Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah
utama dalam kesehatan baik di dunia maupun di Indonesia. DM adalah suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Lebih dari 90 persen dari semua
populasi diabetes adalah diabetes meLlitus tipe 2 yang ditandai dengan penurunan
sekresi insulin karena berkurangnya fungsi sel beta pankreas secara progresif yang
disebabkan oleh resistensi insulin (American Diabetes Association, 2017).
Prevalensi DM terus mengalami peningkatan di dunia, baik pada negara maju
ataupun negara berkembang, sehingga dikatakan bahwa diabetes melitus sudah
menjadi masalah kesehatan global di masyarakat. Jumlah penderita diabetes telah
meningkat dari 108 juta pada tahun 1980 menjadi 422 juta pada tahun 2014, prevalensi
diabetes meningkat lebih cepat di negara berpenghasilan menengah dan rendah. Pada
tahun 2015, diperkirakan 1,6 juta kematian secara langsung disebabkan oleh diabetes.
Hampir setengah dari semua kematian akibat glukosa darah tinggi terjadi sebelum usia
70 tahun. WHO memproyeksikan diabetes akan menjadi penyebab kematian ke tujuh
di tahun 2030 (WHO, 2017)
Di Indonesia prevalensi penduduk yang berumur ≥15 tahun dengan diabetes
mellitus pada tahun 2013 adalah sebesar 6,9% dengan perkiraan jumlah kasus adalah
sebesar 12.191.564 juta. Sebanyak 30,4% kasus telah terdiagnosis sebelumnya dan
73,7% tidak terdiagnosis sebelumnya. Pada daerah bali prevalensi diabetes mellitus
sebesar 1,3% dengan kota Denpasar sebagai penyumbang terbanyak dibandingkan
dengan kota lainnya yaitu sebesar 2% (Riskesdas, 2013).

1
Diabetes mellitus itu sendiri merupakan penyakit kronis yang akan diderita seumur
hidup, sehingga progesifitas penyakit akan terus berjalan, pada suatu saat dapat
menimbulkan komplikasi baik komplikasi akut maupun kronis. Komplikasi akut
meliputi Ketoasidosis diabetik (KAD), Sindrom Hiperglikemi Hiperosmolar (SSH),
Hipoglikemi, sedangkan untuk komplikasi kronis dibagi menjadi dua yaitu
makrovaskular (penyakit kardiovaskular, hipertensi) dan mikrovaskular (neuropati
diabetic, gastropati diabetic, nefropati diabetic, ulkus kaki diabetic) yang
membutuhkan tindakan atau tatalaksana segera mungkin sehingga sangat diperlukan
program pengendalian dan penatalaksanan Diabetes Mellitus khususnya Tipe-2.
Penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari 5 pilar yaitu edukasi, diet, latihan
fisik, kepatuhan obat, selain itu juga termasuk pencegahan diabetes mellitus dengan
pemantauan kadar gula darah. Oleh karena itu, sebagai dokter muda, kita harus mampu
mengetahui dan memahami seluk beluk tentang Diabetes Mellitus dari definisi hingga
tatalaksana pada pasien, agar ketika sudah menjadi dokter nantinya ilmu-ilmu yang
sudah kita dapatkan di Rumah Sakit Pendidikan dapat kita terapkan dengan baik pada
pasien kita kelaknya.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


a. Nama : Tn I K
b. Tanggal lahir/umur : 31 Desember 1947
c. Umur : 75 tahun
d. Jenis Kelamin : Laki - laki
e. Status Perkawinan : Menikah
f. Suku/Bangsa : WNI
g. Agama : Hindu
h. Pendidikan : Sd
i. Pekerjaan : Tidak bekerja
j. Alamat KTP : Br Sidembunut
k. No. Rekam Medis : 215290
l. Tanggal masuk RS : 25 Juli 2022
2.2 Anamnesa
2.2.1 Keluhan Utama
Lemas pada seluruh tubuh
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Laki – laki, 75 tahun datang IGD RSU Bangli diantar keluarganya dengan
keluhan lemas pada seluruh tubuh sejak 1 bulan yang lalu dan semakin
memberat sejak 1 minggu terakhir. Sebelumnya, lima tahun sebelum masuk
rumah sakit pasien sering merasa kesemutan dan kebas yang hilang timbul pada
kaki dan tangan. Selain itu, pasien sering terbangun di malam hari untuk
berkemih, pasien juga merasa mudah lapar sedangkan ia baru saja makan 3 jam
sebelumnya. Karena merasa keluhannya tak kunjung hilang, akhirnya pasien
datang ke puskesmas untuk berobat. Menurut pasien, saat itu gula darahnya

3
tinggi dan dokter mengatakan bahwa pasien memiliki kencing manis. Menurut
pasien, ia pernah mendapatkan obat metformin dari puskesmas yang diminum
2 kali dalam sehari, namun hanya dikonsumsi selama satu bulan. Karena
dirasakan keluhan berkurang, pasien tidak lagi rutin kontrol gula darah dan
tidak mengonsumsi obat kencing manis lagi.
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa seluruh
badannya semakin lemas. Keluhan lemas tersebut diikuti dengan perasaan letih,
dan lesu. Awalanya pasien merasa keluhannya tersebut merupakan keluhan
biasa yang akan segera membaik jika pasien beristirahat, namun keluhan
tersebut tidak kunjung menghilang dengan istirahat yang ia lakukan. Pasien
juga mengatakan keluhan lain bahwa ia sering merasa pusing dan
pandangannya berkunang – kunang selama hampir seminggu ini. Suatu hari
keluarga pasien mengakatakan wajah pasien tampak pucat, karena khawatir
dengan hal tersebut, akhirnya keluarga membawa pasien ke puskesmas untuk
memeriksakan kondisinya, namun disana ia langsung di rujuk ke RSU Bangli
untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Pasien dan keluarga pasien
mengatakan BAK dan BAB dalam batas normal. Pasien menyangkal adanya
muntah hitam dan BAB hitam.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat keluhan yang sama : disangkal
• Riwayat Hipertensi : disangkal
• Riwayat Diabetes Melitus : Ada sejak 5 tahun yang lalu, jarang
…………………………………….kontrol
• Riwayat alergi : disangkal
• Riwayat alergi obat-obatan : disangkal
• Riwayat Covid-19 : (-)
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
• Riwayat Hipertensi : disangkal

4
• Riwayat Diabetes Melitus : (+) Ayah pasien.
• Riwayat alergi : disangkal
• Riwayat alergi obat-obatan : disangkal
• Riwayat Covid-19 : (-)
2.2.5 Riwayat Sosial
• Riwayat merokok : (-)
• Riwayat alcohol : (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran/GCS : Kuantitatif, E4V5M6 (Komposmentis)
• Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Respiration Rate : 20x/menit
Denyut Nadi : 120x/menit
Suhu Aksila : 36,6 °C
PO2 : 95 %
• Status Generalis
Kepala : Normocephali.
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), reflek (+/+) bulat
………………………….isokor 3/3 mm, anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Hidung : Discharge (-/-), pernafasan cuping hidung (-),
…………………………..deviasi Septum (-), deformitas (-)
Mulut : Bibir tampak pucat, sianosis (-), lidah kotor (-),
…………………………..tidak ditemukan pembesaran tonsil, tonsil T1/T1.
Telinga : Normal, discharge tidak ada (-/-), tidak ada
…………………………..kelainan kongenital.
Leher : Deviasi trakea tidak ada, JVP normal (5+2 cm),

5
………………………….pembesaran KGB tidak ada, kelenjar tiroid tidak
………………………….ada pembesaran (-/-).
Pemeriksaan Thorax Cor
• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
• Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga V, linea
midclavicula sinistra
• Perkusi
Batas kanan jantung : ICS 5 linea parasternalis dextra.
Batas kiri jantung : ICS 5 linea midclavicula sinistra.
Batas atas jantung : ICS 2 linea parasternalis sinistra.
Batas pinggang jantung : ICS 3 linea parasternaslis sinistra
• Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), Gallop (-
).
- Pemeriksaan Thorax Pulmonal
- Inspeksi : Normochest, dinding dada simetris kanan dan kiri, tidak
.ada gerakan nafas tertinggal, tidak ada massa dan tidak
.ada tanda-tanda peradangan.
- Palpasi : Nyeri tekan (-), palpasi pengembangan kedua lapang paru
..simetris, vocal premitus kedua lapang paru teraba
..simetris
- Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru.
- Auskultasi :

+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Vesikuler Rhonki Wheezing

6
Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : Abdomen datar, tidak tampak adanya massa, tidak
tampak adanya tanda-tanda peradangan.
- Auskultasi: Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpani pada sembilan regio abdomen, shifting dullness
(-).
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), turgor baik, hepar dan lien
tidak terapa, batlotement ginjal (-)
Ekstremitas
- Superior: Akral hangat, tidak terdapat edema capillary refill time <
2 detik
- Inferior: Akral hangat, tidak terdapat edema capillary refill time < 2
detik

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Lengkap 25 Juli 2022
Parameter Nilai Nilai Rujukan

WBC 8 ×109/L 5.0-10.0

LYM% 8.1 % ↑ 0.9-5.0

LYM 46.2×109/L 15-50

MID 1.0×109/L 0.1-1.5

MID% 13.8% 2.0-15.0

GRAN 7×109/L 1.2-8

GRA% 40% 35.0-80.0

7
RBC 2.2×1012/L ↓ 4.0-5.3

HGB 6.7 g/dL↓ 12.5-16

HCT 17.4% ↓ 35.0-45.0

MCV 79.3 fl 82.0-92.0

MCH 30.7 pg 27.0-31.0

MCHC 38.7 g/dL 32.0-36.0

RDW% 11.5% 11.0-16.0

RDW 57.3 fl 37.0-250.0

PLT 41x109/L ↓ 150-400

MPV 8.5 fl ↓ 9.0-13.0

PDW 12.2 fl 9-17

PCT 0.03% 0.17-0.35

Pemeriksaan Kimia Darah 25 Juli 2022

Hasil Nilai Rujukan


Jenis Pemeriksaan
Glukosa sewaktu 330 mg/dl (High) 80-140 mg/dl
HbA1C 14.6 % (High) 4 – 6.5%
SGPT 14 10 – 28 U/L
SGPT 19 9 – 36 U/L
Urea 57 (High) 17.0 – 43.0 mg/dl
kreatinin 1.31 (High) 0.60 – 1.20 mg/dl

8
eGFR 57 (Low) >90 mL/min/1.73 m2
Na, K, Cl
Natrium darah 130 (Low) 136 – 145 mmol/L
Kalium darah 4.6 3.5 – 5.1 mmol/L
Clorida Darah 1033 98 – 107 mmol/L

Hasil Pemeriksaan Urine Lengkap (25 Juli 2022)

Urinalisis dan sedimen urine Hasil Nilai rujukan

Kejernihan Jernih Jernih

Warna Kuning Kuning

Berat jenis 1.010 1.010-1.020

PH 5 5.0-6.5

Keton Negatif Negatif

Protein Negatif Negatif

Glukosa Positif satu Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Urobilinogen Negatif Negatif

Leukosit Negatif Negatif

Blood Negatif Negatif

Sedimen

Eritrosit 0-1 0-2

9
Leukosit 0-2 0-4

Epitel 1-2 0-4

Silinder Negatif Negatif

Bakteri Negatif Negatif

Kristal Negatif Negatif

Jamur Negatif Negatif

2.5 Diagnosis Kerja


1. Diabetes mellitus tipe 2
2. Anemia Berat normositik normokromik ec ACD
3. AKI dd ACKD ec prerenal dd renal dd post renal

2.6 Planning
- Infus amino fluid : NaCl 20 tpm
- Diet DM 1700 kkal/hari low protein low salt
- Tranfusi PRC sampai Hb ≥ 10 mg/dl dengan premedikasi furosemid 2 amp
+ difenhidramine 2 cc
- Omeprazole 2 x 40 mg
- Ondansentron 3 x 4 mg
- Insulin glargine (lantus) 1 x 14 IU
- Insulin glulisine (apidra) 3 x 8 IU
- Konsul KGH

2.7 Follow Up
Selasa, Tanggal 26 Juli 2022

Keluhan : Pasien mengeluh lemas.

10
KU : sakit sedang
Kesadaran : composmentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : TD: 130/80 mmHg, N : 112x/menit, RR : 20x/mnt, T : 36,6°C
(axilla), SpO2: 98% (udara ruangan)
Pemeriksaan Fisik
- Kepala : normochepali
- Mata: reflek pupil (+/+) bulat isokor, anemis (+/+) ,sklera ikterik (-
/-)
- Hidung: Normal, tidak ada discharge (-/-), nafas cuping hidung
tidak ada, deviasi septum tidak ada, deformitas tidak ada
- Mulut/Gigi: Normal, bibir sianosis tidak ada, lidah kotor tidak ada,
carries tidak ada, mukosa tidak hiperemis, tonsil T0-T0
- Telinga: Normal, simetris, discharge tidak ada (-/-), tidak ada
kelainan kongenital
- Leher: Normal, deviasi trakea tidak ada, JVP normal (5+2 cm),
pembesaran KGB tidak ada, kelenjar tiroid tidak ada pembesaran (-
/-) dan auskultasi tidak ada bruit pada arteri karotis atau tiroid.
- Pemeriksaan Thorax
Cor :
• Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
• Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga V, linea midclavicula
sinistra
• Perkusi :
Batas kanan jantung : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri jantung : ICS 5 midclavicula sinistra
Batas atas jantung : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang jantung : ICS 3 linea parasternalis sinistra

11
• Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo :
• Inspeksi : Normochest, ada simetris kanan dan kiri, tidak ada
gerakan nafas tertinggal, tidak ada massa dan tidak ada tanda-
tanda peradangan.
• Palpasi : Fremitus vocal normal sama kuat antara kanan dan
kiri, pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
nyeri tekan.
• Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru.
• Auskultasi :
vesikular rhonki wheezing
+ ++ + - -- - - -- -
+ ++ + - -- - - -- -
+ ++ + - -- - - -- -

- Abdomen
• Inspeksi : abdomen datar, normal, distensi tidak ada, asites
tidak ada, tidak tampak adanya massa, tidak tampak adanya
tanda – tanda peradangan.
• Auskultasi: bising usus (+) normal
• Perkusi :
Timpani
+ + +
+ + +
+ + +
• Palpasi :

12
Nyeri tekan
- - -
- - -
- - -
• Ekstermitas :
Hangat Edema
+ ++ + - -- -
+ ++ + - +- +

Diagnosis :
1. DM Tipe 2
2. Anemia berat normositik normokrmik ec ACD
3. AKI dd ACKD ec prerenal dd renal dd post renal

Terapi :
- Infus amino fluid : NaCl 20 tpm
- Diet DM 1700 kkal/hari low protein low salt
- Tranfusi PRC sampai Hb ≥ 10 mg/dl dengan premedikasi furosemid
2 amp + difenhidramine 2 cc
- Omeprazole 2 x 40 mg
- Ondansentron 3 x 4 mg
- Insulin glargine (lantus) 1 x 14 IU
- Insulin glulisine (apidra) 3 x 8 IU
Monitoring :
- Cek Vital Sign
- GDS : 188 mg/dL
- Cek albumin
Planning :
- GDS

13
- DL ulang post tranfusi

Rabu, Tanggal 27 Juli 2022

Keluhan : Pasien mengeluh lemas.


KU : sakit sedang
Kesadaran : composmentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : TD: 130/80 mmHg, N : 110x/menit, RR : 20x/mnt, T : 36,6°C
(axilla), SpO2: 98% (udara ruangan)
Pemeriksaan Fisik
- Kepala : normochepali
- Mata: reflek pupil (+/+) bulat isokor, anemis (+/+) ,sklera ikterik (-
/-)
- Hidung: Normal, tidak ada discharge (-/-), nafas cuping hidung
tidak ada, deviasi septum tidak ada, deformitas tidak ada
- Mulut/Gigi: Normal, bibir sianosis tidak ada, lidah kotor tidak ada,
carries tidak ada, mukosa tidak hiperemis, tonsil T0-T0
- Telinga: Normal, simetris, discharge tidak ada (-/-), tidak ada
kelainan kongenital
- Leher: Normal, deviasi trakea tidak ada, JVP normal (5+2 cm),
pembesaran KGB tidak ada, kelenjar tiroid tidak ada pembesaran (-
/-) dan auskultasi tidak ada bruit pada arteri karotis atau tiroid.
- Pemeriksaan Thorax
Cor :
• Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
• Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga V, linea midclavicula
sinistra

14
• Perkusi :
Batas kanan jantung : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri jantung : ICS 5 midclavicula sinistra
Batas atas jantung : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang jantung : ICS 3 linea parasternalis sinistra
• Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo :
• Inspeksi : Normochest, ada simetris kanan dan kiri, tidak ada
gerakan nafas tertinggal, tidak ada massa dan tidak ada tanda-
tanda peradangan.
• Palpasi : Fremitus vocal normal sama kuat antara kanan dan
kiri, pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
nyeri tekan.
• Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru.
• Auskultasi :
vesikular rhonki wheezing
+ ++ + - -- - - -- -
+ ++ + - -- - - -- -
+ ++ + - -- - - -- -

- Abdomen
• Inspeksi : abdomen datar, normal, distensi tidak ada, asites
tidak ada, tidak tampak adanya massa, tidak tampak adanya
tanda – tanda peradangan.
• Auskultasi: bising usus (+) normal
• Perkusi :
Timpani
+ + +

15
+ + +
+ + +
• Palpasi :
Nyeri tekan
- - -
- - -
- - -
• Ekstermitas :
Hangat Edema
+ ++ + - -- -
+ ++ + - +- +

Diagnosis :
1. DM Tipe 2
2. Anemia berat normositik normokrmik ec ACD
3. AKI dd ACKD ec prerenal dd renal dd post renal
Terapi :
- Infus amino fluid : NaCl 20 tpm
- Diet DM 1700 kkal/hari low protein los salt
- Tranfusi PRC sampai Hb ≥ 10 mg/dl dengan premedikasi furosemid
2 amp + difenhidramine 2 cc
- Omeprazole 2 x 40 mg
- Ondansentron 3 x 4 mg
- Insulin glargine (lantus) 1 x 14 IU
- Insulin glulisine (apidra) 3 x 8 IU
Monitoring :
- Cek Vital Sign
- GDS : 196 mg/dL
- Hb : 8.7 mg/dl

16
Planning :
- GDS
- DL ulang

Kamis, Tanggal 28 Juli 2022

Keluhan : Pasien mengeluh lemas.


KU : sakit sedang
Kesadaran : composmentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : TD: 120/80 mmHg, N : 111x/menit, RR : 20x/mnt, T : 36,6°C
(axilla), SpO2: 98% (udara ruangan)
Pemeriksaan Fisik
- Kepala : normochepali
- Mata: reflek pupil (+/+) bulat isokor, anemis (+/+) ,sklera ikterik (-
/-)
- Hidung: Normal, tidak ada discharge (-/-), nafas cuping hidung
tidak ada, deviasi septum tidak ada, deformitas tidak ada
- Mulut/Gigi: Normal, bibir sianosis tidak ada, lidah kotor tidak ada,
carries tidak ada, mukosa tidak hiperemis, tonsil T0-T0
- Telinga: Normal, simetris, discharge tidak ada (-/-), tidak ada
kelainan kongenital
- Leher: Normal, deviasi trakea tidak ada, JVP normal (5+2 cm),
pembesaran KGB tidak ada, kelenjar tiroid tidak ada pembesaran (-
/-) dan auskultasi tidak ada bruit pada arteri karotis atau tiroid.
- Pemeriksaan Thorax
Cor :
• Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

17
• Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga V, linea midclavicula
sinistra
• Perkusi :
Batas kanan jantung : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri jantung : ICS 5 midclavicula sinistra
Batas atas jantung : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang jantung : ICS 3 linea parasternalis sinistra
• Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo :
• Inspeksi : Normochest, ada simetris kanan dan kiri, tidak ada
gerakan nafas tertinggal, tidak ada massa dan tidak ada tanda-
tanda peradangan.
• Palpasi : Fremitus vocal normal sama kuat antara kanan dan
kiri, pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
nyeri tekan.
• Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru.
• Auskultasi :
vesikular rhonki wheezing
+ ++ + - -- - - -- -
+ ++ + - -- - - -- -
+ ++ + - -- - - -- -

- Abdomen
• Inspeksi : abdomen datar, normal, distensi tidak ada, asites
tidak ada, tidak tampak adanya massa, tidak tampak adanya
tanda – tanda peradangan.
• Auskultasi: bising usus (+) normal
• Perkusi :

18
Timpani
+ + +
+ + +
+ + +
• Palpasi :
Nyeri tekan
- - -
- - -
- - -
• Ekstermitas :
Hangat Edema
+ ++ + - -- -
+ ++ + - +- +

Diagnosis :
1. DM Tipe 2
2. Anemia berat normositik normokrmik ec ACD
3. AKI dd ACKD ec prerenal dd renal dd post renal
Terapi :
- Infus amino fluid : NaCl 20 tpm
- Diet DM 1700 kkal/hari low protein low salt
- Tranfusi PRC sampai Hb ≥ 10 mg/dl dengan premedikasi furosemid
2 amp + difenhidramine 2 cc
- Omeprazole 2 x 40 mg
- Ondansentron 3 x 4 mg
- Insulin glargine (lantus) 1 x 14 IU
- Insulin glulisine (apidra) 3 x 8 IU
Monitoring :
- Cek Vital Sign

19
- GDS : 146 mg/dL
Planning :
- Poliklinis

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Melitus


3.1.1 Definisi

20
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan
hiperglikemia dan intoleransi glukosa yang terjadi karena kelenjar pankreas tidak dapat
memproduksi insulin secara adekuat atau karena tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang diproduksi secara efektif atau keduaduanya (Kemenkes RI, 2018).
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung
pembuluh darah. Gejala hiperglikemia ditandai oleh poliuria, polidipsia, penurunan
berat badan, kadang-kadang dengan polifagia dan penglihatan kabur (ADA, 2018).
3.1.2 Epidemiologi
Prevalensi menurut World Health Organization (WHO), bahwa sekitar 150 juta
orang menderita diabetes melitus di seluruh dunia, dan jumlah ini mungkin dua kali
lipat pada tahun 2025. Sebagian besar kenaikan ini akan terjadi di negara-negara
berkembang dan akan disebabkan oleh pertumbuhan populasi penuaan, diet tidak sehat,
obesitas dan gaya hidup. Pada tahun 2025, sementara kebanyakan penderita diabetes
di negara maju yang berusia 65 tahun atau lebih, di negara-negara berkembang
kebanyakan berada di kelompok usia 45-64 tahun dan terpengaruh pada usia produktif
mereka (Muhartono & Sari, 2017).
3.1.3 Faktor Risiko
Adapun beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan diabetes mellitus,
diantaranya : (Zheng, 2018)
A. Riwayat keluarga dengan diabetes, seperti orang tua atau saudara kandung
dengan diabetes mellitus.
B. Usia Seseorang dengan usia >40 tahun memiliki peningkatan risiko terhadap
terjadinya DM dan intoleransi glukosa yang disebabkan oleh faktor degeneratif
yaitu menurunnya fungsi tubuh, khususnya kemampuan dari sel ß dalam
mensekresikan insulin untuk mematabolisme glukosa.
C. Jenis Kelamin Perempuan lebih berpeluang untuk terjadi DM dibandingkan
laki laki dengan alasan faktor hormonal dan metabolisme.

21
D. Obesitas (BMI ≥25 kg/m2) Obesitas dikaitkan dengan banyak kelainan
metabolik yang dapat meneyababkan resistensi insulin
E. Aktivitas fisik yang kurang Pengaruh aktivitas fisik secara langsung
berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemulihan glukosa otot (seberapa
banyak otot mengambil glukosa dari aliran darah)
F. Ras / etnis Ras Asia umumnya memiliki presentase lemak tubuh total dan lemak
viseral yang lebih tinggi dibandingkan ras kulit putih hal ini akan meningkatkan
risiko DM tipe 2 (Sudoyo, 2018).
G. Kadar kolesterol Dislipidemia dapat menyebabkan terjadinya resistensi
insulin.
H. Merokok Perokok cenderung memiliki akumulasi lemak sentral daripada bukan
perokok, selain itu rokok diketahui dapat menyebabkan resistensi insulin dan
menurunkan respon dari sekresi insulin.
3.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan American Diabetes Association (2018) :
1. Diabetes melitus Tipe 1
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenille-onset dan tipe dependen
insulin, namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Pada tipe ini
terjadi destruksi sel beta pankreas dan menyebabkan pankreas gagal
menghasilkan insulin ditandai dengan kurangnya produksi insulin. Diabetes
tipe 1 ini dapat dibagi dalam 2 subtipe yaitu autoimun (akibat disfungsi
autoimun dengan kerusakan sel-sel beta) dan idiopatik (tanpa bukti adanya
autoimun dan tidak diketahui sumbernya) (PERKENI, 2019).
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan
tipe non dependen insulin disebabkan ketidakmampuan tubuh menggunakan
insulin secara efektif yang dihasilkan oleh pankreas. Pada tipe ini terjadi

22
dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relative sampai yang
dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin, atau keduanya.
3. Diabetes gestasional
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan
mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah
usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat gestasional
terdahulu.
4. Tipe spesifik lain
a. Cacat genetik fungsi sel beta : MODY
b. Cacat genetik kerja insulin : sindrom resistensi insulin berat
c. Endokrinopati : sindrom cushing, akromegali
d. Penyakit eksokrin pancreas
e. Obat atau diinduksi secara kimia
f. infeksi
5. Gangguan toleransi glukosa (IGT)
Pasien dengan IGT tidak dapat memenuhi kriteria diabetes melitus, tetapi tes
toleransi glukosanya memperlihatkan kelainan. Pasien-pasien ini asimtomatis.
6. Gangguan glukosa puasa (IFG)
Gangguan glukosa puasa ditetapkan dengan nilai antara 110 dan 126 mg/100
ml.

3.1.5 Patofisologi
Peningkatan kadar glukosa pada pasien diabetes mellitus sebagai akibat dari beberapa
hal diantaranya :
1. Rusaknya (destruksi) sel ß yang dipengaruhi oleh faktor eksternal (virus, zat
kimia, dll) atau dari faktor internal (penyakit autoimun) sehingga terjadi

23
defisiensi insulin, penurunan sensitivitas reseptor glukosa pada kelenjar
pankreas (Hammer, 2014 & Skyler, 2017).
2. Adanya resistensi insulin (kemunduran potensi insulin untuk meningkatkan
pengambilan glukosa dan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh) (Skyler,
2017).
3. Resistensi insulin dapat disebabkan oleh suatu produk sel ß yang abnormal,
antagonis insulin dalam sirkulasi, atau insensitivitas reseptor insulin di jaringan
perifer (Skyler, 2017).

Gambar 14. Patofisiologi dan Patogenesis Diabetes Mellitus (Skyler, 2017).


Pada DM tipe 1 umumnya disebabkan akibat kerusakan sel-sel ß pulau
Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun ataupun ideopatik. Ada beberapa
tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM tipe 1 diantaranya, ICCA (Islet Cell
Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet Cell Surface Antibodies), dan antibodi terhadap
GAD (glutamic acid decarboxylase) (Abbas, 2015). ICCA merupakan autoantibodi

24
utama pada pasien DM tipe 1 dan dapat dikenali oleh berbegai jenis sel pada pankreas.
Namun demikian, autoantibodi ini hanya selektif menghancurkan sel ß (Skyler, 2017).
Destruksi autoimun sel-sel ß pulau Langerhans pankreas dapat menyebabkan defisiensi
sekresi insulin. Hal ini yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM
tipe 1 (Kasper, 2015).
Pada DM tipe 2 ditandai dengan adanya gangguan sekresi insulin, resistensi
insulin, produksi glukosa yang meningkat, dan metabolisme lemak yang berlebihan.
Proses feedback (umpan-balik) antara fungsi dan sekresi insulin terganggu maka fungsi
insulin dalam hepar, otot, dan jaringan adiposa serta sekresi insulin oleh sel beta pada
pankreas juga turut terganggu. Hal ini berdampak pada peningkatan kadar glukosa
darah. Tahap awal DM tipe 2, toleransi glukosa cukup normal walaupun sudah terdapat
resistensi insulin yang diakibatkan oleh kompensasi sel beta untuk meningkatkan
sekresi dari insulin (Kasper, 2015).
Proses tersebut akan berdampak pada hiperinsulinemia akibat pankreas tidak
dapat berkompensasi lagi, sehingga terjadi penurunan sekresi insulin (Abbas, 2015).
Gangguan sekresi insulin ini akan meningkatkan prosuksi glukosa di dalam hepar
sehingga glukosa dalam darah akan meningkat (hiperglikemia) (Sudoyo, 2018).
Glukosa memiliki sifat menarik cairan sehingga penderita diabetes mellitus
memiliki kecenderungan untuk banyak kencing (poliuri). Tubuh yang kehilangan
banyak cairan melalui urine dapat mengalami dehidrasi. Kondisi ini menyebabkan rasa
haus yang terus - menerus sehingga selalu ingin minum (poidipsi). Sel-sel jaringan
tubuh yang kekurangan suplai glukosa akan menjadi menyusut sehingga kemudian
mengirimkan sinyal ke otak untuk merangsang pusat lapar, sehingga penderita diabetes
mellitus memiliki kecenderungan untuk makan terus-menerus (polifagi) (Sudoyo,
2018).
3.1.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik
defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan

25
kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan
karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini,
maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena
glukosa hilang bersama urin, maka pasien akan mengalami keseimbangan kalori
negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin
akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk
(Setiati dkk, 2017).
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang
eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen
yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dn
timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalua tidak mendapatkan pengobatan
segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan
umumnya penderita peka terhadap insulin (Setiati dkk, 2017).
Pasien diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,
dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut
mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolpen. Biasanya mereka tidak
mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun
hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat
ketoasidosis (Alwi, 2015).

3.1.7 Diagnosis
Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.
Tabel 4 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus
No : Kriteria Diagnosis DM

26
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1
mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat


pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa> 126 mg/dL (7,0 mmol/L)

Puasa diartikan dimana pasien tidak mendapatkan kalori


tambahan sedikitnya 8 jam.

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban


glukosa yan setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air.

4. HbA1C (≥ 6,5%)

Sumber : Sudoyo, 2018

Gambar 15. Alur diagnosis Diabetes melitus


Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah
lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus
vagina pada wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnose DM. Hasil pemeriksaam kadar

27
glukosa darah puasa ≥126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal,
baik kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥200
mg/dl pada hari yang lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO)
didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥200 mg/dl (Setiati dkk, 2017).
3.1.8 Tatalaksana
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan DM terdiri dari; pertama terapi non
farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola
makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan
edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan
secara terus menerus, kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti
diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika
penerapan terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan
kadar glukosa darah sebagainana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis
tidak meninggalkan terapi non farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya (Tanto
dkk, 2016).
1. Terapi Nonfarmakologis
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien menurut PERKENI (2019) meliputi
pemahaman :
a. Perjalanan penyakit DM
b. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
c. Penyulit DM dan risikonya
d. Intervensi farmakologis dan non farmakologis serta target perawatan
e. Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik dan hipoglikemik orak atau
insulin serta obat-obat lainnya

28
f. Cara pemantauan glukosa darah
g. Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti hipoglikemia
h. Pentingnya perawatan diri
2. Terapi Gizi Medis
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
a. Karbohidrat
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetes tidak boleh
lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari
70% jika dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai
tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat
terdapat kandungan energy sebesar 4 kilokalori.
b. Lemak
Lemak mempunyai kandungan sebesar 9 kilokalori per gramnya. Berdasarkan
ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan lemak
tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan
bagi para diabetes karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal
yang sering dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal
(MUFA = monounsaturated fatty acid), merupakan salah satu asam lemak yang
dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada
diet diabetisi dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol
VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak
jenuh rantai panjang (PUFA = polyunsaturated fatty acid) dapat melindungi
jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA
mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di
dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat
menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar
kolesterol LDL. Untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai

29
panjang, dianjurkan untuk mengkonsumsi ikan seminggu 2-3 kali (Kemenkes
RI, 2018).
c. Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15%
dari total kalori per hari.
Perhitungan jumlah kalori :
Laki-laki : BB idaman (kg) x 30 kalori
Perempuan : BB idaman (kg) x 25 kalori
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan
siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara
makan besar.
3. Latihan Jasmani
Jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5 kali per
minggu dengan durasi 30-60 menit. Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang
disenangi serta memungkin untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot
besar (Kemenkes RI, 2018).

2. Terapi Farmakologis
Beberapa farmakoterapi yang dapat digunakan sebagai anti-hiperglikemik, yaitu :

Gologan Generik Keuntungan Kerugian Kontraindikasi

30
Biguanid • Metformin • Tidak • Efek samping • Dehidrasi
menyebabkan gastrointestinal • Gagal hati
hipoglikemia • Risiko asidosis • GGK dengan laju
• Menurunkan laktat filtrasi
kejadian cvd • Defisiensi Vit glomerulus < 30
B12 ml/min
Sulfonylurea • Glibenclami • Efek • Risiko • Alergi
de hipoglikemik hipoglikemia sulfonylurea
• Glipizide kuat • Peningkatan BB • Gagal ginjal
• Gliclazide • Menurunkan • Pasien lansia
• Glimepiride komplikasi • Pasien
mikrovaskular hipoglikemia
Metiglinides • Repaglinide • Menurunkan • Risiko
glukosa hipoglikemia
postprandial • Peningkatan BB

Tabel 5 Obat Anti-Hiperglikemia Oral DM (ADA, 2018)

Golongan Generik Keuntungan Kerugian Kontraindikasi

Thiazolidinediones • Pioglitazone • Tidak • Peningkatakan • Gagal jantung


menyebabkan BB kongestif
hipoglikemia • Edema, gagal • Gagal hepar
• Meningkatkan jantung • Gagal ginjal
HDL • Risiko fraktur
• Menurunkan meningkat pada
TG wanita
• Menurunkan menopause
kejadian CVD
Alfa-Glucosidase • Acarbose • Tidak • Efek samping • Penyakit
inhibitor • Voglibose menyebabkan gastrointestinal intestinal
hipoglikemi • Gagal ginjal
• Menurunkan
glukosa darah
postprandial
• Menurunkan
kejadian CVD

DPP-4 inhibitor • Sitagliptin • Tidak • Angioedema,


• Linagliptin menyebabkan urtica, atau efek
hipoglikemi dermatologis
• Ditoleransi lainnya yang
dengan baik dimediasi respon
imun

31
• Hospitalisasi
akibat gagal
jantung

SGLT-2 inhibitors • Canagliflozin • Tidak • Infeksi urogenital • Gagal ginjal


• Dapagliflozin menyebabkan • Poliuria kronik
• Empagliflozin hipoglikemia • Hipotensi / • Infeksi saluran
• Penurunan BB hypovolemia kemih
• Penurunan TD • Peningkatan
• Efektif untuk kreatinin
semua fase DM

Tabel 6. Obat Anti-Hiperglikemia Injeksi (ADA, 2017)


Golongan Generik Keuntungan Kerugian

Insulin 1. Rapid-acting • Respon • Hipoglikemia


analog universal • Meningkatkan BB
o Aspart • Efektif • Tidak nyaman
o Glulisine menurunkan • Perlu pelatihan pasien
o Lispro glukosa darah
2. Short-acting • Menurunkan
o Human komplikasi
insulin mikrovaskular
3. Intermediate-
acting
o Human NPH
(Neutral
Protamine
Hagedorn)
4. Basal insulin
analog
o Glargine
o Detemir
o Degludec
5. Pre-mixed insulin
o Human
regular insulin
with NPH
o Rapid acting
insulin analog
with NPH

32
Agonis 1. Liraglutide • Tidak • Efek samping gastrointestinal
GLP-1 2. Exenatide menyebabkan • Meningkatkan denyut jantung
3. Albiglutide hipoglikemia • Bentuknya ijeksi
4. Lixisenatide • Menurunkan • Membutuhka pelatihan pasien.
5. Dulaglutide glukosa
postprandial
• Menurunkan
faktor risiko
CVD

3.4 Anemia
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala
berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu, dalam diagnosis
anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan
penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali
penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan
menuntun para klinisi ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan
penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui
penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus
anemia tersebut. Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang
patogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalam memilih, menganalisis
serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan penunjang lainnya (Bakta, 2016).
Anemia didefinisikan dari National Kidney Foundation Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (NKF/K-DOQI) sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb)
yang kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan kurang dari 12 g/dL pada wanita
dewasa. Berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO), anemia dikatakan
bila hemoglobin < 13 g/dl pada laki-laki dan < 12 g/dl pada wanita dewasa tidak hamil.
Di Indonesia untuk mempermudah klinisi dalam menangani dan mendiagnosa anemia
digunakan kriteria klinik anemia yaitu hemoglobin < 10 g/dl, hematokrit < 30% dan
eritrosit < 2,8 juta/mm3 (Bakta, 2016). Anemia merupakan temuan yang hampir selalu
ada pada pasien penyakit ginjal lanjut, dengan hematokrit 18% hingga 20% lazim

33
terjadi. Anemia pada gagal ginjal kronik merupakan anemia jenis normokromik
normositik, yaitu anemia karena terjadi defisiensi eritropoietin. Penelitian retrospektif
observasional pada pasien hemodialisis dan gagal jantung menunjukkan bahwa anemia
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya mortalitas. Selain itu, anemia
mempengaruhi morbiditas pada pasien gagal ginjal tahap akhir (ESRD), gagal ginjal
kronik, dan gagal jantung (Suega, 2014).

A. Anemia Penyakit Kronik


Anemia pada penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit kronik
tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme besi, yaitu hipoferemia
sehingga penyediaan besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin berkurang tetapi
cadangan besi sumsum tulang masih cukup (Bakta, 2016). Anemia penyakit kronik
biasanya merupakan anemia derajat ringan hingga sedang (kadar hemoglobin 8-9,5
g/dl) dengan morfologi normokromik normositer atau bisa juga hipokromik mikrositer
akibat semakin progresifnya perjalanan penyakit (Suega, 2014).
Anemia penyakit kronik ditandai dengan rendahnya kadar besi serum, serum
transferin yang rendah atau normal, dengan ferritin normal atau meningkat. Kadar
retikulosit sering rendah sebagai akibat ekspresi dari produksi sel darah merah yang
rendah, dan terjadi hypoferemia sebagai akibat perolehan besi dari sistem
retikuloendotelial. Konsekuensi dari rendahnya kadar besi serum adalah menurunnya
saturasi transferrin dan dapat semakin rendah bila terjadi anemia defisiensi besi dan
penyakit kronik secara bersamaan. Kadar ferritin bisa normal atau meningkat pada
pasien anemia penyakit kronik, dimana hal ini menggambarkan tingginya cadangan
besi akibat retensi besi pada sistem retikuloendotelial, dan ferritin yang tinggi juga
sering terjadi akibat suatu aktivasi sistem imun. Anemia dengan gambaran mikrositer
sering akibat adanya kondisi defisiensi besi yang bersamaan dengan penyakit kronik.
Patogenesis anemia inflamasi sama dengan anemia penyakit kronik secara umum
melibatkan beberapa mekanisme, yaitu pemendekan masa hidup eritrosit, gangguan
produksi eritropoetin, penurunan respon sumsum tulang terhadap Eritropoetin dan

34
gangguan homeostasis besi (Suega, 2014). Secara lengkap, patogenesis anemia
penyakit kronik khususnya yang terkait gangguan homeostasis besi, dapat dilihat pada
gambar berikut ini.

Gambar 17. Patofisiologi


Pada panel A, invasi mikroorganisme, munculnya sel ganas, disregulasi autoimun
akan memicu aktivasi sel T (CD3+) dan monosit. Sel ini akan menginduksi mekanisme
efektor, dengan memproduksi sitokin seperti IFN γ (dari sel T) dan TNF α, IL 1, IL 6,
dan IL 10. Pada panel B IL 6 dan lipopolisakarida akan menstimulasi ekspresi protein
fase akut hepcidin di hepar yang akan menghambat absorpsi duodenum pada besi. Pada
panel C, IFN γ, lipopolisakarida atau keduanya meningkatkan ekspresi DMT 1 pada
makrofag dan menstimulasi ambilan besi. Sitokin antiinflamasi IL 10 meningkatkan
ekspresi reseptor transferin dan meningkatkan ambilan besi yang terikat transferin ke
dalam monosit. Sebagai tambahan makrofag yang teraktivasi akan mendegradasi
eritrosit yang mati untuk daur ulang besi.

35
Proses ini lebih jauh akan dipicu oleh TNF α melalui kerusakan membran eritrosit
dan menstimulasi fagositosit. IFN γ dan lipopolisakarida menurunkan ekspresi
ferroportin transporter besi pada makrofag sehingga menghambat pengeluaran besi
dari makrofag. Proses ini dipengaruhi oleh hepcidin. Pada waktu yang sama TNF α, IL
1, IL 6 dan IL 10 menginduksi ekspresi ferritin dan menstimulasi penyimpanan dan
retensi besi pada makrofag. Jadi secara umum mekanisme ini akan menurunkan
konsentrasi besi pada sirkulasi dan mengurangi ketersediaan besi untuk sel induk
eritroid. Pada Panel D, TNF α dan IFN γ dan menghambat produksi eritropoetin pada
ginjal. Pada panel E, IFN γ dan IL 1 secara langsung menghambat diferensiasi dan
proliferasi dari sel induk eritroid. Rendahnya ketersediaan besi akan menurunkan
aktivitas biologis eritropoetin sehingga akan menghambat eritropoesis dan
menyebabkan berkembangnya anemia (Suega, 2014).

Tabel 8. Perbandingan Anemia Penyakit Kronik dengan Anemia Defisiensi Besi

Anemia penyakit kronis biasanya merupakan komplikasi dari suatu penyakit


kronis. Tujuan dari tata laksana APK adalah memperbaiki penyakit kronis yang
mendasarinya. Penanganan awal dari anemia penyakit kronis hanya bertujuan untuk
meningkatkan kadar hemoglobin melalui transfusi darah atau pemberian zat besi.
Namun, saat ini tata laksana berubah sesuai dengan penyakit sistemik yang
mendasarinya. Berikut adalah tata laksana yang dapat dipertimbangkan pada anemia
penyakit kronis (Hadiyanto et al, 2018).

36
a. Tata Laksana Rasional
Tata laksana rasional pada anemia penyakit kronis berdasarkan dua hal, yaitu
(1) Anemia dapat memburuk sehingga membutuhkan kompensasi dari
peningkatan curah jantung untuk mempertahankan hantaran oksigen ke seluruh
tubuh dan (2) Anemia menunjukkan prognosis buruk, terlebih pada pasien usia
lanjut dengan faktor risiko (penyakit arteri koroner, penyakit paru, gagal ginjal
kronis).5,23 Kadar Hb ≤ 8 g/dL pada pasien penyakit ginjal kronis dan menjalani
hemodialisis menunjukkan adanya peningkatan 2 kali risiko kematian jika
dibandingkan dengan pasien dengan kadar Hb 10–11 g/dL.20 Pasien dengan kadar
Hb >10 g/dL menunjukkan adanya perbaikan angka kehidupan dan juga hasil
terapi yang baik (Hadiyanto et al, 2018).
b. Tatalasana Pilihan
• Transfusi
Terapi transfusi diberikan untuk intervensi yang cepat dan efektif, terutama
pada anemia yang mengancam jiwa (Hb <6,5 g/dL). Tidak ada batasan kadar
hemoglobin yang pasti sebagai indikasi pemberian transfusi tetapi sebaiknya
kadar hemoglobin pasien dipertahankan pada 10-11 g/dL. Walaupun transfusi
dapat meningkatkan angka kelangsungan hidup, transfusi juga dapat
meningkatkan risiko kegagalan multi-organ dan angka mortalitas pada pasien
kritis. Transfusi darah jangka panjang tidak direkomendasikan pada anemia
penyakit kronis dengan kanker/gagal ginjal kronis karena risiko serta efek
samping berupa overload besi dan sensitisasi antigen HLA yang terjadi pada
pasien sebelum transplantasi ginjal (Hadiyanto et al, 2018).
• Terapi Zat Besi
Pemberian terapi zat besi pada anemia penyakit kronis hanya diberikan
apabila terdapat defisiensi zat besi. Defisiensi besi pada anemia penyakit kronis
diberikan suplementasi besi baik secara tunggal atau kombinasi dengan agen stim-
ulasi eritropoietin.5 Walaupun pemberian tablet besi secara oral mudah

37
diaplikasikan dan biaya yang dibutuhkan sedikit, tetapi efektifitasnya menurun
karena hepsidin membatasi penyerapan besi pada saluran cerna. Oleh karena itu,
pemberian besi secara intravena jauh lebih efektif (Hadiyanto et al, 2018).
• Eritropoietin
Selain untuk menghindarkan pasien dari transfusi serta efek sampingnya,
pemberian eritropoietin juga mempunyai keuntungan berupa efek anti-inflamasi
dengan cara menekan produksi dari TNF-α dan interferon-γ. Pemberian
eritropoietin dikhususkan pada anemia penyakit kronis dengan penyakit gagal
ginjal kronis yaitu pemberian eritropoietin alfa (Hadiyanto et al, 2018).

38
BAB IV
PEMBAHASAN

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik yang
ditandai dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin,
defek kerja insulin, atau keduanya. Salah satu komplikasi dari DM dapat berupa
kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih,
tuberkulosis paru, dan infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi
ulkus/gangren diabetik.
Menurut International Diabetes Federation (IDF) dan World Health
Organization (WHO), terdapat 382 juta orang yang hidup dengan DM di dunia pada
tahun 2013. Diperkirakan juga, 175 juta diantaranya belum terdiagnosis sehingga
terancam berkembang progresif menjadi komplikasi yang salah satunya menjadi
ulkus/gangrene diabetik.
Pada pasien ini didiagnosis DM tipe 2 dikarenakan berdasarkan anamesis pasien
memang menderita DM tipe 2 sejak lima tahun yang lalu tetapi tidak rutin kontrol dan
minum obat. Sebelumnya pasien memiliki keluhan sesuai dengan keluhan klasik DM
yaitu sering berkemih terutama pada malam hari, selalu merasa haus dan lapar. Selain
itu juga pasien memiiki keluhan lainya yaitu merasa seluruh badannya lemas. Keluhan
lemas tersebut diikuti dengan perasaan letih, dan lesu. Awalanya pasien merasa
keluhannya tersebut merupakan keluhan biasa yang akan segera membaik jika pasien
beristirahat, namun keluhan tersebut tidak kunjung menghilang dengan istirahat yang
ia lakukan. Pasien juga mengatakan keluhan lain bahwa ia sering merasa pusing dan
pandangannya berkunang - kunang selama hampir seminggu ini. Suatu hari keluarga
pasien mengakatakan wajah pasien tampak pucat, karena khawatir dengan hal tersebut,
akhirnya keluarga membawa pasien ke puskesmas untuk memeriksakan kondisinya.
Berdasarkan hal tersebut kemungkinan pasien mengalami anemia penyakit kronik.

39
Keadaan diabetes mellitus yang dialami pasien sejak lima tahun lalu menjadi penyebab
kenapa pasien ini mengalami anemia.
Hasil pemeriksaan fisik pasien dan pemeriksaan penunjang didapatkan keadaan
umum lemas dengan tingkat kesadaran composmentis, tanda vital pasien diperoleh
peningkatan tekanan darah dan nadi yakni TD: 130/70 mmHg dan frekuensi nadi
120x/menit. Status generalis mata konjungtiva anemis (+/+) dan yang lain dalam batas
normal. Pemeriksaan penunjang berupa darah lengkap yang dilakukan, didapatkan
penurunan HGB sebesar 6.7 mg/dl, penurunan RBC, penurunan trombosit dan
penurunan HCT. Pada pemeriksaan kimia darah, didapatkan creatinine, glukose,
mengalami peningkatan. Peningkatan glukose pada pasien dalam laporan akibat gula
darah pasien yang tidak terkontrol walaupun telah mengkonsumsi metformin, dimana
pasien sudah mengalami DM type 2 sejak lima tahun yang lalu. Penurunan HGB dan
RBC dan pasien, dapat diakibatkan karena kadar retikulosit sering rendah sebagai
akibat ekspresi dari produksi sel darah merah yang rendah, dan terjadi hipoferemia
sebagai akibat perolehan besi dari sistem retikuloendotelial. Konsekuensi dari
rendahnya kadar besi serum adalah menurunnya saturasi transferrin dan dapat semakin
rendah bila terjadi anemia defisiensi besi dan penyakit kronik secara bersamaan. Kadar
ferritin bisa normal atau meningkat pada pasien anemia penyakit kronik, dimana hal
ini menggambarkan tingginya cadangan besi akibat retensi besi pada sistem
retikuloendotelial, dan ferritin yang tinggi juga sering terjadi akibat suatu aktivasi
sistem imun. Anemia dengan gambaran mikrositer sering akibat adanya kondisi
defisiensi besi yang bersamaan dengan penyakit kronik. Kadar trombosit pasien rendah
akibat defisiensi trombopoietin yang berhubungan dengan gangguan ginjal yang
dialami pasien, terdapat peningkatan yang bermakna pada ureum dan kreatinin yang
menunjukkan adanya gangguan pada ginjal. eGFR pasien 57 ml/min/1,72 m2, sehingga
pasien ini juga didiagnosis AKI dd ACKD ec prerenal dd renal dd post renal.
Penatalaksanaan anemia penyakit kronis biasanya merupakan komplikasi dari
suatu penyakit kronis. Tujuan dari tata laksana APK adalah memperbaiki penyakit

40
kronis yang mendasarinya. Penanganan awal dari anemia penyakit kronis hanya
bertujuan untuk meningkatkan kadar hemoglobin melalui transfusi darah atau
pemberian zat besi. Pada pasien ini kemungkinan penyebab anemia penyakit kronisnya
adalah diabetes mellitus. Penanganan penyakit dasarnya harus dilakukan sesegera
mungkin. Komponen penting dalam manajemen diabetes mellitus menurut ADA
(2013) adalah pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup
dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis,
meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan
penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi farmakologis,
yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Tujuan
penatalaksanaa CKD adalah mempertahankan fungsi ginjal dan homoestasis selama
mungkin, mengidentifikasi semua faktror yang berkontribusi terhadap penurunan
fungsi ginjal dan untuk mencegah gagal ginjal tahap akhir. Adapun terapi pada pasien
ini merupa medikamentosa yang diberikan pada pasien ini berupa pemberian, infus -
Infus amino fluid : NaCl 20 tpm, diet DM 1700 kkal/hari low protein low salt, tranfusi
PRC sampai Hb ≥ 10 mg/dl dengan premedikasi furosemid 2 amp + difenhidramine
2cc, omeprazole 2 x 40 mg, ondansentron 3 x 4 mg, insulin glargine (lantus) 1 x 14 IU,
insulin glulisine (apidra) 3 x 8 IU dan non medikametosanya berupa Konsul Sp. KGH
dan pemberian KIE kepada pasien dan keluarga pasien.

41
BAB V
KESIMPULAN

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik yang
ditandai dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin,
defek kerja insulin, atau keduanya. Anemia penyakit kronik adalah anemia yang
dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme
besi. Penatalaksanaan DM terdiri dari; pertama terapi non farmakologis yang meliputi
perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai
terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang
berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi
farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin.

42
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, I. 2015. Panduan Praktik Klinis: Prosedur di Bidang Penyakit Dalam.


Jakarta:Internal Publishing.
American Diabetes Association (ADA). 2018. Standards Of Medical Care In
Diabetes. Available at https://care.diabetesjournals.org. Diakses tgl 12/9/2020.
Bakta, I.M. 2016. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC
Hadiyanto, J.N., Margareth Gracia, Alius Cahyadi, Mario Steffanus. (2018). Anemia
Penyakit Kronis. Jurnal Indonesia Medical Association, Volume 68, Nomor 10,
pp. 443-450
Hutagalung, M. B. Z., Eljatin, D. S., Sarie, V. P., Sianturi, G. D. A., & Santika, G. F.
(2019). Diabetic foot infection (infeksi kaki diabetik): diagnosis dan
tatalaksana. Cermin Dunia Kedokteran, 46(6), 414-418.
Hammer, Gary D & J. Stephen. 2014. Pathophysiology Of Disease An Introduction To
Clinical Medicine. Ed. 7. USE : Mc Graw Hill Education
Kemenkes RI. 2018. Infodatin Hari Diabetes Sedunia Tahun 2018. Available at
https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodati
n/i nfodatin-Diabetes-2018.pdf. Diakses tgl 11/9/2020
Kasper, DL., et al. 2015. Horrison’s Principles of Internal Medicine Ed.19. New
York : McGraw-Hill
Muhartono & Sari, Ratna Novalia. 2017. Ulkus Kaki Diabetik Kanan Dengan Diabetes
Mellitus Tipe 2. Journal Agromed Unila 4 (1) : 133-139
PERKENI. 2019. Pedoman Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
Dewasa Di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI
Setiati, Siti., Alwi, Idrus., Sudoyo, Aru., Simadibrata, Marcellus., Setiyohadi,
Bambang., Syam, Ari Fahrial. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6
Jilid 1. Jakarta: Interna Publishing

43
Sudoyo, AW., Setiati S., Stiyohadi B., Syam AF. 2018. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta : Internal Publishing
Skyler, Jas J, et al. 2017. Differentiation of Diabetes by Pathophysiology, Natural
History, and Prognosis. USA : ADA
Suega, K. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat: Interna Publihing, pp. 425-556
Tanto, Chris., Liwang, Frans.., Hanifati, Sonia., Pradipta, Eka Adip. 2016. Kapita
Selekta Kedokteran Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius.
World Health Organization. Technical report on critical concentrations for TB drug
susceptibility testing of medicines used in the treatment of drug-resistant TB.
Geneva, Switzerland: World Health Organization,, 2018.
Zheng, Yan. Ley, Sylvia H & Hu, Frank B. 2018. Global Aetiology And
Epidemiology Of Type 2 Diabetes Mellitus And Its Complication. USE :
Macmillan Publisher. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29219149

44

Anda mungkin juga menyukai