PENDAHULUAN
1
Diabetes mellitus itu sendiri merupakan penyakit kronis yang akan diderita seumur
hidup, sehingga progesifitas penyakit akan terus berjalan, pada suatu saat dapat
menimbulkan komplikasi baik komplikasi akut maupun kronis. Komplikasi akut
meliputi Ketoasidosis diabetik (KAD), Sindrom Hiperglikemi Hiperosmolar (SSH),
Hipoglikemi, sedangkan untuk komplikasi kronis dibagi menjadi dua yaitu
makrovaskular (penyakit kardiovaskular, hipertensi) dan mikrovaskular (neuropati
diabetic, gastropati diabetic, nefropati diabetic, ulkus kaki diabetic) yang
membutuhkan tindakan atau tatalaksana segera mungkin sehingga sangat diperlukan
program pengendalian dan penatalaksanan Diabetes Mellitus khususnya Tipe-2.
Penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari 5 pilar yaitu edukasi, diet, latihan
fisik, kepatuhan obat, selain itu juga termasuk pencegahan diabetes mellitus dengan
pemantauan kadar gula darah. Oleh karena itu, sebagai dokter muda, kita harus mampu
mengetahui dan memahami seluk beluk tentang Diabetes Mellitus dari definisi hingga
tatalaksana pada pasien, agar ketika sudah menjadi dokter nantinya ilmu-ilmu yang
sudah kita dapatkan di Rumah Sakit Pendidikan dapat kita terapkan dengan baik pada
pasien kita kelaknya.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
3
tinggi dan dokter mengatakan bahwa pasien memiliki kencing manis. Menurut
pasien, ia pernah mendapatkan obat metformin dari puskesmas yang diminum
2 kali dalam sehari, namun hanya dikonsumsi selama satu bulan. Karena
dirasakan keluhan berkurang, pasien tidak lagi rutin kontrol gula darah dan
tidak mengonsumsi obat kencing manis lagi.
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa seluruh
badannya semakin lemas. Keluhan lemas tersebut diikuti dengan perasaan letih,
dan lesu. Awalanya pasien merasa keluhannya tersebut merupakan keluhan
biasa yang akan segera membaik jika pasien beristirahat, namun keluhan
tersebut tidak kunjung menghilang dengan istirahat yang ia lakukan. Pasien
juga mengatakan keluhan lain bahwa ia sering merasa pusing dan
pandangannya berkunang – kunang selama hampir seminggu ini. Suatu hari
keluarga pasien mengakatakan wajah pasien tampak pucat, karena khawatir
dengan hal tersebut, akhirnya keluarga membawa pasien ke puskesmas untuk
memeriksakan kondisinya, namun disana ia langsung di rujuk ke RSU Bangli
untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Pasien dan keluarga pasien
mengatakan BAK dan BAB dalam batas normal. Pasien menyangkal adanya
muntah hitam dan BAB hitam.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat keluhan yang sama : disangkal
• Riwayat Hipertensi : disangkal
• Riwayat Diabetes Melitus : Ada sejak 5 tahun yang lalu, jarang
…………………………………….kontrol
• Riwayat alergi : disangkal
• Riwayat alergi obat-obatan : disangkal
• Riwayat Covid-19 : (-)
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
• Riwayat Hipertensi : disangkal
4
• Riwayat Diabetes Melitus : (+) Ayah pasien.
• Riwayat alergi : disangkal
• Riwayat alergi obat-obatan : disangkal
• Riwayat Covid-19 : (-)
2.2.5 Riwayat Sosial
• Riwayat merokok : (-)
• Riwayat alcohol : (-)
5
………………………….pembesaran KGB tidak ada, kelenjar tiroid tidak
………………………….ada pembesaran (-/-).
Pemeriksaan Thorax Cor
• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
• Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga V, linea
midclavicula sinistra
• Perkusi
Batas kanan jantung : ICS 5 linea parasternalis dextra.
Batas kiri jantung : ICS 5 linea midclavicula sinistra.
Batas atas jantung : ICS 2 linea parasternalis sinistra.
Batas pinggang jantung : ICS 3 linea parasternaslis sinistra
• Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), Gallop (-
).
- Pemeriksaan Thorax Pulmonal
- Inspeksi : Normochest, dinding dada simetris kanan dan kiri, tidak
.ada gerakan nafas tertinggal, tidak ada massa dan tidak
.ada tanda-tanda peradangan.
- Palpasi : Nyeri tekan (-), palpasi pengembangan kedua lapang paru
..simetris, vocal premitus kedua lapang paru teraba
..simetris
- Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru.
- Auskultasi :
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Vesikuler Rhonki Wheezing
6
Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : Abdomen datar, tidak tampak adanya massa, tidak
tampak adanya tanda-tanda peradangan.
- Auskultasi: Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpani pada sembilan regio abdomen, shifting dullness
(-).
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), turgor baik, hepar dan lien
tidak terapa, batlotement ginjal (-)
Ekstremitas
- Superior: Akral hangat, tidak terdapat edema capillary refill time <
2 detik
- Inferior: Akral hangat, tidak terdapat edema capillary refill time < 2
detik
7
RBC 2.2×1012/L ↓ 4.0-5.3
8
eGFR 57 (Low) >90 mL/min/1.73 m2
Na, K, Cl
Natrium darah 130 (Low) 136 – 145 mmol/L
Kalium darah 4.6 3.5 – 5.1 mmol/L
Clorida Darah 1033 98 – 107 mmol/L
PH 5 5.0-6.5
Sedimen
9
Leukosit 0-2 0-4
2.6 Planning
- Infus amino fluid : NaCl 20 tpm
- Diet DM 1700 kkal/hari low protein low salt
- Tranfusi PRC sampai Hb ≥ 10 mg/dl dengan premedikasi furosemid 2 amp
+ difenhidramine 2 cc
- Omeprazole 2 x 40 mg
- Ondansentron 3 x 4 mg
- Insulin glargine (lantus) 1 x 14 IU
- Insulin glulisine (apidra) 3 x 8 IU
- Konsul KGH
2.7 Follow Up
Selasa, Tanggal 26 Juli 2022
10
KU : sakit sedang
Kesadaran : composmentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : TD: 130/80 mmHg, N : 112x/menit, RR : 20x/mnt, T : 36,6°C
(axilla), SpO2: 98% (udara ruangan)
Pemeriksaan Fisik
- Kepala : normochepali
- Mata: reflek pupil (+/+) bulat isokor, anemis (+/+) ,sklera ikterik (-
/-)
- Hidung: Normal, tidak ada discharge (-/-), nafas cuping hidung
tidak ada, deviasi septum tidak ada, deformitas tidak ada
- Mulut/Gigi: Normal, bibir sianosis tidak ada, lidah kotor tidak ada,
carries tidak ada, mukosa tidak hiperemis, tonsil T0-T0
- Telinga: Normal, simetris, discharge tidak ada (-/-), tidak ada
kelainan kongenital
- Leher: Normal, deviasi trakea tidak ada, JVP normal (5+2 cm),
pembesaran KGB tidak ada, kelenjar tiroid tidak ada pembesaran (-
/-) dan auskultasi tidak ada bruit pada arteri karotis atau tiroid.
- Pemeriksaan Thorax
Cor :
• Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
• Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga V, linea midclavicula
sinistra
• Perkusi :
Batas kanan jantung : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri jantung : ICS 5 midclavicula sinistra
Batas atas jantung : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang jantung : ICS 3 linea parasternalis sinistra
11
• Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo :
• Inspeksi : Normochest, ada simetris kanan dan kiri, tidak ada
gerakan nafas tertinggal, tidak ada massa dan tidak ada tanda-
tanda peradangan.
• Palpasi : Fremitus vocal normal sama kuat antara kanan dan
kiri, pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
nyeri tekan.
• Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru.
• Auskultasi :
vesikular rhonki wheezing
+ ++ + - -- - - -- -
+ ++ + - -- - - -- -
+ ++ + - -- - - -- -
- Abdomen
• Inspeksi : abdomen datar, normal, distensi tidak ada, asites
tidak ada, tidak tampak adanya massa, tidak tampak adanya
tanda – tanda peradangan.
• Auskultasi: bising usus (+) normal
• Perkusi :
Timpani
+ + +
+ + +
+ + +
• Palpasi :
12
Nyeri tekan
- - -
- - -
- - -
• Ekstermitas :
Hangat Edema
+ ++ + - -- -
+ ++ + - +- +
Diagnosis :
1. DM Tipe 2
2. Anemia berat normositik normokrmik ec ACD
3. AKI dd ACKD ec prerenal dd renal dd post renal
Terapi :
- Infus amino fluid : NaCl 20 tpm
- Diet DM 1700 kkal/hari low protein low salt
- Tranfusi PRC sampai Hb ≥ 10 mg/dl dengan premedikasi furosemid
2 amp + difenhidramine 2 cc
- Omeprazole 2 x 40 mg
- Ondansentron 3 x 4 mg
- Insulin glargine (lantus) 1 x 14 IU
- Insulin glulisine (apidra) 3 x 8 IU
Monitoring :
- Cek Vital Sign
- GDS : 188 mg/dL
- Cek albumin
Planning :
- GDS
13
- DL ulang post tranfusi
14
• Perkusi :
Batas kanan jantung : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri jantung : ICS 5 midclavicula sinistra
Batas atas jantung : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang jantung : ICS 3 linea parasternalis sinistra
• Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo :
• Inspeksi : Normochest, ada simetris kanan dan kiri, tidak ada
gerakan nafas tertinggal, tidak ada massa dan tidak ada tanda-
tanda peradangan.
• Palpasi : Fremitus vocal normal sama kuat antara kanan dan
kiri, pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
nyeri tekan.
• Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru.
• Auskultasi :
vesikular rhonki wheezing
+ ++ + - -- - - -- -
+ ++ + - -- - - -- -
+ ++ + - -- - - -- -
- Abdomen
• Inspeksi : abdomen datar, normal, distensi tidak ada, asites
tidak ada, tidak tampak adanya massa, tidak tampak adanya
tanda – tanda peradangan.
• Auskultasi: bising usus (+) normal
• Perkusi :
Timpani
+ + +
15
+ + +
+ + +
• Palpasi :
Nyeri tekan
- - -
- - -
- - -
• Ekstermitas :
Hangat Edema
+ ++ + - -- -
+ ++ + - +- +
Diagnosis :
1. DM Tipe 2
2. Anemia berat normositik normokrmik ec ACD
3. AKI dd ACKD ec prerenal dd renal dd post renal
Terapi :
- Infus amino fluid : NaCl 20 tpm
- Diet DM 1700 kkal/hari low protein los salt
- Tranfusi PRC sampai Hb ≥ 10 mg/dl dengan premedikasi furosemid
2 amp + difenhidramine 2 cc
- Omeprazole 2 x 40 mg
- Ondansentron 3 x 4 mg
- Insulin glargine (lantus) 1 x 14 IU
- Insulin glulisine (apidra) 3 x 8 IU
Monitoring :
- Cek Vital Sign
- GDS : 196 mg/dL
- Hb : 8.7 mg/dl
16
Planning :
- GDS
- DL ulang
17
• Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga V, linea midclavicula
sinistra
• Perkusi :
Batas kanan jantung : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri jantung : ICS 5 midclavicula sinistra
Batas atas jantung : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang jantung : ICS 3 linea parasternalis sinistra
• Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo :
• Inspeksi : Normochest, ada simetris kanan dan kiri, tidak ada
gerakan nafas tertinggal, tidak ada massa dan tidak ada tanda-
tanda peradangan.
• Palpasi : Fremitus vocal normal sama kuat antara kanan dan
kiri, pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
nyeri tekan.
• Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru.
• Auskultasi :
vesikular rhonki wheezing
+ ++ + - -- - - -- -
+ ++ + - -- - - -- -
+ ++ + - -- - - -- -
- Abdomen
• Inspeksi : abdomen datar, normal, distensi tidak ada, asites
tidak ada, tidak tampak adanya massa, tidak tampak adanya
tanda – tanda peradangan.
• Auskultasi: bising usus (+) normal
• Perkusi :
18
Timpani
+ + +
+ + +
+ + +
• Palpasi :
Nyeri tekan
- - -
- - -
- - -
• Ekstermitas :
Hangat Edema
+ ++ + - -- -
+ ++ + - +- +
Diagnosis :
1. DM Tipe 2
2. Anemia berat normositik normokrmik ec ACD
3. AKI dd ACKD ec prerenal dd renal dd post renal
Terapi :
- Infus amino fluid : NaCl 20 tpm
- Diet DM 1700 kkal/hari low protein low salt
- Tranfusi PRC sampai Hb ≥ 10 mg/dl dengan premedikasi furosemid
2 amp + difenhidramine 2 cc
- Omeprazole 2 x 40 mg
- Ondansentron 3 x 4 mg
- Insulin glargine (lantus) 1 x 14 IU
- Insulin glulisine (apidra) 3 x 8 IU
Monitoring :
- Cek Vital Sign
19
- GDS : 146 mg/dL
Planning :
- Poliklinis
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
20
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan
hiperglikemia dan intoleransi glukosa yang terjadi karena kelenjar pankreas tidak dapat
memproduksi insulin secara adekuat atau karena tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang diproduksi secara efektif atau keduaduanya (Kemenkes RI, 2018).
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung
pembuluh darah. Gejala hiperglikemia ditandai oleh poliuria, polidipsia, penurunan
berat badan, kadang-kadang dengan polifagia dan penglihatan kabur (ADA, 2018).
3.1.2 Epidemiologi
Prevalensi menurut World Health Organization (WHO), bahwa sekitar 150 juta
orang menderita diabetes melitus di seluruh dunia, dan jumlah ini mungkin dua kali
lipat pada tahun 2025. Sebagian besar kenaikan ini akan terjadi di negara-negara
berkembang dan akan disebabkan oleh pertumbuhan populasi penuaan, diet tidak sehat,
obesitas dan gaya hidup. Pada tahun 2025, sementara kebanyakan penderita diabetes
di negara maju yang berusia 65 tahun atau lebih, di negara-negara berkembang
kebanyakan berada di kelompok usia 45-64 tahun dan terpengaruh pada usia produktif
mereka (Muhartono & Sari, 2017).
3.1.3 Faktor Risiko
Adapun beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan diabetes mellitus,
diantaranya : (Zheng, 2018)
A. Riwayat keluarga dengan diabetes, seperti orang tua atau saudara kandung
dengan diabetes mellitus.
B. Usia Seseorang dengan usia >40 tahun memiliki peningkatan risiko terhadap
terjadinya DM dan intoleransi glukosa yang disebabkan oleh faktor degeneratif
yaitu menurunnya fungsi tubuh, khususnya kemampuan dari sel ß dalam
mensekresikan insulin untuk mematabolisme glukosa.
C. Jenis Kelamin Perempuan lebih berpeluang untuk terjadi DM dibandingkan
laki laki dengan alasan faktor hormonal dan metabolisme.
21
D. Obesitas (BMI ≥25 kg/m2) Obesitas dikaitkan dengan banyak kelainan
metabolik yang dapat meneyababkan resistensi insulin
E. Aktivitas fisik yang kurang Pengaruh aktivitas fisik secara langsung
berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemulihan glukosa otot (seberapa
banyak otot mengambil glukosa dari aliran darah)
F. Ras / etnis Ras Asia umumnya memiliki presentase lemak tubuh total dan lemak
viseral yang lebih tinggi dibandingkan ras kulit putih hal ini akan meningkatkan
risiko DM tipe 2 (Sudoyo, 2018).
G. Kadar kolesterol Dislipidemia dapat menyebabkan terjadinya resistensi
insulin.
H. Merokok Perokok cenderung memiliki akumulasi lemak sentral daripada bukan
perokok, selain itu rokok diketahui dapat menyebabkan resistensi insulin dan
menurunkan respon dari sekresi insulin.
3.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan American Diabetes Association (2018) :
1. Diabetes melitus Tipe 1
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenille-onset dan tipe dependen
insulin, namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Pada tipe ini
terjadi destruksi sel beta pankreas dan menyebabkan pankreas gagal
menghasilkan insulin ditandai dengan kurangnya produksi insulin. Diabetes
tipe 1 ini dapat dibagi dalam 2 subtipe yaitu autoimun (akibat disfungsi
autoimun dengan kerusakan sel-sel beta) dan idiopatik (tanpa bukti adanya
autoimun dan tidak diketahui sumbernya) (PERKENI, 2019).
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan
tipe non dependen insulin disebabkan ketidakmampuan tubuh menggunakan
insulin secara efektif yang dihasilkan oleh pankreas. Pada tipe ini terjadi
22
dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relative sampai yang
dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin, atau keduanya.
3. Diabetes gestasional
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan
mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah
usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat gestasional
terdahulu.
4. Tipe spesifik lain
a. Cacat genetik fungsi sel beta : MODY
b. Cacat genetik kerja insulin : sindrom resistensi insulin berat
c. Endokrinopati : sindrom cushing, akromegali
d. Penyakit eksokrin pancreas
e. Obat atau diinduksi secara kimia
f. infeksi
5. Gangguan toleransi glukosa (IGT)
Pasien dengan IGT tidak dapat memenuhi kriteria diabetes melitus, tetapi tes
toleransi glukosanya memperlihatkan kelainan. Pasien-pasien ini asimtomatis.
6. Gangguan glukosa puasa (IFG)
Gangguan glukosa puasa ditetapkan dengan nilai antara 110 dan 126 mg/100
ml.
3.1.5 Patofisologi
Peningkatan kadar glukosa pada pasien diabetes mellitus sebagai akibat dari beberapa
hal diantaranya :
1. Rusaknya (destruksi) sel ß yang dipengaruhi oleh faktor eksternal (virus, zat
kimia, dll) atau dari faktor internal (penyakit autoimun) sehingga terjadi
23
defisiensi insulin, penurunan sensitivitas reseptor glukosa pada kelenjar
pankreas (Hammer, 2014 & Skyler, 2017).
2. Adanya resistensi insulin (kemunduran potensi insulin untuk meningkatkan
pengambilan glukosa dan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh) (Skyler,
2017).
3. Resistensi insulin dapat disebabkan oleh suatu produk sel ß yang abnormal,
antagonis insulin dalam sirkulasi, atau insensitivitas reseptor insulin di jaringan
perifer (Skyler, 2017).
24
utama pada pasien DM tipe 1 dan dapat dikenali oleh berbegai jenis sel pada pankreas.
Namun demikian, autoantibodi ini hanya selektif menghancurkan sel ß (Skyler, 2017).
Destruksi autoimun sel-sel ß pulau Langerhans pankreas dapat menyebabkan defisiensi
sekresi insulin. Hal ini yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM
tipe 1 (Kasper, 2015).
Pada DM tipe 2 ditandai dengan adanya gangguan sekresi insulin, resistensi
insulin, produksi glukosa yang meningkat, dan metabolisme lemak yang berlebihan.
Proses feedback (umpan-balik) antara fungsi dan sekresi insulin terganggu maka fungsi
insulin dalam hepar, otot, dan jaringan adiposa serta sekresi insulin oleh sel beta pada
pankreas juga turut terganggu. Hal ini berdampak pada peningkatan kadar glukosa
darah. Tahap awal DM tipe 2, toleransi glukosa cukup normal walaupun sudah terdapat
resistensi insulin yang diakibatkan oleh kompensasi sel beta untuk meningkatkan
sekresi dari insulin (Kasper, 2015).
Proses tersebut akan berdampak pada hiperinsulinemia akibat pankreas tidak
dapat berkompensasi lagi, sehingga terjadi penurunan sekresi insulin (Abbas, 2015).
Gangguan sekresi insulin ini akan meningkatkan prosuksi glukosa di dalam hepar
sehingga glukosa dalam darah akan meningkat (hiperglikemia) (Sudoyo, 2018).
Glukosa memiliki sifat menarik cairan sehingga penderita diabetes mellitus
memiliki kecenderungan untuk banyak kencing (poliuri). Tubuh yang kehilangan
banyak cairan melalui urine dapat mengalami dehidrasi. Kondisi ini menyebabkan rasa
haus yang terus - menerus sehingga selalu ingin minum (poidipsi). Sel-sel jaringan
tubuh yang kekurangan suplai glukosa akan menjadi menyusut sehingga kemudian
mengirimkan sinyal ke otak untuk merangsang pusat lapar, sehingga penderita diabetes
mellitus memiliki kecenderungan untuk makan terus-menerus (polifagi) (Sudoyo,
2018).
3.1.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik
defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan
25
kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan
karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini,
maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena
glukosa hilang bersama urin, maka pasien akan mengalami keseimbangan kalori
negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin
akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk
(Setiati dkk, 2017).
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang
eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen
yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dn
timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalua tidak mendapatkan pengobatan
segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan
umumnya penderita peka terhadap insulin (Setiati dkk, 2017).
Pasien diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,
dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut
mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolpen. Biasanya mereka tidak
mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun
hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat
ketoasidosis (Alwi, 2015).
3.1.7 Diagnosis
Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.
Tabel 4 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus
No : Kriteria Diagnosis DM
26
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1
mmol/L)
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
4. HbA1C (≥ 6,5%)
27
glukosa darah puasa ≥126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal,
baik kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥200
mg/dl pada hari yang lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO)
didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥200 mg/dl (Setiati dkk, 2017).
3.1.8 Tatalaksana
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan DM terdiri dari; pertama terapi non
farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola
makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan
edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan
secara terus menerus, kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti
diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika
penerapan terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan
kadar glukosa darah sebagainana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis
tidak meninggalkan terapi non farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya (Tanto
dkk, 2016).
1. Terapi Nonfarmakologis
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien menurut PERKENI (2019) meliputi
pemahaman :
a. Perjalanan penyakit DM
b. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
c. Penyulit DM dan risikonya
d. Intervensi farmakologis dan non farmakologis serta target perawatan
e. Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik dan hipoglikemik orak atau
insulin serta obat-obat lainnya
28
f. Cara pemantauan glukosa darah
g. Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti hipoglikemia
h. Pentingnya perawatan diri
2. Terapi Gizi Medis
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
a. Karbohidrat
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetes tidak boleh
lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari
70% jika dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai
tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat
terdapat kandungan energy sebesar 4 kilokalori.
b. Lemak
Lemak mempunyai kandungan sebesar 9 kilokalori per gramnya. Berdasarkan
ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan lemak
tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan
bagi para diabetes karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal
yang sering dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal
(MUFA = monounsaturated fatty acid), merupakan salah satu asam lemak yang
dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada
diet diabetisi dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol
VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak
jenuh rantai panjang (PUFA = polyunsaturated fatty acid) dapat melindungi
jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA
mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di
dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat
menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar
kolesterol LDL. Untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai
29
panjang, dianjurkan untuk mengkonsumsi ikan seminggu 2-3 kali (Kemenkes
RI, 2018).
c. Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15%
dari total kalori per hari.
Perhitungan jumlah kalori :
Laki-laki : BB idaman (kg) x 30 kalori
Perempuan : BB idaman (kg) x 25 kalori
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan
siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara
makan besar.
3. Latihan Jasmani
Jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5 kali per
minggu dengan durasi 30-60 menit. Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang
disenangi serta memungkin untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot
besar (Kemenkes RI, 2018).
2. Terapi Farmakologis
Beberapa farmakoterapi yang dapat digunakan sebagai anti-hiperglikemik, yaitu :
30
Biguanid • Metformin • Tidak • Efek samping • Dehidrasi
menyebabkan gastrointestinal • Gagal hati
hipoglikemia • Risiko asidosis • GGK dengan laju
• Menurunkan laktat filtrasi
kejadian cvd • Defisiensi Vit glomerulus < 30
B12 ml/min
Sulfonylurea • Glibenclami • Efek • Risiko • Alergi
de hipoglikemik hipoglikemia sulfonylurea
• Glipizide kuat • Peningkatan BB • Gagal ginjal
• Gliclazide • Menurunkan • Pasien lansia
• Glimepiride komplikasi • Pasien
mikrovaskular hipoglikemia
Metiglinides • Repaglinide • Menurunkan • Risiko
glukosa hipoglikemia
postprandial • Peningkatan BB
31
• Hospitalisasi
akibat gagal
jantung
32
Agonis 1. Liraglutide • Tidak • Efek samping gastrointestinal
GLP-1 2. Exenatide menyebabkan • Meningkatkan denyut jantung
3. Albiglutide hipoglikemia • Bentuknya ijeksi
4. Lixisenatide • Menurunkan • Membutuhka pelatihan pasien.
5. Dulaglutide glukosa
postprandial
• Menurunkan
faktor risiko
CVD
3.4 Anemia
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala
berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu, dalam diagnosis
anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan
penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali
penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan
menuntun para klinisi ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan
penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui
penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus
anemia tersebut. Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang
patogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalam memilih, menganalisis
serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan penunjang lainnya (Bakta, 2016).
Anemia didefinisikan dari National Kidney Foundation Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (NKF/K-DOQI) sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb)
yang kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan kurang dari 12 g/dL pada wanita
dewasa. Berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO), anemia dikatakan
bila hemoglobin < 13 g/dl pada laki-laki dan < 12 g/dl pada wanita dewasa tidak hamil.
Di Indonesia untuk mempermudah klinisi dalam menangani dan mendiagnosa anemia
digunakan kriteria klinik anemia yaitu hemoglobin < 10 g/dl, hematokrit < 30% dan
eritrosit < 2,8 juta/mm3 (Bakta, 2016). Anemia merupakan temuan yang hampir selalu
ada pada pasien penyakit ginjal lanjut, dengan hematokrit 18% hingga 20% lazim
33
terjadi. Anemia pada gagal ginjal kronik merupakan anemia jenis normokromik
normositik, yaitu anemia karena terjadi defisiensi eritropoietin. Penelitian retrospektif
observasional pada pasien hemodialisis dan gagal jantung menunjukkan bahwa anemia
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya mortalitas. Selain itu, anemia
mempengaruhi morbiditas pada pasien gagal ginjal tahap akhir (ESRD), gagal ginjal
kronik, dan gagal jantung (Suega, 2014).
34
gangguan homeostasis besi (Suega, 2014). Secara lengkap, patogenesis anemia
penyakit kronik khususnya yang terkait gangguan homeostasis besi, dapat dilihat pada
gambar berikut ini.
35
Proses ini lebih jauh akan dipicu oleh TNF α melalui kerusakan membran eritrosit
dan menstimulasi fagositosit. IFN γ dan lipopolisakarida menurunkan ekspresi
ferroportin transporter besi pada makrofag sehingga menghambat pengeluaran besi
dari makrofag. Proses ini dipengaruhi oleh hepcidin. Pada waktu yang sama TNF α, IL
1, IL 6 dan IL 10 menginduksi ekspresi ferritin dan menstimulasi penyimpanan dan
retensi besi pada makrofag. Jadi secara umum mekanisme ini akan menurunkan
konsentrasi besi pada sirkulasi dan mengurangi ketersediaan besi untuk sel induk
eritroid. Pada Panel D, TNF α dan IFN γ dan menghambat produksi eritropoetin pada
ginjal. Pada panel E, IFN γ dan IL 1 secara langsung menghambat diferensiasi dan
proliferasi dari sel induk eritroid. Rendahnya ketersediaan besi akan menurunkan
aktivitas biologis eritropoetin sehingga akan menghambat eritropoesis dan
menyebabkan berkembangnya anemia (Suega, 2014).
36
a. Tata Laksana Rasional
Tata laksana rasional pada anemia penyakit kronis berdasarkan dua hal, yaitu
(1) Anemia dapat memburuk sehingga membutuhkan kompensasi dari
peningkatan curah jantung untuk mempertahankan hantaran oksigen ke seluruh
tubuh dan (2) Anemia menunjukkan prognosis buruk, terlebih pada pasien usia
lanjut dengan faktor risiko (penyakit arteri koroner, penyakit paru, gagal ginjal
kronis).5,23 Kadar Hb ≤ 8 g/dL pada pasien penyakit ginjal kronis dan menjalani
hemodialisis menunjukkan adanya peningkatan 2 kali risiko kematian jika
dibandingkan dengan pasien dengan kadar Hb 10–11 g/dL.20 Pasien dengan kadar
Hb >10 g/dL menunjukkan adanya perbaikan angka kehidupan dan juga hasil
terapi yang baik (Hadiyanto et al, 2018).
b. Tatalasana Pilihan
• Transfusi
Terapi transfusi diberikan untuk intervensi yang cepat dan efektif, terutama
pada anemia yang mengancam jiwa (Hb <6,5 g/dL). Tidak ada batasan kadar
hemoglobin yang pasti sebagai indikasi pemberian transfusi tetapi sebaiknya
kadar hemoglobin pasien dipertahankan pada 10-11 g/dL. Walaupun transfusi
dapat meningkatkan angka kelangsungan hidup, transfusi juga dapat
meningkatkan risiko kegagalan multi-organ dan angka mortalitas pada pasien
kritis. Transfusi darah jangka panjang tidak direkomendasikan pada anemia
penyakit kronis dengan kanker/gagal ginjal kronis karena risiko serta efek
samping berupa overload besi dan sensitisasi antigen HLA yang terjadi pada
pasien sebelum transplantasi ginjal (Hadiyanto et al, 2018).
• Terapi Zat Besi
Pemberian terapi zat besi pada anemia penyakit kronis hanya diberikan
apabila terdapat defisiensi zat besi. Defisiensi besi pada anemia penyakit kronis
diberikan suplementasi besi baik secara tunggal atau kombinasi dengan agen stim-
ulasi eritropoietin.5 Walaupun pemberian tablet besi secara oral mudah
37
diaplikasikan dan biaya yang dibutuhkan sedikit, tetapi efektifitasnya menurun
karena hepsidin membatasi penyerapan besi pada saluran cerna. Oleh karena itu,
pemberian besi secara intravena jauh lebih efektif (Hadiyanto et al, 2018).
• Eritropoietin
Selain untuk menghindarkan pasien dari transfusi serta efek sampingnya,
pemberian eritropoietin juga mempunyai keuntungan berupa efek anti-inflamasi
dengan cara menekan produksi dari TNF-α dan interferon-γ. Pemberian
eritropoietin dikhususkan pada anemia penyakit kronis dengan penyakit gagal
ginjal kronis yaitu pemberian eritropoietin alfa (Hadiyanto et al, 2018).
38
BAB IV
PEMBAHASAN
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik yang
ditandai dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin,
defek kerja insulin, atau keduanya. Salah satu komplikasi dari DM dapat berupa
kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih,
tuberkulosis paru, dan infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi
ulkus/gangren diabetik.
Menurut International Diabetes Federation (IDF) dan World Health
Organization (WHO), terdapat 382 juta orang yang hidup dengan DM di dunia pada
tahun 2013. Diperkirakan juga, 175 juta diantaranya belum terdiagnosis sehingga
terancam berkembang progresif menjadi komplikasi yang salah satunya menjadi
ulkus/gangrene diabetik.
Pada pasien ini didiagnosis DM tipe 2 dikarenakan berdasarkan anamesis pasien
memang menderita DM tipe 2 sejak lima tahun yang lalu tetapi tidak rutin kontrol dan
minum obat. Sebelumnya pasien memiliki keluhan sesuai dengan keluhan klasik DM
yaitu sering berkemih terutama pada malam hari, selalu merasa haus dan lapar. Selain
itu juga pasien memiiki keluhan lainya yaitu merasa seluruh badannya lemas. Keluhan
lemas tersebut diikuti dengan perasaan letih, dan lesu. Awalanya pasien merasa
keluhannya tersebut merupakan keluhan biasa yang akan segera membaik jika pasien
beristirahat, namun keluhan tersebut tidak kunjung menghilang dengan istirahat yang
ia lakukan. Pasien juga mengatakan keluhan lain bahwa ia sering merasa pusing dan
pandangannya berkunang - kunang selama hampir seminggu ini. Suatu hari keluarga
pasien mengakatakan wajah pasien tampak pucat, karena khawatir dengan hal tersebut,
akhirnya keluarga membawa pasien ke puskesmas untuk memeriksakan kondisinya.
Berdasarkan hal tersebut kemungkinan pasien mengalami anemia penyakit kronik.
39
Keadaan diabetes mellitus yang dialami pasien sejak lima tahun lalu menjadi penyebab
kenapa pasien ini mengalami anemia.
Hasil pemeriksaan fisik pasien dan pemeriksaan penunjang didapatkan keadaan
umum lemas dengan tingkat kesadaran composmentis, tanda vital pasien diperoleh
peningkatan tekanan darah dan nadi yakni TD: 130/70 mmHg dan frekuensi nadi
120x/menit. Status generalis mata konjungtiva anemis (+/+) dan yang lain dalam batas
normal. Pemeriksaan penunjang berupa darah lengkap yang dilakukan, didapatkan
penurunan HGB sebesar 6.7 mg/dl, penurunan RBC, penurunan trombosit dan
penurunan HCT. Pada pemeriksaan kimia darah, didapatkan creatinine, glukose,
mengalami peningkatan. Peningkatan glukose pada pasien dalam laporan akibat gula
darah pasien yang tidak terkontrol walaupun telah mengkonsumsi metformin, dimana
pasien sudah mengalami DM type 2 sejak lima tahun yang lalu. Penurunan HGB dan
RBC dan pasien, dapat diakibatkan karena kadar retikulosit sering rendah sebagai
akibat ekspresi dari produksi sel darah merah yang rendah, dan terjadi hipoferemia
sebagai akibat perolehan besi dari sistem retikuloendotelial. Konsekuensi dari
rendahnya kadar besi serum adalah menurunnya saturasi transferrin dan dapat semakin
rendah bila terjadi anemia defisiensi besi dan penyakit kronik secara bersamaan. Kadar
ferritin bisa normal atau meningkat pada pasien anemia penyakit kronik, dimana hal
ini menggambarkan tingginya cadangan besi akibat retensi besi pada sistem
retikuloendotelial, dan ferritin yang tinggi juga sering terjadi akibat suatu aktivasi
sistem imun. Anemia dengan gambaran mikrositer sering akibat adanya kondisi
defisiensi besi yang bersamaan dengan penyakit kronik. Kadar trombosit pasien rendah
akibat defisiensi trombopoietin yang berhubungan dengan gangguan ginjal yang
dialami pasien, terdapat peningkatan yang bermakna pada ureum dan kreatinin yang
menunjukkan adanya gangguan pada ginjal. eGFR pasien 57 ml/min/1,72 m2, sehingga
pasien ini juga didiagnosis AKI dd ACKD ec prerenal dd renal dd post renal.
Penatalaksanaan anemia penyakit kronis biasanya merupakan komplikasi dari
suatu penyakit kronis. Tujuan dari tata laksana APK adalah memperbaiki penyakit
40
kronis yang mendasarinya. Penanganan awal dari anemia penyakit kronis hanya
bertujuan untuk meningkatkan kadar hemoglobin melalui transfusi darah atau
pemberian zat besi. Pada pasien ini kemungkinan penyebab anemia penyakit kronisnya
adalah diabetes mellitus. Penanganan penyakit dasarnya harus dilakukan sesegera
mungkin. Komponen penting dalam manajemen diabetes mellitus menurut ADA
(2013) adalah pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup
dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis,
meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan
penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi farmakologis,
yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Tujuan
penatalaksanaa CKD adalah mempertahankan fungsi ginjal dan homoestasis selama
mungkin, mengidentifikasi semua faktror yang berkontribusi terhadap penurunan
fungsi ginjal dan untuk mencegah gagal ginjal tahap akhir. Adapun terapi pada pasien
ini merupa medikamentosa yang diberikan pada pasien ini berupa pemberian, infus -
Infus amino fluid : NaCl 20 tpm, diet DM 1700 kkal/hari low protein low salt, tranfusi
PRC sampai Hb ≥ 10 mg/dl dengan premedikasi furosemid 2 amp + difenhidramine
2cc, omeprazole 2 x 40 mg, ondansentron 3 x 4 mg, insulin glargine (lantus) 1 x 14 IU,
insulin glulisine (apidra) 3 x 8 IU dan non medikametosanya berupa Konsul Sp. KGH
dan pemberian KIE kepada pasien dan keluarga pasien.
41
BAB V
KESIMPULAN
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik yang
ditandai dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin,
defek kerja insulin, atau keduanya. Anemia penyakit kronik adalah anemia yang
dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme
besi. Penatalaksanaan DM terdiri dari; pertama terapi non farmakologis yang meliputi
perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai
terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang
berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi
farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin.
42
DAFTAR PUSTAKA
43
Sudoyo, AW., Setiati S., Stiyohadi B., Syam AF. 2018. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta : Internal Publishing
Skyler, Jas J, et al. 2017. Differentiation of Diabetes by Pathophysiology, Natural
History, and Prognosis. USA : ADA
Suega, K. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat: Interna Publihing, pp. 425-556
Tanto, Chris., Liwang, Frans.., Hanifati, Sonia., Pradipta, Eka Adip. 2016. Kapita
Selekta Kedokteran Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius.
World Health Organization. Technical report on critical concentrations for TB drug
susceptibility testing of medicines used in the treatment of drug-resistant TB.
Geneva, Switzerland: World Health Organization,, 2018.
Zheng, Yan. Ley, Sylvia H & Hu, Frank B. 2018. Global Aetiology And
Epidemiology Of Type 2 Diabetes Mellitus And Its Complication. USE :
Macmillan Publisher. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29219149
44