Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN

CASE BASED DISCUSSION


NODUL TIROID

OLEH:
Ilman Rahaswin Bolkiah
017.06.0032

PEMBIMBING
dr. Adi Madethen, Sp. B

KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA MATARAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2022
KATA PENGANTAR

Puja dan Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
segala limpahan nikmat-Nya saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang
berjudul “Nodul Tiroid”. Dalam penyusunan laporan ini, saya banyak
mendapatkan bantuan, bimbingan, masukan dan motivasi dari berbagai pihak baik
secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini, saya
menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen yang telah memberi arahan dan
penjelasan tentang tata cara penulisan laporan ini.
Saya menyadari, penulisan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram yang sedang menjalani
kepanitraan klinik di RSUD Kota Mataram.

Mataram, 26 Mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3
2.1 Kelenjar Tiroid.............................................................................................3
2.1.1 Anatomi Kelenjar Tiroid..................................................................3
2.1.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid..................................................................6
2.1.3 Histologi Kelenjar Tiroid...............................................................10
2.2 Struma........................................................................................................10
2.2.1 Definisi Struma................................................................................11
2.2.2 Etiologi Struma................................................................................12
2.2.3 Klasifikasi Struma............................................................................13
2.3 Nodul Tiroid...............................................................................................15
2.2.1 Definisi.............................................................................................15
2.2.2 Epidemiologi....................................................................................15
2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko...............................................................15
2.2.4 Klasifikasi........................................................................................16
2.2.5 Patofisiologi.....................................................................................16
2.2.6 Gejala dan Tanda.............................................................................18
2.2.7 Diagnosis..........................................................................................19
2.2.8 Penatalaksanaan...............................................................................24
2.2.9 Komplikasi.......................................................................................30
2.2.10 Prognosis.........................................................................................30
BAB III LAPORAN KASUS...............................................................................32
3.1 Identitas Pasien...........................................................................................31
3.2 Anamnesis...................................................................................................31

iii
3.3 Pemeriksaan Fisik.......................................................................................33
3.4 Diagnosis Banding......................................................................................35
3.5 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................35
3.6 Diagnosis Kerja...........................................................................................37
3.7 Penatalaksanaan..........................................................................................37
3.8 Prognosis.....................................................................................................38
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................39
BAB V PENUTUP................................................................................................41
5.1 Kesimpulan.................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................42

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid........................................................................3


Gambar 2. Histologi Kelenjar Tiroid.......................................................................4
Gambar 3. Vaskularisasi Kelenjar Tiroid.................................................................5
Gambar 4. Sekresi Hormon Tiroid...........................................................................7
Gambar 5. Kontrol Sekresi Hormon Tiroid...........................................................10

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelenjar tiroid adalah salah satu dari kelenjar endokrin terbesar pada tubuh
manusia. Kelenjar ini dapat ditemui dibagian depan leher, sedikit dibawah laring.
Kelenjar ini berfungsi untuk mengatur kecepatan tubuh membakar energi,
membuat protein dan mengatur sensivitas tubuh terhadap hormon lainnya.
Kelenjar tiroid mensekresi tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Kedua hormon
ini, sangat meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh. Kekurangan total sekresi
tiroid, biasanya menyebabkan penurunan metabolisme basal kira – kira 40 hingga
50 persen dibawah normal. Bila kelebihan sekresi tiroid sangat hebat, dapat
meningkatkan kecepatan metabolisme sampai setinggi 60-100 persen diatas
normal. Karena pentingnya fungsi tiroid ini, kelainan pada kelenjar tiroid akan
berpengaruh besar pada proses fisiologis tubuh. Kelainan kelenjar tiroid dapat
berupa gangguan fungsi, seperti tirotoksikosis atau terjadi perubahan susunan
kelenjar dan morfologinya seperti pada penyakit tiroid nodular. Berdasarkan
patologinya, pembesaran tiroid umumnya disebut struma (Sherwood, L. 2014).
Struma adalah setiap pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh
penambahan jaringan kelenjar tiroid. Di seluruh dunia, penyebab paling umum
dari struma ialah defisiensi iodium. Diperkirakan bahwa struma memengaruhi
sebanyak 200 juta dari 800 juta orang yang kekurangan iodium. Angka kejadian
struma baik difusa maupun nodusa sangat tergantung pada asupan iodium
masyarakat. Pada area dengan defisiensi iodium, prevalensi struma dapat sangat
tinggi (Nada et al, 2011). Struma lebih sering terjadi pada wanita, usia lanjut,
defisiensi iodium, dan riwayat paparan sinar radiasi. Prevalensi struma meningkat
secara linier dengan bertambahnya usia, riwayat terkena paparan radiasi pengion
dan defisiensi iodium. Prevalensi di Amerika Serikat sebanyak 0,1% yang
menunjukkan bahwa adanya
300.000 kasus baru setiap tahunnya. Nodul tiroid pada orang dewasa umumnya
bersifat jinak dan diperkirakan mengalami keganasan sekitar 5-10% dari kasus.
Struma yang ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda insidennya hanya
1
sekitar

2
1,5% dan sering ditemukan dengan sifat ganas sekitar 26%. Di India tahun 2009
prevalensi struma berkisar 12,2%, Prevalensi struma di Indonesia tahun 2007
sebesar 14.7 % (Gharib et al, 2010; Haugen et al, 2015).
Struma dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiologis, yaitu eutirodisme,
hipotiroidisme, dan hipertiroidisme; berdasarkan morfologi yaitu struma difus dan
struma nodular/multinodular; serta berdasarkan klinis, yaitu struma toksik dan non
toksik. Pertumbuhan atau benjolan di kelenjar tiroid muncul sebagai
pembengkakan di depan leher yang bergerak dengan deglutisi. Prevalensi
benjolan ini tergantung pada berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, diet,
kekurangan yodium, daerah endemik, sabuk fluorosis dan paparan radiasi.
(Deepthi et al, 2017).
Nodul tiroid lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, kejadiannya
pada wanita sekitar satu dari 12-15 wanita muda yang memiliki nodul tiroid, tetapi
pada pria kira-kira satu dari 40% pria muda yang memiliki nodul tiroid. Lebih dari
95% dari semua nodul tiroid adalah jinak. Nodul tiroid bisa tunggal atau multipel.
Nodul soliter mungkin ada di lobus kelenjar tiroid atau di isthmus. Nodul tiroid
soliter didefinisikan secara klinis sebagai pembesaran tiroid lokal dengan kelenjar
yang tersisa tampaknya normal dan mengacu pada pertumbuhan abnormal sel
tiroid yang membentuk benjolan di dalam kelenjar tiroid. Prevalensi dan insiden
meningkat dengan bertambahnya usia, dengan nodul spontan terjadi pada tingkat
0,08% per tahun dimulai pada awal kehidupan dan meluas ke dekade kedelapan.
Nodul tiroid yang teraba ditemukan pada 5% orang berusia rata-rata 60 tahun
(Nasr et al, 2021). Sebuah studi populasi di Jerman mendeteksi nodul tiroid
oleh AS pada 20% populasi berusia 20 -79 tahun. Insiden nodul tiroid lebih
tinggi pada wanita (5%) dibandingkan pria (1%). Insiden nodul tiroid meningkat
karena semakin banyak pasien yang dinilai oleh AS. Nodul tiroid biasanya teraba
dengan diameter lebih besar dari 1 cm (Ashokkumar, 2016).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelenjar Tiroid


2.1.1 Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid adalah kelenjar yang berbentuk seperti kupu-kupu dan
berada di kedua sisi bawah laring, di sebelah anterior dari trakea, di antara
kartilago tiroid dan insisura jugularis. Kelenjar tiroid adalah salah satu dari
beberapa kelenjar endokrin terbesar dengan berat 15 – 20 gram pada orang
dewasa. Kelenjar ini memiliki dua lobus yaitu lobus kanan dan kiri yang
dihubungkan oleh ismus serta dibungkus oleh kapsul fibrous yang berasal dari
fasia servikal profunda sehingga bentuk dan posisi anatomi tiroid memiliki peran
fungsional. Masing-masing lobus mempunyai ukuran panjang 3 – 4 cm dan lebar
2 cm (Sherwood, 2014).

Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid

Ligamentum suspensori anterior melekatkan tiroid dengan kartilago tiroid


dan krikoid. Ligamentum suspensori posterior (ligamentum Berry)
menghubungkan tiroid dengan cincin trakea pertama dan kedua. Muskulus
sternohioid dan sternotiroid menutupi kelenjar tiroid pada bagian anterior. Sekitar

4
50% populasi memiliki tuberkulum Zuckerkandl yang merupakan perpanjangan
paling posterior dari lobus bagian lateral. Tuberkulum ini memiliki fungsi penting
dalam identifikasi nervus laringeus rekuren (Sherwood, 2014).
Sebagian besar kelenjar tiroid disusun oleh suatu kantong sferis
mikroskopik yang disebut folikel tiroid. Dinding setiap folikel terutama terdiri
dari sel yang disebut sel folikular, sebagian besar memanjang ke lumen (ruang
internal) folikel. Membran basalis mengelilingi setiap folikel. Bila sel folikular
tidak aktif, bentuknya kuboid rendah sampai skuamosa. Namun, dibawah
pengaruh TSH, sel folikular menjadi aktif dalam sekresi dan bentuknya berkisar
dari kuboid sampai kolumnar rendah. Sel folikular menghasilkan dua hormon
yaitu tiroksin yang disebut juga tetraiodotironin atau T4 karena mengandung
empat atom yodium dan triiodotironin atau T3 yang memiliki tiga atom yodium.
Beberapa sel yang disebut sel parafolikuler atau sel C terletak diantara folikel. Sel
tersebut menghasilkan hormon kalsitonin, yang membantu mengatur homeostasis
kalsium (Tortora dan Derrickson, 2014; Sherwood, 2014).

Gambar 2.2 Histologi Kelenjar Tiroid


Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari arteri tiroid superior dan inferior.
Arteri tiroid superior berasal dari arteri karotis eksterna dan masuk ke dalam tiroid
pada kutub superior setiap lobus. Arteri ini terbagi menjadi cabang anterior dan
posterior pada saat mencapai kelenjar tiroid kemudian beranastomosis dengan
cabang dari sisi yang lain. Cabang eksternal dari nervus laringeus superior akan
berjalan bersamaan dengan arteri tiroid superior. Arteri tiroid inferior memiliki
beberapa variasi dalam distribusi dan menghilang pada salah satu sisi (biasanya
sisi

5
kiri) pada 0,2% hingga 6% kasus. Arteri ini berasal dari trunkus tiroservikalis
kemudian berjalan di belakang kelenjar pada level kartilago krikoid dan terbagi
menjadi cabang superior serta inferior. Cabang superior memvaskularisasi bagian
posterior kelenjar, sedangkan cabang inferior memvaskularisasi kutub inferior
kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid memiliki tiga vena utama, yaitu vena tiroid
superior, vena tiroid media, dan vena tiroid inferior. Vena tiroid superior dan
media mengalir ke vena jugularis interna. Vena tiroid inferior beranastomose satu
sama lain dan mengalir ke brakiosefalika kiri di dada (Netter, 2014).

Gambar 2.3 Vaskularisasi Kelenjar Tiroid

Persarafan kelenjar tiroid berasal dari nervus laringeus superior dan nervus
laringeus rekuren. Hubungan antara kelenjar tiroid dengan kedua nervus tersebut
memiliki peranan penting dalam operasi tiroid. Cedera pada nervus laringeus
dapat menyebabkan disfonia, disfagia, dan dispnea. Nervus vagus keluar dari
foramen jugularis dan turun di dalam leher melalui carotid sheath. Nervus ini
memberikan banyak percabangan ke faring seperti nervus laringeus superior.
Nervus laringeus superior dibagi menjadi cabang internal dan eksternal. Cabang
internal
6
menginervasi laring pada bagian atas korda vokalis. Cabang eksternal nervus
tiroid superior/external branch of the superior laryngeal nerve (EBSLN)
menginervasi muskulus krikotiroid (Netter, 2014).

2.1.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid adalah satu-satunya kelenjar endokrin yang menyimpan
produk sekretorisnya dalam jumlah besar, normalnya sekitar suplai 100 hari.
Sintesis dan sekresi T3 dan T4 terjadi sebagai berikut : (Tortora dan Derrickson,
2014).
1) Terperangkapnya iodida
Sel folikular tiroid menangkap ion iodida (I-) dengan membawanya secara
aktif dari darah ke dalam sitosol. Akibatnya, kelenjar tiroid secara normal
memiliki sebagian besar iodida dalam tubuh.
2) Sintesis tiroglobulin
Sementara sel folikular menangkap I-, sel itu juga menyintesis tiroglobulin
(TGB), glikoprotein besar yang dihasilkan dalam retikulum endoplasma
kasar, termodofikasi dalam komplek golgi dan dikemas menjadi vesikel-
vesikel sekretoris. Vesikel kemudian mengalami eksositosis, yang
melepaskan TGB ke dalam lumen folikel.
3) Oksidasi iodida
Beberapa asam amino dalam TGB adalah tirosin yang akan menjadi
teriodinasi. Namun, ion iodida yang bermuatan negatif tidak dapat
berikatan dengan tirosin sampai ion-ion tersebut mengalami oksidasi
(penghilangan elektron) menjadi yodium : 2 I-  I2. Saat mengalami
oksidasi, ion-ion iodida berjalan melalui membran ke dalam lumen folikel.
4) Iodinasi tirosin
Sejak molekul yodium (I2) terbentuk, molekul tersebut bereaksi dengan
tirosin yang merupakan bagian molekul tiroglobulin. Pengikatan satu atom
yodium menghasilkan monoiodotirosin (T1) dan iodinasi kedua
menghasilkan diiodotirosin (T2). TGB dengan atom-atom yodium yeng

7
terikat, suatu ,ateri lengket yang menumpuk dan disimpan dalam lumen
folikel tiroid, disebut koloid.

Gambar 2.4 Sekresi Hormon Tiroid


5) Coupling T1 dan T2
Selama langkah akhir pada sintesis hormon tiroid, dua molekul T2
bergabung membentuk T4 atau satu T1 dan satu T2 bersatu membentuk T3.
6) Pinositosis dan digesti koloid
Droplet koloid masuk kembali ke sel folikular melalui pinositosis dan
bersatu dengan lisosom. Enzim pencernaan dalam lisosom memecah TGB,
melepas molekul T3 dan T4.

8
7) Sekresi hormon tiroid
Karena T3 dan T4 dapat larut dalam lemak, keduanya berdifusi melalui
membran plasma ke cairan interstisial dan kemudian ke dalam darah. T 4
secara normal disekresi dalam jumlah yang lebih besar daripada T 3, tetapi
T3 beberapa kali lebih poten. Selanjutnya, setelah T4 masuk ke dalam sel
tubuh, sebagian besar diubah menjadi T3 dengan membuang satu yodium.
8) Transpor dalam darah
Lebih dari 99% baik T3 maupun T4 bergabung dengan protein transpor
dalam darah, terutama thyroxine-binding globulin (TBG).

 Kerja Hormon Tiroid


 Meningkatkan laju metabolik basal
 Merangsang sintesis Na+/K+ ATPase
 Meningkatkan suhu tubuh (efek kalorigenik)
 Merangsang sintesis protein
 Meningkatkan penggunaan glukosa dan asam lemak untuk produksi ATP
 Merangsang lipolisis
 Meningkatkan beberapa kerja katekolamin
 Mengatur perkembangan dan pertumbuhan jaringan saraf dan
tulang (Tortora dan Derrickson, 2014)

 Beberapa Efek Hormon Tiroid


 Efek pada laju metabolisme dan produksi panas
Hormon tiroid meningkatkan laju metabolik basal keseluruhan
tubuh. Hormon ini adalah regulator terpenting laju konsumsi O2 dan
pengeluaran energi tubuh pada keadaan istirahat. Efek kalorigenik hormon
tiroid berkaitan erat dengan efek metabolik hormon ini secara keseluruhan.
Peningkatan aktivitas metabolik menyebabkan peningkatan produksi
panas.
 Efek simpatomimetik
Hormon tiroid meningkatkan responsivitas sel sasaran terhadap
katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) yang digunakan oleh sistem saraf
9
simpatis dan penguatan hormonalnya dari medula adrenal. Hormon tiroid
melaksanakan efek permisif ini dengan menyebabkan proliferasi reseptor
sel sasaran katekolamin. Karena pengaruh ini, banyak efek yang diamati
ketika sekesi tiroid meningkat serupa dengan yang menyertai pengaktifan
sistem saraf simpatis.
 Efek pada sistem kardiovaskular
Melalui efeknya dalam meningkatkan kepekaan jantung terhadap
katekolamin, hormon tiroid meningkatkan kecepatan jantung dan kekuatan
kontraksi sehingga curah jantung meningkat.
 Efek pada pertumbuhan dan sistem saraf
Hormon tiroid esensial bagi pertumbuhan (GH) dan IGF-1.
Hormon tiroid tidak saja merangsang sekresi GH dan meningkatkan
produksi IGF-1 oleh hati, tetapi juga mendorong efek GH dan IGF-1 pada
sintesis protein struktural baru dan pada pertumbuhan tulang. Anak dengan
defisiensi tiroid mengalami hambatan pertumbuhan yang dapat dipulihkan
dengan terapi sulih tiroid. Namun, tidak seperti kelebihan GH, kelebihan
hormon tiroid tidak menyebabkan pertumbuhan yang berlebihan.
Hormon tiroid berperan krusial dalam perkembangan normal
sistem saraf, khsususnya SSP, suatu efek yang terganggu pada anak
dengan defisiensi tiroid sejak lahir. Hormon tiroid juga esensial untuk
aktivitas normal SSP pada otang dewasa (Tortora dan Derrickson, 2014).

 Kontrol Sekresi Hormon Tiroid


Thyrotropin – releasing hormone (TRH) dari hipotalamus dan thyroi-
stimulating hormone (TSH) dari hipofisis anterior merangsang sintesis dan
pelepasan hormon tiroid (Tortora dan Derrickson, 2014).
a.
Kadar T3 dan T4 dalam darah yang rendah atau laju metabolik rendah
merangsang hipotamalus untuk menyekresi TRH
b.
TRH masuk vena porta hypophysialis dan mengalir ke hipofisis anterior,
tempatnya merangsang tirotrop untuk menyekresi TSH
c.
TSH merangsang hampir semua aspek aktivitas sel folikular tiroid,

10
termasuk terperangkapnya iodida, sintesis dan sekresi hormon dan
pertumbuhan sel folikular
d.
Sel folikular tiroid melepaskan T3 dan T4 ke dalam darah sampai laju
metabolik kembali normal
e.
Peningkatan kadar T3 menghambat pelepasan TRH dan TSH (inhibisi
feedback negative)
Kondisi yang meningkatkan kebutuhan ATP yaitu lingkungan dingin,
hipoglikemia, ketinggian dan kehamilan juga meningkatkan sekresi hormon tiroid.

Gambar 2.5 Kontrol Sekresi Hormon Tiroid

2.2 Struma
2.2.1 Definisi Struma
Struma adalah pembesaran kelenjar gondok baik pada satu atau kedua
lobus akibat berbagai sebab dengan atau tanpa gangguan produksi hormon.
Pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar
gondok yang menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah banyak sehingga
menimbulkan keluhan seperti berdebar-debar, keringat, gemetaran, bicara jadi
gagap, mencret, berat badan menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan
hipertiroid (Amin huda, 2016). Struma dapat meluas keruang retrosternal,
dengan atau tanpa pembesaran

11
substansial. Karena hubungan anatomi kelenjar tiroid ke trakea, laring, saraf
laring, superior dan inferior, dan esophagus, pertumbuhan abnormal dapat
menyebabkan berbagai sindrom komperhensif. Biasanya dianggap membesar bila
kelenjar tiroid lebih dari dua kali ukuran normal. Pembesaran kelenjar tiroid
sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar sekali dan mengadakan
penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena serta pembentukan vena
kolateral (Tampatty, 2018).

2.2.2 Etiologi Struma


Struma disebabkan oleh gangguan sintesis hormone tiroid yang
menginduksi mekanisme kompensasi terhadap kadar TSH serum, sehingga
akibatnya menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia sel folikel tiroid dan pada
akhirnya menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Efek biosintetik, defisiensi
iodin penyakit autoimun dan penyakit nodular juga dapat menyebabkan struma
walaupun dengan mekanisme yang berbeda. Bentuk goitrous tiroiditis hashimoto
terjadi karena defek yang didapat pada hormone sintesis, yang mengarah ke
peningkatan kadar TSH dan konsuekensinya efek pertumbuhan.
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tiroid
merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tiroid antara lain:
a. Defisiensi yodium
Pembentukan struma terjadi pada defiesiensi sedang iodium yang
kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang
dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid.
c. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia seperti substansi dalam
kol, lobak, kacang kedelai.
d. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan misalnya:
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium.
e. Dishormonogenesis: kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar
tiroid.
f. Riwayat radiasi kepala dan leher: riwayat radiasi selama masa kanak-
kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna.
12
Penyebab kelainan ini bermacam-macam, pada setiap orang dapat
dijumpai masa karena kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, terutama masa
pubertas, pertumbuhan, menstruasi, kehamilan, laktasi, monopouse, infeksi atau
stres lain. Pada masa-masa tersebut dapat dijumpai hiperplasi dan involusi
kelenjar tiroid. Perubahan ini dapat menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta
kelainan arsitektur yang dapat berlanjut dengan berkurangnya aliran darah di
daerah tersebut sehingga terjadi iskemia (Ashokkumar, 2016).
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh: (Ashokkumar, 2016).
1. Hiperplasia dan hipertrofi dari kelenjar tiroid
Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan
berkompensasi dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula
dengan kelenjar tiroid pada saat masa pertumbuhan atau pada kondisi
memerlukan hormon tiroksin lebih banyak, misal saat pubertas, gravid dan
sembuh dari sakit parah.
- Non toksik goiter: difus, noduler
- Toksik goiter: noduler (Parry’s disease), difus (Grave’s
disease)/Morbus Basedow
2. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid
- Tiroiditis akut
- Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
- Tiroiditis kronis (Hashimoto’s disease dan struma Riedel)
3. Neoplasma
- Neoplasma jinak (adenoma)
- Neoplasma ganas (adenocarcinoma) : papiliferum, folikularis,
anaplastic, medullary

2.2.3 Klasifikasi Struma


 Berdasarkan anatomi dan fisiologi
a. Struma difusa adalah pembesaran yang merata dengan konsistensi
lunak pada seluruh kelenjar tiroid dan batas pembesarannya sulit untuk
ditentukan. Pada struma diffusa pembesaran kelenjar tiroid terjadi

13
bilateral atau keseluruhan sehingga dapat terlihat keseluruhan leher
yang membengkak.
b. Struma nodusa adalah jika pembesaran tiroid terjadi akibat nodul. Pada
struma nodusa akan didapatkan satu atau beberapa benjolan yang
menyebabkan permukaan kelenjar tiroid tidak rata. Letak benjolan
biasanya asimetris dan batas ukurannya dapat ditentukan.
 Berdasarkan jumlah nodul
- Struma soliter (uninodusa): apabila nodulnya satu.
- Struma multiple (multinodusa): apabila lebih dari satu, baik
terletak pada satu atau kedua sisi lobus.
 Berdasarkan klasifikasi klinis dan patologis nodul tiroid
- Non-neoplastik nodul
 Hiperplastik (spontaneous dan kompensasi setelah tindakan
tiroidektomi parsial)
 Inflamasi (tiroiditis bakterial akut, tiroiditis subakut dan
tiroiditis limfositik (Hashimoto))
- Benign neoplasma
 Non-fungsional (nodul dingin) : padat atau campuran
(adenoma) dan kistik
 Fungsional (nodul hangat) : adenoma
- Malignant neoplasma
 Karsinoma primer : papillary, folicular, anaplastik dan
medulary
 Limfoma tiroid
 Tiroid metastasis dari primer
lainnya (Ashokkumar, 2016)

 Berdasarkan klinis
a. Struma nodusa non toksik: pembesaran kelenjar tiroid yang secara
klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai adanya tanda-tanda
hipertiroidisme yaitu eutiroid dan hipotiroid.

14
b. Struma nodusa toksik: terdapat tanda-tanda hipertiroid. Pada struma
toksik terjadi pelepasan hormon tiroid secara berlebihan sehingga
kadarnya di darah menjadi tinggi dan menyebabkan adanya gejala
hipertiroid pada penderitanya (Ashokkumar, 2016).

 Berdasarkan aspek fungsi kelenjar tiroid


a. Eutiroid
Keadaan dimana fungsi kelenjar tiroid berfungsi secara normal,
meskipun pemeriksaan kelenjar tiroid menunjukkan kelainan, gejala
yang terjadi jika seseorang sakit, mengalami kekurangan gizi atau telah
menjalani pembedahan, maka hormon tiroid T4 tidak diubah menjadi
T3. Akan tertimbun sejumlah besar hormone T3, yang merupakan
hormon tiroid dalam bentuk tidak aktif. Meskipun T4 tidak diubah
menjadi T3, tetapi keenjar tiroid tetap berfungsi dan mengendalikan
metabolisme tubuh secara normal (Amin Huda, 2016)
b. Hipotiroid
Keadaan dimana terjadi kekurangan hormon tiroid yang
dimanifestasikan oleh adanya metabolisme tubuh yang lambat karena
menurunnya konsumsi oksigen oleh jaringan dan adanya perubahan
personaliti yang jelas. Pasien dengan hipotiroid mempunyai sedikit
jumlah hormon tiroid sehingga tidak mampu menjaga fungsi tubuh
secara normal. Penyebab umumnya adalah penyakit autoimun, operasi
pengangkatan tiroid, dan terapi radiasi (Amin Huda, 2016)
c. Hipertiroid
Suatu keadaan atau gambaran klinis akibat produksi hormon tiroid
yang berlebihan oleh kelenjar tiroid yang terlalu aktif. Karena tiroid
memproduksi hormon tiroksin dan lodium, maka lodium radiaktif
dalam dosis kecil dapat digunakan untuk mengobatinya atau
mengurangi intensitas fungsinya (Amin Huda, 2016)

15
2.3 Nodul Tiroid
2.3.1 Definisi
Menurut American Thyroid Association (ATA), nodul tiroid adalah lesi
abnormal dalam jaringan tiroid. Nodul pada jaringan tiroid dapat berjumlah satu
atau lebih, berupa kistik, solid, atau campuran dan kadang disertai dengan gejala
klinis dari penyakit tiroid (American Thyroid Association, 2015).

2.3.2 Epidemiologi
Angka kejadian nodul tiroid dikatakan meningkat seiring dengan
peningkatan umur (>50 tahun). Pada praktik klinis, prevalensi nodul tiroid yang
ditemukan melalui pemeriksaan fisik palpasi adalah sebanyak 4%, pemeriksaan
ultrasound sebanyak 33% hingga 68%, dan melalui otopsi sebanyak kurang lebih
50%. Di Amerika Serikat, sekitar 275.000 kasus nodul tiroid baru terdeteksi setiap
tahunnya, namun hanya 1 dari 20 nodul yang terpalpasi yang merupakan nodul
maligna, dan insiden ditemukannya karsinoma tiroid secara klinis hanya 2 hingga
4 per 100.000 populasi setiap tahunnya. Sebagian besar nodul tiroid jinak, hanya
5- 20% dari nodul ganas (Deepthi et al, 2017; Pramudita dan Anak Agung, 2021).

2.3.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi nodul tiroid dapat berupa proses neoplastik maupun
nonneoplastik, dengan tipe sel yang bervariasi secara histologis (Pemayun, 2016).
 Nodul tiroid neoplastik
Secara histologis, sebagian besar nodul tiroid merupakan sel-sel turunan
dari sel folikular. Nodul tiroid neoplastik dapat bersifat jinak dan ganas.
Nodul jinak meliputi nodul fungsional dan nonfungsional. Baik pada nodul
soliter maupun multipel, tipe nodul jinak yang paling sering dijumpai
adalah nodul makrofolikular. Nodul tersebut dapat berupa adenoma atau
nodul koloid. Pada nodul yang bersifat ganas, didapatkan invasi vaskular
dan/atau kapsular. Etiologi nodul yang bersifat ganas umumnya
dihubungkan dengan radiasi dan translokasi RET (rearranged during
transfection) proto-onkogen.
 Nodul tiroid non-neoplastik
Nodul tiroid nonneoplastik meliputi nodul hiperplastik dan nodul akibat
16
inflamasi. Nodul dapat muncul pada beberapa kondisi, seperti tiroiditis
subakut, tiroiditis limfositik kronis, dan Grave’s disease. Kondisi lain
seperti lipoma dan paraganglioma juga dapat menimbulkan nodul di tiroid.
 Dicurigai bahwa parameter metabolik dan efek hormon estrogen
memegang peranan penting dalam kejadian nodul tiroid (Pramudita dan
Anak Agung, 2021)
Secara umum, faktor risiko nodul tiroid adalah kurangnya asupan yodium,
autoantibodi tiroid, obesitas, sindrom metabolik, cacat biosintetik, penyakit
autoimun dan penyakit nodular yang bekerja melalui mekanisme klinis yang
berbeda (Musa et al, 2019).

2.3.4 Klasifikasi
a. Benign
1) Follicular adenoma
2) Lain-lain : Hurtle cell adenoma, teratoma
b. Maligna
1) Follicular carcinoma
2) Medullary carcinoma
3) Papillary carcinoma
4) Anaplastic carcinoma
c. Nonepithelial tumors
d. Malignant lymphomas
e. Miscellaneous tumors
f. Secondary tumors
g. Unclassified tumors
h. Tumor-like lesion
(Paschke et al, 2017)

2.3.5 Patofisiologi
 Struma Nodusa Toksika
Kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua
sampai tiga kali dari ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan
lipatan-lipatan sel-sel folikel ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih
meningkat beberapa kali dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Selain itu,

17
setiap sel meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat dengan
kecepatan 5-15 kali lebih besar daripada normal (Ziaurrahman, 2017).
Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu
yang “menyerupai” TSH, biasanya bahan-bahan ini adalah antibodi
immunoglobulin yang disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang
berikatan dengan reseptor membran yang sama dengan reseptor yang mengikat
TSH. Bahan – bahan tersebut merangsang aktivasi cAMP dalam sel, dengan hasil
akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien hipertiroidisme kosentrasi
TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini mempunyai efek
perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam, berbeda
dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya sekresi hormon
tiroid yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan pembentukan TSH
oleh kelenjar hipofisis anterior. Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa”
mensekresikan hormon hingga di luar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan
tersebut, sel-sel sekretori kelenjar tiroid membesar atau terjadi struma toksik
(Ziaurrahman, 2017).

 Struma Nodusa Non-Toksika


Bahan dasar pembentukan hormon tiroid adalah iodium yang diperoleh
dari makanan dan minuman. Ion iodium (iodida) darah masuk ke dalam kelenjar
tiroid secara transport aktif dengan bantuan ATP sebagai sumber energi.
Selanjutnya sel- sel folikel kelenjar tiroid akan mensintesis tiroglobulin (sejenis
glikoprotein) dan selanjutnya mengalami iodinisasi sehingga akan terbentuk
diiodotironin (DIT) dan monoiodotironin (MIT). Proses ini memerlukan enzim
peroksida sebagai katalisator. Proses akhir adalah berupa reaksi penggabungan
dua molekul DIT akan membentuk tetraiodotironin atau tiroksin (T4) dan molekul
DIT bergabung dengan MIT menjadi triiodotironin (T3) untuk selanjutnya masuk
ke dalam plasma dan berikatan dengan protein binding iodine. Reaksi
penggabungan ini dirangsang oleh TSH. Defisiensi iodium dapat menyebabkan
sekresi hormon tiroid yang tidak adekuat, akan tetapi proses sintesis tiroglobulin
oleh sel-sel folikel kelenjar tiroid tetap berlangsung, akibatnya terjadi akumulasi
dari tiroglobulin yang dapat menyebabkan pembesaran pada kelenjar tiroid
(struma non-toksik) (Ziaurrahman, 2017).

18
2.3.6 Gejala dan Tanda
 Struma Nodusa Toksika
1) Gelisah emosi yang tidak stabil, ketakutan, insomnia (sering
terbangun di malam hari) dan mimpi buruk (hipermetabolisme dalam
sistem saraf)
2) Peningkatan nafsu makan tetapi berat badan cenderung turun (akibat
peningkatan metabolisme sel dan peningkatan kebutuhan kalori)
3) Terdapat benjolan pada leher depan bawah
4) Tidak tahan panas, gampang berkeringat
5) Sering berdebar-debar
6) Tangan tremor (bergetar)
7) Diare (peningkatan sekresi organ saluran cerna dan peningkatan
peristaltik usus)
8) Gangguan menstruasi berupa amenore sekunder atau metroragia
(Ziaurrahman, 2017)

 Struma Nodusa Non-Toksika


1) Riwayat dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti
penderita (struma endemik)
2) Apakah pernah sebelumnya mengalami rasa sakit leher depan bawah
disertai peningkatan suhu tubuh (tiroidits kronis)
3) Benjolan pada leher bagian depan bawah (bisa satu atau beberapa
benjolan)  keluhan : berat di leher karena bergerak naik turun saat
menelan
4) Struma yang besar dapat memberikan gejala penekanan trakea (sesak
nafas) akibat pembesaran bilateral  obstruksi pernapasan, gejala
stridor inspiratori, esofagus (disfagia) atau nervus rekurens
(perubahan suara)
5) Secara umum tidak memiliki keluhan karena tidak mengalami
hipotiroid atau hipertiroid
(Ziaurrahman, 2017)

19
2.3.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis yang telaten, pemeriksaan fisik yang seksama sering sudah
cukup mendukung dalam menegakkan diagnosis kerja yang tajam untuk penderita
struma. Selain hal-hal yang mendukung terjadinya struma akibat peradangan atau
hiperplasi dan hipertrofi, maka perlu juga ditanyakan hal-hal yang diduga ada
kaitannya dengan keganasan pada kelenjar tiroid, terutama pada struma uninodusa
nontoksika antara lain: (Pemayun, 2016)
- Umur < 20 tahun atau > 50 tahun
- Riwayat terpapar radiasi leher waktu kanak-kanak
- Pembesaran kelenjar tiroid yang cepat
- Disertai suara parau
- Disertai disfagia
- Disertai nyeri
- Riwayat keluarga yang menderita kanker
- Penderita struma hiperplasi, diterapi dengan hormone tiroksin tetap
membesar
- Disertai sesak nafas
Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik untuk mengetahui adanya
gangguan fungsi pada penderita struma, maka harus ditanyakan dan diperiksa hal-
hal yang mendukung adanya hipertiroid, antara lain: (Pemayun, 2016).
- Berat badan turun, makannya banyak akan tetapi badan tetap kurus
(Paradoxa Muller).
- Kulit basah (hiperhidrosis), telapak tangan terasa hangat/panas/lembab dan
kulit telapak tangan terasa halus akibat hipermetabolisme dan
hiperhidrosis pada kelenjar keringat. Penderita tidak tahan terhadap hawa
panas lebih tahan terhadap hawa dingin.
- Takikardia, bila tidur nadinya tetap cepat, waspada ancaman atrial fibrilasi.
- Tremor, gejala ini hampir selalu ada. Suruh penderita meluruskan
lengannya ke depan dan merentangkan jari-jarinya, sambil memejamkan
mata, diletakkan sehelai kertas diatas jari-jarinya, maka akan terlihat ada
atau tidak tremor.
- Eksoptalmus, hampir 50% penderita, bisa bilateral atau unilateral.
Patofisiologi belum jelas. Diduga akibat penambahan lemak dan infiltrasi
20
limfosit retrobulbar.
- Gelisah, hipermetabolisme system saraf membuat niali ambang saraf
menurun, sehingga penderita menjadi iritabel, timbul tremor halus,
depresi.
- Diare, hipereristaltik pada sitem pencernaan, mengakibatkan absorbsi tidak
sempurna, dengan gejala akibatnya antara lain kekurangan vitamin dan
mineral.
- Thyroid thrill, hipervaskular pada tiroid.
- Gangguan keseimbangan hormonal lain, gangguan pola menstruasi.
- Kelainan kulit, karena hipermetabolisme kulit, maka kulit hangat dan halus
(fine texture) dan karena vasodilatasi, bila digores akan membekas
(dermografi).
Biasanya penderita struma nodusa tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi
jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering
berangsur- angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di
leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodusa dapat hidup dengan
strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodusa tidak mengganggu
pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodusa unilateral dapat
menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan
demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang
berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea
dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu
menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat
karena terfiksasi pada trakea (Pemayun, 2016).

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien struma dilakukan secara sistematis (urut
dari atas ke bawah), simetris (bandingkan kanan dan kiri), simultan (kanan dan
kiri bersamaan). Secara rutin harus dievaluasi juga keadaan kelenjar getah bening
lehernya, adakah pembesaran, dianjurkan penderita membuka bajunya.
21
Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala
penderita sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi,
dengan demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua
tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat jari
yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah kelenjar
tiroid sewaktu penderita disuruh menelan (Deepthi et al, 2017).

Pada struma yang besar dan masuk retrosternal, maka tidak dapat diraba
trakea dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan
yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih bisa
digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi
terfiksir apabila sangat besar, keganasan yang sudah menembus kapsul, tiroiditis
dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi. Untuk memeriksa struma yang
berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri penderita), maka dilakukan dengan jari
tangan kiri diletakkan di medial di bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan
tersebut ke kanan. Kemudian ibujari tangan kanan diletakkan di permukaan
anterior benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus
sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan: (Deepthi et al, 2017).
 Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus
 Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
 Jumlah nodul: satu (uninodusa) atau lebih dari satu (multinodusa)
 Konsistensi: kistik, lunak, kenyal, keras
 Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
 Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoideus
 Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak.

c. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid: Pemerikasaan
hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay (RIA)
dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah.
Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar

22
normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat
membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0- 2,6
nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui
hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang
meningkat sampai 3 kali normal. Dalam kasus TSH serum normal atau tinggi,
diagnostik US harus dilakukan. TSH normal harus diikuti dengan biopsi jarum
jika sesuai, dan TSH tinggi harus mendapatkan pemeriksaan untuk hipotiroidisme
(antibodi anti tiroid peroksidase juga harus diperoleh untuk mengkonfirmasi
tiroiditis Hashimoto) selain biopsi jarum bila diindikasikan (Kariadi et al, 2014).

2) Metode Pencitraan
Palpasi leher sangat tidak tepat dalam menentukan morfologi dan ukuran
nodul tiroid. Untuk alasan ini, metode pencitraan semakin banyak digunakan,
meskipun tidak ada metode pencitraan yang dapat secara akurat membedakan
nodul jinak dan ganas. Sampai batas tertentu, karakterisasi morfologi termasuk
stratifikasi risiko kanker tiroid dari lesi terletak pada modalitas pencitraan.
 Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan US sangat akurat dan sensitif dalam mengevaluasi
nodul tiroid. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
- Menentukan jumlah nodul membedakan antara lesi tiroid padat
dan kistik, mengukur volume dari nodul tiroid mendeteksi adanya
jaringan kanker tiroid residif yang tidak terlihat sidik tiroid
- Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah
- Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
Ultrasonografi adalah pilihan pertama studi pencitraan untuk
evaluasi kelenjar tiroid. Indikasi pemeriksaan USG pada nodul tiroid
adalah: a) semua jenis nodul tiroid, b) nodul tiroid dengan riwayat
radiasi leher, dan c) nodul tiroid dengan riwayat kanker tiroid familial,
multiple endokrin neoplasia (MEN) tipe 2, bahkan jika kelenjar tampak
normal dengan palpasi (Pemayun, 2016).
 X-ray
Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas
adanya deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada
23
umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi
AP dan Lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas
sehubungan dengan intubasi anastesinya. Bahkan tidak jarang untuk
konfirmasi diagnostik tersebut sampai memerlukan CT-scan leher.
Rontgen thorax juga di perlukan untuk melihat metastatis (Kariadi et al,
2014).
 CT Scan/MRI
CT scan/MRI tidak rutin dilakukan. Tujuan dari CT scan/MRI
adalah untuk untuk staging dan rencana pembedahan. Indikasi dilakukan
pemeriksaan tersebut adalah: (Huang et al, 2013)
- Massa tiroid yg terfiksasi
- Limfadenopati servikal
- Retrosternal goiter
- Mendeteksi metastasis ke paru
- Menekanan jaringan sekitar yaitu: Laring – faring, trakea,
esofagus, pembuluh darah besar

3) Pemeriksaan Sitologi dan Histologi


Aspirasi jarum halus dan indikasinya. Ini adalah studi yang paling penting,
yang tidak boleh ditinggalkan dengan adanya nodul tiroid. Ada 3 pertimbangan
utama untuk mengkategorikan dan menentukan apakah nodul harus menjalani
FNAB: riwayat pasien, ukuran nodul, dan fitur ultrasonografi. Dalam konteks
nodul yang teraba, FNAB dapat dilakukan dengan atau tanpa panduan
ultrasonografi. Disarankan ultrasonografi-FNAB dilakukan pada: 1) nodul yang
tidak teraba lebih besar dari 1 cm, 2) nodul yang teraba lebih kecil dari 1,5 cm, 3)
nodul yang sangat dalam, 4) nodul yang dekat dengan pembuluh darah, 5) nodul
setelah nondiagnostik FNAC konvensional, 6) nodul kistik atau campuran,
terutama jika FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) konvensional nondiagnostik
sebelumnya dan 7) koeksistensi limfadenopati yang tidak teraba. Untuk nodul
yang berada di luar kriteria biopsi, masuk akal untuk melakukan tindak lanjut
ultrasonografi tiroid interval (Pemayun, 2016).

24
4) Skintigrafi Tiroid
Skintigrafi kelenjar tiroid menggunakan salah satu radioisotop yodium
(biasanya I) atau teknesium-99 perteknetat (99tc). Penggunaannya
direkomendasikan pada pasien dengan penekanan TSH untuk
mendokumentasikan apakah nodul berfungsi atau tidak, sebelum biopsi jarum.
Dengan demikian, nodul dianggap berfungsi atau "panas" (yaitu memiliki serapan
pelacak lebih besar dari tiroid normal di sekitarnya), tidak berfungsi atau "hangat"
(yaitu memiliki serapan pelacak sama dengan tiroid di sekitarnya), dan tidak
berfungsi atau "dingin" (yaitu memiliki penyerapan kurang dari jaringan tiroid
sekitarnya). Skintigrafi memberikan informasi fungsional daripada morfologis,
bertentangan dengan ultrasonografi. Skintigrafi sebagian besar telah digantikan
oleh ultrasonografi tetapi masih memiliki setidaknya 2 peran: mengidentifikasi
nodul hiperfungsi ketika TSH rendah ditemukan pada pengujian awal, dan sampai
batas tertentu, menentukan nodul mana yang akan diambil sampelnya pada pasien
dengan nodul multipel. Nodul panas tidak memerlukan FNA, karena jarang
mengandung kanker. Ini adalah nodul dingin yang menjamin FNA, tergantung
pada ukuran dan karakteristik ultrasonografi (Pemayun, 2016).

2.3.8 Penatalaksanaan
Pilihan terapi nodul tiroid terdiri dari terapi supresi dengan farmakoterapi,
pembedahan, dan iodium radioaktif.
 Farmakoterapi
- Golongan Tionamid (Methimazole, Propylthiouracil, Carbimazole)
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan
imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan

25
imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat
golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya
sama dengan metimazol. Obat golongan tionamid mempunyai efek
intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah
mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan
cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat
coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi
ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3
di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar
kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih
dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera
hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek
penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU,
sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal (Deepthi et al, 2017).
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai
dosis dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT.
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU
dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang
biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah
pengobatan. Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian
obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah
terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan
(dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari) (Deepthi et al, 2017).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal
100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi
50-200 mg, 1 atau 2 kali sehari. Propylthiouracil mempunyai kelebihan
dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4
menjadi T3. Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga
dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan
dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan
dengan
26
dosis pemeliharaan 5–20 mg perhari (Deepthi et al, 2017).
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya
dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis
PTU dimulai dengan 3 x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol
dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu
pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan
sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik,
dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan
metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan
keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila
dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan
biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal,
tentu dengan memperhatikan faktor- faktor penyebab lainnya seperti
ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis (Deepthi et al,
2017).
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan
timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai
efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati,
lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat
sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan
dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.
Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika (Deepthi et
al, 2017).
- Tiroksin Sintetis (T4: Levothyroxine)
Tiroksin Sintetis (T4) adalah pilihan terapi untuk hipotiroidisme
primer. Pada jaringan perifer, T4 mengalami proses deiodinasi menjadi
Triiodotironin (T3) yaitu bentuk aktif dari hormon tiroid. Pada pasien
muda yang sehat, dosis awal dimulai dari 50 sampai 200 mcg per hari.
Meskipun formula dari T4 (Synthroid, Levoxyl, bentuk generik)
mungkin memiliki sedikit perbedaan dalam hal
27
bioavailabilitasnya, namun sebuah penelitian mengatakan bahwa
bioekivalensi antara masing-masing formula bisa sama/setara. Dosis
obat dapat dikurangi untuk pasien yang lebih tua dan ditambah untuk
pasien yang sedang hamil. Karena T4 memiliki waktu paruh 7-10 hari,
pasien hipotiroid bisa melewatkan beberapa hari tanpa T4 dan tidak
akan menimbulkan konsekuensi buruk. Apabila pasien tidak dapat
makan lebih dari seminggu, T4 parenteral (80% dari dosis oral pasien)
bisa diberikan (Pemayun, 2016).
- Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida,
sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis
tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas,
dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di
samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -
meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya
terhadap konversi T- 4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya
berkisar 80 mg/hari.
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat
beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan
nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40
mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol. Pada umumnya
obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping
yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue,
dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam,
agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini
dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal
jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium, juga pada keadaan
bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam
terapi penghambat monoamin oksidase (Deepthi et al, 2017).

28
 Pembedahan
Indikasi operasi pada struma antara lain :
- Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
- Struma uni atau multinodusa dengan kemungkinan keganasan
- Struma dengan gangguan tekanan
- Kosmetik.
Kontraindikasi operasi pada struma:
- Struma toksik yang belum dipersiapkan sebelumnya
- Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain
yang belum terkontrol
- Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang
demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya.
Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukan
reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan
lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
- Struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya
karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah
dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan
mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupakan operasi bersih dan
tergolong operasi besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil
tergantung patologiya serta ada tidaknya penyebaran dari karsinomanya.
Ada enam macam operasi, yaitu:
- Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang
mengandung jaringan patologis.
- Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan
satu sisi lobus tiroid.
- Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang
mengandung jaringan patologis, meliputi kedua lobus tiroid.
- Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang

29
patologis berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.
- Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid (Deepthi et
al, 2017).

 Terapi dengan Iodium Radioaktif (Radioiodine 131)


Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1) small
goiter (volume <100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan malignancy, (3)
penderita dengan riwayat operasi sebelumnya, (4) penderita dengan resiko
tindakan bedah (Puzziello et al, 2014; Knoble, 2015).
Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan
membutuhkan radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat
menyebabkan terjadinya efek resiten terhadap terapi. Satu satunya kontra
indikasi prosedur ini adalah kehamilan dan laktasi, yang bisa dideteksi
segera dengan tes kehamilan pada penderita (Puzziello et al, 2014).
Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85%-100% penderita
tiroid nodul. Masa nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga bulan,
bahkan mengecil sampai 45% setelah 24 bulan terapi). Pengobatan ini
efektif dan aman, meskipun penelitian lain melaporkan bahwa pengunaan
dosis tinggi dapat menyebabkan thyroid cancer, leukemia; namun
demikian, studi epidemiologi tidak menunjukkan efek klinis yang
signifikan terhadap timbulnya carcinoma dan leukemia (Puzziello et al,
2014).
Penggunaan high-iodine-content-drugs (misalnya: amiodarone)
hendaknya dihindari sebelum melakukan prosedur terapi dengan
radioiodine, agar tidak mempengaruhi thyroid radioiodine uptake. Jika
mungkin, obat anti-tiroid hendaknya distop tiga mingu sebelim prosedur
pengobatan, dan tidak boleh diberikan selama 3-5 hari pasca prosedur
terapi dengan radioiodine, untuk mencegah menurunnya efektifitas terapi.
Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300 –
1800 MBq, dosis ini tanpa mempertimbangkan ukuran nodul. Sehinga
prosedur ini simple, murah, dan hasilnya memuaskan. Prosedur ini
dibilang berhasil jika nilai TSH mecapai 0,5 μIU/mL. Jika kondisi ini
30
belum tercapai,

31
maka terapi dapat diulang setelah 3 sampai 6 bulan (Puzziello et al, 2014).

2.3.9 Komplikasi
Komplikasi yang perlu diperhatikan dan mungkin terjadi pada pasien
pasca operasi thyroidectomy adalah gangguan pada pita suara akibat dari rusaknya
nervus laryngeal rekurens saat operasi. Mekanismenya dapat berupa iskemi,
kontusi, traksi, dan transeksi. Suara pasien akan menjadi serak jika yang terkena
saraf pada salah satu sisi (unilateral) atau terjadi aphonia dan stridor jika yang
terkena adalah saraf pada kedua sisi kelenjar tiroid (bilateral). Resiko dari
kerusakan saraf selama pembedahan akan meningkat pada operasi keganasan
tiroid dan operasi untuk kedua kalinya serta variasi dari anatomi pasien.
Pengobatan dari paralisis pita suara tersebut dapat berupa injeksi intrachorda,
pembedahan laring, thyroplasty, dan reinervasi laring (Sidemen, 2016).
Tracheomalacia atau kolaps trakea juga mungkin terjadi pada pasien pasca
operasi thyroidectomy. Biasanya terjadi akibat kompresi trakea yang lama pada
nodul tiroid yang besar. Kondisi ini dapat membahayakan nyawa pasien dan harus
diketahui sebelum dilakukan ekstubasi serta harus segera ditangani (Sidemen,
2016).

2.3.10 Prognosis
Penentu prognosis yang buruk termasuk usia yang lebih muda (<10 tahun),
nodul telah menyebar ke paru yang luas, dan telah menyebar ke trakea dan laring.
Kanker tiroid meduler dan kanker anaplastik juga mengakibatkan hasil yang
buruk (Deepthi et al, 2017).

32
BAB III
LAPORAN
KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. NKK
Tanggal lahir/umur : 01-07-1965
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kawin
Suku/Bangsa : WNI
Agama : Hindu
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat KTP : Karang Mejeti, Narmada
No. Rekam Medis : 442110
Tanggal masuk RS : 24-05-2022

3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama : Benjolan di leher
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien perempuan usia 56 tahun datang ke poli bedah rumah sakit umum daerah
(RSUD) Kota Mataram pada tanggal 20 Mei 2022 diantar oleh keluarganya
dengan keluhan terdapat benjolan di leher. Benjolan dirasakan pada sisi kiri
leher bagian depan tanpa disertai nyeri. Benjolan dirasakan sejak 15 tahun yang
lalu. Benjolan dirasakan menetap sejak pertama kali muncul dan semakin
membesar. Pasien mengatakan bejolan tersebut mengakibatkan ia kesulitan
dalam mengunyah dan menelan makanan, namun tidak mengganggu pernafasan.
Keluhan lain seperti berdebar, berkeringat, lemas, dan penonjolan pada mata
disangkal. Pasien juga menyangkal adanya perubahan suara yang ia alami.

33
c. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat keluhan yang sama : (-)
 Riwayat hipertensi : (-)
 Riwayat diabetes melitus : (-)
 Riwayat stroke : (-)
 Riwayat penyakit jantung : (-)
 Riwayat alergi : (-)
 Riwayat hipertiroid dan : (-)
hipotiroid

d. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat keluhan yang sama : (-)
 Riwayat hipertensi : (-)
 Riwayat diabetes melitus : (-)
 Riwayat stroke : (-)
 Riwayat penyakit jantung : (-)
 Riwayat hipertiroid dan : (-)
hipotiroid

e. Riwayat Sosial dan Pribadi


 Riwayat merokok dan minum alkohol (-)
 Konsumsi obat-obatan terlarang (-)
 Beraktivitas ringan.
 Pola makan teratur 3x sehari
 Tidak ada alergi makanan dan obat-obatan

34
3.3 Pemeriksaan Fisik
A. Status Present
Keadaan Umum : Baik
GCS : Composmentis (E4V5M6)
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 68 x/menit
Respiratory Rate : 18 x/menit
Suhu : 36,5 °C
Sp O2 : 98%

B. Status Generalis
Kepala : Normocephali, warna rambut hitam distribusi
merata, tidak mudah dicabut, tidak ditemukan
cedera kepala.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil bulat isokor (3mm x 3mm), refleks pupil
(+/+).
Hidung : Deformitas (-/-), peradangan (-/-), massa (-/-),
septum deviasi (-/-), sekret (-/-).
THT : Dalam batas normal
Mulut : Hygiene mulut baik, bibir pucat (-), sianosis (-),
lidah kotor (-), mukosa hiperemi (-)
Leher : Peradangan (-), nyeri tekan (-), pembesaran
KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (+) dan
mengikuti pergerakan saat menelan, deviasi
trakea (-)
Thorax : Normochest, simetris kanan dan kiri.

35
- Inspeksi: Peradangan (-), massa (-), barrel
cheast (-), pigeon cheast (-), ictus cordis
tidak tampak.
- Palpasi: Nyeri (-), vocal fremitus simetris
kanan dan kiri, ictus cordis teraba kuat
angkat di ICS 5.
- Perkusi: Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi: Vesikuler seluruh lapang paru.
Abdomen : - Inspeksi: Simetris kanan dan kiri, distensi
(-), massa (-), peradangan (-).
- Auskultasi: Bising usus (+).
- Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba
- Perkusi: timpani pada seluruh lapang
abdomen.
Ekstremitas :
 Atas Akral teraba hangat kanan dan kiri, CRT < 2
detik, edem (-), pitting edem (-), tremor (-).
 Bawah Akral teraba hangat kanan dan kiri, CRT < 2
detik, edem (-), pitting edem (-).

C. Status Lokalis
 Leher
- Inspeksi: terdapat pembesaran pada leher bagian depan, warna sama
dengan warna kulit sekitar.
- Palpasi: terdapat benjolan pada leher bagian depan pada lobus kiri,
ukuran pada lobus kiri sekitar 4x2 cm, konsistensi padat kenyal,
permukaan rata, berbatas tegas, ikut bergerak saat menelan, tanpa
disertai nyeri tekan, tidak ada panas saat perabaan. Tidak teraba
pembesaran kelenjar getah bening.
- Auskultasi: tidak ada bruit maupun thrill.

36
3.4 Diagnosis Banding
 Nodul tyroid
 Nodul koloid
 Kistik
 Adenoma tyroid
 Karsinoma tyroid

3.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
 20 Mei 2022
PEMERIKSAAN HASIL Unit NILAI
NORMAL
Hematologi
WBC 7.79 x10˄3/uL 3.60-11.0
Neo% 64.3 % 50.0-70.0
Lym% 15.7 % 18.0-42.0
Mon% 5.1 % 2.0-11.0
Eos% 14.4 % 1.0-3.0
Bas% 0.5 % 0.0-2.0
Neu# 64.3 x10˄3/uL 2.30-6.10
Lym# 1.22 x10˄3/uL 0.80-4.80
Mon# 0.40 x10˄3/uL 0.45-1.30
Eos# 1.12 x10˄3/uL 0.00-0.40
Bas# 0.04 x10˄3/uL 0.00-0.10

RBC 4.67 x10˄6/uL 4.00-5.40


HGB 14.0 g/dL 11.7 -15.5
HCT 42.4 % 35.0 – 47.0
MCV 90.8 fL 80.0-100.0
MCH 29.9 pg 26.0-34.0
MCHC 32.9 g/dL 32.0-36.0

37
RDW-CV 13.1 % 11.5-14.5

PLT 201 x10˄3/uL 150-450

APTT Hasil Satuan Nilai Rujukan


Pasien 24.9 Detik 23.9 - 39.8
Kontrol 24.1 Detik

Kimia Darah
SGPT 28 U/L 10 - 40
SGOT 16 U/L 15 – 40
Glukosa 101 mg/dL 80 – 120
sewaktu
Urea darah 25.0 mg/dL 17.0 – 43.0
Kreatinin 0.84 mg/dL 0.90 – 1.30
darah
eGFR 98 ml/min/1.73m2 >90 ml/min/1.73m2

Hormon 25 Mei 2022


TSH 0.468 uIU/mL 0.3500 – 4.9400
FT4 1.16 Ng/dL 0.70 – 1.48

38
b. Pemeriksaan USG Coli
 19 Mei 2022

Tyroid kanan : Bentuk dan ukuran normal, echoparenchym homogen,


kapsul utuh, tampak kista ukuran 0.2 x 0.22 x 0.22 cm, kalsifikasi (-),
pada dopler tak tampak hipervaskularisasi.

Tyroid kiri : Bentuk ukuran normal, echoparenchym homogen, kapsul


utuh, tampak masa solid isoechoid batas tegas tepi regular, meluas ke
itsmus ukuran 4.29 x 2.2 x 3 cm , kalsifikasi (-), pada dopler tak tampak
hipervaskularisasi

Kesan :

 Struma nodusa tyroid kiri dan isthmus, benign lesion (TYRADS 2)

 Struma cystica tyroid kanan, benign lesion (TYRADS 2)

3.6 Diagnosis
Multiple nodule tyroid

3.8 Penatalaksanaan
 Rencana (Plan) :
- Isthmolobektomy
- Biopsi PA (patologi anatomi)

39
3.9 Prognosis
 Ad Vitam : dubia ad bonam
 Ad Functionam : dubia ad bonam
 Ad Sanationam : dubia ad bonam

40
BAB IV
PEMBAHASA
N

Pasien perempuan usia 56 tahun datang ke poli bedah rumah sakit umum
daerah (RSUD) Kota Mataram pada tanggal 20 Mei 2022 diantar oleh
keluarganya dengan keluhan terdapat benjolan di leher. Benjolan dirasakan pada
sisi kiri leher bagian depan tanpa disertai nyeri. Benjolan dirasakan sejak 15 tahun
yang lalu. Benjolan dirasakan menetap sejak pertama kali muncul dan semakin
membesar. Pasien mengatakan bejolan tersebut mengakibatkan ia kesulitan dalam
mengunyah dan menelan makanan, namun tidak mengganggu pernafasan.
Keluhan lain seperti berdebar, berkeringat, lemas, dan penonjolan pada mata
disangkal. Pasien juga menyangkal adanya perubahan suara yang ia alami.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan status present pasien
dalam keadaan yang normal, pemeriksaan status generalis dalam batas yang
normal. Pada pemeriksaan status lokalis leher didapatkan pembesaran pada leher
bagian depan, saat dilakukan palpasi terdapat benjolan pada leher bagian depan
pada lobus kiri, ukuran pada lobus kiri sekitar 4 x 2 cm, konsistensi padat kenyal,
permukaan rata, berbatas tegas, ikut bergerak saat menelan, tanpa disertai nyeri
tekan, tidak ada panas saat perabaan. Tidak teraba pembesaran kelenjar getah
bening dan pada auskultasi tidak ada bruit maupun thrill.
Berdasarkan teori, biasanya penderita struma nodusa tidak mengalami
keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin
tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak
berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena
pertumbuhannya sering berangsur- angsur, struma dapat menjadi besar tanpa
gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodusa
dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodusa
tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke depan.
Pada pasien struma biasanya pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
benjolan sehingga tidak terlihat simetris, timbul tanda-tanda gangguan pernapasan
apabila benjolan sudah menekan trakea, ikut bergerak saat menelan atau tidak.
41
Pada

42
palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut benar adalah
kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien
diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut
bergerak saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan
kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pada pemeriksaan USG Coli didapatkan masa solid isoechoid batas tegas
tepi regular pada tyroid kiri, meluas ke itsmus ukuran 4.29 x 2.2 x 3 cm,
sedangkan tyroid kanan tampak kista ukuran 0.2 x 0.22 x 0.22 cm. Berdasarkan
teori pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengukur fungsi tiroid, untuk
mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik
radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau plasma darah untuk
menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosa dengan multiple nodul tiroid, jika didasarkan pada klasifikasi
klinis pasien termasuk dalam struma nodusa non-toksika karena tidak terdapat
gejala-gejala hipertiroid. Penatalaksaan pada pasien ini adalah tindakan
pembedahan yaitu isthmolobektomi dimana dilakukan pengangkatan tiroid salah
satu lobus beserta isthmusnya (kelenjar tiroid di antara lobus kanan dan kiri,
bagian tengah). Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tindakan
pembedahan pada pasien soliter nodul tiroid adalah dengan memperhatikan hasil
pemeriksaan hormon tiroid pasien.

43
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran kasus diatas, dapat ditarik suatu diagnosis kerja
pada Ny. NKK yang berusia 56 tahun yaitu soliter nodul tiroid (SNT) Sinistra. Hal
ini didasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan kepada pasien. Berdasarkan hasil anamnesis, pasien
memiliki keluhan benjolan leher di bagian kanan namun tanpa adanya keluhan.
Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan pembesaran pada leher bagian depan, saat
dilakukan palpasi terdapat benjolan pada leher bagian depan pada lobus kiri,
ukuran pada lobus kiri sekitar 4 x 2 cm, konsistensi padat kenyal, permukaan rata,
berbatas tegas, ikut bergerak saat menelan, tanpa disertai nyeri tekan, tidak ada
panas saat perabaan. Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening dan pada
auskultasi tidak ada bruit maupun thrill. Pada pasien ini kemudian dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan USG.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil T4 dan TSH normal. Pada
pemeriksaan USG Coli didapatkan masa solid isoechoid batas tegas tepi regular
pada tyroid kiri, meluas ke itsmus ukuran 4.29 x 2.2 x 3 cm, sedangkan tyroid
kanan tampak kista ukuran 0.2 x 0.22 x 0.22 cm, kalsifikasi (-), pada dopler tak
tampak hipervaskularisasi. Pada kasus ini dilakukan tindakan isthmolobektomi.

44
DAFTAR PUSTAKA

Ashokkumar, Sithamparapillai. 2016 ‘Management of thyroid nodules’, Journal


of Otolaryngology-ENT Research, 4(1).

Amin Huda, H. K. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Edisi Revisi Jilid 1.


Jogjakarta: Mediaction.

American Thyroid Association. 2016 ‘American Thyroid Association


Management Guidelines for Adult Patients with Thyroid Nodules and
Differentiated Thyroid Cance’, 26(1).

Ahmad, Hussein Ali Abed. 2016 ‘Management of Solitary Thyroid Nodule at Al-
Karama Teaching Hospital’, Journal of Health, Medicine and Nursing, 32,
pp. 40-44.

Deepthi, M; Sukthankar dan Narsimloo. 2017 ‘Solitary Nodule Thyroid:


Diagnosis and Management’, International Journal of
Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery, 3(3), pp. 611-615.

Gharib H, Papini E, Paschke R, Duick DS, Valcavi R, Hegedus L et al. 2010.


Medical Guidelines For Clinical Practice For The Diagnosis And
Management of Thyroid Nodules. American Association of Clinical
Endocrinologist, Associazione MEDICI Endocrinologi, and European
Thyroid Association for the AACE/AME/ETA Task Force on Thyroid
Nodules. Endocrine Practice;16(1);1-43.

Haugen BR, Alexander EK, Bible KC, Doherty GM, Mandel SJ, Nikiforov YE, et
al. 2015. Management Guidelines for Adult Patients with Thyroid Nodules
and Differentiated Thyroid Cancer The American Thyroid Association

45
(ATA) Guidelines Task Force on Thyroid Nodules and Differentiated
Thyroid Cancer. American Thyroid Association, 26(1), pp. 1-133

Huang T, Hung J, Wu M, Chen s, Wu C and Tam K. 2013 ‘Systematic review of


clinical practice guidelines in the diagnosis and management of thyroid
nodules and cancer’, BMC Medicine, 11(191), pp. 1-9.

Kariadi KS, Hartini S, Sumual A. 2014 ‘Struma Nodusa Non Toksik &
Hipertiroidisme’, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing, pp. 757-778.

Knoble M. 2015 ‘Etiopathology, Clinical featur and Treatment of Diffuse and


Multinodular Non Toksik Goiters’.

Musa, Dildar Haji et al. 2019 ‘A Clinicopathological Study of Thyroid Nodules’,


Duhok Medical Journal, pp. 32-43.

Musa IR, Ahmad ME, Raddady FSA, Rabih WRA, Elsayed EM, Mohamed GB,
Gasim GI. 2017 ‘Predictors of a follicular nodule (Thy3) outcome of
thyroid fine needle aspiration cytology among Saudi patients’. BMC Res
Notes, 10(621), pp. 1-7.

Nasr, Burkan et al. 2021 ‘Solitary Thyroid Nodule: Clinical, Sonography and
Pathological Evaluation Risk of Malignancy’, International Journal of
Otolaryngology and Head & Neck Surgery, 10(5).

Nada A. Ahmed MA, Vilallonga R Armengol M, Moustafa I, et al. A Giant


Euthyroid Endemic Multinodular Goiter with No Obstructive or
Compressive Symptoms. Gyza, Mesir. 2011. Case report in medicine.
Volume 2011, Article ID 620480, doi:10.1155/2011/620480.

46
Netter, Frank H. 2014 ‘Atlas of Human Anatomy’, 25th Edition, Jakarta: EGC.

Paschke et al, 2017. ‘EuropeanThyroid Association Guidelines regarding Thyroid


Nodule Molecular Fine-Needle Aspiration Cytology Diagnostic.’
European thyroid journal. 6(3). pp. 115-129.

Pemayun, Tjokorda Gde Dalem. 2016 ‘Current Diagnosis and Management of


Thyroid Nodules’, The Indonesian Journal of Internal Medicine, pp. 247-
257.

Pramudita, Nyoman dan Anak Agung Gede Budhi Kusuma. 2021 ‘Diagnosis dan
Penatalaksanaan Nodul Tiroid Tunggal: Sebuah Laporan Kasus’, Intisari
Sains Medis, 12(3), pp. 677-681.

Puzziello A, Carrano M, Angrisani E, Marotta V, Faggiano A, Zeppa P, Vitale M.


2014 ‘Evolution of benign thyroid nodules under levothyroxine non-
suppressive therapy’, J Endocrinol.

Sidemen, I Gusti Ayu Prema Yani. 2016 ‘Nodul Tiroid Soliter’, Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali.

Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Tampatty, G., Tubagus, V., & Rondo, A. 2018 ‘Profil Pemeriksaan Ultrasonografi
pada Pasien Struma dibagian/SMF Radiologi FK UNSRAT RSUP Prof.
Dr.
R. D. Kandou Manado Periode Januari 2018 - Juni 2018’, pp. 1–6.

Tortora, G. J. dan Derrickson, B. 2014 ‘Principles of Anatomy and Physiology’,


in Principles of Anatomy and Physiology. 14th edn. United States of
America: John Wiley & Sons, pp. 712–748.

47
Uyar O, Cetin B, Aksel B, Dogan L, Beksac K, Akgul GG, Berberoglu U,
Gulcelik MA. 2017 ‘Malignancy in Solitary Thyroid Nodules: Evaluation
of Risk Factors. Oncol Res Treat’, pp. 360-363.

Ziaurrahman, Muhammad. 2017 ‘Faktor yang Berkontribusi Terhadap Penyakit


Struma Di Rumah Sakit Syekh Yusuf Tahun 2014’, Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Makassar.

48

Anda mungkin juga menyukai