Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH ILMU KEPERAWATAN DASAR

KONSEP, PRINSIP, KETERAMPILAN KLINIS, SERTA STUDI


KASUS PADA GANGGUAN ELIMINASI FEKAL

Kelompok 2:
Miwi Yulianti 2011316007
Syamila Adina 2011316008
Rahmi Zikri 2011316009
Melinda Nopiya S.U.P 2011316010
Afifah A. Diva Putri 2011316011
Muhammad Rezky A. 2011316012

Dosen Pembimbing:
Ns. Dewi Murni, M.Kep.

S1 KEPERAWATAN PROGRAM B
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2020
KATA  PENGANTAR

Segala  puji  hanya  milik  Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah, serta inayahnya kepada kita semua. Sholawat  dan  salam  tercurah kepada
Nabi Muhammad SAW atas segala limpahan  rahmat dan karunia yang telah
diberikan, sehingga kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini. Dalam makalah
ini kami akan menjelaskan tetang Konsep, Prinsip, dan Keterampilan Klinis
Eliminasi berserta Studi Kasus.
Semoga dengan makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
bermanfaat kepada kita semua, khususnya bagi para mahasiswa. Kami sadar bahwa
dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna dan mempunyai banyak
kekurangan, semoga dapat di maklumi. Terima kasih.

Padang, 29 Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Definisi Eliminasi..................................................................................... 3
B. Anatomi Sistem Eliminasi Fekal ............................................................. 3
C. Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal ......................................... 5
D. Defekasi ................................................................................................... 10
E. Prosedur Keperawatan Untuk Memenuhi Kebutuhan Eliminasi ............ 12
BAB III STUDI KASUS
A. Kasus ....................................................................................................... 18
B. Analisa Kasus .......................................................................................... 18
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 25
B. Saran ........................................................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eliminasi normal adalah defekasi merupakan faeces normal tubuh yang
penting bagi kesehatan membuang sisa metabolism tubuh, seperti melalui
gastrointertinal (berhubungan eliminasi fekal/buang air besar) dan perkemihan
(berhubungan dengan eliminasi urin/berkemih). Hal ini merupakan fungsi dasar
yang banyak orang mengalaminya. Bila salah satu sistem terganggu dan
eliminasi normal tidak terjadi, maka sistem tubuh lain akan berpengaruh.
Masalah gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi yang saudara perlu
pengawasan berhubungan dengan kontipasi, inkontinesia fekal dan urine,
retensio urine dan lain-lain. Selain itu, gangguan eliminasi dapat memiliki
dampak emosi, sosial dan aktivitas sehari-hari. Peran perawat adalah membantu
klien memenuhi kebutuhan eliminasi antara lain, memasang pot, memberikan
semprit gleserin, memberikan huknah rendah atau tinggi, mengeluarkan feses
secara manual, memasang urinal dan pot, memasang kateter dan pasang kondom
kateter.
Karena banyak klien dipulangkan ke rumah masih perlu belum mampu
melakukan pemenuhan kebutuhan eliminasi secara mandiri dan masih perlu
asuhan berkelanjutan, maka perlu bagi saudara menganjurkan kepada anggota
keluarga pasien pada prosedur pemberian pot dan urinal dengan aman dan tepat.

1
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan makalah ini sebagai pembelajaran tentang bagaimana
proses eliminasidan asuhan keperawatannya demi terciptanya perawat yang
sesuai dengan dasar-dasar tugassebagai seorang perawat.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui prinsip pemenuhan kebutuhan eliminasi.
b) Mengetahui organ-organ yang berperan dalam eliminasi
c) Menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi eliminasi
d) Mengetahui gangguan/masalah kebutuhan eliminasi
e) Mengetahui tindakan mengatasi masalah eliminasi

C. Manfaat
Penulis berharap melalui makalah ini pembaca dapat mengetahui dan
memahami lebih lanjut mengenai konsep dan prinsip eliminasi terutama
pengimplementasiannya di dalam ranah keperawatan,

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi Eliminasi
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa
urin atau bowel (feses). Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum.
Hal ini juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang
sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.
Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik
mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam
rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk
defekasi.
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu
mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan
jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi
fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah.
Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke kolon desenden dengan
menggunakan kanul rekti.

B. Anatomi Sistem Eleminasi Fekal


1. Lambung
Dalam lambung, makanan disimpan sementara dan dipecahkan secara
mekanik dan kimiawi untuk pencernaan dan absorpsi. Lambung mensekresi
HCl, mukus, enzim pepsi, dan faktor intrinsik. Konsentrasi HCl
mempengaruhi keasaman lambung dan keseimbangan asam dalam tubuh.
Setiap molekul HCl yang disekresi di lambung, sebuah molekul bikarbonat
memasuki plasma darah. HCl membantu pencampuran dan pemecahan
makanan di lambung, mukus melindungi mukosa lambung dari keasaman
dan aktivitas enzim. Pepsin mencerna protein, walaupun tidak banyak
pencernaan yang terjadi di lambung. Faktor intrinsik merupakan
komponen penting yagn dibutuhkan untuk penyerapan vitamin B12 di usus
dan pembentukan sel darah merah. Kekurangan faktor intrinsik
3
menyebabkan anemia. Sebelum makanan meninggalkan lambung ia diubah
menjadi bahan yang semifluid yang disebut chyme.Chyme lebih mudah
dicerna dan diabsorpsi dari pada makanan yang padat. Klien yang sebagian
lambungnya hilang atau menderita gastritis mempunyai masalah pencernaan
yang serius karena makanan tidak diubah menjadi chyme. Makanan
memasuki usus halus sebelum dipecah menjadi makanan yang benar-benar
semifluid.
2. Usus Halus
Selama proses pencernaan chyme meninggalkan lambung dan memasuki
usus halus. Usus halus merupakan suatu saluran yang diameternya 2,5 cm
dan panjangnya 6 m. Usus halus terdiri dari 3 bagian yaitu duodenum,
jejenum, ileum. Chyme tercampur dengan enzim pencernaan (seperti
empedu dan amilase) ketika berjalan melewati usus halus. Segmentasi
(berganti gantinya kontraksi dan relaksasi dari otot polos) mengaduk chyme
untuk selanjutnya memecah makanan untuk dicerna ketika chyme diaduk,
gerakan peristaltik berhenti sementara agar absorpsi terjadi. Chyme berjalan
dengan lambat di saluran cerna untuk diabsorpsi. Banyak makanan dan
elektrolit yang diabsorpsi di usus halus. Enzim dari pankreas (amilase) dan
empedu dari kandung empedu. Usus memecah lemak, protein dan
karbohidrat menjadi elemen elemen dasar. Hampir seluruh makanan
diabsorpsi oleh duodenum dan jejenum. Ileum mengabsorpsi beberapa
vitamin, zat besi dan garam empedu. Jika fungsinya terganggu, proses
pencernaan berubah secara drastis. Contohnya inflamasi, bedah caesar, atau
obstruksi dapat mengganggu peristaltik, mengurangi ares absorpsi, atau
memblok jalan chyme.
3. Usus Besar
Bagian bawah dari saluran gastrointestinal adalah usus besar (kolon) karena
diameternya lebih besar dari usus halus. Meski panjangnya lebih pendek
yaitu antara 1,5-1,8 m. Usus besar terbagi atas caecum, kolon, dan rektum.
Ini adalah organ penting dari eliminasi b.a.b. CAECUM Chyme yang
diabsorpsi memasuki usus besar pada caecum melalui katup ileocecal,

4
dimana lapisan otot sirkular mencegah regurgitasi (makanan kembali ke usus
halus).

C. Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal


1. Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan dalam mempengaruhi status
eliminasi terjadi disepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung
yang kecil dan lebih sedikit menyekresi enzim pencernaan. Beberapa
makanan, seperti zat pati yang kompleks, ditoleransi dengan buruk. Bayi
tidak mampu mengontrol defekasi karana kurangnya perkembangan
neuromuskolar. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai 2 sampai 3
tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja.
Sekresi HCL meningkat khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja
biasanya mengkonsumsi makana dalam jumlah lebih besar. Sistem GI pada
lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan
eliminasi. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga
mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang
memasuki saluran GI hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna
karena jumlah enzim pencernaan didalam saliva dan volume asam lambung
menurun seiring dengan proseas penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna
makanan yang mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan
enzim limpase.
2. Diet
Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu mempertahankan pola
peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu
mempengaruhi eliminasi. Serat, residu makanan yang tidak dapat dicerna,
memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan pembentuk
masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa feses. Dinding usus
teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi.
Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makanan
berserat sampai usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi
peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat melalui usus,
5
mempertahankan feses tetap lunak. Makanan-makanan berikut mengandung
serat dalam jumlah tinggi (masa).
a. Buah-buahan mentah (apel,jeruk)
b. Buah-buahan yang diolah (prum,apricot)
c. Sayur-sayuran (bayam,kangkung,kubis)
d. Sayur-sayuran mentah (seledri,mentimun)
e. Gandum utuh (sereal, roti)
Mengkonsumsi makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan
normalnya pola eliminasi jika factor lain juga normal. Makanan yang
menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga
menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus
berdistensi , meningkatkan motilitas kolon. Beberapa makanan pedas dapat
meningkatkan peristaltic , tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak
berlangsung dan feses menjadi encer. Beberapa jenis makanan, seperti susu
dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa
individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk
karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal
dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi terhadap makana tertentu dapat
mengakibatkan diare, distensi gas, dank ram.
3. Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan
kehilangan cairan (seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan
mengencerkan isi usus, memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan
cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui
usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas (1400 sampai 2000ml)
cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak
feses dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat
memperlambat peristaltic pada beberapa individu dan menyebabkan
konstipasi.

4. Aktivitas Fisik
6
Aktivitas fisik meninkatkan peristaltic, sementara imobilisasi menekan
motilitas kolon. Ambulasi dini setelah klien menderita suatu penyakit
dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankannya eliminasi normal. Upaya
mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses defekasi,
merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan
abdomen merusak kemampuan individu untuk meningkatkan tekanan
intraabdomen dan untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat
melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu
lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.
5. Faktor Psikologis
Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat
stress emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan,
ketakutan, atau marah, muncul respons stress, yang memungkinkan tubuh
membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam
upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic
meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan
distensi gas. Apabila individu mengalami depresi, sistem saraf otonom
memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun. Sejumlah
penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi
colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian
berulang yang dilakukan sejak lama telah gagal membuktikan mitos bahwa
penyebab klien mengalami penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi
psikopatologis. Namu, ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari
masalah kronik tersebut (cooke,1991)
6. Kebiasaan pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan
individu merasa lebih mudah melakukan defekasi dikamar mandi mereka
sendiri pada waktu yang paling efektif dan paling nyaman bagi mereka.
Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan mengakibatkan
perubahan seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu terbaik untuk
melaksanakan eliminasinya. Reflex gastrokolik adalah reflex yang paling
mudah distimulasi untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan.
7
7. Posisi Selama Defekasi
Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi.
Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga
memungkinkan individu untuk duduk tegak ke arah depan, mengeluarkan
tekanan intraabdomen dan mengontraksi otot-otot pahanya. Namun, klien
lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti artritis, mungkin
tidak mampu bangkit dari tempat duduk tpilet memampukan klienuntuk
bangun dari posisi duduk di toilet tanpa bantuan. Klien yang mengguanakan
alat tersebut dan individu yang berposter pendek, mungkin membutuhkan
pijakan kaki yang memungkinkan ia menekluk pinggulnya dengan
benar.Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan
sulit. Posisi telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot
yang digunakan selama defekasi. Membantu klien ke posisi duduk yang
lebih normal pada pispot. Akan meningkatkan kemampuan defekasi.
8. Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun,
pada sejumlah kondisi, termasukhemoroid, bedah rectum, fistula rectum,
bedah abdomen, dan melahirkan anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman
ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini, klien seringkali mensupresi
keinginanya untuk berdefekasi guna menghindari rasa nyeri yang mungkin
akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien yang merasa
nyeri selama defekasi.
9. Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan
diberikan pada rectum. Obsetruksi semenmtara akibat keberadaan fectus
mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah umum yang
muncul pada trimester terakhir. Wanita hamilselama defekasi dapat
menyebabkan terbentukannya hemoroid yang permanen.

10. Pembedahan dan Anestesia

8
Agen anestesi yang digunakan selama proses pembedahan, membuat
gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agens anestesi yang
dihirup menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi
tersebut memperlambat atau menghentikan gelombang peristaltic. Klien
yang menerima anestesi local atau regional beresiko lebih kecil untuk
mengalami perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya dipengaruhi
sedikitt atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali. Pembedahan yang
melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan menghentikan
gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut ileus paralitik yang biasanya
berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap tidak aktif atau
tidak dapat makan setelah pembedahan, kembalinya fungsi normal usus
dapat terhambat lebih lanjut.
11. Obat-obatan
Obat-obatan untuk meningkatkan defekasi telah tersedia . laksatif dan
katartik melunakkan feses dan meningkatkan peristaltic. Obat-obatan seperti
disiklomin HCL (Bentyl) menekan gerakan peristaltic dan mengobati diare.
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi.
Obat analgesic narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumnya
menyebabkan konstipasi. Obat-obatan antikolinergik, seperti atropin, atau
glikopirolat (robinul), menghambat sekresi asam lambung dan menekan
motilitas saluran GI. Walupun bermanfaat dalam mengobati gangguan usus,
yakni hiperaktivitas usus, agens antikolinegik dapat menyebabkan
konstipasi, banyak antibiotik menyebabkan diare dengan menggangu flora
bakteri normal didalam saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang
terkait dengan diare semakin parah, obat-obatan yang diberikan kepada klien
mungkin perlu diubah. Intervensi keperawatan dapat digunakan untuk diare
osmotic, yang disebabkan oleh obat-obatan hiperosmolar telah diuraikan
oleh Fruto(1994)

12. Pemeriksaan Diagnostik


9
Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI,
sering memerlukan dikosongkannya isi dibagian usus. Klien tidak diizinkan
untuk makan atau minum setelah tengah malam jika esoknya akan dilakukan
pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang menggunakan barium enema,
endoskopi saluran GI bagian bawah atau serangkaian pemereksaan saluran
GI bagian atas. Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi, klien
biasanya meneri,ma katartik dan enema. Pengosongan usus dapat
mengganggu eliminasi sampai klien dapat makan dengan normal. Prosedur
pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan. Barium
mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini dapat menyebabkan
konstipasi atau impaksi usus. Seorang klien harus menerima katartik untuk
meningkatkan eliminasi barium setelah prosedur dilakukan. Klien yang
mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua barium, mungkin usus
klien perlu dibersihkan dengan menggunakan enema.

D. Defekasi
Klien yang mengalami atau berisiko mengalami masalah eliminasi akibat stress
emosional (ansietas atau depresi). Perubahan fisiologi pada saluran GI,
perubahan struktur usus melalui pembedahan, program terapi lain gangguan yang
mengganggu defekasi, seperti :
1. Konstipasi
Kontipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan
frekuensi yang diikuti oleh pengeluaran feces yang lama, keras dan kering
yang akan menimbulkan nyeri pada rektum. Biasanya terjadi pengedanan
saat defekasi. Apabila motilitas usus halus melambat, masaq feses lebih lama
pada dinding usus dan sebagian besar kandungan air pada feces diabsorpsi.
Penyebab umum konstipasi antara lain :
a. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur
b. Klien memproduksi diet rendah serat dalam bentuk lemak hewan
c. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga
d. Pemakaian laksatif yang berat

10
e. Obat penenang, opiate, antikolinergik, zat besi yang menyebabkan
konstipasi
f. Pada lansia mengalami perlambatan peristaltic
g. Konstipasi juga disebabkan oleh kelainan saluran GI
h. Kondisi neurologis yang menghambat impuls saraf ke kolon
i. Penyakit organic, seperti hipokalsemia
2. Impaksi
Impaksi adalah kumpulan feses yang mengeras dan mengendap di rectum
dan tidak dapat dikeluarkan. Impaksi feses diakibatkan doleh konstipasi
yang tidak diatasi. Klien yang mengalami kebingumgan, kelemahan, atau
tidak sadar berisiko mengalami impaksi. Apabila feses diare keluar secara
mendadak dan continue dicurigai berisiko impaksi. Kehilangan nafsu makan
(anoreksia), distensi, dank ram abdomen serta nyeri di rectum dapat
menyertai kondisi impaksi.
3. Diare
Diare adalah peningkatan jumlah feses yang cair dan tidak berbentuk. Diare
adalah gejala gangguan yang mempengaruhi proses pencernaan, absorpsi,
dan sekresi di dalam saluran GI. Isi usus yang terlalu cepat keluar, sehingga
absorpsi cairan dapat terjadi dan iritasi di dalam kolon menyebabkan sekresi
lender, sehingga feses encer dan tidak mampu mengontrol keinginan untuk
defeksi. Kondisi yang menyebabkan diare, antara lain :
a. Stress emosional
b. Inffeksi usus
c. Alergi makanan
d. Intoleransi makanan
e. Selang pemberian makanan
f. Obat-obat zat besi dan antibiotic
g. Laksatif (jangka pendek)
h. Perubahan melalui pembedahan gastrektomi
i. Reseksi kolon

11
4. Inkontenensia
Inkontinensia feses adalah ketidakmammpuan mengontrol feses dan gas dari
anus. Kondisi yang membuat defekasi, feses encer, volumenya banyak, dan
feses mengandung air bisa menyebabkan inkontenensia. Inkontenensia dapat
membahayakan citra tubuh.
5. Flatulen
Flatulen adalah penyebab umum abdomen mejadi penuh, rasa nyeri dan
kram. Dalam kondisi normal, gas dalam usus keluar melalui mulut
( bersendawa) atau melalui anus (pengeluaran flaktus). Namun jika ada
penurunan mortilitas khusus akibat penggunaan opiate, agens anestesi
umum, bedah abdomen, atau immobilisasi, flatulen dapat menjadi cukup
berat sehingga menyebabkan distensi abdomen dan menimbulkan nyeri yang
terasa sangat menusuk.
6. Hemoroid
Hemoroid adalah vena-vena yang berdilatasi, membengkak dilapisan
rectum. Ada dua jenis hemoroid yakni hemoroid eksternal dan hemoroid
internal.

E. Prosedur Keperawatan Untuk Memenuhi Kebutuhan Eliminasi


1. Menggunakan Pispot Untuk Defekasi
Tindakan keperawatan ini dilakukan pada klien yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan eliminasi alvi secara mandiri di kamar kecil, dilakukan
dengan menggunakan pispot (penampung).
a. Tujuan
Memenuhi kebutuhan eliminasi alvi.
b. Alat dan bahan
1) Alas/perlak
2) Pispot
3) Air bersih
4) Tisu
5) Skrin (sampiran) bila pasien dirawat di bangsal umum
6) Sarung tangan
12
d. Prosedur kerja
1) Jelaskan prosedur yang akan dilaksanakan, lalu pasang sampiran
bila pasien dirawat di bangsal umum.
2) Cuci tangan.
3) Gunakan sarung tangan.
4) Pasang pengalas di bawah glutea.
5) Tempatkan pispot di atas pengalas tepat dibawah glutea dengan
posisi bagian lubang pispot tepat di bawah anus. Pada saat
meletakkan pispot anjurkan pasien untuk mengangkat daerah glutea
(bila pasien mampu) untuk memudahkan meletakkan pispot.
6) Setelah posisi pispot tepat di bawah glutea, tanyakan pada pasien
tentang kenyamanan posisi tersebut. Jaga privasi pasien selama
prosedur.
7) Anjurkan pasien untuk defekasi pada tempatnya/pispot yang telah
terpasang.
8) Setelah selesai siram daerah anus dan sekitarnya dengan air sampai
bersih dengan bantuan tangan yang bersarung tangan, kemudian
keringkan dengan tisu.
9) Cuci tangan.
10) Catat tanggal defekasi; karakteristik feses seperti jumlah,
konsistensi, warna, bau dan respon pasien selama prosedur.

2. Huknah Rendah
Huknah rendah adalah tindakan keperawatan dengan cara memasukkan
cairan hangat ke dalam kolon desendens dengan menggunakan kanula rektal
melalui anus. Huknah rendah dilaksanakan sebelum operasi (persiapan
pembedahan) dan pasien yang mengalami obstipasi.
a. Tujuan
1) Mengosongkan usus pada pra-pembedahan untuk mencegah hal-hal
yang tidak diinginkan selama operasi berlangsung, seperti BAB

13
2) Merangsang buang air besar atau merangsang peristaltik usus untuk
mengeluarkan feses karena kesulitan untuk defekasi (pada pasien
sembelit).
b. Alat dan bahan
1) Pengalas
2) Irigator lengkap dengan kanula rektal dan klem
3) Cairan hangat (700-1000 ml dengan suhu 40,5-43˚C)
4) Bengkok
5) Jeli
6) Pispot
7) Sampiran
8) Sarung tangan
9) Tisu
c. Prosedur kerja
1) Jelaskan prosedur yang akan dilaksanakan pada pasien.
2) Cuci tangan.
3) Atur ruangan dengan memasang sampiran bila pasien dirawat di
bangsal umum.
4) Atur posisi pasien dengan posisi sims kiri.
5) Pasang pengalas di bawah area gluteal.
6) Siapkan bengkok di dekat pasien.
7) Irigator diisi cairan hangat dan hubungkan kanula rektal. Kemudian
periksa alirannya dengan membuka kanula rekti dan keluarkan air
ke bengkok dan berikan jeli pada kanula.
8) Gunakan sarung tangan.
9) Masukkan kanula kira-kira 15 cm ke dalam rektum ke arah kolon
desendens sambil pasien diminta menarik napas panjang dan
pegang irigator setinggi 50 cm dari tempat tidur dan buka klemnya.
Air yang dialirkan sampai pasien menunjukkan keinginan untuk
defekasi.
10) Anjurkan pasien untuk menahan sebentar rasa ingin defekasi dan
pasang pispot atau anjurkan ke toilet. Bila pasien tidak mampu
14
mobilisasi, bersihkan daerah sekitar anus hingga bersih dan
keringkan dengan tisu.
11) Cuci tangan setelah prosedur dilakukan.
12) Catat jumlah feses yang keluar, warna, kepadatan dan respons
pasien.

3. Huknah Tinggi
Huknah tinggi adalah tindakan memasukkan cairan hangat ke dalam kolon
asendens dengan menggunakan kanula usus. Tindakan ini dapat dilakukan
pada pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan umum.
a. Tujuan
Mengosongkan usus untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan,
seperti buang air besar selama prosedur operasi dilakukan atau
pengosongan sebagai tindak diagnostik/pembedahan.
b. Alat dan bahan
1) Pengalas
2) Irigator lengkap dengan kanula usus
3) Cairan hangat (700-1000 ml dengan suhu 40,5˚ - 43˚C)
4) Bengkok
5) Jeli
6) Pispot
7) Sampiran
8) Sarung tangan
9) Tisu
a. Prosedur kerja
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien.
2) cuci tangan.
3) Atur ruangan dengan meletakkan sampiran bila pasien berada
dalam bangsal umum atau bila pasien dirawat di ruang privat,
cukup dengan menutup pintu kamar.
4) Atur posisi pasien dengan posisi sims kanan.
5) Pasang pengalas di bawah daerah anus.
15
6) Siapakan bengkok dekat pasien.
7) Irigator diisi cairan hangat sesuai dengan suhu badan dan
hubungkan kanula usus, kemudian periksa aliran dengan membuka
kanula usus dan mengeluarkan air ke bengkok dan berikan jeli pada
ujung kanula tersebut.
8) Gunakan sarung tangan.
9) Masukan kanula ke dalam rektum ke arah kolon asendens (15-20
cm) sambil pasien diminta menarik napas panjang dan pegang
irigator setinggi 30 cm dari tempat tidur dan buka klem sampai air
mengalir dan menimbulkan rasa ingin defekasi.
10) Anjurkan pasien untuk menahan sebentar bila ada rasa ingin
defekasi dan pasang pispot atau anjurkan ke toilet, bila pasien tidak
mampu ke toilet bersihkan dengan menyiram daerah perineum
hingga bersih dan keringkan dengan tisu.
11) Cuci tangan.
12) Catat jumlah, warna, konsistensi, dan respons pasien terhadap
tindakan.

4. Pemberian Gliserin Per Rektal


Tindakan ini dilakukan dengan memasukkan cairan gliserin ke dalam poros
usus dengan menggunakan spuit gliserin. Tindakan ini dapat dilakukan
untuk merangsang peristaltik usus sehingga pasien dapat defekasi
(khususnya pada pasien yang mengalami sembelit) dan juga dapat dilakukan
untuk persiapan operasi.
a. Tujuan
1) Merangsang buang air besar dengan merangsang peristaltik usus.
2) Mengosongkan usus yang digunakan sebelum tindakan
pembedahan.
b. Alat dan bahan
1) Spuit gliserin
2) Gliserin dalam tempatnya
3) Bengkok
16
4) Pengalas
5) Sampiran
6) Sarung tangan
7) Tisu
c. Prosedur kerja
1) Jelaskan prosedur pada pasien.
2) Cuci tangan.
3) Atur ruangan, tutup pintu bila pasien dalam ruang rawat pribadi dan
pasang sampiran bila pasien dirawat dalam bangsal umum.
4) Atur posisi pasien (miring ke kiri).
5) Pasang pengalas di area glutea.
6) Siapkan bengkok di dekat pasien.
7) Spuit diisi gliserin 10-20 cc.
8) Gunakan sarung tangan.
9) Masukkan gliserin perlahan ke dalam anus dengan cara tangan
tangan kiri meregangkan daerah anus, tangan kanan memasukkan
spuit ke dalam anus sampai pangkal kanula dengan ujung spuit
diarahkan ke depan dan anjurkan pasien bernapas dalam.
10) Setelah selesai, cabut dan masukkan spuit ke dalam bengkok.
Anjurkan pasien untuk menahan sebentar rasa ingin defekasi dan
pasang pispot bila pasien tidak mampu ke toilet. Kemudian
bersihkan daerah perineum dengan air hingga bersih lalu keringkan
dengan tisu.
11) Cuci tangan setelah prosedur dilakukan.
12) Catat jumlah feses, warna, konsistensi, dan respons pasien.

17
BAB III
STUDI KASUS

A. Kasus
Seorang perempuan berusia 35 tahun, dirawat dengan diagnosis post operasi
laparatomi, dengan pemasangan kolostomi. Selama perawatan, luka kolostomi
tampak membaik, stoma berwarna merah muda.

B. Analisa Kasus
1. Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi
1) Lambung
Dalam lambung, makanan disimpan sementara dan dipecahkan
secara mekanik dan kimiawi untuk pencernaan dan absorpsi.
Lambung mensekresi HCl, mukus, enzim pepsi, dan faktor
intrinsik. Konsentrasi HCl mempengaruhi keasaman lambung dan
keseimbangan asam dalam tubuh. Setiap molekul HCl yang
disekresi di lambung, sebuah molekul bikarbonat memasuki plasma
darah. HCl membantu pencampuran dan pemecahan makanan di
lambung, mukus melindungi mukosa lambung dari keasaman dan
aktivitas enzim. Pepsin mencerna protein, walaupun tidak banyak
pencernaan yang terjadi di lambung. Faktor intrinsik
merupakan komponen penting yagn dibutuhkan untuk penyerapan
vitamin B12 di usus dan pembentukan sel darah merah. Kekurangan
faktor intrinsik menyebabkan anemia. Sebelum makanan
meninggalkan lambung ia diubah menjadi bahan yang semifluid
yang disebut chyme.Chyme lebih mudah dicerna dan diabsorpsi
dari pada makanan yang padat. Klien yang sebagian lambungnya
hilang atau menderita gastritis mempunyai masalah pencernaan
yang serius karena makanan tidak diubah menjadi chyme. Makanan
memasuki usus halus sebelum dipecah menjadi makanan yang
benar-benar semifluid.
18
2) Usus Halus
Selama proses pencernaan chyme meninggalkan lambung dan
memasuki usus halus. Usus halus merupakan suatu saluran yang
diameternya 2,5 cm dan panjangnya 6 m. Usus halus terdiri dari 3
bagian yaitu duodenum, jejenum, ileum. Chyme tercampur dengan
enzim pencernaan (seperti empedu dan amilase) ketika berjalan
melewati usus halus. Segmentasi (berganti gantinya kontraksi dan
relaksasi dari otot polos) mengaduk chyme untuk selanjutnya
memecah makanan untuk dicerna ketika chyme diaduk, gerakan
peristaltik berhenti sementara agar absorpsi terjadi. Chyme berjalan
dengan lambat di saluran cerna untuk diabsorpsi. Banyak makanan
dan elektrolit yang diabsorpsi di usus halus. Enzim dari pankreas
(amilase) dan empedu dari kandung empedu. Usus memecah lemak,
protein dan karbohidrat menjadi elemen elemen dasar. Hampir
seluruh makanan diabsorpsi oleh duodenum dan jejenum. Ileum
mengabsorpsi beberapa vitamin, zat besi dan garam empedu. Jika
fungsinya terganggu, proses pencernaan berubah secara drastis.
Contohnya inflamasi, bedah caesar, atau obstruksi dapat
mengganggu peristaltik, mengurangi ares absorpsi, atau memblok
jalan chyme.
3) Usus Besar
Bagian bawah dari saluran gastrointestinal adalah usus besar
(kolon) karena diameternya lebih besar dari usus halus. Meski
panjangnya lebih pendek yaitu antara 1,5-1,8 m. Usus besar terbagi
atas caecum, kolon, dan rektum. Ini adalah organ penting dari
eliminasi b.a.b. CAECUM Chyme yang diabsorpsi memasuki usus
besar pada caecum melalui katup ileocecal, dimana lapisan otot
sirkular mencegah regurgitasi (makanan kembali ke usus halus).

19
4) Kolon
Chyme yang halus ketika memasuki kolon volume airnya
berkurang. Kolon terdiri dari ascending, transverse, descending, &
sigmoid. Kolon mempunyai 4 fungsi yaitu absorpsi, proteksi,
sekresi, dan eliminasi. Sejumlah besar air dan sejumlah natrium dan
clorida diabsorpsi setiap hati. Ketika makanan berjalan melalui
kolon, terjadi kontraksi haustral. Ini sama dengan kontraksi
segmental dari usus halus, tetapi lebih lama hingga mencapai 5
menit. Kontraksi menghasilkan pundi-pundi besar di dinding kolon
yagn merupakan area untuk absorpsi. Air dapat diabsorpsi oleh
kolon dalam 24 jam, rata-rata 55mEq dari natrium dan 23mEq dari
klorida diabsorpsi setiap hari. sejumlah air yagn diabsorpsi dari
chyme tergantung dari kecepatan pergerakan kolon. Chyme
biasanya lembut, berbentuk massa. Jika kecepatan kontraksi
peristaltik cepat (abnormal) berarti ada kekurangan waktu untuk
mengabsorpsi air dan feses menjadi encer. Jika kontraksi peristaltik
lambat, banyak air yang diabsorpsi dan terbentuk feses yang keras
sehingga menyebabkan konstipasi. Kolon memproteksi dirinya
sendiri dengan mengeluarkan sejumlah mucous. Mucous biasanya
bersih sampai buram dengan konsistensi berserabut. Mucous
melumasi kolon, mencegah trauma pada dinding dalam. Pelumas
adalah sesuatu yagn penting di dekat distal dari kolon dimana
bagiannya menjadi kering dan keras. Fungsi sekresi dari kolon
membantu dalam keseimbanan elektrolit. Bikarbonat disekresi
untuk pertukaran clorida. Sekitar 4-9 mEq natrium dikeluarkan
setiap hari oleh usus besar. Berubahnya fungsi kolon dapat
menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. Akhirnya kolon
memindahkan sisa produk dan gas (flatus). Flatus dihasilkan dari
tertelannya udara, difusi gas dari pembuluh darah ke usus dan kerja
bakteri pada karbohidrat yang tidak bisa diserap. Fermentasi dari
karbohidrat (seperti kol dan bawang) menghasilkan gas pada usus

20
yang dapat merangsang peristaltik. Orang dewasa biasanya
membentuk 400-700 ml flatus setiap hari.
5) Rektum Dan Kanal Anal
Rektum pada oranga dewasa biasanya mempunyai panjang 10-15
cm. Bagian distal yang panjangnya 2,5-5 cm adalah kanal anus.
Panjang rektum bervariasi menurut umur :
a) Infant : 2,4-,8 cm
b) Toddler : 4 cm
c) Prasekolah : 7,6 cm
d) Sekolah : 10 cm
Pada rektum terdapat 3 lapisan jaringan yang bentuknya saling
berseberangan terhadap rektum dan beberapa lipatan letaknya
vertikal. Setiap lipatan yang vertikal terdiri dari sebuah vena dan
arteri. Dipercaya bahwa lipatan-lipatan ini membantu pergerakan
feses pada rektum. Ketika vena dilatasi dapat terjadi dengan
tekanan yang berulang-ulang, kondisi ini dikenal dengan
hemorhoid. Kanal anal dikelilingi oleh spinkter anal internal dan
eksternal. Spinkter anal internal berada di bawah kontrol syaraf
involunter, dan spinkter anal eksternal secara normal dipengaruhi
syaraf volunter. Kerja dari spinkter eksterna diperbesar oleh otot
levator ani pada dasar pelvik. Spinkter internal dapat dipengaruhi
oleh sistem syaraf otonom, spesime syaraf eksternal dipengaruhi
oleh sistem syaraf somatic
b. Fisiologi Defekasi Sistem Eliminasi Fekal
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat
bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.
Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang
peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf
sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap
kebutuhan untuk defekasi. Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks
defekasi yaitu :
21
1) Refleks defekasi instrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding
rektum memberi suatu sinyal yang menyebar melalui pleksus
mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon
desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini
menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik
mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila
spingter eksternal tenang maka feses keluar.
2) Refleks defekasi parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke
spinal cord (sakral 2-4) dan kemudian kembali ke kolon desenden,
kolon sigmoid dan rektum. Sinyal-sinyal parasimpatis ini
meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anal
internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anal
individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anal eksternal tenang
dengan sendirinya. Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-
otot perut dan diafragma yang akan meningkatkan tekanan
abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar
panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi
normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan
tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan
tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan
atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak
untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas
untuk menampung kumpulan feses.

22
2. Patofisiologi
Keberadaan sel kanker pada seseorang tidak hanya berasal dari efek
karsinogen seseorang, baik yang didapat dari luar ataupun dari dalam tubuh
manusia itu sendiri. Kanker kolorektal khususnya, memiliki hubungan
terhadap kondisi feses dari individu, serta riwayat penyakit yang diderita,
dimana kondisi tersebut merupakan dampak dari faktor resiko yang ada pada
individu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kanker pada kolon dan
rektum dapat diawali dengan adanya riwayat polip pada individu. Polip
merupakan massa dari jaringan yang menonjol pada lumen usus (Smeltzer &
Bare, 2002).
Polip yang tidak diatasi atau dilakukan intervensi, dapat berubah
menjadi maligna. Polip yang telah berubah menjadi ganas tersebut akan
menyerang dan menghancurkan sel yang normal dan meluas di jaringan
sekitarnya. Manusia pada dasarnya memiliki zat karsinogen atau zat pemicu
kanker pada tubuh. Efek karsinogen akan semakin meningkat apabila
mendapat penyebab kanker dari luar. Zat karsinogen juga berpotensi untuk
menyebabkan proliferasi sel kanker. Corwin (2001) menyatakan, kurangnya
asupan antioksidan dengan minimnya konsumsi buah dan sayuran yang
mengandung antioksidan (seperti vitamin E, vitamin C, dan beta karoten)
dapat mengurangi perlindungan sel terhadap efek karsinogen. Buah dan
sayuran yang segar memiliki enzim aktif yang dapat memelihara dan
meningkatkan pertumbuhan sel yang sehat.
Kondisi feses yang kurang baik juga dapat memicu terjadinya kanker
kolon. Aktivitas atau olahraga yang kurang teratur dan terukur dapat
mengakibatkan feses menjadi lebih lama berada di kolon atau rektum,
terlebih jika individu melakukan diet rendah serat. Kondisi ini dapat
mengakibatkan toksin yang terdapat dalam feses mencetuskan pertumbuhan
sel kanker (Corwin, 2001). Feses yang mengandung banyak lemak juga
dapat memicu sel kanker. Tingginya lemak dalam feses diakibatkan oleh
konsumsi tinggi lemak seperti daging. Feses yang mengandung banyak
lemak dapat mengubah flora dalam feses menjadi bakteri Clostrida &
Bakteriodes yang mempunyai enzim 7-alfa dehidrosilase yang mencerna
23
asam menjadi asam Deoxycholi dan Lithocholic (yang bersifat karsinogenik)
meningkat dalam feses. Massa kanker yang terdapat pada kolon ataupun
rektum akan menyebabkan adanya sumbatan atau obstruksi, yang
mengakibatkan evakuasi feses yang terhambat atau tidak lengkap setelah
defekasi. Akibat lebih lanjutnya ialah konstipasi, distensi atau nyeri
abdomen, hingga feses berdarah. Apabila massa kanker ini tidak dideteksi
sejak dini dan dibiarkan, maka besar kemungkinan sel kanker akan
melakukan metastasis. Metastasis pada sel kanker kolorektal terdiri dari
penyebaran langsung, penyebaran limfogen, dan hematogen.

3. Prinsip Tatalaksana
a. Perawatan Kolostomi
Kolostomi akan mulai berfungsi optimal sekitar 3-6 hari pasca
pembedahan (Smeltzer & Bare, 2002). Perawatan kolostomi yang rutin
akan dilakukan oleh pasien ataupun care giver baik di rumah sakit
ataupun di rumah ialah mengganti kantong kolostomi dan
membersihkan stoma. Kantong kolostomi adalah wadah untuk
menampung feses yang keluar dari stoma. Kantong kolostomi dibuat
dari material disposable atau digunakan hanya sekali, lalu dibuang. Jenis
kantong kolostomi saat ini cukup beragam. Kantong kolostomi yang
biasa digunakan ialah kantong kolostomi one-piece tertutup yang jika
terisi harus segera dibuang dan diganti. Kantong kolostomi one-piece
drainable memungkinkan pasien untuk membuang feses yang ada dalam
kantong dengan membuka lubang yang ada di bawah kantong.
Perawatan kolostomi yang pertama ialah cara mengganti kantong
kolostomi dan membersihkan area stoma. Kantong kolostomi sebaiknya
dikosongkan atau diganti ketika kantong sudah terisi 1/3 bagian agar
pasien tetap nyaman dengan kantong kolostominya. Kantong kolostomi
yang dapat dikosongkan, dibersihkan dan digunakan kembali adalah
jenis kantong kolostomi two-piece system atau kantong yang memiliki
lubang drainase di bawahnya. Truven Health Analytics Inc. (2012)
memaparkan, kantong kolostomi harus dikosongkan jika sudah 1/3 atau
24
1/2 penuh. Kantong kolostomi yang penuh akan menjadi berat dan dapat
merusak perlengketan kantong kolostomi dengan kulit abdomen, selain
itu kantong akan beresiko untuk robek atau rusak karena beban dalam
kantong meningkat.
Kantong kolostomi yang penuh juga akan membuat benjolan di
balik pakaian dan dapat mengganggu penampilan. Kantong kolostomi
drainable dapat dikosongkan dengan menekan bagian bawah kantong,
kemudian mengeluarkan feses langsung ke dalam toilet. Kemudian
kantong dapat dibersihkan atau dibilas meskipun Truven Health
Analytics Inc mengatakan hal ini tidak begitu penting untuk dilakukan.
Burch (2008) dalam Burch (2013) menyatakan mayoritas pasien
dengan kolostomi mengganti kantong kolostominya 3 kali sehari hingga
3 kali seminggu, dengan rata-rata penggantian kolostomi secara rutin
selama satu hari sekali. Ketika akan mengganti dengan kantong yang
baru, perhatikan ukuran dari lubang kantong kolostomi. Ukuran lubang
kantong kolostomi harus sesuai dengan stoma, beri kelonggaran sekitar
1/8 inci atau sekitar 0,3 cm (Canada Care Medical, n.d). Penggantian
kantong kolostomi dimulai dengan melepaskan perlekatan kantong
kolostomi dengan kulit abdomen secara perlahan sambil sedikit
menekan kulit abdomen yang menempel dengan kantong, kemudian
bersihkan stoma. Stoma dibersihkan dengan air, jika ingin menggunakan
sabun, gunakan sabun yang tidak mengandung minyak ataupun parfum
karena dapat mengiritasi (Truven Health Analytics Inc, 2012). Kulit di
sekitar stoma harus dijaga agar tetap kering.
Perawatan kolostomi erat kaitannya dengan perawatan kulit.
Perawatan kulit di sekitar stoma dilakukan bersamaan dengan
penggantian kantong kolostomi. Beberapa orang menggunakan air
hangat saat melepaskan kantong stoma dari kulit abdomen, agar lebih
mudah dan nyaman pada kulit. Terkadang kulit akan terlihat kemerahan
atau lebih gelap segera setelah perekat kantong kolostomi dilepaskan,
namun akan segera normal beberapa menit (WOCN Society, 2008). Hal
ini dimungkinkan karena terjadi penekanan pada area kulit selama
25
kantong terpasang, atau kantong kolostomi dilepaskan secara cepat dari
kulit abdomen.
Pasien ataupun care giver dapat sekaligus mengobservasi stoma
setiap mengganti kantong kolostomi. Stoma yang normal akan terlihat
merah atau pink terang, lembap, tidak mengerut dan tampak seperti
membran mukosa oral (Borwell, 2011). Stoma normal akan memiliki
produksi feses, tidak ada sumbatan serta tidak ada nyeri. Stoma yang
tidak sehat atau mengalami nekrosis ditunjukkan dengan warna hitam
atau biru kehitaman. Permukaan stoma yang tidak sehat akan tampak
kering, terdapat darah yang terus keluar, stoma menonjol atau masuk ke
dalam sebanyak 5 cm, ujung stoma mengerut, sedikit atau tidak ada
produksi feses dan terdapat nyeri pada area stoma.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam perawatan kolostomi ialah
terkait perubahan eliminasi BAB. Pasien dengan kolostomi tidak dapat
mengontrol BAB sehingga akan beresiko mengalami gangguan
eliminasi BAB. Tindakan perawatan yang dapat dilakukan adalah irigasi
kolostomi. Irigasi kolostomi merupakan suatu cara untuk mengeluarkan
isi kolon (feses), yang dilakukan secara terjadwal dengan memasukkan
sejumlah air dengan suhu yang sama dengan tubuh (hangat) (Putri,
2011). Irigasi memungkinkan pasien untuk menjadwalkan pengeluaran
feses dari stomanya. Pergerakan bowel baiknya dalam keadaan regular
dan bebas dari masalah saat akan dilakukan irigasi kolostomi. Irigasi
kolostomi tidak dapat dilakukan bila pasien mengalami iritasi pada
ususnya, prolaps stoma, hernia peristomal ataupun komplikasi stoma
lainnya (Putri, 2011). Irigasi stoma juga tidak dapat dilakukan pada
stoma yang terdapat pada kolon asenden dan tranversal.
Alat yang dapat digunakan untuk proses irigasi kolostomi meliputi
kontainer atau wadah air, tube (selang untuk mengalirkan cairan), cone
dan plastic sleeve (Burch, 2013). Plastic sleeve berguna untuk
mengalirkan keluaran feses dan cairan irigasi ke dalam toilet. Hal lain
yang perlu diperhatikan dalam perawatan kolostomi ialah terkait
perubahan eliminasi BAB. Pasien dengan kolostomi tidak dapat
26
mengontrol BAB sehingga akan beresiko mengalami gangguan
eliminasi BAB. Tindakan perawatan yang dapat dilakukan adalah irigasi
kolostomi. Irigasi kolostomi merupakan suatu cara untuk mengeluarkan
isi kolon (feses), yang dilakukan secara terjadwal dengan memasukkan
sejumlah air dengan suhu yang sama dengan tubuh (hangat) (Putri,
2011). Irigasi memungkinkan pasien untuk menjadwalkan pengeluaran
feses dari stomanya. Pergerakan bowel baiknya dalam keadaan regular
dan bebas dari masalah saat akan dilakukan irigasi kolostomi. Irigasi
kolostomi tidak dapat dilakukan bila pasien mengalami iritasi pada
ususnya, prolaps stoma, hernia peristomal ataupun komplikasi stoma
lainnya (Putri, 2011). Irigasi stoma juga tidak dapat dilakukan pada
stoma yang terdapat pada kolon asenden dan tranversal. Cara melakukan
irigasi adalah sebagai berikut (Burch, 2013; Putri, 2011; Smeltzer &
Bare, 2002), yaitu :
1) Isi wadah dengan air hangat, tinggikan setinggi bahu (posisi duduk
di toilet)
2) Alirkan cairan irigasi hingga ke ujung selang (membuang udara
yang ada di sepanjang selang)
3) Posisikan kantong stoma (plastic sleeve) ke toilet •
4) Olesi pelumas atau pelicin cone (jelly) sebelum masuk ke stoma
5) Masukkan cone kedalam stoma dengan perlahan, kemudian alirkan
cairan sebanyak 300-500cc
6) Untuk hasil yang maksimal, alirkan kembali 500cc-1000cc, tahan
selama 10 detik setelah cairan mengalir
7) Biarkan feses, cairan dan flatus keluar dari stoma menuju toilet
melalui sleeve selama 10-15 menit.
8) Tutup kantong atau ganti kantong dengan kantong kolostomi biasa
dan bereskan alat.
9) Setelah irigasi selesai dilakukan, pasien dapat melakukan aktivitas,
meskipun selama 30-45 menit akan tetap ada pengeluaran baik
feses, cairan ataupun flatus. Setelah bersih, kantong kolostomi
dapat diganti kembali seperti biasa. Readding (2006) dalam Burch
27
(2013) mengatakan ketika irigasi selesai dilakukan, small cap untuk
stoma dapat digunakan untuk memungkinkan pasien terbebas dari
pengeluaran feses dan flatus hingga irigasi selanjutnya.
b. Diet Nutrisi Pasien Dengan Kolostomi
Diet Nutrisi Pasien dengan kolostomi tidak dapat mengontrol
pengeluaran feses dan flatus, oleh karena itu edukasi terkait nutrisi perlu
diberikan kepada pasien agar terhindar dari gangguan odor ataupun
konsistensi feses yang tidak normal. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan terkait nutrisi pada pasien dengan kolostomi ialah (Canada
Care Medical, n.d; Gutman, 2011) :
1) Mengurangi makanan yang menimbulkan bau, yaitu kubis, kol,
keju, telur, ikan, kacang polong, bawang, jengkol, pete.
2) Mengurangi makanan yang mengandung gas seperti dengan
brokoli, kubis, bawang, timun, jagung dan lobak, serta makan
secara perlahan dengan mulut tertutup untuk meminimalkan udara
yang masuk ke dalam sistem pencernaan.
3) Menambah makanan yang mengandung potassium seperti pisang,
daging (non lemak), jeruk, tomat, kentang jika mengalami diare.
Kurangi konsumsi keju, selai kacang, dan susu. •
4) Mengatasi konstipasi (jika terjadi) dengan menambah makanan
tinggi serat Makan tiga kali sehari penting untuk meningkatkan
aktivitas usus dan mencegah produksi gas •
5) Gangguan pada pencernaan dapat juga berasal dari tekanan
emosional, stress, atau kurangnya aktivitas fisik
c. Toleransi Aktivitas Individu
Toleransi aktivitas individu dengan kolostomi dapat beraktivitas
sebagaimana individu lainnya. Hanya saja dalam pemilihan jenis
olahraga, hindari olahraga yang membutuhkan kontak fisik yang keras
yang mungkin dapat menyebabkan cedera pada abdomen (khususnya
stoma). Ostomate juga dapat melakukan olahraga renang dengan
memilih desain baju renang yang menutupi kantong kolostomi yang
terpasang pada abdomen, serta desain baju yang sedikit ketat agar lebih
28
nyaman saat berenang. Kantong kolostomi harus tetap terpasang saat
berenang untuk menjaga kebersihan stoma. Perekat waterproof dapat
ditambahkan untuk lebih merekatkan kantong kolostomi pada kulit
abdomen, jika dibutuhkan. Kantong kolostomi baiknya dikosongkan
sesaat sebelum berenang, kemudian hindari makan berat atau banyak
sebelum melakukan olahraga renang. Ostomate dapat melakukan
traveling, tentunya dengan persiapan penggantian kantong kolostomi
yang cukup. Bagi ostomate yang melakukan irigasi secara rutin, tetap
harus berhati-hati dalam penggunaan air untuk irigasi. Apabila air yang
ada di lokasi travelling mungkin dinyatakan tidak aman untuk
dikonsumsi, maka jika ingin digunakan untuk kolostomi, air tersebut
harus direbus terlebih dahulu, kemudian di diamkan dalam temperatur
ruangan dan dapat digunakan untuk irigasi (Canada Care Medical, n.d).
d. Support Sosial Individu
Support sosial individu yang baru memiliki stoma biasanya akan
ragu dan bertanya, bagaimana mereka dapat hidup dengan stoma pada
tubuhnya, apakah mereka masih dapat menjalin hubungan dengan
keluarga, relasi ataupun partner kerja, serta apa yang akan terjadi bila
tiba-tiba kantong kolostomi yang sedang terpasang robek (Burch, 2013).
Ketidakyakinan ini dapat diantisipasi dengan adanya kehadiran perawat
spesialis ataupun support group (Ferrer et al, 2010 dalam Burch, 2013).
Berbagi pada orang yang dipercaya, teman, keluarga, perawat, guru
spiritual, serta orang lain yang juga memiliki stoma dapat mengurangi
ketidaknyamanan tersebut. Selain support sosial, ostomate juga harus
memiliki pandangan positif terhadap hidupnya, kesabaran dan sensasi
humor untuk menghadapi setiap situasi sosial yang dirasakan terkait
kolostominya.

29
4. Keterampilan Klinis Keperawatan
a. Indikasi colostomy yang permanen yaitu pada penyakit usus yang ganas
seperti carsinoma pada usus dan kondisi infeksi tertentu pada colon :
1) Trauma kolon dan sigmoid
2) Diversi pada anus malformas
3) Diversi pada penyakit Hirschsprung
4) Diversi untuk kelainan lain pada rekto sigmoid anal kanal
b. Kontra indikasi pemasangan kolostomi
Keadaan umum tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi.
c. Persiapan pasien
1) Memberi penjelasan pada pasien tentang tujuan tindakan, dll
2) Mengatur posisi tidur pasien (supinasi)
3) Mengatur tempat tidur pasien dan lingkungan pasien (menutup
gorden jendela, pintu, memasang penyekat tempat tidur (k/P),
mempersilahkan keluarga untuk menunggu di luar kecuali jika
diperlukan untuk belajar merawat kolostomi pasien
d. Persiapan alat
1) Colostomy bag atau cincin tumit, bantalan kapas, kain berlubang,
dan kain persegi empat
2) Kapas sublimate/kapas basah, NaCl
3) Kapas kering atau tissue
4) 1 pasang sarung tangan bersih
5) Kantong untuk balutan kotor
6) Baju ruangan / celemek
7) Bethadine (bila perlu) bila mengalami iritasi
8) Zink salep
9) Perlak dan alasnya
10) Plester dan gunting
11) Bila perlu obat desinfektan
12) Bengkok
13) Set ganti balut
e. Prosedur kerja
30
1) Cuci tangan
2) Gunakan sarung tangan
3) Letakkan perlak dan alasnya di bagian kanan atau kiri pasien sesuai
letak stoma
4) Meletakkan bengkok di atas perlak dan didekatkan ke tubuh pasien
5) Mengobservasi produk stoma (warna, konsistensi, dll)
6) Membuka kantong kolostomi secara hati-hati dengan menggunakan
pinset dan tangan kiri menekan kulit pasien
7) Meletakan colostomy bag kotor dalam bengkok
8) Melakukan observasi terhadap kulit dan stoma
9) Membersihkan colostomy dan kulit disekitar colostomy dengan
kapas sublimat / kapas hangat (air hangat)/ NaCl
10) Mengeringkan kulit sekitar colostomy dengan sangat hati-hati
menggunakan kassa steril
11) Memberikan zink salep (tipis-tipis) jika terdapat iritasi pada kulit
sekitar stoma
12) Menyesuaikan lubang colostomy dengan stoma colostomy
13) Menempelkan kantong kolostomi dengan posisi
vertical/horizontal/miring sesuai kebutuhan pasien
14) Memasukkan stoma melalui lubang kantong kolostomi
15) Merekatkan/memasang kolostomy bag dengan tepat tanpa udara
didalamnya
16) Merapikan klien dan lingkungannya
17) Membereskan alat-alat dan membuang kotoran
18) Melepas sarung tangan
19) Mencuci tangan
20) Membuat laporan

31
5. Diagnosa Prioritas
a. Nyeri Akut b/d Agen cedera fisik
b. Inkontenisia berhubungan dengan (Gangguan eliminasi fekal)
c. Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan faktor post op

6. Intervensi keperawatan
NO. DIAGNOSA NOC NIC

1. Nyeri Akut b/d NOC : NIC :


Agen cedera fisik  Level nyeri : Manajemen Nyeri
1. Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan
1. Nyeri hebat pertama untuk mengumpulkan infiormasi pengkajian
2. Nyeri berat
3. Nyeri sedang 2. Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif,
4. Nyeri ringan meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,
5. Tidak nyeri frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri dan
 Kontrol nyeri : faktor presipitasinya
Menunjukkan kontrol nyeriyang dibuktikan
oleh indikator sebagai berikut : 3. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan
tirah baring dan pemasangan bidai
1. Tidak pernah menunjukan cara mengontrol nyeri
2. Jarang menunjukan cara mengontrol nyeri 4. Dukung ekstremitas yang terkena dengan bantalan
3. Kadang-kadang menunjukan cara mengontrol
nyeri 5. Minta pasien untuk menilai nyeri atau
4. Sering menunjukan cara mengontrol nyeri ketidaknyamanan pada skala 0-10 (0 tidak nyeri
5. Secara konsisten menunjukan bagaimna atau ketidaknyamanan, 10 nyeri hebat.)
mengontrol nyeri
6. Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah
Hasil yang diharapkan adalah indikator 4-5 dibuktikan

1
dengan : sehubungan dengan cedera

1. Mengenali kapan nyeri terjadi 7. Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif
2. Menggambarkan faktor penyebab
3. Menggunakan tindkan pencegahan 8. Dalam mengkaji nyeri pasien gunakan kata-kata
4. Menggunakan analgesik yang yang sesuai usia dan tingkat perkembangan pasien
direkomendasikan
5. Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri 9. Observasi isyarat non verbal ketidaknyamanan,
pada profesional kesehatan khususnya pada mereka yang tidak mampu
6. Melaporkan gejala yang tidak terkontrol pada berkomunikasi efektif.
profesional kesehatan 10. Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada
7. Menggunakan sumber daya yang tersedia perawat jika perbedaan nyeri tidak dapat dicapai.
8. Mengenali apa yang terkait dengan gejala
nyeri 11. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan
9. Melaporkan nyeri yang terkontrol tindakan nyeri tidak berhasil

2. Inkontinensia alvi NIC : NOC :


berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x4 jam klien 1. Kaji pola BAB klien tiap hari
dengan gangguan menunjukkan tanda-tanda : 2. Edukasi demonstrasi cara irigasi kolostomi sederhana
eliminasi fekal 1. Pengeluaran feses dapat dikendalikan 1-2x sehari 3. Evaluasi respon klien setelah dilakukannya irigasi
2. Terbentuknya kebiasaan defekasi rutin yang sederhana
teratur 4. Bantu lakukan irigasi kolostomi teratur setiap hari jika
memungkinkan

3. Kerusakan NOC : NIC


integritas Status neurologi : perifer Sensasi perifer management
kulit/jaringan 1. Sangat terganggu 1. Monitor sensasi tumpul atau tajam dan panas dan
berhubungan 2. Banyak terganggu dingin (yang dirasakan pasien)
dengan faktor post 3. Cukup terganggu 2. Monitor adanya parathesia dengan tepat (misalnya

2
op 4. Sedikit terganggu matirasa,tingling, hipertesia, hipotesia, dan tingkat
5. Tidak terganggu nyeri)
3. Instruksikan pasien dan keluarga untuk memeriksa
Nilai yang diharapkan pada adanya kerusakan kulit setiap harinya
neurologi status perifer : berada pada 4. Lakukan penilaian sirkulasi perifer secara
level 4 sedikit terganggu Kriteria hasil : komprehensif (seperti: mengecek nadi perifer, edema,
1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan waktu pengisian capillary refill, warna, dan suhu
(sensasi,elastisitas, temperature, hidrasi, ekstermitas)
pigmentasi)
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit Wound Healing
3. Perfusi jaringan baik 5. Pertahankan teknik aseptic pada saat perawatan
4. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan balutan luka
kulit serta mencegah terjadinya cedera berulang 6. Angkat balutan dan plester perekat
5. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan 7. Ukur luas luka
kelembaban kulit dan perawatan dini. 8. Tempatkan area yang terkena pada air yang
mengalir
Nilai yang diharapkan dengan kriteria hasil : 9. Perkuat balutan sesuai kebutuhan
Terjadi penyatuan kulit secara lengkap, resolusi 10. Pertahankan tehknik balutan steril ketika melakukan
drainase dari luka dan drain baik, resolusi pada perawatan luka
daerah sekitar eritema luka dalam keadaan baik dan 11. Periksa luka setiap kali perubahan balutan
tidak ada gangguan, resolusi dari bau luka berkurang 12. Anjurkan pasien dan keluarga prosedur perawatan
atau tidak ada lagi. luka
13. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat
analgesik

3
25
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Laparatomi merupakan salah satu pembedahan mayor, dengan melakukan
penyayatan pada lapisan – lapisan dinding abdomen, untuk mendapatkan bagian
organ yang mengalami masalah seperti hemoragi, perforasi, kanker dan
obstruksi. Tindakan laparatomi merupakan teknik oprasi yang dapat dilakukan
pada gangguan sistem digestif maupun perkemihan (Lakaman, 2013). Kolostomi
adalah lubang yang dibuat melalui dinding abdomen kedalam kolon iliaka
(assenden) sebagai tempat mengeluarkan feses (Pearce, 2009 dalam Nainggolan
& Asrizal, 2013).

B. Saran
1. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pemberian asuhan
keperawatan pada klien dengan kolostomi.
2. Menjauhkan diri dari kebiasaan hidup yang berisiko menimbulkan penyakit
kanker kolorektal.
3. Meningkatkan pelayanan keperawatan khususnya pada klien dengan
kolostomi.

25
DAFTAR PUSTAKA

Alman. 2000. Fundamental & Advanced Nursing Skill. Canada: Delmar Thompson,
Learning Publisher.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan, Konsep dan Aplikasi Kebutuhan


Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.

Azis Alimun. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia I. Jakarta: Salemba Medika.

Elkin, et al. 2000. Nursing Intervention and Clinical Skills. Second edition.

Kozier, B. 1995. Fundamental of Nursing: Concept Process and Practice, Ethics and
Values. California: Addison Wesley.

Perry, at al. 2005. Ketrampilan dan Prosedur Dasar. Jakarta: Kedokteran, EGC.

Potter, P. 1998. Fundamental of Nursing. Philadelphia: Lippincott.

Tarwoto Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi
3. Jakarta: Salemba Medika.

Tim Poltekkes Depkes Jakarta III. 2009. Panduan Praktek KDM. Jakarta: Salemba
Medika.

Tim Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang. 2012. Modul Pembelajaran KDM.

Malang. Wahid, I. M. dan Nuruk, C. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia, Teori dan
Aplikasi dalam Praktek. Jakarta: Salemba Medika.

26

Anda mungkin juga menyukai