran, vaginitis atrofik, rangsangan obat–obatan dan masalah
psikologik.

2.1.2 Anatomi dan fisiologi inkontinensia urine


1. Ginjal
Ginjal suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum
abdominalis di belakang peritonium pada kedua sisi vertebra lumbalis
III, melekat langsung pada dinding belakang abdomen. Bentuk ginjal

8
seperti biji kacangm jumlahnya ada dua buah kiri dan kanan, ginjal kiri
lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih
panjang dari ginjal wanita. Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis
yang disebut kapsula renalis yang terdiri dari jaringan fibrus berwarna
ungu tua. Lapisan luar terdapat lapisan korteks (substansia kortekalis),
dan lapisan sebelah dalam bagian medulla (substansia medularis)
berbentuk kerucut yang disebut renal pyramid. Puncak kerucut tadi
menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla
renalis. Masing-masing pyramid saling dilapisi oleh kolumna renalis,
jumlah renalis 15-16 buah.
Pada setiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron, selama 24
jam dapat menyaring darah 170 liter. Arteri renalis membawa darah
murni dari aorta ke ginjal, lubang-lubang yang terdapat pada pyramid
renal masing-masing membentuk simpul dan kapiler satu badan malfigi
yang disebut glomerolus. Pembutuh aferen yang bercabang mebentuk
kapiler menjadi vena renalis  yang membawa darah drai ginjal ke vena
kava inferior.
2. Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa, masing-masing bersambung dari ginjal
ke kandung kemih (vesika urinaria), panjangnya kurang lebih 25-30 cm,
dengan penampang kurang lebih 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam
rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. lapisan sebelah dalam lapisa mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic tiap 5
menit sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung
kemih (vesika urinaria). Gerakan peristaltic mendorong urine melalui

9
ureter yang diekskresikan oleh ginjal dan disemprotkan dalam bentuk
pancaran, melalui osteum uretralis masuk ke dalam kandung kemih.
Ureter berjalan hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia muskulus
psoas dan dilapisi oleh peritoneum. Penyempitan ureter terjadi pada
tempat ureter meninggalkan pelvis renalis, pembuluh darah, saraf, dan
pembuluh limfe berasal dari pembuluh sekitarnya mempunyai saraf
sensorik. Pars abdominalis ureter dalam kavum abdomen ureter terletak
di belakang peritonium sebelah media anterior  m. psoas mayor dan
ditutupi oleh fasia subserosa. Vasa spermatika/ovarika interna
menyilang ureter secar oblique, selanjutnya ureter akan mencapai kavum
pelvis dan menyilang arteri iliaka ekte Ureter kanan terletak pada pars
desendens duodenum. Sewaktu tururn ke bawah terdapat di kanan
bawah dan disilang oleh kolon dekstra dan vosa iliaka iliokolika, dekatt
apertum pelvis akan dilewati oleh bagian bawah mesenterium dan
bagian akhir ilium. Ureter kiri disilang oleh vasa koplika sisintra dekat
aperture pelvis superior dan berjalan di belakang kolon sigmoid dan
mesenterium.       
Ureter pada pria terdapat di dalam visura seminalis atas dan
disilang oleh duktus deferens dan dikelilingi oleh pleksus vesikalis.
Selanjutnya ureter berjalan obloque sepanjang 2 cm di dalam dinding
vesika urinaria pada sudut lateral dari trigonum vesika. Sewaktu
menembus vesika urinaria, dinding atas dan dinding bawah ureter akan
tertutup dan pada waktu vesika urinaria penuh akan membentuk katup
(valvula) dan mencegah pengembalian dari vesika urinaria.
Ureter pada wanita terdapat di belakang fossa ovarika dan berjalan
ke bagian medial dan ke depan bagian lateralis serviks uteri bagian atas,
vagina untuk mencapai fundus vesika urinaria. Dalam perjalanannya,
ureter didampingi oleh arteri uterine sepanjang 2,5 cm dan selanjutnya
arteri ini menyilang ureter dan menuju ke atas di antara lapisan
ligamentum.

10
3. Vesika Urinaria
Vesika urinaria (kandung kemih) dapat mengembang dan
mengempis seperti balon karet, terletak di belakang simfisis pubis di
dalam rongga panggul. Bentuk kandung kemih seperti kerucut yang
dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan dengan ligamentum vesika
umbilicus medius. Bagian vesika urinaria terdiri dari:
a. Fundus yaitu, bagian yang menghadap kea rah belakang dan bawah,
bagian ini terpisah dari rectum oleh spatium rectovesikale yang terisi
oleh jaringan ikat duktus deferen, vesika seminalis, dan prostat
b. Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus.
c. Verteks, bagian yang memancung ke arah muka dan berhubungan
dengan ligamentum vesika umbilikalis.
Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium),
tunika muskularis (lapisan otot), tunika submukosa, dan lapisa mukosa
(lapisan bagian dalam). Pembuluh limfe vesika urinaria mengalirkan
cairan limfe ke dalam nodi limfatik iliaka interna dan eksterna.
4. Uretra
a. Uretra pria
Pada laki-laki ureta berjalan berkelok-kelok melalui tengah-
tengah prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus
tulang pubis ke bagian penis panjangnya kurang lebih 20 cm. Uretra
pada laki-laki terdiri dari:
- Uretra prostatia
- Uretra membranos
- Uretra kavernosa
Lapisan uretra laki-laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan paling
dalam), dan lapisan submukosa. Uretra pria mulai dari orifisium

11
uretra interna di dalam vesika urinaria sampai orifisium uretra
ekterna. Pada penis panjangnya 17,5-20 cm

b. Uretra wanita
Uretra pada wanita, terletak di belakang simfisis pubis berjalan
miring sedikitke arah atas, panjangnya kurang lebih 3-4 cm. Lapisan
uretra wanita terdiri dari tunika muskularis (sebelah luar), lapisan
spongiosa merupakan pleksusu dari vena-vena, dan lapisan mukosa
(lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada wanita terletak di sebelah
atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan urtra di sini hanya
sebagai saluran ekskresi. Apabila tidak berdilatsi diameternya hanya
6 cm. uretra ini menembus fasia diafragma urogenitalis dan
orifisium eksterna langsung di depan permukaan vagina, 2,5 cm di
belakang gland klitoris. Glandula uretra bermuara ke uretra, yang
terbesar diantaranya adalah glandula pars uretralis (skene)
yang  bermuara ke dalam orifisium uretra yang hanya berfungsi
sebagai saluran ekskresi.
Diafragma urogenitalis dan orifisium eksterna langsung di
depan permukaan vagina dan 2,5 cm di belakang gland klitoris.
Uretra wanita jauh lebih pendek daripada uretra pria dan terdiri
lapisan otot polos yang diperkuat oleh sfingter otot rangka pada
muaranya penonjolan berupa kelenjar dan jarongan ikat fibrosa
longgar yang ditandai dengan banyak sinus venosa mirip jaringan
kavernosus.

2.1.3 Etiologi inkontinensia urine


a. Kelainan traktus urinearius bagian bawah
Infeksi, obstruksi, kontraktiltas kandung kemih yang berlebihan,
defisiensi estrogen,kelemahan sfingter, hipertropi prostat
b. Usia

12
Seiring bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi
dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau
batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air
seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding
kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit,
sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
c. Kelainan neurologis
Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel
sklerosis), medula spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma,
multipel sklerosis), dan persarafan perifer (diebetes neuropati, trauma
saraf).
d. Kelainan sistemik
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab
produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai.
Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik,
trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus
diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.
e. Kondisi fungsional
Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar
panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak
akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir,
sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine.
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia
menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina
dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya

13
inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau
kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan
struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
f. Efek samping pengobatan
Diuretik, antikolionergik, narkotika, kalsium chanel bloker,
inhibitor kolinestrase.

2.1.4 Patofisiologi inkontinensia urine


Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit
infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya
perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat
permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifattemporer pada
wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat
terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi
pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan
masalah bagi lanjut usia.
a. Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan
sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
b. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin
dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih
c. Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia10 tahun
mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua
merupakan sesuatu yan abnormal dan menunjukkan adanya kandung
kemih yang tidak stabil.
d. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancaran
lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi
abdominoperineal), fistula (menetes terus menerus), penyakit

14
neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik
(misalnya diabetes) dapat menunjukkan penyakit yang mendasari.

2.1.5 Patoflowdiagram Inkontinensia urine

15
2.1.6 Manifesatasi klinik inkontinensia urine

16
1. Sering berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari
normal bila di bandingkan denga pola yang lazim di miliki seseorang
atau lebih sering dari normal yang umumnya di terima, yaitu setiap 3-6
jam sekali.
2. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam
waktu 24 jam.
3. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
4. Urgensi yaitu keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih
walaupun penderita belum lama sudah berkemih dan kandung kemih
belum terisi penuh seperti keadaan normal.
5. Urge inkontinensia yaitu dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan
tidak dapat ditahan sehingga kadang–kadang sebelum sampai ke toilet
urine telah keluar lebih dulu.
Orang dengan inkontinensia urine mengalami kontraksi yang tak teratur
pada kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus miksi. Urge
inkontinensia merupakan gejala akhir pada inkontinensia urine.  Jumlah
urine yang keluar pada inkontinensia urine biasanya lebih banyak daripada
kapasitas kandung kemih yang menyebabkan kandung kemih berkontraksi
untuk mengeluarkan urine. Pasien dengan inkontinensia urine pada mulanya
kontraksi otot detrusor sejalan dengan kuatnya keinginan untuk berkemih,
akan tetapi pada beberapa pasien mereka menyadari kontraksi detrusor ini
secara volunter berusaha membantu sfingter untuk menahan urine keluar
serta menghambat kontraksi otot detrusor, sehingga keluhan yang menonjol
hanya urgensi dan frekuansi yaitu lebih kurang 80 %. Nokturia hampir
ditemukan 70 % pada kasus inkontinensia urine dan simptom nokturia
sangat erat hubungannya dengan nokturnal enuresis. Keluhan urge
inkontinensia ditemukan hanya pada sepertiga kasus inkontinensia urine.

2.1.7 Komplikasi inkontinensia urine

17
Penderita dengan penyakit inkontinensia urine biasanya dapat
menyebabkan antara lain :
a. infeksi saluran kemih
b. ulkus pada kulit
c. problem tidur
d.  depresi dan kondisi medis lainnya. 

2.1.8 Pemeriksaan diagnostik inkontinensia urine


1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu
dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan
inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe
inkontinensia. Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan
cara : Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui
kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila
sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
Urinalisis Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk
mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya
inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan
proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal
didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah : Tes laboratorium
tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium
glukosa sitology
2.  Uji urodinamik
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat
mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan
fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau
kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga
dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih
penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika

18
sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin
seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat
pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung
kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
3. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. Menurut
National Women’s Health Report, diagnosis dan terapi inkontinensia
urine dapat ditegakkan oleh sejumlah pemberi pelayanan kesehatan, termasuk
dokter pada pelayanan primer, perawat, geriatris, gerontologis, urologis,
ginekologis, pedriatris, neurologis, fisioterapis, perawat kontinensia, dan
psikolog. Pemberi pelayanan primer dapat mendiagnosis inkontinensia
urine dengan pemeriksaan riwayat medis yang lengkap dan menggunakan
tabel penilaian gejala. Tes yang biasanya dilakukan adalah urinealisa (tes
urine untuk menetukan apakah gejalanya disebabkan oleh inkontinensia urine,
atau masalah lain, seperti infeksi saluran kemih atau batu kandung kemih).
Bila urinealisa normal, seorang pemberi pelayanan primer dapat menentukan
untuk mengobati pasien atau merujuknya untuk pemeriksaan gejala lebih
lanjut. Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik yang terfokus pada saluran
kemih bagian bawah, termasuk penilaian neurologis pada tungkai dan
perineum, juga diperlukan. Sebagai tambahan , pasien dapat diminta untuk
mengisi buku harian kandung kemih (catan tertulis intake cairan, jumlah dan
seringnya buang air kecil, dan sensasi urgensi) selama beberapa hari untuk
mendapatkan data mengenai gejala. Bila setelah langkah tadi diagnosis
definitif masih belum dapat ditegakkan, pasien dapat dirujuk ke spesialis
untuk penilaian urodinamis. Tes ini akan memberikan data mengenai tekanan/
volume dan hubungan tekanan/ aliran di dalam kandung kemih. Pengukuran
tekanan detrusor selama sistometri digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis overaktifitas detrusor.
2.1.9 Penatalaksanaan Medis Inkontinensia urine

19
1. Terapi non farmakologis
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang
interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga
frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan
keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan
untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih
setiap 2-3 jam.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
2. Terapi farmakologis
 Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis,
yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.Pada sfingter
relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik
antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi
diberikan secara singkat.
3. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress
dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak
berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).

4. Modalitas lain

20
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah
pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
a. Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi
dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia
urin. Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah
seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung
pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi
lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal,
dan alergi.
b. Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin
karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi
pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter
sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk
mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien
yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini
juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan


2.2.1Pengkajian Keperawatan
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa
medis.

2. Riwayat kesehatan

21
- Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan),
masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran jumlah
cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan
diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah
terjadi ketidakmampuan.
- Riwayat kesehatan dahulu.
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya,
riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
- Riwayat kesehatan keluarga.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia.
4. Pemeriksaan Sistem
a. B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
b. B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah

c. B3 (brain)

22
Kesadaran biasanya sadar penuh
d. B4 (bladder)
- Inspeksi:
Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam
kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi
pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus
uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan
disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya.
- Palpasi
Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa
terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu
kencing.
e. B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
f. B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.

2.2.2 Diagnosa keperawatan


a. Gangguan eliminasi urine b/d gangguan sensori motor.
b. Gangguan citra tubuh b/d kehilangan fungsi tubuh, perubahan
keterlibatan sosial.
c. Ansietas b/d perubahan dalam status kesehatan

2.2.3 Intervensi Keperawatan

23
Intervensi
Diagnosa Criteria hasil berdasarkan keperawatan
Aktivitas NIC
keperawatan NOC berdasarkan
NIC
1.Gangguan Urinary contiunence Urinary 1. Lakukan penilaian kemih
eliminasi Kriteria Hasil: retention care yang komprehensif berfokus
urine b/d 1. Kandung kemih kosong pada inkontinensia(misalnya,
gangguan secara penuh. output urin, pola berkemih,
sensori motor 2. Tidak ada residu urine fungsikognitif)
>100-200 cc. 2. Pantau penggunaan obat
3. Intake cairan dalam dengan sifat antikolinergik
rentang normal. 3. Memantau intake dan output
4. Balance cairan 4. Memantau tingkat distensi
seimbang. kandung kemih dengan palpasi
atau perkusi
5. Bantu dengan toilet secara
berkala
2. Ganggua Body image Body image 1. kaji secara verbal dan non
n citra tubuh Kriteria Hasil: enhancement verbal respon klien terhadap
b/d 1. Body image positif tubuhnya
kehilangan 2. Mampu 2.   jelaskan tentang pengobatan
fungsi tubuh, mengidentifikasi kekuatan dan perawatan penyakit
perubahan personal 3.  identifikasi arti pengurangan
keterlibatan 3.Mendeskripsikan secara melalui pemakaian alat bantu.
sosial. factual perubahan fungsi 4. Fasilitasi kontak dengan
tubuh individu lain dalam kelompok
4. Mempertahankan lain
interaksi sosial
3. Ansietas Anxiety self control Anxiety 1.Gunakan pendekatan yang
b/d Kriteria hasil: reduction menenangkan.
perubahan 1. klien mampu (penurunan 2. Jelaskan semua prosedur dan

24
dalam status mengidentifikasi dan kecemasan) apa yang dirasakan selama
kesehatan mengungkapkan gejala prosedur.
cemas. 3.Pahami prespektif klien
2. Mengidentifikasi, terhadap situasi stress.
mengungkapakan dan 4. Temani pasien untuk
menunjukkan teknik memberikan keamanan dan
untuk mengontrol cemas. mengurangi takut.
3. Postur tubuh, ekspresi 5.Dorong keluarga untuk
wajah, bahasa tubuh dan menemani pasien.
tingkat aktifitas
menunjukkan
berkurangnya kecemasan.

2.2.4Implementasi keperawatan
Pelaksanaan asuahan keperawatan merupakan radiasi dari pada rencana
tindakan keperawatan setelah di terapkan. Meliputi tindakan independent,
dependent, dan interpendent pada pelaksanaan teridir dari beberapa
kegiatan, validasi, rencana keperawatan mendokumentasikan rencana
keperawatan membnerikan asuhan keperawatan dan pengumpulan data.
( susan martin, 19998 ).

2.2.5 Evaluasi keperawatan


Evaluasi adalah hasil akhir dari proses keperawatan dilakukan untuk
mengetahui sampai dimana keberhasilan tindakan yang diberikn sehingga
dapat menemukan intervensi yang akan dilanjutkan ( susan martin, 1998 ).

BAB III
PENUTUP

25
3.1 Kesimpulan
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika Inkontinensia urin terjadi akibat
kelainan inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun, jika
kejadian ini timbul karena kelainan neurologi yang serius (paraplegia),
kemungkinan besar sifatnya akan permanent (Brunner & Suddarth, 2002. hal:
1471). Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin
saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia
alvi (disertai pengeluaran feses). Inkontinensia urine lebih sering terjadi pada
wanita yang sudah pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan
(nulipara). Hal ini terjadi karena adanya perubahan otot dan fasia di dasar
panggul. Dari pengkajian yang dilakukan pada klien maka prioritas diagnosa
keperawatan pada kasus diatas adalah:
1. Inkontinensia urine stress berhubungan dengan tekanan intraabdomen tinggi
ditandai dengan -melaporkan rembesan involunter sedikit urine pada saat
tertawa, bersin, dan batuk Q tip test diketahui penyimpangan >35
2. Ketidakseimbangan nutrisi > kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan
berlebihan dalam kaitannya dengan kebutuhan metabolic ditandai dengan
berat badan 20% di atas tinggi dan kerangka tubuh ideal (TB : 144 cm, BB :
70 kg, BMI : 33,75 kg)
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan ditandai
dengan perasaan tidak nyaman dan ketakutan

3.2 Saran
a. Bagi Mahasiswa

26
Diharapkan mahasiswa agar dapat meningkatkan pengetahuannya
tentang macam-macam penyakit terutama pada system urinarius dan juga
meningkatkan kemampuan dalam pembuatan asuhan keperawatan pada pasien
khususnya dengan inkontinensia
b. Bagi perawat
Diharapkan bagi perawat agar dapat meningkatkan keterampilan dalam
memberikan asuhan keperawatan serta pengetahuannya sehingga dapat
memberikan asuhan keperawatan yang optimal terkhususnya pada pasien
inkontinensia.
c. Bagi Dunia keperawatan
Meningkatkan profesionalitas sebagai seorang perawat sehingga
diharapkan asuhan keperawatan ini dapat terus diperbaiki kekurangannya dan
dapat menambah pengetahuan yang lebih baik bagi dunia keperawatan, serta
dapat diaplikasikan untuk mengembangkan kompetensi dalam keperawata

DAFTAR PUSTAKA

27
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta :
Salemba Medika.

Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI.

Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan


proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Nanda. 2009. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC

Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Proses dan praktik.


Ed. 4. Jakarta: EGC

Rochani. (2002). Penduduk indonesia idap inkontinensia urin. Diakses dari


http://www.pdpersi.co.id pada tanggal 19 Mei 2014

Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta : Salemba


Medika

28

Anda mungkin juga menyukai