Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1.1. Definisi.................................................................................................3
2.1.2. Etiologi.................................................................................................3
2.1.3. Klasifikasi............................................................................................5
2.1.5. Patofisiologi.........................................................................................6
2.1.7.Penatalaksanaan....................................................................................9
2.1.1. Definisi...............................................................................................12
2.1.3. Patofisiologi.......................................................................................14
2.3 Hidrasi.......................................................................................................15
2.3.1.Definisi...............................................................................................15
2.3.2.Klasifikasi...........................................................................................16
ii
2.3.3.Manifestasi Klinis...............................................................................17
2.3.4. Patogenesis.........................................................................................18
3.1 Kasus........................................................................................................21
3.2 Pengkaji...................................................................................................21
3.5 Intervensi.................................................................................................26
3.6 Implementasi............................................................................................36
3.7 Evaluasi....................................................................................................37
BAB V PENUTUP.................................................................................................38
5.1 Kesimpulan..............................................................................................38
5.2 Saran........................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................39
Lampiran....................................................................................................................
40
iii
BAB I PENDAHULUAN
1
Seseorang yang divonis kanker akan mengalami ketakutan,
kecemasan, dan stress yang merangsang hormon katekolamin, yaitu
hormon yang dapat menurunkan nafsu makan (anoreksia). Penurunan
nafsu makan diikuti dengan penurunan berat badan drastic yang berujung
pada kejadian kakeksia, yakni ketidakseimbangan antara asupan dengan
kebutuhan zat gizi yang meningkat (Uripi, 2002 dalam Caesandri, 2015).
Sebanyak 20-50% penderita kanker mengalami masalah gizi, salah satunya
adalah malnutrisi (Sutandyo, 2007 dalam Caesandri, 2015). Malnutrisi
pada penderita kanker selain akibat penyakit kanker itu sendiri, juga
merupakan efek samping dari terapi medis yang dijalani (Wilkes, 2000
dalam Caesandri, 2015).
Berdasarkan data diatas, maka penulis tertarik untuk membahas
Hidrasi/Alimentasi (Anoreksia, Dehidrasi, Cachexia) pada Ca. Kolon agar
dapat memberikan asuhan yang tepat dan menunjang proses perbaikan
pasien penderita Ca Kolon.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep teori Ca. kolon, anoreksia & kaheksia, serta
hidrasi?
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada penderita?
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada penderita?
2
BAB II
PEMBAHASAN
1.4 Ca. Kolon
2.1.1. Definisi
Kanker kolon adalah suatu keganasan yang terjadi di usus
besar. American Cancer Society (2009) memperkirakan bahwa
148.810 orang akan dapat didiagnosa dengan kanker kolerektal dan
49.960 akan mati karena penyakit ini di Amerika Serikat pada tahun
2008. Pada tahun 2003, Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan
bahwa sekitar 940.000 individu yang dapat didiagnosa dengan
kanker kolorektal di seluruh dunia dan 492.000 meninggal pada
tahun tersebut (Muttaqin, 2013).
Kanker kolorektal merupakan beban kesehatan utama di
seluruh dunia. Kejadian dan kematian dari kanker kolon mengalami
penurunan yang lambat selama 20 thaun di Amerika Serikat. Namun,
kaker kolon tetap penyebab ketiga kanker yang berhubungan dengan
kematian pada tahun 2008 (Muttaqin, 2013).
Faktor usia menjadi faktor risiko kanker kolorekatal, seperti
bagi banyak tumor solid lainnya. Puncak timbulnya kanker
kolorektal pada sekitar usia 65 tahun (Muttaqin, 2013).
2.1.2. Etiologi
Penyebab pasti masih belum diketahui, tetapi beberapa
kondisi yang dikenal sebagai sindrom polyposis adenomatosa
memiliki predisposisi lebih besar menjadi risiko kanker kolon
(Dragovich, 2009 dalam Muttaqin, 2013).
Sebagian besar kanker kolon muncul dari polip adenomatosa
yang menutup dinding sebelah dalam usus besar. Seiring waktu,
pertumbuhan abnormal ini memperbesar dan akhirnya berkembang
menjadi adenokarsinoma. Dalam kondisi ini, banyak adenomatosa
mengembangkan polip di kolon, yang pada akhirnya menyebabkan
3
kanker usus besar. Kanker biasanya terjadi sebelum usia 40 tahun.
Sindrom adenomatosa polyposis cenderung berjalan (Muttaqin,
2013).
Kelompok lain sindrom kanker usus besar, disebut sindrom
keturunan nonpolyposis kanker kolorektal (HNPCC=hereditary
nonpolyposis colorectal cancer). Juga berjalan dalam keluarga.
Dalam sindrom ini, kanker kolon berkembang tanpa didahului
dengan polip. Sindrom HNPCC berhubungan dengan kelainan
genetic. Kelainan ini telah diidentifikasi, dan orang yang berisiko
dapat diidentifikasi melalui genetic. Sekali teridentifikasi sebagai
pembawa gen yang abnormal, orang-orang ini memerlukan
konseling dan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi kanker prakanker
dan tumor (Munoz,2009 dalam Muttaqin, 2013).
Faktor lain yang berisiko tinggi untuk mengembangkan
kanker kolon, meliputi hal hal berikut :
1. Kolitis ulseratif atau penyakit Crohn (Glick, 2000)
2. Kanker payudara, Rahim, atau ovarium sekarang atau di masa
lalu (Agrawal, 2008)
3. Obesitas telah diidentifikasi sebagai faktor risiko kanker usus
besar (Gittens, 2009)
4. Merokok telah jelas dikaitkan dengan resiko yang lebih tinggi
untuk kanker usus besar
Apakah diet memainkan peran dalam mengembangkan
kanker kolon masih diperdebatkan. Keyakinan bahwa serat tinggi,
rendah lemak dapat membantu mencegah kanker usus besar telah
diperiksa. Studi menunjukkan bahwa melakukan olahraga dan diet
kaya buah buahan serta sayuran dapat membantu mencegah kaker
usus besar (Muttaqin, 2013).
Penelitian efek obat menunjukkan bahwa terapi pengganti
estrogen dan OAINS seperti aspirin dapat mengurangi risiko kanker
kolorektal (Muttaqin, 2013).
4
2.1.3. Klasifikasi
Penilaian stadium kanker kolon dengan menggunakan sistem
TMN telah disepakati untuk menentukan stadium kanker (American
Cancer Society, 2009 dalam Muttaqin, 2013) sebagai berikut :
Stadium1 Tumor Kelenjar Metastasis Bertahan
Primer (T) Getah Jauh (M) Hidup
Bening Setelah 5
Regional (N) Tahun
Stadium 0 Carsinoma in N0 M0 -
situ (Tis)
Stadium I Tumor N0 M0 79%
menginvasi
sub mukosa
(T1) atau
propria
muskularis
(T2)
Stadium II Tumor N0 M0 73%
menginvasi
muskularis
(T3) atau
organ dan
struktur
jaringan
sekitar (T4)
Stadium T3 N0 M0 65%
IIA
5
Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit,
dan fungsi segmen usus tempat kanker berlokasi. Gejala paling
menonjol adalah perubahan kebiasaan defekasi. Pasase darah dalam
feses adalah gejala paling umum kedua. Gejala dapat juga mencakup
anemia yang tidak diketahui penyebabnya, anoreksia, penurunan
berat badan, dan keletihan. Gejala yang sering di hubungkan dengan
lesi sebelah kanan adalah yeri dangkal abdomen dan melena (feses
hitam). Gejala yang sering dihubungkan dengan lesi sebelah kiri
adalah yang berhubungan dengan obstruksi (nyeri abdomen dan
kram, penipisan feses, konstipasi, dan distensi) serta adanya darah
merah segar dalam feses (Smeltzer, 2001).
Gejala yang dihubungkan dengan lesi rectal adalah evakuasi
feses yang tidak lengkap setelah defekasi, konstipasi dan diare
bergantian, serta feses berdarah. Pertimbangn gerontology. Insiden
karsinoma kolon dan rectum meningkat sesuai usia. Kanker ini
biasanya ganas pada lansia kecuai untuk kanker prostatic pada pria.
Gejala sering tersembunyi. Keletihan hampir selalu ada, akibat
anemia defisiensi besi primer. Gejala yang sering dialporkan oleh
lansia adalah nyeri abdomen, obstruksi, tenesmus, dan perdarahan
rectal (Smeltzer, 2001).
Kanker kolon pada lansia berhubungan erat dengan
karsinogen diet. Kekurangan serat adalah faktor penyebab utama
karena hal ini menyebabkan pasase melalui saluran anus menjadi
lama, sehingga terpajan karsinogencukup lama. Kelebihan lemak
diyakini mengubah basa bakteri dan mengubah steroid menjadi
senyawa yang mempunyai sifat karsinogen (Smeltzer, 2001).
2.1.5. Patofisiologi
Secara genetic, kanker kolon merupakan penyakit yang
kompleks. Perubahan genetic sering dikaitkan dengan perkembangan
dari lesi premalignant (adenoma) untuk adenokarsinoma invasive.
6
Rangkaian peristiwa molekur dan genetic yang menyebabkan
transformasi dari keganasan polip adenomatosa. Proses awal adalah
mutase APC (Adenomatosa Poliposis Gen) yang pertama kali
ditemukan pada individu dengan keluarga adenomatosa polyposis
(FAP = familial adenomatous polyposis).Protein yang dikodekan
oleh APC penting dalam aktivasi onkogen c-myc dan siklin DI , yang
mendorong pengembangan menjadi fenotipe ganas (Muttaqin, 2013).
Selain mutase, proses epigenetic seperti metilasi DNA yang
abnormal juga dapat menyebabkan penekanan gen supresor tumor
atau aktivaasi dari onkogen, kondisi ini mengembangkan proses
komponen keseimbangan genetic dan akhirnya mengarah ke
transformasi maligna (Muttaqin, 2013).
7
Untuk polip dengan ukuran < 1 cm. Sensitivitasnya hanya 70-
95%
Mendapat paparan radiasi
2. Endoskopi
Jenis emdoskopi yang dapat di gunakan adalah
sigmoidoskopi rigid, sigmoidoskopi fleksibel, dan kolonoskopi.
sigmoidoskopi fleksibel lebih efektif dibandingkan dengan yang
rigit untuk fisualisasi kolon. Dapat mendeteksi polop yang
berukuran > 9 mm, sensitivitas dan spesivitas kolonoskopi akan
semakin tinggi bila persiapan kolon, sedasi dan kompetensi
operator semakin baik.
Keuntungan kolonoskopi sebagai berikut :
Sensitivitas untuk polip dan adenokarsinoma kolorektal 95%
Dapat langsung dilakukan sebagai biopsy untuk diagnostic
Untuk lesi synchrous polyp dapat dilakukan reseksi
Tidak ada paparan radiasi
Sedangkan kelemahannya adalah :
5-30% kasus pemeriksaan tidak sampai ke sekum
Lokalisasi tumor tidak akurat
Harus selalu sedasi intravena
Mortalitas 1:5000 kolonoskopi
Pneumocolon Computed Tomography (PCT)
Dapat dilakukan pemeriksaan ini bila ada ahli radiologi
yang berkompeten dengan keuntungan :
Sensitivitas tinggi dalam mendiagnosa KKR
Toleransi dari penderita baik
Dapat memberikan informasi kondisi diluar kolon termasuk
menentukan stadium invasi local, metastasis hepar, dan
kelenjar getah bening.
8
Namun kerugiannya adalah :
Tidak dapat mendiagnosa polip < 10 mm
Memerlukan radiasi yang lebih tinggi
Tidak dapat dilakukan biopsy dan polipektomi
3. CT-Scan dan MRI
Dapat melihat infasi infasi ekstra rektal dan invasi organ
sekitar rectum
Akurasi tidak setinggi USG endoluminal
Dapat mendeteksi metastasis ke kelenjar getah bening
retroperitoneal dan hepar
Berguna untuk menentukan suatu tumor stadium lanjut untuk
menjalani terapi adjuvant preoperative
Untuk mengevaluasi keadaan ureter dan buli-buli
Akurasi menentukan stadium dengan CT-Scan adalah 80%
disbanding MRI hanya 59% untuk metastasis KGB, akurasi
CT-Scan 65% sedangkan MRI 39%.
2.1.7. Penatalaksanaan
Berikut ini penatalaksanaan yang perlu dilakukan pada pasien
dengan Ca. kolon menuut Muttaqin (2013) :
1. Pembedahan
Terapi Radiasi
Tempat saat ini terapi radiasi tetap merupakan
modalitas standar untuk pasien dengan kanker rektal, peran
terapi radiasi pada kanker kolon masih terbatas. Terapi ini
tidak memiliki peran dalam pengaturan ajuvan atau dalam
pengaturan metastasis. Terapi ini terbatas pada terapi
paliatif, untuk metastasis dipilih sisi lain seperti tulang
metastasis. Lebih baru dan lebih selektif cara pemberian
terapi radiasi seperti stereotactic radioterapi (CyberKnife)
dan tomotherapy saat ini sedang diselediki dan dapat
9
memperpanjang indikasi untuk radioterapi dalam
pengelolaan kanker usus besar di masa depan.
Terapi radiasi sekarang digunakan pada pasien pra-
operatif, intraoperatif, dan pascaoperatif untuk memperkecil
tumor, mencapai hasil yang lebih baik dari pembedahan,
dan untuk mengurangi risiko kekambuhan.
Terapi Bedah
10
Sistemik Kemoterapi
S-Fluorourasi tetap menjadi rejimen kemoterapi
pilihan untuk kanker usus besar, baik dalam pengaturan
ajuvan dan metastasis. Dalam 10 tahun terakhir, kombinasi
regimen tersebut memberikan tingkat kemanjuran dan
meningkatkan perkembangan masa hidup pada pasien
dengan metastasis kanker usus besar. Selain 5-flurourasil,
fluoropyrimines seperti capecitabine (xeloda) dan
irinotecan. Beberapa rejimen kombiansi standar
menggunakan infus terus berkepanjangan yang
mengandung flurourasil atau capecitabine. Ketersediaan
kelas baru obat obatan dan produk biologis aktif untuk
kanker kolon diharapkan dapat menambah kelangsungan
hidup untuk pasien dengan penyakit metastasis dari 12
bulan pada 2 dekade yang lalu menjadi sekitar 22 bulan saat
ini.
Ajuvan (Pascaoperasi) Kemoterapi
Pengobatan medis untuk kanker kolon paling sering
dalam bentuk pendukung atau terapi ajufan. Terapi ajufan
biasanya diberikan selain pengobatan bedah. Pilihan
mencakup kemoterapi, terapi radiasi, dan/ atau imunoterapi.
Terapi standar kanker kolon Stadium II akhir dan
Stadium III diberikan kombinasi flurourasil dan levamisole
seperti dalam bentuk leucovorin. Pendekatan ini telah diuji
uji di beberapa uji acak yang besar dan telah terbukti
mengurangi individu 5 tahun risiko kanker kambuh dan
kematian oleh sekitar 30 %.
Meskipun informasi tentang hasil terapi ajuvan
dalam tahap II dan III kanker kolon trbatas, suatu kumpulan
data dikumpulkan oleh ajuvan Colon Cancer grup endpoint
dengan fluorourasi berbasis terapi ajuvan baru baru ini
11
dianalisis. Para penulis menyimpulkan bahwa kemoterapi
ajuvan penyakit signifikan memberikan manfaat
kelangsungan hidup karena mengurangi tingkat
kekambuhan terutama dalam 2 tahun pertama terapi ajuvan,
tetapi dengan beberapa keuntungan di tahun 3-4.
Agen Biologis
Bevacizumab (Avastin ) adalah obat anti-
angiogenesis pertama yang akan disetjui dalam praktek
klini dan indikasi pertama adalah untuk kanker kolorektal
metastatic. Obat ini merupakan antibody monoclonal pada
faktor pertumbuhan endotel vaskuler (VEGF) dengan
menunjukkan perkembangan membaik dan kelangsungan
hidup secara keseluruhan ketika bevacizumab ini
ditambahkan ke kemoterapi (IFI, fluorourasil diatmbah
irinotecan). Sebuah analisis kohort dari pasien yang lebih
tua (umur 65 tahun atau lebih) dari 2 uji klinik acak
memeriksa bevacizumab ditambah manfaat flurourasil
berbasis kemoterapi lini pertama pengobatan kanker
kolorektal metastatic. Studi menyimpulkan bahwa
penambahan bevacizumab untuk kemoterapi fluorourasil
secara keseluruhan memberikan perbaikan dan kemajuan
amsa hidup pada pasien yang lebih tua seperti halnya pada
pasien yang lebih muda, tanpa peningkatan risiko
pengobatan pada kelompok usia yang lebih tua.
12
diartikan sebagai suatu kondisi buruk, yang menggambarkan kondisi
progresif perubahan bentuk tubuh menjadi kurus (Muttaqin, 2011).
Secara umum kaheksia biasanya ikut serta pada beberapa
penyakit, termasuk proses penyakit inflamasi akut disertai sakit kritis
dan penyakit inflamasikronik sepertikanker, gagal jantung kongestif,
penyakit paru obstruktif kronik, dan infeksi HIV (Muttaqin, 2011).
2.1.3. Patofisiologi
13
Kondisi abnormal dari kaheksia meliputi anoreksia,
penurunan berat beban, hilangnya massa otot, perubahan
metabolisme glukosa dan lipid, dan anemia. Kondisi anoreksia
sendiri tidak bisa secara penuh menjelaskan pengembangan
terjadinya kaheksia. Perubahan metabolisme karbohidrat, lipid, dan
protein berperan dalam kehilangan jaringan (Muttaqin, 2011).
Walaupun pemahaman proses penyakit spesifik sudah maju,
mekanisme yang menyebabkan kaheksia sendiri masih belum jelas
dan masih bersifat multifaktor. Walaupun masih kompleks, pada
beberapa penelitian menyebutkan respons inflamasi memediasi
gangguan regulasi produksi proinflamasi sitokin yang berperan
dalam prdses asal usul kaheksia dimana kondisi ini berhubungan
dengan keadaan sakit kritis dan penyakit inflamasi kronis (Delano,
2006). Sitokin merupakan substansi yang bisa memengaruhi respons
imun. Molekul ini menjadi mediator pelepasan hormon-hormon
sistem imun. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sitokin ini
diproduksi. Beberapa ahli percaya bahwa sitokinin diproduksi oleh
sel-sel sistem imun atau oleh sel tumor itu sendiri (Argiles, 2003).
Sitokin ini selanjutnya memengaruhi Acute Phase Protein Response
(APPR) dan memproduksi perubahan metabolisme lemak dan
karbohidrat sebagai suatu tanda dari inflamasi akut pada kondisi
keganasan atau penyakit kritis (Liefl'ers, 2009).
Kehilangan berat badan pada pasien kanker dikeluhkan 15-
40% di mana keluhan ini mengindikasikan suatu prognosis berat.
Pasien kanker mempunyai risiko yang tinggi mengalami malnutrisi
yang dikenal sebagai kaheksia. Kaheksia kanker merupakan masalah
klinik yang paling sering dijumpai terutama pada pasien kanker
stadium lanjut, dan memberi dampak negatif terhadap
prognosis.Malnutrisi pada pasien kanker bukan hanya disebabkan
oleh penurunan asupan makanan saja tetapi juga karena tidak adanya
14
respons adaptasi terhadap starvasi seperti pada orang normal,
sehingga terjadi perubahan metabolisme (Reksodiputro,2009).
Pada pasien kanker kondisi kaheksla meningkat berhubungan dengan
beberapa faktor yaitu:
1. Faktor psikologis dan susunan saraf pusat (keengganan makan.
gangguan persepsi rasa kecap, stres psikologis)
2. Efek tumor (obstruksi mekanis, pemakaian nutrisi oleh tumor,
produksi sitokin oleh sel tumor, lipid mobilizing factors)
3. Efek terapi (kemoterapi, radiasi, bedah, nausea. stomatitis.
xerostomia, nyeri)
4. Efek patologis pada pasien meliputi: peningkatan resting energy
expenditure, gangguan proses metabolisme, produksi sitokin oleh
makrofag, disfungsi otonomik. dan penurunan pengosongan
lambung (Emera, 2002).
Penyebab kaheksia pada kanker belum dapat dipastikan,
diperkirakan multifaktorial. Di samping anoreksia, peningkatan
keluaran energi, perubahan metabolisme, jenis dan lokasi tumor yang
mengganggu saluran pencernaan dan jenis terapi kanker diperkirakan
mempunyai peran dalam terjadinya kaheksia kanker. Selain itu saat
ini telah ditemukan adanya peranan berbagai sitokin terhadap
kejadian anoreksia dan berbagai gangguan metabolisme yang
kemudian mendasari kejadian kaheksia kanker (Harsal,2009).
Asupan nutrisi yang adekuat pada pasien kanker sulit dicapai, oleh
karena itu terapi nutrisi yang adekuat baik jumlah, komposisi
maupun cara pemberian yang tepat harus dimulai sejak dini (sejak
awal terdiagnosis).
1.6 Hidrasi
2.3.1. Definisi
Adalah suatu kondisi akibat kekurangan volume cairan ekstraseluler
(CES), dan dapat terjadi karena kehilangan melalui kulit, ginjal,
15
gastrointestinal, pendarahan sehingga menimbulkan syok hipovolemik.
Mekanisme kompensasi pada hipovolemik adalah peningkatan rangsangan
saraf simpatis (peningkatan frekuensi jantung, kontraksi jantung, dan
tekanan vaskuler), rasa haus, pelepasan hormon ADH dan adosteron.
Hipovolemik yang berlangsung lama dapat menimbulkan gagal ginjal akut.
Gejala : pusing, lemah , letih, anoreksia, mual muntah, rasa haus, gangguan
mental, konstipasi dan oliguri, penurunan tekanan darah, HR meningkat,
suhu meningkat, turgor kulit menurun, lidah kering dan kasar, mukosa mulut
kering. Tanda-tanda penurunan berat badan akut, mata cekung, pengosongan
vena jugularis. Pada bayi dan anak-anak adanya penurunan jumlah air mata
(Tarwoto & Wartonah, 2006).
Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa
hilangnya air lebih banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik), atau
hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama (dehidrasi isotonik), atau
hilangnya batrium yang lebih banyak dari pada air (dehidrasi hipotonik)
(Sudoyo Aru, dkk 2009).
Dehidrasi merupakan keadaan ketidakseimbangan cairan dalam
tubuh yang dapat disebabkan oleh beberapa penyakit. (Huang, 2012).
Kebanyakan pasien dengan kanker akan mengalami peningkatan kebutuhan
intake oral mereka sebelum kematian yang dikarenakan oleh anoreksia,
mual, disfagia dan atau delerium. Dehidrasi dapat memperburuk gejala
seperti keletihan, mioklonik dan delerium. Dehidrasi juga dapat
menyebabkan terakumulasinya hasil metabolit opiod yang umumnya
diserepkan pada orang yang menderita kanker (Bruera et al, 2012).
Bila asupan oral tidak cukup untuk melembabkan pasien dengan
kanker pada tahap terminasi, beberapa pasien di sistem rumah sakit
convensional mungkin memberikan cairan parenteral, tetapi yang lain lebih
menghindarinya (Taylor & Francis, 2006).
16
2.3.2. Klasifikasi
Macam-macam dehirasi berdasarkan derajatnya:
a. Dehidrasi Berat :
- Pengeluaran/kehilangan cairan sebanyak 4-6 liter
- Serum natrium mencapai 159-166 mEq/lt
- Hipotensi
- Turgor kulit buruk
- Oliguria
- Nadi dan pernapasan meningkat
- Kehilangan cairan mencapai >10% BB
b. Dehidrasi Sedang :
- Kehilangan cairan 2-4 lt atau antara 5-10% BB
- Serum natrium mencapai 152-158 mEq/lt
- Mata cekung
c. Dehidrasi Ringan: Kehilangan cairan mencapai 5% BB atau 1,5-2 lt
(Maryunani, Anik. 2014).
2.3.3. Manifestasi
Dehidrasi dapat terjadi dengan cepat dan dapat ringan, sedang atau
berat, tergantung pada tingkat kehilangan cairan. Karakteristik penting dari
FVD termasuk kehilangan cairan akut; penurunan turgor kulit; oligura; urin
yang pekat; hipotensi postural; frekuensi jantung yang lemah, cepat; vena
leher yang rata; kenaikan suhu tubuh; penurunan TVS; kulit yang dingin,
basah karena vasokontriksi perifer; haus ; anoreksia; mual; lesu; kelemahan
otot; dan kram.
Gejala dan tanda defisit volume cairan bergantung pada kecepatan
dan besar perubahan yang terjadi. Hasil pemeriksaan fisik yang penting
adalah menurunya volume plasma dan interstisial. Gejala Umum dari
berkuranganya volume cairan sedang sampai berat adalah lesu, lemah, lelah
dan anoreksia. Tanda awal dari berkurangnya volume plasma adalah
hipotensi ortostatik dengan penurunan tekanan darah sedikitnya 10 mmHg
dan peningkatan denjut jantung pada perubahan postural. Takikardia terjadi
karena jantung berupaya untuk mempertahankan perfusi jaringan. Denyut
arteri melemah dan kecil. Pasien dapat merasa pusing pada posisi duduk atau
berdiri. Vena perifer (seperti vena di tangan) mungkin kolaps dan terisi
17
perlahan pada waktu tangan dalam posisi tergantung.Tanda lain
berkurangnya volume vena adalah vena jugularis yang mendatar dan
tekanan vena sentral yang rendah, mencerminkan penurunan aliran balik
vena ke jantung sisi kanan.
Volume interstisial yang berkurang diketahui dari menurunya turgor
jaringan dan lidah. Tanda lain dari kekurangan volume cairan adalah
membrane mukosa yang kering, oliguria, dan rasa haus. Oliguria terjadi
akibat efek hormone antidiuretik dan aldosteron, yang keduanya disekresi
sebagai respon terhadap volume yang berkurang. Penurunan berat badan
merupakan tanda utama lain defisit volume cairan, yang dapat di pakai untuk
memperkirakana besarnya kehilangan cairan, kecuali pada penimbunan
cairan di ruang ketiga.
2.3.4. Patogenesis
Nausea dan vomiting yang tidak terkontrol dapat mempengaruhi
terapi pada pasien secara keseluruhan dan mempengaruhi respon terapi serta
menurunkan tingkat kesembuhan pasien kanker. Selain itu mual muntah
yang tidak terkontrol juga dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan
elektrolit, penurunan berat badan, dan malnutrsisi. Muntah yang
bekepanjangan dapat menyebabkan esophageal, kerusakan gastric dan
pendarahan.(Pazdur,2003)
Dalam penelitian, hidrasi pada pasien kanker dengan volume cairan
yang jauh lebih rendah daripada yang dibutuhkan oleh rata-rata pasien medis
atau bedah. Semakin rendah kebutuhan air pada populasi ini berhubungan
dengan beberapa faktor termasuk usia, berat badan, penurunan kesadaran,
dan penurunan clearance air (Shalini Dalal, MD, and Eduardo Bruera, MD,
2004).
Pasien dengan kanker stadium lanjut sudah berusia lanjut. Pergeseran
komposisi tubuh dengan usia penurunan kadar air total tubuh sebesar 10%
-15% dibandingkan dengan orang dewasa muda. Selain itu, terkait kanker
cachexia dan penurunan berat badan mengurangi kebutuhan air lebih lanjut,
bahkan ketika mengikuti 30 mL / kg berat badan rekomendasi. Hiponatremia
18
terkait dengan toleransi penurunan air adalah umum pada pasien kanker dan
mungkin tidak tergantung pada status hidrasi. Hiponatremia berkaitan
dengan penurunan volume terjadi ketika natrium kehilangan melebihi air
atau ketika pasien dengan pengalaman hiponatremia dasar air dan natrium.
Pada pasien yang menggunakan diuretik, sering diresepkan untuk mengobati
kehilangan cairan ketiga ruang atau edema kaki (Shalini Dalal, MD, and
Eduardo Bruera, MD, 2004).
Mual kronis dan penggunaan morfin untuk mengontrol rasa sakit
akan merangsang ADH. Beberapa pasien kanker, terutama mereka dengan
kanker paru-paru, mengembangkan sindrom pantas ADH sekresi (SIADH),
tetapi tidak terkait pada defisit cairan. Pada orang tua, terajdi pengulangan
dari osmostat. Rilis ADH tidak terganggu dengan penuaan, tetapi tingkat
ADH meningkat untuk setiap tingkat osmolalitas plasma yang diberikan,
menunjukkan kegagalan respon normal ginjal untuk ADH. Mungkin
konsentrasi awal normal natrium dalam shift serum 125-137 mmol / L. Pada
100 pasien kanker berturut-turut dirawat di unit perawatan paliatif
Edmonton akut, rata-rata tingkat natrium plasma adalah 132 18 mmol / L,
dengan urea dan kreatinin normal (Shalini Dalal, MD, and Eduardo Bruera,
MD, 2004).
Meskipun kebutuhan air sehari-hari seorang pria 70 kg, mungkin
sekitar 2.100 mL, kehilangan 30 kg berat badan akan menghasilkan
kebutuhan per hari 1.200 mL. Insensible losses dari kulit dan paru-paru
mendekati 850 mL pada orang dewasa yang sehat biasanya lebih rendah
pada pasien yang sakit parah yang kurang aktif secara fisik atau terbaring di
tempat tidur. Perhitungan ini harus lebih kurangi untuk penurunan insensible
losses, yang-meskipun variabel dan tergantung pada iklim, tingkat aktivitas,
adanya demam, dan takipnea-biasanya kurang dari pada orang dewasa yang
sehat, yang mengarah ke kebutuhan air di kisaran 800-1.000 mL / d (Shalini
Dalal, MD, and Eduardo Bruera, MD, 2004).
Meskipun kebutuhan cairan pada pasien kanker terminal mungkin
kurang, mereka berada pada peningkatan risiko defisit cairan, sering dipicu
19
oleh variasi kecil dalam asupan cairan, infeksi, dan kondisi lainnya. Banyak
pasien dengan kanker sudah lanjut usia, di antaranya ginjal dan
neurohormonal fungsi, yang penting dalam menjaga keseimbangan air dan
status hidrasi dan memburuk oleh usia, tidak seefektif pada individu yang
lebih muda. Mekanisme haus berkurang dengan usia, yang secara signifikan
mengganggu kemampuan orang tua untuk mempertahankan homeostasis dan
meningkatkan risiko dehidrasi. Penurunan berhubungan dengan usia pada
maksimal kemih berkonsentrasi kemampuan lebih meningkatkan risiko
dehidrasi (Shalini Dalal, MD, and Eduardo Bruera, MD, 2004).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1.7 Kasus
Seorang pria usia 55 tahun didiagnosa cancer kolon (Colon
Carsinoma) stadium II dengan regimen pengobatan berupa reaksi usus dan
20
adjuvan kemoterapi. Sebelum didiagnosis kanker kolon, klien sudah
mengalami penurunan nafsu makan selama 3 bulan, nyeri abdomen, dan
berat badan turun 70 kg menjadi 58 kg. Setelah diketahui penyakitnya dan
dilakukan prosedur pembedahan dan masih dalam rigamen adjuvant
kemoterapi, nyeri hebat dan mual yang berat dan lama sehingga asupan
nutrisi semakin menurun drastis dalam 7 hari. Ia juga mengalami asites dan
efusi pleura.faktor-faktor tersebut memnyebabkan ia semakin membatasi
asupan makan dan mium karena merasa tidak nyaman. Akibat sedikitnya
asupan makan dan minum maka ia didiagnosis mengalami sindrom
anoreksia-cachexia. Pengkajian hari ini TD 90/60 mmHg, nadi 90x menit,
suhu 380C, RR 30x/menit, terdengar ronki. Kadar natrium 100 meq/dl,
albumin 2,8 g/dl. Pasien dicurigai asites .
Pasien terpasang cairan infus jenis NaCl 0,9 % 500 cc/24jam.
Setelah dievaluasi dokter dan perawat menganggap status hidrasi pasien
berisiko mengalami perburukan.
1.8 Pengkaji
A. Anamnesa
a. IdentitasMeliputi :
Nama : Tn P
Umur : 55 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama :-
Suku bangsa :-
Pekerjaan :-
Pendidikan :-
Status perkawinan : -
Alamat :-
Tanggal MRS :-
b. Keluhan Utama
Klien mengatakan nafsu makan menurun selama 3 bulan dan nyeri
abdomen.
21
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak di jelaskan di dalam kasus
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien terdiagnosa kanker kolon, nyeri hebat dan mual yang berat
dan lama sehingga asupan nutrisi semakin menurun drastis dalam 7
hari. Ia juga mengalami asites dan efusi pleura. Faktor-faktor tersebut
menyebabkan ia semakin membatasi asupan makan dan minum karena
merasa tidak nyaman. Akibat sedikitnya asupan makan dan minum
maka ia didiagnosis mengalami sindrom anoreksia-cachexia.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak di jelaskan didalam kasus
B. Pemeriksaan Fisik
- Observasi TTV Klien, yaitu :
Nadi : 90x/menit
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
RR : 30 x/meni
Suhu : 380C
1. Pengkajian Persistem
a. Sistem Integumen
Perlu dikaji adanya kekeringan pada turgor kulit
b. Sistem Kardiovaskuler
Kaji apakah bunyi jantung normal / mengalami gangguan, biasanya
pada klien bunyi jantung normal, dan tidak mengalami peningkatan
nadi
c. Sistem Pernafasan
Perlu dikaji pola nafas klien, auskultasi paru paru terdengar suara
ronki karena adanya efusi pleura.
d. Sistem Penginderaan
Konjungtiva tidak mengalami peradangan dan
e. Sistem Pencernaan
Kaji mulut dan tenggorokan termasuk tonsil.
(Mulut sudah terjaga PH nya dan tidak terdapat tonsil)
Apakah terdapat diare / tidak.
(Pola eliminasi vekal tidak mengalami gangguan)
Anus
C. Pemeriksaan Laboratorium
Natrium 100 meq/dl normal: 135-144 meq/dl
Albumin 2,8 g/dl normal: 4-5,2 g/dl
22
1.9 Analisa Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Intervensi radiasi dan Ketidakseimbangan
klien kemoterapi nutrisi kurang dari
mengatakan ia kebutuhan
mengalami mual Anoreksia
yang berat dan
lama Intake nutrisi yang tidak
Klien adekuat
mengatakan ia
membatasi Perubahan intake nutrisi
asupan makan
dan minum
karena merasa
tidak nyaman
DO:
berat badan
menurun dari 70
menjadi 58 kg
anoreksia
DS: Cidera biologis Nyeri akut
klien mengatakan
nyeri pada
abdomen
P: nyeri saat
makan
Q: tajam
R: pada
abdomen
S: 8
T: terus menerus
DO:
nadi : 90x/ menit
RR : 30x/ menit
23
DS: Ketidakefektifan jalan
Penimbunan cairan di
nafas
dalam
DO:
RR: 30x/ menit rongga pleura
Terdengar ronki
Terdapat efusi Penurunan ekspansi paru
pleura
Hambatan pengembangan
paru
Sesak napas
DS: Kelebihan asupan cairan Kelebihan volume cairan
DO:
Efusi pleura
Na: 100 mwq/dl
Asites
Nyeri Ketidakseimbangan
DS:
Elektrolit
- Mual yang
Medulla Spinalis
berat dan
lama
respon simpatisa djuvant
- Px membatasi
asupan
Kemoreseptor trigger zone
makan dan
pada glasspharyngeal
minum
karena
Aferen Vagal ( N. IX, X )
merasa tidak
nyaman
Pelepasan serotonin
Do:
Menstimulasi pusat
24
- TTV: muntah
- TD 90/60
mmHg
Muntah massif
- Nadi 90x
menit
- suhu 38 elektrolit : kalium,
- RR
natrium, kalsium
30x/menit,.
- Kadar
natrium 100
meq/dl,
albumin 2.8
g/dl
- Terpasang
cairan infus
jenis NaCl
1500
cc/menit
- Ada resiko
asites
Efusi pleura
Na: 100 mwq/dl
Asites
25
1.11 Intervensi
No Diagnosa NOC NIC Rasional
1 Ketidakseimba Nutritional status: Nutrition Nutrition
Nutritional status:
ngan nutrisi Management Management
food and
kurang dari 1. Kaji adanya alergi 1. Mengetahui status
Fluid intake
kebutuhan b.d Nutritional status: makanan nutrisi pasien
2. Kolaborasi dengan
ketidakmampu nutrien sehingga dapat
Intake ahli gizi untuk
an menelan menentukan
Weight control
menentukan
makanan Kriteria hasil: intervensi yang
Adanya peningkatan jumlah kalori dan
diberikan
BB sesuai dengan nutrisi yang
2. Memberikan
tujuan dibutuhkan pasien
pedoman untuk
BB ideal sesuai 3. Anjurkan pasien
pemenuhan nutrisi
dengan TB untuk
Mampu klien
meningkatkan
mengidentifikasi 3. Protein dan vitamin
intake Fe
kebutuhan nutrisi 4. Anjurkan pasien C dapat memenuhi
Tidak ada tanda-
untuk kebutuhan nutrisi
tanda nutrisi
meningkatkan 4. Menambah energi
Tidak ada penurunan
protein dan klien Mengatur
BB yang berarti
vitamin C intake dan output.
5. Berikan substansi
5. Untuk membantu
gula
proses dalam
6. Yakinkan diet yang
pemenuhan nutrisi
dimakan
6. Informasi yang
mengandung serat
diberikan saat
untuk mencegah
memotivasi pasien
konstipasi
7. Berikan makanan untuk
yang terpilih meningkatkan
(sudah dikonsultasi intake nutrisi.
ahli gizi) 7. Mengetahui
8. Monitor jumlah
pemenuhan nutrisi
nutrisi dan
26
kandungan kalori klien untuk proses
9. Berikan informasi
penyembuhan.
tentang kebutuhan
8. Memberikan rasa
nutrisi
kontrol.
10. Kaji kemampuan
9. Mengetahui
pasien untuk
kekurangan nutrisi
mendapatkan nutrisi
klien.
yang dibutuhkan
10. Mengetahui nutrisi
Nutrition monitoring
input dan output
1. BB pasien dalam
batas normal
2. Monitor adanya
penurunan berat
badan
3. Jadwalkan
pengobatan dan
tindakan tidak
selama jam makan
4. Monitor kulit kering
dan perubahan
pigmentasi
5. Monitor turgor kulit
6. Monitor
kekeringan, rambut
kusam, dan mudah
patah
7. Monitor mual dan
muntah
8. Monitor kadar
albumin, total
protein, Hb, dan
kadar Ht
9. Monitor pucat,
kemerahan, dan
27
kekringan jaringan
konjungtiva
10. Monitor kalori dan
intake nutrisi
28
mempengaruhi nyeri tepat membuat
seperti suhu penanganan menjadi
ruangan, lebih maksimal
9. Teknik non
pencahayaan, dan
farmaklogi dapat
kebisingan
7. Pilih dan lakukan mengurangi nyeri
penanganan nyeri yang di rasakan
10. Analgesik
(farmakologi, non
membantu
farmakologi dan
mengurangi nyeri
interpersonal)
8. Kaji tipe dan sumber pasien
11. Istirahat membuat
nyeri untuk
pasien merasalebih
menentukan
nyaman
intervensi
12. Untuk menentukan
9. Ajarkan tentang
tindakan yang tepat
teknik non
13. Mengetahui reaksi
farmakologi
pasien dengan
10. Berikan analgetik
penanganan nyeri
untuk mengurangi
yang diberikan
nyeri
11. Tingkatkan
Analgesic
istirahat
12. Kolaborasikan administration
dengan dokter jika 1. Menentukan
ada keluhan dan penanganan yang
tindakan nyeri tepat
2. Menentukan
tidak berhasil
13. Monitor penanganan yang
penerimaan pasien tepat
3. Mengetahui adanya
tentang
alergi pada pasein
manajemen nyeri
atau tidak
4. Memberikan
Analgesic
penanganan sesuai
administration
29
1. Tentukan lokasi, kondisi pasien
5. Untuk memberikan
karakteristik,
penanganan yang
kualitas, dan derajat
tepat
nyeri sebelum
6. Mengetahui status
pemberian
vital sign pasien
2. Cek intruksi dokter
7. Agar dapat
tentang jenis obat,
mengetahui sejauh
dosis, dan frekuensi
mana efektivitas
3. Cek riwayat alergi
4. Tentukan pilihan obat yang diberikan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya
nyeri
5. Tentukan analgesik
pilihan, rute
pemberian, dan
dosis optimal
6. Monitor vital sign
sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik pertama
kali
7. Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala
3. Ketidakefektif Respiratory status: Airway suction Airway suction
1. waktu tindakan
an bersihan ventilation 1. Pastikan kebutuhan
Respiratory status: suction yang tepat
jalan nafas b.d oral/tracheal
airway patency membantu
hipoventilasi suctioning
Kriteria hasil: 2. Asukultasi suara melapangan jalan
Mendemontrasikan napas sebelum dan nafas pasien
2. Mengetahui adanya
batuk efektif dan sesudah suctioning
3. Informasikan pada suara nafas
suara napas yang
klien dan keluarga tambahan dan
bersih, tidak ada
30
sianosis dan tentang suctioning kefektifan jalan
4. Minta klien napas
dyspneu (mampu nafas untuk
dalam sebelum
mengeluarkan memenuhi O2
suction dilakukan
sputum, mampu pasien
5. Berikan O2 dengan
3. memberikan
bernapas dengan
menggunakan nasal
pemahaman kepada
mudah, tidak ada
untuk memfasilitasi
keluarga mengenai
pursed lips)
suction nasotrakeal
Menunjukkan jalan indikasi kenapa
6. Monitor status
napas yang paten dilakukan tindakan
oksigen pasien
(klien tidak merasa 7. Ajarkan keluarga suction
4. Memudahkan
tidak merasa bagaimana cara
pengeluaran sekret
tercekik, irama melakukan suction
5. Membantu jalan
8. Hentikan suction
napas, frekuensi
nafas
dan berikan oksigen
pernapasan dalam 6. Mengetahui adanya
apabila pasien
rentang normal, perubahan satus
menunjukkan
tidak ada suara hemodinamik, jika
bradikardi,
napas abnormal) terjadi perburukan
Mampu peningkatan saturasi
suction bisa
mengidentifikasi dan O2, dll.
dihentikan.
mencegah faktor Airway management 7. memberikan
yang dapat 1. Buka jalan napas, pemahaman kepada
menghambat jalan gunakan teknik chin keluarga mengenai
napas lift atau jaw thrust indikasi kenapa
bila perlu dilakukan tindakan
2. Posisikan pasien
suction
untuk 8. Terhindar dari
memaksimalkan perubahan nilai
ventilasi SaO2 dan satus
3. Identifikasi pasien
hemodinamik yang
perlunya
buruk.
pemasangan alat Airway Management
1. Memfasilitasi
jalan napas dalam
4. Lakukan fisioterapi kepatenan jalan
31
dada jika perlu napas
5. Keluarkan sekret 2. Ventilasi maksimal
dengan batuk atau membuka area
suction atelektasis dan
6. Auskultasi suara
meningkatkan
napas, catat adanya
gerakan sekret ke
suara tambahan
jalan nafas besar
7. Atur intake untuk
untuk dikeluarkan.
cairan
3. Bila klien
mengoptimalkan
mengalami
keseimbangan
penurunan jalan
8. Monitor respirasi
nafas.
dan status O2
4. Fisioterapi dada/
back massage dapat
membantu
menjatuhkan secret
yang ada dijalan
nafas.
5. Mencegah obstruksi
atau aspirasi.
Penghisapan dapat
diperlukan bila klien
tak mampu
mengeluarkan sekret
sendiri.
6. Adanya bunyi ronchi
menandakan terdapat
penumpukan sekret
atau sekret berlebih
di jalan nafas.
7. Mengoptimalkan
keseimbangan cairan
dan membantu
32
mengencerkan sekret
sehingga mudah
dikeluarkan
8. Mengetahui adanya
perubahan satus
oksigen
4. Kelebihan Electrolit and acid Fluid management Fluid management
1. Pertahankan 1. Untuk memantau
volume cairan base balance
Fluid balance catatan intake dan balance cairan
b.d kelebihan
Hydration 2. Untuk
output yang akurat
asupan cairan
Kriteria hasil: 2. Monitor hasil Hb mendapatkan hasil
Terbebas dari yang sesuai dengan pemeriksaan untuk
edema, efusi, retensi cairan (BUN, melalukan
anaskara Hmt, osmolitas urin) penangan yang
Bunyi napas bersih, 3. Monitor status
tepat
tidak ada hemodinamik 3. Mendapatkan
dyspneu/ortopneu termasu CVP, MAP, status
Terbebas dari
PAP, dan PCWP hemodianmik
distensi vena 4. Monitor vital sign 4. Vital sign
5. Monitor indikasi
jugularis, refleks merupakan acuan
retensi / kelebihan
hepatojugular (+) keadaan umum
Memelihara tekanan cairan (cracles, CVP,
klien
vena sentral, tekanan edema, distensi vena 5. Memantau keadaan
kapiler paru, output leher, asites) pasien
6. Monitor masukan 6. Memantau keadaan
jantung dan vital
makanan / cairan nutrisi pasien
sign dalam batas
7. Kolaborasi untuk
dan hitung intake
normal
menentukan
Terbebas dari kalori
7. Monitor status penanganan pasien
kelelahan,
nutrisi yang tepat
kecemasan atau
8. Kolaborasi
kebingungan Fluid monitoring
pemberian diuretik
Menjelaskan
sesuai interuksi 1. Mengetahui
indikator kelebihan
9. Kolaborasi dokter riwayat jumlah dan
cairan
jika tanda cairan
33
berlebih muncul tipe intake cairan
memburuk dan eliminasi
Fluid monitoring 2. Untuk mengetahui
1. Tentukan riwayat faktor risiko dari
jumlah dan tipe ketidak
intake cairan dan seimbangan cairan
eliminasi 3. Memantau berat
2. Tentukan
badan, HR, dan
kemungkinan faktor
RR
resiko dari ketidak
4. Untuk memantau
seimbangan cairan
serum dan
(hipertemia, terapi
elektrolit urine
dieuretik, kelainan
5. Untuk memantau
renal, gagal jantung,
serum dan
diaporesis,
osmilalita urine
disfungsi hati, dll)
6. Untuk mengetahui
3. Monitor berat
intake dan output
badan, BP, HR, dan
7. Untuk memantau
RR
4. Monitor serum dan dari tanda dan
elektrolit urine gejala edema
5. Monitor serum dan
osmilalita urine
6. Catat secara akurat
intake dan output
7. Monitor tanda dan
gejal dari edema
34
1.12 Implementasi
1.13 Evaluasi
Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format SOAP. Tujuan
evaluasi adalah untuk mendapatkan kembali umpan balik rencana
keperawatan, nilai serta meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui
hasil perbandingan standar yang telah ditentukan sebelumnya.
35
BAB V PENUTUP
1.14 Kesimpulan
Kanker kolon adalah suatu keganasan yang terjadi di usus besar.
Penyebab pasti masih belum diketahui, tetapi beberapa kondisi yang dikenal
sebagai sindrom polyposis adenomatosa memiliki predisposisi lebih besar
menjadi risiko kanker kolon. Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker,
tahap penyakit, dan fungsi segmen usus tempat kanker berlokasi.
Kaheksia adalah suatu keadaan sakit atau gangguan kesehatan akibat
penurunan kadar nutrisi dalam tubuh, khususnya ketika disebabkan oleh
proses penyakit berat pada kanker atau tuberkulosis. Malnutrisi atau
kaheksia sering terjadi pada pasien dengan anoreksia.
1.15 Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekurang-kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangatlah kami perlukan agar
36
dalam pembuatan makalah selanjutnya akan lebih baik dari sekarang,dan
kami juga berharap setelah membaca makalah ini,kami berharap kita
menjadi lebih tahu dan lebih faham tentang Hidrasi/Alimentasi (Anoreksia,
Dehidrasi, Cachexia) Pada Ca. Kolon dan Manajemen Keperawatan. Dan
yang paling penting kita bisa mengaplikasikan ilmu ini dalam kahidupan.
1. Bagi mahasiswa meningkatkan kualitas belajar dan memperbanyak
literatur dalam pembuatan makalah agar dapat membuat makalah yang
baik dan benar.
2. Bagi pendidik agar dapat memberikan bimbingan yang lebih baik dalam
pembuatan makalah selanjutnya.
3. Bagi kesehatan memberikan pengetahuan kepada mahasiswa kesehatan
khususnya untuk mahasiswa keperawatan agar mengetahui pada pasien
kanker paru dalam hal ini meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostik penatalaksanaan serta asuhan
keperawatan pada pasien kanker paru.
37
DAFTAR PUSTAKA
Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta:
Interna Publishing.
Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta Salemba Medika.
Shalini Dalal, MD, and Eduardo Bruera. 2004. Dehydration in Cancer Patients: To
Treat or Not To Treat. MDVOLUME 2, NUMBER 6
NOVEMBER/DECEMBER 2004. www.SupportiveOncology.net
Diakses tanggal 7 Maret 2017.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC.
38
Lampiran
Kaheksia
Anoreksia, penurunan
berat badan, hilangnya
massa otot, perubahan
metabolism,
ketidakseimbangan
elektrolit dan anemia
Ketidakefektifan
jalan nafas
39