OLEH:
Ilman Rahaswin Bolkiah
017.06.0032
PEMBIMBING
dr. Adi Madethen, Sp. B
Puja dan Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
segala limpahan nikmat-Nya saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang
berjudul “Nodul Tiroid”. Dalam penyusunan laporan ini, saya banyak
mendapatkan bantuan, bimbingan, masukan dan motivasi dari berbagai pihak baik
secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini, saya
menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen yang telah memberi arahan dan
penjelasan tentang tata cara penulisan laporan ini.
Saya menyadari, penulisan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram yang sedang menjalani
kepanitraan klinik di RSUD Kota Mataram.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3
2.1 Kelenjar Tiroid.............................................................................................3
2.1.1 Anatomi Kelenjar Tiroid..................................................................3
2.1.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid..................................................................6
2.1.3 Histologi Kelenjar Tiroid...............................................................10
2.2 Struma........................................................................................................10
2.2.1 Definisi Struma................................................................................11
2.2.2 Etiologi Struma................................................................................12
2.2.3 Klasifikasi Struma............................................................................13
2.3 Nodul Tiroid...............................................................................................15
2.2.1 Definisi.............................................................................................15
2.2.2 Epidemiologi....................................................................................15
2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko...............................................................15
2.2.4 Klasifikasi........................................................................................16
2.2.5 Patofisiologi.....................................................................................16
2.2.6 Gejala dan Tanda.............................................................................18
2.2.7 Diagnosis..........................................................................................19
2.2.8 Penatalaksanaan...............................................................................24
2.2.9 Komplikasi.......................................................................................30
2.2.10 Prognosis.........................................................................................30
BAB III LAPORAN KASUS...............................................................................32
3.1 Identitas Pasien...........................................................................................31
3.2 Anamnesis...................................................................................................31
iii
3.3 Pemeriksaan Fisik.......................................................................................33
3.4 Diagnosis Banding......................................................................................35
3.5 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................35
3.6 Diagnosis Kerja...........................................................................................37
3.7 Penatalaksanaan..........................................................................................37
3.8 Prognosis.....................................................................................................38
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................39
BAB V PENUTUP................................................................................................41
5.1 Kesimpulan.................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................42
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB 1
PENDAHULUAN
2
1,5% dan sering ditemukan dengan sifat ganas sekitar 26%. Di India tahun 2009
prevalensi struma berkisar 12,2%, Prevalensi struma di Indonesia tahun 2007
sebesar 14.7 % (Gharib et al, 2010; Haugen et al, 2015).
Struma dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiologis, yaitu eutirodisme,
hipotiroidisme, dan hipertiroidisme; berdasarkan morfologi yaitu struma difus dan
struma nodular/multinodular; serta berdasarkan klinis, yaitu struma toksik dan non
toksik. Pertumbuhan atau benjolan di kelenjar tiroid muncul sebagai
pembengkakan di depan leher yang bergerak dengan deglutisi. Prevalensi
benjolan ini tergantung pada berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, diet,
kekurangan yodium, daerah endemik, sabuk fluorosis dan paparan radiasi.
(Deepthi et al, 2017).
Nodul tiroid lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, kejadiannya
pada wanita sekitar satu dari 12-15 wanita muda yang memiliki nodul tiroid, tetapi
pada pria kira-kira satu dari 40% pria muda yang memiliki nodul tiroid. Lebih dari
95% dari semua nodul tiroid adalah jinak. Nodul tiroid bisa tunggal atau multipel.
Nodul soliter mungkin ada di lobus kelenjar tiroid atau di isthmus. Nodul tiroid
soliter didefinisikan secara klinis sebagai pembesaran tiroid lokal dengan kelenjar
yang tersisa tampaknya normal dan mengacu pada pertumbuhan abnormal sel
tiroid yang membentuk benjolan di dalam kelenjar tiroid. Prevalensi dan insiden
meningkat dengan bertambahnya usia, dengan nodul spontan terjadi pada tingkat
0,08% per tahun dimulai pada awal kehidupan dan meluas ke dekade kedelapan.
Nodul tiroid yang teraba ditemukan pada 5% orang berusia rata-rata 60 tahun
(Nasr et al, 2021). Sebuah studi populasi di Jerman mendeteksi nodul tiroid
oleh AS pada 20% populasi berusia 20 -79 tahun. Insiden nodul tiroid lebih
tinggi pada wanita (5%) dibandingkan pria (1%). Insiden nodul tiroid meningkat
karena semakin banyak pasien yang dinilai oleh AS. Nodul tiroid biasanya teraba
dengan diameter lebih besar dari 1 cm (Ashokkumar, 2016).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
50% populasi memiliki tuberkulum Zuckerkandl yang merupakan perpanjangan
paling posterior dari lobus bagian lateral. Tuberkulum ini memiliki fungsi penting
dalam identifikasi nervus laringeus rekuren (Sherwood, 2014).
Sebagian besar kelenjar tiroid disusun oleh suatu kantong sferis
mikroskopik yang disebut folikel tiroid. Dinding setiap folikel terutama terdiri
dari sel yang disebut sel folikular, sebagian besar memanjang ke lumen (ruang
internal) folikel. Membran basalis mengelilingi setiap folikel. Bila sel folikular
tidak aktif, bentuknya kuboid rendah sampai skuamosa. Namun, dibawah
pengaruh TSH, sel folikular menjadi aktif dalam sekresi dan bentuknya berkisar
dari kuboid sampai kolumnar rendah. Sel folikular menghasilkan dua hormon
yaitu tiroksin yang disebut juga tetraiodotironin atau T4 karena mengandung
empat atom yodium dan triiodotironin atau T3 yang memiliki tiga atom yodium.
Beberapa sel yang disebut sel parafolikuler atau sel C terletak diantara folikel. Sel
tersebut menghasilkan hormon kalsitonin, yang membantu mengatur homeostasis
kalsium (Tortora dan Derrickson, 2014; Sherwood, 2014).
5
kiri) pada 0,2% hingga 6% kasus. Arteri ini berasal dari trunkus tiroservikalis
kemudian berjalan di belakang kelenjar pada level kartilago krikoid dan terbagi
menjadi cabang superior serta inferior. Cabang superior memvaskularisasi bagian
posterior kelenjar, sedangkan cabang inferior memvaskularisasi kutub inferior
kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid memiliki tiga vena utama, yaitu vena tiroid
superior, vena tiroid media, dan vena tiroid inferior. Vena tiroid superior dan
media mengalir ke vena jugularis interna. Vena tiroid inferior beranastomose satu
sama lain dan mengalir ke brakiosefalika kiri di dada (Netter, 2014).
Persarafan kelenjar tiroid berasal dari nervus laringeus superior dan nervus
laringeus rekuren. Hubungan antara kelenjar tiroid dengan kedua nervus tersebut
memiliki peranan penting dalam operasi tiroid. Cedera pada nervus laringeus
dapat menyebabkan disfonia, disfagia, dan dispnea. Nervus vagus keluar dari
foramen jugularis dan turun di dalam leher melalui carotid sheath. Nervus ini
memberikan banyak percabangan ke faring seperti nervus laringeus superior.
Nervus laringeus superior dibagi menjadi cabang internal dan eksternal. Cabang
internal
6
menginervasi laring pada bagian atas korda vokalis. Cabang eksternal nervus
tiroid superior/external branch of the superior laryngeal nerve (EBSLN)
menginervasi muskulus krikotiroid (Netter, 2014).
7
terikat, suatu ,ateri lengket yang menumpuk dan disimpan dalam lumen
folikel tiroid, disebut koloid.
8
7) Sekresi hormon tiroid
Karena T3 dan T4 dapat larut dalam lemak, keduanya berdifusi melalui
membran plasma ke cairan interstisial dan kemudian ke dalam darah. T 4
secara normal disekresi dalam jumlah yang lebih besar daripada T 3, tetapi
T3 beberapa kali lebih poten. Selanjutnya, setelah T4 masuk ke dalam sel
tubuh, sebagian besar diubah menjadi T3 dengan membuang satu yodium.
8) Transpor dalam darah
Lebih dari 99% baik T3 maupun T4 bergabung dengan protein transpor
dalam darah, terutama thyroxine-binding globulin (TBG).
10
termasuk terperangkapnya iodida, sintesis dan sekresi hormon dan
pertumbuhan sel folikular
d.
Sel folikular tiroid melepaskan T3 dan T4 ke dalam darah sampai laju
metabolik kembali normal
e.
Peningkatan kadar T3 menghambat pelepasan TRH dan TSH (inhibisi
feedback negative)
Kondisi yang meningkatkan kebutuhan ATP yaitu lingkungan dingin,
hipoglikemia, ketinggian dan kehamilan juga meningkatkan sekresi hormon tiroid.
2.2 Struma
2.2.1 Definisi Struma
Struma adalah pembesaran kelenjar gondok baik pada satu atau kedua
lobus akibat berbagai sebab dengan atau tanpa gangguan produksi hormon.
Pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar
gondok yang menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah banyak sehingga
menimbulkan keluhan seperti berdebar-debar, keringat, gemetaran, bicara jadi
gagap, mencret, berat badan menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan
hipertiroid (Amin huda, 2016). Struma dapat meluas keruang retrosternal,
dengan atau tanpa pembesaran
11
substansial. Karena hubungan anatomi kelenjar tiroid ke trakea, laring, saraf
laring, superior dan inferior, dan esophagus, pertumbuhan abnormal dapat
menyebabkan berbagai sindrom komperhensif. Biasanya dianggap membesar bila
kelenjar tiroid lebih dari dua kali ukuran normal. Pembesaran kelenjar tiroid
sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar sekali dan mengadakan
penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena serta pembentukan vena
kolateral (Tampatty, 2018).
13
bilateral atau keseluruhan sehingga dapat terlihat keseluruhan leher
yang membengkak.
b. Struma nodusa adalah jika pembesaran tiroid terjadi akibat nodul. Pada
struma nodusa akan didapatkan satu atau beberapa benjolan yang
menyebabkan permukaan kelenjar tiroid tidak rata. Letak benjolan
biasanya asimetris dan batas ukurannya dapat ditentukan.
Berdasarkan jumlah nodul
- Struma soliter (uninodusa): apabila nodulnya satu.
- Struma multiple (multinodusa): apabila lebih dari satu, baik
terletak pada satu atau kedua sisi lobus.
Berdasarkan klasifikasi klinis dan patologis nodul tiroid
- Non-neoplastik nodul
Hiperplastik (spontaneous dan kompensasi setelah tindakan
tiroidektomi parsial)
Inflamasi (tiroiditis bakterial akut, tiroiditis subakut dan
tiroiditis limfositik (Hashimoto))
- Benign neoplasma
Non-fungsional (nodul dingin) : padat atau campuran
(adenoma) dan kistik
Fungsional (nodul hangat) : adenoma
- Malignant neoplasma
Karsinoma primer : papillary, folicular, anaplastik dan
medulary
Limfoma tiroid
Tiroid metastasis dari primer
lainnya (Ashokkumar, 2016)
Berdasarkan klinis
a. Struma nodusa non toksik: pembesaran kelenjar tiroid yang secara
klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai adanya tanda-tanda
hipertiroidisme yaitu eutiroid dan hipotiroid.
14
b. Struma nodusa toksik: terdapat tanda-tanda hipertiroid. Pada struma
toksik terjadi pelepasan hormon tiroid secara berlebihan sehingga
kadarnya di darah menjadi tinggi dan menyebabkan adanya gejala
hipertiroid pada penderitanya (Ashokkumar, 2016).
15
2.3 Nodul Tiroid
2.3.1 Definisi
Menurut American Thyroid Association (ATA), nodul tiroid adalah lesi
abnormal dalam jaringan tiroid. Nodul pada jaringan tiroid dapat berjumlah satu
atau lebih, berupa kistik, solid, atau campuran dan kadang disertai dengan gejala
klinis dari penyakit tiroid (American Thyroid Association, 2015).
2.3.2 Epidemiologi
Angka kejadian nodul tiroid dikatakan meningkat seiring dengan
peningkatan umur (>50 tahun). Pada praktik klinis, prevalensi nodul tiroid yang
ditemukan melalui pemeriksaan fisik palpasi adalah sebanyak 4%, pemeriksaan
ultrasound sebanyak 33% hingga 68%, dan melalui otopsi sebanyak kurang lebih
50%. Di Amerika Serikat, sekitar 275.000 kasus nodul tiroid baru terdeteksi setiap
tahunnya, namun hanya 1 dari 20 nodul yang terpalpasi yang merupakan nodul
maligna, dan insiden ditemukannya karsinoma tiroid secara klinis hanya 2 hingga
4 per 100.000 populasi setiap tahunnya. Sebagian besar nodul tiroid jinak, hanya
5- 20% dari nodul ganas (Deepthi et al, 2017; Pramudita dan Anak Agung, 2021).
2.3.4 Klasifikasi
a. Benign
1) Follicular adenoma
2) Lain-lain : Hurtle cell adenoma, teratoma
b. Maligna
1) Follicular carcinoma
2) Medullary carcinoma
3) Papillary carcinoma
4) Anaplastic carcinoma
c. Nonepithelial tumors
d. Malignant lymphomas
e. Miscellaneous tumors
f. Secondary tumors
g. Unclassified tumors
h. Tumor-like lesion
(Paschke et al, 2017)
2.3.5 Patofisiologi
Struma Nodusa Toksika
Kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua
sampai tiga kali dari ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan
lipatan-lipatan sel-sel folikel ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih
meningkat beberapa kali dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Selain itu,
17
setiap sel meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat dengan
kecepatan 5-15 kali lebih besar daripada normal (Ziaurrahman, 2017).
Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu
yang “menyerupai” TSH, biasanya bahan-bahan ini adalah antibodi
immunoglobulin yang disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang
berikatan dengan reseptor membran yang sama dengan reseptor yang mengikat
TSH. Bahan – bahan tersebut merangsang aktivasi cAMP dalam sel, dengan hasil
akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien hipertiroidisme kosentrasi
TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini mempunyai efek
perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam, berbeda
dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya sekresi hormon
tiroid yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan pembentukan TSH
oleh kelenjar hipofisis anterior. Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa”
mensekresikan hormon hingga di luar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan
tersebut, sel-sel sekretori kelenjar tiroid membesar atau terjadi struma toksik
(Ziaurrahman, 2017).
18
2.3.6 Gejala dan Tanda
Struma Nodusa Toksika
1) Gelisah emosi yang tidak stabil, ketakutan, insomnia (sering
terbangun di malam hari) dan mimpi buruk (hipermetabolisme dalam
sistem saraf)
2) Peningkatan nafsu makan tetapi berat badan cenderung turun (akibat
peningkatan metabolisme sel dan peningkatan kebutuhan kalori)
3) Terdapat benjolan pada leher depan bawah
4) Tidak tahan panas, gampang berkeringat
5) Sering berdebar-debar
6) Tangan tremor (bergetar)
7) Diare (peningkatan sekresi organ saluran cerna dan peningkatan
peristaltik usus)
8) Gangguan menstruasi berupa amenore sekunder atau metroragia
(Ziaurrahman, 2017)
19
2.3.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis yang telaten, pemeriksaan fisik yang seksama sering sudah
cukup mendukung dalam menegakkan diagnosis kerja yang tajam untuk penderita
struma. Selain hal-hal yang mendukung terjadinya struma akibat peradangan atau
hiperplasi dan hipertrofi, maka perlu juga ditanyakan hal-hal yang diduga ada
kaitannya dengan keganasan pada kelenjar tiroid, terutama pada struma uninodusa
nontoksika antara lain: (Pemayun, 2016)
- Umur < 20 tahun atau > 50 tahun
- Riwayat terpapar radiasi leher waktu kanak-kanak
- Pembesaran kelenjar tiroid yang cepat
- Disertai suara parau
- Disertai disfagia
- Disertai nyeri
- Riwayat keluarga yang menderita kanker
- Penderita struma hiperplasi, diterapi dengan hormone tiroksin tetap
membesar
- Disertai sesak nafas
Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik untuk mengetahui adanya
gangguan fungsi pada penderita struma, maka harus ditanyakan dan diperiksa hal-
hal yang mendukung adanya hipertiroid, antara lain: (Pemayun, 2016).
- Berat badan turun, makannya banyak akan tetapi badan tetap kurus
(Paradoxa Muller).
- Kulit basah (hiperhidrosis), telapak tangan terasa hangat/panas/lembab dan
kulit telapak tangan terasa halus akibat hipermetabolisme dan
hiperhidrosis pada kelenjar keringat. Penderita tidak tahan terhadap hawa
panas lebih tahan terhadap hawa dingin.
- Takikardia, bila tidur nadinya tetap cepat, waspada ancaman atrial fibrilasi.
- Tremor, gejala ini hampir selalu ada. Suruh penderita meluruskan
lengannya ke depan dan merentangkan jari-jarinya, sambil memejamkan
mata, diletakkan sehelai kertas diatas jari-jarinya, maka akan terlihat ada
atau tidak tremor.
- Eksoptalmus, hampir 50% penderita, bisa bilateral atau unilateral.
Patofisiologi belum jelas. Diduga akibat penambahan lemak dan infiltrasi
20
limfosit retrobulbar.
- Gelisah, hipermetabolisme system saraf membuat niali ambang saraf
menurun, sehingga penderita menjadi iritabel, timbul tremor halus,
depresi.
- Diare, hipereristaltik pada sitem pencernaan, mengakibatkan absorbsi tidak
sempurna, dengan gejala akibatnya antara lain kekurangan vitamin dan
mineral.
- Thyroid thrill, hipervaskular pada tiroid.
- Gangguan keseimbangan hormonal lain, gangguan pola menstruasi.
- Kelainan kulit, karena hipermetabolisme kulit, maka kulit hangat dan halus
(fine texture) dan karena vasodilatasi, bila digores akan membekas
(dermografi).
Biasanya penderita struma nodusa tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi
jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering
berangsur- angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di
leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodusa dapat hidup dengan
strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodusa tidak mengganggu
pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodusa unilateral dapat
menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan
demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang
berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea
dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu
menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat
karena terfiksasi pada trakea (Pemayun, 2016).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien struma dilakukan secara sistematis (urut
dari atas ke bawah), simetris (bandingkan kanan dan kiri), simultan (kanan dan
kiri bersamaan). Secara rutin harus dievaluasi juga keadaan kelenjar getah bening
lehernya, adakah pembesaran, dianjurkan penderita membuka bajunya.
21
Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala
penderita sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi,
dengan demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua
tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat jari
yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah kelenjar
tiroid sewaktu penderita disuruh menelan (Deepthi et al, 2017).
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal, maka tidak dapat diraba
trakea dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan
yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih bisa
digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi
terfiksir apabila sangat besar, keganasan yang sudah menembus kapsul, tiroiditis
dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi. Untuk memeriksa struma yang
berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri penderita), maka dilakukan dengan jari
tangan kiri diletakkan di medial di bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan
tersebut ke kanan. Kemudian ibujari tangan kanan diletakkan di permukaan
anterior benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus
sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan: (Deepthi et al, 2017).
Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus
Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
Jumlah nodul: satu (uninodusa) atau lebih dari satu (multinodusa)
Konsistensi: kistik, lunak, kenyal, keras
Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoideus
Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid: Pemerikasaan
hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay (RIA)
dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah.
Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar
22
normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat
membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0- 2,6
nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui
hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang
meningkat sampai 3 kali normal. Dalam kasus TSH serum normal atau tinggi,
diagnostik US harus dilakukan. TSH normal harus diikuti dengan biopsi jarum
jika sesuai, dan TSH tinggi harus mendapatkan pemeriksaan untuk hipotiroidisme
(antibodi anti tiroid peroksidase juga harus diperoleh untuk mengkonfirmasi
tiroiditis Hashimoto) selain biopsi jarum bila diindikasikan (Kariadi et al, 2014).
2) Metode Pencitraan
Palpasi leher sangat tidak tepat dalam menentukan morfologi dan ukuran
nodul tiroid. Untuk alasan ini, metode pencitraan semakin banyak digunakan,
meskipun tidak ada metode pencitraan yang dapat secara akurat membedakan
nodul jinak dan ganas. Sampai batas tertentu, karakterisasi morfologi termasuk
stratifikasi risiko kanker tiroid dari lesi terletak pada modalitas pencitraan.
Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan US sangat akurat dan sensitif dalam mengevaluasi
nodul tiroid. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
- Menentukan jumlah nodul membedakan antara lesi tiroid padat
dan kistik, mengukur volume dari nodul tiroid mendeteksi adanya
jaringan kanker tiroid residif yang tidak terlihat sidik tiroid
- Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah
- Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
Ultrasonografi adalah pilihan pertama studi pencitraan untuk
evaluasi kelenjar tiroid. Indikasi pemeriksaan USG pada nodul tiroid
adalah: a) semua jenis nodul tiroid, b) nodul tiroid dengan riwayat
radiasi leher, dan c) nodul tiroid dengan riwayat kanker tiroid familial,
multiple endokrin neoplasia (MEN) tipe 2, bahkan jika kelenjar tampak
normal dengan palpasi (Pemayun, 2016).
X-ray
Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas
adanya deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada
23
umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi
AP dan Lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas
sehubungan dengan intubasi anastesinya. Bahkan tidak jarang untuk
konfirmasi diagnostik tersebut sampai memerlukan CT-scan leher.
Rontgen thorax juga di perlukan untuk melihat metastatis (Kariadi et al,
2014).
CT Scan/MRI
CT scan/MRI tidak rutin dilakukan. Tujuan dari CT scan/MRI
adalah untuk untuk staging dan rencana pembedahan. Indikasi dilakukan
pemeriksaan tersebut adalah: (Huang et al, 2013)
- Massa tiroid yg terfiksasi
- Limfadenopati servikal
- Retrosternal goiter
- Mendeteksi metastasis ke paru
- Menekanan jaringan sekitar yaitu: Laring – faring, trakea,
esofagus, pembuluh darah besar
24
4) Skintigrafi Tiroid
Skintigrafi kelenjar tiroid menggunakan salah satu radioisotop yodium
(biasanya I) atau teknesium-99 perteknetat (99tc). Penggunaannya
direkomendasikan pada pasien dengan penekanan TSH untuk
mendokumentasikan apakah nodul berfungsi atau tidak, sebelum biopsi jarum.
Dengan demikian, nodul dianggap berfungsi atau "panas" (yaitu memiliki serapan
pelacak lebih besar dari tiroid normal di sekitarnya), tidak berfungsi atau "hangat"
(yaitu memiliki serapan pelacak sama dengan tiroid di sekitarnya), dan tidak
berfungsi atau "dingin" (yaitu memiliki penyerapan kurang dari jaringan tiroid
sekitarnya). Skintigrafi memberikan informasi fungsional daripada morfologis,
bertentangan dengan ultrasonografi. Skintigrafi sebagian besar telah digantikan
oleh ultrasonografi tetapi masih memiliki setidaknya 2 peran: mengidentifikasi
nodul hiperfungsi ketika TSH rendah ditemukan pada pengujian awal, dan sampai
batas tertentu, menentukan nodul mana yang akan diambil sampelnya pada pasien
dengan nodul multipel. Nodul panas tidak memerlukan FNA, karena jarang
mengandung kanker. Ini adalah nodul dingin yang menjamin FNA, tergantung
pada ukuran dan karakteristik ultrasonografi (Pemayun, 2016).
2.3.8 Penatalaksanaan
Pilihan terapi nodul tiroid terdiri dari terapi supresi dengan farmakoterapi,
pembedahan, dan iodium radioaktif.
Farmakoterapi
- Golongan Tionamid (Methimazole, Propylthiouracil, Carbimazole)
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan
imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan
25
imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat
golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya
sama dengan metimazol. Obat golongan tionamid mempunyai efek
intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah
mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan
cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat
coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi
ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3
di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar
kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih
dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera
hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek
penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU,
sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal (Deepthi et al, 2017).
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai
dosis dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT.
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU
dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang
biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah
pengobatan. Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian
obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah
terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan
(dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari) (Deepthi et al, 2017).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal
100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi
50-200 mg, 1 atau 2 kali sehari. Propylthiouracil mempunyai kelebihan
dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4
menjadi T3. Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga
dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan
dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan
dengan
26
dosis pemeliharaan 5–20 mg perhari (Deepthi et al, 2017).
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya
dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis
PTU dimulai dengan 3 x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol
dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu
pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan
sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik,
dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan
metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan
keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila
dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan
biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal,
tentu dengan memperhatikan faktor- faktor penyebab lainnya seperti
ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis (Deepthi et al,
2017).
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan
timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai
efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati,
lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat
sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan
dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.
Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika (Deepthi et
al, 2017).
- Tiroksin Sintetis (T4: Levothyroxine)
Tiroksin Sintetis (T4) adalah pilihan terapi untuk hipotiroidisme
primer. Pada jaringan perifer, T4 mengalami proses deiodinasi menjadi
Triiodotironin (T3) yaitu bentuk aktif dari hormon tiroid. Pada pasien
muda yang sehat, dosis awal dimulai dari 50 sampai 200 mcg per hari.
Meskipun formula dari T4 (Synthroid, Levoxyl, bentuk generik)
mungkin memiliki sedikit perbedaan dalam hal
27
bioavailabilitasnya, namun sebuah penelitian mengatakan bahwa
bioekivalensi antara masing-masing formula bisa sama/setara. Dosis
obat dapat dikurangi untuk pasien yang lebih tua dan ditambah untuk
pasien yang sedang hamil. Karena T4 memiliki waktu paruh 7-10 hari,
pasien hipotiroid bisa melewatkan beberapa hari tanpa T4 dan tidak
akan menimbulkan konsekuensi buruk. Apabila pasien tidak dapat
makan lebih dari seminggu, T4 parenteral (80% dari dosis oral pasien)
bisa diberikan (Pemayun, 2016).
- Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida,
sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis
tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas,
dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di
samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -
meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya
terhadap konversi T- 4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya
berkisar 80 mg/hari.
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat
beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan
nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40
mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol. Pada umumnya
obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping
yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue,
dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam,
agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini
dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal
jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium, juga pada keadaan
bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam
terapi penghambat monoamin oksidase (Deepthi et al, 2017).
28
Pembedahan
Indikasi operasi pada struma antara lain :
- Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
- Struma uni atau multinodusa dengan kemungkinan keganasan
- Struma dengan gangguan tekanan
- Kosmetik.
Kontraindikasi operasi pada struma:
- Struma toksik yang belum dipersiapkan sebelumnya
- Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain
yang belum terkontrol
- Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang
demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya.
Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukan
reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan
lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
- Struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya
karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah
dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan
mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupakan operasi bersih dan
tergolong operasi besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil
tergantung patologiya serta ada tidaknya penyebaran dari karsinomanya.
Ada enam macam operasi, yaitu:
- Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang
mengandung jaringan patologis.
- Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan
satu sisi lobus tiroid.
- Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang
mengandung jaringan patologis, meliputi kedua lobus tiroid.
- Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang
29
patologis berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.
- Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid (Deepthi et
al, 2017).
31
maka terapi dapat diulang setelah 3 sampai 6 bulan (Puzziello et al, 2014).
2.3.9 Komplikasi
Komplikasi yang perlu diperhatikan dan mungkin terjadi pada pasien
pasca operasi thyroidectomy adalah gangguan pada pita suara akibat dari rusaknya
nervus laryngeal rekurens saat operasi. Mekanismenya dapat berupa iskemi,
kontusi, traksi, dan transeksi. Suara pasien akan menjadi serak jika yang terkena
saraf pada salah satu sisi (unilateral) atau terjadi aphonia dan stridor jika yang
terkena adalah saraf pada kedua sisi kelenjar tiroid (bilateral). Resiko dari
kerusakan saraf selama pembedahan akan meningkat pada operasi keganasan
tiroid dan operasi untuk kedua kalinya serta variasi dari anatomi pasien.
Pengobatan dari paralisis pita suara tersebut dapat berupa injeksi intrachorda,
pembedahan laring, thyroplasty, dan reinervasi laring (Sidemen, 2016).
Tracheomalacia atau kolaps trakea juga mungkin terjadi pada pasien pasca
operasi thyroidectomy. Biasanya terjadi akibat kompresi trakea yang lama pada
nodul tiroid yang besar. Kondisi ini dapat membahayakan nyawa pasien dan harus
diketahui sebelum dilakukan ekstubasi serta harus segera ditangani (Sidemen,
2016).
2.3.10 Prognosis
Penentu prognosis yang buruk termasuk usia yang lebih muda (<10 tahun),
nodul telah menyebar ke paru yang luas, dan telah menyebar ke trakea dan laring.
Kanker tiroid meduler dan kanker anaplastik juga mengakibatkan hasil yang
buruk (Deepthi et al, 2017).
32
BAB III
LAPORAN
KASUS
3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama : Benjolan di leher
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien perempuan usia 56 tahun datang ke poli bedah rumah sakit umum daerah
(RSUD) Kota Mataram pada tanggal 20 Mei 2022 diantar oleh keluarganya
dengan keluhan terdapat benjolan di leher. Benjolan dirasakan pada sisi kiri
leher bagian depan tanpa disertai nyeri. Benjolan dirasakan sejak 15 tahun yang
lalu. Benjolan dirasakan menetap sejak pertama kali muncul dan semakin
membesar. Pasien mengatakan bejolan tersebut mengakibatkan ia kesulitan
dalam mengunyah dan menelan makanan, namun tidak mengganggu pernafasan.
Keluhan lain seperti berdebar, berkeringat, lemas, dan penonjolan pada mata
disangkal. Pasien juga menyangkal adanya perubahan suara yang ia alami.
33
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan yang sama : (-)
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat diabetes melitus : (-)
Riwayat stroke : (-)
Riwayat penyakit jantung : (-)
Riwayat alergi : (-)
Riwayat hipertiroid dan : (-)
hipotiroid
34
3.3 Pemeriksaan Fisik
A. Status Present
Keadaan Umum : Baik
GCS : Composmentis (E4V5M6)
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 68 x/menit
Respiratory Rate : 18 x/menit
Suhu : 36,5 °C
Sp O2 : 98%
B. Status Generalis
Kepala : Normocephali, warna rambut hitam distribusi
merata, tidak mudah dicabut, tidak ditemukan
cedera kepala.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil bulat isokor (3mm x 3mm), refleks pupil
(+/+).
Hidung : Deformitas (-/-), peradangan (-/-), massa (-/-),
septum deviasi (-/-), sekret (-/-).
THT : Dalam batas normal
Mulut : Hygiene mulut baik, bibir pucat (-), sianosis (-),
lidah kotor (-), mukosa hiperemi (-)
Leher : Peradangan (-), nyeri tekan (-), pembesaran
KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (+) dan
mengikuti pergerakan saat menelan, deviasi
trakea (-)
Thorax : Normochest, simetris kanan dan kiri.
35
- Inspeksi: Peradangan (-), massa (-), barrel
cheast (-), pigeon cheast (-), ictus cordis
tidak tampak.
- Palpasi: Nyeri (-), vocal fremitus simetris
kanan dan kiri, ictus cordis teraba kuat
angkat di ICS 5.
- Perkusi: Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi: Vesikuler seluruh lapang paru.
Abdomen : - Inspeksi: Simetris kanan dan kiri, distensi
(-), massa (-), peradangan (-).
- Auskultasi: Bising usus (+).
- Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba
- Perkusi: timpani pada seluruh lapang
abdomen.
Ekstremitas :
Atas Akral teraba hangat kanan dan kiri, CRT < 2
detik, edem (-), pitting edem (-), tremor (-).
Bawah Akral teraba hangat kanan dan kiri, CRT < 2
detik, edem (-), pitting edem (-).
C. Status Lokalis
Leher
- Inspeksi: terdapat pembesaran pada leher bagian depan, warna sama
dengan warna kulit sekitar.
- Palpasi: terdapat benjolan pada leher bagian depan pada lobus kiri,
ukuran pada lobus kiri sekitar 4x2 cm, konsistensi padat kenyal,
permukaan rata, berbatas tegas, ikut bergerak saat menelan, tanpa
disertai nyeri tekan, tidak ada panas saat perabaan. Tidak teraba
pembesaran kelenjar getah bening.
- Auskultasi: tidak ada bruit maupun thrill.
36
3.4 Diagnosis Banding
Nodul tyroid
Nodul koloid
Kistik
Adenoma tyroid
Karsinoma tyroid
37
RDW-CV 13.1 % 11.5-14.5
Kimia Darah
SGPT 28 U/L 10 - 40
SGOT 16 U/L 15 – 40
Glukosa 101 mg/dL 80 – 120
sewaktu
Urea darah 25.0 mg/dL 17.0 – 43.0
Kreatinin 0.84 mg/dL 0.90 – 1.30
darah
eGFR 98 ml/min/1.73m2 >90 ml/min/1.73m2
38
b. Pemeriksaan USG Coli
19 Mei 2022
Kesan :
3.6 Diagnosis
Multiple nodule tyroid
3.8 Penatalaksanaan
Rencana (Plan) :
- Isthmolobektomy
- Biopsi PA (patologi anatomi)
39
3.9 Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
40
BAB IV
PEMBAHASA
N
Pasien perempuan usia 56 tahun datang ke poli bedah rumah sakit umum
daerah (RSUD) Kota Mataram pada tanggal 20 Mei 2022 diantar oleh
keluarganya dengan keluhan terdapat benjolan di leher. Benjolan dirasakan pada
sisi kiri leher bagian depan tanpa disertai nyeri. Benjolan dirasakan sejak 15 tahun
yang lalu. Benjolan dirasakan menetap sejak pertama kali muncul dan semakin
membesar. Pasien mengatakan bejolan tersebut mengakibatkan ia kesulitan dalam
mengunyah dan menelan makanan, namun tidak mengganggu pernafasan.
Keluhan lain seperti berdebar, berkeringat, lemas, dan penonjolan pada mata
disangkal. Pasien juga menyangkal adanya perubahan suara yang ia alami.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan status present pasien
dalam keadaan yang normal, pemeriksaan status generalis dalam batas yang
normal. Pada pemeriksaan status lokalis leher didapatkan pembesaran pada leher
bagian depan, saat dilakukan palpasi terdapat benjolan pada leher bagian depan
pada lobus kiri, ukuran pada lobus kiri sekitar 4 x 2 cm, konsistensi padat kenyal,
permukaan rata, berbatas tegas, ikut bergerak saat menelan, tanpa disertai nyeri
tekan, tidak ada panas saat perabaan. Tidak teraba pembesaran kelenjar getah
bening dan pada auskultasi tidak ada bruit maupun thrill.
Berdasarkan teori, biasanya penderita struma nodusa tidak mengalami
keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin
tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak
berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena
pertumbuhannya sering berangsur- angsur, struma dapat menjadi besar tanpa
gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodusa
dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodusa
tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke depan.
Pada pasien struma biasanya pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
benjolan sehingga tidak terlihat simetris, timbul tanda-tanda gangguan pernapasan
apabila benjolan sudah menekan trakea, ikut bergerak saat menelan atau tidak.
41
Pada
42
palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut benar adalah
kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien
diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut
bergerak saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan
kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pada pemeriksaan USG Coli didapatkan masa solid isoechoid batas tegas
tepi regular pada tyroid kiri, meluas ke itsmus ukuran 4.29 x 2.2 x 3 cm,
sedangkan tyroid kanan tampak kista ukuran 0.2 x 0.22 x 0.22 cm. Berdasarkan
teori pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengukur fungsi tiroid, untuk
mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik
radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau plasma darah untuk
menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosa dengan multiple nodul tiroid, jika didasarkan pada klasifikasi
klinis pasien termasuk dalam struma nodusa non-toksika karena tidak terdapat
gejala-gejala hipertiroid. Penatalaksaan pada pasien ini adalah tindakan
pembedahan yaitu isthmolobektomi dimana dilakukan pengangkatan tiroid salah
satu lobus beserta isthmusnya (kelenjar tiroid di antara lobus kanan dan kiri,
bagian tengah). Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tindakan
pembedahan pada pasien soliter nodul tiroid adalah dengan memperhatikan hasil
pemeriksaan hormon tiroid pasien.
43
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran kasus diatas, dapat ditarik suatu diagnosis kerja
pada Ny. NKK yang berusia 56 tahun yaitu soliter nodul tiroid (SNT) Sinistra. Hal
ini didasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan kepada pasien. Berdasarkan hasil anamnesis, pasien
memiliki keluhan benjolan leher di bagian kanan namun tanpa adanya keluhan.
Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan pembesaran pada leher bagian depan, saat
dilakukan palpasi terdapat benjolan pada leher bagian depan pada lobus kiri,
ukuran pada lobus kiri sekitar 4 x 2 cm, konsistensi padat kenyal, permukaan rata,
berbatas tegas, ikut bergerak saat menelan, tanpa disertai nyeri tekan, tidak ada
panas saat perabaan. Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening dan pada
auskultasi tidak ada bruit maupun thrill. Pada pasien ini kemudian dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan USG.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil T4 dan TSH normal. Pada
pemeriksaan USG Coli didapatkan masa solid isoechoid batas tegas tepi regular
pada tyroid kiri, meluas ke itsmus ukuran 4.29 x 2.2 x 3 cm, sedangkan tyroid
kanan tampak kista ukuran 0.2 x 0.22 x 0.22 cm, kalsifikasi (-), pada dopler tak
tampak hipervaskularisasi. Pada kasus ini dilakukan tindakan isthmolobektomi.
44
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Hussein Ali Abed. 2016 ‘Management of Solitary Thyroid Nodule at Al-
Karama Teaching Hospital’, Journal of Health, Medicine and Nursing, 32,
pp. 40-44.
Haugen BR, Alexander EK, Bible KC, Doherty GM, Mandel SJ, Nikiforov YE, et
al. 2015. Management Guidelines for Adult Patients with Thyroid Nodules
and Differentiated Thyroid Cancer The American Thyroid Association
45
(ATA) Guidelines Task Force on Thyroid Nodules and Differentiated
Thyroid Cancer. American Thyroid Association, 26(1), pp. 1-133
Kariadi KS, Hartini S, Sumual A. 2014 ‘Struma Nodusa Non Toksik &
Hipertiroidisme’, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing, pp. 757-778.
Musa IR, Ahmad ME, Raddady FSA, Rabih WRA, Elsayed EM, Mohamed GB,
Gasim GI. 2017 ‘Predictors of a follicular nodule (Thy3) outcome of
thyroid fine needle aspiration cytology among Saudi patients’. BMC Res
Notes, 10(621), pp. 1-7.
Nasr, Burkan et al. 2021 ‘Solitary Thyroid Nodule: Clinical, Sonography and
Pathological Evaluation Risk of Malignancy’, International Journal of
Otolaryngology and Head & Neck Surgery, 10(5).
46
Netter, Frank H. 2014 ‘Atlas of Human Anatomy’, 25th Edition, Jakarta: EGC.
Pramudita, Nyoman dan Anak Agung Gede Budhi Kusuma. 2021 ‘Diagnosis dan
Penatalaksanaan Nodul Tiroid Tunggal: Sebuah Laporan Kasus’, Intisari
Sains Medis, 12(3), pp. 677-681.
Sidemen, I Gusti Ayu Prema Yani. 2016 ‘Nodul Tiroid Soliter’, Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Tampatty, G., Tubagus, V., & Rondo, A. 2018 ‘Profil Pemeriksaan Ultrasonografi
pada Pasien Struma dibagian/SMF Radiologi FK UNSRAT RSUP Prof.
Dr.
R. D. Kandou Manado Periode Januari 2018 - Juni 2018’, pp. 1–6.
47
Uyar O, Cetin B, Aksel B, Dogan L, Beksac K, Akgul GG, Berberoglu U,
Gulcelik MA. 2017 ‘Malignancy in Solitary Thyroid Nodules: Evaluation
of Risk Factors. Oncol Res Treat’, pp. 360-363.
48