Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH FARMAKOTERAPI 1

“OSTEOARTHTRITIS ”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4 KELAS D

1. SRI ADHAYANI G 701 16 033


2. CHINDY BESTARI RATABA G 701 16 149
3. SAKINA UMAR NASIRI G 701 16 114
4. ANITA RAHMASARI G 701 16 142
5. SITI AINUN G 701 16 069
6. MARWATI G 701 16 247
7. RAYU INDRI PANGESTI G 701 16 098
8. SASMITA G 701 16 217
9. MOCH. TAUFIK HIDAYAH G 701 16 001
10. VIRIADI G 701 16 229
11. REYHAN FIKRAM G 701 16 210

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga
dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Farmakoterapi 1 ini yang membahas 
mengenai “Osteoarthtritis”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang “Osteoarthritis” untuk
dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
I.1. Latar Belakang.......................................................................................1
I.2. Rumusan Masalah..................................................................................2
I.3. Tujuan Makalah.....................................................................................2
I.4 . Manfaat Makalah..................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4
II.1 Definisi osteoarthtritis...........................................................................4
II.2 Epidemiologi osteoarthtritis..................................................................4
II.3 Etiologi osteoarthritis............................................................................5
II.4 Patofisiologi osteoarthritis.....................................................................6
II.5 Faktor resiko dari osteoarthritis............................................................9
II.6 Klasifikasi dari osteoarthritis..............................................................11
II.7 Patogenesis osteoarthritis...................................................................11
II.8 Tanda atau Gejala dan Diagnosa osteoarthritis..................................13
II.9 Prognosis – Monitoring osteoarthritis................................................15
II.10 Tatalaksana Terapi (terapi farmakologi dan non farmakologi)
osteoarthritis.......................................................................................17
BAB III PENUTUP..............................................................................................27
III.1Kesimpulan..........................................................................................27
III.2 Saran...................................................................................................27
STUDI KASUS.....................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................31

iii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Arthritis atau rematik merupakan penyakit yang menyerang bagian sendi.
Penyakit rematik biasanya ditandai dengan nyeri, bengkak, dan peradangan
pada sendi. Penyakit rematik tidak asing di Indonesia. Data menunjukkan
bahwa prevalensi penyakit rematik di Indonesia (2008) mencapai 23.6-31.3%.
Osteoarthritis adalah penyakit rematik yang disebabkan oleh kerusakan
jaringan tulang rawan. Karena jaringan tulang rawan berfungsi untuk melapisi
tulang dan membantu pergerakan sendi, kerusakannya menyebabkan tulang
saling berbenturan saat bergerak atau berolahraga yang menimbulkan rasa
nyeri dan kekakuan sendi. Tulang rawan sendi adalah substansi protein yang
berfungsi sebagai ‘’bantalan’’ pada sendi. Di antara berbagai jenis penyakit
rematik, Osteoarthritis paling sering ditemukan baik Amerika Serikat maupun
di seluruh dunia, dan kelainan sendi ini menyebabkan keterbatasan fungsi
sendi yang terserang. Osteoarthritis sering terjadi seiring dengan pertambahan
umur. Sebelum umur 45 tahun, Osteoarthritis lebih sering menyerang laki-
laki. Setelah umur 55 tahun, Osteoarthritis lebih sering menyerang wanita.
Jumlah penderita Osteoarthritis di Indonesia paling banyak mengenai
terutama pada orang-orang diatas 50 tahun. Di atas 85% orang berusia 65
tahun menggambarkan osteoarthritis pada gambaran x-ray, meskipun hanya
35%-50% hanya mengalami gejala. Umur di bawah 45 tahun prevalensi
terjadinya Osteoarthritis lebih banyak terjadi pada pria sedangkan pada umur
55 tahun lebih banyak terjadi pada wanita. Pada beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan terjadinya osteoarthritis pada
obesitas, pada sendi penahan beban tubuh.
Oleh karena itu, penyakit osteoarthritis merupakan penyakit yang berbahaya
dan merupakan faktor penyakit pada usia tua, maka perlunya hidup sehat dan
menjaga aktifitas fisik merupakan langkah awal untuk mencegah penyakit
osteoarthritis

1
I.2  Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Osteoarthritis?  
2. Bagaimana Epidemiologi dari Osteoarthritis?
3. Bagaimana Etiologi dari Osteoarthritis?
4. Bagaimana Patofisiologi dari Osteoarthritis?
5. Apa saja Faktor resiko dari Osteoarthritis?
6. Bagaimana Klasifikasi dari Osteoarthritis?
7. Bagaimana Patogenesis dari Osteoarthritis?
8. Apa saja tanda atau gejala dari Osteoarthritis?
9. Bagaimana Prognosis-monitoring dari Osteoarthritis?
10. Bagaimana Terapi farmakologi dan non farmakologi dari
Osteoarthritis?
I.3  Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Osteoarthritis.
2. Untuk mengetahui Epidemiologi dari Osteoarthritis.
3. Untuk mengetahui Etiologi dari Osteoarthritis.
4. Untuk mengetahui Patofisiologi dari Osteoarthritis.
5. Untuk mengetahui Faktor resiko dari Osteoarthritis.
6. Untuk mengetahui Klasifikasi dari Osteoarthritis.
7. Untuk mengetahui Patogenesis dari Osteoarthritis.
8. Untuk mengetahui tanda atau gejala dari Osteoarthritis.
9. Untuk mengetahui Prognosis-monitoring dari Osteoarthritis.
10. Untuk mengetahui Terapi farmakologi dan non farmakologi dari
Osteoarthritis.

I.4  Manfaat
1. Agar mahasiswa mampu mengetahui defenisi Osteoarthritis.
2. Agar mahasiswa mampu mengetahui Epidemiologi dari Osteoarthritis.
3. Agar mahasiswa mampu mengetahui Etiologi dari Osteoarthritis.
4. Agar mahasiswa mampu mengetahui Patofisiologi dari Osteoarthritis.
5. Agar mahasiswa mampu mengetahui Faktor resiko dari Osteoarthritis.

2
6. Agar mahasiswa mampu mengetahui Klasifikasi dari Osteoarthritis.
7. Agar mahasiswa mampu mengetahui Patogenesis dari Osteoarthritis.
8. Agar mahasiswa mampu mengetahui tanda atau gejala dari
Osteoarthritis.
9. Agar mahasiswa mampu mengetahui Prognosis-monitoring dari
Osteoarthritis.
10. Agar mahasiswa mampu mengetahui Terapi farmakologi dan non
farmakologi dari Osteoarthritis.

3
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Defenisi Osteoarthtritis

Secara harfiah, osteoarthritis (OA) berarti radang pada tulang dan sendi,
OA merupakan penyakit degenerative yang menyebabkan kerusakan tulang
rawan (kartilago) sendi dan tulang didekatnya, disertai proliferasia dari
tulang dan jaringan lunak di dalam dan sekitar sendi yang terkena. OA
terjadi karena proses perbaikan sendi tidak mampu mengimbangi kerusakan
yang terjadi, maka penyakit ini berkembang walaupun lambat dan umunya
terjadi pada usia lanjut (Priyanto, 2008).

II.2 Epidemiologi Osteoarthtritis

Pada 2010-2012, diperkirakan 52,5 juta orang dewasa di Amerika Serikat


melaporkan radang sendi yang didiagnosis dokter (OA, rheumatoid
arthritis, asam urat, lupus atau fibromyalgia) dengan 22,7 juta laporan
arthritis dapat diatribusikan pembatasan aktivitas (AAAL). Ini merupakan
peningkatan dari 49,9 juta orang dewasa di 2007-2009. Angka ini lebih dari
dua kali lipat dari 21 juta orang dewasa pada tahun 1995. Prevalensi AAAL
diperkirakan akan meningkat menjadi 22 juta di Amerika Serikat pada
tahun 2020, dan diperkirakan 67 juta orang akan memiliki OA pada tahun
2030. OA membebankan beban biaya yang luar biasa, dengan total biaya
rumah sakit pada tahun 2011 untuk perawatan yang terkait dengan
diagnosis OA mencapai sekitar $ 15 miliar dan hampir 1 juta pengeluaran
rumah sakit terkait OA. Sebagian besar biaya ini terkait dengan operasi
penggantian lutut dan pinggul. Pada tahun 2012, biaya pengobatan untuk
pengobatan OA dan gangguan sendi nontraumatic lainnya berjumlah $ 73,8
miliar. Diperkirakan bahwa setiap individu dengan OA lutut akan
menggunakan hampir $ 130.000 pada total biaya medis langsung dengan
10% dari total yang diakibatkan OA selama masa hidup mereka (Dipiro et
al., 2017).

4
OA merupakan penyebab utama disabilitas persendian dan tercatat pada
sepuluh besar daftar penyakit dunia yang dikeluarkan oleh WHO (Cote,
2001). Faktor epidemiologis yang meningkatkan risiko OA antara Iain:
cedera sendi, penggunaan sendi yang berlebihan, dan obesitas. Cedera sendi
yang terjadi pada usia di atas 35 tahun lebih berisiko untuk menimbulkan OA
dibandingkan dengan cedera pada usia remaja (Saxon et al., 1999). Aktivitas
fisik dengan intensitas tinggi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya OA.
Pada keadaan ini diduga terjadi microtrauma dan degenerasi kartilago
persendian yang kemudian mencetuskan OA (Saxon et al. 1999). Obesitas
meningkatkan risiko timbulnya OA sekaligus mempercepat proses degenerasi
sendi pada OA. Pada umumnya sendi yang sering mengalami OA adalah
sendi lutui (Cote, 2001). Pada keadaan ini pengurangan berat badan dan
pembatasan konsumsi lemak jenuh dapat mengurangi derajat OA. Hal ini
dikarenakan lemak jenuh berhubungan dengan pembongkaran kartilago
persendian (Cote, 2001). Dari sekian banyak sendi yang dapat terserang OA,
lutut merupakan sendi yang paling sering dijumpai terserang OA.
Osteoartritis lutut merupakan penyebab utama rasa sakit dan
ketidakmampuan dibandingkan OA pada bagian sendi lainnya. Data Arthritis
Research Campaign menunjukkan bahwa lebih dari 550 ribu orang di Inggris
menderita OA lutut yang parah dan 2 juta orang mengunjungi dokter praktek
umum maupun rumah sakit karena OA lutut. Lebih dari 80 ribu operasi
replacement sendi lutut dilakukan di Inggris pada tahun 2000 dengan biaya
405 juta Poundsterling.

II.3 Etiologi Osteoarthtritis

Sampai saat ini etiologi yang pasti dari osteoartritis ini belum diketahui
dengan jelas, ternyata tidak ada satu faktor pun yang jelas sebagai proses
destruksi rawan sendi, akan tetapi beberapa faktor predoposisi terjadinya OA
telah diketahui. Faktor resiko yang berperan pada osteoarthritis dapat
dibedakan menjadi dua golongan yaitu, (1) faktor predoposisi umum, antara

5
lain umur, jenis kelamin, kegemukan, hereditas, hipermobilitas, merokok,
densitas tulang, hormoral, dan penyakit rematik lainnya, (2) faktor mekanik,
antara lain trauma, bentuk sendi, penggunaan sendi yang berlebihan oleh
karena pekerjaan atau aktivitas dan kurang gerak (Isbagio, 2003).

Menurut (Priyanto, 2008), penyebab penyakit ini tidak diketahui secara pasti,
tetapi ada beberapa factor resiko yang diketahui berhubungan dengan
penyakit ini, yaitu.

1. Usia di atas 40 tahun dan prevalensi pada wanita lebih tinggi


2. Genetik
3. Kegemukan dan penyakit metabolic
4. Cedera sendi yang berulang
5. Kepadatan tulang berkurang (osteoporosis)
6. Beban sendi yang terlalu berat (olahraga atau kerja tertentu)
7. Kelainan pertumbuhan (kelainan sel-sel yang membentuk tulang rawan,
seperti kolagen dan proteoglikan)

II.4 Patofisiologi Osteoarthtritis


Akibat peningkatan aktivitas enzim-enzim yang merusak makromolekul
matriks tulang rawan sendi (proteoglikan dan kolagen) maka terjadi
kerusakan setempat secara progresif dan memicu terbentuknya tulang baru
pada dasar lesi sehingga terbentuk benjolan yang disebut osteolit.
Proteoglikan adalah suatu zat yang membentuk daya lentur tulang rawan,
sedangkan kolagen adalah serabut protein jaringan ikat. Osteolit yang
terbentuk akan mempengaruhi fungsi sendi dan menyebabkan nyeri jika sendi
digerakkan (Priyanto, 2008).

Patofisiologi Osteoarthritis ditandai dengan faktor kerusakan sendi dan


struktur sendi diarthrodial yang ditandai oleh kerusakan progresif tulang
rawan sendi, hilangnya artikular hialin tulang rawan, penebalan tulang
subkondral dan kapsul sendi, renovasi tulang, pembentukan osteofit, sinovitis
ringan, dan perubahan lainnya (Epstein et al., 2011). Osteoarthritis terbentuk

6
pada dua keadaan, yaitu (1) sifat kartilago sendi dan tulang subkhondral
normal, tetapi terjadi beban berlebihan terhadap sendi sehingga jaringan
rusak; (2) beban yang ada secara fisiologis normal, tetapi sifat kartilago sendi
atau tulang kurang baik (Brandt, 2014). Penggunaan terus-menerus dari sendi
mengakibatkan hilangnya tulang rawan karena kontak dari tulang ke tulang
yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya OA (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Karakteristik


Tulang Diarthorial
pada Osteoarthritis (Epstein et al., 2008)

Secara makroskopik, perubahan tulang rawan OA dapat dilihat sebagai


pelunakan atau kondromalasia, fibrilasi, erosi, kerusakan tulang rawan dan
kegagalan perbaikan tulang rawan, hilangnya lapisan tulang rawan, nekrosis
seluler, kondrosit kloning, dan duplikasi tidemark (Pearle et al., 2005). Pada
stadium awal, tulang rawan lebih tebal daripada bentuk normal, tetapi tulang
rawan melunak, integritas tulang terputus, dan terbentuk celah vertikal
(fibrilisasi) yang dapat mengakibatkan remodeling dan hipertrofi tulang
(Soeroso et al., 2014). Pelunakan tulang rawan tersebut dikarenakan adanya
peningkatan kadar enzim protease, seperti matriks metalloproteinase (MMPs).
Enzim protease katabolik ini memiliki peran penting dalam inisiasi dan
perkembangan OA. Selanjutnya, ditandai dengan meningkatnya kadar air dan
pelunakan tulang rawan berat dan sendi (Epstein et al., 2008). Hal tersebut
dapat membentuk ulkus kartilago dalam yang meluas ke tulang, sehingga

7
terjadi kemampuan menahan stres mekanik dengan cara perbaikan
kartilaginosa. Pertumbuhan kartilago dan tulang di tepi sendi menyebabkan
terbentuknya osteofit, yang mengubah kontur sendi dan membatasi gerakan
(Brandt, 2014). Pengaturan fungsi kondrosit dan metabolisme kartilago
bersifat kompleks, terdiri dari insulin-like growth factor, epidermal growth
factor, fibroblast growth factor, dan agen lainnya yang mampu meningkatkan
proliferasi kondrosit dan sintesis proteoglikan. Sebaliknya, interleukin-1 dan
tumor necrosis factor-α menghasilkan enzim yang mendegradasi matriks
protein dan menekan sintesis proteoglikan dan kolagen dalam matriks
ekstraselular (Buys and Elliott, 2008). Dalam tulang rawan orang dewasa
sehat, pasien atau dengan gejala OA, terjadi perubahan anabolik dan
katabolik dalam keseimbangan homeostatis, sehingga tingkat metabolisme
rendah dan pembentukan kartilago sangat lambat. Pada tulang rawan
kartilago dewasa bersifat avaskular, dengan kondrosit yang dialiri oleh cairan
sinovial. Dengan gerakan dan pembebanan pada sendi, nutrisi mengalir ke
tulang rawan, sedangkan imobilisasi gerakan mengurangi aliran nutrisi.
Sehingga aktivitas fisik normal bermanfaat bagi kesehatan sendi (Buys and
Elliott, 2008). Semua kartilago secara metabolit aktif, dan kondroisit
melakukan replikasi, membentuk matriks baru dan terbentuk hiposelular.
Proses perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida
yang mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel. Faktor
ini menginduksi kondroisit untuk mensintesis asam deosiribonukleat (DNA)
dan protein seperti kolagen serta proteoglikan. Peningkatan degradasi kolagen
akan mengubah keseimbangan metabolisme rawan sendi, dan bila
terakumulasi di sendi akan menghambat fungsi rawan sendi dan mengalami
respon imun yang menyebabkan inflamasi (Soeroso et al., 2014). Faktor
pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth factor (IGF-1), growth
hormone, transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni stimulating
factors (CSFs). IGF-1 berperan penting dalam proses perbaikan tulang rawan
sendi. Pada saat inflamasi, sel menjadi kurang sensitif terhadap efek IGF-1.
Sedangkan TGF-b mempunyai efek merangsang sintesis kolagen dan

8
proteoglikan serta menekan stromelisin, yaitu enzim yang mendegradasi
proteoglikan, meningkatkan produksi prostaglandin E2 (PGE2), dan melawan
efek sintesis PGE2 oleh interleukin-1 (IL-1). Apabila makrofag dirangsang
oleh CSFs (material asing hasil nekrosis jaringan) akan memproduksi sitokin
aktivator plasminogen (PA) yang disebut katabolin. Sitokin tersebut adalah
IL-1, IL-6, TNF-a, TNF-b, dan interferon (IFN) a dan t. sitokin ini akan
merangsang kondrosit untuk memproduksi CSFs yang akan mempengaruhi
monosit dan PA untuk degradasi rawan sendi secara langsung. Sehingga,
pasien OA memiliki kadar PA yang tinggi pada cairan sendinya. Interleukin-1
mempunyai efek meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan
sendi yaitu stromelisin dan kolagenosa, dan menghambat proses sintesis dan
perbaikan normal kondroisit. Kondroisit pasien OA mempunyai reseptor IL-1
dua kali lipat lebih banyak dibanding orang normal. Tulang subkondral
mengalami perubahan metabolik, termasuk turnover (pertukaran) tulang
meningkat, yang merupakan prekursor untuk perusakan jaringan. Faktor
pemicu utamanya adalah interleukin-1 (IL-1), sitokin yang dihasilkan oleh sel
mononukleus dan disintesis oleh kondroisit. IL-1 menekan sintesis PG oleh
kondroisit dan menghambat pembentukan matriks (Soeroso et al., 2014).
Pada tulang rawan sendi pasien OA terjadi peningkatan aktivitas fibrinogenik
dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Hal ini menyebabkan penumpukan
thrombus dan lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan
terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkhondral yang selanjutnya akan
mengakibatkan pelepasan prostaglandin dan interleukin yang menimbulkan
bone angina lewat subkhondral yang diketahui mengandung ujung saraf
sensibel yang dapat menghantarkan rasa sakit (Soeroso et al., 2014).

II.5 Faktor Resiko Osteoarthtritis

1. Individu
Umur dan gender Umur merupakan faktor risiko paling kuat.
Mekanismenya masih belum jelas, namun sangat berkaitan dengan
proses biologis pada sendi; proses penuaan akan menurunkan jumlah

9
kondrosit di kartilago sendi dan akan berkorelasi langsung dengan
derajat kerusakan kartilago. Prevalensi pada wanita lebih besar dari
pada pria; tingkat keparahan OA juga lebih besar pada wanita.
Penelitian menunjukkan bahwa hormon berperan dalam mekanisme
terjadinya OA.

2. Obesitas
Seseorang dengan obesitas berisiko 2,96 kali lebih tinggi terkena OA
daripada orang dengan indeks massa tubuh normal; sedangkan
overweight memiliki risiko 2 kali lebih tinggi terkena OA. Obesitas
meningkatkan risiko OA dengan beberapa mekanisme, di antaranya
meningkatkan beban sendi terutama pada weight- bearing joint,
mengubah faktor perilaku seperti menurunnya aktivitas fisik yang
akhirnya menghilangkan kemampuan dan kekuatan protektif otot
sekitar sendi. Pada OA lutut, obesitas menyebabkan kelemahan otot–
otot di sekitar sendi lutut dan meningkatkan kasus artroplasti. Pada
pasien obesitas, jaringan lemak dapat juga ditemukan di belakang
patella di area sendi lutut, biasa disebut infrapatellar fat pada, jaringan
lemak ini dapat menghasilkan adipokin, yaitu sitokin yang dihasilkan
sel lemak, seperti leptin, adiponektin, resistin, dan visfatin. Adipokin ini
dapat mengalami disregulasi yang dapat mensekresikan faktor–faktor
proinflamasi.

3. Genetik
Faktor genetik sangat mempengaruhi terjadinya OA pada lutut. Selain
itu, juga mempengaruhi sensitivitas terhadap nyeri OA.

10
II. 6 Klasifikasi Osteoarthtritis

Menurut (Anisa ika, 2015) klasifikasi dibedakan menjadi beberapa bagian


diantaranya sebagai berikut :
Derajat Klasifikasi Gambaran Radiografis
Tidak ada gambaran radiografis
0 Normal
yang abnormal
1 Meragukan Tampak Osteofit kecil
Tampak osteofit, celah sendi
2 Minimal
normal
Osteofit jelas, penyempitan
3 Sedang
celah sendi
Penyempitan celah sendi berat
4 Berat
dan adanya Sklerosis

Tabel 1. Klasifi kasi radiografi osteoartritis menurut criteria Kellgren-


Lawrence

II.7 Patogenesis Osteoarthtritis

Menurut Sudoyo et. al (2006), patogenesis osteoartritis belum jelas,


beberapa ahli berpendapat sebagai penyakit degeneratif, sedangkan
beberapa ahli yang lain berpendapat sebagai penyakit inflamasi.
Berdasarkan berbagai faktor resiko predisposisi terjadinya osteoartritis,
maka penanganan preventif merupakan pilihan yang berarti dalam upaya
menekan angka kejadian osteoartritis pada masa mendatang. Oleh karena itu
diperlukan studi yang lebih lanjut tentang patogenesis. Proses patogenesis
osteoartritis yang terpadu dapat menjadikan langkah pencegahan sebagai
langkah yang paling baik dilakukan, mengingat bahwa saat terjadinya
osteoartritis maka telah terjadi sebelumnya berbagai upaya homeostasis
tetapi gagal mengatasi masalah sehingga berujung pada terjadinya
osteoartritis. Oleh karena itu diperlukan langkah komprehensif untuk
menghentikan progresivitas osteoartritis, demi penurunan morbiditas dan
kecacatan pada penderita osteoartritis.

11
OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodelling tulang, dan
inflamasi. Terdapat 4 fase penting dalam proses pembentukan osteoartritis
yaitu :
1. Fase inisiasi
Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi berupaya
melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit mengalami replikasi
dan memproduksi matriks baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor
pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan
membantu komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin-like
growth factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor b
(TGF-b) dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor-faktor ini
menginduksi khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribo nukleat
(DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan. IGF-1 memegang
peran penting dalam perbaikan rawan sendi.

2. Fase inflamasi
Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF-1 sehingga
meningkatnya pro-inflamasi sitokin dan jumlah leukosit yang
mempengaruhi sendi. IL-1(Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor-α
(TNF-α) mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase dan
gelatinase untuk membuat produk inflamasi pada osteoartritis. Produk
inflamasi memiliki dampak negatif pada jaringan sendi, khususnya pada
kartilago sendi, dan menghasilkan kerusakan pada sendi.

3. Fase nyeri
Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan
penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan penumpukan
trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga
menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini
mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti prostaglandin dan

12
interleukin yang dapat menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga
berupa akibat lepasnya mediator kimia seperti kinin yang dapat
menyebabkan peregangan tendo, ligamen serta spasme otot-otot. Nyeri
juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan
radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan
vena intramedular akibat stasis vena pada pada proses remodelling
trabekula dan subkondrial.

4. Fase degradasi
IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi yaitu meningkatkan
sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi. Peran makrofag didalam
cairan sendi juga bermanfaat, yaitu apabila terjadi jejas mekanis,
material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs akan memproduksi
sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan merangsang
khondrosit untuk memproduksi CSFs. Sitokin ini juga mempercepat
resorpsi matriks rawan sendi. Faktor pertumbuhan dan sitokin membawa
pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin
cenderung merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi
sedangkan faktor pertumbuhan merangsang sintesis

II.8 Tanda atau Gejala dan Diagnosa Osteoarthtritis

Tanda atau gejala osteoarthritis antara lain: nyeri sendi, terutama pada saat
bergerak; OA pada umumnya terjadi pada sendi penopang beban tubuh,
seperti sendi panggul, tulang belakang, dan lutut; terjadi kemerahan,
inflamasi, sakit, dan dapat terjadi deformitas (berubah bentuk); OA yang
tidak progresif dapat menyebabkan perubahan cara berjalan; rasa sakit
bertambah hebat terutama pada sendi pinggul, lutut, dan jari-jari; saat
perpindahan posisi pada persendian terdengar suara (cracking) (Priyanto,
2008).

13
Menurut Sudoyo (2006), tanda dan gejala dari osteoarthritis adalah sebagai
berikut:
1. Nyeri sendi
Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat.
Beberapa gerakan tertentu kadang –  kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih
dibanding gerakan yang lain. Nyeri pada Osteoarthritis juga dapat berupa
penjalaran atau akibat radikulopati, misalnya pada Osteoarthritis servikal dan
lumbal. Osteoarthritis lumbal menimbulkan stenosis spinal mungkin menimbulkan
keluhan nyeri di betis, yangbiasa disebut dengan claudicatio intermitten.

2. Hambatan gerakan sendi


Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan – pelan sejalan
dengan bertambahnya rasa nyeri.

3. Kekakuan sendi
Setelah sendi tersebut digerakkan beberapa lama, tetapi kekakuan iniakan
menghilang setelah sendi digerakkan, misalnya kaku setelah duduk di kursi
ataumobil dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur.

4. Pembesaran sendi (deformitas)


Pasien mungkin menunjukkan bahwa pada salah satu sendinya (seringkali terlihat
dilutut atau tangan) secara pelan – pelan membesar.

5. Krepitasi tulang
Rrasa gemeretak (kadang – kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.

6. Perubahan gaya berjalan


Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien. Hampir semua pasien
Osteoarthritis pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul menjadi pincang.
Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang
besar untuk kemandirian pasien Osteoarthritis yang umumnya tua.

14
II.9 Progonis – Monitoring Osteoarthtritis

II.9.1 Progonis Osteoarthtritis

Mengingat bahwa osteoartritis adalah penyakit degeneratif, maka


dapat dimengerti bahwa penyakit ini progresif sesuai dengan usia,
namun apabila diketahui secara dini dan belum menimbulkan
deformitas (valgus atau varus) maka perjalanan penyakit dapat
dihambat dengan cara membuat atau berusaha untuk memperbaiki
stabilitas sendi (Azizah, 2008).
a. Quo ad vitam baik, karena mengingat kondisi penyakitnya
secara langsung tidak membahayakan jiwa.
b. Quo ad sanam ragu-ragu, karena interverensi fisioterapi tidak
dapat menyembuhkan osteoartritis sendi lutut, sifatnya
simpthomatik yaitu mengurangi gejala-gejala yang timbul.
c. Quo ad funcionam ragu-ragu karena, tergantung pada derajat
nyerinya.
d. Quo ad cosmeticam buruk, karena sudah terjadi adanya
deformitas varus.

Kita ketahui bahwa stabilitas sendi tergantung dengan bentuk sendi,


ligamen dan kapsul serta yang memegang peranan penting adalah
otot. Bentuk sendi, ligamen, dan kapsul tidak dapat dipengaruhi
kecuali menjaga agar jangan terlalu mendapat beban dan stress
sedangkan otot dapat diperkuat dengan cara latihan, sehingga
stabilitas masih bisa dikendalikan, mengurangi rasa sakit, dan
melatih otot agar menjadi kuat (Azizah, 2008).

II.9.2 Monitoring Osteoarthtritis

Penelitian cross-section menyatakan bahwa pemberian ERT


(Estrogen Replacement Therapy) cenderung lebih kecil resiko untuk
mengalami OA.

Osteoartritis adalah kelainan kronik-progresif, sehingga upaya yang


paling baik adalah pencegahan dan upaya menghentikan lingkaran
kronik-progresifnya dengan mengendalikan berbagai faktor yang
berperan serta terhadap timbulnya osteoartritis. Diharapkan bahwa
pengembangan penyusunan proses patogenesis osteoartritis yang
terpadu dapat menjadikan langkah pencegahan sebagai langkah yang
paling baik dilakukan, mengingat bahwa saat terjadinya osteoartritis

15
maka telah terjadi sebelumnya berbagai upaya homeostasis tetapi
gagal mengatasi masalah sehingga berujung pada terjadinya
osteoartritis. Oleh karena itu diperlukan langkah komprehensif untuk
menghentikan progresivitas osteoartritis, demi penurunan morbiditas
dan kecacatan pada penderita osteoartritis.

Oleh karena itu penanganan osteoartritis dapat dilakukan secara


komprehensif, dimulai dengan upaya terpadu meliputi:

1) Menjaga berat badan dan mencegah obesitas, sehingga beban


pada kartilago artikularis berkurang
2) Menjaga kadar gula darah agar tidak timbul metabolik sindrom
yang akhirnya berdampak pada terbentuknya AGE, serta risiko
aterosklerosis yang menyebabkan penurunan suplai nutrisi
terhadap kartilago artikularis
3) Melakukan aktivitas ringan dan mencegah pemakaian gerak
sendi yang terlalu berat/ overuse
4) Memakan makanan yang sehat dan bergizi
5) Melakukan langkah-langkah memperlambat penuaan, misalnya:
gaya hidup yang sehat

Harapan langkah kuratif-rehabilitatif pada masa mendatang,


meliputi:

1) Dapat mengembalikan fungsi kondrosit kembali optimum


2) Dapat memacu regenerasi kartilago artikularis
3) Dapat memperbaiki komposisi dan plastisitas ECM
4) Dapat mencegah terbentuknya AGE
5) Dapat dilakukan transplantasi kondrosit atau kartilago artikularis
secara utuh

II.10 Terapi Farmakologi dan Non Farmakologi Osteoarthtritis

1. Terapi Farmakologi

16
Terapi nonfarmakologi harus menjadi bagian integral dari pengobatan
osteoartritis, tetapi terapi yang optimal membutuhkan kombinasi terapi
farmakologi. Secara garis besar, ACR( American College Of
Rheumatology) 2012 merekomendasikan terapi farmakologis untuk OA
lutut sebagai berikut.

Asetaminofen, atau yang lebih dikenal dengan nama parasetamol


dengan merupakan analgesik pertama yang diberikan pada penderita
OA karena cenderung aman dan dapat ditoleransi dengan baik, terutama
pada pasien usia tua. Dengan dosis maksimal 4 gram/hari, pasien perlu
diberi penjelasan untuk tidak mengonsumsi obat-obat lain yang
mengandung asetaminofen, termasuk obat flu serta produk kombinasi
dengan analgesik opioid. Asetaminofen harus digunakan dengan hati-
hati pada pasien dengan gangguan hati, demikian juga pada pasien yang
menggunakan warfarin. Apabila penggunaan asetaminofen hingga dosis
maksimal tidak memberikan respon klinis yang memuaskan, golongan
obat anti inflamasi non steroid (OAINS) atau injeksi kortikosteroid
intraartikuler dapat digunakan. OAINS bekerja dengan cara
menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga mengganggu
konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin, yang berperan dalam
inflamasi dan nyeri. Terdapat 2 macam enzim COX, yaitu COX-1
(bersifat fisiologis, terdapat pada lambung, ginjal dan trombosit) dan
COX-2 (berperan pada proses inflamasi). OAINS yang bekerja dengan
cara menghambat COX-1 dan COX-2 (non selektif) dapat
mengakibatkan perdarahan lambung, gangguan fungsi ginjal, retensi

17
cairan dan hiperkalemia. Sedangkan OAINS yang bersifat inhibitor
COX-2 selektif akan memberikan efek gastrointestinal yang lebih kecil
dibandingkan penggunaan OAINS yang non selektif. Pada penggunaan
OAINS jangka panjang perlu dipertimbangkan pemberian proton-pump
inhibitor untuk mengurangi risiko komplikasi traktus gastrointestinal.
Untuk pasien berusia >75 tahun, penggunaan OAINS topikal lebih
dianjurkan dibanding OAINS oral. Pada kasus ini, penggunaan
tramadol atau injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat dianjurkan.
Tramadol sama efektif dengan morfin atau meperidin untuk nyeri
ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah.
Dosis maksimum per hari yang dianjurkan untuk tramadol adalah 400
mg. Injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat diberikan bila terdapat
infeksi lokal atau efusi sendi.

Pedoman American College of Rheumatology. American College of


Rheumatology (ACR) telah mengeluarkan panduan untuk pengobatan
farmakologis osteoartritis pada tangan, pinggul, dan lutut. Untuk
osteoartritis tangan, ACR merekomendasikan kondisi menggunakan
satu atau beberapa hal berikut: Capsaicin topical, Obat antiinflamasi
nonsteroid topikal (NSAID), NSAID oral atau Tramadol. ACR
merekomendasikan secara kondisional untuk tidak menggunakan terapi
intra-artikular atau analgesik opioid untuk osteoarthritis tangan. Untuk
pasien berusia di atas 75 tahun, ACR merekomendasikan penggunaan
NSAID topikal dan bukan oral. Untuk osteoarthritis lutut, ACR
merekomendasikan kondisi menggunakan salah satu dari berikut
ini: Asetaminofen, NSAID oral, NSAID topical, Tramadol atau Injeksi
kortikosteroid intra-articular. Acuan ACR merekomendasikan
penggunaan kondroitin sulfat, glukosamin, atau capsaisin topikal untuk
osteoartritis lutut. ACR tidak memiliki rekomendasi mengenai
penggunaan hyaluronates intra-artikular, duloxetine, dan analgesik
opioid. Rasa nyeri yang diderita oleh penderita penyakit ini dapat

18
dikurangi dengan berbagai macam cara seperti pengompresan atau
penyuntikan cairan sinovial ke bagian sendi. Penyuntikan cairan
sinovial sintetis, walaupun cukup mahal harus segera dilakukan, jika
diperlukan untuk mencegah keadaan yang lebih parah dimana harus
dilakukan penggantian dengan sendi sintetis yang lebih mahal lagi,
kadang-kadang perlu istirahat beberapa bulan dan hasilnya tidak lebih
baik daripada jika hanya dilakukan penyuntikan cairan sinovial sintetis.
Sayangnya, penyuntikan cairan sinovial sintetis harus dilakukan berkala
sekitar setahun sekali. Berikut Obat-obat OA (Osteoartritis) :
1. Acetaminophen
The American College of Rheumatology merekomendasikan
acetaminophen sebagai terapi obat lini pertama untuk manajemen
nyeri dalam OA karena relatif aman, efektif, dan lebih murah
dibandingkan dengan NSAIDs. Aktivitas analgesik acetaminophen
telah dilaporkan mirip dengan aktivitas yang dihasilkan oleh aspirin,
naproxen, ibuprofen, dan NSAID lainnya, meskipun banyak pasien
menunjukkan respon yang lebih baik terhadap penggunaan NSAIDs
(Dipiro et al., 2008).
Farmakologi dan Mekanisme Aksi
Farmakologi dan mekanisme aksi dari Acetaminophen adalah
berhubungan dengan aktivitas terhadap sistem saraf pusat dengan
menghambat sintesis prostaglandin, agen yang meningkatkan
sensasi rasa sakit. Acetaminophen mencegah sintesis prostaglandin
dengan menghalangi aksi siklooksigenase pusat. Acetaminophen
diserap dengan baik setelah pemberian oral, dengan bioavailabilitas
60 % sampai 98 %. Acetaminophen mencapai konsentrasi puncak
dalam waktu 1 sampai 2 jam, diinaktivasi dalam hati melalui
konjugasi dengan sulfat atau glukuronida, dan metabolitnya yang
diekskresi melalui ginjal (Dipiro et al., 2008).
2. NSAID

19
The American College of Rheumatology merekomendasikan
pertimbangan NSAID untuk pasien OA di antaranya apabila
acetaminophen tidak efektif. NSAID memiliki sifat analgesik pada
dosis yang lebih rendah dan efek antiinflamasi pada dosis yang
lebih tinggi.
Farmakologi dan Mekanisme Aksi
Blokade sintesis prostaglandin dengan menghambat enzim
siklooksigenase (COX-1 dan COX-2) diperkirakan berkaitan
dengan kemampuan NSAID untuk mengurangi rasa sakit dan
peradangan. Karena NSAID nonspesifik dan COX-2 inhibitor
selektif memiliki khasiat yang sama, pemilihan obat sering
tergantung pada toksisitas dan biaya. Enzim COX-1 berpartisipasi
dalam menjaga homeostasis atau fungsi fisiologis rutin seperti
generasi prostaglandin gastroprotektif untuk mempromosikan aliran
darah lambung dan generasi bikarbonat. COX-1 diekspresikan
secara konstitutif tidak hanya di mukosa lambung, tetapi juga di sel-
sel endotel vaskular, trombosit, dan tubulus pengumpul di ginjal,
sehingga prostaglandin COX-1 yang dihasilkan dan tromboksan
juga berpartisipasi dalam hemostasis dan aliran darah ginjal.
Sebaliknya, enzim COX-2 tidak banyak ditemukan dalam sebagian
jaringan tubuh, namun dengan cepat diinduksi oleh mediator
inflamasi, cedera lokal, dan sitokin, termasuk interleukin,
interferon, dan tumor necrosis factor. Prostaglandin dihasilkan oleh
COX-2 dan berkontribusi terhadap sensasi nyeri pada OA dan
kondisi lainnya. Prostaglandin dibuat oleh enzim COX-2, termasuk
prostasiklin (prostaglandin I2) juga terlibat dalam beberapa proses
fisiologis, termasuk fungsi ginjal, perbaikan jaringan, reproduksi,
dan pembangunan (Dipiro et al., 2008).
3. Glucosamine dan Chondroitin
Glukosamin diyakini berfungsi sebagai agen chondroprotective,
yang merangsang matriks tulang rawan dan melindungi dari

20
kerusakan kimia oksidatif. Chondroitin diberikan sering dalam
kombinasi dengan glukosamin, yang diduga dapat menghambat
enzim degradatif dan berfungsi sebagai substrat untuk produksi
proteoglikan (Burns et al., 2008). Dosis yang dianjurkan setidaknya
1.500 mg/hari untuk glukosamin dan 1.200 mg/hari untuk
kondroitin. Komponen glukosamin harus berupa garam sulfat
karena keberhasilan hampir semua studi positif menggunakan
garam sulfat yang lebih baik diserap dibandingkan garam klorida
(Dipiro et al., 2008).
4. Kortikosteroid
Injeksi glukokortikoid secara intraartikular dapat memberikan efek
analgesik yang sangat baik, terutama ketika ditemukan adanya efusi
sendi. Aspirasi efusi dan injeksi glukokortikoid dilakukan secara
aseptik, dengan pemeriksaan aspirasi yang direkomendasikan
sebagai pengecualian untuk kristal arthritis atau infeksi. Setelah
injeksi, pasien harus meminimalkan aktivitas dan stres pada sendi
selama beberapa hari. Pengatasan nyeri awal dapat dilihat dalam
waktu 24-72 jam setelah injeksi, dengan puncak nyeri sekitar 1
minggu setelah injeksi dan berlangsung hingga 4-8 minggu
(Dipiro et al., 2008).
5. Hyaluronan (Hyaluronic Acid)
Mekanisme kerja dari Hyaluronan tidak sepenuhnya dipahami.
Tulang rawan sehat mengandung asam hyaluronic kental yang
merupakan substansi untuk memfasilitasi pelumasan dan
penyerapan shock dalam berbagai kondisi bantalan beban. Pasien
dengan OA menunjukkan penurunan asam hyaluronic yang mutlak
dan fungsional, sehingga diperlukan administrasi eksogen yang
disebut sebagai viscosupplementation. Pada responden, manfaat
administrasi hyaluronan berlangsung selama periode yang melebihi
waktu tinggal di sinovium, menunjukkan bahwa
manfaat viscoelasticity luar juga terlibat. Penghambatan mediator

21
inflamasi dan degradasi tulang rawan, stimulasi dari matriks tulang
rawan, tindakan saraf, dan kemampuan hyaluronan untuk
menginduksi sintesis sendiri dapat menjelaskan mekanisme dari
hyaluronan sebagai viscosupplementation (Burns et al., 2008).
6. Analgesik Opioid
Dosis rendah analgesik opioid dapat berguna pada pasien yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan acetaminophen, NSAID, injeksi
intraartikular, atau terapi topikal. Agen ini sangat berguna pada
pasien yang tidak bisa mengkonsumsi NSAID karena gagal ginjal,
pasien yang telah melakukan pilihan pengobatan lain dan gagal,
serta pasien yang berada dengan risiko tinggi terhadap bedah.
Opioid dosis rendah adalah intervensi awal yang biasanya diberikan
dalam kombinasi dengan asetaminofen. Komponen lepas lambat
biasanya menawarkan kontrol nyeri yang lebih baik sepanjang hari,
dan digunakan ketika opioid sederhana tidak efektif. Jika rasa sakit
tak tertahankan dan membatasi aktivitas hidup sehari-hari, dan
pasien memiliki kesehatan cardiopulmonary yang cukup baik untuk
menjalani operasi besar, penggantian sendi lebih baik dibandingkan
ketergantungan pada opioid.
7. Tramadol
Tramadol dengan atau tanpa acetaminophen memiliki efek
analgesik sederhana pada pasien dengan OA jika dibandingkan
dengan placebo. Tramadol adalah juga cukup efektif sebagai terapi
tambahan pada pasien yang memakai bersamaan NSAID atau COX-
2 selektif inhibitors. Seperti analgesik opioid, tramadol dapat
berguna bagi pasien yang tidak bisa mengkonsumsi NSAID atau
COX-2 inhibitor selektif. Tramadol harus dimulai pada dosis rendah
(100 mg/hari) dan dapat dititrasi sesuai kebutuhan untuk
mengontrol rasa sakit dengan dosis 200 mg/hari. Tramadol tersedia
dalam tablet kombinasi dengan acetaminophen dan sebagai tablet
lepas lambat. Efek samping opioid seperti seperti mual, muntah,

22
pusing, sembelit, sakit kepala, dan mengantuk umum terjadi pada
penggunaan tramadol. Hal ini terjadi pada 60-70 % dari pasien yang
diobati, dan 40% pasien menghentikan tramadol karena adanya efek
merugikan tersebut. Meskipun frekuensi efek samping yang tinggi,
tingkat keparahan efek samping adalah kurang jika dibandingkan
dengan NSAID, seperti penggunaan tramadol tidak terkait
dengan life threatening perdarahan gastrointestinal atau dengan
gagal ginjal (Dipiro et al., 2008).
8. Terapi Topikal
Produk topikal dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi
dengan analgesik oral atau NSAID. Capsaicin yang diisolasi dari
cabai dan diformulasikan dalam bentuk krim telah terbukti dalam
empat studi placebo controlleddapat mengatasi nyeri pada OA bila
diterapkan di sendi. Kejadian buruk terkait penggunaan capsaicin
terutama lokal, yaitu pada 1 dari 3 pasien mengalami terbakar,
menyengat, dan / atau eritema yang biasanya reda dengan aplikasi
berulang-ulang. Capsaicin adalah produk nonprescription yang
tersedia dalam bentuk krim, gel, atau lotion pada konsentrasi mulai
dari 0,025 % - 0,075 %. Agar efektif capsaicin harus digunakan
secara teratur, dan diperlukan sekitar 2 minggu untuk menimbulkan
efek. Meskipun penggunaannya dianjurkan empat kali sehari,
aplikasi dua kali sehari dapat meningkatkan kepatuhan jangka
panjang dan tetap memberikan pengatasan rasa sakit pasien
(Dipiro et al., 2008).

23
ALGORITMA TERAPI

2. Terapi Non farmakologi


Tatalaksana Non-farmakologi (Menurut Wijaya, S., 2018)
1. Latihan Fisik dan terapi manual
Latihan dan aktivitas fisik sangat direkomendasikan untuk
mengurangi nyeri dan memperbaiki fungsi sendi. Latihan penguatan
otot quadriceps dan hamstring menjadi pilihan utama karena dapat
memperkuat otot-otot di sekitar sendi lutut,sehingga dapat
menstabilkan sendi lutut.
Penelitian yang membandingkan hasil latihan penguatan otot
quadriceps dan hamstring menunjukkan bahwa penguatan kedua
otot quadriceps dan hamstring menghasilkan skor WOMAC yang
lebih baik daripada penguatan otot quadriceps saja Latihan fisik

24
dapat berupa latihan aerobik dan bisa dilakukan di air (water based
exercise) dan di darat (land based exercise). Latihan didarat dapat
berupa bersepeda dan berjalan. Sedangkan untuk di air bisa berupa
berenang dan berjalan di dalam air. Latihan di air biasa digunakan
pada pasien OA yang sulit melakukan latihan di darat.13 Latihan
fisik sering dikombinasi dengan terapi manual yang terdiri dari
mobilisasi aktif dan pasif sendi, peregangan (stretching), dan
masase jaringan lunak. Tujuan terapi manual adalah mengurangi
nyeri, menormalisasi biomekanik sendi dan jaringan, dan
meningkatkan fungsi sendi.

2. Diet
Penurunan berat badan Pasien dengan indeks massa tubuh lebih dari
25 kg/m2 harus didorong untuk menurunkan berat badannya. Hal
ini dilakukan dengan membatasi diet tinggi kalori yang
dikombinasikan dengan latihan fisik Braces dan orthosis. Dapat
digunakan untuk memperbaiki gait dan membantu meringankan
beban lutut sehingga mengurangi nyeri. Namun brace dan orthosis
tidak dapat menggantikan fungsi latihan fisik. Jenis yang sering
digunakan adalah valgus brace dan lateral wedge insoles.
Penggunaan valgus knee brace dan lateral wedge insoles sama-
sama dapat mengurangi nyeri dan memperbaiki gambaran
radiologis pada pasien OA, di mana valgus knee brace hasilnya
lebih baik.14 Pada 2013, AAOS tidak lagi menyarankan
penggunaan lateral wedge insoles dengan kekuatan rekomendasi
moderate, sedangkan rekomendasi penggunaan valgus brace
bersifat inconclusive.

3. Modalitas eletroterapi
Modalitas eletroterapi meliputi TENS (transcutaneous electrical
nerve stimulation) dan neuromuscular electrical stimulation

25
(NEMS). Pada OA lutut, modalitas ini dapat menstimulasi otot
quadriceps, sehingga meredakan nyeri dan memperkuat otot
tersebut.7 Chen, et al,15 menunjukkan TENS lebih superior
dibandingkan injeksi hyaluronic.

4. Pembedahan
Tindakan pembedahan dapat dipertimbangkan jika pasien tidak
membaik dengan tatalaksana konservatif dan modalitas
nonfarmakologi. Pertimbangan kualitas hidup pasien yang makin
menurun juga dapat menjadi indikasi. Pilihan operasi pada OA lutut
meliputi artroskopi, perbaikan kartilago, dan artroplasti.

26
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Osteoartritis (AO) adalah gangguan sendi yang bersifat kronis disertai
kerusakan tulang dan sendi berupa disentegrasi dan pelunakan progresif
yang diikuti dengan pertambahan pertumbuhan pada tepi tulang dan tulang
rawan sendi yang disebut osteofit, dan fibrosis dan kapsul sendi. Kelainan
ini timbul akibat mekanisme abnormal proses penuaan, trauma atau kelainan
lain yang menyebabkan kerusakan tulang rawan sendi. Keadaan ini tidak
berkaitan dengan faktor sistemik atau infeksi.

Beberapa penyebab dan faktor predisposisi adalah sebagai berikut:


Usia/Umur, Jenis Kelamin, Ras, Faktor Keturunan, Faktor
Metabolik/Endokrin, Faktor Mekanik, Diet.

III. 2 Saran
Saran dari makalah ini kepada pembaca adalah agar pembaca tidak hanya
mengacu pada materi didalam makalah ini melainkan mencari referensi lain
diluar makalah .

27
STUDI KASUS
a. Simulasi kasus

Pasien Ny. S 43 tahun datang dengan keluhan pada lutut kiri sejak 6 bulan
yang lalu, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk. Nyeri dirasakan hilang timbul.
Nyeri biasanya timbul pada saat naik turun tangga, saat perpindahan posisi
duduk ke berdiri ataupun sebaliknya dan olahraga, nyeri hilang jika istirahat
beberapa saat. selain nyeri, kaku pada lutut kiri biasanya sehabis bangun tidur
dan terasa panas pada lutut kirinya. RPD : riwayat trauma disangkal, HT
disangkal dan DM disangkal. Riwayat penyakit keluarga :-

b. Riwayat penyakit
-
c. Riwayat pengobatan
Meloxicam tab 2x15 mg/hari, ranitidin tab 2x150 mg /hari, vitaneuron 2x1
tab/hari.
d. Hasil pemeriksaan fisik
KU : tampak sakit sedang
BB : 58 kg dan TB : 167 cm, BMI : 20,79 kg /m³
e. Hasil tes laboratorium
Vital sign TD : 120/80 mmHg, nadi 92x/menit
RR 20x/menit, T 36,3ºC
f. Pembahasan:
Penatalaksanaan dengan metode SOAP
1. Subjek
- Nama Ny. S
- Umur 43 tahun
- Keluhan : Nyeri pada lutut kiri sejak 6 bulan yang lalu,
nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk, nyeri dirasakan hilang timbul,
nyeri biasanya timbul pada saat naik turun tangga, saat perpindahan
posisi duduk ke berdiri ataupun sebaliknya dan olahraga, nyeri hilang

28
jika istirahat beberapa saat. Selain nyeri, kaku pada lutut kiri biasanya
sehabis bangun tidur dan terasa panas pada lutut kirinya.
2. Objek
- KU : tampak sakit sedang
- Vital sign : Tekanan darah (TD) : 120/80 mmhg (normal)
- Normal : 90/60 mmhg – 120/80 mmhg
- Nadi : 92 x/menit (normal)
- Normal : 60 – 100 x/menit
- RR : 20 x/menit (normal)
- Normal : 14 – 20 /menit
- T : 36,3°C (normal)
- Normal : 36,5°C – 37,5°C
- BB : 58 kg
- TB : 167 cm
- BMI : 20,79 kg/m2 (normal)
- Normal : 18,5 – 24,9 kg/m2
- Diagnose : osteoarthritis artikulasion genu sinistra (radang sendi
menyerang kartilago lutut kiri
- Terapi : meloxicam tab 2x15 mg/hari, ranitidine tab 2x150
mg/hari, vitaneuron 2x1 tab/hari.
3. Assesment
Ada penyakit ada obatnya yaitu :
Osteoarthritis yaitu penyakit simtomatik dengan gejala nyeri, obat yang
diberikan sebelumnya adalah meloxicam, untuk mengatasi efek samping
dari meloxicam digunakan ranitidin, vitaneuron digunakan untuk
kekurangan kartilago pada osteoarthritis.
4. Plan
Terapi Farmakologi
- Meloxicam digantikan dengan piroxicam
Meloxicam termasuk golongan NSAID non selektif yang lebih poten
menghambat COX 2 dari COX 1 (atau preferential COX 2 aktif) yang

29
memiliki efek samping mual, muntah,nyeri perut, kembung, dan diare
(Team medical mini notes, 2017).
Piroxicam termasuk golongan NSAID selektif dimana indikasinya
adalah untuk terapi simtomatik ostheoarthritis diberikan 1x20
mg/sehari.
- Vitaneouron tetap dilanjutkan karna dia mengandung berbagai jenis
vitaminn diantaranya vitamin B1, B6, B12 dan Vitamin C, vitamin E
yang baik untuk tulang atau sendi.

Terapi non farmakologi

- Langkah pertama memberikan edukasi pada pasien tentang penyakit,


prognosis, dan pendekatan manajemennya.
- Latihan fisik dan terapi manual
Latihan dan aktivitas fisik sangat direkomendasikan untuk
mengurangi nyeri dan memperbaiki fungsi sendi dan pergerakan,
menurunkan ketidakmampuan dan rasa sakit.
- Alat bantu seperti tongkat, alat pembantu berjalan, alat pembantu
gerak yang digunakan selama olahraga atau aktifitas seharian.
Elektroterapi Modalitas eletroterapi meliputi TENS
(transcutaneouselectrical nerve stimulation) dan neuromuscular
electrical stimulation (NEMS). Pada OA lutut, modalitas ini dapat
menstimulasi otot quadriceps, sehingga meredakan nyeri dan
memperkuat otot tersebut.

30
DAFTAR PUSTAKA

ACR. (2012). American College of Radiology Appropriateness Criteria. Reston :


ACR

Anisa Ika. (2015). Diagnosis And Treatment Osteoarthritis, Faculty of Medicine,


University of Lampung.

Aru W.Sudoyo, B. S. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (2 ed., Vol. III).
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Azizah, L. (2008). PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA
KONDISI OSTEOARTHRITIS GENU BILATERAL DENGAN
MODALITAS MICROWAVE DIATHERMI DAN TERAPI
LATIHAN DI RSUD SRAGEN. Program Studi Fisioterapi Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Buys, Lucinda M., Elliott, Marry E., Osteoarthritis in: DiPiro, Joseph T., Buys,
Lucinda M., Elliott, Mary E., Talbert, RL., Yee, GC., Matzke.

Brandt, Kenneth D., 2014. Osteoarthritis In: Isselbacher, Kurt J., Braunwald, E.,
Wilsom, Jean D., Martin, Joseph B., Fauci, Anthony S., Kasper, Dennis L.,
Harrison’s Rheumatology. Philadelphia: The McGraw Hill Company Inc,
p. 1886-1891

Cote, L. G. (2001). "Management Osteoarthritis." Journal of the American


Academy of Nurse Practitioners (Tahun 13, Nomor 11) Hlm.495-4

Dipiro et al., 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7 th Edition,


2085-2117, TheMcGraw-Hill Companies, Inc., USA

Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., &
Posey, L. M. (2017). PHARMACOTHERAPY A Pathophysiologic
Approach (Tenth Edit). New York: Mc. Graw Hill Professional.

Elin Y. S., dkk. 2008. Iso Farmakoterapi. Jakarta : PT. ISFI. 349-353

31
Epstein, BJ., Osteoarthritis in: Dipiro, JT., Gums, GJ., Hall, Karen., Burns, Marie
A., Wells, Barbara G., Schwinghammer, Terry L., Malone, Patrick M.,
Kolesar, Jill M., Rotschafer, J., 2008. Pharmacoterapy Pinciples and
Practice. 8th Ed. New York: The McGraw-Hill Companies Inc, p. 879 –
890

Hary Isbagyo (2000). Osteoartritis: Kumpulan Makalah Indonesia Pain Society.


IASP. Jogjakarta 2003.

Pearle, Andrew D., Warren, Russell F., Rodeo, Scott A. 2005. Basic Science of
Articular Cartilage and Osteoarthritis. Clin Sports Med. Elsevier Inc.Vol
24. p.1 – 12

Priyanto. (2008). FARMAKOTERAPI & TERMINOLOGI MEDIS. Jawa


Barat: Leskonfi.

Team medical mini notes., 2017. Basic pharmacology & drug notes. Makassar,
penerbit MMN publishing makassar.

Saxon, L.C. Finch and S. Bass (1999). "Sports Participation, Sports Injuries and
Osteoarthritis" Sports Medicine (Tahun 28, Nomor 2) Him. 123-135

Soeroso, Juwono., Isbagio, Harry., Kalim, Handono., Broto, Rawan., Pramudyo,


Riyadi., 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-6 Jakarta:
Internal Publishing, Hal. 3197-3209

Wijaya, S., 2018, Osteoarthritis Lutut, CME Madiun, Indonesia.

32

Anda mungkin juga menyukai