Anda di halaman 1dari 45

I.

IDENTITAS
A. Pasien
Nama : An. JP
Umur : 9 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Bekasi
Agama : Islam
Pendidikan : Belum sekolah

B. Orang Tua Pasien


AYAH IBU
Nama Tn. A (alm) Ny. L (alm)
Agama Islam Islam
Alamat Ciputat, Tangerang Ciputat, Tangerang
Pendidikan terakhir SMA SMA
Pekerjaan ?? ??
Penghasilan - -
Pernikahan ke- 1 (30 tahun) 1 (28 tahun)
Dijelaskan pada Riwayat Penyakit Dijelaskan pada Riwayat Penyakit
Penyakit
Keluarga Keluarga

II. ANAMNESIS
Dilakukan alloanamnesis pada tante pasien pada tanggal 25 Februari 2012 pada pukul
13.30 WIB, serta data sekunder dari rekam medik.

A. Keluhan Utama
Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Keluhan tambahan: demam hilang timbul sejak 1 bulan yang lalu
B. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien dibawa ke RSUD Bekasi oleh wali pasien karena keluhan perut semakin
kembung sejak 1 hari SMRS, terdapat demam, batuk berdahak kadang-kadang, muntah (+)
1 kali, isi susu, darah tidak ada. BAK banyak, warna kuning jernih, tidak nyeri saat BAK.
BAB 1x/hari, lunak, coklat, tidak ada darah atau lendir.
4 hari SMRS, pasien demam (suhu tidak diukur), demam tidak mendadak tinggi,
tidak ada kejang. Tidak menggigil. Perut pasien seperti kembung. Buang air besar dan
buang air kecil lancar. Muntah setiap kali makan dan minum. Pasien sebelumnya tidak
habis dibawa berpergian keluar kota. Timbul bintik-bintik merah, mimisan, gusi berdarah
serta BAB hitam disangkal. DBD di lingkungan sekitar (-). Pasien dibawa ke klinik, lalu
diminta dirujuk ke RSCM untuk dilakukan USG, hasilnya dikatakan ada gangguan ginjal.
Riwayat bengkak pada tubuh (-)
2 minggu SMRS, perut pasien tampak kembung. Pasien tidak mau makan dan
minum, muntah kadang-kadang. Buang air kecil banyak, lancar, warna kuning, tidak
menangis saat akan BAK. Buang air besar 1x/hari, lunak, warna coklat, tidak ada lendir
atau darah.
1 bulan SMRS, pasien demam namun tidak mendadak tinggi, demam hilang timbul.
Demam tidak disertai kejang. Pasien saat itu juga batuk dan pilek. BAK banyak, jernih,
tidak nyeri. BAB 1x/hari, lunak, tidak ada darah atau lendir. Muntah tidak ada. Keluar
cairan dari telinga tidak ada.
Pasien belum pernah dirawat sebelumnya, namun menurut keluarga, pasien sering
sakit-sakitan sejak lahir, pasien sering demam dan batuk pilek. Pasien juga sering terbangun
saat malam hari dan rewel sejak ibu pasien meninggal. Nafsu makan menurun, pasien hanya
mau minum susu. Penurunan berat badan tidak diketahui.
Riwayat diare lama, batuk lama disangkal. Sariawan di mulut disangkal. Riwayat
mimisan, gusi berdarah, BAB hitam disangkal. Benjolan di leher atau tubuh lainnya (-)

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Alergi (-). Kejang (-).

D. Riwayat kehamilan dan kelahiran


Riwayat kontrol kehamilan & kesehatan ibu saat hamil teratur. Menurut keluarga,
saat hamil pasien kadang sakit-sakitan namun tidak berobat ke dokter. Pasien lahir spontan
(per vaginam) ditolong oleh bidan di RS bersalin, cukup bulan, pasien langsung menangis,
dengan berat lahir 3500 kg, panjang badan saat lahir keluarga tidak tahu. Pasien tidak biru,
tidak kuning saat lahir.

E. Riwayat Imunisasi
Tante pasien tidak mengetahui riwayat imunisasi dasar (BCG, Hepatitis B, Polio,
DPT serta campak) pada pasien.

F. Riwayat Nutrisi
Sejak lahir pasien diberi ASI oleh ibunya hingga 2 minggu yang lalu (ibu pasien
meninggal). Setelah meninggal pasien diberi minum susu formula (Bebelac) sehari 8 botol
(8x150cc), makanan padat sejak umur 6 bulan. Menurut keluarga, berat badan pasien
sempat naik beberapa kilogram setelah tidak minum ASI.

G. Riwayat Tumbuh Kembang


Menurut keluarga, perkembangan pasien tidak seperti anak seusianya. Saat
pemeriksaan, pasien saat ini baru dapat tengkurap bolak-balik, sudah dapat mengangkat
kepala. Pasien belum dapat duduk. Kontak mata (+), bergerak aktif dan menangis. Tumbuh
gigi sejak usia 7 bulan.

H. Data Keluarga dan Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien merupakan anak satu-satunya dari perkawinan kedua orang tuanya.
Ayah pasien meninggal 3 bulan yang lalu pada usia 32 tahun. Ayah pasien juga
merupakan pengguna narkoba (tidak diketahui sejak kapan), dan perokok berat. Ayah
pasien dikatakan menderita sakit liver namun tidak pernah dirawat. Menurut keluarga, ayah
pasien tidak terlihat kuning dan perut tidak terlihat membuncit, sering sariawan di mulut
tidak diketahui. Keluarga mengatakan ayah pasien menderita HIV dan mengetahuinya
setelah melakukan pemeriksaan HIV.
Ibu pasien meninggal 2 minggu sebelum pasien masuk rumah sakit pada usia 30
tahun. Menurut keluarga, ibu pasien memiliki perawakan kurus. Diakui bahwa ibu pasien
merupakan pengguna narkoba jarum suntik dan perokok sejak usia muda, namun tante
pasien tidak mengetahui dengan rinci riwayat penggunaan narkoba karena ibu pasien
tinggal bersama nenek pasien. Ibu pasien sebelumnya pernah diperiksakan tes HIV dan
dikatakan positif, namun belum pernah mendapat ARV.
Tidak ada riwayat transfusi darah kedua orangtua pasien. Batuk-batuk lama pada
keluarga yang tinggal serumah disangkal.

I. Situasi Kehidupan Sekarang


Sejak ibu pasien meninggal, pasien tinggal dan diasuh oleh tante pasien. Pembiayaan pasien
dibiayai oleh wali pasien dan nenek pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK


III.1 Pemeriksaan fisik pada 25 Februari 2012 pukul 13.30 WIB.
Keadaan umum : tampak sakit sedang, rewel, aktif
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital:
 Frekuensi Nadi : 160 x/menit, regular, isi cukup (menangis)
 Frekuensi Nafas : 61 x/menit, abdominotorakal (menangis)
 Suhu : 38,6 °C (aksila sinistra)
Status Gizi
 Berat badan : 7,6 Kg
 Panjang badan : 62 cm
 Lingkar kepala : 40 cm
Data antropometri : (berdasarkan kurva CDC)

a. BB/U : 7,6/9,2 x 100% = 82% (Kesan : Gizi baik)


b. TB/U : 62/71 x 100% = 87% (Kesan : Gizi kurang)
c. BB/TB : 7,6/6,6 x 100% = 115% (Kesan :Gizi baik)
Kesan : gizi baik

Status generalis :
Kepala : LK 52 cm, tidak ada deformitas, UUB datar; rambut tipis warna hitam
tersebar merata, tidak mudah dicabut. Wajah bentuk simetris, tidak tampak pucat.
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, pupil isokor 2mm/2mm,
Refleks cahaya langsung +/+, Refleks cahaya tak langsung +/+.
Nistagmus (-). Ptosis (-). Lagoftalmus (-)
Telinga : daun telinga normotia, serumen -/-, secret -/-, membrane timpani sulit
dinilai.
Hidung : bentuk normal, tidak ada deviasi septum. Napas cuping hidung -/-,
mukosa tidak hiperemi, sekret -/-
Mulut dan Tenggorokan : bibir simetris, bibir tampak kering, mukosa cukup lembab,
faring hiperemis sulit dinilai, stomatitis tidak ada.
Leher : KGB tidak teraba membesar, trakea lurus di tengah
Jantung :
o Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi : Iktus cordis teraba di sela iga IV sebelah medial linea
midklavikula sinistra
o Perkusi : Batas kanan jantung pada sela iga IV linea sternalis dextra.
Batas kiri jantung pada sela iga V, 1 cm medial linea
midklavikula sinistra
Batas pinggang jantung : sela iga III, linea parasternalis sinistra
o Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru :
o Inspeksi : Tampak simetris saat statis dan dinamis, tidak ada retraksi.
o Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
o Auskultasi : Suara napas vesikuler, tidak ada rhonki, tidak ada wheezing
Abdomen :
 Inspeksi : agak buncit
 Palpasi : supel, hati teraba 4 cm di bawah arcus costae, 3 jari bawah
prosesus xiphoideus, tepi tumpul, permukaan licin,
konsistensi kenyal, nyeri tekan (-). Limpa Schufner II.
Turgor cukup. Ballotement ginjal (-/-).
 Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
 Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”, edema -/-, ptekie (-), hematom (-),
clubbing finger (-)
Genitalia : fimosis (-)
Kulit ; tidak ada kelainan, ikterik (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang


A. Hasil pemeriksaan laboratorium
Tanggal 18/02/12 23/02/12 Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 9,2 g/dl 9,9 g/dl 10,5 – 12,9 g/dL

Hematokrit 30% 32% 35-43 %


Leukosit 8,6 ribu/ul 7,9 ribu/ul 5,5-18,0 ribu/uL

Trombosit 350.000/ul 321.000/ul 150-440 ribu/uL


Eritrosit 3.89 juta/ul 4,19 juta/ul 3.60-5,20 juta/uL
Hitung jenis
Basofil 0% 1-3%
Eosinofil 0% 0-1%
Netrofil 26% 18% 50-70 %
Limfosit 66% 75% 20-40 %
Monosit 8% 7% 2-8 %
Retikulosit 1,6 % 0.2-2.8%
Kimia klinik
Fungsi hati
SGOT 70 u/l 0-34 u/l
SGPT 78 u/l 0-40 u/l
Protein total 8,24 g/dl 6.00-8.00 g/dl
Albumin 3,42 g/dl 3.40-4.80 g/dl
Globulin 4,82 g/dl 2.50-3.00 g/dl
Fungsi ginjal
Ureum 44 mg/dL 20-40 mg/dL
Kreatinin 0,3 mg/dL 0.6-1.5 mg/dL
GDS 103 mg/dL 60-100 mg/dl
Bilirubin total 0,15 0,00-1,00
Bilirubin direk 0,04 < 0,2
Bilirubin indirek 0,11 < 0,6
Elektrolit
Natrium 137 135-147 mmol/L
Klorida 108 95-108 mmol/L
Kalium 4,20 3.10-5.10 mmol/L

Kesan:
Anemia
Limfositosis
Peningkatan enzim transaminase
Peningkatan ureum

Analisa Feses 18/02/12


Makroskopik
Konsistensi Lembek
Warna Kuning
Bau Normal
pH 0,6

B. Rontgen Toraks 18 Februari 2012


Kesan: sinus, diafragma baik. Paru: infiltrate perihiler, parakardial. Jantung dan aorta
normal. Kesan: Bronkopneumonia suspek proses spesifik

C. Pemeriksaan 23 Februari 2012


Dilakukan pemeriksaan HIV dengan hasil anti HIV reaktif

V. RESUME
Pasien laki-laki usia 9 bulan, BB 7,6 kg dibawa ke RSUD Bekasi dengan keluhan demam
4 hari smrs.
1 hari smrs, demam mulai turun, batuk berdahak kadang-kadang, muntah(+) 1 kali, isi
susu, tidak ada darah. BAK banyak, jernih, tidak nyeri. BAB lunak, coklat, tidak ada darah
atau lendir.
4 hari smrs: demam tidak mendadak tinggi, demam dirasakan sama saat pagi dan malam
hari, suhu tidak diukur, menggigil (-), kejang (-). Muntah (+) tiap kali makan & minum. BAB
dan BAK normal. Bintik bintik merah, mimisan, gusi berdarah disangkal. Riwayat DBD di
lingkungan (-).
Pasien dibawa berobat ke klinik dan dirujuk ke RSCM lalu dilakukan USG ginjal dan
dikatakan ada gangguan ginjal. Riwayat bengkak di tubuh (-)
2 minggu smrs, perut pasien tampak seperti kembung. Tidak mau makan dan minum,
muntah kadang-kadang. BAB & BAK normal.
1 bulan smrs, demam hilang timbul, pasien sering batuk dan pilek. BAB dan BAK
normal, muntah (-). Keluar cairan dari telinga (-).
Pasien sering sakit-sakitan (batuk pilek) namun belum pernah dirawat sebelumnya.
Pasien lebih sering rewel sejak ibu pasien meninggal, nafsu makan turun.
Riwayat sering mencret lama dan batuk-batuk lama (-). Sariawan di mulut (-).Kejang (-)
Pasien lahir ditolong bidan pervaginam, saat lahir kondisi baik, sejak lahir mendapat ASI.
Imunisasi pasien tidak diketahui.
Pasien merupakan anak pertama dari perkawinan orang tuanya. Riwayat penggunaan
narkoba jarum suntik pada kedua ortu (+). Batuk-batuk lama di keluarga (-). Ibu dan ayah
pasien pernah diperiksa tes HIV, hasilnya (+), namun belum pernah mendapat ARV
sebelumnya. Kedua ortu pasien kini sudah meninggal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, rewel, aktif,
kesadaran compos mentis, tanda vital yaitu frekuensi nadi 160 x/menit, regular, isi cukup
(menangis), frekuensi nafas 61 x/menit dan suhu 38,6 °C. Status Gizi baik. Status generalis
didapatkan konjungtiva anemis, dan hepatosplenomegali. Dari pemeriksaan neurologis tidak
didapatkan kelainan.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia, limfositosis, peningkatan enzim
transaminase, serta peningkatan ureum. Sedangkan analisis feses normal. Rapid Tes HIV (+).

VI. Diagnosis
Observasi febris pada HIV stadium klinis 3
VII. Pemeriksaan Anjuran
1. PCR RNA, dan CD4+

VIII. Penatalaksanaan
Non medikamentosa
 Bedrest
 Edukasi penyakit dan perjalanan penyakit

Medikamentosa
Paracetamol drop 3x0,8 ml (jika Suhu ≥ 380C)
Cefotaxime 3x100 mg
Gentamisin 3x7,5 mg
Dexa 3x1 mg
Kotrimoksasol 4-5 mg /kg BB dibagi dalam 2 dosis 3 kali seminggu

IX. Prognosis
Ad vitam : dubia

Ad fungsionam : dubia ad malam

Ad sanasionam : dubia ad malam

BAB II
ANALISIS KASUS

Infeksi HIV merupakan masalah kesehatan anak yang penting di banyak negara. Kasus
penularan transmisi vertikal merupakan penyebab utama kasus HIV pada anak, Infeksi HIV pada
anak menunjukkan gambaran klinis yang sangat bervariasi.
Pada ilustrasi kasus, pasien anak laki-laki usia 9 bulan, BB 7,6 kg dibawa ke RSF dengan
keluhan demam sejak 4 hari smrs, demam tidak mendadak tinggi, demam dirasakan sama
sepanjang hari, hanya turun sebentar dengan obat penurun panas.
Demam dapat disebabkan oleh infeksi maupun non infeksi. Demam 4 hari, memiliki
banyak kemungkinan diantaranya infeksi virus dengue, campak, chikunguya, malaria,
leptospirosis, infeksi saluran nafas, demam tifoid, infeksi saluran kemih, dehidrasi ataupun
imunokompromais.
Demam tidak disertai kejang ataupun ruam kemerahan, tidak menggigil, tidak ada tanda-
tanda perdarahan (bintik-bintik merah, mimisan, gusi berdarah), tidak ada batuk pilek
sebelumnya, BAK banyak, warna kuning jernih, tidak mengedan saat BAK, dan BAB 1x/hari,
lunak, tidak ada darah/lendir. Muntah kadang-kadang, nafsu makan biasa. Tidak ada riwayat
keluar cairan dari telinga. Riwayat lingkungan sekitar DBD (-), kebanjiran (-) Kaki dan tangan
tidak terasa lebih dingin dari biasanya. Tidak ada riwayat dibawa bepergian dari luar kota.
Sebelumnya, 2 minggu smrs, menurut keluarga, perut pasien tampak seperti kembung, namun
pasien tidak pernah mengalami perdarahan ataupun terlihat pucat. Pasien juga mengalami
demam hilang timbul sejak 1 bulan smrs, namun tidak didapatkan adanya riwayat sering
mencret lama dan batuk-batuk lama serta sariawan di mulut. Selama 7 hari perawatan, pasien
sempat mengalami demam dan diare selama 2 hari. Dari anamnesis tersebut, diagnosis yang
masih belum dapat disingkirkan adalah infeksi saluran kemih, dan keadaan imunokompromais.
Keadaan imunokompromais pada pasien dapat disebabkan oleh infeksi virus HIV, ataupun
keganasan.Kemungkinan imunokompromais dapat diperkuat oleh adanya demam (>380C)
persisten yang tidak dapat dijelaskan > 1 bulan dan pasien sering mengalami infeksi (infeksi
saluran pernafasan atas).
Melalui anamnesis, didapatkan bahwa pasien merupakan anak pertama dari perkawinan
orang tuanya. Pasien berasal dari keluarga dengan sosioekonomi baik. Pada kedua orang tua
pasien didapatkan adanya riwayat penggunaan narkoba jarum suntik. Riwayat seks bebas ortu
tidak diketahui. Riwayat transfusi darah pada pasien dan kedua orang tua pasien (-). Batuk-batuk
lama di keluarga (-). Ibu pasien pernah diperiksa tes HIV, dan hasilnya (+), namun belum pernah
mendapat ARV sebelumnya. Kedua ortu pasien kini sudah meninggal. Dari data tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pasien memiliki risiko tertular infeksi HIV dari ibu pasien. selain itu, risiko
tertular infeksi HIV pada pasien ini semakin diperbesar karena selama kehamilan ibu pasien
tidak pernah meminum ARV, pasien lahir secara pervaginam, sejak lahir pasien mendapat ASI,
imunisasi pasien tidak diketahui.
Pada literature disebutkan bahwa risiko transmisi vertikal meliputi: risiko saat kehamilan,
persalinan, dan menyusui.
Selama kehamilan (tidak minum ARV), risiko transmisi sekitar 5-10%. Untuk PMTCT
(prevention mother to child transmission), semua ibu hamil diberikan ARV pencegahan tanpa
melihat jumlah CD4 atau limfosit, namun pada kasus ini ibu pasien tidak pernah meminum ARV
sebelumnya.
Risiko saat persalinan per vaginam 10-20%. Hal ini dapat terjadi karena saat terjadi
kontraksi, maka akan terjadi penekanan plasenta, sehingga kemungkinan akan terjadi
pencampuran darah ibu dan bayi, resiko meningkat jika ada infeksi (malaria, sifilis,
chorioamnitis, dll), selain itu bayi mudah terpapar dengan darah dan cairan servikovaginal.
Paparan jalan lahir tergantung : kadar HIV cairan vagina ibu& kadar CD4 pada ibu, lesi pada
serviks atau vagina, perlukaan dinding vagina, infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini (risiko
meningkat 2 % tiap 1 jam setelah membran rupture, persalinan premature, prosedur obstetric
(amniotomy, episiotomy, forceps) yang dapat meningkatkan pajanan terhadap darah & sekret
ibu. Pada kasus ini tidak diketahui status kesehatan ibu saat hamil dan riwayat rinci persalinan
ibu.
Dalam literature disebutkan bahwa persalinan pervaginam dapat dilakukan jika
memenuhi persyaratan yaitu ibu minum ARV teratur, atau Muatan Virus/ Viral Load tidak
terdeteksi, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan muatan virus/ viral load pada usia
kehamilan 36 minggu ke atas. Selain itu ibu hamil dengan HIV (+) dianjurkan SC elektif (Sectio
Caesaria terjadwal dan sebelum terjadi tanda-tanda persalinan) karena menurunkan infeksi HIV
sampai 50% tanpa ARV dan sampai 80% dengan ARV (ZDV). Sectio Caesar dapat menurunkan
hingga 50-80% risiko transmisi.

Risiko transmisi dari ASI 10-20%. Pada kasus ini, didapatkan bahwa sejak awal lahir
hingga menjelang kematian ibu pasien, bayi selalu mendapatkan ASI dari ibunya. Pada teori
disebutkan bahwa risiko tambahan terhadap penularan HIV melalui pemberian ASI berkisar 10-
20%, dan tingkat infeksi pada bayi yang menyusu meningkat seiring dengan lamanya menyusu.
Konsentrasi virus HIV pada makrofag dan sel T yang terinfeksi, kadarnya lebih tinggi pada
kolostrum, juga disebutkan bahwa kandungan Cathepsin D pada ASI dapat meningkatkan
replikasi virus dan modifikasi afinitas gp120 sebagai ko-reseptor. Selain itu risiko transmisi
selama pemberian ASI juga tergantung dari status ibu dan bayinya, apakah ada lesi yang dapat
meningkatkan risiko. Jika ibu diketahui HIV (+) dan status anak tidak diketahui, harus
dilakukan konseling bagi ibu mengenai untuk perencanaan pemberian susu pengganti dengan
syarat AFASS. Berdasarkan hal yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa pasien
memiliki risiko sebesar 25-50% terinfeksi HIV dari ibunya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, rewel, aktif,
kesadaran compos mentis, tanda vital yaitu frekuensi nadi 160 x/menit, regular, isi cukup
(menangis), frekuensi nafas 61 x/menit, abdominotorakal (menangis), dan suhu 38,6 °C (aksila
sinistra). Status Gizi baik. Status generalis didapatkan mikrosefali, konjungtiva anemis, dan
hepatosplenomegali. Pada genitalia, tidak didapatkan adanya fimosis. Dari pemeriksaan
neurologis tidak didapatkan kelainan. Gambaran klinis yang menunjukkan kemungkinan infeksi
HIV pada kasus ini yaitu ditemukannya hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya
infeksi virus yang bersamaan seperti CMV, serta demam yang menetap dan/atau berulang :
demam (>380C) berlangsung lebih dari 7 hari, atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari,
dan kelainan neurologis: mikrosefali, perkembangan terlambat (umur 9 bulan, baru dapat
tengkurap).
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia normositik normokrom dengan
peningkatan RDW (red cells distribution width) dan polikromasi. Dari hal tersebut, didapatkan
kemungkinan anemia disebabkan oleh suatu proses hemolitik, dimana pada pemeriksaan fisik
juga ditunjang adanya hepatosplenomegali, selain itu berdasarkan RDW meningkat namun VER
normal dan retikulosit normal, dapat disebabkan oleh stadium awal anemia defisiensi besi atau
asam folat. Penyebab anemia defisiensi besi pada bayi di bawah umur 1 tahun, terjadi akibat:

- faktor diet: minum susu sapi, susu formula rendah besi, ASI eksklusif tanpa suplementasi besi
- faktor prenatal/perinatal: anemia selama kehamilanm BBLR, prematuritasm kehamilan kembar
- sosioekonomi : sosioekonimi rendah, pertumbuhan cepat.
Pada kasus ini kemungkinan disebabkan oleh faktor diet, sedangkan faktor prenatal tidak
diketahui. Untuk membantu diagnose anemia pada kasus ini, dianjurkan periksa ferritin serum,
serum iron, dan TIBC.
Selain itu juga didapatkan limfositosis. Limfositosis pada kasus ini masih mungkin
terjadi, karena pada anak umur < 5 tahun kadar limfosit tinggi pada anak,sehingga pada anak
umur < 5 tahun, kadar limfosit tidak ditentukan berdasarkan jumlah absolute, melainkan
berdasarkan persentasenya. Selain itu, juga terdapat peningkatan enzim transaminase,
peningkatan ureum.
. Diare akut dapat terjadi pada anak dengan infeksi HIV simtomatik. Diare akut cair
didefinisikan sebagai defekasi cair > 3x/hari dan tanpa darah. Tatalaksana diare akut harus
mengikuti pedoman nasional untuk mengatasi penyakit diare. Pada kasus ini, pasien mengalami
diare pada hari ke-2 dan 3 perawatan, diare 5x/hari, cair>>ampas, tidak ada darah atau lendir.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien diare akut tanpa dehidrasi adalah IVFD Kaen 1B
maintenance (8 tpm makro/hari). Kaen 1B tidak mengandung K + sebaiknya ditambahkan K+
10meq/hari. Selain itu, pasien juga mendapat tablet Zinc 1x20 mg/hari selama 10 hari, dosis ini
sudah sesuai karena pada anak umur > 6 bulan diberikan 1 tablet (20 mg) per hari. Yang perlu
dianjurkan pula, pasien perlu diberikan probiotik. Pada pasien dengan imunokompromais,
kemungkinan diare karena infeksi bakteri meningkat, sehingga perlu dicari penyebab diare,
sehingga diperiksakan analisis feses, namun hasilnya menunjukkan negative, kultur darah tidak
dilakukan pada pasien ini sebab kultur darah sebaiknya dilakukan bila terdapat tanda
toksik.Untuk kebutuhan nutrisi, pasien mendapatkan diet makanan biasa, sebaiknya pada diare
diberikan diet tanpa serat dahulu.
Pada kasus ini juga perlu dilakukan pemeriksaan urinalisis dan kultur urin, untuk mencari
kemungkinan adanya ISK. Dari pemeriksaan rontgen toraks didapatkan kesan bronkopneumonia
suspek proses spesifik, namun pada klinis tidak didapatkan gejala & tanda klinis pneumonia, dan
pada laboratorium tidak menunjukkan gambaran infeksi, namun pada pasien ini diberikan
antibiotik kombinasi (Pcyin 4x250 mg IV: Ampisilin 1000 mg dan Sulbactam 500mg),
sebaiknya AB tidak diberikan bila tidak ada kecurigaan infeksi bakteri.
Berdasarkan literatur, seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan
laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau
pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Diagnosis definitif infeksi HIV pada
bayi dan anak membutuhkan uji diagnostik yang memastikan adanya virus HIV. Uji antibody
HIV mendeteksi adanya antibody HIV yang diproduksi sebagai bagian respons imun terhadap
infeksi HIV. Antibodi HIV maternal yang ditransfer secara pasif selama masa kehamilan, dapat
terdeteksi sampai usia 18 bulan. Bayi yang terpajan HIV dan mempunyai hasil positif uji
antibody HIV pada usia 9-18 bulan dianggap berisiko tinggi mendapat infeksi HIV namun
diagnosis definitive menggunakan uji antibody hanya dapat dilakukan pada usia 18 bulan. Pada
kasus ini, didapatkan hasil positif uji antibodi HIV awal (rapid atau ELISA), untuk selanjutnya
harus dikonfirmasi oleh uji kedua, dan ketiga (ELISA) menggunakan reagen berbeda. Pada
kasus ini didapatkan uji antibody ELISA 3 kali pemeriksaan menunjukkan hasil reaktif, pada
anak < 18 bulan, kemungkinan anak ini mengalami seropositif HIV, maka untuk memastikan
diagnosis HIV pada anak < 18 bulan dibutuhkan uji virology HIV, jika hasil uji virology positif
pada usia berapapun, maka dikatakan anak tersebut terinfeksi HIV.
Pasien ini juga dikonsulkan ke WK dan dirawat alih Infeksi tropis. Untuk selanjutnya,
pasien dikonsulkan Tumbuh Kembang untuk menilai keterlambatan perkembangan yang
dialaminya.
Bayi yang dilahirkan harus mendapat profilaksis ZDV selama satu minggu, selain itu
pada anak yang terpapar HIV (anak yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV) sejak umur 4-6
minggu dan dilanjutkan hingga infeksi HIV dapat disingkirkan
Infeksi HIV-1 pada anak memiliki variasi, yang menyebabkan gejala dini pada hampir
20% (progresi cepat). Kebanyakan anak menunjukkan progresi moderat penyakit, dan
sekelompok kecil menunjukkan asimptomatik selama beberapa tahun. Beberapa faktor yang
berpengaruh adalah karakteristik virus dan pejamu. Untuk itu, prognosis pada pasien ini adalah
dubia ad malam.
Anak dengan infeksi HIV mungkin memberi respon lambat atau tidak lengkap terhadap
pengobatan yang biasa. Anak mungkin menderita demam yang persisten, atau batuk kronik.
Apabila keadaan umumnya baik, anak tidak perlu tetap tinggal di rumah sakit, tetapi dapat
diperiksa secara teratur sebagai pasien rawat jalan.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pendahuluan
Infeksi HIV mulai merupakan masalah kesehatan anak yang penting di banyak negara.
Pada umumnya, tatalaksana kondisi spesifik dari anak dengan infeksi HIV mirip dengan
penanganan pada anak lainnya. Sebagian besar infeksi pada anak dengan HIV-positif disebabkan
oleh pathogen yang sama seperti pada anak dengan infeksi HIV negative, walaupun mungkin
lebih sering terjadi, lebih parah dan terjadi berulang-ulang. Walaupun demikian, sebagian
memang disebabkan oleh pathogen yang tidak biasa. Sebagian besar anak dengan HIV positif
sebenarnya meninggal karena penyakit yang biasa menyerang anak-anak. Sebagian dari
kematian ini dapat dicegah, melalui diagnosis dini dan tatalaksana yang benar, atau dengan
memberi imunisasi rutin dan perbaikan gizi. Secara khusus, anak ini mempunyai risiko lebih
besar untuk mendapat infeksi pneumokokus dan tuberculosis paru. Penularan HIV dari ibu ke
anak (tanpa pencegahan antiretroviral) diperkirakan berkisar antara 15-45%. Bukti dari
negara industri maju menunjukkan bahwa transmisi dapat sangat dikurangi (menjadi kurang dari
2% pada beberapa penelitian terbaru) dengan pemberian antiretroviral selama kehamilan dan saat
persalinan dan dengan pemberian makanan pengganti dan bedah kaesar elektif 1.

3.2 Definisi
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala
atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV 2.

3.3 Epidemiologi
HIV/AIDS di Indonesia semakin menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari epidemi rendah menjadi epidemi
terkonsentrasi. Dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, yang melaporkan kasus AIDS
terdapat 32 provinsi, dan kabupaten/kota yang melaporkan kasus AIDS 178 kabupaten/kota
Berdasarkan hasil estimasi oleh Depkes pada tahun 2006 diperkirakan terdapat 169.000–
216.000 ODHA di Indonesia dengan rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 30
Juni 2007 adalah 4,27 per 100.000 penduduk (revisi berdasarkan data BPS 2005, jumlah
penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa) 3.
Angka kesakitan HIV di Indonesia secara nasional masih tergolong “low prevalence
country” tetapi keadaan sebenarnya pada beberapa propinsi sudah mengarah kepada
“concentrated level epidemic” artinya pada kelompok tertentu prevalensi HIV sudah mencapai 5
persen bahkan melebihi 5 persen paling tidak dalam 2 kali survei berurutan. Pemahaman tentang
epidemi HIV/AIDS di Indonesia dapat diikuti dengan menyimak hasil pengamatan atau
surveilans terhadap HIV/AIDS di antara kelompok penduduk dengan risiko tertulari yang
berbeda-beda seperti: penjaja seks, narapidana, penyalahguna napza suntik, darah donor, ibu
hamil dan lain sebagainya 4.

Cara penularan yang dilaporkan terutama adalah melalui hubungan seksual (77,1 persen)
di mana 61,4 persen di antaranya melalui hubungan seks heteroseksual dan 15,7 persen melalui
hubungan seks homoseksual. Sejak tahun 1999 penularan melalui penyalahgunaan napza suntik
meningkat secara drastis dan menempati urutan kedua (20,7 persen) sesudah transmisi secara
heteroseks 4.

Penularan infeksi HIV dari Ibu ke Anak merupakan penyebab utama infeksi HIV pada
anak usia di bawah 15 tahun. Sejak HIV menjadi pandemic di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak
di dunia terinfeksi HIV. Hampir sebagian besar penderita tersebut tertular melalui penularan dari
ibu ke anak. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 800.000 bayi menjadi terinfeksi HIV akibat
penularan dari ibu ke anak. Dan diikuti adanya sekitar 610.000 kematian anak karena virus
tersebut 5.

Di Indonesia menurut Ditjen PPM dan PL Departemen kesehatan tercatat 3568 kasus
HIV/AIDS pada akhir bulan Desember 2002. Terdapat 20 anak dengan infeksi HIV yang tertular
ibunya. Penelitian yang dilakukan Yayasan Pelita Ilmu dan Bagian kebidanan FKUI/RSCM
selama tahun 1999-2001 melakukan pemeriksaan pada 558 ibu hamil di daerah miskin di Jakarta,
menunjukkan hasil sebanyak 16 orang (2,86%) mengidap infeksi HIV. Wanita sering tertular
infeksi HIV melalui hubungan heterosexual dengan pasangan yang terinfeksi atau melalui
penggunaan obat-obatan 5.

3.4 Cara Penularan


HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung
virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu. Sedangkan cairan
yang tidak berpotensi untuk menularkan virus HIV adalah cairan keringat, air liur, air mata 6.

Gambar 3.1 Kandungan virus HIV pada berbagai cairan tubuh 7.

HIV masuk tubuh manusia terutama melalui darah, semen dan sekret vagina serta
transmisi dari ibu ke anak.

Tiga cara penularan HIV adalah sebagai berikut:

1. Hubungan seksual 6
Baik secara vaginal, oral maupun anal dengan pengidap HIV. Ini adalah cara yang paling
umum terjadi, meliputi 80-90% total kasus sedunia.
Transmisi secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan
preseminal dengan rectum, alat kelamin, atau membrane mukosa mulut pasangannya.
Kekerasan seksual dapat meningkatkan risiko penularan HIV karena umumnya tidak
menggunakan pelindung dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina. Pada
penyakit menular seksual juga meningkatkan risiko penularan karena menyebabkan
gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya luka pada alat kelamin (sifilis,
chancroid), serta penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofag) pada semen
dan sekresi vagina (gonorea, chlamydiasis, trikomoniasis). Sedangkan homoseksual pria
terutama anogenital khususnya mitra seksual pasif yang menerima ejakulasi semen dari
seorang pengidap HIV (karena mukosa rectum sangat tipis).

Gambar 3.2 Mekanisme transmisi HIV melalui hubungan seksual 7

2. Kontak langsung dengan darah, produk darah atau jarum suntik6


Transfusi darah/produk darah yang tercemar mempunyai risiko sampai >90%, ditemukan
3-5% total kasus sedunia. Pemakaian jarum suntik tidak steril atau pemakaian bersama jarum
suntik dan spuitnya pada pecandu narkotik berisiko 0,5-1%, ditemukan 5-10% dari total
kasus sedunia. Penularan melalui kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan
mempunyai risiko 0,5% dan mencakup <0,1% total kasus sedunia

3. Transmisi secara vertikal 5


Dari ibu pengidap HIV kepada bayinya (in utero, selama proses kelahiran dan melalui
ASI) dengan risiko penularan sebesar 25-40% dan terdapat <0,1% total kasus di dunia.
Meningkatnya infeksi HIV pada anak adalah karena akibat penularan selama perinatal
(periode kehamilan, selama dan setelah persalinan). Lebih dari 90% AIDS pada anak yang
dilaporkan tahun 1994 terjadi karena transmisi dari ibu hamil ke anak. Penularan terhadap
bayi bisa terjadi selama kehamilan, persalinan atau postnatal melalui ASI. Angka kejadian
penularan dari ibu ke anak diperkirakan sekitar 20% - 30% . Penularan HIV dari ke janin
bila tanpa dilakukan intervensi dilaporkan berkisar antara 155 – 45%. Resiko penularan di
negara berkembang sekitar 21% - 43%, lebih tinggi dibandingkan resiko penularan di negara
maju sekitar 14%-26% 5. Namun sumber lain menyebutkan bahwa angka rata-rata transmisi
HIV dari ibu ke anak tanpa profilaksis ARV 20-45% (rata-rata 35%), dengan masing-
masing persentase pada setiap tahap transmisi seperti gambar di bawah ini 12.

Gambar 3.3. Persentase risiko transmisi HIV vertikal 12

Penularan dapat tejadi saat kehamilan, intrapartum, dan pasca persalinan. Resiko
infeksi penularan terbanyak terjadi saat persalinan sebesar 18%, di dalam kandungan 6% dan
pasca persalinan sebesar 4%. Penularan di dalam kandungan didiagnosis jika pemeriksaan
virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran, selanjutnya tes minggu pertama
menjadi positif dan bayi tidak menyusui Ibu. Selama persalinan bayi dapat tertular darah
atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau
tertelan pada jalan lahir 5.

Pada ibu yang terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan vagina 21%, cairan aspirasi
lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan pada jalan lahir sangat dipengaruhi
dengan adanya kadar HIV pada cairan vagina ibu, cara persalinan, ulkus serviks atau vagina,
perlukaan dinding vagina, infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini, persalinan prematur,
penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forsep, episiotomi dan
rendahnya kadar CD4 pada ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan
meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban
pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan.
Transmisi pasca persalinan sering terjadi melalui pemberian ASI (Air susu ibu). ASI
diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak. Konsentrasi median sel yang
terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV adalah 1 per 104 sel, partikel virus ini dapat
ditemukan pada komponen sel dan non sel ASI. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
resiko transmisi HIV melalui ASI antara lain mastitis atau luka di puting, lesi di mukosa mulut
bayi, prematuritas dan respon imun bayi. Penularan HIV melalui ASI diketahui merupakan
faktor penting penularan paska persalinan dan meningkatkan resiko transmisi dua kali lipat.
Beberapa peneliti membuktikan pemberian ASI pada ibu dengan HIV meningkatkan transmisi
HIV 0,7% perbulan pada usia 0 sampai 5 bulan, 0,6% pada usia 6-11 bulan, lalu 0,3%
perbulan pada usia 12-17 bulan 5. Pada salah satu literature disebutkan pula bahwa konsentrasi
virus HIV pada makrofag dan sel T yang terinfeksi, kadarnya lebih tinggi pada kolostrum, juga
disebutkan bahwa kandungan Cathepsin D pada ASI dapat meningkatkan replikasi virus dan
modifikasi afinitas gp120 sebagai ko-reseptor 13. Berikut ini adalah faktor yang mempengaruhi
risiko transmisi selama pemberian ASI 12:

Penelitian Leroy menyebutkan resiko transmisi HIV melalui ASI diperkirakan adalah 3,2
per 100 anak pertahun. Keadaan penyakit ibu juga menjadi pertimbangan karena Ibu yang
terinfeksi HIV mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi dari yang tidak menyusui.
WHO, Unicef dan UNAIDS mengeluarkan rekomendasi untuk menghindari Air Susu Ibu
yang terkena HIV jika alternative susu lainnya tersedia dan aman 5.

3.5 Etiologi dan Patogenesis 2,6


Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam familia
retrovirus yaitu kelompok virus berselubung (envelope virus) yang mempunyai enzim reverse
transcriptase, enzim yang dapat mensintesis kopi DNA dari genom RNA. Virus ini masuk dalam
sub familia lentivirus berdasarkan kesamaan segmen genom, morfologi dan siklus hidupnya. Sub
familia lentivirus mempunyai sifat dapat menyebabkan infeksi laten, mempunyai efek sitopatik
yang cepat, perkembangan penyakit lama dan dapat fatal
Partikel HIV terdiri atas inner core yang mengandung 2 untai RNA identik yang
dikelilingi oleh selubung atau envelop membran fosfolipid yang berasal dari sel penjamu.
Genom HIV mengandung gen env yang mengkode selubung glikoprotein, gen gag yang
mengkode protein core yang terdiri dari protein p17 (BM 17.000) dan p24 (BM 24.000), dan gen
pol yang mengkode beberapa enzim yaitu : reverse transcriptase (RNA-directed DNA
polymerase), integrase dan protease. Enzim-enzim tersebut dibutuhkan dalam proses replikasi.
Antigen p24 merupakan pertanda terdini adanya infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu
sebelum terjadi serokonversi sintesis antibodi terhadap HIV-1. Selain itu HIV juga mengandung
6 gen lainnya yaitu vpr, vif, rev, nef dan vpu yang mengatur proses reproduksi virus. Bagian
paling infeksius dari HIV adalah selubung glikoprotein gp 120 (BM 120.000) dan gp 41 (BM
41.000). Kedua glikoprotein tersebut sangat berperan pada perlekatan virus HIV dengan sel
hospes pada proses infeksI. Antigen gp120 merupakan glikoprotein yang mengikat reseptor
CD4+.
HIV dikelompokkan berdasarkan struktur genom dan antigenitasnya yaitu HIV-1 dan
HIV-2. Perbedaan infeksi kedua virus tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel perbedaan HIV-1 dan HIV-2 8


Perbedaan HIV-1 dan HIV-2

Karakteristik HIV-1 HIV-2

Epidemiologi Pandemik Endemik

Distribusi di Afrika Afrika Tengah, Timur dan Selatan, Afrika barat


menyebar ke Barat

Perkembangan ke arah kematian Cepat, kebanyakan 5-10 tahun Lambat, kebanyakan 10 tahu atau
lebih

Rasio mortalitas >20 : 1 2-4 : 1

Insiden
Transmisi seksual 2-3% pertahun 1% pertahun
Transmisi perinatal 15-35% 1-4%

Virologi
Struktur gen vpu vpx
Homologi dg SIV Jauh Dekat, 75-80%
Plasma viremia pd fase Tinggi dan cepat terdeteksi Rendah atau tidak terdeteksi
asimtomatik

Imunologi
Menurunnya jumlah sel T CD4+ Lebih cepat Lama, tidak ada pada asimtomatik
Apoptosis Lebih tinggi Rendah pada asimtomatik
Antibodi netralisasi efisien Kurang efisien, spesifisitas sempit Spesifisitas luas
Respon CTL Sulit diketahui Kuat pd asimtomatik

Siklus Hidup HIV 2,6

Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus gp
120 pada molekul CD4. Molekul ini merupakan reseptor dengan afinitas paling tinggi
terhadap protein selubung virus. Partikel HIV yang berikatan dengan molekul CD4 kemudian
masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes
dengan bantuan gp 41 yang terdapat pada permukaan membran virus. Molekul CD4 banyak
terdapat pada sel limfosit T helper/ CD4+, namun sel-sel lain seperti makrofag, monosit, sel
dendritik, sel langerhans, sel stem hematopoetik dan sel mikrogial dapat juga terinfeksi HIV
melalui ingesti kombinasi virus-antibodi atau melalui molekul CD4 yang diekspresikan oleh
sel tersebut. Banyak bukti menunjukkan bahwa molekul CD4 memegang peranan penting
pada patogenesis dan efek sitopatik HIV. Percobaan tranfeksi gen yang mengkode molekul
CD4 pada sel tertentu yang tidak mempunyai molekul tersebut, menunjukkan bahwa sel yang
semula resisten terhadap HIV berubah menjadi rentan terhadap infeksi tersebut. Efek sitopatik
ini bervariasi pada sel CD4+, namun paling tinggi pada sel dengan densitas molekul CD4
permukaan yang paling tinggi yaitu sel limfosit T CD4+.
Sekali virion HIV masuk ke dalam sel, maka enzim yang terdapat dalam nukleoprotein
menjadi aktif dan memulai siklus reproduksi virus. Nukleoprotein inti virus menjadi rusak
oleh protease dan genom RNA virus akan ditranskripsi menjadi DNA untai ganda oleh enzim
reverse transcriptase dan kemudian masuk ke nukleus. Enzim integrase akan mengkatalisa
integrasi antara DNA virus dengan DNA genom dari sel hospes. Bentuk DNA integrasi dari
HIV disebut provirus, yang mampu bertahan dalam bentuk inaktif selama beberapa bulan
atau beberapa tahun tanpa memproduksi virion baru. Itu sebabnya infeksi HIV pada seseorang
dapat bersifat laten dan virus terhindar dari sistem imun hospes.
Partikel virus yang infeksius akan terbentuk pada saat sel limfosit T teraktivasi. Aktivasi
sel T CD4+ yang telah terinfeksi HIV akan mengakibatkan aktivasi provirus juga. Aktivasi ini
diawali dengan transkripsi gen struktural menjadi mRNA kemudian ditranslasikan menjadi
protein virus. Karena protein virus dibentuk dalam sel hospes, maka membran plasma sel
hospes akan disisipi oleh glikoprotein virus yaitu gp 41 dan gp 120. RNA virus dan protein
core kemudian akan membentuk membran dan menggunakan membran plasma sel hospes
yang telah dimodifikasi dengan glikoprotein virus, membentuk selubung virus dalam proses
yang dikenal sebagai budding. Pada beberapa kasus aktivasi provirus HIV dan pembentukan
partikel virus baru dapat menyebabkan lisisnya sel yang terinfeksi.
Selama periode laten, HIV dapat berada dalam bentuk provirus yang berintegrasi dengan
genom DNA hospes, tanpa mengadakan transkripsi. Ada beberapa faktor yang dapat
mengaktivasi proses transkripsi virus tersebut. Secara in vitro telah dibuktikan pada sel T
yang terinfeksi virus laten, rangsangan TNF (Tumor Necrosis Factor) dan IL-6 dapat
meningkatkan produksi virus yang infeksius. Hal ini penting karena monosit pada individu
yang terinfeksi HIV cenderung melepaskan sitokin dalam jumlah besar sehingga dapat
menyebabkan meningkatnya transkripsi virus. Infeksi beberapa virus dapat meningkatkan
transkripsi provirus DNA pada HIV sehingga berkembang menjadi AIDS yaitu; HTLV-1,
cytomegalovirus, virus herpes simplex, virus Epstein-Barr, adenovirus, papovirus dan virus
hepatitis B.

Patogenesis dan Patofisiologi 2,6


Patogenesis AIDS

Biasanya virus masuk tubuh dengan menginfeksi sel Langerhans di mukosa rektum atau
vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Virus
kemudian disebarkan melalui viremia yang disertai dengan sindrom dini akut berupa panas,
mialgia dan artralgia. Pejamu memberikan respons seperti terhadap infeksi virus umumnya.
Virus menginfeksi sel T CD4+, makrofag dan sel dendritik dalam darah dan organ limfoid.
Selama fase sindrom akut ini, dapat ditemukan p24 dalam darah.
Fase ini kemudian dikontrol sel T CD8+ dan antibodi dalam sirkulasi terhadap p24,
gp120 dan gp41. Efikasi sel Tc dalam mengontrol virus terlihat dari menurunnya kadar virus.
Respon imun tersebut menghancurkan HIV dalam kelenjar getah bening yang merupakan
reservoir utama HIV selama fase selanjutnya dan fase laten.
Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks imun yang diikat sel
dendritik. Meskipun dalam fase laten virus diproduksi dalam kadar rendah, destruksi sel T
CD4+ berjalan terus dalam kelenjar limfoid. Akhirnya jumlah sel T CD4+ dalam sirkulasi
menurun, banyaknya kematian sel T juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam
usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi. Dengan menurunya jumlah sel T, maka
sistem imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan
makrofag dan menurunnya fungsi sel Th. Seseorang yang terinfeksi HIV dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel
T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-
300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala
infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat
timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi
yang parah. Seorang diagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel
per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau demensia AIDS.
Pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV akan
terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam
plasma darah dan menginfeksi sel-sel CD4+ lainnya. Karena proses infeksi dan pengambil
alihan sel T4 mengakibatkan kelainan dari kekebalan, maka ini memungkinkan
berkembangnya neoplasma dan infeksi opportunistik.
Sesudah infeksi inisial, kurang lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan terinfeksi oleh
HIV pula. Replikasi virus akan berlangsung terus sepanjang perjalanan infeksi HIV; tempat
primernya adalah jaringan limfoid. Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan
status kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut. jika orang tersebut tidak sedang
menghadapi infeksi lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun, reproduksi HIV
tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi infeksi lain atau kalau
sistem imunnya terstimulasi. Keadaan ini dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan
oleh sebagian penderita sesudah terinfeksi HIV. Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV
(65%) tetap menderita HIV/AIDS yang simptomatik dalam waktu 10 tahun sesudah orang
tersebut terinfeksi (Brunner & Suddarth, 2001)
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
orang seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang
terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk ke tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS setelah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua
orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan
penyakit terbeut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan
sistem kekbalan tubuh yang juga bertahap.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu stelah terinfeksi. Gejala
yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik yang umumnya
berlangsung selama 8-10 tahun.Tetapi ada sekelompok kecil yang berjalan cepat, yakni hanya
sekitar 2 tahun, ada pula yang berjalan lambat.
Seiring dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala
akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurn, demam lama, rasa lemah, pembesaran
kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain.
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa bulan tidak menunjukkan gejala,
secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan
akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk ke tahap AIDS.
Jadi, yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari
sudut penyakit HIV. Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah
kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan
limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi
HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang
cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan
dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4+ yang tinggi, untungnya tubuh masih
bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4+ sekitar 109 sel setiap hari.
Perjalan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna
narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang
dijumpai pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada odha yang
tertular dengan cara lain.

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis HIV pada anak sangat bervariasi. Beberapa anak dengan HIV positif
menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada tahun pertama kehidupannya.
Anak dengan HIV positif lainnya mungkin tetap tanpa gejala atau dengan gejala ringan selama
lebih dari setahun dan bertahan hidup sampai beberapa tahun 1.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, perlu dicari 9:
 Ibu atau ayah memiliki risiko untuk terinfeksi HIV (riwayat narkoba suntik,
promiskuitas, pasangan dari penderita HIV, pernah mengalami operasi atau transfuse
darah)
 Memiliki morbiditas yang khas maupun sering ditemukan pada penderita HIV, yaitu:
diare kronik, gagal tumbuh, pneumonia berat, pneumonia P.carinii, demam
berkepanjangan, TB paru, kandidosis orofaring

Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV 1:


 Infeksi berulang: 3 atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti pneumonia,
meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir
 Thrush: eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi, dan mukosa pipi.
Pasca masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotic, atau berlangsung
lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas melebihi bagian
lidah-kemungkinan besar merupakan infeksi HIV. Juga khas apabila meluas hingga ke
belakang kerongkongan (kandidiasis esophagus)
 Parotitid kronik: pembengkakan parotid uni-atau bi-lateral selama ≥ 14 hari, dengan atau
tanpa diikuti rasa nyeri atau demam
 Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada dua atau
lebih daerah ekstrainguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya
 Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang bersamaan
seperti CMV
 Demam yang menetap dan/atau berulang : demam (>380C) berlangsung lebih dari 7
hari, atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari
 Dermatitis HIV:ruam yang eritematus dan papuler. Ruam kulit yang khas meliputi infeksi
jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala, dan moluscum contagiosum yang
ekstensif
 Herpers zoster
 Kelainan neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal, perkembangan
terlambat, hipertonia, atau bingung

Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada
anak yang sakit bukan infeksi HIV 1:
 Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung ≥ 14 hari
 Diare persisten: berlangsung ≥ 14 hari
 Gizi kurang atau gizi buruk

Gejala yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif 1:
 Pneumocystitis pneumonia (PCP)
 Kandidiasis esophagus
 Lymphoid intersititial pneumonia (LIP)
 Sarcoma kapossi

Stadium HIV pada Anak

1. Ada 2 klasifikasi klinik: WHO, dan CDC


Stadium klinis anak yang tidak diterapi ART dapat menjadi prediksi mortalitasnya.
Stadium klinis dapat digunakan untuk memulai pemberian kotrimoksazol dan memulai ART
khususnya bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia

Stadium Klinis WHO untuk bayi dan anak dengan infeksi HIV/AIDS yang sudah terbukti,
(2006) 3
Sistem klasifikasi infeksi HIV pada anak: kategori klinis CDC (revisi 1994) 9

Kategori N (tanpa gejala) Tidak terdapat tanda dan gejala klinis akibat infeksi HIV, atau
hanya terdapat satu gejala kategori A
Kategori A (gejala klinis ringan) Terdapat 2 atau lebih berikut tanpa gejala kategori B dan C:
a. Limfadenopati (≥ 0,5 cm lebih dari 1 tempat, bilateral
dianggap 1 tempat)
b. Hepatomegali
c. Splenomegali
d. Dermatitis
e. Parotitis
f. Infeksi saluran nafas atas, sinusitis, atau otitis media
berulang atau menetap
Kategori B (gejala klinis sedang) Terdapat gejala klinis lain selain gejala kategori A atau C:
a. Anemia (< 8g/dL), neutropenia (<1000/mm3), atau
trombositopenia (< 100.000/mm3) menetap ≥ 30 hari
b. Meningitis bakterialis, pneumonia, atau sepsis (episode
tunggal)
c. Kandidiasis orofaring menetap ≥2 bulan pada anak usia > 6
bulan
d. Kardiomiopati
e. Infeksi CMV dengan onset usia < 1 bulan
f. Diare berulang atau kronik
g. Hepatitis
h. Stomatitis herpes simpleks (HSV) berulang (> 2 episode
dalam setahun)
i. Bronchitis, pneumonia, atau esofagitis HSV dengan onset
usia < 1 tahun
j. Herpes zoster pada paling sedikit 2 episode berbeda atau > 1
dermatom
k. Leimiosarkoma
l. Pneumonitis interstitial limfoid atau kompleks hyperplasia
limfoid paru
m. Nefropati
n. Nokardiosis
o. Demam > 1 bulan
p. Toksoplasmosis dengan onset usia < 1 bulan
q. Varisela diseminata (cacar air dengan komplikasi)
Kategori C (gejala klinis berat) Semua anak yang memeuuhi criteria AIDS, kecuali untuk
pneumonitis interstitial limfoid yang masuk dalam kategori B

2. Kriteria imunologis

CD4+ adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefsiensi. Digunakan bersamaan


dengan penilaian klinis. CD4+ dapat menjadi petunjuk dini progresivitas penyakit karena
nilai CD4+ menurun lebih dahulu dibandingkan kondisi klinis. Pemantauan CD4+ dapat
digunakan untuk memulai pemberian ARV atau penggantian obat. Makin muda umur,
makin tinggi nilai CD4+. Untuk anak < 5 tahun digunakan persentase CD4+. Bila ≥ 5
tahun, persentase CD4+ dan nilai CD4+ absolut dapat digunakan. Ambang batas kadar CD4+
untuk imunodefsiensi berat pada anak ≥ 1 tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam 12
bulan (5%). Pada anak < 1 tahun atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4+ tidak dapat memprediksi
mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada nilai CD4+ yang tinggi.
Hitung limfosit total (TLC) digunakan bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia untuk
kriteria memulai ART (imunodefsiensi berat) pada anak dengan stadium 2. Hitung TLC
tidak dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV.
Perhitungan TLC = % limfosit X hitung total leukosit.

Perjalanan HIV pada Anak

Cara dan waktu penularan infeksi HIV-1 pada anak mungkin selanjutnya berkontribusi
dengan laju progresi penyakit HIV. Autologous neutralizing antibody (aNab) maternal terlibat
sebagai faktor protektif melawan penularan HIV selama intra uteri. Studi Bryson and
colleagues[1] from the University of California at Los Angeles menilai adanya antibody netralisir
diantara 21 transmisi dan 17 non-transmisi ibu yang tidak menerima sidovudine untuk mencegah
transmisi ibu ke anak. Adanya aNab (autologous neutralizing antibody) juga berhubungan
dengan ketiadaan progresi pada anak yang terinfeksi. Bayi yang mengalami progresi cepat
selama 2 tahun pertama kehidupan memiliki kadar aNab yang sangat rendah bahkan nol untuk
melawan virus yang ada atau yang telah berlalu. Sedangkan penyakit dengan progresi
intermediet awalnya menunjukkan tidak adanya kemampuan aNab, namun setelah 12 bulan
menjadi mampu menetralisir virus. Anak dengan progresi lambat menunjukkan peningkatan
kemampuan menetralisir virus pada titer tinggi14 .

Infeksi HIV-1 pada anak memiliki variasi, yang menyebabkan gejala dini pada hampir
20% (progresi cepat). Kebanyakan anak menunjukkan progresi moderat penyakit, dan
sekelompok kecil menunjukkan asimptomatik selama beberapa tahun. Beberapa faktor yang
berpengaruh adalah karakteristik virus dan pejamu. Mengenai faktor pejamu, literature
menekankan pada peran gen CCR5 yang mengkode permukaan sel, molekul reseptor kemokin
yang berperan sebagai ko-reseptor bagi makrofag-tropik strain HIV. Anak digolongkan ke dalam
progressor cepat, moderat, dan lambat berdasarkan gejala klinis yang timbul dalam 2 tahun
pertama kehidupan, umur 2-8 tahun, dan setelah umur 8 tahun. Multipel faktor dapat
mempengaruhi progresi penyakit HIV-1 pada anak selama infeksi perinatal, seperti faktor infeksi
utero versus intrapartum, status penyakit ibu saat kelahiran, pengobatan dan profilaksis ibu dan
bayi, dan HLA genotip 1115, 16 .
Pemeriksaan Penunjang 9
 Diagnosis HIV
 Tentukan status gizi
 Tentukan status imunosupresi dengan pemeriksaan CD4+
 Lakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, SGOT/SGPT, dan pemeriksaan lain
sesuai indikasi
 Pemeriksaan lain (pencitraan, dan lain-lain )

Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi


HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi
adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen,
dan deteksi materi genetik dalam darah pasien.
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV.
Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay),
aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakan di Indonesia
adalah dengan ELISA.
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya
masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya
antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk 4-8 minggu setelah
infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi
HIV dapat memberikan hasil negatif. Untuk itu, jika kecurigaan akan adanya resiko terinfeksi
yang cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan bulan kemudian.
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan
konseling pra tes. Hali ini harus dilakukan agar ia mendapat informasi yang sejelas-jelasnya
mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya
serta lebih siap menerima apapun hasilnya nanti. Untuk membritahu hasil tes juga diperlukan
konseling pasca tes. Jika hasil positif akan diberi informasi mengenai pengobatan untuk
memperpanjang masa tanpa gejala dan mencegah penularan. Jika hasil negatif, akan diberikan
informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko.

Bagan penilaian awal dan tatalaksana HIV pada anak


Diagnosis HIV 3
Diagnosis definitif infeksi HIV pada bayi dan anak membutuhkan uji diagnostik
yang memastikan adanya virus HIV. Uji antibody HIV mendeteksi adanya antibody HIV yang
diproduksi sebagai bagian respons imun terhadap infeksi HIV. Pada anak usia ≥ 18 bulan, uji
antibody HIV dilakukan dengan cara yang sama seperti dewasa.
.
Bagan Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak < 18 Bulan Dengan Status HIV Ibu Tidak
Diketahui

Bagan Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak < 18 Bulan dan Mendapat ASI
Catatan:
Bila anak tidak pernah diperiksa uji virology sebelumnya, masih mendapatkan ASI, dan status
ibu HIV positif, sebaiknya segera lakukan uji virologi pada usia berapa pun.
a. Uji antibody HIV dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak usia 9-12
bulan. Sebanyak 74% anak saat usia 9 bulan, dan 96% anak saat usia 12 bulan, tidak
terinfeksi HIV dan akan menunjukkan hasil antibody negative.
b. Anak yang mendapat ASI akan terus berisiko terinfeksi HIV, sehingga infeksi HIV baru
dapat disingkirkan bila ASI dihentikan > 6 minggu. Hasil uji antibody HIV pada anak
yang pemberian ASInya sudah dihentikan dapat menunjukkan hasil negative pada 4-26%
anak, tergantung usia anak saat diuji, oleh karena itu uji antibody HIV konfirmasi perlu
dilakukan saat usia 18 bulan

Hasil positif uji antibodi HIV awal (rapid atau ELISA) harus dikonfrmasi oleh uji kedua
(ELISA) menggunakan reagen berbeda. Pada pemilihan ujiantibody HIV untuk diagnosis, uji
pertama harus memiliki sensitivitas tertinggi, sedangkan uji kedua dan ketiga spesifisitas yang
sama atau lebih tinggi daripada uji pertama.Umumnya,WHO menganjurkan uji yang
mempunyai sensitivitas dan spesifsitas yang sama atau lebih tinggi.

Bagan Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak ≥ 18 Bulan


Simpulan Prosedur Uji HIV
Pada usia 12 bulan, seorang anak yang diuji antibody HIV menggunakan ELISA atau
rapid, dan hasilnya negatif, maka anak tersebut tidak mengidap infeksi HIV apabila dalam 6
minggu terakhir tidak mendapat ASI. Bila pada umur <18 bulan hasil pemeriksaan antibody HIV
positif, uji antibody perlu diulangi pada usia 18 bulan untuk menyingkirkan kemungkinan
menetapnya antibodi maternal. Bila pada usia 18 bulan hasilnya negatif, maka bayi tidak
mengidap HIV asal tidak mendapat ASI selama 6 minggu terakhir sebelum tes. Untuk anak > 18
bulan, cukup gunakan ELISA atau rapid test.

Prevention of Mother to Child Infection (PMTCT)


Jika wanita dengan HIV positif hamil, ia harus diberi pelayanan yang meliputi
pencegahan dengan obat ARV, (dan pengobatan jika ada indikasi klinis), praktek obstetric yang
lebih aman, dan konseling serta dukungan tentang pemberian makanan bayi 1.

a. Persalinan bagi wanita terinfeksi HIV


90% kasus HIV pada anak adalah melalui penularan vertical. Resiko penularan terbesar
terjadi pada masa persalinan. Salah satu faktor yang memperbesar adalah ketika terjadi
kontraksi, maka akan terjadi penekanan plasenta, sehingga kemungkinan akan terjadi
pencampuran darah ibu dan bayi. Resiko meningkat jika ada infeksi (malaria, sifilis,
chorioamnitis, dll). Bayi juga bisa terpapar darah dan lendir serviks 10.
Konsep dasar PMTCT adalah meminimalkan paparan HIV pada janin selama kehamilan
dan bayi setelah persalinan.
Beberapa penelitian awal menunjukkan bahwa SC elektif (Sectio Caesaria terjadwal dan
sebelum terjadi tanda-tanda persalinan) menurunkan infeksi HIV sampai 50% tanpa ARV dan
sampai 80% dengan ARV (ZDV). Karena penelitian tersebut maka muncul rekomendasi awal
WHO untuk melakukan SC pada ODHA wanita. Kemudian muncul pemikiran bahwa prinsip
dasar selanjutnya adalah dengan menurunkan viral load. Sehingga saat ini rekomendasi yang
dipakai adalah bukan pada SC namun pada nilai viral load seseorang. ARV kombinasi
mempunyai tingkat transmisi yang paling rendah (berdasarkan penelitian PACTG). SC elektif
tidak mempunyai keuntungan lebih dalam mengurangi resiko transmisi (The European
Collaborative Study). Sterilisasi bukan merupakan indikasi absolut pada ibu dengan HIV positif.
Pada dasarnya persalinan ODHA dapat dilakukan pada semua fasilitas kesehatan 10.
Perlu dilakukan konseling kepada ibu dan pasangan mengenai manfaat dan risiko
persalinan pervaginam dan persalinan dengan seksio sesarea berencana Persyaratan untuk
persalinan pervaginam: Ibu minum ARV teratur, atau Muatan Virus/ Viral Load tidak terdeteksi .
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan muatan virus/ viral load pada usia kehamilan 36
minggu ke atas 11.
b. Pemberian ARV pada PMTCT

Prinsipnya, penggunaan ARV selama kehamilan akan menurunkan jumlah virus dalam
darah ibu sehingga mengurangi paparan HIV dari ibu ke bayi. Untuk PMTCT, semua ibu
hamil diberikan ARV pencegahan tanpa melihat jumlah CD4 atau limfosit. Pemberian ARV
tetap melalui jalur RS rujukan yang telah ditentukan. Besarnya resiko profilaksis ARV
tergantung pada waktu dan lama pajanan serta jumlah obat. Jika sedang hamil dan terapi ART
maka teruskan ART nya. Bayi yang dilahirkan harus mendapat profilaksis ZDV selama satu
minggu. Ibu hamil yang memenuhi syarat ART harus memulai sesegera mungkin walaupun pada
trimester pertama. Ibu hamil harus dimonitor secara ketat terhadap toksisitas, misalnya yang
paling sering adalah hepatotoksik. Bumil dapat menunda terapi ARV jika memperburuk mual
dan muntah, namun jika status klinis atau imun menunjukkan sangat sakit maka terapi ARV dini
lebih baik jika dibandingkan dengan resiko terhadap janin. Pada kehamilan terjadi perubahan
fisiologi (hemodilusi yang paling sering) sehingga menyulitkan prediksi farmakokinetik 10
Prinsip pengobatan ARV bagi perempuan usia subur atau hamil harus didasarkan atas
kebutuhan mereka dan persyaratan ART. Kehamilan dan menyusui memberikan masalah
tambahan dalam hal toksisitas obat terhadap ibu maupun anak, pemilihan obat ARV dan
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayinya. Masalah tersebut perlu mendapat perhatian
khusus untuk memberikan hasil pengobatan yang optimal. Rejimen lini-pertama yang
direkomendasikan untuk kelompok ini adalah: (d4T atau AZT) + 3TC + NVP 17.
Pilihan ART bagi ODHA yang masih mungkin hamil, atau adanya kehamilan yang belum
dapat dipastikan atau kehamilan muda, maka obat ARV yang diberikan harus aman untuk
kehamilan trimester I. EFV harus dihindari pada kelompok perempuan tersebut di atas oleh
karena sifatnya yang teratogenik. Perempuan yang menerima obat ARV dan tidak ingin hamil
harus menggunakan metode kontrasepsi yang efektif dan sesuai guna mencegah kehamilan yang
tidak dikehendaki. Untuk kelompok tersebut EFV dapat tetap menjadi NNRTI pilihan dalam
rejimennya. Perempuan yang telah menggunakan ART dan kemudian hamil harus tetap
meneruskan ART-nya kecuali bila memakai EFV maka EFV harus dihentikan dan diganti
dengan NVP. Pada umumnya bagi ODHA hamil lebih dianjurkan untuk memulai ART setelah
trimester pertama dilalui, akan tetapi bagi mereka yang berada pada AIDS tahap lanjut,
pemberian terapi dengan segera akan lebih baik dibandingkan dengan risiko apapun pada
janinnya. Lebih lanjut, terapi dengan dua NRTI seperti d4T/ddI tidak diperbolehkan pada
kehamilan dan hanya digunakan bila tidak ada pilihan lain, oleh karena kombinasi tersebut akan
memberikan risiko tinggi terjadinya asidosis laktat pada perempuan hamil. Hepatotoksisitas
dengan gejala yang berhubungan dengan NVP atau ruam kulit yang berat jarang terjadi, kalau
ada lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki, dan cenderung terjadi pada perempuan
dengan CD4 tinggi (>250/mm3) 17.
Isu penting dalam PMTCT adalah dampak pemberian NVP jangka pendek pada ibu dan
bayinya. Pertanyaan ini telah muncul dalam 2 tahun terakhir oleh karena suatu single point
mutation berhubungan dengan resistensi terhadap NVP. Mutasi virus resisten terhadap obat dari
NNRTI telah terdeteksi 6 minggu pasca persalinan pada kira-kira 20% perempuan yang pernah
mendapat NVP dosis tunggal pada PMTCT; laju mutasi virus ditemukan lebih tinggi (67%)
pada 6 minggu pasca persalinan apabila ibu mendapatkan 2 dosis NVP pada PMTCT. Perlu
diketahui bahwa resistensi terhadap NVP dapat terjadi pula pada perempuan yang telah
mendapatkan obat ARV lainnya yang sudah dijumpai replikasi virus resisten pada saat
pemberian NVP dosis tunggal. Genotipe virus yang resisten terhadap NVP dapat ditemukan 6
minggu pasca persalinan pada 15% perempuan yang mendapat NVP dosis tunggal dan yang
mendapat AZT saja atau sebagai kombinasi selama kehamilan dan selama persalinan
(intrapartum). Resistesi terhadap 3TC juga berkaitan dengan mutasi tunggal. Dalam penelitian
yang menambahkan 3TC pada pengobatan AZT perempuan Perancis sejak kehamilan 32
minggu, mutasi resisten 3TC M184V pada 6 minggu pasca persalinan ditemukan pada 39%
populasi yang diteliti. Resistensi terhadap 3TC juga ditemukan satu minggu pasca persalinan
pada 12% ibu yang mendapat AZT/3TC selama 4 minggu untuk PMTCT (penelitian PETRA) 17.
ODHA perempuan yang pernah mendapat profilaksis NVP atau 3TC dosis tunggal untuk
PMTCT harus dianggap memenuhi kriteria untuk mendapatkan rejimen yang mengandung
NNRTI dan harus mendapat akses ART seumur hidup hingga tersedia data pasti pada masalah
ini. Banyak negara telah mempertimbangkan penggunaan terapi kombinasi tiga obat jangka
pendek untuk PMTCT pada ODHA perempuan yang belum membutuhkan ART bagi dirinya
sendiri, dan terapi pasca persalinan dihentikan bila belum memenuhi kriteria klinik pemberian
ART bagi dirinya. Penggunaan kombinasi yang sangat aktif tersebut diharapkan akan mencegah
munculnya resistensi terhadap obat dan sangat efektif untuk mencegah penularan perinatal
kepada bayi. Namun demikian, intervensi ini juga memberikan risiko toksisitas obat kepada ibu
dan bayinya dalam keadaan ibu masih cukup sehat dan belum memerlukan ART. Penelitian
sedang berlangsung untuk menentukan keamanan dan efikasi pendekatan seperti di atas bagi ibu
dan bayinya, terutama pada PMTCT ibu yang memberikan ASI. Pada kondisi yang
mengharuskan memilih suatu PI selama kehamilan, maka SQV/r atau NFV merupakan pilihan
terbaik karena cukup aman untuk ibu hamil. Perlu diingat bahwa setiap obat ARV memiliki
potensi untuk menaikkan atau menurunkan bioavailabilitas hormon steroid dan kontrasepsi
hormonal. Dari data yang terbatas menunjukkan adanya interaksi antara beberapa obat ARV
(terutama beberapa NNRTI dan PI) dengan hormon kontrasepsi dan dapat mengubah keamanan
atau efikasi baik hormon kontrasepsi itu sendiri ataupun ARVnya. Oleh karena itu, apabila
seorang perempuan yang mendapat ART akan mulai atau meneruskan penggunaan kontrasepsi
hormonal, tetap dianjurkan juga selalu menggunakan kondom untuk mencegah penularan HIV
dan menjaga kemungkinan adanya penurunan efektivitas kontrasepsi hormonal yang ia pakai 17.

c. Pemberian makanan sehubungan HIV 1,5,10,12


Secara umum penggunaan ASI di Indonesia menurun dari 42,2% tahun 1997 turun
menjadi 39,5% pada tahun 2002(berdasarkan SDKI). Sedangkan pemberian susu botol
meningkat 3 kali lipat dari 10,8 % menjadi 32,4 %. Banyak pelanggaran terhadap code of
marketing ASI sehingga program menyusui eksklusif terkendala. Resiko kematian bayi yang
diberi ASI lebih rendah dibandingkan jika tidak diberikan ASI 10.
Penularan HIV melalui ASI diketahui merupakan faktor penting penularan paska
persalinan dan meningkatkan resiko transmisi dua kali lipat. Beberapa peneliti membuktikan
pemberian ASI pada ibu dengan HIV meningkatkan transmisi HIV 0,7% perbulan pada usia 0
sampai 5 bulan, 0,6% pada usia 6-11 bulan, lalu 0,3% perbulan pada usia 12-17 bulan5.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa terdapat bukti bahwa risiko tambahan terhadap
penularan HIV melalui pemberian ASI berkisar 5-20%, dan tingkat infeksi pada bayi yang
menyusu meningkat seiring dengan lamanya menyusu. Pada konseling harus dijelaskan tentang:
 Jika anak diketahui terinfeksi HIV dan sedang mendapat ASI, semangati ibu untuk
melanjutkan ASI
 Jika ibu diketahui HIV (+) dan status anak tidak diketahui, harus dilakukan konseling
bagi ibu mengenai untuk perencanaan pemberian susu pengganti dengan syarat AFASS 1.

Apabila penggantian pemberian susu pengganti (susu formula) memenuhi AFASS berarti
Acceptable (dapat diterima), Feasible (mudah dilakukan), Affordable (harga terjangkau),
Sustainable (berkesinambungan), Safe (aman), maka sangat dianjurkan untuk menghindari
ASI dari ibu yang terinfeksi HIV 12.
Jika dalam keadaan tidak terjaminnya ketersediaan susu formula, perlu diperhatikan pada
pilihan ASI, perlu Manajemen Laktasi yang baik untuk mencegah lecet dan radang payudara
(mastitis). Bila puting sedang lecet/ luka, ASI tidak diberikan melalui puting yang lecet 11. Dan
jika yang dipilih adalah ASI eksklusif, maka selama pemberian ASI eksklusif tidak boleh
dicampur tambahan lain karena dapat menyebabkan iritasi usus sehingga transmisi virus lebih
tinggi terutama pada bulan awal 12.
 Pemanasan ASI
 Penyimpanan ASI
 Ibu susuan

Tabel perbandingan manfaat dan risiko ASI eksklusif dengan susu formula ekslusif 11.
Penatalaksanaan 17

Bagan pemberian kotrimoksazol pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif

Obat ARV terdiri dari 3 golongan utama: nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NRTI), nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI), dan protease inhibitor (PI).
Baku pengobatan adalah triple therapy. WHO merekomendasikan bahwa rejimen lini
pertama adalah 2 NRTI ditambah 1 obat NNRTI. EFV (efavirenz) adalah pilihan NNRTI
untuk anak yang diberi rifampisin
Pilihan terapi lini-pertama untuk pasien anak adalah (d4T atau AZT) + 3TC +
suatu NNRTI (NVP atau EFV). dengan alasan sama seperti telah dibahas pada rejimen
awal untuk dewasa. Kelemahannya adalah bahwa EFV tidak dapat digunakan untuk
anak berumur kurang dari 3 tahun karena kurang sesuainya formulasi dan informasi
dosisnya, masalah tersebut masih dalam penelitian. Konsekuensinya, anak berumur
kurang dari 3 tahun atau berat badannya kurang dari 10 kg, pilihan NNRTI jatuh pada
NVP. Penggunaan AZT/3TC/ABC sebagai terapi lini-pertama saat ini bergeser sebagai
alternatif lini-kedua, karena temuan hasil penelitian dari ACTG A5095 pada dewasa,
masih ditunggu data lebih lanjut.
Pilihan NNRTI untuk anak yang butuh ART tetapi juga perlu atau sedang
mendapat obat anti-TB yang mengandung rifampisin jatuh pada EFV. Untuk anak
berumur kurang 3 tahun yang membutuhkan ART dan anti-TB, perlu menggunakan
AZT/3TC/ABC, karena SQV/r tidak tersedia formula yang tepat untuk anak dalam
kelompok umur ini. Diperlukan pemantauan terhadap hipersensitifitas terhadap ABC.
SQV/r terutama untuk anak yang lebih besar yang dapat menerima dosis dewasa (yaitu
anak dengan berat badan >25kg).
Tanda klinis yang penting sebagai respon terhadap pengobatan ARV pada anak
adalah: adanya kemajuan tumbuh kembang anak yang pernah mengalami gangguan,
perbaikan gejala neurologi dan perkembangan anak yang pernah mengalami
keterlambatan perkembangan mental atau ensefalopati, dan/atau menurunnya frekuensi
penyakit infeksi yang dialami (seperti infeksi bakterial, kandidiasis oral, dan/atau infeksi
oportunistik lain). Pemantauan laboratorium pada anak yang mendapat ART sama
dengan yang direkomendasikan pada ODHA dewas . Dengan tambahan pada pemantauan
klinis terapi ARV pada anak sebaiknya juga dilakukan pemantauan:
• Gizi dan status gizi;
• Perkembangan berat badan dan tinggi badan;
• Tumbuh kembang anak;
Alasan mengganti ART pada bayi dan anak
Prinsip dasar penggantian terapi pada anak hampir sama dengan yang diterapkan
pada ODHA dewasa, demikian juga penatalaksanaan toksisitas obat. Bila dapat
teridentifikasi obat dalam rejimen yang berhubungan dengan reaksi toksik, maka obat
tersebut dapat diganti dengan obat lain yang tidak memiliki efek samping yang sama.
Tanda klinik untuk kegagalan terapi pada anak adalah: lambatnya tumbuh kembang anak,
atau kemunduran dalam pertumbuhan anak yang awalnya memberikan respon terhadap
terapi; tiadanya perkembangan neurologis anak atau berkembangnya ensefalopati; dan
kambuhnya penyakit infeksi, seperti kandidiasis oral, yang tidak mempan oleh
pengobatan. Penggantian obat jangan didasarkan atas kriteria klinis semata, seharusnya
kesimpulan bahwa ada kegagalan ART diambil setelah anak mendapatkan terapi yang
cukup lama (contoh, anak harus telah mendapatkan rejimen ARV tersebut paling sedikit
24 minggu). Oleh karena penurunan jumlah mutlak CD4 sangat tergantung pada umur
sampai anak berumur 6 tahun, sangat sulit untuk menilai adanya kegagalan terapi pada
anak yang lebih muda. Setelah umur 6 tahun jumlah CD4 hampir mencapai jumlah
dewasa dan CD4 dapat dipakai sebagai dasar kriteria. Untuk memantau respon terhadap
terapi dipakai persentase CD4 oleh karena variasinya lebih kecil dan tidak tergantung
pada umur. Belum ada data yang pasti tentang penggunaan limfosit total untuk
mengevaluasi hasil ART pada anak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, WHO,2008


2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Editor Sudoyo AW,
dkk. Edisi 4. Jakarta: FKUI; 2006. Hal 1825-1830.

3. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Anak Di Indonesia. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2008
4. Program nasional bagi anak indonesia kelompok penanggulangan
HIV/AIDS. http://www.bappenas.go.id/index.php? 6.
module=filemanager&func=download&pathext=contentexpress/kpp/pnba/buku%20iii/&view=iv.%20buku
%20iii%20penanggulangan%20hiv%20aids%20-%20final.rtf.
5. Widodo J. Artikel: HIV Mengancam Anak Indonesia. Rumah sakit Bunda Jakarta.15 Jul 2005.

http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=946&tbl=artikel

6. Fazidah AS. AIDS dan upaya penanggulangannya di Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=949
7. www.medscape.com/viewarticle/416415_1
8. Whittle H, Ariyoshi K, Rowland-Jones S. HIV-2 and T Cell Recognition. Current Op in Immunol 1998; 10 : 383.
9. Draft panduan pelayanan medis. Departemen ilmu kesehatan anak RSCM. 2007

10. Bagus Rahmat Prabowo. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak terkinni, symposium
setengah ahri informasi pengobatan HIV terkini. Juni 2009. Atmajaya, Jakarta.
http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=3003
11. Muh.Ilhamy. Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. Direktorat Bina
Kesehatan Ibu, Ditjen Bina Kesmas, Depkes RI. http???

12. Sumber: Presentation : Infant Feeding and HIV & AIDS Preventing Mother to Child Transmission

13. Suresh Rangarajan. Antiretroviral Therapy for the Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV-1.
UCSD Med-Peds. June 2008

14. Karin A Nielsen. The HIV Cycle and the early life cycle: disease progression in children. Published:
03/13/2003; Updated: 03/24/2003. http://cme.medscape.com/viewarticle/450737

15. Daniela Souza Araújo de Angelis. CCR5 Genotypes and Progression to HIV Disease in Perinatally Infected
Children. Institute of Tropical Medicine of São Paulo, LIM52-HCFMUSP; Federal University of São Paulo,
UNIFESP; São Paulo, SP, Brazil. www.bjid.com.br

16. Kirsty Little . Current HIV Research, 2007. Disease Progression in Children with Vertically-Acquired HIV
Infection in Sub-Saharan Africa: Reviewing the Need for HIV Treatment . Centre for Paediatric Epidemiology
and Biostatistics, Institute of Child Health, University College London, UK; Health Section, UNICEF, New
York, USA;

17. Depkes RI. Pedoman nasional terapi antiretroviral. 2004.

Anda mungkin juga menyukai