Anda di halaman 1dari 11

Inkontinensia urin

Pendahuluan
Inkontinensia urin merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia.
Seperti halnya dengan keluhan pada suatu penyakit, bukan merupakan diagnosis, sehingga
perlu dicari penyebabnya. Batasan inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) yang
bervariasi jumlahnya tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga
rnengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial. Inkontinensia dapat merupakan
faktor tunggal yang menyebabkan seorang lanjut usia dirawat, karena sudah tidak teratasi
oleh penderita sendiri maupun keluarga/orang yang merawatnya. Kebanyakan penderita
menganggap inkontinensia urin adalah akibat yang wajar dari proses usia lanjut, dan tidak
ada yang dapat dikerjakan kecuali dengan tindakan pembedahan dan umumnya orang tidak
menyukai tindakan ini.
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya
keluarnya urin semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang
ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi mendadak.
Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita
telah membasahkan celananya. Sering didapati inkontinensia stres dan desakan secara
bersamaan.1
Anamnesis
Anamnesa adalah riwayat kesehatan dari seorang pasien dan merupakan informasi
yang diperoleh dokter dengan cara menanyakan pertanyaan tertentu, dan pasien dapat
memberikan jawaban yang sesuai. Jika tidak bisa mendapatkan anamnesis yang jelas dari
pasien (autoanamnesa), kita bisa menanyakannya pada kerabat pasien yang tahu secara persis
keadaan pasien (alloanamnesa).
Dari hasil anamnesa yang dilakukan, kita bisa mendapatkan beberapa informasi
penting, yaitu:
1. Pasien : wanita 70 tahun
2. Keluhan utama : tidak dapat menahan kencing
3. Riwayat penyakit sekarang (RPS) :

a. Faktor pemburuk : nyeri sendi lutut sehingga sebelum sampai ke WC sering


ngompol dan batuk tertawa juga ngompol.
4. Riwayat pribadi dan sosial : pasien tidak mau keluar rumah (malu).
Diagnosis Banding
1. Inkontinensia Urine Tipe Urgensi. Pengeluaran urin involunter yang disebabkan oleh
dorongan dan keinginan mendadak untuk berkemih. Hal ini berkaitan dengan
kontruksi detrusor secara involunter. Penyebabnya adalah gangguan neurologik
(misalnya stroke, sklerosis multipel) serta infeksi saluran kemih.2
2. Inkontinensia Urine Tipe Stress. Pengeluaran urin involunter selama batuk, bersin,
tertawa, atau peningkatan tekanan intraabdomen lainnya. Paling lazim terjadi pada
wanita setelah usia setengah baya.2
3. Inkontinensia Urine Tipe Overflow. Pengeluaran urin involunter akibat distensi
kandung kemih yang berlebihan. Dapat disertai dengan kandung kemih yang kurang
aktif, obstruksi jalan keluar kandung kemih (seperti tumor, hipertrofi prostat), obatobatan (seperti diuretik) atau defisiensi vitamin B12.2
4. Inkontinensia Urine Tipe Fungsional. Imobilitas, defisit kognitif atau daya kembang
kandung kemih yang buruk.2
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen, vaginal, pelvis,
rektal dan penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa didapatkan distensi kandung
kemih.
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan demikian adalah
cotton swab test, pad test, paper towel test dan stress testing. Cotton Swab Test biasanya
digunakan untuk menilai mobilitas uretral pada wanita. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
memasukan cotton swab lubrikasi steril ke dalam uretra hingga masuk ke kandung kemih.
Kemudian cotton swab ditarik hingga sekitar leher kandung kemih. Wanita dengan keadaan
lantai pelvis normal akan menunjukkan cotton swab yang membentuk sudut nol derajat
dengan lantai rata. Kemudian pasien diminta untuk mengkontraksikan ototnya seperti saat
menahan pada saat ingin berkemih dan perubahan sudut yang diharapkan adalah kurang dari
30 derajat. Apabila lebih dari 30 derajat maka pemeriksan ini menunjukkan adanya
hipermobilitas uretra yang merupakan salah satu penyebab inkontinensia urin.3
Pad Test biasanya dilakukan sebagai tes objektif untuk melihat apakah cairan yang
keluar adalah benar urin biasanya menggunakan agen pewarna seperti phenyl salicylate,
2

benzoic acid, atropine sulfate, methylene blue dan agen lainnya dan pasiennya menggunakan
bantalan seperti pampers kemudian melakukan aktivitas biasa dan kenaikan satu gram pada
bantalan tersebut mengindikasikan adanya satu mililiter urin. Test ini disebut negatif apabila
perubahan beratnya kurang dari satu gram. Pad Test tidak dilakukan pada wanita yang sedang
dalam fase menstruasi.3
Paper Towel Test merupakan uji dengan hasil yang cepat dan sesuai dengan berapa
banyak stress yang didapat hingga adanya urin yang keluar mengindikasikan inkontinensia
urin. Pasien diminta untuk batuk beberapa kali dengan menadahkan uretra ke arah tissue
toilet dan terdapat tetesan pada tissue toilet tersebut. Luas permukaan yang basah dapat
dihitung dan dapat mengindikasikan volume urin yang keluar akibat stress yang didapat.3
Stress Testing merupakan uji paling sensitif yang merupakan uji pelvis dengan
observasi langsung terhadap hilangnya urin dengan uji pemberian stress yakni batuk. Uji ini
dapat mengarah pada kesalahan apabila keadaan kandung kemih pasien sedang dalam
keadaan kosong. Prinsipnya, kandung kemih pasien dimasukkan air steril kira-kira 250
hingga 500 mL dan pasien diinstruksikan untuk batuk pada posisi litotomi. Apabila adanya
urin yang keluar berarti pasien tersebut terkena kondisi inkontinensia urin. Apabila tidak
maka dapat dilakukan pada posisi lain. Apabila hasil uji negatif pada pemeriksaan penunjang
cystometrogram maka pasien tersebut dapat didiagnosa menderita inkontinensia urin.3
Pemeriksaan Penunjang
Inkontinensia urin bukanlah merupakan suatu kasus gawat darurat. Inkontinensia urin
merupakan suatu keadaan abnormal. Tergantung dari wujud urin yang keluar, ada beberapa
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yakni urinalysis, urinary cytological studies,
serta cek serum elektrolit, kalsium, blood urea nitrogen dan kadar glukosa urin.3
Urinalysis dapat berguna untuk menghapuskan diagnosis banding seperti urinary
tract infection yang merupakan suatu reaksi inflamasi lokal yang dapat menyebabkan tidak
terhambatnya kontraksi kandung kemih akibat endotoksin yang diproduksi oleh bakteri yang
memiliki alpha-blocking effect pada sphincter uretra sehingga menurunkan tekanan
intrauretra yang kemudian berujung pada inkontinensia urin.3
Urinary cytological studies merupakan pemeriksaan untuk memeriksa eksistensi dari
karsinoma in situ pada kandung kemih yang dapat meningkatkan frekuensi dan urgensi dari
rasa ingin berkemih dan pada hasilnya dapat ditemukan mikroskopik hematuria. Sedangkan
uji cek serum blood urea nitrogen dan kadar glukosa dapat dilakukan terutama pada pasien
3

dengan diabetes atau poliurea dan polidipsia. Serta penurunan BUN dapat mengindikasikan
adanya penurunan masa otot yang dapat mengganggu fungsi renal.3
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan cystometry yang biasanya
dilakukan untuk mengevaluasi pengisian dan penyimpanan urin pada kandung kemih.
Cystometogram merupakan suatu hasil dari cystometry yang merupakan kurva dari
tekanan/volume intravesikal dengan cara pengisian kandung kemih dengan air steril atau
karbon dioksida pada laju infusi konstan sambil memonitor perubahan tekanan intravesikal.
Pasien harus menahan setiap rasa ingin berkemihnya selama pemeriksaan berlangsung.
Kontraksi muskulus detrusor yang melebihi 15 cmH 2O dianggap kondisi abnormal. Data
yang didapat pada grafik terdiri dari lima fase yakni sensasi propriosepsi, sensasi merasa
kandung kemih penuh, sensasi ingin berkemih, munculnya kontraksi muskulus detrusor
volunter dan kemampuan untuk menghentikan kontraksi muskulus detrusor. Kondisi negatif
dapat merupakan salah satu indikasi adanya inkontinensia urine.3
Pada pasien penderita inkontinensia urin terdapat 4 faktor yang dipercaya dapat
membantu diagnosis dari inkontinensia urin yakni diketahuinya pernah mengalami gangguan
miksi saat mendapatkan stress pada masa lalu, postvoid residual volume tidak melebihi 50
mL, hasil positif pada cough stress test dan kapasitas fungsional kandung kemih mencapai
400 mL. 15% pasien dengan inkontinensia urin hidup dengan muskulus detrusor yang tidak
stabil. Anamnesis merupakan suatu hal yang wajib dilakukan walaupun anamnesis bukanlah
suatu hal utama yang adekuat untuk menentukan basis terapi inkontinensia urin, seperti 0.91
untuk nilai sensitifitas dari inkontinensia urin tipe stress, tetapi hanya memiliki 0.51 poin
pada spesifitas dari inkontinensia urin tipe stress.3
Working Diagnosis
Dari hasil anamnesa, pasien wanita 70 tahun tersebut mengalami miksi involunter
sebelum sampai ke WC karena pasien tidak dapat berjalan dengan cepat akibat nyeri sendi
lutut yang dideritanya. Pasien juga ngompol pada saat tertawa atau batuk. Maka dapat
dibuatkan working diagnosis bahwa pasien mengidap Inkontinensia Urin Tipe Mixed et
causa Stress dan Urgensi.
Etiologi
Penyebab dari Inkontinensia Urin seperti pada kasus dapat terjadi akibat beberapa hal.
Pada wanita, penyebab umum terjadinya Inkontinensia urin adalah lemahnya sokongan dari
pelvis. Wanita dapat kehilangan support dari pelvis setelah melahirkan, operasi, ataupun
4

penyakit yang dapat melemahkan kekuatan jaringan atau juga setelah kehilangan esterogen
postmenopausal. Atau sebab yang kurang ditemui seperti defisiensi kekuatan sphincter
intrinsic utethra yang dapat terjadi karena proses penuaan, trauma pelvis, atau operasi seperti
histerektomi, urethropexy atau pubovaginal sling.4
Penuaan dapat menyebabkan inkontinensia akibat adanya pelemahan kekuatan
jaringan ikat, hipoesterogisme, peningkatan gangguan medis, peningkatan diuresis malam
hari. Obesitas, melahirkan, dan merokok dapat menyebabkan inkontinensia, bersama dengan
aktivitas musculus detrusor yang berlebihan yang masih belum diketahui sebabnya.4
Epidemiologi
Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin daripada laki-laki dengan
perbandingan 1,5 : 1. Survei yang dilakukan di Poliklinik Geriatri RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo (2003) terhadap 179 pasien geriatri didapatkan angka kejadian inkontinensia
urin stres pada laki-laki sebesar 20,5% dan pada perempuan sebesar 32,5 %.5
Penelitian lain yang dilakukan oleh Diokno dkk, pada perempuan usia lanjut di atas
60 tahun mendapatkan dari 1150 subyek yang dipilih secara random, 434 orang diantaranya
mengalami inkontinensia urin. Dari mereka yang mengalami inkontinensia urin 55,5%
merupakan inkontinensia urin tipe campuran, 26,7% merupakan inkontinensia urin tipe stres
saja, 9% dengan inkontinensia urin tipe urgensi saja, dan 8,8% dengan diagnosis lain.5
Patofisiologis
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali, sfingter
uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter dan disuplai oleh
saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di
bawah kontrol sistem saraf otonom (tidak sadar), yang mungkin dimodulasi oleh korteks
otak.5
Secara garis besar, proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum.
Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom, membawa informasi ke medula spinalis
sesuai pengisian kandung kemih. Tonus simpatik yang dipicu oleh noradrenalin menyebabkan
tonus parasimpatik terhambat, kontraksi sfingter (penutupan kandung kemih), dan relaksasi
otot detrusor, sehingga tidak terjadi proses miksi. Sebaliknya, ketika berkemih berlangsung,
tonus simpatik menurun dan peningkatan rangsang parasimpatik mengakibatkan kontraksi
kandung kemih. Semua proses ini berlangsung di bawah koordinasi dari pusat yang lebih
5

tinggi pada batang otak, otak kecil dan korteks serebri. Proses patologik yang mengenai
pusat-pusat ini misalnya stroke, sindroma Parkinson, demensia dapat menyebabkan
inkontinensia.5
Bila kandung kemih makin terisi dengan urin, sensasi syaraf diteruskan lewat
persyarafan pelvis dan medulla spinalis ke pusat-pusat sub-kortikal dan kortikal. Pusat subkortikal di ganglia basalis pada serebellum memerintahkan kandung kemih untuk relaksasi;
dengan demikian proses pengisian berlanjut tanpa orang mengalami sensasi untuk berkemih.
Bila proses pengisian berlanjut, perasaan regangan kandung kemih mencapai pusat
kesadaran, dan pusat kortikal (pada lobus frontal) bekerja menghambat pengeluaran urin.
Gangguan pada pusat-pusat di kortikal atau sub-kortikal ini akibat penyakit atau obat-obatan
dapat menurunkan kemampuan untuk menunda berkemih.5
Bila dikehendaki untuk berkemih, rangsang dari kortikal diteruskan lewat medulla
spinalis dan persyarafan pelvis ke otot-otot detrusor. Kerja kolinergik dari persyarafan pelvis
mengakibatkan kontraksi dari otot-otot detrusor. Gangguan pada aktivitas kolinergik dari
persyarafan pelvis ini berakibat penurunan kontraktilitas otot-otot detrusor. Otot-otot ini juga
mempunyai

reseptor

untuk

prostaglandin,

sehingga

obat-obat

yang

menghambat

prostaglandin dapat mengganggu kerja detrusor. Kontraksi kandung kemih juga tergantung
pada kerja ion kalsium, sehingga penghambat kalsium juga dapat mengganggu kontraksi
kandung kemih.5
Inervasi dari sfingter interna dan eksterna juga kompleks. Aktivitas alfa adrenergik
menyebabkan sfingter urethra berkontraksi. Karenanya obat-obat yang bersifat alfa adrenergik
agonis, misalnya pseudoefedrin, dapat memperkuat kontraksi sfingter. Sedangkan obat-obat
penghambat alfa misalnya terazozin dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi beta
adrenergik menyebabkan relaksasi sfingter urethra dan mengakibatkan kegagalan aktivitas
kontraksi dari obat-obat alfa adrenergik.5
Komponen lain dari mekanisme sfingter adalah hubungan anatomik antara urethra
dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter yang terkendali membutuhkan
sudut yang tepat antara urethra dan kandung kemih. Fungsi sfingter yang normal juga
tergantung dari posisi yang tepat dari urethra, sehingga peningkatan tekanan intra-abdominal
dapat secara efektif diteruskan ke urethra. Bila urethra dalam posisi yang tepat, urin tidak
akan keluar dengan mengejan, batuk, dan lain-lain gerakan yang meningkatkan tekanan dalam
perut.5
6

Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih menurun. Sisa urin
dalam kandung kemih, setiap selesai berkemih, cenderung meningkat dan kontraksi otot-otot
kandung kemih yang tidak teratur makin sering terjadi. Kontraksi-kontraksi involunter ini
ditemukan pada 40-75% orang lanjut usia yang mengalarni inkontinensia.
Pada wanita, menjadi lanjut usia juga berakibat menurunnya tahanan pada uretra dan
rnuara kandung kemih. Ini berkenaan dengan berkurangnya kadar estrogen dan melemahnya
jaringan otot-otot panggul karena proses melahirkan. Menurunnya pengaruh dari estrogen
pada lanjut usia, juga dapat menyebabkan vaginitis atropi dan urethritis sehingga terjadi
keluhan-keluhan disuri misalnya polakisuri dan dapat mencetuskan inkontinensia.
Pada pria, pembesaran kelenjar prostat pada saat lanjut usia, mempunyai potensi
untuk menyebabkan inkontinensia.
Penatalaksanaan
a. Non farmakologis
Terapi non farmakologis meliputi terapi suportif non spesifik (edukasi, manipulasi
lingkungan, pakaian dan pads tertentu) dan intervensi tingkah laku (latihan otot dasar
panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan.)
- Bladder training. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang
normal dengan teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari
atau 3-4 jam sekali. Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada interval waktu
tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya interval berkemih diperpanjang secara
bertahap sampai pasien ingin berkemih setiap 2-3 jam. Teknik ini terbukti bermanfaat
pada inkontinensia urgensi dan stres, namun untuk itu diperlukan motivasi yang kuat
dari pasien untuk berlatih menahan keluarnya urin dan hanya berkemih pada interval
-

waktu tertentu saja.5


Latihan otot dasar panggul. Terapi ini efektif untuk inkontinensia campuran. Latihan
dilakukan 3-5 kali sehari dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Latihan
dilakukan dengan melakukan kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul.
Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat meningkatkan
kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna. Sebelum pasien menjalani latihan,
harus dilakukan lebih dahulu pemeriksaan vagina atau rektum untuk menetapkan

apakah mereka dapat mengkontraksikan otot dasar panggulnya.5


Habit training memerlukan penjadwalan berkemih sesuai dengan jadwal berkemih
pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan pada inkontinensia urin tipe
fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh pasien.
7

Biofeedback therapy merupakan terapi yang bertujuan agar pasien mampu

mengontrol kontraksi involunter otot detrusor kandung kemihnya.5


b. Farmakologis
Terapi farmakologis telah dibuktikan mempunyai efek yang baik terhadap
inkontinensia urin tipe urgen dan stres. Obat-obat yang dipergunakan dapat digolongkan
menjadi: antikolinergik, antispasmodik, agonis adrenergik , dan estrogen tropikal.
- Anticholinergic Agents. Merupakan obat kelas pertama pada wanita yang menderita
inkontinensia urin tipe urgensi. Obat-obatan golongan ini menghalangi pengikatan
asetilkolin kepada reseptor kolinergik sehingga menekan kontraksi kandung kemih
involunter.

Dicyclomine

Hydrochloride

merupakan

obat

golongan

Agen

Antikolinergik sebagai relaksan otot polos dan masih diterima untuk pemberian
kepada wanita hamil. Pemberian obat ini dapat menurunkan kemampuan pasien
-

untuk mengemudi dan aktivitas berbahaya lain.5


Antispasmodic Drugs. Merupakan obat-obatan yang bekerja sebagai relaksan otot
polos kandung kemih dengan mengerahkan aksi spasmolitik ke otot polos kandung
kemih yang mengakibatkan meningkatnya kapasitas kandung kemih dan cukup
efektif untuk terapi farmakologis inkontinensia urin tipe urgensi. Oxy-butynin
Chloride merupakan obat yang paling umum digunakan. Merupakan obat golongan
antispasmodik

dengan

mekanisme

mengerahkan

efek

antispasmodik

dan

antimuskarinik ke otot polos sehingga menunda keiningan untuk berkemih,


meningkatkan kapasitas kandung kemih, dan menurunkan kontraksi involunter
-

sehingga menurunkan frekuensi dan keinginan berkemih.


Agonists Alpha-Adrenergic. Obat golongan ini meningkatkan resistensi sphincter
urethra interna untuk berelaksasi, sehingga sphincter urethra tetap berkontraksi
menyebabkan penurunan frekuensi inkontinensia tipe stress. Contoh obat golongan
ini adalah Pseudoephedrine Hydrochloride. Obat ini merupakan obat golongan
Dekongestan Sistemik yang merupakan agonis alfa-adrenergik dengan dosis 60mg
bertahan selama 6 hari dan 120mg bertahan selama 12 hari. Penggunaan pada wanita

hamil belum diketahui efeknya.


c. Pembedahan
Tindakan operasi dilakukan pada wanita dengan inkontinensia tipe stres yang tidak
membaik dengan penanganan konservatif harus dilakukan upaya operatif. Tindakan
pembedahan yang paling sering dilakukan adalah ileosistoplasti dan miektomi detrusor.
Pembedahan yang dilakukan untuk inkontinensia tipe stres adalah injectable
intraurethral bulking agents, urethral slings, artificial urinary sphincters dan suspensi

leher kandung kemih. Sedangkan untuk tipe urgensi adalah augmentation cystoplasy dan
juga stimulasi elektrik.5
d. Kateterisasi
Untuk beberapa pertimbangan, misalnya memantau produksi urin dan keperluan
mengukur balans cairan, hal ini masih dapat diterima. Tetapi sering alasan pemasangan
kateter ini tidak jelas, dan mengundang risiko untuk terjadinya komplikasi, umumnya
adalah infeksi. Ada tiga macam cara kateterisasi pada inkontinensia urin:
1. Kateterisasi luar: Terutama pada pria dengan memakai sistim kateter-kondom. Efek
samping yang terutama adalah iritasi pada kulit, dan sering lepas. Tetapi ada laporan
yang menunjukkan insidens infeksi saluran kemih meningkat dengan kateterisasi
macam ini. Metode ini hanya dianjurkan pada pria yang tidak menderita retensio urin
dan mobilitasnya masih cukup baik. Kateter eksternal semacam ini manfaatnya masih
belum memuaskan pada wanita.
2. Kateterisasi intermiten: Kateterisasi ini terutama pada wanita lanjut usia yang
menderita inkontinensia. Frekuensi pemasangannya 2 - 4 x sehari, dengan sangat
memperhatikan sterilitas dan teknik prosedurnya
3. Kateterisasi secara menetap (chronic indwelling catheter): Kateter jenis ini paling
sering digunakan. Penggunaannya harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang
tepat. Misalnya untuk ulkus dekubitus yang terganggu penyembuhannya karena
adanya inkontinensia urin ini. Komplikasinya disamping infeksi, juga mungkin
menyebabkan batu kandung kemih, abses ginjal dan bahkan proses dari keganasan
dari saluran kemih.
Komplikasi
-

Infeksi saluran kemih: risiko infeksi saluran kemih lebih tinggi pada penderita
inkontinensia urin. Dapat juga terjadi pada pemasangan kateter.5

Kelainan kulit: luka, ruam, atau infeksi kulit mungkin terjadi karena kulit menjadi basah
sepanjang waktu. Pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti alergi.

Problem psikososial: problem ini dapat terjadi karena inkontinensia urin dapat mengubah
aktivitas yang biasa dilakukan (contohnya berhenti olahraga, hanya mau pergi ke tempat
yang sudah diketahui lokasi toiletnya), kehidupan sosial dan pekerjaan.5

Dehidrasi: Ada kecenderungan untuk mengurangi minum dengan harapan mengurangi


juga kemungkinan inkontinensianya. Hal ini selain mengganggu keseimbangan cairan

yang sudah cenderung negatif pada lanjut usia, juga dapat mengakibatkan menurunnya
kapasitas kandung kemih, dan selanjutnya akan memperberat keluhan inkontinensianya.5
Preventif
1. Kombinasi Teknik Perilaku dan Kegel Exercise (kegel exercise bertujuan untuk
memperkuat otot dasar panggul. Ditemukan oleh dr.Arnold Kegel, seorang spesialis
OB/GYN untuk menyembuhkan pasien yang menderita inkontinensia urin).6
2. Perhatikan jumlah air yang diminum: Dehidrasi dapat menyebabkan konsumsi air yang
berlebih, maka minumlah air secara teratur untuk menghindarinya. Selain itu, hindari
minum alkohol dan kafein, selain bersifat diuretik, dapat melemahkan otot pengatur
miksi.6
3. Jaga Kesehatan: Merokok dapat meningkatkan risiko inkontinensia urin. Konsumsi cukup
serat, karena konstipasi dapat memperburuk inkontinensia urin. Kurangi berat badan jika
terjadi obesitas, penurunan berat badan dapat mengurangi tekanan pada otot detrusor
kantung kemih.6
Prognosis
Prognosis baik. Penderita lanjut usia dengan inkontinensia banyak yang dapat diobati,
terutama yang mempunyai mobilitas dan fungsi mental cukup baik. Bila tidak dapat diobati
sempurna, inkontinensia selalu dapat diupayakan lebih ringan.6
Pada Inkontinensi tipe stress dengan terapi alpha-agonist keadaan dapat membaik sekitar
19-74%, dengan terapi dan operasi dapat membaik sekitar 88%. Sedangkan pada Inkontinensi
tipe urgensi, keadaan dapat membaik sekitar 75% dengan pelatihan kandung kemih dan 44%
dengan obat golongan antikolinergik.

Kesimpulan
Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan menahan kencing. Dengan melakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, kita dapat menentukan diagnosis yang tepat
terhadap pasien.

10

Pada kasus skenario di atas, didapatkan diagnosa pasien tersebut menderita penyakit
inkontinensia urin tipe mixed et causa stres dan urgensi. Dengan penatalaksanaan yang sesuai
dengan faktor penyebab, maka prognosisnya akan baik.
Daftar Pustaka
1. Andrianto P. Urologi untuk praktek umum. Jakarta: EGC. 2003.
2. Graber, Mark A. Buku saku dokter keluarga. Edisi ke-3. Jakarta: EGC. 2006.
3. Gleadle J. Gejala saluran kemih. Dalam: At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007.
4. Geri M. Obstetri & ginekologi: panduan praktik. Edisi ke-2. Jakarta: EGC. 2009.
5. Setiati S, Pramantara DP. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing. 2009.
6. Pranarka K. Inkontinensia. Dalam: Martono H, Pranarka K. Geriatri (ilmu kesehatan usia

lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009.

11

Anda mungkin juga menyukai