Anda di halaman 1dari 31

SEMINAR

LAPORAN KASUS ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.K

DENGAN DIAGNOSA MEDIS BPH DI RUANG BEDAH CENTRAL RUMKITAL Dr.


RAMELAN SURABAYA

Oleh :

KELOMPOK 4F

1. Citra Dewi Meilasari NIM. 183.0027


2. Novita Patmasari NIM. 183.0070
3. Mieke Izzatul M NIM. 183.0061
4. Siti Fatimah NIM. 183.0091

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2019
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 2
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................ 3
1.2 Latar Belakang ..................................................................................................................... 3
1.2 Tujuan .................................................................................................................................. 4
1.3 Manfaat ................................................................................................................................ 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 6
2.1 Konsep Dasar Keperawatan Perioperatif ............................................................................. 6
2.2 Konsep Dasar BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) ............................................................ 14
2.3 Konsep TURP .................................................................................................................... 26
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN ................................................................................... 30
BAB 4 PENUTUP .................................................................................................................. 31
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................................... 31
4.2 Saran ................................................................................................................................. 31
BAB 1
PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang


BPH (Benigna Prostat Hiperplasi) adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar
prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran
keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat
Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi
prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretra lah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya
bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan
disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau
adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai (Mutakin, 2011).

Di kehidupan globalisasi saat ini, kasus kejadian benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
dilaporkan terus meningkat yang banyak dijumpai pada pria u50 tahun dan lansia BPH atau
pembesaran prostat timbul Seiring dengan bertambahnya umursebab BPH erat kaitannya
dengan proses penuaan, hampir setiap 50% pria diatas 50 tahun mengalami hiperplasia .
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka yang bermakna pada populasi pria usia lanjut.
Gejala ini adalah sulit untuk Buang Air Kecil (BAK). Penyakit BPH ini belum diketahui secara
pasti, namun kemungkinan berhubungan dengan ketidakseimbangan antara estrogen dan
progesteron di dalam prostat. (Elizabeth,2009). Gangguan BPH terjadi karena kelenjar prostat
membesar sehingga akhirnya menjepit saluran urine. Tingkatannya bisa ringan hingga berat.
Ada sejumlah tanda awal gangguan pembesaran prostate, diantaranya pasca buang air kecil
(BAK) urine tidak habis, dan sering BAK. Penderita gangguan prostat hyperplasia ini bisa
menahan atau menunda BAK. Namun, ketika sudah BAK, arusnya lemah. Penderita juga
sering bangun malam untuk BAK. Pada akhirnya gangguan ini mengakibatkan urine tersumbat
total (Prasetyo, 2009).
Menurut data WHO (2013), memperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus degeneratif.
Salah satunya adalah BPH, dengan insidensi di negara maju sebanyak 19%, sedangkan di
negara berkembang sebanyak 5,35% kasus. Yang ditemukan pada pria dengan usia lebih dari
65 tahun dan dilakukan pembedahan setiap tahunnya. Tingginya kejadian BPH di Indonesia
telah menempatkan BPH sebagai penyebab angka kesakitan nomor 2 terbanyak setelah
penyakit batu pada saluran kemih. Tahun 2013 di Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH,

3
diantaranya diderita pada pria berusia di atas 60 tahun.Suatu penelitian menyebutkan bahwa
prevalensi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) yang bergejala pada pria berusia 40–49 tahun
mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia
50–59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25% dan pada usia 60 tahun mencapai angka
sekitar 43%. Angka kejadian BPH di Indonesia sebagai gambaran hospitalprevalensi di dua
Rumah Sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994–1999)
terdapat 1040 kasus (Istikomah, 2010).Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan salah
satu penyakit yang ditakuti dikalangan pria usia lanjut. Kelenjar prostate sering menimbulkan
masalah dalam kehidupan kaum pria. Berdasarkan data, tidak kurang dari 70 % pria usia lanjut
mengalami BPH.Biasanya BPH mulai mengintai pria umur 50 tahun, dan 10 tahun kemudian
sering mengganas (Mulyadi, 2009).
Walaupun BPH menduduki peringkat ke 3 dari kasus sistem perkemihan, apabila tidak
dilakukan Asuhan Keperawatan secara koperhensif dapat menyebabkan kematian karena
peradangan kelenjar prostat dapat kanker prostat yang menyebabkan kematian. Oleh sebab itu
penulis tertarik untuk melakukan Asuhan Keperawatan perioperative pada Tn. K dengan
rencana operasi TURP.

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Diperolehnya gambaran dan pengalaman nyata pada Asuhan Keperawatan
pada orang dewasa dengan Gangguan Sistem Perkemihan :Benigna Prostat
Hyperlasia( BPH )

2. Tujuan khusus,
Karya tulis ini penulis mampu melakukan dokumentasi proses keperawatan
secara komperhensif, penulis mampu melakukan :
a. Tahap pengkajian sampai dengan menegakan analisis data.
b. Mampu merumuskan Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan BPH.
c. Tahap perencanaan
d. Tahap implementasi
e. Tahap evaluasi

4
1.3 Manfaat
1.Bagi Rumah Sakit
Tugas ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pelaksanaan asuhan
keperawatan pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan : BPH sehingga dapat membantu
meningkatkan mutu
pelayanan di Rumah Sakit
2.Bagi Pendidikan
Tugas ini diharapkan dapat menambah informasi yang nyata tentang pelaksanaan
asuhan keperawatan anak dengan Gangguan Sistem Perkemihan :BPHsehingga dapat
meningkatkan kualitas mahasiswa yang akan praktek dan meningkatkan kualitas lulusan yang
dihasilkan oleh institusi pendidikan.
3.Bagi Mahasiswa Keperawatan
Tugas ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi profesi keperawatan tentang
asuhan keperawatan pada dengan GangguanSistem Perkemihan : BPH dan memberikan
informasi tentang pendokumentasian selama pengelolaan kasus, sehingga informasi ini dapat
meningkatkan mutu pelayanan bagi profesi keperawatan.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Keperawatan Perioperatif


2.1.1 Pengertian Keperawatan Perioperatif
Keperawatan perioperatif adalah merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman
pembedahan pasien. Istilah perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencakup tiga
tahap dalam suatu proses pembedahan yaitu tahap pra operasi, tahap intra operasi dan pasca
operasi. Masing - masing tahap mencakup aktivitas atau intervensi keperawatan dan
dukungan dari tim kesehatan lain sebagai satu tim dalam pelayanan pembedahan (Majid,
2011).
Keperawatan Perioperatif adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan di kamar bedah yang langsung diberikan pasien, dengan menggunaka
metodelogi proses keperawatan. Keperawatan perioperatif berpedoman pada standar
keperawatan dilandasi oleh etika keperawatan dalam lingkup tanggung jawab keperawatan.
Perawat yang bekerja di kamar operasi harus memiliki kompentensi dalam memberikan
asuhan keperawatan perioperatif (HIPKABI, 2012).

2.1.2 Tahap – Tahap Keperawatan Perioperatif


Ada beberapa tahapan dalam keperawatan perioperatif dan keberhasilan dari suatu
pembedahan tergantung dari setiap tahapan tersebut. Masing - masing tahapan dimulai pada
waktu tertentu dan berakhir pada waktu tertentu pula. Adapun tahap-tahap keperawatan
periopertif adalah (Hamlin, 2009) :
1. Tahap pra operasi.
Tahap ini merupakan tahap awal dari keperawatan periopertif. Kesuksesan tindakan
pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada tahap ini, kesalahan yyang
dilakukan pada tahap ini akan berakibat fatal pada tahap berikutnya. Bagi perawat
perioperatif tahap ini di mulai pada saat pasien diserahterimakan dikamar operasi dan
berakhir pada saat pasien dipindahkan ke meja operasi
a. Riwayat keperawatan
Hal ini akan membantu perawat dalam merencanakan asuhan keperawatan preoperative
dan asuhan postoperative. Riwayat keperawatan preoperatif meliputi :

6
1) Kondisi fisik (warna kulit, BB, status cairan dan tingkat energi)
2) Sikap mental (Kecemasan ringan merupakan respon normal terhadap pembedahan,
akan tetapi kecemasan berat dapat meningkatkan risiko pembedahan).
3) Pemahaman terhadap prosedur pembedahan (Pasien yang berpengetahuan luas,
mengetahui apa yang diharapkan secara umum dengan penanggulangannya lebih
efektifdalam proses pembedahan dan masa penyembuhan).
4) Pengalaman sebelumnya (mungkin berpengaruh terhadap respon fisik dan psikis
dengan pembedahan yang di rencanakan)
5) Hasil yang diharapkan (mungkin berpengaruh terhadap body image dan gaya hidup
serta tingkat kecemasan yang bervariasi)
6) Pengobatan (buat daftar obat yang digunakan terakhir, obat tertentu seperti anti
konfulsan dan insulin harus tetap diberikan walau operasi sedang berjalan untuk
mencegah akibat yang merugikan).
7) Kebiasaan merokok (Jaringan paru perokok mengalami iritasi kronik, general
anasthesi menyebabkan akan menambah iritasi lebih banyak lagi).
8) Kebiasaan mengkonsumsi alkohol (penguna alkohol berat, terus menerus dapat
menyebabkan masalah selama anesthesia, pembedaan dan pemulihan).
9) Sumber koping, penggunaan mekanisme koping efektif sebelumnya atau
mengembangkan strategi baru (seperti divisional aktifitas sebagai contoh membaca
dan relaksasi) dapat menolong.
10) Konsep diri, latar belakang konsep diri pasien yang positif dalam pengalaman
pembedahan dengan kepercayaan bahwa mereka dapat menanganinya dengan
sukses.
11) Bodi image, kemungkinan mengalami kerusakan atau perubahan dalam identitas
fisik menjadi perhatian sebelum pembedahan. (Pemberian informasi yang akurat
dapat menghilangkan rasa takut yang disebabkan konsep yang salah).
b. Pemeriksaan skrining
Dokter akan meminta pemeriksaan radiologi dan laboratorium. Perawat bertanggung
jawab terhadap order tersebut dan mengecek apakah sudah dilakukan atau belum serta
menjamin bahwa hasil pemeriksaan sudah didapat sebelum dilaksanakan. Pemeriksaan
skrining rutin yang biasa dilakukan:
1) Urinalisis, untuk mendeteksi adanya infeksi dan gula dalam urine. Golongan darah
dan cross matching, untuk mengenal golongan darah sebagai persiapan tranfusi.

7
2) Serum elektrolit ( Na, K, Mg, Ca, H ), untuk menentukan keseimbangan elektrolit.
Gula darah puasa, untuk medeteksi adanya glukosa dalam darah yang
mengendikasikan adanya gangguan metabolisme seperti DM.
3) Blood urea nitrogen (BUN ) atau Creatinin, untuk menganalisa ekresi urin. Chest
rontgenographi, untuk mengidentifikasi pathologi paru dan ukuran jantung serta
lokasinya.
4) Pemeriksaan ECG, diperlukan bagi pasien tua, dan pasien dengan penyakit
kardiovaskuler .
5) Pemeriksaan lain mungkin dilakukan berkenaan dengan kondisi dan perkembangan
penyakit pasien
c. Diagnosa Keperawatan Pasien Preoperatif
1) Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap kematian
2) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
3) Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan Rutinitas kegiatan
RS
4) Koping individu tidak efektif berhubungan dengan ketidakpercukupan persiapan
untuk menhadapi stresor
2. Tahap intra operasi.
Tahap ini dimulai setelah pasien dipindahkan ke meja operasi dan berakhir ketika
pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Aktivitas di ruang operasi difokuskan untuk
perbaikan, koreksi atau menghilangkan masalah - masalah fisik yang mengganggu pasien
tanpa mengenyampingkan psikologis pasien. Diperlukan kerjasama yang sinergis antar
anggota tim operasi yang disesuaikan dengan peran dan tanggung jawab masing - masing.
Salah satu peran dan tanggung jawab perawat adalah dalam hal posisi pasien yang aman
untuk aktifitas pembedahan dan anestesi.
Perawat yang bekerja di kamar bedah harus telah mengambil program proregristation
education courses in anasthetic and operating theater nursing. Dalam pembedahan perawat
disebut scrubbed nurse yang bertindak sebagai asisten ahli bedah. Perawat bertanggung
jawab akan pemeliharaan sterilitas daerah pembedahan dan instrument dan menjamin
ketersediaan peralatan ahli bedah untuk terlaksananya pembedahan yang direncanakan.
Circulating nurse bertanggung jawab untuk menjamin terpenuhinya perlengkapan yang
dibutuhkan oleh scrubbed nurse dan bertanggung jawab terhadap observasi dan perawatan
pasien tanpa menimbulkan kontaminasi daerah steril.
a. Diagnosa Keperawatan Intraoperatif :

8
1) Bersihan jalan napas tidak efektif efek agen farmakologis (anasthesi).
2) Resiko infeksi
3) Resiko cidera
b. Tindakan Keperawatan Intraoperatif :
1) Ukur tanda – tanda vital
2) Cek data fisik termasuk penyakit pernafaan.
3) Observasi pemakaian intubasi
4) Monitor kelancaran jalan nafas.
5) Pertahankan keseimbangan cairan.
6) Kaji tanda – tanda syok secara dini.
7) Kolaborasi dengan operator persiapan darah jumlah? Jenis?
8) Bersihkan daerah yang akan dioprasi dengan hibiscrub, nacl, alkohol.
9) Cek kadaluarsa alat yang dipakai
10) Pertahankan sterilitas selama operasi.
11) Cuci tangan secara steril
12) Tutup luka operasi dengan kassa steril.
13) Pastikan posisi pasien sesuai
14) Cek daerah penekanan selama operasi
15) Pasang sabuk atau tali pengaman.
16) Hitung jumlah kassa, jarum, bisturi, depper, sebelum dan sesudah operasi

3. Tahap pasca operasi.


Keperawatan pasca operasi adalah tahap akhir dari keperawatan perioperatif. Selama
tahap ini proses keperawatan diarahkan pada upaya untuk mestabilkan kondisi pasien.
Bagi perawat perioperatif perawatan pasca operasi di mulai sejak pasien dipindahkan
ke ruang pemulihan sampai diserah terimakan kembali kepada perawat ruang rawat
inap atau ruang intensif.
1. Pengkajian postoperatif :
a. Fungsi pernafasan
b. Fungsi cardiovaskuler
c. Keseimbangan cairan dan elektrolit
d. Dressing, tubes dan drains
e. Neurologik status
f. Pain

9
g. Safety
2. Diagnosa Keperawatan Postoperatif
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d spasme jalan napas
b. Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
c. Resiko cedera
d. Gangguan rasa nyaman b.d adanya luka operasi.
3. Tindakan Keperawatan post operative
a. Monitor TTV tiap 5 menit
b. kelancaran pernafasan pasien
c. Berikan posisi nyaman bagi pasien
d. Pasang guedel / mayo sesuai indikasi
e. Kolaborasi pemberian O2 …… lt / mnt
f. Monitor tanda dehidrasi
g. Ukur intake output
h. Kaji tanda-tanda syok
i. Kolaborasi pemberian cairan IV
j. Beri selimut tebal
k. Pasang pemanas
l. Pasang pagar pengaman tempat tidur
m. Tidak meninggalkan pasien sewaktu gelisah
n. Anjurkan pasien untuk tarik nafas dalam
o. Kaji lokasi dan intensitas nyeri
2.1.3 Peran Perawat Perioperatif
Perawat perioperatif sebagai anggota tim operasi, mempunyai peran dari dari tahap
pra operasi sampai pasca operasi. Secara garis besar maka peran perawat perioperatif adalah
:
1. Perawat Administratif.
Perawat administratif berperan dalam pengaturan manajemen penunjang pelaksanaan
pembedahan. Tanggung jawab dari perawat administratif dalam kamar operasi diantaranya
adalah perencanaan dan pengaturan staf, manajemen penjadwalan pasien, manajemen
perencanaan material dan menajemen kinerja. Oleh karena tanggung jawab perawat
administratif lebih besar maka diperlukan perawat yang mempunyai pengalaman yang
cukup di bidang perawatan perioperatif. Kemampuan manajemen, perencanaan dan

10
kepemimpinan diperlukan oleh seorang perawat administratif di kamar operasi (Muttaqin,
2009)
2. Perawat Instrumen.
Perawat instrumen adalah seorang tenaga perawat profesional yang diberikan
wewenang dan ditugaskan dalam pengelolaan alat atau instrumen pembedahan selama
tindakan dilakukan. Optimalisasi dari hasil pembedahan akan sangat di dukung oleh peran
perawat instrumen. Beberapa modalitas dan konsep pengetahuan yang diperlukan perawat
instrumen adalah cara persiapan instrumen berdasarkan tindakan operasi, teknik
penyerahan alat, fungsi instrumen dan perlakuan jaringan (HIPKABI, 2012).
3. Perawat sirkuler
Perawat sirkuler adalah perawat profesional yang diberi wewenang dan tanggung jawab
membantu kelancaran tindakan pembedahan. Peran perawat dalam hal ini adalah
penghubung antara area steril dan bagian kamar operasi lainnya. Menjamin perlengkapan
yang dibutuhkan oleh perawat instrumen merupakan tugas lain dari perawat sirkuler
(Majid, 2011).
4. Perawat Ruang pemulihan.
Menjaga kondisi pasien sampai pasien sadar penuh agar bisa dikirim kembali ke ruang
rawat inap adalah satu satu tugas perawat ruang pemulihan. Perawat yang bekerja di ruang
pemulihan harus mempunyai keterampilan dan pengetahuan tentang keperawatan gawat
darurat karena kondisi pasien bisa memburuk sewaktu-waktu pada tahap pasca operasi
(Muttaqin, 2009).
5. Perawat Anestesi
Mempunyai wewenang dan tanggung jawab dalam tim anestesi untuk kelancaran
pelaksanaan pembiusan adalah peran perawat anestesi. Seorang perawat anestesi adalah
perawat yang terlatih di bidang perawatan anestesi dan telah menyelesaikan program
pendidikan D-III anestesi atau yang sederajat D-III Keperawatan yang telah mengikuti
pelatihan keperawatan anestesi minimal selama satu tahun, juga bisa diberikan wewenang
dalam perawatan anestesi (Muttaqin, 2009).
2.1.4 Klasifikasi Perawatan Perioperatif
Menurut urgensi dilakukan tindakan pembedahan, maka tindakan pembedahan dapat
diklasifikasikan menjadi lima tingkatan, yaitu :
1. Kedaruratan/Emergency
Pasien membutuhkan perhatian segera, gangguan mungkin mengancam jiwa. Indikasi
dilakukan pembedahan tanpa di tunda. Contoh : perdarahan hebat, obstruksi kandung

11
kemih atau usus, fraktur tulang tengkorak, luka tembak atau tusuk, luka bakar sanagat
luas.
2. Urgen
Pasien membutuhkan perhatian segera. Pembedahan dapat dilakukan dalam 24-30 jam.
Contoh : infeksi kandung kemih akut, batu ginjal atau batu pada uretra.
3. Diperlukan
Pasien harus menjalani pembedahan. Pembedahan dapat direncanakan dalam beberapa
minggu atau bulan. Contoh : Hiperplasia prostat tanpa obstruksi kandung kemih.
Gangguan tyroid, katarak.
4. Elektif
Pasien harus dioperasi ketika diperlukan. Indikasi pembedahan, bila tidak dilakukan
pembedahan maka tidak terlalu membahayakan. Contoh : perbaikan Scar, hernia
sederhana, perbaikan vaginal.
5. Pilihan
Keputusan tentang dilakukan pembedahan diserahkan sepenuhnya pada pasien. Indikasi
pembedahan merupakan pilihan pribadi dan biasanya terkait dengan estetika. Contoh :
bedah kosmetik.

Sedangkan menurut faktor resikonya, tindakan pembedahan di bagi menjadi :


a. Minor
Menimbulkan trauma fisik yang minimal dengan resiko kerusakan yang minim. Contoh
: incisi dan drainage kandung kemih, sirkumsisi
b. Mayor
Menimbulkan trauma fisik yang luas, resiko kematian sangat serius. Contoh : Total
abdominal histerektomi, reseksi colon, dan lain-lain.

2.1.5 Komplikasi Post Operatif dan Penatalaksanaannya


1. Syok
Syok yang terjadi pada pasien bedah biasanya berupa syok hipovolemik. Tanda-
tanda syok adalah : Pucat , Kulit dingin, basah, Pernafasan cepat, Sianosis pada bibir,
gusi dan lidah, Nadi cepat, lemah dan bergetar , Penurunan tekanan darah, Urine
pekat. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah kolaborasi dengan dokter
terkait dengan pengobatan yang dilakukan seperti terapi obat, terapi pernafasan,

12
memberikan dukungan psikologis, pembatasan penggunaan energi, memantau reaksi
pasien terhadap pengobatan, dan peningkatan periode istirahat.
2. Perdarahan
Penatalaksanaannya pasien diberikan posisi terlentang dengan posisi tungkai
kaki membentuk sudut 20 derajat dari tempat tidur sementara lutut harus dijag tetap
lurus. Kaji penyebab perdarahan, Luka bedah harus selalu diinspeksi terhadap
perdarahan.
3. Trombosis vena profunda
Trombosis vena profunda adalah trombosis yang terjadi pada pembuluh darah
vena bagian dalam. Komplikasi serius yang bisa ditimbulkan adalah embolisme
pulmonari dan sindrom pasca flebitis.
4. Retensi urin
Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan rektum, anus
dan vagina. Penyebabnya adalah adanya spasme spinkter kandung kemih. Intervensi
keperawatan yang dapat dilakukan adalah pemasangan kateter untuk membatu
mengeluarkan urine dari kandung kemih.
5. Infeksi luka operasi (dehisiensi, evicerasi, fistula, nekrose, abses)
Infeksi luka post operasi dapat terjadi karena adanya kontaminasi luka operasi
pada saat operasi maupun pada saat perawatan di ruang perawatan. Pencegahan
infeksi penting dilakukan dengan pemberian antibiotik sesuai indikasi dan juga
perawatan luka dengan prinsip steril.
6. Sepsis
Sepsis merupakan komplikasi serius akibat infeksi dimana kuman berkembang
biak. Sepsis dapat menyebabkan kematian karena dapat menyebabkan kegagalan
multi organ.
7. Embolisme Pulmonal
Embolsime dapat terjadi karena benda asing (bekuan darah, udara dan lemak)
yang terlepas dari tempat asalnya terbawa di sepanjang aliran darah. Embolus ini
bisa menyumbat arteri pulmonal yang akan mengakibatkan pasien merasa nyeri
seperti ditusuk-tusuk dan sesak nafas, cemas dan sianosis. Intervensi keperawatan
seperti ambulatori pasca operatif dini dapat mengurangi resiko embolus pulmonal.
8. Komplikasi Gastrointestinal

13
Komplikasi pada gastrointestinal sering terjadi pada pasien yang mengalami
pembedahan abdomen dan pelvis. Komplikasinya meliputi obstruksi intestinal, nyeri
dan distensi abdomen.

2.2 Konsep Dasar BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)


2.2.1 Definisi BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)
BPH (Benigna Prostat Hipertropi) adalah pembesaran atau hypertropi prostat.
Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah
Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah
membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretra lah yang mengalami
hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak
menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical (Arif mutakin dan kumala sari, 2011).
Benigna Prostat Hipertropi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan
kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika
(Smeltzer dan Bare, 2009).
Kesimpulan dari beberapa pengertian BPH diatas adalah pembesaran kelenjar
prostat non kanker yang memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran
urin dengan menutup orifisium uretra disebabkan oleh penuaan.
2.2.2 Etiologi
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon
androgen. Ada beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi
tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia
lanjut
2. Peranan dari growth faktor sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan

14
Ada 2 stadium yang mempengaruhi perubahan pada dinding kemih yaitu :
a. Stadium dini
Hiperplasi prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menyumbat
aliran urine sehingga meningkatkan tekanan intravesikel
b. Stadium lanjut
Terjadi dekompensasi karena penebalan dinding vesika urinaria tidak bertambah lagi
residu urine bertambah. Gejala semakin menyolok ( retensi urine clonis ), tonus otot
vesika urinaria menurun. Persyarafan para simpatis melemah dan akhirnya terjadi
kelumpuhan detsrusor dan spinter uretra sehingga terjadi over flow incontinensia ( urine
menetes sacara periodik )

2.2.3 Tanda dan Gejala BPH


1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms
(LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif. Gejala iritatif yaitu sering miksi
(frekuensi) terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi
yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria).
Gejala obstruktif meliputi: pancaran lemak, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau
miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) anyang-anyangen
(intermittency) dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine
dan inkontinensia karena overflow. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan
saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang
secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa
gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan
tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan
uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.
3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.
Menurut penelitian lain, pada pasien post operasi BPH mempunyai tanda dan gejala sebagai
berikut :

15
a. Hemorogi
1. Hematuri
2. Peningkatan nadi
3. Tekanan darah menurun
4. Gelisah
5. Kulit lembab
6. Temperatur dingin
b. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
c. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini :
1. Bingung
2. Agitasi
3. Kulit lembab
4. Anoreksia
5. Mual
6. Muntah
d. Warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

2.2.5 Patofisiologi
Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak
kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan
masih mempunyai testis yang masih bisa menghasilkan hormon testosteron. Disamping itu
pengaruh hormon lain (esterogen), diet tertentu, faktor-faktor lingkungan yang diduga
berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor
tersebut dapat mempengaruhi kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang
selanjutnya protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat.
Tonjolan ini dapat menekan uretra lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah,
atau menekan dari bagian tengah. Kadang-kadang penonjolan itu merupakan suatu polip
yang sewaktu-waktu dapat menutupi lumen uretra.
Warnanya bermacam-macam tergantung pada unsur yang bertambah. Apabila yang
bertambah khususnya unsur kelenjar, maka warnanya kuning kemerahan, berkonsistensi
lunak. Apabila unsur fibromuskular, yang bertambah, maka tonjolan berwarna abu-abu
padat dan tidak mengeluarkan cairan.

16
Gambaran mikroskopik juga bermacam-macam tergantung pada unsur yang
berproliferasi. Biasanya yang lebih banyak berproliferasi ialah unsur kelenjar sehingga
terjadi penambahan kelenjar dan terbentuk kista-kista yang dilapisi epitel torak selapis yang
pada beberapa tempat membentuk papil-papil ke dalam lumen. Kadang-kadang terjadi
penambahan kelenjar yang kecil-kecil sehingga menyerupai dengan karsinoma. Dalam
kelenjar sering terdapat sekret granular, epitel yang terlepas. Apabila unsur fibromuskular
yang bertambah maka terjadi gambaran yang terjadi atas jaringan ikat atau jaringan otot
dengan kelenjar-kelenjar yang letaknya berjauhan.

17
2.2.5 Woc BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

Idiopatik,
penuaan

Perubahan kesimbangan
estrogen dan testosteron

Produksi testosteron menurun


dan estrogen meningkat

Post Op BPH Rencana Operasi Pengetahuan

Obstruksi
Diskontiunitas saluran kemih Informasi
jaringan Luka Post Op

MK : Retensi Tindakan MK : Ansietas


Bradikinin Post de entry Urine Sistotomi
sitokinin
Vesika Urinaria
Kuman masuk Produksi urine Luka sayatan Penuh
Merangsang
SSP
MK : Resiko Vesika urine tak Frekuensi Miksi
Infeksi Post de entry Meningkat
MK : Nyeri mampu
Akut menampung
Kuman masuk Terbangun
Distensi untuk miksi di
kandung kemih malam hari
MK : Resiko
Infeksi
MK : Nyeri Menganggu
Akut pola istirahat
dan tidur

MK : Gangguan
Pola Tidur

18
2.2.6 Manifestasi Klinis
1. Pasien BPH dapat menunjukan berbagai macam tanda dan gejala. Gejala BPH
berganti-ganti dari waktu ke waktu dan mungkin dapat semakin parah, menjadi
stabil, atau semakin buruk secara spontan.
2. Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalam dua kategori : obstruktif ( terjadi ketika
factor dinamik dan atau faktor static mengurangi pengosongan kandung kemih) dan
iritatif (hasil dari obstruksi yang sudah berjalan lama pada leher kandung kemih)
3. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa
gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan
tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat
ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan
neuropati perifer.
4. Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal
5. Warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko
urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria.
Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis.

19
2.2.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :
1) Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.

b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
2) Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-
buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa
urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

2.2.9 Penatalaksanaan
1. Pengkajian
Menurut Sjamsuhidjat (2010) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
A. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak

20
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini
tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
B. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan
reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)

C. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan
pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika,
retropubik dan perineal.
D. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin
total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau
pembedahan terbuka.

2.2.10 Asuhan Keperawatan


Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH ada
berbagai macam, meliputi :
A. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam memiliki
resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social ekonomi memili
peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki
pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat barang-barang
berat memiliki resiko lebih tinggi.
B. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi,
disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi ( sulit memulai
miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan waktu miksi memanjang dan akhirnya
menjadi retensi urine

21
C. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah riwayat mengalami
kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan prostat / hernia
sebelumnya.
D. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit BPH.
E. Pola kesehatan fungsional
1) Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu,
menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari untuk berkemih (nokturia),
kekuatan system perkemihan. Tanyakan pada pasien apakah mengedan untuk
mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien ditanya tentang defikasi, apakah
ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap
hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi
seperti anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
3) Pola tidur dan istirahat
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi
yang sering pada malam hari ( nokturia ).
4) Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung bawah
5) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obatobatan, penggunaan
alkhohol.
6) Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu
senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban berat. Apakah ada
perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum
operasi tidak mengalami gangguan, dimana pasien masih mampu memenuhi
kebutuhan sehari – hari sendiri.

22
7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksual
akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh pembesaran dan
nyeri tekan pada prostat.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan pasien
sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan pasien biasa cemas karena
kurangnya pengetahuan terhadap perawatan luka operasi.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Pra Operatif
1. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
2. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan,
kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur
bedah.
b. Intra Operatif
Resiko Infeksi
c. Post Operatif
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder
pada pembedahan
2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan,
kateter, irigasi kandung kemih.
3. Rencana Keperawatan
1. Pra Operatif
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan : Tidak terjadi retensi urine
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml,
dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan cairan.
Intervensi :

23
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau bila tiba-tiba dirasakan
2) Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.
3) Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih perhatikan
penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis.
4) Lakukan perkusi/palpasi suprapubik
5) Masukan cairan sampai 3000 ml sehari
6) Kaji tanda-tanda vital, timbang BB tiap hari, pertahankan pemasukan dan
pengeluaran yang akurat
7) Lakukan rendam duduk sesuai indikasi
8) Kolaborasi pemberian obat :
a) Supositorial rectal : supositorial dapat diabsorbsi dengan mudah
melalui mukosa kedalam jaringan kandung kemih untuk menghasilkan
relaksasi otot/menghilangkan spasme
b) Antibiotic dan antibakteri : digunakan untuk melawan infeksi
c) Fenoksibenzamin (Dibenzyline) : diberikan untuk mempermudah
berkemih dengan merelaksasi otot polos prostat dan menurunkan
tahanan terhadap aliran urine.
b. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan,
kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur
bedah.
Tujuan : pasien tampak rileks.
Kriteria Hasil : menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi,
menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut
Intervensi :
1. Damping pasien dan bina hubungan saling percaya
2. Berikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan
3. Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan
4. Beri informasi pada pasien sebelum dilakukan tindakan
2. Intra Operatif
Resiko Infeksi
Tujuan : Meminimalisir angka infeksi
Kriteria Hasil : Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
Intervensi :
1 Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain

24
2 Pertahankan teknik isolasi
3 Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
4 Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawatan
5 Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
6 Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
7 Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk
umum
8 Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
9 Tingktkan intake nutrisi
10 Berikan terapi antibiotik bila perlu
3. Post Operatif
a. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder
pada pembedahan
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
1) Pasien mengatakan nyeri berkurang
2) Ekspresi wajah pasien tenang
3) Pasien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
4) Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.Rasional
: Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
3) Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan selang
bebas dari lekukan dan bekuan
4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase, dan spasme
kandung kemih
5) Kolaborasi pemberian antispasmodic contoh :
12) Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria : merilekskan otot
polos, untuk memberikan penurunan spasme dan nyeri
13) Propantelin bromide (pro-bantanin): menghilangkan spasme
kandung kemih oleh kerja antikolinergik.

25
b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan,
kateter, irigasi kandung kemih.
Tujuan : Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak mengalami infeksi.
2) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3) Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda syok.
c. Intervensi :
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
2) Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat
menurunkan potensial infeksi.
3) Pertahankan posisi urinebag dibawah
4) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
5) Observasi urine: warna, jumlah, bau.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotic : Untuk mencegah
infeksi dan membantu proses penyembuhan.

2.3 Konsep TURP


2.3.1 Definisi
Suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop. Merupakan operasi tertutup tanpa insisi, Transurethral resection of the
prostate (TURP) merupakan standar pembedahan endoskopik untuk Benign Prostat
Hypertrophy (pembesaran prostat jinak). TURP dilakukan dengan cara bedah elektro
(electrosurgical) atau metode alternative lain yang bertujuan untuk mengurangi
perdarahan, masa rawat inap, dan absorbsi cairan saat operasi. Tindakan ini
dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung
mengelilingi uretra.

2.3.2 Tujuan
Dilakukan untuk mengangkat jaringan prostat yang mengalami pembesaran
antara 30-60 gram.

26
2.3.3 Indikasi dan KontraIndikasi

a. Indikasi
Retensi urine yang berulang, Infeksi saluran kemih rekuren akibat
pembesaran prostat, Gross hematuria berulang, Insufisiensi ginjal akibat
obstruksi saluran kemih pada buli,Kerusakan permanen buli atau kelemahan buli-
buli, Divertikulum yang besar pada buli yang menyebabkan pengosongan buli
terganggu akibat pembesaran prostat.
b. Kontraindikasi
Status kardipulmoner yang tidak stabil atau adanya riwayat kelainan
perdarahan yang tidak bisa disembuhkan. Pasien yang baru mengalami infark
miokard dan dipasang stent arteri koroner sebaiknya ditunda sampai 3 bulan
bila akan dilakukan TURP. Pasien dengan disfungsi spingter uretra eksterna
seperti pada penderita miastenia gravis, multiple sklerosis,atau Parkinson
dan/atau buli yang hipertonik tidak bleh dilakukan TURP karena akan
menyebabkan inkontinensia setelah operasi. Demikian pula pada pasien yang
mengalami fraktur pelvis mayor yang menyebabkan kerusakan spingter uretra
eksterna.

2.3.4 Penatalaksanaan dan Jenis Tindakan


Operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop,
dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan
uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan
dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan
merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas
minimal.

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Pre operasi
Laboratorium
a. Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk
melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin

27
berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman
terhadap beberapa antimikroba.
b. Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit
yang menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan
kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsin ginjal dan status
metabolic.
c. Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10
ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD) lebih besar sama
dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nila
PSA > 10 ng/ml.
c. Radiologis/pencitraan
a. Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di
saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli
yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat
lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta
osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.
b. Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan
adanya kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau
hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang
ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh
kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang berbentuk seperti mata kail
(hooked fish)/gambaran ureter berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi
pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.
c. Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat,
memeriksa masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan
volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor
buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.
2. Post operasi
A. Irigasi/Spoling dengan Nacl
a. Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
b. Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
c. Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit

28
d. Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
e. Hari ke 4 post operasi diklem
f. Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah (urin dalam
kateter bening)
g. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah (cairan
serohemoragis < 50cc)
h. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2 hari,
bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi bisa
diganti dengan obat oral.
i. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post operasi
i. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi
dengan betadin, Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
ii. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
iii. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
j. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
k. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan untuk
berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan perdarahan
dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat
membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada pubis dapat membantu
menghilangkan spasme.
l. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan tapi tidak
duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen, perdarahan
m. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai kontrol
berkemih.
n. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian
jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.
o. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah
bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih gelap
dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi pada
kateter sehingga balon yang menahan kateter pada tempatnya memberikan
tekannan pada fossa prostatik.

29
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

30
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar
prostate membesar, memanjang ke depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran
keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydrouretes. Hingga sekarang masih
belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun beberapa hipotesis
menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT)
dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia
30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik
anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80
tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)
Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien BPH sebagai berikut: retensi urine,
kurangnya atau lemahnya pancaran kencing, frekuensi kencing bertambah terutama malam
hari dan terasa panas, nyeri saat miksi. Pengobatan yang dilakukan seperti pengobatan
konservatif dan operatif.

4.2 Saran
Sebagai tenaga keperawatan harus memberikan asuhan keperawatan dengan
semaksimal mungkin agar klien mendapatkan perawatan yang baik dan maksimal

31

Anda mungkin juga menyukai