Anda di halaman 1dari 19

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM


PERKEMIHAN “ INKONTENENSIA URINE “

DISUSUN OLEH :
SUSILAWATI
21230122P

KEPERAWATAN GERONTIK
Ns.TITA SEPTI H,S.Kep.,MNS

UNIVERSITAS DEHASEN BENGKULU


S1 KEPERAWATAN KONVERSI
TAHUN AKADEMIK 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Inkontenensia Urine” suatu penyakit
yang berhubungan dengan sistem Muskuloskeletal.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman mengenai penyakit ini,
serta mengetahui tentang jalan penyakit “Inkontenensia Urine”. Makalah ini disusun untuk
memenuhi mata kuliah “Keperawatan Gerontik”.
Tidak lupa saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini. Terima kasih kepada Ns.Tita Septi H,S.Kep.,MNS
selaku dosen pengajar , yang telah membimbing dalam proses penyelesaian makalah ini.
Makalah ini menurut kami masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat dibutuhkan. Semoga makalah ini bermanfaat untuk semua
yang membacanya.

Bengkulu , 15 Januari 2022

Penulis

ii i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Tujuan Penulisan.................................................................................................2
C. Metode Penulisan................................................................................................2
BAB II LANDASAN TEORI....................................................................................3
A. Definisi................................................................................................................3
B. Klasifikasi............................................................................................................3
C. Etiologi................................................................................................................4
D. Anatomi Fisiologi................................................................................................5
E. Patofisiologi........................................................................................................6
F. Tanda dan Gejala.................................................................................................6
G. Pemeriksaan Medik.............................................................................................8
H. Penatalaksanaan..................................................................................................8
I. Komplikasi..........................................................................................................8
J. Asuhan Keperawatan...........................................................................................9
1. Pengkajian......................................................................................................9
2. Diagnosa Keperawatan................................................................................10
3. Intevensi Keperawatan................................................................................10

4. Implementasi Keperawatan.........................................................................14

5. Evaluasi.......................................................................................................14

BAB III PENUTUP...................................................................................................15


A. Simpulan............................................................................................................15
B. Saran..................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................16

iii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inkontinensia urine merupakan pengeluaran urine secara tidak sadar, sering
pada orang tua dan menyebabkan meningkatnya resiko infeksi saluran kemih,
masalah psikologis, dan isolasi sosial. Inkontinensia cenderung tidak dilaporkan,
karena penderita merasa malu dan juga menganggap tidak ada yang dapat menolong
nya dari penelitian pada populasi lanjut usia dari masyarakat, didapatkan 75% dari
pria dan 12% dari wanita diatas 70 tahun mengalami inkontinensia urine. Sedangkan
mereka yang dirawat di psikogeriatri 15-50% menderita inkontinensia urine.
Inkontinensia dibagi menjadi inkontinensia akut, dan inkontinensia kronik.
Inkontinensia akut atau transien bersifat tiba-tiba, biasanya berhubungan
dengan kondisi pengobatan atau pembedahan. Penyebab inkontinensia akut antara lain
mobilitas terbatas, pecal impaction, delirium, infeksi saluran kemih, DM tak
terkontrol, hiperkalsemia pengobatan anti kolinergik/beta adrenergik/alpha loker,
diuretic, psikotropic, narkotik atau alkohol.
Inkontinensia kronik atau persisten dibagi menjadi stress inkontinensia, urge
inkontinensia, overflow inkontinensia dan fungsional dan fungsional inkontinensia.
Stress inkontinensia biasa terjadi pada lansia wanita. Terjadi akibat peningkatan yang
tiba-tiba pada tekanan intraabdmomen akibat adanya kelemahan otot-otot disekitar
uretra karena kehamilan. Kelahiran pervagina, trauma pembedahan, obesitas dan
batuk kronik. Pada pria stress inkontinensia tidak biasa terjadi tetapi dapat terjadi
apabila ada pembedahan prostate dan terapi radiasi. Urgeinkontinensia pada lansia
biasanya dihubungkan dengan ketidakseimbangan otot detrusor/hiperrefleksia akibat
dari cystitis, urethritis, tumor, batu, juga stroke, dementia dan penyakit parkinson
digubungkan dengan nocturia. Overflow inkontinensia ditandai dengan keluhan sering
miksi dengan volume urine sedikit, sulit memulai miksi dan merasa tidak puas.
Biasanya terjadi pada neuropati diabetic injury tulang belakang, hipertropi prostat dan
multiple sklerosis.
Dari data-data tersebut, maka kami kelompok pada kesempatan kali ini
membahas tentang masalah pada lansia dengan inkontinensia urin.

1
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari asuhan keperawatan ini adalah :
1. Tujuan Umum
Memberikan gambaran tentang Asuhan Keperawatan Gerontik dengan
Gangguan Sistem Perkemihan : Inkontinensia Urin
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan gambaran tentang Konsep Dasar Medis dalam Asuhan
Keperawatan Pada Anak dengan Asuhan Keperawatan Gerontik dengan
Gangguan Sistem Perkemihan : Inkontinensia Urin
b. Memberikan gambaran tentang Konsep Dasar Keperawatan meliputi
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan.
c. Asuhan Keperawatan kepada Ny. M dengan Gangguan Sistem
Perkemihan : Inkontinensia Urin

C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam asuhan keperawatan ini
menggunakan metode deskriptif yaitu berdasarkan :
1. Studi Kepustakaan, dilakukan dalam mempelajari dan mengutip dari buku-buku
sumber bacaan yang berkaitan dengan Labiopalatoskisis.
2. Studi Internet, dilakukan untuk mengambil gambar-gambar dan mengutip materi
dari sumber internet yang terpercaya, yang berkaitan dengan Asuhan Keperawatan
Pada Anak dengan Labiopalatoskisis.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Inkontinensia urine adalah berkemih diluar kesadaran, pada waktu dan
tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau sosial. Aspek
sosial yang akan dialami oleh lansia antara lain kehilangan harga diri, merasa
terisolasi dan depresi.
Inkontinensia urine adalah sering berkemih/ngompol yang tanpa disadari
merupakan salah satu keluhan orang lanjut usia.
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine dalam jumlah dan frekuensi
yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan
sosial (Kane, dkk, 1989).

2. Klasifikasi
1) Inkontinensia Stress
Akibat adanya tekanan didalam abdomen, seperti bersin, atau selama
latihan, menyebabkan kebocoran urine dari kandung kemih. Tidak terdapat
aktivitas kandung kemih. Tipe inkontinensia urine ini sering diderita wanita
yang mempunyai banyak anak.
2) Inkontinensia Mendesak (urge incontinence)
Berkemih dapat dilakukan, tetapi orang biasanya berkemih sebelum
sampai ke toilet. Mereka tidak merasakan adanya tanda untuk berkemih.
Kondisi ini terjadi karena kandung kemih seseorang berkontraksi tanpa
didahului oleh keinginan untuk berkemih.
Kehilangan sensasi untuk berkemih ini disebabkan oleh adanya
penurunan fungsi persarafan yang mengatur perkemihan.
3) Inkontinensia Overflow
Seseorang yang menderita inkontinensia overflow akan mengeluh
bahwa urinenya mengalir terus menerus. Hal ini disebabkan karena obstruksi
saluran kemih seperti pada pembesaran prostat atau konstipasi. Untuk

3
pembesaran prostat yang menyebabkan inkontinensia dibutuhkan tindakan
pembedahan. Dan untuk konstipasinya relatif mudah diatasi.
4) Inkontinensia Refleks
Ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti
demensia. Dalam hal ini, pengosongan kandung kemih dipengaruhi refleks
yang dirangsangoleh pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti
berkemih tidak ada. Penatalaksanaannya dengan permintaan untuk miksi
secara teratur setiap jam atau dengan menggunakan diapers ukuran dewasa.
5) Inkontinensia fungsional
Pada klien ini mempunyai kandung kemih dan saluran urine yang utuh
dan tidak mengalami kerusakan persarafan yang secara langsung
mempengaruhi sistem perkemihan tersebut. Kondisi ini muncul akibat
ketidakmampuan lain yang mengurangi kemampuannya untuk
mempertahankan kontinensia.

3. Etiologi
Etiologi inkontinensia urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :
a. Poliuria, noktoria
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia > 50 tahun.
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh:
1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan
efek akibat dilahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-otot dasar
panggul.
2) Perokok, minum alkohol.
3) Obesitas.
4) Infeksi saluran kemih (ISK)

4
4. Anatomi Fisiologi

1) Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa untuk mengalirkan urine dari ginjal ke
kandung kemih (vesika urinaria), panjangnya sekitar 25 cm dengan
penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan
sebagian terletak dalam rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari 3 lapisan :
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah otot polos (smooth muscle)
c. Lapisan sebelah dalam (lapisan mukosa)
2) Vesika urinaria (kandung kemih)
Kandung kemih dapat mengembang dan mengempis seperti balon
karet, terletak dibelakang simfisis pubis didalam rongga panggul. Bentuk
kandung kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat dan
berhubungan dengan ligamentum vesika umbikalis medius.
3) Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung
kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar dari tubuh. Pada laki-
laki uretra berjalan berkelok-kelok melalui tengah-tengah prostat
kemudian menembus lapisan fibrosa ke bangian penis. Uretra pada wanita
terletak dibelakang simfisis pubis, berjalan mirirng sedikit kearah atas,
panjangnya sekitar 3-4 cm.

5
5. Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
a. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem perkemihan vesika urinaria
(kandung kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml.
Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih
dapat ditundas 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan
berkemih atau miksi terjadi pada otot detrusor kontrasi dan sfingter internal
dan sfingter ekternal relaksasi, yang yang membuka uretra. Pada orang
dewasa muda hampir semua urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia
tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap
adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengidentifikasi adanya retensi urine.
Perubahan yang lainnya pada proses penuaan adalah terjadinya kontraksi
kandung kemih tanpa disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi
estrogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan
mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar ( Stanley M & Beare G
Patricia, 2006 ).
b. Fungsi otot besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung
kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung
kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan.
Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila
batuk atau bersin .

6. Tanda dan Gejala


a. Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai
kamar mandi karena telah mulai berkemih.
b. Desakan, frekuensi, dan nokturia.
c. Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika
tertawa, bersin, melompat, batuk, atau membungkuk.
d. Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urine buruk atau lambat dan
merasa menunda atau mengejan.
e. Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine yang
adekuat.
f. Higiene atau tanda-tanda infeksi.

6
g. Kandung kemih terletak diatas simfisis pubis.

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa
dalam urine.
b. Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika
pasien berkemih.
c. Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih
dengan mengukur efisiensi refleks otot detrusor, tekanan dan kapasitas
intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi eksretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
e. Voiding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan
kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, struktur
uretra, dan tahap gangguan uretra prostatik stenosis (pada pria).
f. Urterografi retrograde, digunakan hampir secara eksklusif pada pria,
membantu diagnosis struktur dan obstruksi orifisium uretra.
g. Elektromiografi sfingter eksternal mengukur aktivitas listrik sfingter urinarus
eksternal.
h. Pemeriksaan rektum pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran prostat
atau nyeri, kemungkinan menandakan hipertfrofi prostat jinak atau infeksi.
Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang mungkin dapat
mentebabkan inkontinensia.
i. Kateterisasi residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya
pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung
kemih.

8. Penatalaksanaan Medik
a. Terapi obat disesuaikan dengan penyebab inkontinensia. Antibiotik diresepkan
jika inkontinensia akibat dari inflamasi yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Obat
antikolinergik digunakan untuk memperbaiki fungsi kandung kemih dan
mengobati spasme kandung kemih jika dicurigai ada ketidakstabilan pada otot
destrusor. Obat antispasmodik diresepkan untuk hiperrefleksia detrusor aktivitas

7
otot polos kandung kemih. Estrogen baik dalam bentuk oral, topikal, maupun
supositoria, digunakan jika ada vaginitis atrofik. Inkontinensia stress kadang dapat
diterapi dengan obat antidepresan.
b. Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu berkemih,
penyegeraan berkemih, dan latihan otot panggul (latihan kegel). Pendekatan yang
dipilih disesuaikan dengan masalah pasien yang mendasari. Latihan kebiasaan dan
latihan berkemih sangat sesuai untuk pasien yang mengalami inkontinensia
urgensi. Latihan otot panggul sangat baik digunakan oleh pasien dengan fungsi
kognitif yang utuh yang mengalami inkontinensia stress. Intervensi perilaku
umumnya tidak dipilih untuk pasien yang mengalami inkontinensia sekunder
akibat overflow. Teknik tambahan, seperti umpan biologis dan rangsangan listrik,
berfungsi sebagai tambahan pada terapi perilaku.Latihan kebiasaan, bermanfaat
bagi pasien yang mengalami demensia atau kerusakan kognitif, mencakup
menjaga jadwal berkemih yang tetap, biasanya setiap 2 sampai 4 jam.
c. Spiral dapat diresepkan bagi pasien wanita yang mengalami kelainan anatomi
seperti prolaps uterus berat atau relaksasi pelvik. Spiral tersebut dapat dipakai
secara internal, seperti diafragma kontrasepsi, dan menstabilkan dasar kandung
kemih serta uretra, yang mencegah inkontinensia selama ketegangan fisik.
d. Toileting terjadwal
e. Penggunaan pads
f. Indwelling kateter, jika retensi urine tidak dapat dikoreksi secara
medis/pembedahan dan untuk kenyamanan klien terakhir.

9. Komplikasi
a. Infeksi saluran kemih.

8
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
Adapun data-data yang akan di kumpulkan dikaji pada asuhan
keperawatan klien dengan diagnosa medis inkontinensia urine :
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis
b. Keluhan utama
Pada kelayan inkontinensia urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan strategi
c. Riwayat penyakit sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha
yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK ( infeksi saluran kemih )
yang berulang, penyakit kronis yang pernah di derita
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit inkontinensia urine, adakah anggota keluarga yang
menderita DM, hipertensi
f. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
1) B1 (breathing)
Kaji adanya pernafasan adanya gangguan pada palo nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. Kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi
2) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
3) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktifitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluhan keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder,

9
pembesaran daerah supra pubik lesi pada neatus uretra, banyak kencing
dan nyeri saat berkemih mendadah disurea akibat dari infeksi, apakah
klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : rasa nyeri disapat pada daerah supra pubik atau pelvis, seperti
rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing atau dapat juga diluar waktu
kencing.
5) B5 (bowel)
Bising usus adalah peningkatan atau penurunan, adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
6) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkan dengan ekstremitas yang
lain, adakah nyeri pada persendian.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kantung
kemih.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang
lama.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh
urine
d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang adekuat

3. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung
kemih.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa
melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinesia.
Kriteria Hasil :
Klien dapat menjelaskan penyebab inkontinesia dan rasional penatalaksaan.
Intervensi :

10
1) Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
Rasional : Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi
kandung kemih
2) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
Rasional : Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya
enurasis
3) Bila masih terjadi inkontinesia kurangi waktu antara berkemih yang telah
direncanakan
Rasional : Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk
menampung volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering
berkemih.
4) Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien
berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu.
Rasional : Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.
5) Pantau pemasukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan
cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
Rasional : Dehidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu
ginjal
6) Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis/ jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkontinensia.

b. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinesia, imobilitas dalam waktu yang


lama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
berkemih dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukan tidak
adanya bakteri.
Intervensi :
1) Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal segera mungkin.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi uretra .

11
2) Jika dipasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(Merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan
setelah buang air besar.
Rasional : Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki
kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3) Ikuti kewaspadaan umum (Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau
darah yang terjadi (Memberikan perawatan perineal, pengosongan kantung
drainase urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik
bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter
Indwelling.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi silang
4) Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2 jam dan anjurkan
masukan sekurang-kurangnya 2400ml / hari. Bantu melakukan ambulasi
sesuai dengan kebutuhan .
Rasional : Untuk mencegah stasis urine.
5) Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
a) Tingkatkan masukan sari buah berri .
b) Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
c) R : Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman . Karena jumlah sari
buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman
urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam
pengobatan infeksi saluran kemih.

c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh


urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan
integritas kulit teratasi.
Kriteria hasil:
1) Jumlah bakteri <100.000/ml
2) Kulit periostomal penuh
3) Suhu 37c
4) Urine jernih dengan sendimen minimal.
Intervensi

12
1) Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam
Rasional : untuk mengindetifikasi kemajuan atau penyimpanan dari hasil
yang diharapkan
2) Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdefekasi.
Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru.
Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dan diameter
stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar
menutupi kulit periastomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah
seperempat sampai setengah penuh.
Rasional : peningkatan berat urine dapat merusak segel
periostomal,memungkinkan kebocoran urin. Pemajanan menetap pada
kulit periostomal terhadap asam urin dapat menyebabkan kerusakan kulit
dan peningkatan resiko infeksi.

d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang adekuat


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan
seimbang
Kriteria hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
1) Awasi tanda-tanda vital
Rasional : pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume
intravaskular, khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2) Catat pemasukan dan pengeluaran
Rasional : untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan
dan penurunan resiko kelebihan cairan.
3) Awasi berat jenis urine
Rasional : untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikan
urine
4) Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
Rasional : membantu periode tanpa cairan meminimalkan kebosanan
pilihan yang terbatas dan menurunkan rasa haus
5) Timbang BB setiap hari
Rasional : untuk mengawasi status cairan

13
4. Implementasi
Pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan radiasi daripada rencana
tindakan keperawatan yang telah diterapkan. Meliputi tindakan independent,
dependent, dan interpendent. Pada pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan,
validasi, rencana keperawatan, mendokumentasikan rencana keperawatan
memberikan asuhan keperawatan dan pengumpulan data. (Susan Martin, 1998).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah hasil akhir dari proses keperawatan dilakukan untuk
mengetahui sampai dimana keberhasilan tindakan yang diberikan sehingga dapat
menemukan intervensi yang akan dilanjutkan. (Susan Martin, 1998)

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine dalam jumlah dan frekuensi yang
cukup banyak, sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial
(Kane, dkk, 1989). Inkontinensia urine banyak terjadi pada lansia perempuan, karena
sistem anatomis dan oersonal higiene.
Pengkajian untuk lansia difokuskan pada poin-poin yang didalamnya berisi
data yang abnormal. Diagnosa yang diangkat mendekati KMB namun lebih
spesifiknya karena proses degeneratif, maka dari itu intervensi yang diberikan adalah
intervensi yang lebih mengarah ke lansia. Seperti senam kegel. Senam kegel berfungsi
untuk mempertahankan status berkemih.

B. Saran
Sumber buku diharapkan lebih banyak referensi lagi. Format pengkajian
referensinya harus sesuai. Kelompok menyadari bahwa makalah kami tidak sempurna
masih banyak kekurangan, maka kelompok membutuhkan kritik dan saran untuk
memperbaiki makalah kami kedepannya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Fatimah, 2010. Meraat Lanjut Usia Suatu Pendekatan Proses Keperawatan Gerontik. Cetakan
Pertama. Jakarta : TIM

Tim pokja PPNI.2017.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.Jakarta:DPP PPNI

www.scrib.com ( di unduh, 14 januari 2022)

16

Anda mungkin juga menyukai