Pembimbing:
Disusun Oleh:
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan nikmat dan
karunia-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas tutorial klinik ini.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW, yang telah membawa
manusia dari zaman jahiliah ke alam yang penuh ilmu pengetahuan ini.
Adapun penulisan tugas ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
kepaniteraan klinik senior bagian ilmu penyakit dalam di Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan Tutorial klinik ini di kemudian hari. Harapan penulis semoga
tutorial klinik ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
2.4.3 Etiologi Asidosis Metabolik ......................................................................... 28
2.4.4 Patofisiologi Asidosis Metabolik .................................................................. 29
2.4.5 Diagnosis Asidosis Metabolik ...................................................................... 30
2.4.6 Tatalaksana Asidosis Metabolik ................................................................... 32
2.4.7 Prognosis ..................................................................................................... 32
2.4.8 Komplikasi .................................................................................................. 33
BAB III TUTORIAL KLINIK ....................................................................................... 34
3.1. Identitas Pasien ................................................................................................... 34
3.2. Anamnesa Penyakit ............................................................................................. 34
3.3. Pemeriksaan Fisik ............................................................................................... 35
3.4. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................................... 36
3.4.1. Pemeriksaan Darah Lengkap ........................................................................ 36
3.4.2. Pemeriksaan Fungsi Ginjal Dan Elektrolit .................................................... 37
3.4.3. Pemeriksaan Analisa Gas Darah ................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 41
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Kebanyakan orang dengan penyakit ginjal akan mengalami anemia terutama
pada penderita CKD stadium 3, 4, dan 5 lebih rentan mengalami anemia. Anemia
dapat terjadi karena saat ginjal mengalami kerusakan, produksi eritropoietin akan
berkurang. Eritropoietin adalah hormon yang mengatur proses produksi sel darah
merah. Ketika eritropoietin berkurang, proses produksi sel darah merah akan
berkurang, maka terjadilah anemia.
Pada pasien dengan CKD terutama pada stadium 4 dan 5 dapat terjadi
komplikasi berupa asidosis metabolic. Asidosis metabolic terjadi karena ginjal gagal
melakukan pengaturan keseimbangan asam-basa melalui perannya dalam
mengekskresi ion hydrogen (H+) yang bersifat asam, mereabsorbsi sodium (Na+), ion
bikarbonat (HCO3) yang bersifat basa, garam asam fosfat, dan memproduksi ion
ammonium (NH4+) yang juga bersifat asam.
CKD merupakan masalah kesehatan global dengan insidensi, prevalensi dan
angka mortalitas yang terus meningkat. Oleh karena itu, pencegahan dini di pelayanan
kesehatan primer mengenai faktor-faktor resiko terjadinya CKD harus dilakukan lebih
intensif. Perubahan gaya hidup memiliki peran yang sangat penting dalam perbaikan
kondisi pasien, tanpa melupakan farmakoterapi yang adekuat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
e. Penyakit metabolik misalnya DM (Diabetes Mellitus), gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis. Penyebab terjadinya ini dimana kondisi genetik yang ditandai dengan
adanya kelainan dalam proses metabolisme dalam tubuhakibat defisiensi hormon
dan enzim. Proses metabolisme ialah proses memecahkan karbohidrat protein, dan
lemak dalam makanan untuk menghasilkan energi
f. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal. Penyebab
penyakit yang dapat dicagah bersifat refersibel, sehingga penggunaan berbagai
prosedur diagnostik.
g. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma,
fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah yaitu hipertropi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
h. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis. Merupakan penyebab gagal
ginjal dimana benda padat yang dibentuk oleh presipitasi berbagai zat terlarut
dalam urin pada saluran kemih.
4
c. Genetik
1. Alel risiko apolipoprotein L1 (APOL1)
2. Sifat dan penyakit sel sabit
3. Penyakit ginjal polikistik
4. Sindrom Alport
5. Kelainan bawaan pada ginjal dan saluran kemih
6. Penyebab keluarga lainnya
2.1.4. Klasifikasi
Chronic Kidney Disease (CKD) dikategorikan ke dalam lima stage
berdasarkan GFR, dan berdasarkan albuminuria terbagi kedalam tiga stase, seperti
yang ditunjukkan pada tabel dibawah ini:
Stage CKD; GFR = Gromerular Filtration Rate
Stages GFR value ml/min/1.73 m2 Klasifikasi
I >90 Normal / Hight
II 60-90 Sedikit Menurun
III A 45-59 Ringan- Sedang
III B 30-44 Sedang- Berat
IV 15-29 Sangat Menurun
V <15 Gagal Ginjal
Kategori Albuminuria: Rasio A/C = Rasio Albumin/Kreatinin dalam Sampel Urin
yang Diisolasi.
Kategori 24-Jam Albuminuria A/C Ratio Mg/g Klasifikasi
mg/24H
A1 <30 <30 Normal - Diskrit
A2 30-300 30-300 Sedang
A3 >300 >300 Berat
Oleh karena itu, seorang pasien dewasa dengan nefropati diabetik, perkiraan
GFR = 42 ml/menit, dan albuminuria 200 mg/24 jam selama lebih dari tiga bulan
diklasifikasikan sebagai pasien CKD stadium IIIB A2. Perlu diingat bahwa
albuminuria antara 30-300 mg/g biasa disebut "mikroalbuminuria", dan lebih besar
dari 300 mg/g disebut "makroalbuminuria". Dimasukkannya derajat albuminuria
dalam klasifikasi CKD dibenarkan sebagai cara untuk memperkirakan risiko
perkembangan disfungsi ginjal, seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini:
Resiko Hasil Akhir Ginjal Menurut GFR dan Albuminurea; GFR: Laju Filtrasi
Glomerulus dalam mL/menit/1,73 M2.
Albuminuria
GFR <30 mg/g 30-300 mg/g >300 mg/g
Stage 1 ≥90 Resiko Rendah Resiko Sedang Resiko Tinggi
Stage 2 60-99 Resiko Rendah Resiko Sedang Resiko Tinggi
Stage 3A 45-59 Resiko Sedang Resiko Tinggi Resiko Sangat
Tinggi
Stage 3B 30-44 Resiko Tinggi Resiko Sangat Resiko Sangat
Tinggi Tinggi
5
Stage 4 15-29 Resiko Sangat Resiko Sangat Resiko Sangat
Tinggi Tinggi Tinggi
Stage 5 <15 Resiko Sangat Resiko Sangat Resiko Sangat
Tinggi Tinggi Tinggi
Sistem pentahapan yang ditunjukkan di atas membantu menentukan metode dan
intensitas pemantauan yang akan diterapkan pada pasien CKD. Prediksi risiko yang
lebih akurat untuk masing-masing pasien dapat dicapai dengan pengembangan alat
prediksi risiko. Selain GFR dan albuminuria, penyebab penyakit ginjal, serta faktor-
faktor lain (seperti usia, jenis kelamin, ras, kadar kolesterol, merokok, dan lainnya) juga
harus dipertimbangkan dalam perkiraan prognosis.
TAHAPAN
Adanya faktor risiko berikut ini menentukan skrining CKD pada orang dewasa:
a. riwayat diabetes
b. hipertensi
c. penyakit kardiovaskular (CVD)
d. infeksi virus human immunodeficiency virus (HIV) atau virus hepatitis C
e. keganasan
f. penyakit autoimun
g. nefrolitiasis
h. infeksi saluran kemih berulang
i. riwayat penyakit ginjal dalam keluarga
6
2.1.5. Patofisiologi
CKD dengan hipertensi
Chronic kidney disease (CKD) awalnya digambarkan sebagai berkurangnya
cadangan ginjal atau insufisiensi ginjal, yang dapat berkembang menjadi gagal ginjal.
Secara umum, CKD terjadi ketika terdapat penurunan jumlah nefron, hal ini dapat
disebabkan oleh infeksi, inflamasi, ataupun kompleks imun. Awalnya, ketika jaringan
ginjal kehilangan fungsinya, hanya terdapat sedikit kelainan yang terlihat karena
jaringan yang tersisa meningkatkan kinerjanya (adaptasi fungsional ginjal).
Penurunan fungsi ginjal akan mengganggu kemampuan ginja untuk mempertahankan
homeostatis cairan dan elektrolit. Kemampuan memekatkan urin menurun sejak dini
dan diikuti dengan penurunan kemampuan mengeluarkan kelebihan fosfat, asam, dan
kalsium. Pada keadaan ini ginjal akan beradaptasi dengan terjadinya hipertrofi dan
hiperfiltrasi sehingga peningkatan ureum dan kreatinin baru akan terjadi apabila
penurunan GFR sudah mencapai 50%. Hipertrofi dan hiperfiltrasi ini lama kelamaan
akan menyebabkan penurunan fungsi ginjal yang progresif karena peningkatan
tekanan kapiler glomerulus akan menyebabkan kerusakan kapiler sehingga terjadi
glomerulosklerosis.
CKD memberikan dampak bagi tubuh melalui berbagai mekanisme:
a. Edema: Hal ini disebabkan oleh retensi cairan dan natrium karena LFG yang
menurun. Cairan berpindah dari intravascular ke ekstravaskular karena peningkatan
tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan onkotik akibat hipoalbuminemia.
Akumulasi cairan pada paru dapat menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi. Retensi cairan dan natrium ini juga dapat menyebabkan hipertensi.
b. Penurunan produksi eritropietin akibat penurunan massa fungsional ginjal yang
berperan sebagai stimulator eritropioesis menyebabkan terjadinya anemia. Anemia
merupakan ciri khas CKD sedang hingga lanjut (≥ stage 3). Anemia pada CKD
bersifat normokromik-normositik, dengan hematokrit 20 hingga 30%. Adapun
penyebab lainnya antara lain kekurangan zat besi, folat, dan vitamin B12.
c. Ketidakmampuan ginjal untuk mensekresikan kalium menyebakan hiperkalemia
yang dapat menyebabkan aritmia.
d. Ketidakmampuan ginjal mengekskresikan fosfat menyebabkan hiperfosfatemia
dan hipokalsemia sekunder (adanya umpan balik negatif hiperfosfatemia pada
rendahnya kalsitriol). Hal ini juga dapat menyebabkan hiperparatiroidisme
sekunder untuk mengkompensasi rendahnya kalsium dan vitamin D.
2.1.6. Diagnosa
a. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik pada pasien CKD dibedakan menjadi dua tahap yaitu pada
stadium awal dan stadium akhir.
7
1) Manifestasi stadium awal: kelemahan, mual, kehilangan gairah, perubahan urinasi,
edema, hematuria, urin berwarna lebih gelap, hipertensi, kulit yang berwarna abu-
abu.
2) Manifestasi klinik pada stadium akhir:
a) Manifestasi umum (kehilangan gairah, kelelahan, edema, hipertensi, fetor uremik)
b) Sistem respirasi: sesak, edema paru, krekels, kusmaul, efusi pleura, depresi refleks
batuk, nyeri pleuritic, napas pendek, takipnea, sputum kental, pneumonitis uremik.
Penurunan ekskresi H+ terjadi karena ketidakmampuan tubulus ginjal untuk
mensekresi NH3 (amonia) dan menyerap HCO3 (natrium bikarbonat), serta
penurunan ekskresi asam-asam organik dan fosfat. Asidosis berkontribusi
terhadap anoreksia, kelelahan, dan mual pada pasien uremik. Pernapasan kussmaul
adalah napas berat dan dalam, gejala yang jelas dari asidosis yang disebabkan oleh
kebutuhan meningkatkan ekskresi karbon dioksida untuk mengurangi asidosis.
c) Sistem kardiovaskuler: edema periorbital, pitting edema (kaki, tangan, sakrum),
hipertensi, friction rub pericardial, aterosklerosis, distensi vena jugularis, gagal
jantung, gangguan irama jantung, iskemia pada otot jantung, perikarditis uremia,
dan hipertrofi ventrikel kiri, hiperkalemia, hiperlipidemia, tamponade perikardial.
d) Sistem integumen: pruritus, purpura, kuku tipis dan rapuh, kulit berwarna abu-abu
mengkilat, kulit kering, ekimosis, rambut tipis dan kasar, terjadi hiperpigmentasi
dan pucat, lesi pada kulit.
e) Sistem pencernaan: anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, perdarahan pada
mulut dan saluran cerna.
f) Sistem musculoskeletal: fraktur tulang, nyeri tulang, kekuatan otot menurun, kram
otot, gangguan tumbuh kembang pda anak, footdrop.
g) Sistem persarafan: kejang, penurunan tingkat kesadaran, ketidakmampuan
berkonsentrasi, perubahan perilaku, stroke, ensefalopati, neuropati otonom dan
perifer, disorientasi, kelemahan, dan kelelahan.
h) Sistem reproduksi: amenorea, atrofi testis, penurunan libido, infertilitas.
i) Sistem hematologi: anemia, trombositopenia.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada penyakit CKD dapat dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium:
1) Laju endap darah
8
Laju endap darah akan meninggi diperberat oleh anemia, hipoalbuminemia, dan
retilulosit yang rendah
2) Ureum dan kreatinin
Ureum dan kreatinin meninggi. Perbandingan antara ureum dan kreatinin 20:1.
Biasanya perbandingan ini bisa meninggi karena perdarahan saluran cerna,
demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih.
3) Hiponatremi
Umumnya karena kelebihan cairan dan bersamaan dengan menurunnya diuresis.
4) Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
Hipokalsemia dan hiperfosfatemia terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin
D3 pada CKD.
5) Phospat meninggi
Phospat meninggi diakibatkan ganggguan metabolisme tulang, terutama isoenzim
fosfatase lindi tulang.
6) Hipoalbuminemia
Biasanya disebabkan oleh gangguan metabolisme dan diet rendah protein.
7) Kadar gula darah meningkat
Diakibatkan oleh gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal ginjal (resistensi
terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer)
8) Hipertrigliserida
Disebabkan oleh gangguan metabolisme lemak yang disebabkan
peninggianhormon insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
9) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang menurun,
HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semua disebabkan retensi asam
organic dalam gagal ginjal. Kapiler adalah bagian dari satu kesatuan nefron.
Ketika nefron rusak, perfusi ginjal menurun secara berkelanjutan, saat perfusi
ginjal dan nefron turun, ginjal menjadi kurang mampu mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit serta mengeliminasi produk sisa dari tubuh.
2.1.7. Tatalaksana
Tatalaksana CKD tergantung pada derajat atau stadium dari penyakit tersebut.
9
a. Terapi Nonfarmakologi
1) Hemodialisis
Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel yang berfungsi seperti nefron
sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal. Pada
umumnya hemodialisis dilakukan sebanyak 2-3 kali seminggu dengan waktu
4-5 jam setiap hemodialisis.
Hemodialisis berfungsi untuk mengeluarkan sisa garam dan cairan
berlebih untuk mencegah penumpukan molekul kimia didarah serta menjaga
tekanan darah. Hemodialisis merupakan suatu proses difusi dan filtrasi zat
terlarut melewati suatu membran semipermeabel yang akan mengeluarkan
molekul urea, kreatinin, elektrolit dan mempertahankan bikarbonat serta dapat
mengadsorbsi protein seperti sitokin, interleukin yang bermanfaat pada
keadaan inflamasi atau sindrom uremia.
10
f) Selain itu, gangguan neurologis (seperti ensefalopati, neuropati, dan
gangguan kejiwaan), perikarditis (radang selaput dada) yang tidak
disebabkan oleh penyebab lain, dan diatesis hemoragik dengan waktu
perdarahan yang lama, semuanya merupakan indikasi langsung untuk
hemodialisis
g) Kelebihan (overload) cairan ekstraseluler dan/atau hipertensi yang sulit
dikendalikan.
h) Asidosis metabolik yang resisten terhadap pengobatan bikarbonat
2) Transplantasi Ginjal
Pasien harus diskrining untuk faktor-faktor yang dapat membahayakan
keberhasilan transplantasi sebelum operasi. Perawatan pasca operasi dapat
diperumit oleh kontrol glikemik, gastroparesis, penyembuhan malnutrisi,
hipertensi, retensi urin dan luka.
b. Terapi Farmakologi
1) Anemia
Anemia didefinisikan sebagai rendahnya kadar hemoglobin (Hb)
dalam darah, yaitu kurang dari 13,5 g/dl pada pria dan 12 g/dl pada wanita.
Pada pasien CKD, kekurangan zat besi adalah masalah umum. Eritropoiesis
terganggu sebagai akibat dari dua faktor utama. Pertama, pada terapi defisiensi
asam folat (hiperkromik makrositik anemia) atau vitamin B12 untuk anemia
ini, terhambatnya multiplikasi sel karena sintesis DNA (Deoxyrib Nucleic
Acid).
Kekurangan zat besi mengganggu sintesis hemoglobin di kedua sisi
(anemia hipokromik mikrositik). Untuk anemia ini, Fe2+ adalah komponen
hemoglobin terapeutik yang dibuat dengan besi sulfat. Eritropoietin eksogen
juga dapat digunakan untuk mengobati anemia, dan eritropoietin sel darah
merah (PRC) diberikan kepada pasien yang menjalani dialisis atau yang
memiliki insufisiensi ginjal ringan.
2) Kontrol Tekanan Darah
Target tekanan darah: <130/80 mmHg (tanpa proteinuria), <125/75
mmHg (dengan proteinuria). Antihipertensi yang disarankan ialaha
11
penghambat ACE, ARB (Angiotensin Receptor Blocker) dan CCB (Calcium
Channel Blocker) nondihidropiridin.
3) Kontrol Kadar Glukosa Darah
Target: HbA1C <7%. Lakukan penyesuaian dosis obat hipoglikemik
oral. Penggunaa metformin dihindari, golongan glitazon dapat dipilih.
4) Hiperhomosisteinemia
Pemberian suplemen oral: asam folat 15 mg dan vitamin B12
500µg/hari dilakukan untuk mencegah aterosklerosis.
5) Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik kronis adalah komplikasi CKD yang sering terjadi
yang mempercepat perkembangan penyakit ginjal. Peningkatan konsentrasi
amonia di nefron, serta peningkatan kadar aldosteron dan endotelin-1 di ginjal,
ditemukan menurunkan fungsi ginjal dan dapat menyebabkan penyakit ginjal
melalui berbagai proses, termasuk peningkatan kadar amonia di nefron.
mengarah ke aktivasi jalur komplemen alternatif dan peningkatan kadar
endotelin-1 dan aldosteron di ginjal.
Cedera tubulus interstisial dapat disebabkan oleh salah satu dari faktor-
faktor ini, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal. Konsentrasi
bikarbonat serum harus dikoreksi pada pasien dengan asidosis metabolik jika
kurang dari 18 mmol/l atau kurang dari 15 mmol/l. Obat pengikat kalsium
seperti natrium kalsium karbonat, asam sitrat, bikarbonat, dan kalsium asetat
dapat diberikan. 2-6 gram kalsium karbonat per hari, dan 1-6 gram natrium
bikarbonat per hari. Tujuannya adalah untuk menjaga tingkat bikarbonat
sedekat mungkin dengan normal pada 20 mmol/l.
6) Edema
Akibat penurunan fungsi ekskresi, penderita CKD akan mengalami
ketidakseimbangan elektrolit, termasuk peningkatan kadar natrium dan air.
Akibatnya, tekanan hidrostatik intravaskular meningkat, menyebabkan cairan
mengalir ke ruang interstisial. Proteinuria terjadi pada pasien CKD,
menyebabkan hipoalbuminemia dalam tubuh, yang mengganggu
keseimbangan 18 tekanan onkotik pembuluh darah. Edema disebabkan oleh
perpindahan cairan dari intravaskular ke ruang ekstravaskular.
Dalam kebanyakan kasus, terapi diuretik akan direkomendasikan
untuk pasien ini. Diuretik Yang digunakan dalam praktik klinis untuk
12
mengobati edema dan hipertensi yang disebabkan oleh penyakit ginjal,
jantung, dan hati. Membatasi asupan Na+, mencari tahu penyakit yang
mendasari, dan mengatur kadar diuretik adalah tiga cara untuk memobilisasi
cairan edema. Pendekatan nonfarmakologis utama yang banyak digunakan
untuk pengobatan edema dan hipertensi adalah restriksi Na+ yang harus
dilakukan, namun kepatuhan menjadi hambatan utama. Akibatnya, Edema
yang disebabkan oleh CKD, gagal jantung kongestif, asites, atau sindrom
nefrotik masih diobati dengan diuretik, yang merupakan standar utama.
7) Restriksi Cairan
Rekomendasi asupan cairan pada PGK adalah:
a. PGK pre-dialisis: Cairan tidak dibatasi dengan produksi urin yang
normal
b. PGK hemodialisis: 500 mL/hari + produksi urin
c. PGK dialisis peritoneal: 1500-2000 mL/hari, lakukan pemantauan harian
d. Transplantasi ginjal: pada fase akut pasca transplantasi, pasien
dipertahankan euvolomik/sedikit hipervolemik dengan insensible water
loss diperhitungkan sebesar 30-60 mL/jam, untuk pasien normovolemik
dan graft berfungsi baik. Asupa cairan dianjurkan minimal 2000 mL/hari.
Untuk pasien oliguria, asupan cairan harus seimbang dengan produksi
urin ditambah insensible water loss 500-750mL.
8) Restriksi Asupan Garam
a. PGK pre-dialisis: <5g/hari
b. PGK hemodialisis: 5-6g/hari
c. PGK dialisis peritoneal: 5-10g/hari
d. Transplantasi ginjal: <6-7g/hari. Natrium hanya dibatasi pada periode
akut pasca operasi dimana mungkin terjasi fungsi graft yang buruk atau
hipertensi pasca transplantasi.
2.1.8. Komplikasi
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan
masukan diit berlebih.
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
13
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
Anemia adalah suatu kondisi di mana jumlah sel darah merah (eritrosit) dalam
tubuh menurun," gagal ginjal juga merupakan penyebab umum anemia dalam tubuh
karena hubungan yang erat antara anemia dan ginjal. Munculnya anemia pada pasien
gagal ginjal ditentukan oleh fungsi ginjal. Fisiologi ginjal normal akan menghasilkan
EPO, hormon yang membantu pembentukan sel darah merah di sumsum tulang.
Hormon EPO tidak akan diproduksi secara optimal jika fungsi ginjal hanya 50% atau
bahkan kurang dari itu. Akibatnya, produksi sel darah merah di sumsum tulang akan
berkurang. Akibatnya, gejala anemia seperti lemas, pucat, dan gejala lain yang khas
dari anemia akan mulai muncul
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan. Terjadi
peningkatan kadar air dan natrium dalam tubuh penderita CKD. Hal ini disebabkan
karena gangguan ginjal dapat mengganggu keseimbangan glomerulotubular,
sehingga terjadi peningkatan asupan natrium, retensi natrium, dan peningkatan
volume cairan ekstraseluler. Osmosis air dari lumen tubulus ke kapiler peritubulus
dirangsang oleh reabsorbsi natrium, mengakibatkan hipertensi. Kerja jantung akan
meningkat dan dapat mengarah ke gagal jantung.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah. Penurunan laju filtrasi glomerulus
pada pasien dengan CKD dapat menyebabkan penurunan nafsu makan dan
menyebabkan malnutrisi pada pasien
i. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia
2.1.9. Prognosis
Prognosis penyakit ginjal kronis tergantung pada komorbiditas yang dimiliki
pasien, usia, dan laju filtrasi glomerulus. Pasien dengan penyakit ginjal kronis
umumnya mengalami penurunan fungsi ginjal secara progresif dan berisiko
mengalami penyakit ginjal stadium akhir.
14
2.2 Hipertensi Nefropati
2.2.1 Definisi
Penyakit ginjal hipertensi adalah suatu kondisi medis yang mengacu pada
kerusakan ginjal akibat tekanan darah tinggi yang kronis. Hal ini disebut dengan
Hipertensi nefropati. (sklerosis mengacu pada pengerasan komponen ginjal).
Nefropati hipertensi adalah komplikasi hipertensi yang paling umum, dan merupakan
salah satu penyebab utama penyakit ginjal stadium akhir (eSrd) di banyak negara.
2.2.2 Etiologi
Hipertensi mengacu pada tekanan darah tinggi dan "nefropati" berarti kerusakan
pada ginjal; oleh karena itu kondisi ini adalah dimana tekanan darah tinggi kronis
menyebabkan kerusakan pada jaringan ginjal; ini termasuk pembuluh darah kecil,
glomeruli, tubulus ginjal dan jaringan interstitial. Jaringan mengeras dan menebal
yang dikenal sebagai nefrosklerosis. Penyempitan pembuluh darah berarti lebih sedikit
darah yang mengalir ke jaringan sehingga lebih sedikit oksigen yang mencapai
jaringan sehingga menyebabkan kematian jaringan (iskemia).
Faktor risiko hipertensi nefropati termasuk hipertensi yang tidak terkontrol,
hipertensi sedang hingga berat, usia lebih tua, kelainan ginjal lainnya, dan latar
belakang Afro-Karibia, yang penyebab pastinya tidak jelas, karena mungkin
disebabkan oleh kerentanan genetik atau manajemen kesehatan yang buruk di antara
orang-orang dari HN. Keturunan Afro-Karibia.
2.2.3 Patofisiologi
Penyakit ini biasanya didahului oleh disfungsi tubulus distal, diikuti disfungsi
glomerulus. Patologi ginjal pasien dimulai dengan arteriopati ginjal, diikuti dengan
kerusakan parenkim ginjal iskemik. Arteriolosklerosis ginjal terutama mempengaruhi
arteriol sebelum glomerulus, termasuk degenerasi hialin arteriol glomerulus, dan
penebalan membran medium arteri interlobular dan arkuata. Alasannya adalah
kerusakan endotel vaskular dan peningkatan tekanan rongga pembuluh darah, yang
mengakibatkan akumulasi komponen plasma subkutan. Hipertrofi dan hiperplasia sel
otot polos membranosa pada arteri interlobular dan arkuata disertai dengan berbagai
derajat fibrosis intima. Kedua lesi tersebut menyebabkan pengerasan dan penebalan
dinding arteriol, penyempitan lumen dan penurunan suplai darah ginjal, diikuti dengan
kerusakan parenkim ginjal iskemik. seiring dengan perkembangan arteriopati (1)
15
glomerulus pertama-tama mengalami penyusutan iskemik, yaitu kerutan pada
membran basal kapiler, sedangkan lumen tetap terbuka. selanjutnya, terjadi sklerosis
iskemik, dimana membran basalis sangat berkerut dan lumen kapiler kolaps (2)
Tubulus ginjal dan interstitium juga mengalami iskemik, termasuk atrofi tubulus,
penebalan membran basal, fibrosis interstisial, dan infiltrasi sel mononuklear terbatas
(3) Ketika bagian glomeruli rusak, glomeruli yang tersisa secara kompensasi
meningkatkan pembuangan zat sisa metabolisme, yang pada akhirnya menyebabkan
glomerulosklerosis.
Mekanisme nefropati hipertensi terutama adalah perubahan hemodinamik ginjal
dan remodeling pembuluh darah yang disebabkan oleh hipertensi. Ketika hipertensi
terjadi, perubahan hemodinamik ginjal akan menyebabkan perubahan fungsi dan
struktur arteriol ginjal, yang dikenal dengan remodeling vascular. selama hipertensi,
perubahan fungsi arteriol terutama bermanifestasi sebagai peningkatan respons
terhadap zat vasokonstriksi. yang mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh
darah dan penurunan aliran plasma ginjal. Namun pada penelitian sebelumnya, fungsi
ginjal tetap normal karena peningkatan fraksi filtrasi glomerulus. Jika hipertensi
menetap, hal ini dapat menyebabkan perubahan struktural pada arteriol ginjal,
khususnya pada arteri interlobular dan arkuata, serta hipertrofi dan proliferasi sel otot
polos mekanismenya kompleks, dan merupakan hasil dari berbagai zat aktif dalam
sirkulasi, serta ketidakseimbangan sintesis dan sekresi endotel vaskular. Misalnya,
endothelin‑1 (eT‑1) meningkat, sedangkan oksida nitrat (no) menurun. Akhirnya,
dinding arteriol ginjal menebal, lumen menyempit, kepatuhan pembuluh darah
menurun, aliran plasma ginjal semakin menurun dan fungsi ginjal menurun.
2.2.4 Diagnosa
Kriteria diagnosis hipertensi nefropati adalah sebagai berikut: i) hipertensi primer;
ii) >5 tahun menderita hipertensi sebelum muncul proteinuria; iii) proteinuria persisten
(umumnya ringan sampai sedang) dengan terdeteksi melalui pemeriksaan
mikroskopis; iv) arteriosklerosis retina atau perubahan arteriosklerotik pada retina; v)
Riwayat hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung koroner, gagal jantung,
arteriosklerosis serebral dan/atau riwayat kecelakaan pembuluh darah otak, dan
hiperurisemia.
16
2.2.5 Tatalaksana
Tujuan utama dari tatalaksana ini adalah untuk memperlambat perkembangan
penyakit ginjal kronis dengan menurunkan tekanan darah dan kadar albumin dalam
urin. Pedoman yang diterbitkan saat ini menetapkan tekanan darah ideal <130/80
mmHg untuk pasien dengan nefropati hipertensi; penelitian menunjukkan bahwa
angka yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ini dapat meningkatkan risiko
kardiovaskular.
ACE inhibitors, angiotensin receptor blockers, direct renin inhibitors and
aldosterone antagonist adalah pengobatan farmakologis yang dapat digunakan untuk
menurunkan tekanan darah ke tingkat target; sehingga mengurangi progresifitas
nefropati dan proteinuria. Rencana penatalaksanaan harus bersifat individual
berdasarkan kondisi pasien termasuk penyakit penyerta dan riwayat kesehatan
sebelumnya. Selain itu, ada perubahan gaya hidup yang bisa dilakukan. Penurunan
berat badan, olah raga, pengurangan asupan garam dapat dilakukan untuk mengatasi
hipertensi nefropati.
2.2.6 Prognosa
Menurut United States Renal Data System (USRDS), hipertensi nefropati
menyumbang lebih dari sepertiga pasien yang menjalani hemodialisis dan angka
kematian tahunan untuk pasien yang menjalani hemodialisis adalah 23,3%.
Hemodialisis direkomendasikan untuk pasien yang berkembang menjadi penyakit
ginjal stadium akhir (ESKD) dan hipertensi nefropati merupakan penyebab ESKD
kedua yang paling umum setelah diabetes. Prognosis pasien tergantung pada banyak
faktor termasuk usia, etnis, tekanan darah dan laju filtrasi glomerulus. Perubahan
faktor gaya hidup, seperti pengurangan asupan garam dan peningkatan aktivitas fisik
telah terbukti meningkatkan hasil namun tidak cukup tanpa pengobatan farmakologis.
17
anemia aplastik dan leukemia. Anemia gravis kronis juga dapat dijumpai pada infeksi
kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infeksi parasit yang lama, seperti malaria,
cacing dan lainnya. Anemia gravis sering memberikan gejala serebral seperti tampak
bingung, kesadaran menurun sampai koma, serta gejala-gejala gangguan jantung-paru.
2.3.2 Etiologi
Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), tahun 2005 didapati 1.62 milyar
penderita anemia di seluruh dunia. Angka prevalensi anemia di Indonesia
Kelompok Populasi Angka Prevalensi
Anak prasekolah (balita) 30-40%
Anak usia sekolah 23-35%
Wanita dewasa 30-40%
Wanita hamil 50-70%
Laki-laki dewasa 20-30%
Pekerja berpenghasilan rendah 30-40%
Pravalensi anemia gravis tertinggi terdapat pada ibu hamil yaitu sebanyak 50-
70% dan yang paling rendah yaitu pada laki-laki dewasa sebanyak 20-30%. Anemia
lebih sering ditemukan pada masa kehamilan karena selama masa kehamilan
keperluan zat-zat gizi bertambah dan adanya perubahan-perubahan dalam darah dan
sumsum tulang Angka pravalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada
geografi. Salah satu faktor determinan utama adalah taraf sosial ekonomi masyarakat.
Sedangkan prevalensi anemia gravis sendiri menurut WHO mencapai angka lebih dari
40% dalam satu populasi.
2.3.3 Patofisiologi
a. Sickle cell anemia
Sickle cell anemia adalah gangguan hemolitik darah yang bersifat resesif
autosomal dan kronik dengan tekanan oksigen darah rendah sehingga mengakibatkan
eritrosit berbentuk bulan sabit. Sickle cell anemia ditandai dengan adanya hemoglobin
abnormal yaitu hemoglobin S. Dalam tereduksi hemoglobin S mempunyai kelarutan
dan bentuk molekul yang khas yang menyebabkan perubahan bentuk eritrosit seperti
bulan sabit. Sel yang berubah bentuk ini juga dengan cepat dihancurkan oleh sel-sel
fagosit sehingga dalam jangka panjang terjadilah anemia.
18
b. Thalassemia Mayor
Thalassemia merupakan penyakit herediter yang disebabkan menurunnya
kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin. Hb penderita dipertahankan
antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl tidak melebihi 15 g/dl. Dengan kedaan ini akan
memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi
besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pada
beta thalasemia mayor terdapat defisien parsial atau total sintesis rantai betha molekul
hemoglobin. Sebagai akibatnya terdapat kompensasi berupa peningkatanan sintesis
rantai alpha, sementara produksi rantai gamma tetap aktif sehingga akan menghasilkan
pembentukan hemoglobin yang tidak sempurna (cacat). Rantai polipeptida yang tidak
seimbang ini sangat tidak stabil dan ketika terurai akan merusak sel darah merah
(hemolisis) sehingga terjadi anemia gravis. Untuk mengimbangi proses hemolisis,
sumsum tulang akan membentuk eritrosit dengan jumlah yang sangat berlimpah
kecuali jika fungsi sumsum tulang disupresi melalui terapi transfusi.
c. Penderita Kanker
Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat disebabkan
karena aktivitas sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang ditandai dengan
peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti interferon, Tumor Necrosis
Factor (TNF) dan interleukin yang semuanya disebut sitokin, dan dapat juga
disebabkan oleh kanker sendiri.
d. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi terjadi bila jumlah zat besi yang diabsorpsi tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau terjadinya kehilangan zat besi yang
berlebihan dari tubuh. Hal ini bisa diakibatkan oleh kurangnya pemasukan zat besi,
berkurangnya sediaan zat dalam makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi
atau kehilangan darah yang kronis. Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan
kehilangan atau penggunaan elemen tersebut melampaui kecepatan asimilasinya.
Walaupun pada kebanyakan negara berkembang anemia akibat kurangnya zat besi
dalam diet dapat terjadi, tetapi ditemukan penyebab paling sering kejadian anemia
pada negara berkembang adalah akibat kehilangan besi dari tubuh seringnya
diakibatkan kehilangan darah melalui saluran cerna atau saluran kemih.
e. Leukimia
Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel leukosit yang
abnormal dan ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah berlebihan yang
19
dapat menyebabkan terjadinya anemia dan trombositopenia. Leukemia adalah
keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang disertai gangguan differensiasi
(maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel induk hemopoetik sehingga terjadi
ekspansif progresif dari kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum tulang. Pada
leukemia terjadi proliferasi dari salah satu sel yang memproduksi sel darah yang
ganas. Sel yang ganas tersebut menginfiltrasi sumsum tulang dengan menyebabkan
kegagalan fungsi tulang normal dalam proses hematopoetik normal sehingga
menimbulkan gejala anemia gravis.
f. Infeksi Cacing
Infeksi cacing tambang khususnya Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale adalah penyebab tersering anemia. Habitat cacing ini berada dalam usus
manusia. Selain mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan
pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan
kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami anemia.
Kehilangan zat besi secara patologis paling sering terjadi akibat perdarahan saluran
cerna. Prosesnya sering tiba-tiba. Perdarahan akibat cacing tambang dan
Schistosoma merupakan penyebab tertinggi terjadinya perdarahan saluran cerna dan
seterusnya mengakibatkan anemia defisiensi besi.
g. Sferositosis herediter (SH)
Sferositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis anemia hemolitik turunan
yang disebabkan oleh kerusakan pada membran eritrosit. Kerusakan terjadi sebagai
akibat defek molekular pada satu atau lebih protein sitoskleletal sel darah merah yang
terdiri dari spektrin, ankirin, band 3 protein, dan protein. Defek pada beberapa
protein skeletal membran yang berbeda dapat menyebabkan sferositosis herediter;
semua ini secara primer atau sekunder akan menimbulkan defisiensi spektrin yaitu
protein struktur (meshwork) yang berkaitan dengan membran internal sel darah
merah. Sel darah merah yang kurang mengandung spektrin memiliki membran yang
tidak stabil dan mudah terfragmentasi secara spontan. Berkurangnya luas permukaan
yang ditimbulkan menyebabkan sel darah merah tersebut berbentuk sferoid; sferosit
semacam ini memiliki fleksibilitas membran yang berkurang dan terperangkap serta
dihancurkan dalam korda limpa.
h. Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari sumsum
tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak adanya unsur
20
pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini khas dengan penurunan produksi eritrosit
akibat pergantian dari unsur produksi eritrosit dalam sumsum oleh jaringan lemak
hiposeluler. Penurunan sel darah merah (hemoglobin) menyebabkan penurunan
jumlah oksigen yang dikirim ke jaringan, seningga menimbulkan gejala-gejala
anemia. Patofisiologi dari anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua hal yaitu
kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang mampu berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel-sel darah yang terletak di sumsum tulang dan karena
kerusakan pada microenvironment. Gangguan pada sel induk pluripoten ini menjadi
penyebab utama terjadinya anemia aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami
gangguan gagal membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah yang baru.
Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten ataupun
karena fungsinya yang menurun.
2.3.4 Gejala
Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskular (dengan
peningkatan volume sekuncup dan takikardi) dan pada kurva disosiasi O 2
hemoglobin. Pada beberapa penderita anemia gravis, mungkin tidak terdapat gejala
atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita anemia ringan mungkin
mengalami kelemahan berat.
a. Gejala
Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek,
khususnya pada saat olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan sakit kepala. Pada
pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina pektoris,
kaludikasio intermiten, atau kebingunagan (konfusi). Gangguan penglihatan akibat
pendarahan retina dapat mempersulit anemia yang sangat berat, khususnya yang
awitannya cepat.
b. Tanda
Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda umum
meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin kurang dari
9-10 g/dL. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang dapat diandalkan. Sirkulasi
yang hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat, kardiomegali, dan
bising jantung aliran sistolik khususnya pada apeks. Gambaran gagal jantung
kongesti mungkin ditemukan, khususnya pada orang tua. Perdarahan retina jarang
ditemukan. Tanda spesifik dikaitkan dengan jenis anemia tertentu, misalnya
21
koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan anemia hemolitik atau
megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan anemia hemolitik lainnya,
deformitas tulang dengan talasemia mayor dan anemia hemolitik kongenital lain
yang berat.
2.3.5 Diagnosa
Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi
atau pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah
platelet <10.000/µl (10x109/liter) yang menandakan risiko yang lebih besar untuk
pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat atau
trombositopenia. Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu ditemukan pada
anemia aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru terjadi atau diagnosis
alternatif seperti leukemia atau limpoma.
Gambar Darah Tepi
1. Sickle Cell Anemia
22
2. Malaria
3. Thalassemia Mayor
Abnormalitas (bizzare) sel darah
merah, poikilositosis (bentuk eritrosit
bermacam-macam) berat, hipokromi
(eritosit tampak pucat), mikrositosis
(ukuran eritrosit lebih kecil), sel target,
basofil Stippling dan eritrosit berinti
23
5. Leukemia
6. Sferositosis Herediter
2.3.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit dasar
yang menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan anemia dengan
berbagai indikasi.
1. Farmakologi
a) Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs)
b) Epoetin Alfa
c) Obat untuk mengatasi pendarahan
1. Fresh Frozen Plasma (FFP)
2. Cryoprecipitate
d) Garam Besi
1. Fereous Sulfate
2. Carbonyl Iron
3. Iron Dextran Complex
24
2. Transfusi
Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami pendarahan
dan untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah paliatif dan tidak boleh
digunakan sebagai pengganti untuk terapi tertentu. Pada penyakit kronis yang
berhubungan dengan anemia gravis, erythropoietin dapat membantu dalam
mencegah atau mengurangi transfusi.
3. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel
Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia, lymphoma, Hodgkin
disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan penyakit aplastik. Harapan hidup pada
pasien ini meningkat, dan kelainan hematologi membaik. Alogenik transplantasi
sumsum tulang berhasil memperbaiki ekspresi fenotipik dari penyakit sel sabit dan
talasemia dan meningkatkan harapan hidup pada pasien yang berhasil transplantasi.
4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan
a) Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh karena
zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi
sebagai zat pembangun dan pengatur. Asupan protein yang adekuat sangat penting
untuk mengatur integritas, fungsi, dan kesehatan manusia dengan menyediakan
asam amino sebagai precursor molekul esensial yang merupakan komponen dari
semua sel dalam tubuh. Protein berperan penting dalam transportasi zat besi di
dalam tubuh. Oleh karena itu, kurangnya asupan protein akan mengakibatkan
transportasi zat besi terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Di samping
itu makanan yang tinggi protein terutama yang berasal dari hewani banyak
mengandung zat besi.
b) Vitamin A
Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat besi dari tempat
penyimpanan untuk proses eritropoesis di mana disebutkan suplementasi vitamin
A sebanyak 200.000 UI dan 60 mg ferrous sulfate selama 12 minggu dapat
meningkatkan rata – rata kadar hemoglobin sebanyak 7 g/L dan menurunkan
prevalensi anemia dari 54% menjadi 38%. Vitamin A merupakan vitamin larut
lemak yang dapat membantu absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan
eritrosit. Rendahnya status vitamin A akan membuat simpanan besi tidak dapat
dimanfaatkan untuk proses eritropoesis. Selain itu, Vitamin A dan β-karoten akan
membentuk suatu kompeks dengan besi untuk membuat besi tetap larut dalam
25
lumen usus sehingga absorbsi besi dapat terbantu. Apabila asupan vitamin A
diberikan dalam jumlah cukup, akan terjadi penurunan derajat infeksi yang
selanjutnya akan membuat sintesis RBP dan transferin kembali normal. Kondisi
seperti ini mengakibatkan besi yang terjebak di tempat penyimpanan dapat
dimobilisasi untuk proses eritropoesis. Sumber vitamin A dalam makanan
sebagian besar dari sumber-sumber makanan nabati dan hewani, misalnya sumber
hewani diantaranya susu dan produk susu, telur serta ikan dll, sumber makanan
nebati seperti papaya, mangga, serta jeruk dan sayuran seperti wortel.
c) Vitamin C
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada keterkaitan antara asupan
vitamin C dengan kejadian anemia di mana korelasinya bersifat positif yang
menunjukkan semakin tinggi asupan vitamin C maka kadar hemoglobin akan
semakin tinggi pula yang berarti kejadian anemia semakin rendah. Hal ini
membuktikan bahwa vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi di dalam
tubuh. Vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar
dimobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin C juga memiliki
peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati.
Vitamin C yang dikonsumsi untuk dibutuhkan untuk membentuk sel darah merah
yang dapat mencegah kelelahan dan anemia misalnya buah sitrus, jeruk, lemon,
blackcurrant buah-buahan lain dan sayuran hijau.
d) Zat Besi
Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai faktor utama
pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2006). Jumlah besi yang disimpan dalam
tubuh manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh.
Sebagian besar zat besi yaitu kira-kira 2/3 dari total besi tubuh terikat dalam
hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu mengangkut oksigen untuk keperluan
metabolisme ke jaringan-jaringan tubuh. Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan
makanan hewani, kacang-kacangan, dan sayuran berwarna hijau tua. Zat besi
terdapat dalam makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-protein dan kompleks
heme-protein. Secara umumnya, daging terutamanya hati adalah sumber zat besi
yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya.
e) Asam Folat
Asam folat merupakan senyawa berwarna kuning, stabil dan larut dalam air
yang terdiri dari bagian-bagian pteridin, asam para-aminobenzoat dan asam
26
glutamat Sumber makanan asam folat banyak terdapat pada hewan, buah-
buahan, gandum, dan sayur-sayuran terutama sayur-sayuran berwarna hijau. Asam
folat bersama vitamin B 12 berfungsi dalam pembentukan DNA inti sel dan
penting dalam pembentukan myelin yang berperan penting dalam maturasi inti sel
dalam sintesis DNA sel-sel eritroblast. Akibat dari sefisiensi asam folat adalah
gangguan sintesis DNA pada inti eritroblas sehingga maturasi inti menjadi lebih
lambat, akibatnya kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar
(megaloblast). Kebutuhan harian asam folat adalah 25-200 mcg.
27
serum HCO3 dibawah 22 mmol/l, meskipun nilai ini meningkat sampai 19% pada
pasien dengan filtrasi glomerulus rate (eGFR) dalam kisaran 15-29 mL/min/1.73 m2.
28
Fistula pancreas
Kehilangan HCO3 - dari ginjal – RTA (proksimal) type 2
Beberapa kasus gagal ginjal
Hypoaldosteronisme (yaitu, RTA tipe 4)
Hiperventilasi
Ingestions – ammonium klorida, acetazolamide, cairan hiperalimentasi, beberapa
kasus ketoasidosis, terutama selama pengobatan dengan cairan dan insulin.
29
2.4.5 Diagnosis Asidosis Metabolik
1. Anamnesis
- Riwayat diare
- Riwayat konsumsi obat atau zat toksik
- Riwayat diabetes melitus
- Riwayat konsumsi alcohol dan tanda alkoholisme
- Etiologi gagal ginjal akut atau kronik
- Manifestasi klinis sindrom uremia
- Etiologi peningkatan produksi laktat (hipotensi, syok, gagal jantung, leukemia,
kanker, obat atau toksin)
- Penggunaan vasopressor (menurunkan perfusi jaringan)
- Riwayat penggunaan obat (azetolamid, topiramate, amfoterisin B, siklosporin,
tacrolimus)
- Riwayat Tindakan medis (ureterosigmoidostomy, drainase eksternal)
2. Pemeriksaan fisik
- Sistem respirasi: hiperventilasi, peningkatan volume tidal (pernapasan
kussmaul)
- Sistem kardiovaskular: penurunan kontraktilitas, vasodilatasi arteri perifer,
venokonstriksi sentral, penurunan komplians vaskularisasi paru (rentan terjadi
edema paru)
- Sistem saraf: nyeri kepala, letargi, stupor atau koma
3. Pemeriksaan penunjang
1. AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
Analisis gas darah arteri (AGDA) digunakan untuk evaluasi gangguan
keseimbangan asam-basa dan oksigenasi. Awalnya, ketahui pH untuk
menentukan apakah darah masih dalam batas normal, alkalosis atau asidosis.
Jika diatas 7.45 dikatakan alkalosis, dan jika dibawah 7.35 disebut asidosis.
Setelah mengetahui apakah darah alkalosis atau asidosis, selanjutnya tentukan
penyebab primer berasal dari masalah respiratori atau metabolic. Ukur PaCO2,
jika berada arah yang berlawanan dengan pH maka masalah respiratori yang
utama. Dan ukur kadar HCO3-, jika berada disisi yang sama dengan pH maka
masalah metabolik yang utama.
30
2. Pemeriksaan Darah Lengkap
Meningkatnya leukosit merupakan penemuan yang nonspesifik, tetapi
harus dipertimbangkan adanya septikemia, yang menyebabkan asidosis laktat.
Anemia berat dengan berkurangnya delivery O2 dapat menyebabkan asidosis
laktat.
3. Urinalisa
Pengukuran pH urine dengan adanya hipobikarbonatemia sering
digunakan untuk menilai asidifikasi ginjal. pH urine biasanya asam <5.0.
Dalam asidemia, urine biasanya menjadi lebih asam. Jika pH urine di atas 5,5
pada kondisi asidemia, temuan ini merupakan tipe I RTA. Urin yang alkali
khas pada keracunan salisilat. Toksisitas terhadap Ethylene glycol dapat
ditemukan kristal kalsium oksalat, yang muncul berbentuk jarum, dalam urin.
4. Serum kimia
Kadar natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat yang digunakan dalam
perhitungan serum anion gap (SIG). Fosfat, magnesium, serta kadar serum
albumin juga digunakan untuk menghitung SIG. Hiperkalemia sering
mempersulit asidosis metabolik. Ini biasanya terlihat pada asidosis anorganik
(yaitu, non-AG). Diabetik ketoasidosis (DKA) sering terjadi hiperkalemia
yang merupakan akibat dari defisiensi insulin dan efek hiperosmolalitas.
Asidosis laktat dan bentuk lain dari asidosis organik umumnya tidak muncul
dengan pergeseran kalium secara signifikan.
Kadar glukosa umumnya meningkat pada DKA, dan mungkin rendah,
normal, atau sedikit meningkat pada alkohol ketoasidosis. BUN dan kadar
kreatinin meningkat pada asidosis uremik.
5. Serum Anion Gap (AG)
Perhitungan AG sering membantu dalam diagnosis diferensial asidosis
metabolik. AG adalah perbedaan antara konsentrasi plasma dari kation plasma
yang diukur (yaitu, Na+) d a n anion yang diukur (yaitu, klorida [Cl-], HCO3-).
31
AG yang normal adalah 8 - 16 mEq/L, dengan nilai rata-rata 12.
Beberapa penulis menambahkan K+ pada pengukuran kation, dengan nilai
normal AG adalah 12 - 20 mEq/L.
6. Kadar keton
Peningkatan keton menunjukkan diabetes, alkohol, dan ketoasidosis
starvat ion. Tes nitroprusside digunakan untuk mendeteksi keberadaan
asamketo dalam darah dan urin. Tes ini hanya mengukur acetoacetate dan
aseton, karena itu, mungkin tidak bisa mengukur kadar ketonemia dan
ketonuria karena tidak dapat mendeteksi keberadaan beta-hidroksibutirat
(BOH). Keterbatasan tes ini dapat sangat bermasalah pada pasien dengan
ketoasidosis yang tidak dapat mengkonversi BOH menjadi asetoasetat karena
syok berat atau gagal hati.
7. Kadar asam laktat
Konsentrasi laktat plasma normal adalah 0,5 - 1,5 mEq/L. Asidosis
laktat dapat dipertimbangkan jika kadar laktat plasma melebihi 4 - 5 mEq/L
pada pasien asidemia.
2.4.7 Prognosis
Prognosis asidosis metabolik bergantung pada etiologi dan gangguan asam
basa. Prognosisnya buruk jika kelainannya besar dan kondisi vitalnya tidak stabil.
32
2.4.8 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat asidosis metabolik adalah:
Gagal ginjal
Osteoporosis
Hilang massa otot
Diabetes
Batu ginjal
Keterlambatan tumbuh kembang
33
BAB III
TUTORIAL KLINIK
34
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Sensorium : Compos mentis
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Suhu : 36,8 C
Nadi : 100 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
SpO2 : 99%
Keadaan Spesifik
Kepala
Kepala : Normosefali
Mata : konjungtiva anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-)
Thorax
Jantung
Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : Dalam batas normal
Perkusi : Dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal regular, murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : SP Vesikuler (+/+), Ronkhi (+/+), Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), massa (-), Hepar dan lien tak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Ekstremitas
Akral : Hangat
Edema : (-)
CRT : < 2 detik
35
Status Gizi
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 160 cm
3.4. Pemeriksaan Penunjang
3.4.1. Pemeriksaan Darah Lengkap
Tanggal 21 Oktober 2023
Parameter Hasil Nilai Rujukan
Leukosit 8.69 3.60-11
Eritrosit 0.89 3.80-5.90
Hemoglobin 2.4 11.7-17.3
Hematokrit 7.4 35.0-52.0
MCV 83.1 80.0-100.0
MCH 27.0 26.0-34.0
MCHC 32.4 32.0-36.0
Trombosit 191 150-440
RDW-SD 62.4 39.9-53.6
RDW-CV 20.6 11.5 – 14.5
PDW 9.2 9.6 – 15.2
MPV 10.1 9.2 – 12.1
P-LCR 23.7 19.5 – 42.6
PCT 0.18 0.19 – 0.40
NRBC 0.1 0 – 0.05
Neut 65.9 50.0 – 70.0
Lymph 16.6 25.0 – 40.0
Mono 8.1 2.0 – 8.0
EO 9.4 2.0 – 4.0
Baso 0.0 0.0 – 1.0
IG 0.7 0.16 – 0.62
RET 15.21 0.5 – 1.5
IRF 16.1 3.1 – 13.5
LFR 83.9 87.0 – 98.6
MFR 12.0 2.8 – 12.4
HFR 4.1 0.1 – 1.5
RET-He 27.8 30.2 – 36.2
IPF 0.6 0.9 – 5.4
36
Trombosit 256 150-440
RDW-SD 51.3 39.9-53.6
RDW-CV 16.8 11.5 – 14.5
PDW 16.0 9.6 – 15.2
MPV 8.2 9.2 – 12.1
P-LCR 15.6 19.5 – 42.6
PCT 0.203 0.19 – 0.40
NRBC 0.00 0 – 0.05
Neut 85.1 50.0 – 70.0
Lymph 11.2 25.0 – 40.0
Mono 0.20 2.0 – 8.0
EO 0.1 2.0 – 4.0
Baso 0.01 0.0 – 1.0
LFR 82.7 87.0 – 98.6
MFR 15.9 2.8 – 12.4
HFR 1.4 0.1 – 1.5
IPF 1.0 0.9 – 5.4
37
3.4.1. Pemeriksaan Radiologi
Hasil:
Cor: Ukuran membesar
Pulmo: Tampak infiltrat di paracardial kanan
Trachea ditengah
Hemidiafragma kanan kiri tampak baik
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Tulang-tulang tampak baik
Soft tissue tampak baik
Kesan:
- Cardiomegaly
- Pneumonia
3.1. Diagnosa
3.2. Tatalaksana
IGD:
- Threeway
- Inj Furosemide 1 amp
- Inj OMZ
38
- O2 Nasal Canul 3-5 lpm
- Nacl 0,9 piggy bag + 4 Flash 20 tpm makro (1 kali beri)
39
P IVFD Nacl 0,9 Piggy bag + 4 Flash 20 tpm makro ( 1 kali beri) → Threeway,
Bicnat 4x2 tab, Inj Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam Skin Test Skin Test, Sucralfat Syr
4x10 ml ( a.c), Pasang Kateter Urine, Inj Furosemide 1 amp/ 8 jam, Valsartan tab
1x160 mg (malam), Adalat Oros 1x30 mg ( pagi), Rencna Transfusi PRC 4 bag,
Anjuran Transfusi 1 bag/ hari bila urine sudah 500 ml per 24 jam +Ketosteril
4x2tab, Asam Folat 2x1tab
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Chen TK, Knicely DH, Grams ME. Chronic Kidney Disease Diagnosis and
Management: A Review. JAMA. 2019;322(13):1294-1304.
doi:10.1001/jama.2019.14745
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7015670/
2. Kazancioğlu R. Risk factors for chronic kidney disease: an update. Kidney Int Suppl
(2011). 2013;3(4):368-371. doi:10.1038/kisup.2013.79
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4089662/
3. Vaidya SR, Aeddula NR. Gagal Ginjal Kronis. [Diperbarui 2022 Oktober 24]. Di:
StatPearls [Internet]. Pulau Harta Karun (FL): Penerbitan StatPearls; 2023 Januari
4. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata
M, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6.
Jakarta: Interna Publishing; 2014
5. Hamzah dkk, (2021). Teori Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Aceh: Yayasan
Penerbit Muhammad Zaini
6. LeMone, Priscilla. Karen M. Burke. Gerene Bauldoff. (2019). Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah: Gangguan Eliminasi. Edisi 5. Jakarta: EGC
7. Rahayu dkk, (2019). Pengaruh Latihan Fisik Terhadap Kekuatan Otot Pasien Gagal
Ginjal Kronis Di Ruang Hemodialisa. THE INDONESIAN JOURNAL OF HEALTH
SCIENCE ISSN (Print): 2087-5053 Vol. 11, No.1 ISSN (Online): 2476-9614
8. Zuliani. dkk, (2021). Gangguan Pada Sistem Perkemihan. Medan
9. Costantino VV, Gil Lorenzo AF, Bocanegra V, Vallés PG. Molecular mechanisms of
hypertensive nephropathy: Renoprotective effect of losartan through hsp70. Cells.
2021;10(11). doi:10.3390/cells10113146
10. Wang XC, Liu CH, Chen YJ, et al. Clinical and pathological analysis of the kidney in
patients with hypertensive nephropathy. Exp Ther Med. 2013;6(5):1243-1246.
doi:10.3892/etm.2013.1306
11. Dong Z, Dai H, Feng Z, et al. Mechanism of herbal medicine on hypertensive
nephropathy (Review). Mol Med Rep. 2021;23(4):1-9. doi:10.3892/mmr.2021.11873
12. World Health Organization., 2006. Worldwide prevalence of anaemia 1993-2005.
World Health Organization global database on anaemia. Atlanta
13. Badireddy M, Baradhi KM. StatPearls Publishing. Treasure Islands: Aug 8, 2022.
Chronic Anemia. [Pubmed].
41
14. Amin SK, Antunes C. StatPearls Publishing. Treasure Island: Jul 18, 2022. Lower
Gastrointestinal Bleeding. [Pubmed].
15. Mumford J, Flanagan B, Keber B, Lam L. Hematologic Conditions: Platelet Disorders.
FP Essent. 2019 Oct;485:32-43. [Pubmed].
16. Jamwal M, Sharma P, Das R,. Laboratory Approach to Hemolytic Anemia. Indian J
Pediatric. 2020 Jan;87(1):66-74. [Pubmed].
17. Lajar, C. E. U. (2022). Kajian pustaka efektivitas penggunaan natrium bikarbonat
pada pasien penyakit ginjal kronis dengan asidosis metabolik (Doctoral dissertation,
Widya Mandala Surabaya Catholic University).
18. Kapita Selecta Kedokteran/editor, Chris Tanto [et al], Ed.4, Jakarta : media
Aesculapius, 2014
42