MIOKARD AKUT
Oleh
NIM : 711440117087
2020
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prioritas utama dalam penatalaksanaan medis dan keperawatan adalah aspek fisik dengan
menyelamatkan kehidupan pasien (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2012;)
Infark Miokard Akut merupakan Jenis penyakit kardiovaskuler yang mempunyai tingkat
morbilitas dan mortalitas yang tinggi dan menjadi salah satu penyebab kematian yang utama
dibandingkan penyakit kardiovaskuler lainnya (WHO, 2017).
Dari seluruh kematian penyakit kardiovaskuler 7,4 juta (42,3%) diantaranya disebabkan
oleh penyakit jantung koroner (PJK), Prevalensi infark miokard akut meningkat dari 25% ke
40% (Kemenkes. RI, 2017).
Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan, prevalensi tertinggi untuk penyakit
kardiovaskuler di Indonesia adalah PJK, Yakni sebesar 1,5%. Dari prevalensi tersebut,
Angka tertinggi ada di provinsi Kalimantan utara (2,2%) dan terendah di Provinsi Nusa
tenggara timur (0.7%).
Data Statistik tahun 2017 Menunjukkan bahwa penyakit Jantung Infark Miokard Akut
Merupakan penyebab utama kematian dibanyak Negara.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
1. Bagi Peneliti
2. Institusi Pendidikan
Sebagai bahan atau sumber pengembangan mata kuliah yang terkait dengan Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat Infark Miokard Akut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Infark Miokard Akut adalah sumbatan pada arteri koroner akibat ketidak
seimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen. Sumbatan akut terjadi oleh karena
adanya aterosklerotik pada dinding arteri koroner sehingga menyumbat aliran darah ke
jaringan otot jantung. (Black, 2014).
2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi Kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler terdiri dari 3 bagian yang saling mempengaruhi yaitu Jantung,
pembuluh darah, dan darah.
(1). Jantung
Jantung adalah organ berotot yang memompa darah melalui pembuluh darah
teroksigenasi ke paru-paru untuk pertukaran gas. Jantung terletak dalam mediastinum
di rongga dada, yaitu diatas kedua paru-paru. Jantung terdiri dari 3 lapisan: lapisan
terluas disebut epikardium, lapisan tengah merupakan lapisan otot yang disebut
miokardium , sedangkan lapisan terdalam yaitu lapisan endotel yang disebut
endokardium. Ruangan jantung bagian atas yaitu atrium dan ventrikel. Secara
fungsional darah dibagi menjadi alat pompa kanan dan pompa kiri yang memompa
darah vena menuju sirkulasi paru-paru dan peredaran darah bersih ke sistemik.
Terpisahnya ruangan dalam jantung mencegah percampuran antara daerah yang
menerima darah yang tidak teroksigenasi dari vena kava superior, inferior dan system
koroner. Darah ini melalui katup mitrat ke ventrikel kiri dan dipompakan ke aorta
untuk sirkulasi koroner dan sistematik.
(2) Pembuluh darah
Pembuluh darah yang keluar dari jantung yang membawa darah ke seluruh bagian
dan alat tubuh disebut arteri pembuluh darah arteri yang paling besar yang keluar dari
ventrikel kiri disebut aorta. Arteri ini mempunyai dinding yang kuat dan tebal tetapi
sifatnya elastis dan terdiri 3 lapisan yaitu : lapisan terluar dinding arteri disebut tunika
externa. Keadaan tidak elastic disebut disebut arteri osklerosis, sedangkan bagian
dalam dari arteri adalah tunika interna atau intima. Pembersihan plaqual yang terjadi
pada dinding arteri bagian dalam disebut atherosclerosis. Hal ini mengakibatkan
aliran darah arteri terganggu dan dapat mengakibatkan proses iskemia.
(3) Darah
Darah merupakan media transportasi oksigen, karbondioksida dan metabolic. Jadi
darah merupakan pengatur keseimbangan asam basa, pengatur hormon, dan
pengontrol suhu. Dalam darah terdapat eritrosit, leukosit dan trombosit, meskipun
55% elemen dalam darah adalah plasma. Hemoglobin yang ada dalam eritrosit
membawa oksigenasi sel-sel. Peran eritrosit dalam mengangkut hemoglobin adalah
penting. Oleh karena itu perlu keseimbangan antara pembentukan dan pemecahan
eritrosit untuk menjamin pengantaran oksigen secara adekuat.
b. Fisiologi Kardiovaskuler
(1) Pada saat jantung sedang relaks(diastole), darah kurang oksigen dari vena
tubuh mengalir ke serambi kanan. Pada saat yang sama, serambi kiri terisi
demgam darah kaya oksigen dari paru-paru.
(2) Pusat listrik yang ada diserambi kanan menembakkan impuls listrik yang
menyebabkan kedua serambi mengkerut secara serentak. Pada saat yang sama ,
katup-katup diantara serambi dan bilik terbuka, memungkinkan darah mengalir
kedalam bilik.
(3) Tahap berikutnya adalah pemompaan darah dari bilik. Pada tahap ini sinyal
listrik dari node yang lain menyebabkan kedua bilik mengkerut secara serentak.
Ini mendorong darah yang kurang oksigen dari paru-paru. Darah yang kaya
oksigen dari bilik kiri di desak ke dalam arteri utama yang disebut aorta dan dari
sini darah disebarkan ke seluruh bagian tubuh. Klep-klep tertutup untuk menjamin
agar tidak ada aliran balik ke serambi.
Penyebab Infark Miokard Akut paling sering adalah oklusi lengkap atau hampir lengkap
dari arteri coroner, biasanya dipicu oleh ruptur plak arterosklerosis yang rentan dan diikuti
oleh pembentukan trombus. Ruptur plak dapat dipicu oleh faktor-faktor internal maupun
eksternal. (M.Black, Joyce, 2014 : 343).
Factor internal antara lain karakteristik plak, seperti ukuran dan konsistensi dari inti lipid
dan ketebalan lapisan fibrosa , serta kondisi bagaimana plak tersebut terpapar, seperti status
koagulasi dan derajat vasokontriksi arteri. Plak yang rentan paling sering terjadi pada area
dengan stenosis kurang dari 70 % dan ditandai dengan bentuk yang eksentrik dengan batas
tidak teratur; inti lipid yang besar dan tipis ;dan pelapis fibrosa yang tipis. (M. Black, Joyce,
2014: )
Factor eksternal berasal dari aktivitas klien atau kondisi eksternal yang memengaruhi
klien. Aktivitas fisik berat dan stress emosional berat, seperti kemarahan, serta peningkatan
respon system saraf simpatis dapat menyebabkan rupture plak.
. Pada waktu yang sama, respon system saraf simpatis akan meningkatkan kebutuhan
oksigen miokardium. Peneliti telah melaporkan bahwa factor eksternal, seperti paparan dingin
dan waktu tertentu dalam satu hari, juga dapat memengaruhi rupture plak. Kejadian coroner akut
terjadi lebih sering dengan paparan terhadap dingin dan pada waktu –waktu pagi hari. Peneliti
memperkirakan bahwa peningkatan respon system saraf simpatis yang tiba-tiba dan berhubungan
dengan faktor-faktor ini dapat berperan terhadap ruptur plak.
4. Patofisiologi Infark Miokard Akut
Tersumbatnya arteri koroner pada jantung akan mengakibatkan terganggunya aliran darah
yang membawa nutrisi dan oksigen menuju sel otot jantung, keadaan ini disebut dengan iskemia
(Kowalak et al, 2011) sehingga mengakibatkan sel tidak mampu untuk melakukan metabolisme
anaerob sehingga terjadi penurunan ATP (Muttaqin, 2009). Iskemia yang berkepanjangan pada
akhirnya menyebabkan kerusakan sel dan asam laktat yang dihasilkan akan tertimbun dalam miokard
dan akan menstimulasi ujung- ujung saraf sebagai pertanda adanya kerusakan pada miokard
(Muttaqin, 2009 ; Kozier et al, 2010). Rasa nyeri pada infark miokard muncul sebagai respon
terjadinya iskemia pada miokard (ENA, 2007). Dampak yang dapat timbul akibat nyeri infark yang
tidak tertangani adalah terjadinya penurunan kontraktilitas, penurunan curah jantung serta kekakuan
ventrikel yang dapat mempengaruhi sirkulasi darah kedalam tubuh (Corwin, 2009). Apabila hal
tersebut tidak segera ditangani maka keadaan infark miokard akan berujung pada syok kardiogenik
(Kowalak et al., 2011). Progresi lesi atherosclerosis sampai dengan pembentukan trombus
merupakan proses kompleks yang berhubungan dengan cedera vaskular. Dalam sebagian besar
kasus terjadi akibat penyumbatan total arteri koronaria oleh trombus yang terbentuk pada plak
atherosclerosis yang tidak stabil. Besarnya kerusakan yang disebabkan oleh oklusi koroner ini
tergantung daerah yang dipasok oleh pembuluh darah yang terkena, pembuluh darah tersebut
tertutup seluruhnya atau tidak, jumlah darah yang dipasok oleh pembuluh darah kolateral ke
jaringan yang terkena dan besarnya kebutuhan O2 miokard yang pasokan darahnya mendadak
menjadi terbatas.
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial. Infark miokard transmural
disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga
minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlihat mengalami nekrosis dalam waktu yang
bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari
bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda.
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang berhubungan dengan IMA berasal dari iskemia otot jantung dan
penurunan fungsi serta asidosis yang terjadi. Manifestasi klinis utama dari IMA adalah nyeri
dada yang serupa dengan angina pectoris tetapi lebih parah dan tidak berkurang dengan
nitrogliserin. Nyeri dapat menjalar leher, rahang, bahu, punggung atau lengan kiri. Nyeri juga
dapat ditemukan di dekat epigastrium, menyerupai nyeri pencernaan. IMA juga dapat
berhubungan dengan manifestasi klinis yang jarang terjadi berikut ini. (M.Black, Joyce, 2014)
a. Nyeri dada, perut, punggung, atau lambung yang tidak khas.
b. Mual atau pusing.
c. Sesak napas dan kesulitan bernapas.
d. Kecemasan, kelemahan, atau kelelahan yang tidak dapat dijelaskan
e. Palpitasi, keringat dingin, pucat.
6. Klasifikasi IMA
Kemungkinan kematian akibat komplikasi selalu menyertai IMA. Oleh karena itu, tujuan
kolaborasi utama antara lain pencegahan komplikasi yang mengancam jiwa atau paling tidak
mengenalinya. (M.Black, Joyce, 2014 : 347)
a. Disritmia.
b. Syok kardiogenik. Syok kardiogenik berperan hanya pada 9 % kematian akibat tetapi
lebih dari 70 % klien syok meninggal karena sebab ini. Penyebabnya antara lain (1)
penurunan kontraksi miokardium yang berakibat pada penurunan curah jantung efek dari
penurunan curah jantung adalah tidak adekuatnnya sirkulasi darah menuju jaringan (Corwin,
2009). Salah satu tanda adanya perfusi jaringan yang tidak efektif adalah bradikardi, akral dingin,
hipotensi, sianosis, dan CRT >2 detik (Muttaqin, 2009; NANDA, 2015 (2) disritmia tak
terdeteksi, dan (3) sepsis. (M.Black, Joyce, 2014 :347)
c. Gagal jantung dan edema paru. Penyebab kematian paling sering pada klien rawat inap
dengan gangguan jantung adalah gagal jantung. Gagal jantung melumpuhkan 22 % klien
laki-laki dan 46 % wanita yang mengalami IMA serta bertanggung jawab pada sepertiga
kematian setelah IMA. (M.Black, Joyce, 2014 :347)
d. Emboli paru. Emboli paru (PE) dapat terjadi karena flebitis dari vena kaki panggul
(trombosis vena) atau karena atrial flutter atau fibrilasi. Emboli paru terjadi pada 10 %
hingga 20 % klien pada suatu waktu tertentu, saat serangan akut atau pada periode
konvalensi. (M.Black, Joyce, 2014: 347)
e. Infark miokardum berulang. Dalam 6 tahun setelah IMA pertama, 18 % laki-laki dan 35
% wanita dapat mengalami IMA berulang. Penyebab yang mungkin adalah olahraga
berlebih, embolisasi, dan oklusi trombotik lanjutan pada arteri coroner oleh atheroma.
(M.Black, Joyce, 2014 : 347)
f. Komplikasi yang disebabkan oleh nekrosis miokardium. Komplikasi yang terjadi karena
nekrosis dari miokardium antara lain aneurisme ventrikel, ruptur jantung (ruptur
miokardium), defek septal ventrikel (VSD), dan otot papiler yang ruptur. Komplikasi ini
jarang tetapi serius, biasanya terjadi sekitar 5 hingga 7 hari setelah MI. Jaringan
miokardium nekrotik yang lemah dan rapuh akan meningkatkan kerentanan terkena
komplikasi ini. (M.Black, Joyce, 2014 : 347)
8. Pemeriksaan Diagnostik
1. EKG
Untuk mengetahui fungsi jantung : T Inverted, ST depresi, Q patologis
2. Enzim Jantung
CPKMB (isoenzim yang ditemukan pada otot jantung), LDH, AST (Aspartat
aminonittransferase), Troponin I, Troponin T.
3. Elektrolit.
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan kontraktilitas, misal
hipokalemi, hiperkalemi
4. Sel darah putih
Leukosit (10.000 – 20.000) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah IMA
berhubungan dengan proses inflamasi
5. Kecepatan sedimentasi
Meningkat pada ke-2 dan ke-3 setelah AMI , menunjukkan inflamasi.
6. GDA
Dapat menunjukkan hypoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.
8. Foto / Ro dada
9. Ecokardiogram
9. Penatalaksanaan
Manajemen awal dari rencana penanganan pasien dengan Infark Miokard Akut memiliki
tujuan sebagai pemulihan keseimbangan antara suplai oksigen dan permintaan untuk
mencegah iskemia lanjut, pereda nyeri dan pencegahan serta pengobatan komplikasi
(Zafari, 2017). Hal pertama yang harus dilakukan adalah mempertahankan kepatenan jalan
napas (airway), status pernapasan (breathing) dan status sirkulasi (circulation) (ENA,
2007). Penanganan akut miokard infark di Instalasi gawat darurat dimulai dengan
pemberian suplemen oksigen pada pasien yang memiliki saturasi oksigen <90% dan
dilanjutkan dengan pemberian terapi farmakologi (AHA, 2014 ; Zafari, 2017). Selain itu
semua pasien yang datang ke instalasi gawat darurat dengan gejala nyeri dada akan
dilakukan pengkajian serta pemeriksaan fisik terfokus dilanjutkan dengan pemeriksaan
EKG 12 Lead untuk menegakkan diagnosa infak miokard (Kowalak et al., 2011). Menurut
European Society of Cardiology (ESC), American Heart Association (AHA) dan American
College of Cardiology (ACC) diagnosa infark miokard akut dapat juga ditegakkan melalui
pemeriksaan Troponin (cTnT dan cTnI) dan Creatinine Kinase- MB (CK-MB) dimana
hasil pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi adanya nekrosis pada miokard (Schreiber,
2017)
(1). Nitrogliserin
Terutama untuk dilatasi arteria dan vena perifer dengan memperlancar distribusi
aliran darah koroner menuju daerah yang mengalami iskemia meliputi, Vasodilatasi
pembuluh darah kolateralis. Dilatasi vena akan meningkatkan kapasitas penambahan
darah oleh vena diperiver, akibatnya aliran balik vena ke jantung menurun sehingga
memperkecil volume dan ukuran ventrikel. Dengan demikian vasodilatasi perifer akan
mengurangi beban awal akibatnya kebutuhan oksigen pun akan berkurang.
(2). Propranol
(3). Digitalis
(4). Diuretika
Mengurangi volume darah dari aliran balik vena ke jantung, dan dengan demikian
mengurangi ukuran dan volume ventrikel. Obat vasodilator dan anti hipertensi dapat
mengurangi tekanan dan resistensi arteria terhadap ejeksi ventrikel, akibatnya beban
akhir menurun/berkurang. Sedative dan anti depresan juga dapat mengurangi angina yang
ditimbulkan oleh stress atau depresi.
Dua kategori komplikasi yang perlu di antisipasi yaitu ketidakstabilan lisrik atau aritmia,
dan gangguan mekanis jantung /kegagalan pompa. Segera lakukan pemantauan
elektrokardiografi.
Pengkajian adalah dasar utama dalam proses keperawatan dalam mengumpulkan data
yang akurat dan sistematis membantu dalam penentuan status kesehatan dan pola pertahanan
tubuh pasien, mengidentifikasi kesehatan dan kebutuhan klien serta merumuskan diagnose
keperawatan. (Antman et al, 2013).
(a). Identifikasi
Meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, alamat, suku, agama, nomor registrasi, pendidikan,
tanggal masuk rumah sakit , serta pekerjaan. Identitas tersebut digunakan untuk membedakan
antara pasien yang satu dengan yang lain dan untuk menentukan resiko penyakit jantung koroner
yaitu laki-laki umur diatas 35 tahun dan wanita lebih dari 1 tahun.
b) Keluhan Utama
Pasien infark miokard akut mengeluh nyeri pada dada substernal, yang rasanya tajam dan
menekan sangat nyeri, terus menerus, dan dangkal. Nyeri dapat menyebar kebelakang ke
belakang sternum sampai dada kiri, lengan kiri, leher, rahang, atau bahu kiri. Nyeri miokard
kadang-kadang sulit dilokalisasi, dan nyeri mungkin dirasakan sampai 30 menit tidak hilang
dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin.
pada klien infark miokard akut perlu dikaji mungkin peernah mempunyai riwayat
diabetes mellitus, karena diabetes mellitus terjadi hilangnya sel endotel vaskuler berakibat
berkurangnya produksi nitri oksida sehingga terjadi spasme otot polos dinding pembuluh arah.
Hipeertensi yang sebagian ddiakibatkan dengan adanya penyempitan pada arteri renalis dan hipo
perfusi ginjal dan kedua hal ini disebabkan lesi arteri oleh arteroma dan memberikan komplikasi
tromblo emboli.
c. Circulation (Sirkulasi)
Sirkulasi perifer:
Nadi: ........... x/mnt
Irama: ( ) Teratur ( ) Tidak
Denyut: ( ) Lemah ( ) Kuat ( ) Tdk Kuat
TD:.............mmHg
Ekstremitas:
( ) Hangat ( ) Dingin
Warna kulit:
( ) Cyanosis ( ) Pucat
( ) Kemerahan
Nyeri dada:
( ) Ada
( ) Tidak
Karakteristik nyeri dada:
( ) Menetap ( ) Menyebar
( ) Seperti ditusuk-tusuk
( ) Seperti ditimpa benda berat
Capillary refill: ( ) < 3 detik ( ) > 3 detik
Edema:
( ) Ya ( ) Tidak
Lokasi edema:
( ) Muka ( ) Tangan
( ) Tungkai ( ) Anasarka
Disability
Tingkat kesadaran :
( ) CM ( ) Apatis ( ) Somnolent ( ) Sopor ( ) Soporocoma (Coma)
Pupil : ( ) Isokor ( ) Miosis ( ) Anisokor ( ) Midriasis ( ) Pin poin
Reaksi terhadap cahaya :
Kanan () Positif () Negatif
Kiri ( ) Positif () Negatif
GCS : E : M: V :
Jumlah :
e. Eksposure/Environment/Event
Pemeriksaan seluruh bagian tubuh terhadap adanya jejas dan perdarahan dengan
pencegahan hipotermiPemeriksaan penunjang yang telah dilakukan Event/penyebab kejadian.
b) Leher
Deviasi/simetris, cidera cervical :
kelenjar thyroid :
kelenjar limfe :
Trakea :
JVP :
c). Dada
I : Sesimetrisan, penggunaan otot bantu napas, ictus sordis
P : Taktil fremitus, ada/tidaknya massa, ictus cordis teraba/tidak
P : Adanya cairan di paru, suara perkusi paru dan jantung
A : Suara paru dan jantung
e). Ekstremitas/muskuloskeletal
Rentang gerak :
Kekuatan otot :
Deformitas :
Edema :
Nyeri :
f). Kulit/Integumen
Turgor Kulit :
Mukosa kulit :
Kelainan kulit
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri
Intervensi Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri
ditandai dengan :
Kriteria Hasil:
Intervensi :
Tujuan : Curah jantung membaik / stabil setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di
Rumah Sakit
Kriteria Hasil :
Tujuan : Gangguan perfusi jaringan berkurang / tidak meluas selama dilakukan tindakan
perawatan di RS.
Kriteria Hasil:
Intervensi :
Tujuan : Terjadi peningkatan toleransi pada klien setelah dilaksanakan tindakan keperawatan
selama di Rumah Sakit
Kriteria Hasil :
Intervensi :
1. Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD selama dan sesudah aktifitas
2. Tingkatkan istirahat ( di tempat tidur )
3. Batasi aktifitas pada dasar nyeri dan berikan aktifitas sensori yang tidak berat.
4. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktifitas, contoh bengun dari kursi bila
tidak ada nyeri, ambulasi dan istirahat selam 1 jam setelah mkan.
5. Kaji ulang tanda gangguan yang menunjukan tidak toleran terhadap aktifitas atau
memerlukan pelaporan pada dokter.
Tujuan : Cemas hilang / berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di Rumah
Sakit
Kriteria Hasil :
Intervensi :
a) Kaji tanda dan respon verbal serta non verbal terhadap ansietas
b) Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
c) Ajarkan tehnik relaksasi
d) Minimalkan rangsang yang membuat stress
e) Diskusikan dan orientasikan klien dengan lingkungan dan peralatan
f) Berikan sentuhan pada klien dan ajak kllien berbincang-bincang dengan suasana tenang
g) Berikan support mental
h) Kolaborasi pemberian sedatif sesuai indikasi
Tujuan : Pengetahuan klien tentang kondisi penyakitnya menguat setelah diberi pendidikan
kesehatan selama di Rumah Sakit
Kriteria Hasil :
Intervensi :
1. Berikan informasi dalam bentuk belajar yang bervariasi, contoh buku, program audio/
visual, tanya jawab
2. Beri penjelasan faktor resiko, diet ( rendah lemak dan rendah garam ) dan aktifitas yang
berlebihan,
3. Peringatan untuk menghindari aktifitas manuver valsava
4. Latih pasien sehubungan dengan aktifitas yang bertahap contoh : jalan, kerja, rekreasi
aktifitas seksual.
4. Implementasi
5. Evaluasi
Evaluasi adalah hasil akhir yang diharapkan dari tindakan keperawatan yang telah
diberikan sesuai dengan masing-masing diagnosa diatas mengalami keberhasilan atau
tidak (Kusuma, 2015).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Infark Miokard Akut
C. Sumber Data
Sumber data yang menjadi bahan akan penelitian ini berupa jurnal, buku dan situs
internet yang terkait dengan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Pasien dengan
Infark Miokard Akut.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi, yaitu mencari data
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku, makalah atau artikel, jurnal
dan sebagainya (Arikunto, 2010).
Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah daftar check-list klasifikasi bahan
penelitian, skema/peta penulisan dan format catatan penelitian.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi
(Content Analysis).
F. Prosedur Penelitian
1. Pemilihan topik
2. Eksplorasi informasi
3. Menentukan fokus penelitian
4. Pengumpulan sumber data
5. Persiapan penyajian data
6. Penyusunan laporan
.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengkajian
Pengkajian pada pasien Bp. WS dilakukan pada Hari Senin, 10 Juli 2017 pada pukul
03.15 wita. Bp. WS merupakan pasien rujukan dari Klinik Bintang Klungkung, datang ke
Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Sanglah Denpasar diantar menggunakan ambulans. Tn.
WS kemudian dilakukan pengkajian di fasttrack, setelah dilakukan pemeriksaan EKG lalu
didiagnosa mengalami Infark Miokard dengan kategori P1 dan segera di pindahkan ke ruang
Emergency Cardio. Pengkajian pada pasien 2, Bp HR dilakukan pada Hari Selasa, 11 Juli 2017
pada pukul 00.01 wita. Bp HR datang ke IGD RSUP Sanglah Denpasar diantar oleh keluarga
dengan menggunakan mobil pribadi. Bp. HR dilakukan pengkajian di fasttrack dan didiagnosa
Acute Coronary Syndrome (ACS) dengan kategori P1 dan segera dipindahkan ke ruang
Emergency Cardio.
Identitas Pasien
Pengkajian identitas diperoleh dari hasil pengkajian kepada pasien, keluarga, dan rekam
medis ruangan.
Tabel 1. Identitas Pasien Infark Miokard Akut di Ruang Emergency Cardio RSUP Sanglah
Denpasar.
Pendidikan SD SMA
Triage P1 P1
Pengkajian Primer
Pengkajian primer merupakan pengkajian pertama kali yang dilakukan di IGD untuk menilai
kegawatan pasien. Adapun hasil pengkajian primer yang didapatkan adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Pengkajian Primer Pasien Infark Miokard Akut di Ruang Emergency Cardio RSUP
Sanglah Denpasar.
No Pasien 1 Pasien 2
1. Airway
2 . Breathing
3 Circulation
4 Disability
5 . Eksposure
Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder pada pasien infark miokard akut mendapatkan data keluhan utama
adalah nyeri dada atau ulu hati. Nyeri biasanya muncul tiba – tiba, dada terasa berat atau panas
dan sesak saat bernafas. Nyeri tidak dapat hilang saat istirahat dan terasa memberat saat
beraktivitas. Nyeri dirasakan mulai dada, ulu hati tembuh ke punggung dan menjalar kebahu
sampai ke lengan. Selain itu, pada pasien 1 ditemukan data ada suara jantung tambahan s3 dan
murmur. Hasil perekaman endokardiogram juga menunujukan ada infark pada jantung. Pasien 1
infark posterior dan pasien dua infark inferior yang ditunjukan adanya elevasi pada segment T.
Sedangkan pada hasil laboratorium untuk enzim jantung menunjukan adanya nilai positif pada
troponin dan CKMB.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang dapat ditegakkan berdasarkan hasil pengkajian dengan
pasien INFARK Miokard Akut adalah Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
(ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen pada miokard akut) ditandai dengan
adanya keluhan nyeri, pasien mengatakan tidak mengetahui penyebab timbulnya nyeri, nyeri
muncul tiba-tiba saat sedang beraktifitas nyeri tidak hilang saat istirahat, pasien mengatakan
nyeri terasa seperti terbakar, pasien mengatakan nyeri ulu hati menjalar ke dada, leher belakang
dan bagian punggung, skala nyeri 7, nyeri diasakan hilang timbul sejak kemarin, namun
dirasakan semakin berat sejak kemarin malam dirasakan lebih dari 30 menit, diaphoresis,
takikardi (113x/menit), sesak (RR: 28x/menit), wajah meringis, adanya Levine sign’s (kepalan
tangan pada daerah dada). Diagnosis ini muncul baik pada pasien 1 dan 2. Diagnosisi ini
merupakan diagnosis prioritas yang muncul pada pasien dengan IMA.
Perencanaan Keperawatan
Langkah berikutnya setelah menetapkan diagnosa prioritas maka disusunlah rencana
keperawatan. Adapun rencana keperawatan pasien IMA dengan nyeri akut adalah
1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif meliputi lokasi, krakteristik, durasi,frekuensi,
kualitas,intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetus.
2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan terutama mereka yang tidak
dapat berkomunikasi secara efektif.
7. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal atau masker sesuai indikasi.
8. Ajarkan teknik nonfarmakologi distraksi dan relaksasi napas dalam pada saat nyeri
9. Kolaborasikan pemberian terapi analgetik, antiplatetlet, antiangina, analgesik, antikoagulan,
dan fibrinolitik
Implementasi
Pelaksanaan intervensi keperawatan pada pasien 1 dilakukan selama 1 jam mulai pukul
03.15 -04.15 wita mulai dari melakukan pengkajian sampai terapi untuk mengurangi nyeri dan
tindakan kolaborasi sesuai dengan rencana tindakan. Pelaksanaan intervensi keperawatan pada
pasien 2 dilakukan selama 1 jam mulai pukul 01.15 -02.15 wita mulai dari melakukan pengkajian
sampai terapi untuk mengurangi nyeri dan tindakan kolaborasi sesuai dengan rencana tindakan.
Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan gambaran asuhan keperawatan berdasarkan pada kriteria hasil saat
membuat perencanaan keperawatan. Adapun hasil evaluasi pasien IMA dengan diagnosis nyeri
akut adalah pasien mengatakan nyerinya sudah mulai berkurang , skala nyeri 2, pasien sudah
tidak tampak meringis, - N : 98x/menit, - RR : 20/menit, Levine signs tidak ada, Diaphoresis
tidak ada dan pasien dilanjutkan perawatannya.
PEMBAHASAN
Pengkajian gawat darurat dibagi atas pengkajian primer dan sekunder. Pada pengkajian
primer terdiri dari airway, breathing, circulation, disability, dan exsposure, data fokus yang
mengalami kesenjangan antara tinjauan kasus dan teori ada pada pengkajian circulation, dimana
pada pasien 1 dan pasien 2 tidak ditemukan adanya bradikardi, akral dingin, hipotensi, sianosis,
CRT> 2 detik. Pada teori pasien dengan infark miokard akan mengalami masalah di circulation
berupa bradikardi, akral dingin, hipotensi, sianosis, CRT> 2 detik (ENA, 2007; Corwin, 2009).
Kemungkinan perbedaan data yang ditemukan pada tinjauan kasus dan teori disebabkan oleh
masih adekuatnya sirkulasi darah kejaringan. Hal ini didukung oleh teori yang menyatakan
bahwa tersumbatnya arteri koroner dapat mengakibatkan terhambatnya suplai oksigen dan nutrisi
ke miokard (PERKI,2015). Jika miokard mengalami masalah maka akibatnya adalah
terganggunya fungsi ventikel kiri sehingga terjadi perubahan kontraktilitas yang berakibat pada
penurunan curah jantung, efek dari penurunan curah jantung adalah tidak adekuatnnya sirkulasi
darah menuju jaringan (Corwin, 2009). Salah satu tanda adanya perfusi jaringan yang tidak
efektif adalah bradikardi, akral dingin, hipotensi, sianosis, dan CRT >2 detik (Muttaqin, 2009;
NANDA, 2015). Jadi berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan data yang
diperoleh pada tinjauan kasus dan teori dikarenakan oleh pasien 1 dan pasien 2 tidak mengalami
penurunan curah jantung yang berat sehingga sirkulasi darah ke jaringan masih adekuat.
Medication, Last oral intake dan Event leading injury (SAMPLE), pemeriksaan fisik
terfokus dan pemeriksaan laboratorium. Pada pengkajian sekunder terdapat beberapa data yang
berbeda antara pasien 1 dan pasien 2 yaitu pada sign and simptoms, pemeriksaan fisik dan hasil
laboratorium. Pada kasus ditemukan tanda sign and symptoms yaitu nyeri. Nyeri yang memiliki
penjalaran yang berbeda. Bp. WS (Infark anterior) mengeluh nyeri pada ulu hati yang menjalar
ke dada, leher belakang dan punggung. Sementara itu Bp. HR (infark Inferior) mengeluh nyeri
dada yang menjalar ke punggung, lengan sampai tanggan kiri. Perbedaan penjalaran daerah nyeri
yang dirasakan mungkin dibedakan oleh letak lokasi infark yang berbeda.
Menurut Kozier (2010) nyeri merupakan salah satu respon mekanisme pertahanan tubuh
yang menandakan adanya kerusakan jaringan. Nyeri pada infark dimulai dari iskemia miokard
yang mengakibatkan sel tidak mampu untuk melakukan metabolisme anaerob sehingga terjadi
penurunan ATP (Muttaqin, 2009). Tanpa ATP pompa kalium dan natrium akan berhenti.
Menurut ENA (2007) infark anterior terjadi pada V1-V4 dan infark inferior terjadi pada Lead II,
III, dan AVF. Jadi berdasarkan teori, sesuai diagnosa medis pasien 1 (Bp. WS) yang mengalami
infark anterior maka pasien merasakan nyeri pada daerah ulu hati. Sedangkan pasian 2 (Bp. HR)
yang di diagnosa medis infark inferior maka akan mengalami penjalaran nyeri sampai dengan
daerah ektremitas. Pada pemeriksaan fisik terfokus ditemukan perbedaan pada auskultasi suara
jantung dimana pada Bp. WS ditemukan suara jantung abnormal yaitu S3, S4 dan murmur.
Sedangkan pada Bp. HR ditemukan suara jantung normal S1, S2 reguler (tidak ditemukan suara
jantung abnormal). Teori menyebutkan bahwa pasien infark miokard akan mengalami perubahan
pada suara jantung dimana suara S3 muncul akibat adanya infark yang berat, S4 terjadi karena
iskemia dan kekakuan ventrikel dan murmur akibat gangguan aliran darah dalam jantung (ENA,
2007).
Teori mengatakan bahwa infark miokard dibagi menjadi beberapa bagian killip menurut
tanda gejala yang muncul (Zafari, 2017). Suara jantung tambahan yang muncul pada Bp. WS
termasuk ke killip II dan tanda gejala yang muncul pada Bp. HR merupakan killip I, hal ini
mungkin berhubungan dengan waktu kejadian yang dialami oleh pasien (onset). Infark akan
semakin memberat yang mengakibatkan gangguan kontraktilitas jantung ini dapat kita lihat dari
pasien 1 (Bp. WS ) yang memiliki onset waktu serangan lebih dari 12 jam sedangkan pasien 2
(Bp. HR) memiliki onset 4 jam. Dapat disimpulkan bahwa munculnya suara jantung abnormal
tambahan berkaitan erat dengan seberapa berat infark yang terjadi, semakin lama onsetnya, maka
semakin berat infarknya yang dapat memicu munculnya suara jantung abnormal. Kesenjangan
berikutnya ada pada pemeriksaan fisik leher, pada pasien 1 (Bp. WS) dan pasien 2 (Bp. HR)
tidak ditemukan adanya distensi vena jugularis sedangkan menurut teori pada pemeriksaan fisik
pasien Infark miokard adalah ditemukannya distensi vena jugularis (ENA, 2007; Kowalak et al,
2011). Hal ini didukung oleh teori yang menyatakan bahwa distensi vena jugularis terjadi akibat
adanya disfungsi ventrikel kanan dan kongesti paru (Kowalak et al., 2011). Jika pada penjelasan
sebelumnya dijelaskan bahwa suara jantung abnormal muncul akibat dari kekauan dinding
ventrikel dan infark yang berat, maka dapat disimpulkan bahwa disfungsi miokard yang terjadi
belum sampai ventrikel kanan.
Pada pemerikssan laboratorium ditemukan pada pasien 1 (Bp. WS) mengalami
peningkatan pada pemeriksaan Troponin T dan pasien 2 (Bp. HR) peningkatan pada CK-MB
mass. Menurut tinjauan teori CK-MB (Creatinine Kinase Myoglobin Bund) merupakan
pemeriksaan yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya infark miokard yang meningkat
setelah 3 jam bila terjadi infark miokard dan mencapai puncak dalam 10 sampai 24 jam dan
kembali normal dalam 2 hari (Zafari, 2017).
Sementara pemeriksaan Troponin (cTnT dan cTnI) merupakan pemeriksaan yang lebih
sensitive menandakan adanya nekrosis pada miokard. Kadar Troponin (cTnT dan cTnI) akan
meningkat dalam waktu 3 sampai 6 jam setelah awitan infark (AHA, 2014) dan menghilang
dalam waktu 2 sampai 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas peningkatan ini akan menetap
dalam waktu 1 minggu sampai 2 minggu (Nawawi et al.,2006; PERKI, 2015).
Pasien 1 (Tn.WS) mengalami peningkatan pada hasil pemerikaan Tropnin T, hasil ini
menandakan bahwa telah terjadi kerusakan (nekrosis) pada miokard Bp. WS dengan onset lebih
dari 12 jam. Hasil pemeriksaan pasien 2 (Tn.HR) ditemukan bahwa terjadi peningkatan pada
hasil pemeriksaan CKMB hal ini sudah sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa CKMB
akan meningkat setelah 3 jam gejala infark. Peningkatan hasil CKMB menunjukkan adanya
infark miokardium.
Berdasarkan data pengkajian yang diperoleh, maka didapat beberapa kesenjangan data
pengkajian antara tinjauan kasus dan teori yaitu terletak pada pengkajian circulation, dimana
tidak ditemukan adanya bradikardi, akral dingin, sianosis dan CRT > 2 detik. Pengkajian fokus
pada pengkajian sekunder terletak di sign and symptoms, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Pada pengkajian sign and symptoms didapatkan data bahwa terjadi perbedaan
karakteristik nyeri antara nyeri pasien 1 dan pasien 2. Pada pemeriksaan fisik difokuskan pada
leher dan thorak. Sementara itu didapatkan perbedaan hasil pemeriksaan cardiac marker pada
kedua pasien yang menandakan beratnya infark yang dialami pasien menurut waktu onsetnya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari pengkajian pada pasien 1 (Bp. WS) dan pasien 2
(Bp. HR) dengan Infark Miokard Akut didapatkan fokus diagnosa yang muncul yaitu nyeri akut.
Diagnosa ini ditegakkan dari data hasil pengkajian pasien 1 (Bp. Ws) dan pasien 2 (Bp. HR)
yaitu adanya keluhan nyeri, dipsnea, diaphoresis, takikardi, wajah tampak meringis, adanya
Levine sign’n dan tanda gejala tersebut sudah sesuai dengan batasan karakteristik pada tinjauan
teori. Menurut tinjauan teori ada tiga macam diagnosa yang muncul pada kasus Infark Miokard
Akut yaitu nyeri akut, penurunan curah jantung dan ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
(NANDA, 2015). Diagnosa pada tinjauan teori yang tidak muncul pada tinjauan kasus adalah
ketidakefektifan perfusi jaringan perifer.
Menurut NANDA (2015) ketidakefektifan perfusi jaringan perifer merupakan definisi
dari adanya penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat mengganggu kesehatan. Salah satu
indikatornya adalah dengan pengukuran capillary refill time (CRT) yang memanjang, namun
pada kasus Bp. WS dan Bp.HR, CRT nya <2 detik. Jadi dapat disimpulkan bahwa diagnosa
ketidakefektifan perfusi jaringan perifer tidak dapat diambil, hal ini berkaitan dengan tidak
adanya data tanda dan gejala yang diperoleh pada pasien sesuai dengan batasan karakteristik
yang ada di NANDA (2015).
Perencanaan yang dilaksanakan pada kasus Bp. WS dan Bp. HR sudah sesuai dengan
tinjauan teori. Fokus perencanaan ditujukan untuk diagnose keperawatan nyeri akut. Intervensi
yang dilakukan berupa terapi nonfarmakologi (pengkajian nyeri, pemberian posisi semifowler,
pemberian oksigen, teknik distraksi dan relaksasi serta terapi farmakologi (anti-ischaemic
therapy dan terapi reperfusi). Berdasarkan hasil pengkajian diperoleh data pasien 1 (Bp. WS)
didiagnosa medis STEMI dengan onset nyeri lebih dari 12 jam dan pasien 2 dengan diagnosa
medis STEMI (Bp. HR) dengan onset nyeri kurang dari 12 jam (4 jam).Menurut teori, pasien
IMA yang didiagnosa STEMI akan wajib mendapatkan anti-ischaemic therapy (nitrat,
antikoagulan, antiplatelet) dan terapi reperfusi (Zafari, 2017; PERKI, 2015). Terapi reperfusi
tersebut akan dilaksanakan apabila onset gejala yang dialami pasien STEMI tidak lebih dari 12
jam (Sudoyo et al., 2009). Bp. Ws yang memiliki onset nyeri lebih dari 12 jam hanya mendapat
antiischaemic therapy sedangkan Bp. HR yang memiliki onset nyeri 4 jam, disarankan untuk
menjalani terapi fibrinololitik, terapi ini akan memiliki manfaat untuk menghancurkan thrombus
apabila dilakukan lebih cepat dengan onset gejala kurang dari 12 jam. Jadi dapat disimpulkan
bahwa rencana keperawatan yang disusun pada pasien infark miokard dengan nyeri itu berbeda,
disesuaikan dengan karakteristik nyeri pada pasien itu sendiri.
Secara umum implementasi yang dilakukan pada kasus Bp. WS dan Bp. HR sudah sesuai
dengan intervensi yang direncanakan sebelumnya. Hanya saja terdapat beberapa implementasi
tambahan seperti pemberian obat farmakologi fibrinolitik (1,5 juta unit) yang diberikan pada Bp.
HR dilakukan selama 1 jam (30 menit pertama untuk pemberian fibrinolitik 750.000 unit dan 30
menit kedua untuk 750.000 unit berikutnya). Pada saat pemberian terapi fibrinolitik ini, perawat
melakukan observasi yang ketat melalui pemeriksaan vital sign setiap 5 menit sampai pemberian
terapi fibrinolitik tersebut selesai.Menurut teori terapi ini harus diawasi agar keadaan
hemodinamik pasien tetap stabil dan untuk mencegah terjadinya perdarahan (Zafari, 2017;
Sudoyo et al., 2010).
Implementasi yang dilakukan pada Bp. WS yaitu selama 1 jam (Pukul 03.15 wita sampai 04.15
wita). Sedangkan pada Bp. HR implementasi menjadi 1 jam 45 menit (Pukul 00.01 wita sampai
01.45 wita. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan implementasi kita wajib untuk
mengetahui respon yang muncul dari intervensi yang kita berikan kepada pasien.
Evaluasi keperawatan yang dilakukan pada Bp. WS dan Bp. HR adalah 4x 15 menit.
Setelah implementasi dilakukan selama 1 jam, pada Bp. WS diperoleh hasil nyeri yang dirasakan
menjadi berkurang dengan skala nyeri 2 setelah pemberian terapi farmakologi anti-ischaemic
therapy berupa antiplatelet (Acetosal dan Clopidrogel), antikoagulan (Enoxaparin), dan
analgesik (ISDN). Sementara itu Bp. HR juga mendapat anti-ischaemic therapy yang sama
ditambah dengan terapi pemberian terapi fibrinolitik, dengan hasil akhir nyeri berkurang dengan
skala nyeri 2. Evaluasi pada Bp. WS dilakukan dalam waktu 4x15 menit dan sesuai dengan
kriteria hasil yang ingin dicapai, sedangkan pada Bp. HR evaluasi ke 4 dilakukan 45 menit
setelah evaluasi 3, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui efektifitas fibrinolitik yang diberikan
dengan tetap melakukan observasi tanda vital pasien setiap 5 menit sewaktu pemberian
fibrinolitik. Jadi dapat disimpulkan bahwa nyeri Bp. WS hilang karena pengaruh analgetik yang
sifatnya sementara sedangkan nyeri yang dirasakan Bp. HR hilang karena terapi fibrinolitik yang
memiliki manfaat yang lebih panjang. Menurut Sudoyo et al (2009) manfaat fibrinolitik bisa
dipertahankan sampai 10 tahun. Evaluasi 4x15 menit pada pasien IMA dipilih karena menurut
teori IMA adalah suatu keadaan yang terjadi akibat iskemia yang berkepanjangan, apabila
keadaan tersebut tidak tertangani dalam 20 menit maka sel-sel miokardium akan mengalami
kematian yang irreversible (Corwin, 2009; Zafari, 2017). Menurut Depkes (2005) keadaan gawat
memerlukan evaluasi setiap 15 menit. Jadi berdasarkan pernyataan tersebut evaluasi yang
dilakukan pada pasien infark miokard dengan nyeri akut sudah sesuai dengan tinjauan teori
sehingga tujuan dan kriteria hasil dapat tercapai.