Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.

L DIAGNOSA MEDIS BPH

DI POLI UROLOGI WILLIAM BOOTH

SURABAYA

Oleh

YUSTINA SANTINA MANUTMASA

2019.01.020

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN Tk2 SEKOLAH


TINGGI ILMU KEPERAWATAN WILLIAM BOOTH
SURABAYA

2021

1
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.L DENGAN DIAGNOSA MEDIS BPH

DI POLI UROLOGI WILLIAM BOOTH

SUARABAYA

Oleh:

YUSTINA S MANUTAMASA

2019.01.020

PROGGRAM STUDI SI KEPERWATAN TK-2

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WILLIAM BOOTH

SURABAYA

202

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha Esa . yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. adapun judul makala yang kita mabil yaitu”Asuhan keperawatan
pada Tn. M dengan diagnosa Medis BPH diruang Poli urologi William Booth
Surabaya.
Tujuan dari penulisan makalah Asuhan Keperawatan ini adalah sebagai salah
satu syarat

Kami menyadari bahwa dalam penyelesaiaan makalah ini mengalami banyak


hambatan namun. Namun berkat dorongan dari berbagai pihak. Makalah ini
dapat terselesaikan oleh karena itu. Pada kesempatan ini kami menyampaikan
Terima kasih kepada:

1. Aristina Halawa. M.Kep..Ns.,Sp.Kep.J.,selaku ketua STKES William


Booth Surabaya yang telah menyediakan sarana dan prasarana
sehingga penulis dapat menyelesaikan kasus Asuhan keperawatan
Manusia.

2. Budi Artini. S.Kep., Ns. M.Kep., selaku pembimbing Akademik yang


telah memberikan bimbingan dan dukungan. Pengarahan dan motivasi
bagi penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari atas ketidaksempurnaan makalah Asuhan keperawatan


ini. Sehingga akan menjadi suatu kehormatan besar bagi kami apabila
mendapatkan kritikan dan saran yang membangun agar. Tugas makala
Asuhan keperatan selanjutnya dapat lebih baik dan sempurna.demikian
akhir kata dari kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

3
Surabaya 12 juli 2021

Penulis

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Eliminasi urin adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik
berupa urin atau bowel(feses) miksi adalah proses pengosongan kandung kemih
bila kandung kemih terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses
eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Proses ini
terjadi dari dua langkah utama yaitu kandung kemih secara progresif terisi
sampai tangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang kemudia
mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang disebut refleks
miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau
jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk
berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomic medulla spinalis,
refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks atau batang
otak.
Kandung kemih dipersarafi araf saraf sacral (S-2) dan (S-3). Saraf sensori
dari kandung kemih dikirim ke medulla spinalis (S-2) sampai (S-3) kemudian
diteruskan ke pusat miksi pada susunan saraf pusat. Pusat miksi mengirim
signal pada kandung kemih untuk berkontraksi. Pada saat destrusor
berkontraksi spiter inte berelaksasi dan spinter eksternal dibawah kontol
kesadaran akan berperan, apakah mau miksi atau ditahan. Pada saat miksi
abdominal berkontraksi meningkatkatkan kontraksi otot kandung kemih,
biasanya tidak lebih 10 ml urine tersisa dalam kandung kemih yang disebut
urine residu. Pada eliminasi urine normal sangat tergantung pada
individu.Biasanya miksi setelah bekerja, makan atau bangun tidur, normal
miksi sehari 5 kali.

5
Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi
tubuh yang normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah
pada gastrointestinal dan bagian tubuh lain. Karena fungsi usus tergantung pada
keseimbangan beberapa factor, pola eliminasi dan kebiasaan masing-masing
orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari perawat untuk
memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit dapat menghindari
mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka menjadi tidak mempunyai
kemampuan fisik untuk mengunakan fasilitas toilet yang normal ;lingkungan
rumah bisa menghadirkan hambatan untuk klien dengan perubahan mobilitas,
perubahan kebutuhan peralatan kamar mandi. Untuk menangani maslah
eliminasi yang normal dan factor-faktor yang mempengaruhi eliminasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja pengkajian dari masalah keperawatan gangguan eliminasi
urin?
2. Apa saja diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien?
3. Apa saja intervensi dari masalah keperawatan gangguan eliminasi?
4. Apa saja implementasi dari masalah keperawatan gangguan
eliminasi?
5. Bagaimana evaluasi yang didapat setelah dilakukan tindakan
keperawatan gangguan eliminasi?

1.3 Tujuan Umum


Mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien gangguan
eliminasi urin.
1.4 Tujuan Khusus
1. Mampu melakukan pengkajian masalah keperawatan pada pasien
2. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
masalah keperawatan gangguan eliminasi urin

6
3. Mampu merencanakan intervensi apa saja yang dilakukan untuk
masalah keperawatan pada pasien dengan gangguan eliminasi urin
4. Mampu melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan
masalah gangguan eliminasi urin
5. Mampu melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan
masalah keperawatan gangguan eliminasi urin

7
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 PENGERTIAN

Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seseorang individu


mengalami atau berisiko mengalami disfungsi urine, biasanya orang yang
mengalami gangguan eliminasi urin akan dilakukan katerisasi urine , yaitu
tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra
dengan tujuan mengeluarkan urine.

2.2 Anatomi Fisiologi


Sistem urinaria adalah sistem organ yang memproduksi, menyimpan, dan
mengalirkan urin. Pada manusia, sistem ini terdiri dari dua ginjal, dua ureter,
kandung kemih, dua otot sphincter, dan uretra.

a) Ginjal

b) Ureter

c) Kandung kemih

d) Uretra

2.3 Etiologi

a) Pertumbuhan dan perkembangan


Usia dan berat dapat memengaruhi jumlah pengeluaran urine. Pada usia
lanjut volume bladder berkurang, demikian juga wanita hamil sehingga
frekuensi berkemih juga lebih sering.
b) Sosiokultural
Budaya masyarakat dimana sebagian masyarakat hanya dapat miksi pada
tempat tertutup dan sebaliknya ada masyarakat yang dapat miksi pada
lokasi terbuka juga.

c) Psikologis
Pada keadaan cemas dan stress akan meningkatkan stimulasi berkemih.
d) Kebiasaan keseseorang
Misalnya seseorang hanya bisa berkemih di toilet, sehingga ia tidak dapat
berkemih dengan menggunakan pot urine.

8
e) Tonus otot
Eliminasi urine memerlukan tonus otot bladder, otot abdomen, dan pelvis
untuk berkontraksi. Jika ada gangguan tonus, dorongan otot untuk
berkemih juga akan berkurang.
f) Intake cairan dan makanan
Alkohol menghambat Anti Diuretik Hormon (ADH) untuk meningkatkan
pembuangan urine. Kopi, teh, coklat, cola (mengandung kafein) dapat
meningkatkan pembuangan dan ekskresi urine.
g) Kondisi penyakit
Pada pasien yang demam akan terjadi penurunan produksi urine karena
banyak cairan yang dikeluarkan melalui kulit. Peradangan dan iritasi
organ kemih menimbulkan retensi urine.
h) Pembedahan
Penggunaan anestesi menurunkan filtrasi glomerulus sehingga produksi
urine akan menurun.
i) Pengobatan
Penggunaan diuretic meningkatkan output urine, antikolinergik, dan
antihipertensi menimbulkan retensi urine
j) Pemeriksaan diagnostik
Intravenus pyelogram di mana pasien dibatasi intake sebelum prosedur
untuk mengurangi output urine. Cystocospy dapat menimbulkan edema
local pada uretra, spasme pada spinter bladder sehingga dapat
menimbukan urine.
k) Gangguan eliminasi urin
l) aktivitas

9
2.4 Patofisiologi

a) Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan


masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda.
Pada pasien dengan usia tua. Trauma yang menyebabkan cedera medulla
spinal. Gangguan traumatic pada tulang belakang bisa mengakibatkan
kerusakan pada medulla spinalis. Lesi trauatik pada medulla spinalis tidak
selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa
kerusakan yang nyata pada tulang belakang, fek traumatiknya bisa
mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinalis, cedera merupakan
salah satu penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafasan
berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenic
dikaitkan dengan cedera medulla spinallis yang umunya dikaitkan sebagai
syok spinal syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktifitas reflexnya
tidak ada hal ini mempenhgaruhi reflex yang erangsang fungsi berkemih
dan defekasi distensi usu dan ileus paralitik disebbakan oleh depresi reflex
yang dapat diatasi dengan dekompresi usus(Brunner & Suddarth, 2002 )
hal senada disampaikan pada komplikasi syok spinal terdapat tanda
gangguan fungsi outonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan
hipotensi ortostak serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal.
Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan
pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama
fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih
menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih.
Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari
aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan
tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang
simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi
oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama
yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls
afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal
sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari
batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal.

10
Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi
pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus
pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter
eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal.
Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak
menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma
kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau
obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf
pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal,
khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan
manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan
dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.

11
2.5 Patway

Terjadi pengisapan
kandung kemih

Tekanan dalam
kandung kemih

Otot detrukso
relaksasi

Folume daya
tamping
membesar

Distimulus lewat
serabut reflexks
eferen

Sfingter interna Sfngter eksterna


menutup relaksasi

Urine masuk ke Isi kandung


uretra kemih keluar

Terjadi inkontensia
urin

12
2.6 Manifestasi klinis

1. Inkontinensia Urinarius Fungsional

2. Inkontinensia Urine Aliran Berlebih

3. Inkontinensia Urine Refleks

4. Inkontinensia Urine Stres

5. Inkontinensia Urine Dorongan

6. Gangguan Eliminasi Urine

7. Kesiapan Meningkatkan Eliminasi Urine

8. Retensi Urine

2.7 Penatalaksanaan

1. Menggunakan urinal untuk berkemih

Tujuan : memenuhi kebutuhan eliminasi perkemihan

Cara kerja :
 Jelaskan prosedur pada klien
 Cuci tangan
 Pasang sampiran
 Pasang alas urinal di bawah glutea
 Lepas pakaian bawah pasien
 Letakkan urinal dibawah bokong (untuk wanita) atau diantara
kegua paha dengan ujung penis masuk ke lubang urinal (untuk
pria)
 Anjurkan pasien untuk berkemih
 Setelah selesai bersihkan dengn tissue kamar mandi
 Rapikan alat

13
 Cuci tangan, catat prosedur warna dan jumlah urine
2. Cara kerja pemasangan kateter perkemihan pria
 jelaskan prosedur
 cuci tangan
 pasang sampiran
 pasang perlak
 gunakan sarung tangan steril
 pasang duk steril
 tangan kiri memengang penis lalu ditarik ke pangkalnya dan
bersihkan dengan kapas sublimat
 kateter diberi peminyak pelumas atau jeli pada ujungnya. Lalu
masukan perlahan (17.5-20)dan sambil anjurkan pasien
menarik nafas
 jika tertahan tidak boleh dipaksakan
 setelah kateter masuk, isi balon dengan cairan
aquades/sejenisnya untuk kateter menetap,dan bila intermiten
tarik kembali sambil pasien diminta menarik nafas
 sambung kateter dengan katung penampung dan ffiksasi kea rah
atas paha
 rapikan alat
 cuci tangan setelah prosedur dilakukan
 catat prosedur dan respon pasien.

14
2.8 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan scara teori:

a) Pengkajian
Riwayat keperawatan
 pola perkemihan
 frekuensi urin
 gejala dari perubahan berkemih
 faktor yang mempengaruhi berkemih
Pemeriksaan fisik
 abdomen
 genetalia wanita
 genetalia laki-laki
Intake dan output cairan
 Kaji intake dan output cairan dalam sehari (24 jam).
 Kebiasaan minum di rumah.
 intake, cairan infus, oral, makanan, NGT
 Kaji perubahan volume urine untuk mengetahui
ketidakseimbangan cairan
 Output urine dari urinal, cateter bag, drainage ureterostomy,
sistostomi.
 Karakteristik urine : warna, kejernihan, bau, kepekatan

15
b) Diagnosa Keperawatan
1. gangguan eliminasi urin b/d ketidak mampuan mengakses
toilet(mis. Imobilisasi) yang ditandai dengan
 Data mayor:desakan berkemih .
 Data minor(-) (D . 0040)
2. inkontensia urin stres b/d peningkatang tekanan intra abdomen
yang di tandai dengan
 Data mayor: mengeluh keluar urin ≤50 ml tekanan abdomen
meningkat (mis. Saat berdiri,bersin.tertawa. berlari atau
mengangkat benda berat.
 Data minor: pengeluaran urin tidak tuntas ( D.0046)
3. inkontensia urin fungsional b/d hambatan imobilisasi
 berhubungan dengan
 Data mayor: mengompol sebelum mencapai atau selama usaha
mencapai toilet
 Data minor: mengompol di waktu pagi hari( D.0044)

c) Itervwensi keperwaatan
1. gangguan eliminasi urin b/d ketidak mampuan mengakses toilet(mis.
Imobilisasi)
Tujuan : setelah dilakukan keperawatan selama 3x 24 jm pasien di
harapkan mampu memenuhi kebutuhan dasar dengan kriterya hasil,
 desakan berkemih (cukup menurun)
 distensi kandung kemih(cukup menurun)

 volume resude urine (cukup menurun)
Intervensi:Tindakan
Observasi:
 identivikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia
 monitor tingkat kemandirian

16
 identivikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri .berpakaian
berhias dan makan
Terapeutik
 dampingi dalam melakukan perawatan diri secara konsisten
 sediakan lingkungan yang terapeutik
 damping dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri
Edukasi :
 anjurkan melakukan perawatan diri secara mandiri
2. inkontensia urin stres b/d peningkatann tekanan intra abdomen
Tujuan:setelah dilakukan perawatan pasien tidak lagi mengali
gangguan berkemih.
 verbalisasi pengeluaran urin tidak tuntas (cukup menurun )
 distensi kandung kemih (sedang)
 nokturia(cukup menuru)
Intervensi;tindakan
 monitor pengeluaran urin
Terapeutik:
 berikan reinforcement positif selama melakukan latihan dengan
benar
Edukasi :
 anjurkan berbaring
 anjurkan tidak mengontraksi perut ,kaki dan bokong saat
melakukan latihan otot panggul
 anjurkan menahbah durasi kontraksi –relaksasi 10 detik dengan
siklus 10-20 kali. Dilakukan 3-4 kali sehari.
 anjurkan mengevaluasasi latihan yang dilakukan dengan cara
menghentikan urin sesaat BAK, seminggu sekali.
Kolaborasi :
 kolaborasi rehabilitasi medic untuk mengukur kekuatan
kontraksi otot dalam panggul.

17
3. inkontensia urin fungsional b/d hambatan mobilitasi fisik
Tujuan:setelah dilakukan perawatan di harapkan pasien dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya dengan kriteria:
 verbalisasi pengeluaran urin tidak tuntas (cukup menurun )
 distensi kandung kemih (sedang)
 nokturia(cukup menuru)
 Intervensi:tindakan
 monitor pengeluaran urin
Terapeutik:
berikan reinforcement positif selama melakukan latihan dengan benar
Edukasi :
 anjurkan berbaring
 anjurkan tidak mengontraksi perut ,kaki dan bokong saat
melakukan latihan otot panggul
 anjurkan menahbah durasi kontraksi –relaksasi 10 detik dengan
siklus 10-20 kali. Dilakukan 3-4 kali sehari.
 anjurkan mengevaluasasi latihan yang dilakukan dengan cara
menghentikan urin sesaat BAK, seminggu sekali
Kolaborasi :
 kolaborasi rehabilitasi medic untuk mengukur kekuatan
kontraksi otot dalam panggul.

18
BAB III

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada BAB ini penulis akan menguraikan persamaan dan kesenjangan


dari kasus BAK antara kasus nyata dan teori yang meliputi pengkajian
asuhan keperawatan, Diagnosa. Intervensi, dan Evaluasi, dari masalah
keperawatan

PENGKAJIAN

20

Anda mungkin juga menyukai