Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KELOMPOK PBL SISTEM PERKEMIHAN

KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH II


“BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA”

Dosen Pengampuh :
Bpk. Dwi Nugroho Heri Saputro S.Kep.,Ns. M.Kep.,Sp.Kep.MB., Ph.D.NS

Oleh :
PBL KELOMPOK II

VERONICA SEPTYANTI BOLOSAN (NIM : 1903029)


YOHANA FEBY ARINAFELIA (NIM : 1903033)

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN LINTAS JALUR


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BETHESDA YAKKUM
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia
dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul
“Benigna Prostat Hiperplasia”. Makalah ini membahas tentang konsep dasar
penyakit BPH (Benigna Prostat Hiperplasia), dan konsep asuhan keperawatan
pada pasien dengan BPH (Benigna Prostat Hiperplasia).

Dalam penulisan makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu pada kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya khususnya kepada Bapak Dwi Nugroho Heri Saputro S.Kep.,Ns.
M.Kep.,Sp.Kep.MB., Ph.D.NS selaku dosen koordinator mata kuliah KMB II dan
Bapak Isnanto S.Kep.,Ns.MAN selaku dosen pengampuh mata kuliah KMB II
(Sistem perkemihan).

Kami berharap makalah ini dapat memotivasi para mahasiswa/i lain


dalam mata kuliah ini. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan masukan-
masukan yang bersifat membangun, yaitu berupa kritikan dan saran yang
konstruktif demi memperbaiki dan penyempurnaan pembuatan laporan dan
makalah dimasa yang akan datang. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 29 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Tujuan Umum
C. Tujuan Khusus .............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi ..................................................................................... 3
2. Anatomi Fisiologi ..................................................................... 3
3. Etiologi .................................................................................... 7
4. Epidemiologi ........................................................................... 9
5. Patofisiologi .............................................................................. 9
6. Patoflowdiagram ....................................................................... 12
7. Derajat ..................................................................................... 14
8. Manifestasi Klinis ..................................................................... 14
9. Komplikasi ............................................................................... 15
10. Diagnosa ................................................................................... 16
11. Pemeriksaan Penunjang ............................................................ 17
12. Penatalaksanaan ........................................................................ 19
13. Pencegahan ............................................................................... 24
14. Prognosis ................................................................................. 26
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian ................................................................................ 26
2. Diagnosa ................................................................................... 29
3. Intervensi Keperawatan ............................................................ 30
4. Implementasi ............................................................................ 39
5. Evaluasi ................................................................................... 39
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 40
B. Saran .............................................................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 41

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus
prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut
parasimpatik dari korda spinalis dan simpatik dari nervus hipogastrikus.
Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat,
sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat
kedalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. System simpatik
memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-
buli. Ditempat itu terdapat banyak reseptor adrenergic. Rangsangan simpatik
menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut. Pada usia lanjut sebagian
pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi jinak
sehingga dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya
obstruksi saluran kemih (Purnomo, 2011).
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan
penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas
usia 60 tahun (Wijaya & Putri,2013:97). Hiperplasia prostat jinak (BPH)
adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Tanda klinis BPH biasanya
muncul pada lebih dari 50% laki-laki yang berusia 50 tahun ke atas (Price &
Wilson,2014).

B. Tujuan Umum
Memberi penjelasan mengenai Benigna Prostat Hiperplasia dan konsep dasar
asuhan keperawatan penyakit Benigna Prostat Hiperplasia

C. Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi Benigna Prostat Hiperplasia
2. Mengetahui anatomi fisiologi kelenjar prostat
3. Mengetahui etiologi Benigna Prostat Hiperplasia

1
4. Mengetahui epidemiologi Benigna Prostat Hiperplasia
5. Mengetahui patofisiologi Benigna Prostat Hiperplasia
6. Mengetahui pathway Benigna Prostat Hiperplasia
7. Mengetahui derajad BPH
8. Mengetahui manifestasi klinis Benigna Prostat Hiperplasia
9. Mengetahui komplikasi Benigna Prostat Hiperplasia
10. Mengetahui diagnosis Benigna Prostat Hiperplasia
11. Mengetahui pemeriksaan penunjang Benigna Prostat Hiperplasia
12. Mengetahui penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia
13. Mengetahui pencegahan Benigna Prostat Hiperplasia
14. Mengetahui prognosis Benigna Prostat Hiperplasia
15. Mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan Benigna Prostat
Hiperplasia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Tentang Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)


1. Definisi
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)
menurut beberapa ahli adalah :
Benigna prostatic hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, yang
disebabkan hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi
jaringan kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan
uretra parsprostatika (Jitowiyono & Kristiyanasari,2012:113)
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan
penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas
usia 60 tahun (Wijaya & Putri,2013:97). Hiperplasia prostat jinak (BPH)
adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Tanda klinis BPH biasanya
muncul pada lebih dari 50% laki-laki yang berusia 50 tahun ke atas (Price &
Wilson,2014).
BPH adalah suatu penyakit perbesaran dari prostat. Kata-kata hipertrofi
seringkali menimbulkan kontroversi di kalangan klinik karena sering rancu
dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari segi kualitas terjadi
pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah. Hiperplasia merupakan
pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh penambahan jumlah sel (Prabowo &
Pranata,2014:130).

2. Anatomi Fisiologi Kelenjar Prostat


Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah
kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya
berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini
menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar
panggul. Gambar letak prostat terlihat di gambar 2.1

3
Gambar 2.1 Letak Anatomi Prostat
Sumber : Prabowo & Pranata (2014)

Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos Prostat
dibentuk oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus
oleh capsula fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal.
Diantara fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian yang berisi
anyaman vena yang disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari
fascia pelvic yang melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic urogenital,
dan melekat pada os pubis dengan diperkuat oleh ligamentum puboprostaticum.
Bagian posterior fascia prostatica membentuk lapisan lebar dan tebal yang
disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas dari fascia rectalis
dibelakangnya. Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat ( Purnomo, 2011).
Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30-50 kelenjar yang
terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus anterior, dan lobus
medial. Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan dibawah duktus
ejakulatorius, lobus lateral yang terletak dikanan uretra, lobus anterior atau
isthmus yang terletak di depan uretra dan menghubungkan lobus dekstra dan lobus
sinistra, bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos,
selanjutnya lobus medial yang terletak diantara uretra dan duktus ejakulatorius,

4
banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan
terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus
medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi bendungan aliran urin pada
waktu berkemih (Wibowo dan Paryana, 2009). Prostat akibat hiperplasi jinak
sehingga dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya
obstruksi saluran kemih (Purnomo, 2011).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau buah
kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya
kurang lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian prostat terdiri
dari 50 – 70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan stroma (penyangga)
dan kapsul/muskuler. Bagian prostat terlihat di gambar 2.2.

Gambar 2.2 Bagian Prostat


Sumber Wibowo dan Paryana (2009)

Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus


prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik
dari korda spinalis dan simpatik dari nervus hipogastrikus. Rangsangan
parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan
rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra

5
posterior, seperti pada saat ejakulasi. System simpatik memberikan inervasi pada
otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat
banyak reseptor adrenergic. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan
tonus otot tersebut. Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran
kelenjar prostat akibat hiperplasi jinak sehingga dapat menyumbat uretra
posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Purnomo, 2011).
Adapun fisiologi prostat sebagai berikut :
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang tergantung
kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum
pasti. Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan
bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian
tengahlah yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga
kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim
asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat
alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulase
serta fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan
berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan prostat keluar
bercampur dengan semen yang lainnya. Cairan prostat merupakan 70% volume
cairan ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon dan menjaga
agar spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina
sangat asam (pH: 3,5-4). Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan
bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen
yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih 25% dari
seluruh volume ejakulat. Dengan demikian sperma dapat hidup lebih lama dan
dapat melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina dan melakukan pembuahan,
sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6
sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa cairan prostat menetralkan keasaman cairan
dan lain tersebut setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan dan
fertilitas sperma ( Wibowo dan Paryana, 2009 ).

6
3. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab
terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat
kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria
usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%,
dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga
menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut
Purnomo (2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon
(ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma
dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
a. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting
pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi
testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan
factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan
inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis
protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai
penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas
enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada
BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan prostat normal.

7
b. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan
kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar
estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam
prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan
jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan
terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi
sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga
masa prostat jadi lebih besar.
c. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth
factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan
terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast
Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan
dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena
miksi, ejakulasi atau infeksi
d. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel
yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya,
kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat
keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat
terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan
jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.

8
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang mengalami
apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
e. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel
yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan
sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika
hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya
poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel
stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel
epitel.

4. Epidemiologi
Benigna prostate hyperplasia mempengaruhi sekitar 50% laki-laki antara usia
51 sampai 60 tahun, dan meningkat 90% pada pria yang berusia 80 tahun.
Pada tahun 2010 di USA hampir 14 juta pria menderita gejala Lower Urinary
Tract Symptoms (LUTS) yang disebabkan oleh BPH (Anonim, 2014). Survei
dari Multi-national Aging Men (MSAM) yang dilakukan di Eropa dan
Amerika, menunjukkan bahwa lebih dari 14.000 pria usia 50-80 tahun
mengalami masalah seksual akibat BPH. Data menunjukkan 49% mengalami
kesulitan ereksi, 48% mengalami gangguan ejakulasi dan 7% mengalami nyeri
saat berhubungan seksual. Di indonesia operasi yang sering dilakukan yaitu
operasi saluran kemih dan diikuti oleh benign prostat hyperplasia dan saluran
kemih bawah (Purnomo, 2011). menurut survei National Livelihood Survey
(health questionnaires) pasien dengan benign prostat hyperplasia mengalami
peningkatan pertahunnya.

5. Patofisiologi
Pembesar prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada
tahap awal terjadi pembesar prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang

9
mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher, vesika kemudian
detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat sebagai akibatnya serat
detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat dretusor kedalam
mokusa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang trabukulasi. Jika
dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa fisika dapat menerobos
keluar diantara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang
apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase
penebalan detrusorsor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor
akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk kontransi, sehingga terjadi retensi urine total yang berlanjut
pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Wijaya & Putri 2013:98).
Pembesaran prostat menyebabkaan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi
lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontaksi yang terus-menerus ini
menyebabkan perubahan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulaasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami
hiperplasia. Jika prostat membesar, maka akan meluap ke atas kandung kemih
sehingga pada bagian dalam akan mempersempit saluran uretra prostatica dan
menyumbat aliran urine. Keadaan ini meninggkatkan tekanan intravesikal.
Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor
dan kandung kemih berkontraksi lebih kuat agar dapat memompa urine keluar.
Kontraksi yang terus menerus menyebabkan perubahan anatomi dari kandung
kemih berupa: hepertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sekula, dan divertikel kandung kemih. Tekanan intravesikal yang tinggi
diteruskan keseluruh bagian buli-buli tidak terkeculi pada kedua muara ureter,
tekanan ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter.

10
Keadan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan hidroureter,
hidrofrosis bahkan akhirnya dapat jatuh kedalam gagal ginjal (Muttaqin &
Sari,2012:2

11
6. Pathway
Perubahan usia (usia lanjut)

Ketidakseimbangan produksi hormone estrogen dan progesterone

Kadar testosterone menurun kadar etrogen meningkat

Mempengaruhi RNA dalam inti sel Hiperplasi sel stoma pada jaringan

Poliferasi sel prostat BPH

Pasien kurang Kurang Resiko Ketakutan


Pre operasi informasi kesehata pengetahuan Post Operasi impotensi akibat
dan pengobatan pembedahan
Obstruksi saluran kemih yang bermuara Ancaman perubahan Insisi prostatektom Pemasangan kerusakan jar.
ke vesika urinaria status kesehatan diri kateter threeway periuteral
Perubahan
Terputusnya disfungsi seksual
Penebalan otot destrusor Krisis situasi kontinuitas jaringan Bekuan kerusatakan
Darah integritas jar.
Dekompensasi otot destrusor Cemas penurunn pertahanan
tubuh Spasme Resiko perdarhan
Akumulasi urin di vesika urin

Resiko
Infeksi
12
Akumulasi urin di vesika

Sukar berkemih Peregangan vesika urinaria Penumpukan urin yang


berkemih tidak lancer melebihi kapasitas lama di vesika urinaria

Spasme otot spinter Refluk urin ke ginjal Pertumbuhan


Retensi
urin mikroorganisme

Nyeri akut Hidroureter,


Hidronefrosis

Gagal ginjal

13
7. Derajad BPH
Benigne Prostat Hiperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan
klinisnya: (Kristiyanasari & Jitowiyono,2012:119)
a. Derajat satu
Keluhan prostatime ditemukan penonjolan prostatisme 1-2 cm, sisa urine
kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat kurang lebih 20 gram.
b. Derajat dua
Keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas
badan tinggi(menggigil), nyeri daerah pinggang postat lebih menonjol,
batas atas masih teraba, sisa urine 50-100cc dan beratnya kurang lebih 20-
40 gram.
c. Derajat tiga
Gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine
lebih 100cc, penonjolan prostat 3-4 cm, dan beratnya 40 gram.
d. Derajat empat
Prostat lebih menonjol dari 4cm, ada penyulitke ginjal seperti gagal ginjal,
hydroneprosis.

8. Manisfestasi Klinik
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala
dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada
saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
1) Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi),
pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi
tidak puas (menetes setelah miksi)
2) Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).

14
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa
adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang
(merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda
infeksi atau urosepsis.
c. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada
saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun
gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan
prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal
ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar

9. Komplikasi
Efek yang terjadi akibat Hypertropi Prostat yaitu (Haryono, 2013:116) :
a. Terhadap Uretra
Bila lobus medius membesar, biasanya mengakibatkan uretra pars
prostatika bertambah panjang, dan oleh karena fiksasi ductus ejaculatorius
maka perpar angan akan berputar dan mengakibatkan sumbatan.
b. Terhadap Vesika Urinaria
Pada vesika urinaria akan didapatkan hypertropi otot sebagai akibat
proses kompensasi, dimana muscle fibro menebal ini didapatkan bagian
yang mengalaami lekukan yang disebut potensial divertikula. Pada proses
yang lebih lama akan terjadi dekompensasi otot-otot yang hypertrofi dan
akibatnya terjadi atonia (tidak ada kekuatan) pada otot-otot tersebut. Jika
pembesaran ini terjadi pada medial lobus maka akan menyebabkan post
prostatika yaitu sumber terbentuknya residual urine (urine yang tersisa)
dan pada post prostatika pouchini juga selalu didapati adanya batu-batu
kandung kemih.

15
c. Terhadap Ureter dan Ginjal
Bila uretra vesika valve rusak maka tekanan akan diteruskan ke atas.
Akibatnya, otot-otot calyyes, pelvis, urter sendiri mengalami hipertropi
dan akan mengakibatkan hidronefrosis dan akibat lanjut uremia.
d. Terhadap Organ Sex
Mula-mula libido meningkat, tetapi libido menurun.

10. Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang penuh dan
teraba massa kistik si daerah supra simpisis akibat retensio urine9 .
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE)
merupakan pemeriksaan fisik yang penting pada BPH, karena dapat
menilai tonus sfingter ani, pembesaran atau ukuran prostat dan kecurigaan
adanya keganasan seperti nodul atau perabaan yang keras.
Pada pemeriksaan ini dinilai besarnya prostat, konsistensi, cekungan
tengah, simetri, indurasi, krepitasi dan ada tidaknya nodul. Colok dubur
pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal, seperti meraba ujung
hidung, lobus kanan dan kiri simetris, dan tidak didapatkan nodul.
Sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras dan teraba
nodul, dan mungkin antara lobus prostat tidak simetri

b. Pemeriksaan Laboratorium
Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses
infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Obstruksi uretra menyebabkan
bendungan saluran kemih sehingga menganggu faal ginjal karena adanya
penyulit seperti hidronefrosis menyebabkan infeksi dan batu saluran
kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna untuk mencari jenis kuman
yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitivitas kuman
terhadap beberapa antimikroba yang diujikan. Pemeriksaan sitologi urine

16
digunakan untuk pemeriksaan sitopatologi sel-sel urotelium yang terlepas
dan terbawa oleh urine.

c. Pencitraan Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di
saluran kemih, batu/kalkulosa prostat atau menunjukkan bayangan buli-
buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda retensio urine.
Pemeriksaan IVP dapat menerangkan adanya :
1) Kelainan ginjal atau ureter (hidroureter atau hidronefrosis)
2) Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan
indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter
bagian distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)
3) Penyulit yang terjadi pada buli-buli, yakni: trabekulasi, divertikel, atau
sakulasi buli-buli

11. Pemeriksaan Penunjang


a. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri
harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran
kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah
merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml,
dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi
prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.

17
b. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka
semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan
pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah
tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji. Pemeriksaan
darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT,
golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
c. Pemeriksaan faal ginjal
Untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang menegenai saluran
kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan
informasi dasar dari fungsin ginjal dan status metabolic
d. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan
disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat
adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli.
Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari
keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari
Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika
urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
e. BNO /IVP
Untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat
bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat
mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli
dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan.
Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi
kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin.
Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.

18
f. Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA)
Dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi
dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy.
Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen
density (PSAD) lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan
biopsy prostat, demikian pula bila nila PSA > 10 ng/ml.
g. Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli- buli dan
volume residu urin serta untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
h. Foto polos abdomen
Untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran kemih,
adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh
dengan urin sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi
osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta
osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.
i. Pemeriksaan USG transektal
Untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa ginjal,
menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli,
mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan
mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.

12. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan BPH bertujuan agar mengembalikan kualitas hidup pasien,.
Terapi yang diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien,
ukuran prostate, berat badan, tingkat antigen prostat spesifik (PSA) pilihannya
adalah mulai dari : tanpa terapi (watchful waitting), terapi farmakologi, dan
terapi intervensi atau pembedahan (Dhingra dkk, 2011).

19
a. Watchful Waitting
Watchful waitting artinya, pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi
perkembangan keadaan penyakitnya tetap diawasi dokter, pilihan watchful
waitting ini ditujukan untuk pasien BPH dengan keluhan sedang hingga
berat, pancaran urin melemah dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram
(Dhingra dkk, 2011). Setiap 6 bulan, klien diminta untuk memeriksakan
diri dan memberitahukan mengenai perubahan keluhan yang dirasakannya
(Giatrininggar, 2013).
Watchful waitting yang diamati adalah perubahan gaya hidup dari pasien
tersebut serta melakukan evaluasi pada pasien dengan keluhan LUTS
ringan. Perubahan gaya hidup disarankan seperti menghindari makanan
dan 14 minuman yang mengakibatkan iritasi misalnya, kafein atau
alkohol), menghindari atau pemantauan beberapa obat (misalnya, diuretik,
dekongestan, antihistamin, antidepresan), dan memantau waktu berkemih
(kandung kemih pelatihan ulang). Modifikasi gaya hidup dapat membantu
memperbaiki gejala BPH, seperti mengurangi konsumsi alkohol dan
kafein, mengurangi cairan sebelum tidur untuk meningkatkan symptoms
nokturia, dan berkemih (Kapoor, 2012).

b. Medical Therapies (Terapi Farmakologi)


Terapi medikametosa atau farmakologi dilakukan pada pasien BPH tingkat
sedang, atau dapat juga dilakukan sebagai terapi sementara pada pasien
BPH tingkat berat. Tujuan terapi medikametosa adalah :
1) Untuk mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan
golongan αadrenergik blocker dan
2) Mengurangi volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron atau dehidrotestosteron (DHT).
Terapi farmakologi atau medikametosa, dalam menentukan
pengobatan perlu memperhatikan beberapa hal yaitu dasar
pertimbangan terapi, jenis obat yang digunakan, pemilihan obat,
evaluasi selama pemberian obat serta perlu dijelaskan pada pasien

20
bahwa harga obat-obatan yang akan dikonsumsi tidak murah dan
dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Tujuan terapi farmakologi ini
adalah berusaha untuk mengurangi resitensi otot polos prostat sebagai
komponen dinamik atau mengurangi volume prostat sebagai
komponen statik. Beberapa obat yang biasa digunakan α-adrenergik
bloker dan 5areductase inhibitors (5ARIs) , kedua obat tersebut yang
saat ini telah disetujui oleh Medications currently approved by Health
Canada untuk digunakan dalam pengobatan BPH (Dhingra dkk, 2011).

c. Minimally Invasive Therapies


Prosedur invasif minimal melibatkan penempatan stent endoskopik ke
dalam uretra prostat, sehingga dapat mengatasi gejala BPH dan
meminimalkan komplikasi karena sayatan kecil dan trauma berkurang ke
jaringan sekitarnya (Skinder et al, 2016).
1) Transurethral Needle Ablation (TUNA)
Prosedur TUNA yaitu dengan menggunakan gelombang radio
frekuensi tinggi untuk menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara
ini bertujuan untuk meminimalkan perdarahanan dan mempertahankan
mekanisme ejakulasi. sistem TUNA meningkatkan aliran urin dan
mengurangi gejala dengan efek samping yang lebih sedikit bila 18
dibandingkan dengan reseksi transurethral prostate (TURP ) (Mc Vary
et al, 2010).
2) Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Transurethral microwave thermotherapy (TUMT) merupakan tindakan
pemanasan prostat dengan memakai energi mikro prosedurnya dengan
memasukan kateter yang telah diberi elektrode dan diharapkan jaringan
prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai antara lain adalah
Prostatron.
3) Surgical Therapies (Terapi Pembedahan)
Tindakan operasi ditujukan pada hiperplasia prostat yang sudah
menimbulkan penyulit tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran

21
kemih, hematuria, infeksi saluran kemih bagian atas yang tidak
menunjukkan perbaikan setelah menjalani pengobatan medikamentosa
4) Open Prostatectomy
Open prostatectomy atau pembedahan terbuka merupakan alternativ
sesuai pada pasien BPH dengan gejala LUTS yang parah.
Prostatektomi terbuka melibatkan operasi pengangkatan dari bagian
dalam prostat melalui sayatan suprapubik atau retropubik dibagian
bawah perut. Pembedahan terbuka dianjurkan pada pasien dengan
pembesaran prostat yang sangat besar dengan volume prostat
diperkirakan lebih dari 80-100 cm5 (Kevin et al, 2010).
Prosedur Operasi terbuka ini mengangkat adenoma prostat dari
jaringan prostat yang berdekatan. Sehingga pembesaran prostat tidak
menghambat uretra serta gejala membaik pasca operasi. Namun,
Prosedur ini membawa risiko beberapa komplikasi termasuk infeksi
luka, perdarahan, infeksi saluran kemih (ISK) dan sepsis (Skinder et al
2016). Pada prosedur prostatektomi lebih banyak kehilangan darah
daripada menggunakan prosedur TURP (McVary et al, 2010).
5) Transurethral Holmium aser ablation of the prostate (HoLAP)
Transurethral holmium laser ablation of the prostate (HoLAP) adalah
alternatif bedah minimal invasif untuk pengobatan BPH. Data 19 klinis
yang mendukung ablasi laser holmium prostat (HoLAP) menunjukkan
kesetaraan dengan TURP dengan komplikasi lebih sedikit dan daya
tahan jangka panjang hingga 7 tahun. Secara umum, dokter telah
memanfaatkan teknologi laser holmium untuk mengobati BPH.
Pengobatan dengan laser holmium telah memungkinkan Ahli Urologi
untuk mengobati bagian yang lebih luas dari pasien, dan mencapai
hasil klinis yang sukses dengan komplikasi potensial yang lebih sedikit
daripada prosedur TURP.
6) Transurethral Holmium Laser Enucleation of the Prostate (HoLEP)
Prosedur ini melepaskan adenoma prostate dari jaringan kapsul dengan
menggunakan laser, mudah diserap dan menggunakan larutan normal

22
saline yang digunakan sebagai cairan irigasi. HoLEP dapat digunakan
pada pria dengan ukuran prostat besar > 100 ml. Beberapa studi
menunjukan bahwa tingginya insiden pasca operasi seperti
inkonstinensia dan gangguan ejakulasi. Beberapa RCT
membandingkan HoLEP dan TURP, waktu operasi HOLEP lebih lama
dibandingkan dengan TURP yaitu 62,1-94,6 vs 33,1-73,8 menit
(Homma et al, 2011).
7) Holmium Laser Resection of the Prostate (HoLRP)
Holmium laser resection of the prostate (HoLRP) merupakan prosedur
dengan adenoma prostat diresekresi menggunakan serat laser holmium
dan khusus diadaptasi resectoscope. Sebuah data menunjukkan bahwa
perbaikan gejala didapatkan setelah holmium laser resection
kemungkinan sebanding dengan hasil yang diperoleh setelah
melakukan prosedur TURP (McVary et al, 2010).
8) Photoselective Vaporization of the Prostate (PVP)
Photoselective vaporization of the prostate (PVP) merupakan prosedur
pembedahan prostat dengan cara menghancurkan kelebihan jaringan
prostat dengan keluarnya urine dengan menggunakan sinar laser ang
dikendalikan (McVary.,et al, 2010). Dibandingkan dengan
transurethral resection of the prostate (TURP), Photoselective
vaporization of the prostate (PVP) lebih ekonomis (Bowen et al, 2013).
9) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Transurethral incision of the prostate Merupakan prosedur dengan
cara memotong prostat pada posisi jam 5:00 dan 7:00 dari leher
kandung kemih tujuannya untuk membuka uretra. Prosedur ini
digunakan untuk prostat yang berukuran relatif kecil < 20-30 ml.
Menurut salah satu jurnal RCT Transurethral incision of the prostate
(TUIP) seefektif TURP untuk BPH yang ukuran prostatnya relatif kecil
< 20-30 ml. Waktu operasinya lebih singkat (Homma et al, 2011).

23
10) Transurethral Vaporization of the Prostate (TUVP)
Transurethral vaporization of the prostate (TUVP) merupakan
modifikasi dari TURP dan TUIP, dan memanfaatkan arus listrik tinggi
untuk menguapkan dan membekukan jaringan yang menghambat
prostat. efisiensi jangka panjang sebanding dengan TURP, tetapi
sejumlah pasien telah ditemukan mengalami efek samping iritasi
(Dhingra dkk, 2011).
11) Transurethral resection of the prostate (TURP)
Transurethral resection of the prostate (TURP) adalah prosedur efektif
yang umumnya untuk pengobatan BPH, pada prosesnya dimasukkan
endoskop melalui uretra sehingga adenoma prostat dihapus melalui
lingkaran elektroda. TURP ini efektif untuk mengatasi gejala BPH
tetapi dapat menyebabkan komplikasi seperti perdarahan,
hiponatremia, dan gangguan ejakulasi (Skinder et al, 2016). Prosedur
ini digunakan untuk pasien BPH dengan ukuran prostat sedang < 50-80
ml. Kompilikasi yang timbul meliputi perdarahan dan hiponatremia
(Homma et al, 2011).
12) Resiko Terapi Pembedahan (Surgical Therapies)
Terjadi Infeksi, perdarahan, Hilangnya kontrol kandung kemih,
Masalah ereksi (10-30%) merupakan resiko yang terjadi setelah
pembedahan (Anonim, 2015). Lebih dari 80% pasien yang menjalani
prosedur bedah mengalami nyeri postoperatif akut dan sekitar 75%
darinya melaporkan tingkat keparahan nyeri dari sedang hingga berat.

13. Pencegahan
a. Menurut penelitian, risiko terkena pembesaran prostat jinak (BPH) dapat
dicegah melalui konsumsi makanan yang kaya akan serat dan protein,
serta rendah lemak. Hindari juga konsumsi daging merah.
b. Tidak mengonsumsi kopi, alkohol berlebihan, tidak merokok.

24
c. Menjaga masukan nutrisi yang seimbang dan adekuat (cukup).
Mengurangi makanan yang mengiritasi buli-buli (kopi, coklat, pedas,
asin)
d. Latihan otot-perineal dilakukan dengan menekan bokong bersamaan,
tahan posisi ini, rileks. Latihan ini dapat dilakukan 10 sampai 20 kali
setiap jam ketika duduk atau berdiri
e. Coba untuk memutuskan aliran air kencing setelah mulai buang air kecil,
tunggu beberapa detik dan kemudian lanjutkan
f. Dianjurkan untuk berkemih secepatnya ketika merasakan keinginan untuk
berkemih
g. Kembalinya Kemampuan mengontrol buang air kecil adalah proses yang
bertahap, pasien dapat terus merasa berkemih tidak tuntas setelah
dipulangkan dan rasa tersebut harus secara bertahap hilang (hingga 1
tahun) Air kencing mungkin tampak keruh selama beberapa minggu
setelah pembedahan dan kembali jernih ketika area prostat menyembuh
h. Dalam masa penyembuhan (6 - 8 minggu) pasien tidak boleh melakukan
aktivitas seperti mengejan ketika buang air besar, mengangkat barang
berat. Hal ini dapat meningkatkan tekanan pada pembuluh darah balik dan
menyebabkan keluarnya darah
i. Pasien harus menghindari perjalanan jarak jauh dengan motor dan latihan
berat yang dapat meningkatkan perdarahan
j. Minum cukup cairan (paling sedikit 3000-4000 ml) untuk mencegah
dehidrasi, yang dapat meningkatkan terbentuknya jendalan darah dan
menyumbat aliran air kencing
k. Tanda-tanda seperti perdarahan, keluarnya jendalan darah, penurunan
aliran air kencing, atau gejala infeksi saluran kemih harus dilaporkan ke
dokter
l. Minum obat sesuai dengan yang diresepkan

25
14. Prognosis
Prognosis BPH berubah-ubah dan tidak bisa diprediksi tiap individu. BPH
yang tidak diterapi akan menunjukkan efek samping yang merugikan pasien
itu sendiri seperti retensi urin, insufisiensi ginjal, infeksi saluran kemih yang
berulang, dan hematuria. Prognosis dari BPH tergantung dari kecepatan dan
ketepatan menindak lanjuti kasus tersebut, apabila penatalaksanaannya tepat
dan cepat maka kemungkinan prognosisnya baik akan tetapi jika
penatalaksanaannya kurang tepat dan terlambat maka kemungkinan
prognosisnya buruk dan dapat menimbulkan komplikasi lain (Deters, 2011).

B. Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien BPH


1. Pengkajian Fokus
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH
merujuk pada teori menurut (Wijaya & Putri,2013) ada berbagai macam,
meliputi :
a. Data Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam
memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social
ekonomi memili peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan
yang baik. Pekerjaan memiliki pengaruh terserang penyakit ini, orang yang
pekerjaanya mengangkat barang-barang berat memiliki resiko lebih tinggi..
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia,
urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi,
hesistensi ( sulit memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan
waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensi urine.
c. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah riwayat
mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan
prostat / hernia sebelumnya.

26
d. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita
penyakit BPH.
e. Pemeriksaan fisik :
1) Inspeksi :
a) Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema,
pruritus, echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi
yang lama.
b) Penonjolan pada daerah supra pubik yang mengakibatkan retensi
urine.
c) Perhatikan adanya benjolan/massa atau jaringan parut bekas
pembedahan di suprasimfisis.
2) Palpasi :
a) Pemeriksaan Rectal Toucher (colok dubur) posisi pasien knee
chest
b) Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien
ingin buang air kecil
c) Palpasi kandung kemih untuk menentukan batas kandung kemih
dan adanya nyeri tekan padaa area suprasimfisis
d) Pemeriksaan tanda-tanda vital
3) Perkusi :
a) Pada daerah supra pubik apakah menghasilkan bunyi pekak yang
menunjukan distensi kandung kemih
b) Perkusi untuk melihat apakah ada residual urine
c) Uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose
meatus, striktur uretra, batu uretra/femoisis
f. Pemeriksaan eliminasi urine
1) Pancaran miksi : adanya perubahan pada eliminasi urine seperti
perubahan pancaran menandakan gejala obstruksi. Ketidakmampuan
eliminasi bisa terjadi pada klien yang mengalami obstreuksi pada
saluran kemih

27
2) Drainase kateter : melakukan drainase urine, meliputi : kelancaran,
warna, jumlah, dan cloting
g. Pola kesehatan fungsional
1) Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu
ragu, menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari untuk
berkemih (nokturia), kekuatan system perkemihan. Tanyakan pada pasien
apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien
ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari
prostrusi prostat kedalam rectum.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum
tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang
mengganggu nutrisi seperti anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
3) Pola tidur dan istirahat
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena
frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).
4) Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung
bawah
5) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obat- obatan,
penggunaan alkhohol.
6) Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan
waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban
berat. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada
umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana
pasien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.

28
7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampua
seksual akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh
pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau
dirasakan pasien sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan pasien
biasa cemas karena kurangnya pengetahuan terhadap perawatan luka
operasi.
h. Pengkajian Psikososiospiritual : Pengkajian psikologis klien meliputi
beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh
persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Masalah sistem perkemihan yang bersifat kronis menimbulkan rasa nyeri
dari gangguan saluran kemih dan memberikan stimulus pada kecemasan
dan ketakutan setiap pasien.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut (LeMone,2015) adalah :
1) Pre Operasi
1) Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
2) Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf,
distensi kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi
sekunder dari pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
3) Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status
kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau
menghadapi prosedur bedah.
4) Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.

29
b. Post Operasi
1) Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah,
edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
2) Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi
sekunder pada pembedahan
3) Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler (
tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.
4) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
5) Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan
impoten akibat dari pembedahan.
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek
pembedahan

3. Nursing Care Planning


Intervensi keperawatan pada penyakit BPH menurut NANDA NIC-NOC
(2015-2017 ) adalah:
Pra operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan : Tidak terjadi retensi urine
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50
ml, dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan cairan.
Intervensi :
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau bila tiba-tiba
dirasakan
Rasional : meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada
kandung kemih.
2) Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional : berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi

30
3) Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih,
perhatikan penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis.
Rasional : retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran
perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya
deficit aliran darah keginjal menganggu kemampuanya untuk
memfilter dan mengkonsentrasi substansi.
4) Lakukan perkusi/palpasi suprapubik
Rasional : distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea suprapubik
5) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari
Rasional : peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal
dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
6) Kaji tanda-tanda vital, timbang BB tiap hari, pertahankan pemasukan
dan pengeluaran yang akurat
Rasional : kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penuruna eliminasi
cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut kepenuruan ginjal
total
7) Lakukan rendam duduk sesuai indikasi
Rasional : meningkatkan relaksasi otot, penuruan edema, dan dapat
meningkatkan upaya berkemih.
8) Kolaborasi pemberian obat :
a) Supositorial rectal
Rasional : supositorial dapat diabsorbsi dengan mudah melalui
mukosa kedalam jaringan kandung kemih untuk menghasilkan
relaksasi otot/menghilangkan spasme
b) Antibiotic dan antibakteri
Rasional : digunakan untuk melawan infeksi
c) Fenoksibenzamin (Dibenzyline)
Rasional : diberikan untuk mempermudah berkemih dengan
merelaksasi otot polos prostat dan menurunkan tahanan terhadap
aliran urine.

31
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi
kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari
pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
Tujuan : nyeri hilang, terkontrol
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol pasien
tampak rileks, mampu untuk tidur dan istirahat dengan tepat
Intervensi :
1) Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam
menentukan pilihan/keefektifan intervensi
2) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase
retensi akut. Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih
normal dan menghilangkan nyeri kolik
3) Berikan tindakan kenyamanan, distraksi selama nyeri akut seperti,
pijatan punggung : membantu pasien melakukan posisi yang nyaman:
mendorong penggunaan relaksasi/latihan nafas dalam: aktivitas
terapeutik
Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian
dan dapat meningkatkan kemampuan koping
4) Dorong menggunakan rendam duduk, gunakan sabun hangat untuk
perineum
Rasional : meningkatkan relaksasi otot
5) Kolaborasi pemberian obat pereda nyeri (analgetik)
Rasional : menurunkan adanya nyeri, dan kaji 30 menit kemudian
untuk mengetahui keefektivitasnya.

c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status


kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau
menghadapi prosedur bedah.
Tujuan : Pasien tampak rileks.

32
Kriteria Hasil : menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi,
menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut
Intervensi :
1) Damping pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : menunjukkan perhatian dankeinginan untuk membantu.
2) Berikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan
Rasional : Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu
tindakan.
3) Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan
masalah/perasaan
Rasional : Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi
pemecahan masalah
4) Beri informasi pada pasien sebelum dilakukan tindakan
Rasional : memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan
menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian
informasi.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan
prognosisnya.
Kriteria Hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi
dalam program pengobatan
Intervensi :
1) Dorong pasien menyatakan rasa takut perasaan dan perhatian.
Rasional : Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien
Rasional : memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat
pilihan terapi
3) Berikan informasi tentang penyakit yang diderita pasien
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakit yang
dideritanya

33
4) Berikan penjelasan tentang tindakan/pengobatan yang akan dilakukan
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap tindakan untuk
menyembuhkan penyakitnya.

Post operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema,
trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
Tujuan : Pasien berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi
Kriteria Hasil : Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control kandung
kemih/urinaria, pasien mempertahankan keseimbangan cairan : asupan
sebanding dengan haluaran.
Intervensi :
1) Kaji haluaran urine dan system drainase, khususnya selama irigasi
berlangsung
Rasional : retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan
spasme kandung kemih.
2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional : mendorong pasase urine dan menngkatkan rasa normalitas.
3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter
dilepas.
Rasional : kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat
berlanjut sehingga menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema
uretral dan kehilangan tonus.
4) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, batasi cairan pada
malam hari setelah kateter dilepas
Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran
urine “penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan
berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
5) Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continous bladder
irrigation)/CBI sesuai indikasi pada periode pascaoperasi

34
Rasional : mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk
mempertahankan patensi kateter.

b. Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder
pada pembedahan, dan pemasangan kateter.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
Pasien mengatakan nyeri berkurang, ekspresi wajah pasien tenang, pasien
akan menunjukkan ketrampilan relaksasi, pasien akan tidur / istirahat dengan
tepat, tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
Rasional : nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih sekitar
kateter menunjukkan spasme kandung kemih.
2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
Rasional : Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
3) Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan selang
bebas dari lekukan dan bekuan
Rasional : mempertahankan fungsi kateter dan drainase system.
Menurunkan resiko distensi/spasme kandung kemih
4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase, dan spasme
kandung kemih
Rasional : menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama.
5) Kolaborasi pemberian antispasmodic contoh :
a) Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional : Merilekskan otot polos, untuk memberikan
penurunan spasme dan nyeri
b) Propantelin bromide (pro-bantanin)
Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih oleh kerja
antikolinergik.

35
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler (tindakan
pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria Hasil :
Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan, tanda – tanda vital dalam
batas normal, urine lancar lewat kateter.
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan
dan tanda – tanda perdarahan .
Rasional : Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui tanda – tanda
perdarahan.
2) Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter .
Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan
dan perdarahan kandung kemih
3) Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan
defekasi
Rasional : Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan
mengendapkan perdarahan
4) Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah,
untuk sekurang – kurangnya satu minggu
Rasional : Dapat menimbulkan perdarahan prostat
5) Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas
Rasional : Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa
prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah
pembedahan
6) Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam, masukan dan haluaran Warna
urine
Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat
mencegah kerusakan jaringan yang permanen.

36
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering
Tujuan : Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi
Kriteria Hasil :
Pasien tidak mengalami infeksi, dapat mencapai waktu penyembuhan, tanda –
tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda syok.
Intervensi :
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.
2) Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat
menurunkan potensial infeksi.
Rasional : Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK
dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal
3) Pertahankan posisi urinebag dibawah
Rasional: Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan
bakteri ke kandung kemih.
4) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.
5) Observasi urine: warna, jumlah, bau.
Rasional : Mengidentifikasi adanya infeksi.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotic
Rasional : Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.

e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten


akibat dari pembedahan.
Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat
dapat diatasi
Kriteria Hasil : Menyatakan pemahaman situasional individu, menunjukan
pemecahan masalah dan menunjukkan rentang yang tepat tentang perasaan
dan penurunan rasa takut.

37
Intervensi :
1) Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
2) Berikan informasi yang tepat tentang harapan kembalinya fungsi seksual
Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila syaraf perineal dipotong selama
prosedur radikal.
3) Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan transurethral/suprapubik
digunakan
Rasional : cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan
disekresikan melalui urine, hal ini tidak mempengaruhi fungsi seksual
tetapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urine keruh
4) Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan interupsi/continue aliran urin
Rasional : meningkatkan peningkatan control otot kontinensia urin dan
fungsi seksual.

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan


Tujuan : Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil :
Pasien mampu beristirahat atau tidur dalam waktu yang cukup, pasien
mengungkapan sudah bisa tidur, pasien mampu menjelaskan faktor
penghambat tidur .
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan
kemungkinan cara untuk menghindari.
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien sehingga mau kooperatif
dalam tindakan perawatan
2) Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi
kebisingan
Rasional : Suasana tenang akan mendukung istirahat
3) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur
Rasional : Menentukan rencana mengatasi gangguan

38
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi
nyeri/analgetik.
Rasional : Mengurangi nyeri sehingga pasien bisa istirahat dengan cukup.

4. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai
tujuan yang spesifik. Tahap implemntasi dimulai setelah rencana intervensi
disusun dan ditunjukkan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan. Tujuan dari implementasi adalah membantu klien
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencangkup peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi
koping (Nursalam,2011:127).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan,
rencana intervensi, dan implementasinya. Tahap evaluasi memungkinkan
perawat untuk memonitor apapun yang terjadi selama tahap pengkajian,
analisis, perencanaan, dan implementasi intervensi (Nursalam,2011:135).
Hasil evaluasi tindakan ditulis dalam lembar catatan perkembangan dengan
melaksanakan observasi dan pengumpulan data subjektif, objektif dengan
SOAP, SOAPIER atau SOAPIE.

39
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan
penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di
atas usia 60 tahun (Wijaya & Putri,2013:97). Hiperplasia prostat jinak
(BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Tanda klinis BPH
biasanya muncul pada lebih dari 50% laki-laki yang berusia 50 tahun ke
atas (Price & Wilson,2014).
Prognosis BPH berubah-ubah dan tidak bisa diprediksi tiap individu. BPH
yang tidak diterapi akan menunjukkan efek samping yang merugikan
pasien itu sendiri seperti retensi urin, insufisiensi ginjal, infeksi saluran
kemih yang berulang, dan hematuria. Prognosis dari BPH tergantung dari
kecepatan dan ketepatan menindak lanjuti kasus tersebut, apabila
penatalaksanaannya tepat dan cepat maka kemungkinan prognosisnya baik
akan tetapi jika penatalaksanaannya kurang tepat dan terlambat maka
kemungkinan prognosisnya buruk dan dapat menimbulkan komplikasi lain
(Deters, 2011)
B. Saran
Perawat mampu memahami masalah pada penyakit Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH). Perawat melakukan tindakan keperawtan pada masalah
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) dengan sepenuh hati dan sesuai
standard operasional yang ada.

40
DAFTAR PUSTAKA

Andi Eka Pranata, Eko Prabowo, S.Kep,M.Kes. (2014). Asuhan Keperawatan


Sistem Perkemihan Edisi 1 Buku Ajar. Nuha Medika : Yogyakarta.

Anonim, (2014). Prostate Enlargement: Benign Prostatic Hyperplasia, National


institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, NIH Publication No. 14–
3012 August 2014.

Bowen, J.M., Whelan, JP., Hopkins, RB., Burke, N., Woods, EA., Mcisaac, GP.,
Reilly DJ., Xie, F., Sehatzadeh, S., Levin, L., Mathew, SP., Patterson, LL.,
Goeree, R., and Tarride, JE., 2013. Photoselective Vaporization for the
Treatment of Benign Prostatic Hyperplasia. Ontario Health Technology
Assessment Series; Vol. 13: No. 2, pp. 1–34, August 2013.

Dhingra, Neelima., Bhagwat, Deepak. (2011). Benign Prostatic Hyperlasia: an


Overview of Existing Threatment. Indian J Pharmacol. 43 (1): 6-12.

Deters, LA, (2013). Benign Prostatic Hypertrophy. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview#a0156 (Diakses
29 Maret 2020).

Giatrininggar, E., 2013. Continuous Bladder Irrigation (Cbi) Pada Klien Benign a
Prostate Hyperplasia (Bph) Post Transurethral Resection Prostate (Turp)
Di Ruang Anggrek Tengah Kanan RSUP Persahabatan. Depok: Karya
Ilmiah Akhir-Ners.

Haryono Rudi (2013). Keperawatan Medikal Bedah (Sistem Perkemihan).


Edisi1,Yogyakarta. Rapha Publishing

Homma, Y., Gotoh, M., Yokoyama, O., et al., (2011). Outline of JUA Clinical
Guidelines for Benign Prostatic Hyperplasia. Tokyo:The Japanese
Urological Association. International Journal of Urology 18, 741–756

Jitowiyono, S dan Kristiyanasari, W. (2012). Asuhan Keperawatan Post Operasi


Dengan Pendekatan Nanda, NIC, NOC. Yogyakarta: Nuha Medika.

41
Kapoor, A (2012). Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Management In The
Primary Care Setting. The Canadian Journal of Urology., Vol. 19 No. 1,
pp.2027-2040.

LeMone, Priscilla dkk. (2016). Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan


Eliminasi.
Jakarta: EGC

McVary, Kevin T. MD., Claus G. Roehrborn, MD., (2010). American Urological


Association Guideline: Management of Benign Prostatic Huperplasia
(BPH). American Urological Association Education and Research, Inc

Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. (2011). Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi


Asuhan Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : Salemba medika.

NANDA. (2015). Buku Diagnosa Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi 2015-


2017. Jakarta: EGC

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi Jilid 3. Jogjakarta:
Mediaction Jogja

Price, S.A dan Wilson. 2014. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta : EGC

Purnomo, B. (2011). Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto

Skinder, D., Zacharia, I., Studin, J., and Covino, J (2016). Benign Prostatic
Hyperplasia: A Clinical Review Vol. 29 No. 8.

Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2,


Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika

Wibowo, D dan Paryana, W. (2009). Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta: Graha


Ilmu.

42

Anda mungkin juga menyukai