Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KMB 1

“Inkontinensia Urine”
Dosen Pengampu :
Ferry Fadly Fratama, S.ST, M.Tr.Kep

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
ANNISA AMALIA AGUSTINA P07120120003
ENJELINA JUNITA CHRISTNA PUTRI P07120120009
LISA P07120120011
LISA NORJANAH P07120120012
MIFTAHUL RIDHA P07120120015
MUHAMMAD FIKRY RAMADHAN P07120120022
MUHAMMAD MAULANA GHANI HANIF P07120120023
MUHAMMAD RAIHAN ANSARI SALEH P07120120024
NOOR APIFAH RAHMIATI P07120120025
SITI KHADIJAH P07120120034
SRI RAHMAWATI P07120120035
WARDATI SAFITRI P07120120039

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN
JURUSAN D III KEPERAWATAN
BANJARBARU
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan yang diharapkan. Dalam makalah ini
kami akan membahas tentang “Inkontinensia Urine”. Dan juga kami berterima kasih
kepada Bapak Ferry Fadly Fratama, S.ST, M.Tr.Kep selaku dosen pengampu. Makalah ini
disusun sebagai tambahan pengetahuan pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I.
Selain itu, makalah ini juga dapat menambah wawasan kita.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan. kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu dan teman-teman yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha
Esa senantiasa meridai segala usaha kita. Aamiin.

Rantau, 21 Juli 2021

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine involunter (tidak disadari/


mengompol) yang cukup menjadi masalah. Menurut Watson dalam Maryam dkk (2008:
118). Inkontinensia adalah berkemih diluar kesadaran pada waktu dan tempat yang tidak
tepat serta menyebabkan masalah kebersihan atau sosial. Masalah inkontinensia urinarius
dibagi menjadi akut dan persisten. Inkontinensia akut terjadi secara tiba-tiba dan biasaya
akibat dari penyakit akut. Inkontinensia persisten diklasifikasikan menjadi inkontinensia
stres, inkontinensia urgensi, inkontinensia overflow, dan inkontinensia fungsional.
Inkontinensia stress adalah keluarnya urine dengan tiba- tiba akibat aktivitas seperti
tertawa, bersin, batuk, mengangkat beban, melompat atau membungkuk (Stockslager &
Schaeffer, 2008: 247). Diseluruh dunia ada 50 juta orang menderita inkontinensia urine
dengan rasio perempuan dan laki-laki 2:1. Ada 41%-57% wanita lansia berumur lebih dari
40 tahun di Amerika menderita ketidakmampuan ini, sedang di Inggris ada kira-kira 14 juta
orang menderita masalah berkemih, yang artinya ada lebih banyak orang mengalami
masalah perkemihan dari pada asma, diabetes dan epilepsi jika digabungkan (Bali dkk,
2016:155; Barrie, 2015: 45).

Inkontinensia adalah penyebab terbanyak masuknya lansia ke panti werda. Faktanya


ada sebanyak setengah dari penderita tinggal dirumah dan 10% sampai 30% lansia yang
tinggal dikomunitas mengalami inkontinensia. Bahkan dikatakan inkontinensia urine lebih
merata dari pada epilepsi, asma atau dimensia (Rantel, dkk, 2015, h 275; Stockslager &
Schaeffer, 2008, h 247; Voegeli, 2016, h 256). Akibat dari inkontinensia urine boleh
dibilang menjangkau dampak yang luas. Menurut Hisser (1999) dalam Kehinde (2016: 46)
inkontinensia urine meningkatkan resiko kerusakan kulit, infeksi saluran kemih berulang,
dan jatuh. Tidak hanya itu, inkontinensia urine juga menyebabkan kecemasan, rasa malu,
serta berkurangnya kepercayaan diri dan harga diri (Bali, 2015:155).

iii
Walaupun sering terjadi, inkontinensia urine amat jarang dibicarakan secara
terbuka. Bahkan dari total 25.627 artikel ditemukan terkait dengan inkontinensia urin,
2.683 atau 22,1% nya adalah studi mengenai pendekatan klinik dan 3.095 atau 12% nya
terkait kejadian, prevalensi dan teknik evaluasi kesehatan. Ini menunjukan bahwa hanya
sedikit penelitian mengenai intervensi secara prilaku dengan biaya rendah baik bagi pasien
maupun pelayan kesehatan (Barie, 2015:45; Lima, dkk, 2015:8763).

Sangat penting bahwa orang-orang yang mengalami masalah inkontinensia


diberikan kesempatan untuk mendapatkan kembali layanan komprehensif berkualitas tinggi
sebagai bagian penting dari perawatan mereka. Inkontinensia dapat sangat memalukan dan
membuat frustasi, merupakan peran perawat dalam memberikan dan memperhatikan
pelayanan keperawatan kepada individu sesuai dengan diagnosis masalah yang terjadi
mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang kompleks. Seperti
halnya inkontinensia urine, tidak hanya berdampak pada fisik namun psikis, kondisi ini
juga dapat membatasi kerja, kesempatan pendidikan dan rekreasi sehingga menyebabkan
rasa malu sosial dan isolasi (Azizah, 2011: 34; Barrie, 2015: 45). Kendati merupakan
masalah yang umum terjadi pada lansia dan memiliki dampak besar pada kualitas hidup
mereka, inkontinensia bukan konsekuensi penuaan yang ireversibel. Maka dari itu penulis
bermaksud mengaplikasikan asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontinensia urine
baik dalam fisik, psikologi maupun sosial.

Beberapa intervensi keperawatan dapat digunakan untuk mengobati inkontinensia.


Semakin banyak bukti bahwa terapi dapat menurunkan insiden dan biaya terapi
inkontinensia urine (Beheshti & Fonteyn, 1998; Ouslander, dkk, 1993 dalam Maas 2011:
337).

iv
1.2 Rumusan Masalah

a. Apa pengertian Inkontinensia Urine ?


b. Apakah faktor- faktor risiko Inkontinensia Urine ?
c. Bagaimana penyebab terjadinya Inkontinensia Urine ?
d. Bagaimana gejala- gejala dari Inkontinensia Urine ?
e. Bagaimana patofisiologi terjadinya Inkontinensia Urine ?
f. Bagaimana kompikasi yang mungkin terjadi pada pasien yang mengalami
Inkontinensia Urine ?
g. Bagaimana tatalaksana Inkontinensia Urine ?
h. Bagaimana prognosis Inkontinensia Urine ?

1.3 Tujuan penulisan

a. Untuk mengetahui pengertian Inkontinensia Urine.


b. Untuk mengetahui faktor- faktor risiko Inkontinesia Urine.
c. Untuk mengetahui saja penyebab Inkontinesia Urine.
d. Untuk mengetahui saja gejala- gejala dari Inkontinesia Urine.
e. Untuk mengetahui patofisiogi terjadinya Inkontinensia Urine.
f. Untuk mengetahui komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien yang mengalami
Inkontinensia Urine.
g. Untuk mengetahui tatalaksana Inkontinensia Urine.
h. Untuk mengetahui prognosis Inkontinensia Urine.

v
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian inkontinesia urine

Inkontinensia urine merupakan kondisi hilangnya kontrol kandung kemih, sehingga


pengidap bisa mengeluarkan urine tanpa disadari. Inkontinensia urin penyakit kandung
kemih yang umum dan semua orang dapat mengalaminya. Hanya saja, kondisi ini lebih
banyak dialami wanita dan orang lanjut usia. Meskipun tidak membahayakan, bukan berarti
kondisi ini boleh diabaikan.

Gangguan kontrol kandung kemih yang tidak ditangani dapat mengakibatkan sejumlah
komplikasi. Masalah kesehatan ini bisa meningkatkan risiko infeksi saluran kemih dan
penyakit kandung kemih, serta mengurangi kualitas hidup penderitanya.

2.2 Faktor Risiko Inkontinensia Urine

Risiko inkontinensia lebih besar pada orang-orang dengan kondisi berikut.

a. Berjenis kelamin wanita, wanita lebih berisiko karena adanya tekanan pada daerah
perut akibat anatomi tubuh, kehamilan, melahirkan, dan menopause.
b. Lanjut usia, seiring bertambahnya usia, otot kandung kemih dan uretra akan
semakin melemah.
c. Kelebihan berat badan, berat badan berlebih memberikan tekanan pada otot
kandung kemih dan area sekitarnya sehingga otot-otot tersebut melemah.
d. Menderita penyakit tertentu, penyakit yang paling berkaitan dengan masalah
inkontinensia adalah diabetes, gangguan prostat, dan penyakit terkait saraf.

2.3 Penyebab Inkontinensia Urine

vi
Inkontinensia urine pada dasarnya bukanlah penyakit, melainkan ciri dari suatu masalah
kesehatan. Penyebabnya dapat berasal dari kebiasaan sehari-hari, penyakit yang telah ada,
atau kelainan pada kondisi fisik Anda. Secara umum, berikut berbagai hal yang dapat
menyebabkan inkontinensia.

a. Inkontinensia sementara

Inkontinensia sementara sering kali disebabkan karena makanan, minuman, obat,


atau suplemen yang bersifat diuretik. Apa pun yang bersifat diuretik akan menambah kadar
air dan garam pada urin sehingga air kencing yang dihasilkan lebih banyak. Diuretik yang
ada di sekitar Anda antara lain: kafein, seperti kopi dan the, minuman beralkohol, minuman
bersoda, cokelat,pemanis buatan, makanan pedas, manis, dan asam, obat darah tinggi dan
penyakit jantung, serta suplemen vitamin C dosis besar. Tidak hanya diuretik, inkontinensia
urin sementara juga bisa disebabkan oleh gangguan kesehatan umum seperti: Infeksi
saluran kemih. Infeksi menyebabkan iritasi pada kandung kemih. Iritasi memicu rasa ingin
buang air kecil dan terkadang inkontinensia. Sembelit. Feses yang menumpuk pada rektum
dapat menekan kandung kemih (cystitis) sehingga menimbulkan rasa ingin buang air kecil.

b. Inkontinensia jangka panjang

Inkontinensia jangka panjang biasanya disebabkan oleh penyakit atau perubahan pada
kondisi fisik, seperti:

i. Pertambahan usia, fungsi penyimpanan kandung kemih menurun seiring usia. Selain
itu, kandung kemih juga lebih sering berkontraksi saat Anda lebih tua.
ii. Kehamilan, perubahan hormon dan perkembangan janin dapat menimbulkan
tekanan pada kandung kemih sehingga terjadi inkontinensia urin.
iii. Persalinanan, persalinan melalui vagina bisa melemahkan otot kandung kemih.
Akibatnya, kandung kemih turun (sistokel) dan menyebabkan kebocoran urin.
iv. Menopause, penurunan hormon estrogen menyebabkan dinding kandung kemih
menipis. Penipisan ini membuat urin lebih mudah keluar dari kandung kemih.
v. Pembesaran prostat, prostat yang membesar (disebut juga penyakit BPH) akan
menekan kandung kemih sehingga timbul rasa ingin buang air kecil.

vii
vi. Kanker prostat, kanker prostat maupun efek samping pengobatannya dapat
memberikan tekanan pada kandung kemih dan menyebabkan inkontinensia.
vii. Operasi pengangkatan Rahim, prosedur operasi meningkatkan risiko kerusakan otot
panggul sehingga berdampak pada inkontinensia.

2.4 Gejala Inkontinensia Urine

a. Stress incontinence

Urin keluar setiap kali kandung kemih tertekan. Tekanan dapat berasal dari olahraga,
batuk, tertawa, bersin atau mengangkat benda berat. Kondisi ini biasanya dialami oleh
wanita berusia 45 tahun ke atas, atau terkadang lebih muda. Pada wanita, tekanan selama
proses melahirkan juga menyebabkan inkontinensia. Sementara pada pria, tekanan mungkin
disebabkan oleh peradangan atau pembesaran kelenjar prostat.

b. Urge incontinence

Kondisi ini terjadi ketika seseorang tiba-tiba ingin kencing (overactive bladder) dan
tidak bisa ditahan. Kebanyakan orang yang mengalami tipe inkontinensia urine ini adalah
penderita penyakit diabetes, Alzheimer, Parkinson, stroke dan multiple sclerosis. Rasa ingin
buang air kecil biasanya muncul begitu sering dan mendadak, termasuk saat Anda tertidur.
Anda mungkin akan bangun berkali-kali di tengah malam dalam kondisi yang disebut
nokturia.

c. Overflow incontinence

Kondisi ini terjadi saat ada sedikit kebocoran urine dari kandung kemih yang terisi
penuh. Urine akan sering keluar atau menetes terus-menerus karena kandung kemih tidak
bisa kosong seutuhnya. Biasanya, penyebabnya berkaitan dengan gangguan saraf.

d. Functional incontinence

Tipe inkontinensia ini banyak dialami orang lanjut usia atau penderita penyakit tertentu
dengan fungsi kandung kemih yang sudah menurun. Mereka mungkin tidak dapat pergi ke
toilet tepat waktu sehingga sudah mengompol terlebih dulu.

viii
2.5 Patofisiologi Inkontinensia Urine

Patofisiologi inkontinensia urin terjadi akibat disfungsi mekanisme interaksi


aktivitas otot detrusor, fungsi sfingter uretra, dan sistem saraf, sehingga fungsi
kontinensia saat penyimpanan (storage) atau pengeluaran (voiding) tidak berlangsung
dengan baik. Fisiologi berkemih sangat tergantung pada struktur anatomi (vesika
urinaria, uretra, dan otot pelvis), jaringan penyokongnya, serta sistem persarafan traktus
urinarius bawah. Traktus urinarius bawah berfungsi untuk menyimpan (storage/filling)
dan mengeluarkan urine (voiding). Kelainan pada mekanisme ini akan menyebabkan
gangguan miksi dan terkadang menyebabkan inkontinensia.

2.6 Komplikasi Inkontinensia Urine


a. Komplikasi inkontinensia urine dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu komplikasi
medis, komplikasi psikologis, serta komplikasi akibat tata laksana pembedahan.
b. Komplikasi medis : infeksi genitalia berulang, kandidiasis perineal, iritasi kulit
persisten, gangguan tidur, luka decubitus, selulitis, trauma dan risiko jatuh, dan
infeksi saluran kemih akibat kateter (Catheter associated urinary tract infection).
c. Komplikasi psikologis : gangguan rasa percaya diri, social withdrawal, depresi,
disfungsi seksual, dan gangguan kualitas hidup.
d. Komplikasi pembedahan : infeksi pasca operasi, perdarahan, kerusakan traktus
gastrointestinal atau genitourinaria, dispareunia pasca operasi, prolaps organ, dan
inkontinensia rekuren.

2.7 Tatalaksana Inkontinensia Urine


Penatalaksanaan inkontinensia urine sangat tergantung dari jenis dan penyebab
inkontinensia yang dialami. Tata laksana etiologi merupakan hal yang pertama kali

ix
harus dilakukan karena dalam beberapa kasus, inkontinensia urine dapat reversibel
ketika etiologi telah teratasi. Apabila inkontinensia urine tetap terjadi, pilihan terapi
mencakup modalitas nonfarmakologi, farmakologi, dan pembedahan sesuai dengan
jenis inkontinensia urine. Tata laksana yang dapat dilakukan berdasarkan jenis
inkontinensia antara lain :
a. Inkontinensia stress: latihan otot pelvis, farmakoterapi, atau pembedahan
b. Inkontinensia urgensi: modifikasi diet dan gaya hidup, menurunkan berat badan,
terapi perilaku, farmakoterapi, atau pembedahan
c. Inkontinensia luapan: kateterisasi intermiten, tata laksana sesuai etiologi, latihan
otot pelvis
d. Inkontinensia campuran: latihan otot pelvis, farmakoterapi, atau pembedahan,
bladder training
e. Inkontinensia fungsional: tata laksana faktor etiologi yang mendasari.

Selain terapi non farmakologi yang memuat latihan otot pelvis, modifikasi diet dan
gaya hidup, latihan kandung kemih/bladder training ada juga terapi farmakologi yang dapat
diberikan seperti pemberian obat antikolinergik, antidepresan, dan agonis reseptor beta 3.
Selain memberikan obat-obatan untuk inkontinensia urine, riwayat konsumsi obat pasien
juga harus diperhatikan, terutama bila terdapat obat yang dapat memperburuk gejala
inkontinensia.

a. Obat antikolinergik

Obat Dosis Efek samping

Fesoterodin 4 – 8 mg per hari Hepatotoksik

Oksibutinin 2,5 – 5 mg per hari Konstipasi, sedasi, delirium

Tolterodin 2 – 4 mg per hari Penurunan fungsi ginjal

Darifenacin 7,5 – 15 mg per hari Hepatotoksik

x
b. Antidepresan

Kombinasi obat antikolinergik dengan antidepresan serotonin-norepinefrin reuptake


inhibitor (SNRI) dilaporkan memberi efek terapi yang baik. Akan tetapi, SNRI tidak dapat
digunakan sebagai terapi tunggal pada inkontinensia. Duloksetin efektif dalam
memperbaiki gejala inkontinensia stress dan urgensi pada pasien inkontinensia campuran.

c. Agonis Beta 3

Reseptor beta 3 ditemukan pada sel otot halus detrusor. Mirabegron dapat berfungsi
sebagai relaksan otot detrusor, sehingga dapat memperbaiki inkontinensia urgensi. Obat ini
masih tergolong baru, sehingga penggunaannya masih terus dipelajari. Beberapa studi
menunjukkan bahwa kepatuhan obat terhadap mirabegron cukup rendah karena efek
samping mulut kering yang ditimbulkan cukup berat. [4,5,7,23]

d. Terapi Hormonal

Estrogen memegang peranan dalam inkontinensia urine, khususnya pada wanita


post menopause. Studi menunjukkan bahwa terapi hormonal dengan estrogen ataupun
kombinasi estrogen/progesterone dapat memperburuk inkontinensia yang dialami, sehingga
tidak direkomendasikan. Namun demikian, terdapat studi bahwa pemberian estrogen
topikal dapat memperbaiki inkontinensia urgensi dan stress akibat atrofi vagina dan
jaringan penyokong uretra pada wanita post menopause.

2.8 Prognosis Inkontinensia Urine

Prognosis pada inkontinensia urine tergantung dari jenis inkontinensia yang dialami dan
penyebab terjadinya inkontinensia. Adanya kelainan neurologis berat, usia lanjut,
kerusakan otot detrusor, dan disabilitas fisik, merupakan penanda prognosis yang lebih
buruk. Inkontinensia urine juga merupakan salah satu penyebab utama pasien memerlukan
perawatan khusus dan memerlukan caregiver khusus. Sebuah studi prospektif pada 267

xi
wanita dengan inkontinensia stress mendapatkan bahwa adanya riwayat inkontinensia
sebelumnya, riwayat persalinan kala dua memanjang, indeks massa tubuh > 30 kg/m2,
aktivitas dan kekuatan fisik rendah, serta stress adalah penanda prognosis buruk pada
pasien inkontinensia stress yang menjalani fisioterapi. Inkontinensia urine pada umumnya
tidak sembuh total, tetapi dapat mengalami perbaikan bila mendapatkan terapi yang tepat,
fisioterapi dilakukan dengan baik, dan faktor penyebab inkontinensia dapat diatasi.
Intervensi pembedahan inkontinensia stress memiliki rata-rata kesembuhan 72-89,5%.
Pemberian obat-obatan pada inkontinensia urgensi memiliki kesuksesan sekitar 35,6-58%.

xii
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. I DENGAN INKONTENSIA URIEN

1. Pengkajian

Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan klien dengan
diagnosa medis Inkontinensia Urine :

a. Identitas Klien.
Nama : Tn.I
Umur : 65 Tahun
Jenis Kelamin : Laki;laki
Golongan Darah :A
Alamat : Desa Gambah Dalam, Kecamatan Kandangan,Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku Bangsa : Banjar, Indonesia
Status : Sudah Menikah
Diagnosa Medis : Inkontinensua Urien

b.  Keluhan Utama

Keluhan utama pada pasien Inkontinensia Urine didapatkan keluhan-keluhan yang ada
adalah urine keluar tidak terkontrol, nokturia, urgence, disuria, , oliguri, dan staguri.

xiii
BAB IV

xiv
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan makalah diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, Diseluruh dunia
ada 50 juta orang menderita inkontinensia urine dengan rasio perempuan dan laki-laki 2:1.
Ada 41%-57% wanita lansia berumur lebih dari 40 tahun di Amerika menderita
ketidakmampuan ini, sedangkan di Inggris ada kira-kira 14 juta orang menderita masalah
berkemih, yang artinya ada lebih banyak orang mengalami masalah perkemihan dari pada
asma, diabetes dan epilepsi jika digabungkan (Bali dkk, 2016:155; Barrie, 2015: 45).

Risiko inkontinensia lebih besar pada orang-orang dengan kondisi berikut.

a. Berjenis kelamin wanita, wanita lebih berisiko karena adanya tekanan pada
daerah perut akibat anatomi tubuh, kehamilan, melahirkan, dan menopause.
b. Lanjut usia, seiring bertambahnya usia, otot kandung kemih dan uretra akan
semakin melemah.
c. Kelebihan berat badan, berat badan berlebih memberikan tekanan pada otot
kandung kemih dan area sekitarnya sehingga otot-otot tersebut melemah.
d. Menderita penyakit tertentu, penyakit yang paling berkaitan dengan masalah
inkontinensia adalah diabetes, gangguan prostat, dan penyakit terkait saraf.

3.2 Saran
Peran perawat dalam memberikan dan memperhatikan pelayanan keperawatan
kepada orang-orang yang mengalami masalah inkontinensia sangatlah penting, mereka
seharusnya diberikan kesempatan untuk mendapatkan kembali layanan komprehensif
berkualitas tinggi karena itu merupakan bagian penting dari perawtan mereka. Peran
perawat dalam memberikan dan memperhatikan pelayanan kepada individu sesuai dengan
diagnosis masalah yang terjadi mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada
masalah yang kompleks. Seperti halnya inkontinensia urine ini.

xv
DAFTAR PUSTAKA
Nursalam. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem

xvi
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

Daneshgari, F, Moore, C. (2007). Pathophysiology of Stress Urinary


lncontinence in Women. ln Multidisciplinary Management of
Female Pelvic Floor Disorder, 45-50

D Novalinda. 2020. Inkontinensia urin lansia. scholar.unand.ac.id

AIP SRI. 2020. Asuhan Keperawatan pada lansia Ny. M dengan kasus
inkontinensia urin. scholar.unand.ac.id

xvii

Anda mungkin juga menyukai