Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS

ILMU KESEHATAN ANAK


ALERGI SUSU SAPI

Disusun Oleh :
Jennifer (01073170113)

Pembimbing :
dr. Melanie Widjaja, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT SILOAM LIPPO VILLAGE
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE JUNI – AGUSTUS 2019
TANGERANG
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. M
Jenis kelamin : Laki-Laki
Tanggal lahir : 18 May 2019
Usia : 2 bulan 3 hari
Agama : Islam
Pendidikan :-
No rekam medis : 00-87-28-xx
Alamat :
Tanggal Masuk : 30/7/2019, (19.10)
Tanggal Pemeriksaan : 30/7/2019, (20.00)
Informasi diperoleh secara alloanamnesis dengan ayah & ibu kandung pasien.

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan BAB cair sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Siloam dengan keluhan
BAB cair sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. BAB sebanyak 5x dengan konsistensi
cair dengan sedikit ampas, warna kuning kecoklatan tanpa disertai lendir atau darah. Ibu
pasien juga mengatakan terdapat demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, demam
dirasakan sepanjang hari namun ibu tidak mengukur suhu. Pasien juga terdapat muntah
sebanyak 1x yang berisi susu. Sebelum pasien datang ke IGD RSUS, pasien sudah sempat
ke puskesmas dan sudah diberikan obat diare dan penurun panas namun keluhan tidak
membaik. Pasien masih mau minum susu dan buang air kecil terakhir adalah 4 jam
sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan lain seperti batuk, pilek, kejang, muncul ruam, adanya tanda-tanda
perdarahan seperti mimisan, gusi berdarah disangkal oleh ibu pasien. Dirumah tidak ada
yang memiliki keluhan seperti pasien dan tidak ada yang sedang terkena demam berdarah.

1
Buang air kecil (BAK) pasien tidak ada perubahan, berwarna kuning, tidak keruh, dan
tidak ada nyeri BAK.
.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan diare dan muntah sebelumnya setelah pemberian
susu formula sehingga ibunya beberapa kali mengganti susu formula anak. Ibu sudah
sempat ke dokter sebelumnya dan dinyatakan alergi susu sapi. Tidak ada riwayat batuk
lama, sesak, kejang dan penyakit bawaan lahir. Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit
ataupun di operasi.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga yang tinggal serumah tidak ada yang memiliki keluhan serupa seperti
pasien. Ayah pasien terdapat riwayat asma, namun pada ibu tidak ada riwayat asma, alergi
obat, alergi debu rumah, alergi makanan, hipertensi, diabetes melitus dan keganasan. Tidak
ada yang sedang mengidap demam berdarah di rumah pasien atau pada lingkungan sekitar
tempat tinggal pasien.

Riwayat Kehamilan
Pasien merupakan anak ke-1 dari kehamilan pertama (P1A0). Ibu pasien kontrol rutin
ke dokter spesialis kandungan sepanjang masa kehamilan, 1 kali dalam satu bulan dan
pada trimester terakhir setiap 2 minggu sekali. Ibu pasien juga melakukan pemeriksaan
USG sebanyak 5x dan hasilnya tidak ada kelainan. Selama hamil, ibu pasien
mengkonsumsi suplemen besi dan asam folat secara rutin. Pasien disuntik imunisasi
tetanus dua kali, pertama kali pada saat usia kehamilan 7 bulan dan 1 bulan kemudian
disuntikkan kembali. Selama kehamilan, ibu pasien tidak ada tekanan darah tinggi,
diabetes gestasional, demam, kejang dan perdarahan.
Kesan : Riwayat kehamilan tanpa penyulit atau komplikasi

Riwayat Persalinan dan Masa Perinatal


Pasien lahir di bidan secara normal. Usia gestasi aterm 37 minggu. Bayi menangis
spontan saat lahir, tidak ada sianosis ataupun jaundice. Berat badan lahir pasien adalah
3000 gram dengan panjang badan 49 cm. Pasien tidak dirawat di NICU, inkubator atau
dilakukan fototerapi.
2
Kesan : Riwayat persalinan dan masa perinatal tanpa komplikasi.

Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan ASI eksklusif dari ibu sampai usia 1 bulan setelah itu ASI tidak
keluar dan ibu mengganti dengan susu formula lactona. Karena setelah pemberian susu
formula pasien mengalami diare , ibu mengganti susu menajdi SGM dan 2 minggu terakhir
pasien mengkonsumsi susu formula lactogen. Susu formula diberikan setiap kali bayi
meminta/lapar, diberikan cukup sering (dapat mencapai 10 kali per hari), durasi sekitar 10-
30 menit.
Kesan : Kualitas dan kuantitas nutrisi baik

Riwayat Tumbuh Kembang


• Sosio-personal : menatap wajah ibu, tersenyum
• Bahasa : bersuara “ooo..oooo”
• Motorik halus : kepala menoleh ke kanan dan kiri
• Motorik kasar : mengangkat kepala saat tengkurap
Kesan : Riwayat tumbuh kembang dalam batas normal sesuai usia.

Riwayat Imunisasi

Kesan : Riwayat imunisasi dasar pemerintah belum lengkap

3
Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Kondisi Lingkungan
Pasien tinggal di rumah bersama kedua orangtuanya dan adik ibu di sebuah rumah
yang berukuran sedang. Ayah bekerja sebagai wiraswasta dan ibu sebagai ibu rumah
tangga. Rumah keluarga pasien memiliki ventilasi yang cukup baik, terdapat sirkulasi
udara melalui kipas dan AC, serta sinar matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela
yang ada pada setiap kamar. Keluarga pasien tidak memelihara hewan
Kesan : Riwayat sosial dan kondisi lingkungan baik, kondisi ekonomi menengah.

II. Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 30 July 2019, pukul 20.00 di IGD RSUS
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis, E4V5M6

Tanda Vital
 Laju Nadi : 130x/menit, cukup, simetris, kuat angkat, reguler
 Laju Napas : 38 x/menit, dalam dan teratur
 Suhu : 37.8° Celcius
 Tekanan darah : -/- mmHg
 SpO2 : 98% room air

Status Gizi dan Antropometri


 Berat badan : 4,85kg BB/U = -2 < SD < 0 (Normal)
 Tinggi badan : 56 cm TB/U = -2 <SD < 0 (Normal)
BB/TB = -1 < SD < 0 (Normal)
 Berat ideal : 5 kg
 Lingkar kepala : 39 cm LK/U = -1< SD < 0 (Normal)
Kesan : Berat badan normal, perawakan normal sesuai usia, gizi baik, normosefali

4
Status Generalis
Sistem Deskripsi
Kulit Warna sawo matang, lesi (-), perdarahan (-), jaundice(-), scar (-), petekie
(-), purpura (-)
Kepala Simetris, tidak ada deformitas, UUB 2x2 cm cekung (+)
Wajah Normofascies, pucat (-), ikterus (-), sianosis (-)
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3mm, RCL
(+/+), RCTL (+/+), mata cekung (+/+), air mata (+/+) sedikit, gerakan
bola mata normal
Hidung Pernapasan cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), nyeri tekan sinus (-
), hipertrofi konka (-), hiperemis konka (-)
Telinga Daun telinga simetris, normotia, nyeri tekan tragus (-/-), sekret (-/-)
Mulut Bibir kemerahan, lembab, sianosis (-), pucat (-), angular chelitis (-), lidah
hiperemis (-), lidah kotor (-), mukosa lembab, perdarahan gusi (-), karies (-
)
Tenggorokan T1/T1, tonsil hiperemis (-), faring hiperemis (-), uvula di tengah, detritus
(-)
Leher kuduk kaku (-), trakea intak di tengah, tiroid tidak teraba, pemeriksaan JVP
tidak dilakukan
Kelenjar Getah Bening Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Dada Bentuk normal simetris, retraksi (-)
Paru-paru Inspeksi: perkembangan rongga dada saat statis dan dinamis simetris (+/+),
scar (-)
Palpasi: pengembangan dada simetris kanan dan kiri, tactile fremitus tidak
dapat dilakukan
Perkusi: sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi: vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-), slem (-/-)
Jantung Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Auskultasi : Bunyi jantung S1 & S2 reguler, murmur(-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi: datar, distensi (-), scar (-), caput medusa (-), dam steifung (-),
dam kontur (-)
Auskultasi: BU (+) normal, 14 x / menit, bruit (-), metallic sound (-)
Perkusi: timpani pada seluruh kuadran abdomen, shifting dullness (-)
Palpasi: supel, nyeri tekan (-), hepatosplenomegali (-), lien tidak teraba,
turgor kulit tidak spontan
Ekstremitas Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)
Anogenital Meatus urethra eksterna di ujung dan terbuka, kedua testis berada di
skrotum, anus paten dan tidak ada kemerahan disekitarnya.

5
Neurologis GCS : E4M6V5
Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinski I, II (-), Laseque
>70o/>70o, Kernique >135o/>135o
Saraf kranialis : Kesan normal
Motorik : Kesan tidak ada lateralisasi, normotonus, atrofi (-), fasikulasi (-
), refleks fisiologis ekstremitas dan refleks patologis normal
Sensorik : kesan normal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium 30/07/2019
Value Unit Reference Range
FULL BLOOD COUNT
Hemoglobin 10,60 g/dL 10,20 – 14,30
Hematocrit 31,90 % 31,00 – 43,00
Erythrocyte 4,74 10^6/µL 4,40 – 5,90
White blood cell 7,03 10^3/µL 5,80 – 15,60
Differential Count
Basophil 0 % 0–1
Eosinophil 4 % 1–3
Band Neutrophil 3 % 2–6
Segment Neutrophil 60 % 50 – 70
Lymphocyte 32 % 25 – 40
Monocyte 5 % 2–8
Platelet count 588,000 10^3/µL 150,00 – 440,00
ESR 34 mm/hours 0-10
MCV, MCH, MCHC
MCV 76,60 fL 72,00 – 88,00
MCH 25,40 Pg 23,00 – 31,00
MCHC 32,70 g/dL 32,00 – 36,00
Na 136 Mmol/l 137- 1145
45
K 4.7 Mmol/l 3.6-5.0
Cl 106 Mmol/l 98-107
GDS 87 Mg/dl 50-80
Kesan : Peningkatan ESR , trombositosis dan hiponatremia

6
Stool Analysis 30/07/19
Value Unit Reference Range

STOOL

Macroscopic

Color Yellow

Consistency Smooth

Mucus Negative Negative

Blood Negative Negative

Microscopic

Erythrocyte 1-2 /HPF 0–1

Leukocyte 2-3 /HPF 1-5

Amoeba Not found

Egg Worm Negative Negative

Yeast Negative Negative

Digestive

Amylum Negative

Fat Negative

Fibers Positive

Stool Occult Blood Positive Negative

Rotavirus Antigen Negative Negative

RESUME
An.M, 2 bulan 3 hari, datang ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Siloam
dengan keluhan BAB cair sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. BAB sebanyak 5x
dengan konsistensi cair dengan sedikit ampas, warna kuning kecoklatan tanpa disertai
lendir atau darah. Ibu pasien juga mengatakan terdapat demam sejak 4 hari sebelum masuk
rumah sakit, demam dirasakan sepanjang hari namun ibu tidak mengukur suhu. Pasien
juga terdapat muntah sebanyak 1x yang berisi susu. Sebelum pasien datang ke IGD RSUS,
pasien sudah sempat ke puskesmas dan sudah diberikan obat diare dan penurun panas
namun keluhan tidak membaik. Pasien masih mau minum susu dan buang air kecil terakhir
adalah 4 jam sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan lain seperti batuk, pilek, kejang, muncul ruam, adanya tanda-tanda
perdarahan seperti mimisan, gusi berdarah disangkal oleh ibu pasien. Dirumah tidak ada
7
yang memiliki keluhan seperti pasien dan tidak ada yang sedang terkena demam berdarah.
Buang air kecil (BAK) pasien tidak ada perubahan, berwarna kuning, tidak keruh, dan
tidak ada nyeri BAK.
Pasien pernah mengalami keluhan diare dan muntah sebelumnya setelah pemberian
susu formula sehingga ibunya beberapa kali mengganti susu formula anak. Ibu sudah
sempat ke dokter sebelumnya dan dinyatakan alergi susu sapi. Tidak ada riwayat batuk
lama, sesak, kejang dan penyakit bawaan lahir.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit ringan, kesadaran kompos
mentis, laju nadi yaitu 130x/menit, laju napas 38x/menit, suhu 37.8° Celcius dan SpO2
98% room air. Berat badan normal, perawakan normal sesuai usia, gizi baik, serta
normosefali. Pada status generalis, terdapat ubun-ubun cekung, mata cekung dan skin
turgor yang melambat. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal menunjukkan nilai ESR
pasien meningkat menunjukan kesan adanya proses inflamasi sistemik, trombositosis dan
hiponatremia. Hasil pemeriksaan stool analisis dalam batas normal, rotavirus negatif.

DIAGNOSIS KERJA
 Diare akut dehidrasi ringan sedang e.c susp. alergi susu sapi

TATALAKSANA
Saat di bangsal lantai 7 SHLV pasien diberikan :
 IVFD RL 850 ml/24 jam  evaluasi status dehidrasi setiap 4 jam
 Ranitidin IV 20 mg BD
 Paracetamol syrup PO 5ml TDS
 Zinc PO 10 mg 2,5ml
 Nutramigen LGG

PROGNOSIS
 Ad vitam : bonam
 Ad functionam : bonam
 Ad sanationam : bonam

8
FOLLOW UP

Tanggal Follow up
31 july 2019 S: Ibu pasien mengatakan masih mengatakan ada BAB cair 2x, cair , warna kuning, lendir
- , darah - .Tidak ada demam, mual dan muntah. Buang air kecil
O : KU: TSS, Kes: CM (E4M6V5)
Laju Nadi : 137 x/menit, isi cukup, kuat angkat, regular
Laju Pernapasan : 36 x/menit, dalam dan teratur
Suhu : 36.7°C
SpO2 : 99% room air

Status Generalis
Kulit : lesi (-), perdarahan (-), jaundice(-), scar (-), petekie (-), purpura (-)
Kepala : Normosefal, UUB 2x2cm datar
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3mm, RCL
(+/+), RCTL (+/+), mata cekung (-/-), air mata (+/+), gerakan bola mata normal
Hidung : Napas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), nyeri tekan sinus (-),
hipertrofi konka (-), hiperemis konka (-)
Telinga : Daun telinga simetris, normotia, nyeri tekan tragus (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Bibir kemerahan, lembab, sianosis (-), pucat (-), angular chelitis (-), lidah
hiperemis (-), lidah kotor (-), mukosa lembab, perdarahan gusi (-), karies (-)
Tenggorokan : T1/T1, tonsil hiperemis (-), faring hiperemis (-), uvula di tengah,
detritus (-)
Leher : tidak ada pembesaran KGB
Thorax : Bentuk normal simetris statis-dinamis, retraksi -
Pulmo : Vesikuler (+/+), ronchi (-/-) seluruh lapang paru, wheezing (-/-), slem (-/-)
Cor : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, distensi (-), scar (-) ,BU (+) normal, 16 x / menit, timpani pada
seluruh kuadran abdomen, skin turgor spontan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-)
A : Diare akut dehidrasi ringan sedang e.c susp. alergi susu sapi
P : IVFD RL 20cc/ jam
Ranitidin IV 20 mg BD
Paracetamol syrup PO 5ml TDS
Zinc PO 10 mg 2,5ml
Nutramigen LGG

9
BAB II
ANALISA KASUS

Alergi susu sapi (ASS) adalah sebuah reaksi simpang terhadap protein susu sapi yang
bermanifestasi pada sistem pernapasan, kulit maupun sistem pencernaan.1 Alergi susu sapi
ditemukkan pada 2-7.5% dari bayi dibawah usia 1 tahun. Faktor resiko yang meningkatkan
resiko alergi susu sapi pada bayi adalah riwayat keluarga, infeksi dan perubahan
mikroflora usus, usia saat paparan pertama, makanan ibu dan karakteristik dari alergen.1,2
Pada pasien ini ditemukkan faktor resiko adanya riwayat hipersensitivitas yaitu asma
pada ayah pasien, dimana pencetusnya yaitu berupa debu, dan udara dingin. Faktor resiko
lainnya yang ada pada pasien ini adalah pasien tidak diberikkan ASI eksklusif oleh ibu,
dan riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Berbagai faktor ini meningkatkan risiko
terjadinya alergi susu sapi pada pasien.
Gambaran klinis yang ditimbulkan dari alergi susu sapi melibatkan 3 organ: respirasi,
gastrointestinal, dan kulit. (Tabel 1.)1,3 Gejala klinis alergi susu sapi seringkali
memberikan lebih dari 2 gejala pada 2 organ yang berbeda pada bayi dibawah 1 tahun .3
Manifestasi klinis alergi susu sapi yang dimediasi oleh IgE dan yang tidak dimediasi oleh
IgE berbeda pada interval antara paparan dan awitan gejala, dan juga dari keparahan gejala.
(Tabel 2.)

Tabel 1. Manifestasi klinis alergi protein susu sapi1,3

IgE Non-IgE

Kulit Dermatitis atopi Ruam kontak

Urtikaria Dermatitis atopi

Angioedema

Gastrointestinal Sindrom alergi oral Sindrom enterokolitis

Mual/muntah Kolitis

Kolik Gastroenteritis eosinofilik alergi

Diare Transient enteropathy

Protein-losing enteropathy

Konstipasi

Respirasi Rinokonjungtivitis Hemosiderosis pulmonal


(Sindrom heiner, jarang)
Asma (mengi, batuk)

10
Tabel 2. Perbedaan gejala mekanisme melalui IgE dan tidak melalui IgE1,3

Karakteristik Mekanisme melalui IgE Mekanisme tidak melalui


mediasi IgE

Waktu antara paparan Menit sampai 2 jam Beberapa jam hingga hari
hingga reaksi

Severitas Ringan hingga anafilaksis Ringan hingga sedang

Durasi Dapat bertahan hingga lebih dari Perbaikkan saat lebih dari usia 1
usia 1 tahun tahun

Diagnosis IgE spesifik, uji tusuk kulit Provokasi oral

Pada pasien ini ditemukkan gejala gastrointestinal yang sudah sering berulang, dengan
keparahan yang ringan karena tidak menganggu tumbuh kembang dari pasien dan pasien
dalam keadaan stabil. Gejala ini mulai timbul sejak pasien mulai menggunakan susu
formula. Gejala-gejala ini mengarahkan etiologi ke alergi susu sapi dengan adanya 2 gejala
dan keterlibatan 2 organ. Pada pasien ini tidak ditemukkan gejala kulit. Alergi susu sapi
pada pasien ini dicurigai melalui mekanisme dimediasi oleh IgE karena reaksinya yang
seringkali timbul setelah makan dalam waktu kurang dari 1 jam
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukkan pada pasien adalah pemeriksaan darah
lengkap, dan juga pemeriksaan uji tusuk kulit, dan IgE RAST.3,4 Pada pemeriksaan darah
biasanya ditemukkan adanya peningkatan eosinofil >3%. Dari hasil laobatorium juga
dapat ditemukkan peningkatan trombosit, LED, CRP, dan leukosit walaupun tidak
spesifik. Uji tusuk kulit dilakukkan di volar lengan bawah atau bagian punggung, lalu
dinilai ukuran lesi yang dihasilkan. Hasil uji tusuk kulit berguna untuk menyingkirkan
kemungkinan alergi susu sapi yang tidak diperantarai IgE karena nilai duga negatifnya
yang tinggi. Uji IgE RAST dapat dilakukkan bila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukkan,
dengan hasil positif jika > 5 kIU/L pada anak usia < 2 tahun dan > 15 kIU/L pada anak
usia > 2 tahun.3 Diagnosis pada alergi susu sapi dapat ditegakkan dengan eliminasi dan
provokasi. Walaupun diagnosis baku emas adalah double blind controlled placebo
controlled food challenge (DBPCFC) namun eliminisai dan provokasi susu sapi terbuka
lebih mudah untuk dilakukkan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukkan adalah

11
pemeriksaan tinja dapat dilakukkan pada pasien dengan darah di tinja yang tidak nyata.
Pemeriksaan yang dapat dilakukkan pada tinja adalah uji guiac, chromium-51 labelled
erythrocytes, dan reaksi orthotolidin.3, 5
Pada hasil pemeriksaan darah pada pasien ini ditemukkan eosinofil berjumlah 4,
dengan hasil laboratorium lain menunjukkan proses inflamasi yang tidak spesifik tanpa
pergerseran hitung jenis. Pemeriksaan uji tusuk kulit dan IgE RAST tidak dilakukkan pada
pasien ini. Sehingga pada pasien ini untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukkan
eliminasi dan provokasi.
Tatalaksana alergi susu sapi didasarkan pada derajat keparahan alergi susu sapi, dan
juga berdasarkan pemakaiaan susu. Pada alergi susu sapi derajat ringan-sedang hanya
ditemukkan gejala alergi susu sapi seperti regurgitasi, dermatitis atopik, dan juga batuk
namun tidak menyebabkan gagal tumbuh, anemia defisiensi berat, syok anafilaksis atau
obstruksi bronkus yang hanya ditemukkan pada alergi susu sapi derajat berat.3,6
Berdasarkan pemakaian susunya, diagnosis dan tatalaksana dari alergi susu sapi
dibedakkan pada penderita yang mengkonsumsi ASI dan penderita yang mengkonsumsi
susu sapi. Berdasarkan rekomendasi konsensus IDAI 2014, pada bayi yang mengkonsumsi
susu formula standar dengan derajat ringan-sedang diberikkan susu hidrolisis ekstensif
selama minimal 2-4 minggu, lalu dilanjutkan dengan uji provokasi dan melanjutkan terapi
jika hasilnya positif. Bila didapatkan hasil yang positif maka pasien terdiagnosis alergi
susu sapi dan dilanjutkan eliminasi selama minimal 6 bulan dan seterusnya. Setelah pasien
menjalani tatalaksana eliminisasi, dapat dilakukkan uji provokasi ulang pada pasien untuk
menilai masih adanya reaksi pada pasien.3,6,7

12
Gambar 1. Tatalaksana Alergi Susu Sapi.3

Pilihan utama susu formula pada pasien dengan diagnosis alergi susu sapi adalah susu
formula terhidrolisis ekstensif. Bila susu formula terhidrolisis ekstensif tidak tersedia
maka dapat diberikkan susu formula dengan bahan kedelai pada pasien berusia diatas 6
bulan. Susu dengan bahan lain seperti susu kambing, dan domba tidak dianjurkan untuk
diberikkan karena dapat terjadi reaksi silang. Selain itu makanan pendamping asi yang
diberikkan untuk pasien juga harus diberikkan yang tidak mengandung protein susu sapi.3
Selama eliminasi dilakukkan harus dilakkukkan pemantauan terhadap timbulnya
gejala dari alergi susu sapi. Bila gejala timbul selama proses eliminasi maka harus
dilakukkan pemantauan terhadap kepatuhan ibu terhadap pengobatan. Sumber protein susu

13
sapi dari makanan yang diberikkan atau susu yang diberikkan harus dicari. Bila sumber
protein susu sapi lain telah disingkirkan dengan kecurigaan klinis yang tinggi terhadap
alergi susu sapi maka harus dipertimbangkan mengganti susu formula ekstensif dengan
susu asam amino sambil dilakukkan evaluasi gejala ulang. Pada pasien-pasien yang setelah
diganti susu asam aminonya masih timbul gejala dapat dipertimbangkan kemungkinan
alergi lain.3 Kemungkinan alergi makanan lain dapat dipertimbangkan dari 8 jenis
makanan yang kerap menyebabkan alergi seperti: susu, telur, ikan, makanan laut dengan
cangkang, kacang-kacangan, kacang pohon, gandum, dan kedelai. Pada pasien-pasien ini
perlu dilakukkan eliminasi terhadap alergen tersebut bila klinis pasien tidak membaik.8,9
Pasien dapat juga mengalami kesulitan untuk meminum susu hidrolisat ekstensif dan
asam amino karena sudah terpapar ASI dan formula standar sebelumnya. Menurut
penelitian, bayi yang telah terpapar dengan ASI dan formula standar lebih sulit untuk
menerima susu hidrolisat ekstensif dan asam amino karena bau dan rasa yang berbeda.
Pada pasien-pasien ini dapat dipertimbangkan penggantian susu menjadi susu formula
dengan basis kedelai dengan pemantauan terhadap adanya reaksi alergi.3
Pada pasien ini diagnosis alergi susu sapi ditegakkan berdasarkan eliminisasi. Hasil
pemantauan selama 4 minggu setelah susu formula diganti dengan susu hidrolisis
ekstensif, pasien tidak mengalami gejala serupa sehingga penggunaan susu sapi
terhidrolisis ekstensif dapat dilanjutkan. Untuk menegakkan diagnosis alergi susu sapi dan
melanjutkan tatalaksana dapat dilakukkan uji provokasi kembali, untuk melihat
munculnya gejala. Tatalaksana eliminasi 2-4 minggu dengan susu formula hidrolisis
ekstensif dan asam amino dimana pada pasien ini diberikan susu nutramigen LGG.

14
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. Munasir Z, Siregar S. Alergi Susu Sapi. In: Akib A, Munasir Z,


Kurniati N, editors. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak. 2 ed. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2010. p. 284-93.
2. Brill H. Approach to milk protein allergy in infants. Canadian family
physician Medecin de famille canadien. 2008;54(9):1258-64.
3. IDAI. Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Susu Sapi. Jakarta: IDAI,
2014.
4. Fiocchi A, Schunemann HJ, Brozek J, Restani P, Beyer K, Troncone
R, dkk. Diagnosis and Rationale for Action Against Cow's Milk
Allergy (DRACMA): a summary report. The Journal of allergy and
clinical immunology. 2010;126(6):1119-28.e12.
5. Host A, Halken S. Cow's milk allergy: where have we come from and
where are we going? Endocrine, metabolic & immune disorders drug
targets. 2014;14(1):2- 8.
6. Lifschitz C, Szajewska H. Cow's milk allergy: evidence-based
diagnosis and management for the practitioner. European journal of
pediatrics. 2015;174(2):141-50.
7. Gurram B. Diarrhea. In: Kliegman R, Lye PS, Bordini BJ, Toth H,
Basel D, editors. Pediatric Symptom-Based Diagnosis. Philadelphia:
Elsevier; 2018. p. 182-8.
8. Chinthrajah RS, Tupa D, Prince BT, Block WM, Rosa JS, Singh AM,
dkk. Diagnosis of Food Allergy. Pediatric clinics of North America.
2015;62(6):1393- 408.
9. Shann F, Royal Children's H. Drug doses. Parkville, Vic.: Collective
Pty Ltd.; 2017.

15

Anda mungkin juga menyukai