DISUSUN OLEH :
711440117067
Tingkat III/B
1
LAPORAN PENDAHULUAN
GLOMERULONEFRITIS
A. Definisi
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan
tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa (Buku Ajar Nefrologi
Anak, edisi 2, hal.323, 2002). Terminologi glomerulonefritis yang dipakai disini adalah
untuk menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi pada glomerulus,
bukan pada struktur ginjal yang lain.
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri
atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman
streptococcus.Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan
berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang
disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis.Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis
akut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi,
patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis.
B. Patofisiologi
2
mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan
trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak
endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM).Sebagai respon terhadap lesi yang
terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya
sel-sel epitel.Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan protein
dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal,
mengakibatkan proteinuria dan hematuria.Agaknya kompleks komplomen antigen-antibodi
inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai
bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada
pemeriksaan cahaya glomerulus tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi
PMN.
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang dideposit.
Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi perubahan
mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapt meluas diantara
sel-sel endotel dan membran basalis,serta menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika
kompleks terutama terletak subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa
glomerulonefritis difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel.Pada kasus
penimbunan kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi
menjadi kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur- angsur menebal
dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang dibentuk
pada sisi epitel.
3
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks imun
dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari
kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks kecil
cenderung menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang
dinding kapiler do bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak
sedemikian mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes
juga dapat berlokalisasi pada tempat-tempat lain.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal antigen
bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan terapi
spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam glomerulus
terbatas dan kerusakan dapat ringan danberlangsung singkat, seperti pada
glomerulonefritis akut post steroptokokus.
Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya
kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan
hipotesis sebagai berikut :
C. Klasifikasi
Glomerulonefritis Primer
1. Glomerulonefritis membranoproliferasif
Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya dengan gejala yang tidak
spesifik, bervariasi dari hematuria asimtomatik sampai glomerulonefitis progresif. 20-30%
pasien menunjukkan hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 % berikutnya
menunjukkan gejala glomerulonefritis akut dengan hematuria nyata dan sembab,
sedangkan sisanya 40-45% menunjukkan gejala-gejala sindrom nefrotik. Tidak jarang
ditemukan 25-45% mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan bagian atas, sehingga
penyakit tersebut dikira glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.
4
2. Glomerulonefritis membranosa
Glomerulonefritis Sekunder
D. Etiologi
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah infeksi
saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta
hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60
menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala
klinis.Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya
glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%.
Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan
bahwa :
Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi
terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss. Ada beberapa penyebab
glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan karena infeksi dari
streptokokus, penyebab lain diantaranya:
5
1. Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,
Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella
typhi dll
2. Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis
epidemika dl
3. Parasit : malaria dan toksoplasma
Streptokokus
Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas membentuk
pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya.Merupakan golongan bakteri yang
heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada manusia disebabkan oleh
Streptococcus hemolisis β kumpulan A. Kumpulan ini diberi spesies nama S. pyogenes S.
pyogenes β-hemolitik golongan A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:
1. Sterptolisin O
Adalah suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam keadaan tereduksi
(mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila ada oksigen.Sterptolisin O
bertanggung jawab untuk beberapa hemolisis yang terlihat ketika pertumbuhan dipotong
cukup dalam dan dimasukkan dalam biakan pada lempeng agar darah. Sterptolisisn O
bergabung dengan antisterptolisin O, suatu antibody yang timbul pada manusia setelah
infeksi oleh setiap sterptokokus yang menghasilkan sterptolisin O. antibody ini
menghambat hemolisis oleh sterptolisin O. fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif
untuk antibody. Titer serum antisterptolisin O (ASO) yang melebihi 160-200 unit dianggap
abnormal dan menunjukkan adanya infeksi sterptokokus yang baru saja terjadi atau adanya
kadar antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada orang yang hipersensitifitas.
2. Sterptolisin S
Adalah zat penyebab timbulnya zone hemolitik disekitar koloni sterptokokus yang tumbuh
pada permukaan lempeng agar darah.Sterptolisin S bukan antigen, tetapi zat ini dapat
dihambat oleh penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum manusia dan hewan
dan tidak bergantung pada pengalaman masa lalu dengan sterptokokus.
6
E. Gejala Klinis
Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama,
kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat
kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa
minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu
badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Kadang-
7
kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain yang
mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan,
konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA.
1. Riwayat infeksi pada tenggorokan atau kulit sebelumnya. Pada beberapa kasus,
penderita sering tidak menyadari atau adanya infeksi pada tenggorokan atau kulit
sebelumnya.
2. Terdapat darah pada urin. Darah pada urin dapat bersifat makroskopik dan
mikroskopik. Pada makroskopik dapat langsung terlihat dengan mata telanjang, di mana
urin berwarna merah hingga kecoklatan sedangkan pada mikroskopik tidak dapat dilihat
langsung dengan mata telanjang dan urin tampak normal sehingga membutuhkan bantuan
mikroskop. Pada beberapa kasus dapat hingga menyebabkan anemia atau kekurangan sel
darah merah.
3. Terdapat protein pada urin sehingga urin dapat tampak keruh dan berbusa. Karena
protein keluar melalui urin maka kadar protein di dalam darah menjadi rendah.
4. Bengkak pada tubuh. Umumnya paling sering terlihat pada daerah kelopak mata
lalu ke wajah dan seluruh tubuh. Bengkak pada tubuh dapat hilang timbul sehingga sering
kali tidak disadari oleh penderita . Misalnya pada pagi hari terjadi bengkak di kelopak
mata, siangnya bengkak hilang dan sorenya ditemukan pada kaki karena penderita sering
berdiri. Karena bengkak sering ditemukan pada kelopak mata, seringkali penderita
mengira matanya mengalami kelainan.
5. Tekanan darah meningkat.
6. Buang air kecil yang jarang dan sedikit.
7. Gejala lain seperti demam, mual, muntah, lemas, malas makan, dan pucat dapat
juga ditemukan pada penderita.
F. Gambaran Laboratorium
8
total serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah pada hampir semua pasien dalam
minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin
menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif
komplomen.
Adanya infeksi sterptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan
kulit.Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba.Beberapa uji serologis
terhadap antigen sterptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi, antara
lain antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antisterptozim
cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen
sterptokokus. Titer anti sterptolisin O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan
GNAPS dengan faringitis, meskipun beberapa starin sterptokokus tidak memproduksi
sterptolisin O.sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen sterptokokus. Bila
semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi
sterptokokus. Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus, tetapi antihialuronidase atau
antibodi yang lain terhadap antigen sterptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer
antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara
seri.Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi.
G. Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia,
hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang lama jarang
terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di
perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi.
Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini
disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran
jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh
darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat
memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di
miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik
yang menurun.
9
H. Penatalaksanaan
1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8
minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan
terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai
timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi
beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus
yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari,
sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman
penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis seorang
anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat
kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB
dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan
eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan
rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan
makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka
diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian
cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal
jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa
untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan
gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak
0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka
selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium
sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam
darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung
dan usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat
dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan
dan adakalanya menolong juga.
10
I. Pathway
Infeksi/Penyakit
Kelelahan
Anemia Hematuria Edema
(fatique)
Intoleransi Aktivitas
Proteinuria
Difusi cairan ke
ekstra sel
Retensi cairan di
Defisit Nutrisi rongga perut
11
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI PADA KLIEN GLOMERULONEFRITIS
A. Pengkajian
1. Genitourinaria :
Urine keruh
Proteinuria
Hematuri
1. Kardiovaskuler :
Hipertensi
2. Neurologis :
Letargi
Iritabilitas
Kejang
3. Gastrointestinal
Anorexia
Vomitus
Diare
4. Hematologi :
Anemia
Azotemia
Hiperkalemia
5. Integumen
Pucat
Edema
12
B. Diagnosis Keperawatan
C. Intervensi Keperawatan
13
1. Gangguan perfusi Klien akan 1. Monitor dan 1. Untuk mendeteksi
jaringan menunjukkan catat tekanan gejala dini
berhubungan perfusi jaringan darah setiap 1-2 perubahan
dengan retensi air serebral normal jam/hari selama tekanan darah dan
dan ditandai dengan fase akut. menentukan
hipernatremia. tekanan darah 2. Jaga kebersihan intervensi
dalam batas normal, jalan napas, selanjutnya.
penurunan retensi siapkan suction. 2. Serangan dapat
air, tidak ada tanda- 3. Atur pemberian terjadi karena
tanda anti hipertensi, kurangnya perfusi
hipernatremia. monitor reaksi oksigen ke otak.
klien. 3. Anti hipertensi
4. Monitor status dapat diberikan
volume cairan karena tidak
setiap 1-2 jam, terkontrolnya
monitor urine hipertensi yang
output (N: 1-2 dapat
ml/kgBB/jam. menyebabkan
5. Kaji status kerusakan ginjal.
neorologis 4. Monitor sangat
(tingkat perlu karena
kesadaran, perluasan volume
refleks, respon cairan dapat
pupil) setiap 8 menyebabkan
jam. tekanan darah
6. Atur pemberian meningkat.
diuretic: 5. Untuk mendeteksi
Esidriks, lasix secara dini
sesuai order. perubahan yang
terjadi pada status
neurologis,
memudahkan
intervensi
selanjutnya.
14
6. Diuretic dapat
meningkatkan
ekskresi cairan.
2. Peningkatan Klien dapat 1. Timbang berat 1. Peningkatan berat
volume cairan mempertahankan badan tiap hari, badan merupakan
berhubungan volume cairan monitor output indikasi adanya
dengan oliguri. dalam batas normal urine tiap 4 jam. retensi cairan,
ditandai dengan 2. Kaji adanya penurunan output
urine output 1-2 edema, ukur urine merupakan
ml/kgBB/jam. lingkar perut indikasi
setiap 8 jam, munculnya gagal
dan untuk anak ginjal.
laki-laki cek 2. Peningkatan
adanya lingkar perut dan
pembengkakan pembengkakan
pada skrotum. pada skrotum
3. Monitor reaksi merupakan
klien terhadap indikasi adanya
terapi diuretic, ascites.
terutama bila 3. Diuretic dapat
menggunakan menyebabkan
tiazid/furosemid hipokalemia, yang
e. membutuhkan
4. Monitor dan penanganan
catat intake pemberian
cairan. potassium.
5. Kaji warna, 4. Klien mungkin
konsentrasi dan membutuhkan
berat jenis pembatasan
urine. pemasukan cairan
6. Monitor hasil dan penurunan
tes laju filtrasi
laboratorium. glomerulus, dan
juga
15
membutuhkan
pembatasan intake
sodium.
5. Urine yang keruh
merupakan
indikasi adanya
peningkatan
protein sebagai
indikasi adanya
penurunan perfusi
ginjal.
6. Peningkatan
nitrogen, ureum
dalam darah, dan
kadar kreatinin
merupakan
indikasi adanya
gangguan fungsi
ginjal.
3. Perubahan status Klien akan 1. Sediakan makan 1. Diet tinggi
nutrisi (kurang menunjukkan dan karbohidrat karbohidrat
dari kebutuhan peningkatan intake yang tinggi. biasanya lebih
tubuh) ditandai dengan 2. Sajikan makan cocok dan
berhubungan porsi akan sedikit-sedikit menyediakan
dengan anorexia. dihabiskan minimal tapi sering, kalori esensial.
80%. termasuk 2. Menyajikan
makanan makan sedikit-
kesukaan klien. sedikit tapi sering,
3. Batasi masukan memberikan
sodium dan kesempatan bagi
protein sesuai klien untuk
order. menikmati
makanannya,
dengan
16
menyajikan
makanan
kesukaannya
dapat
meningkatkan
nafsu makan.
3. Sodium dapat
menyebabkan
retensi cairan,
pada beberapa
kasus ginjal tidak
dapat
memetabolisme
protein, sehingga
perlu untuk
membatasi
pemasukan
cairan.
4. Intoleransi Klien akan 1. Buat jadwal 1. Dengan periode
aktivitas menunjukkan atau periode istirahat yang
berhubungan adanya peningkatan istirahat setelah terjadwal
dengan fatigue. aktivitas ditandai aktivitas. menyediakan
dengan adanya 2. Sediakan atau energi untuk
kemampuan untuk ciptakan menurunkan
aktivitas atau lingkungan produksi dari sisa
meningkatnya yang tenang, metabolisme yang
waktu beraktivitas. aktivitas yang dapat
menantang meningkatkan
sesuai dengan stres pada ginjal.
perkembangan 2. Jenis aktivitas
klien. tersebut akan
3. Buat rencana menghemat
atau tingkatan penggunaan
dalam energi dan
17
keperawatan mencegah
klien agar tidak kebosanan.
dilakukan pada 3. Tingkatan dalam
saat klien perawatan/pengel
sementara ompokan dapat
dalam keadaan membantu klien
istirahat pada dalam memenuhi
malam hari. kebutuhan
tidurnya.
5. Risiko kerusakan Klien dapat 1. Sediakan kasur 1. Menurunkan
integritas kulit mempertahankan busa pada risiko terjadinya
berhubungan integritas kulit tempat tidur kerusakan kulit.
dengan ditandai dengan klien. 2. Dapat mengurangi
immobilisasi dan kulit tidak pucat, 2. Bantu merubah tekanan dan
edema. tidak ada posisi klien tiap memperbaiki
kemerahan, tidak 2 jam. sirkulasi,
ada edema dan 3. Mandikan klien penurunan risiko
keretakan pada tiap hari dengan terjadinya
kulit/bersisik. sabun yang kerusakan kulit.
mengandung 3. Deodorant/sabun
pelembab. berparfum dapat
4. Dukung/beri menyebabkan
sokongan dan kulit kering,
elevasikan menyebabkan
ekstremitas kerusakan kulit.
yang mengalami 4. Meningkatkan
edema. sirkulasi balik
5. Jika klien laki- dari pembuluh
laki, skrotum darah vena untuk
dibalut. mengurangi
pembengkakan.
5. Untuk
mengurangi
18
kerusakan kulit.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS
GLOMERULONEFRITIS
A. Pengkajian
a. Identitas klien
1. Nama : Tn.P.I
2. Jenis Kelamin : Laki laki
3. Usia : 47 tahun
4. Alamat : Manado
5. Agama : Kristen
6. Pekerjaan : Swasta
b. Status Kesehatan
1. Keluhan Utama: Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan kencing darah
2. Riwayat Kesehatan Sekarang: pasien mengalami kencing darah sejak 30 menit sebelum
MRS, pasien mengalami kencing darah disertai menggigil, mual dan muntah, anoreksia
dan sakit kepala. Pasien tampak edema pada wajah dan periorbital
3. Riwayat Kesehatan Dahulu: Pasien menderita penyakit hipertensi sejak 8 tahun yang
lalu. Pasien tidak mengalami infeksi di saluran cerna, kulit dan telinga sebelumnya
4. Riwayat Penyakit Keluarga: Pasien mengatakan ibunya meninggal karena penyakit
hipertensi.
19
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Pasien mengatakan merasa kelelahan. Pasien mengalami keterbatasan dalam perawatan
diri seperti mandi, toileting, berpakaian, bergerak di tempat tidur dan berpindah.
Berpakaian
Mobilitas ditempat tidur
Berpindah
Ambulasi/ROM
Keterangan : 0 : mandiri, 1 : dengan alat, 2 : dibantu orang lain, 3 : dibantu orang lain
dan alat, 4 : tergantung total
5. Pola Istirahat dan Tidur
d. Pemeriksaan Fisik
20
1. Keadaan Umum: Lemah dan lemas.
2. Kesadaran: Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran dan tingkat kesadaran
kompos mentis.
3. Tanda-tanda vital
Tekanan darah: 140/90 mmHg, Nadi: 84x/m,Suhu badan: 37,8⁰C, dan Respirasi: 20x/m.
4. Kepala
Tidak ada kelainan pada bagian kepala.
5. Wajah
Terdapat udema pada bagian wajah
6. Mata
Terdapat pembengkakan di daerah atau sekitar mata, sclera tidak ikterik tidak kuning,
konjungtiva anemis, gerakan bola mata normal
7. Hidung dan Sinus
Tidak ada kelainan. Hidung tampak simetris dan tidak adanya nyeri tekan.
8. Leher
Pada kelenjar tiroid tidak mengalami pembengkakan.
9. Dada
Bentuk dada simetris.
10. Abdomen
Tidak ada pembengkakan di abdomen.
11. Genetalia dan Anus
Tidak ditemukan kelainan pada organ genetalia dan anus.
12. Ekstremitas
Pada ekstremitas tidak terdapat kelainan/normal.
e. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urinalisis: Protein Urin: 90mg/dL
b. Pemeriksaan Darah: WBC: 11.200mcL
Retensi Na + Natrium
DO:
GFR menurun
Tampak adanya udem
pada wajah dan
Polifersi sel dan
periorbital
kerusukan glomerulus
IMT : 27,68
Reaksi antigen-antibodi
ginjal
Masuk melalui
peredaran darah kapiler
sampai ke ginjal
Streptpcocus b
hemoliticus group
Infeksi/penyakit
22
DO : Kebocoran kapiler
Reaksi antigen-antibodi
ginjal
Masuk melalui
peredaran darah kapiler
sampai ke ginjal
Streptococcus b
hemoliticus group
Infeksi/penyakit
3 DS : Defisit nutrisi Defisit nutrisi berhubungan
Mual –
DO:
Retensi cairan di
rongga perut
23
sel
Hipoalbuminemia
Proteinuri
Kebocoran kapiler
glomerulus
Reaksi antigen-antibodi
ginjal
Masuk melalui
peredaran darah kapiler
sampai ke ginjal
Streptococus b
hemoliticus group
Infeksi/Penyakit
Pasien mengalami
Kelelahan (fatigue)
keterbatasan dalam
perawatan diri
Anemia
seperti mandi,
24
toileting,
berpakaian, bergerak
di tempat tidur dan
Hematuria
berpindah.
Reaksi antigen-antibodi
ginjal
Masuk melalui
peredaran darah kapiler
sampai ke ginjal
Streptococus b
hemoliticus group
Infeksi/Penyakit
C. Diagnose keperawatan
25
1. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi cairan
tubuh di tandai dengan
DS : Pasien mengatakan saat buang air kecil urine berwarna merah pekat.
DO: Tampak adanya udem pada wajah dan periorbital, IMT : 27,68
D. Intervensi keperawatan
26
jika tersedia
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
- Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat
27
diuretic
- Kolaborasi pemberian
continous renal replacement
therapy (CRRT), jika perlu
2. Gangguan eliminasi urin Setelah dilakukan 1. Manajemen eliminasi urin
berhubungan dengan tindakan Observasi
kebocoran kapiler glomerolus keperawatan… maka
- Identifikasi tanda dan gejala
di tandai dengan eliminasi urin
retensi atau inkontinensia urine
DS: membaik dengan KH :
- Identifikasi factor yang
Pasien mengatakan saat buang 1. Karakteristik urine menyebabkan retensi atau
air kecil urine berwarna membaik inkontinensia urine
merah pekat
- Monitor eliminasi urine (mis.
DO : Frekuensi, konsistensi, aroma,
Protein urine : 90mg/dL volume dan warna)
Terapeutik
Edukasi
28
- Ajarkan terapi modalitas
penguatan otot-otot
panggul/berkemihan
Kolaborasi
- Identifikasi perlunya
penggunaan selang nasogastrik
Terapeutik
29
menarik dan suhu yang sesuai
Edukasi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan (mis.
Pereda nyeri, antiemetic), jika
perlu
Terapeutik
Edukasi
- Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
Kolaborasi
31