Anda di halaman 1dari 21

1

CISTERNOSTOMY VERSUS KRANIEKTOMI DEKOMPRESI UNTUK


MANAJEMEN CEDERA OTAK TRAUMATIK:
UJI COBA TERKONTROL SECARA ACAK

Abstrak

LATAR BELAKANG: Tujuan pengobatan Traumatic Brain Injury (TBI) adalah


untuk menghindari cedera otak sekunder. Kraniektomi dekompresi telah terbukti
mengurangi tekanan intrakranial (TIK), tetapi sebenarnya memberikan jalan keluar
bagi jaringan otak untuk berkembang tanpa mengurangi edema. Cisternostomy
basal adalah teknik bedah mikro yang muncul untuk mengelola edema serebral
pada TBI. Cairan serebrospinal dilepaskan dari sisterna basal, yang mengurangi
edema serebral. Kami membandingkan hasil cisternostomy dengan kraniektomi
dekompresi dalam uji coba terkontrol secara acak dan mempelajari efektivitas
cisternostomy dalam mengurangi edema serebral.
METODE: Semua pasien yang terdaftar secara acak dibagi menjadi 2 kelompok
dan dinilai secara klinis dan radiologis. TBI dikategorikan sebagai cedera ringan,
sedang, dan berat, dan Marshall computed tomography berbasis skor dinilai.
Intracranial Pressure (ICP) intraoperatif diukur pada kedua kelompok. Hasil
dinilai berdasarkan pasca operasi unit perawatan intensif (ICU), hari penggunaan
ventilator, dan Glasgow Outcome Scale score.
HASIL: Ada 50 pasien secara acak dibagi menjadi 2 kelompok (25 pasien di setiap
kelompok). Tingkat kematian adalah 32% (8 kematian) pada kelompok
cisternostomy dan 44% (11 kematian) pada kelompok kraniektomi dekompresi.
Pasien dalam kelompok cisternostomy mengalami penurunan hari rata-rata
penggunaan ventilator dan rawat inap di unit perawatan intensif. Cisterostomy
menghasilkan penurunan ICP yang signifikan setelah kraniotomi. Usia, waktu dari
trauma hingga operasi, dan skor Marshall menunjukkan pentingnya prognostik
pada hasil.
KESIMPULAN: Cisternostomy efektif dalam mengurangi ICP pada pasien
dengan TBI. Glasgow Outcome Scale score yang baik dan tingkat komplikasi yang
rendah ditemukan pada periode pascaoperasi setelah cisternostomy. Usia, Glasgow
Outcome Scale score, skor Marshall, cedera mayor lainnya, dan waktu dari trauma
hingga pembedahan memiliki dampak prognostik yang signifikan pada hasil dalam
pengelolaan TBI.
2

BAB 1
ISI JURNAL

PENDAHULUAN
Tujuan pengobatan cedera otak traumatis / Traumatic Brain Injury (TBI)
terutama difokuskan untuk menghindari cedera otak sekunder. Ini dapat dicapai
dengan kontrol tekanan intracranial / Intracranial Pressure (ICP) yang cermat.
Kraniektomi dekompresi adalah prosedur bedah saraf yang telah teruji dan paling
umum digunakan untuk menurunkan ICP pada TBI. Kraniektomi dekompresi telah
terbukti mengurangi ICP, tetapi sebenarnya memberikan jalan keluar bagi jaringan
otak untuk berkembang tanpa mengurangi edema. Lebih lanjut, kraniektomi
dekompresi sendiri berkaitan dengan banyak komplikasi dan memerlukan operasi
kedua berupa kranioplasti. Oleh karena itu, pencarian prosedur alternatif yang
efektif yang dapat menggantikan kraniektomi dekompresi sedang berlangsung.
Saat ini, model sirkulasi cairan serebrospinal (CSF) telah dipertimbangkan
kembali, dan sudah ditahap bahwa CSF dapat diproduksi dan diserap di seluruh
sistem CSF. Ruang Virchow-Robin perikapiler memainkan peran penting dalam
sistem CSF. Sistem glymphatic telah membuktikan bahwa CSF dari sisterna (dan
bukan dari ventrikel) berkomunikasi dengan parenkim melalui ruang Virchow-
Robin. Telah dikemukakan bahwa pada TBI, terdapat penurunan pembuangan zat
terlarut secara glymphatic dari cairan interstisial, yang memungkinkan CSF
bergeser dari sisterna serebral ke otak sebagai akibat TBI.
Cisternostomy mengacu pada pembukaan basal sisterna untuk tekanan
atmosfer. Cherian dan Burhan menjelaskan cisternostomy untuk kontrol ICP di TBI
pada tahun 2009. Menggunakan teknik ini, CSF dilepaskan dari sisterna basal, yang
mengurangi edema serebral dan merelaksasi otak dalam keadaan akut dan subakut,
sehingga memungkinkan penggantian flap tulang dalam keadaan yang
irreplaceable. Teknik ini telah mendapatkan popularitas dalam dekade terakhir, dan
banyak ahli bedah saraf sekarang melakukan teknik pelepasan CSF ini di TBI.
Sampai saat ini, sejauh pengetahuan kami, tidak ada uji coba terkontrol secara acak
pada cisternostomy yang telah dilakukan. Seperti diketahui, setiap prosedur baru
3

memiliki potensi bahaya overoptimisme pada awalnya. Studi acak menyediakan


cara untuk menguji efektivitas prosedur ini. Oleh karena itu, kami melakukan
penelitian ini untuk mengetahui efektivitas cisternostomy. Sepengetahuan kami, ini
adalah uji coba terkontrol acak pertama yang membandingkan efektivitas
cisternostomy dengan kraniektomi dekompresi.

BAHAN DAN METODE


Seleksi Pasien
Semua pasien yang datang ke Departemen Bedah Saraf di Institut Ilmu
Kedokteran Sri Venkateshwara di Tirupati, India, dengan TBI yang membutuhkan
manajemen bedah dan memenuhi kriteria inklusi dari April 2019 hingga Desember
2020 terdaftar dalam penelitian ini. Kriteria inklusi adalah sebagai berikut: 1) usia
>18 tahun dan <65 tahun, 2) skor Glasgow Coma Scale (GCS) ≥ 4, 3) kontusio
parenkim otak dengan efek massa dan midline shift, 4) hematoma subdural akut
dengan efek massa dan midline shift, 5) perdarahan subarachnoid traumatis dengan
efek massa dan midline shift, dan 6) edema difus pasca trauma dengan efek massa
dan midline shift. Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut: 1) usia <18 tahun dan
usia >65 tahun, 2) skor GCS 3, 3) perdarahan ekstradural, 4) perdarahan
subarachnoid nontraumatic, 5) perdarahan intraparenkim nontraumatic, 6) acute
infarcts with mass effect.

Metodologi
Studi ini disetujui oleh Komite Persetujuan Protokol Tesis institusional dan
Komite Etik Institusional. Informed consent tertulis dari setiap pasien atau anggota
keluarganya diperoleh sebelum penelitian. Semua pasien yang terdaftar dan
memberikan persetujuan untuk berpartisipasi dalam penelitian secara acak
dimasukkan ke kelompok kraniektomi dekompresi dan kelompok cisternostomy.
Urutan randomisasi dihasilkan sebelum dimulainya studi oleh komputer yang
dihasilkan (Perangkat Lunak Alokasi Acak 1.0
[https://mahmoodsaghaei.tripod.com/Softwares/randalloc.html]) himpunan
bilangan acak. Alokasi perlakuan dilakukan dengan metode amplop tertutup.
4

Setelah memberikan persetujuan untuk ikut dalam penelitian, amplop alokasi


prosedur bedah dibuka oleh penulis yang sesuai (HNB) di hadapan petugas pasien
yang telah memberikan persetujuan untuk operasi dan untuk berpartisipasi dalam
operasi. Pasien yang tidak bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian
dikeluarkan dari penelitian. Gambar 1 menunjukkan diagram alur randomisasi.
Pasien secara acak dibagi menjadi 2 kelompok yang masing-masing berisi 25
pasien.

Urutan pengacakan
(random)

Pasien cedera otak


traumatik

Memenuhi kriteria inklusi dan


eksklusi

Tidak Iya

Dikeluarkan Memberikan persetujuan untuk


berpartisipasi dalam penelitian

Tidak (8) Iya (50)

Dikeluarkan Amplop urutan pengacakan


dibuka

Pengacakan menjadi 2 kelompok masing -


masing kelompok berjumlah 25
5

Gambar 1. Diagram alur randomisasi


Computed tomography (CT) skull dilakukan untuk setiap pasien, sesuai
protokol institusi, untuk menentukan jenis cedera, hematoma atau memar otak,
volume hematoma, efek massa, midline shift, dan skor berbasis Marshall CT.
Semua TBI diklasifikasikan sebagai cedera ringan, sedang, dan berat berdasarkan
temuan klinis, temuan GCS dan CT.
Pemantauan ICP (intraparenchymal) intraoperatif dilakukan pada semua
pasien. Karena cisternostomy terutama berbasis pada konsep CSF shift edema, kami
mempertimbangkan untuk mengukur tekanan parenkim dari pada tekanan
intraventrikular. Pascaoperasi, pasien dimonitor untuk jumlah hari penggunaan
ventilator yang dibutuhkan; jumlah hari di unit perawatan intensif (ICU) dengan
pemantauan ICP, setiap defisit neurologis baru dalam bentuk gangguan kognitif,
motorik, atau sensorik pasca operasi, jumlah hari di rumah sakit, komplikasi pasca
operasi, dan mortalitas dan morbiditas selama masa tindak lanjut setelah 3 bulan
dengan Glasgow Outcome Scale (GOS).

Metode Pembedahan
Kraniektomi Dekompresi
Pada kelompok kraniektomi dekompresi, kraniektomi dekompresi standar
dengan flap besar dilakukan dengan penempatan flap tulang pada dinding anterior
abdomen.
Cisterostomi.
Pada kelompok cisternostomy, setelah kraniotomi dan pembukaan dural,
dilakukan cisternostomy basal, termasuk pembukaan interoptic, opticocarotid, dan
lateral carotid cisterna, lamina terminalis, dan membran Liliequist. Sebuah saluran
cisternal ditempatkan dan disimpan selama 3-5 hari dalam periode pasca operasi.
Duraplasty dilakukan terutama atau dengan cangkok perikranial. Flap tulang
diganti dan diperbaiki dengan miniplates dan sekrup. Semua operasi pada kedua
kelompok dilakukan oleh ahli bedah tunggal (VVRC) dengan 13 tahun pengalaman
melakukan operasi dasar tengkorak dan aneurisma.
6

Ukuran Sampel dan Analisis Statistik


Karena kami mengasumsikan cisternostomy secara hipotetis lebih baik
daripada kraniektomi dekompresi konvensional, kami menggunakan hipotesis one
tail dengan kekuatan 80% dan dengan dampak sedang, dan kami mempelajari
minimal 25 pasien dari setiap kelompok sesuai dengan Cohen's dmetode
(www.danielsoper.com/statcalc/calculator). Semua data ditabulasikan dalam
lembar data Microsoft Excel 2007 (Microsoft Corporation, Redmond, Washington,
USA) dengan judul yang tepat. Untuk variabel kontinu, data dinyatakan sebagai
mean - SD. Untuk variabel kategori, data direpresentasikan sebagai hitungan dan
persentase. Perbandingan rata-rata antara 2 kelompok dilakukan dengan
menggunakan Student t test, dengan syarat data terdistribusi normal; jika tidak,
digunakan Mann-Whitney U test. Variabel kategori dibandingkan menggunakan X2
test. P <0,05 dianggap signifikan. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan
IBM SPSS Versi 20.0 (IBM Corporation, Armonk, New York, USA).

Tabel 1. Data Demografis dalam Penelitian


Variabel Kelompok Kelompok P Value
Cisternostomy Craniektomi
Decompressive
Umur, tahun 44,48 - 12,48 42,84 - 13,90 0,663
18-30 5 (20%) 6 (24%
31-40 4 (16%) 4 (16%)
41-50 9 (36%) 8 (32%)
>50 7 (28%) 7 (28%)
GCS 6,88 - 1,87 7.80 - 2.10 0,108
Ringan (14-15) 0 0
Sedang (9-3) 7 (28%) 11 (44%)
Berat (<9) 18 (72%) 14 (56%)
Skor CT Marshall 4.16 - 1.34 4,44 - 1,32 0,460
1 0 (0%) 0 (0%)
2 3 (12%) 2 (8%)
3 4 (16%) 3 (12%)
4 11 (44%) 11 (44%)
5 0 (0%) 0 (0%)
6 7 (28%) 9 (36%)
Waktu dari trauma 13,56 - 9,15 13,48 - 8,90 0,975
hingga operasi, jam
<6 3 (12%) 9 (36%
7-12 10 (40%) 3 (12%)
13-24 10 (40%) 9 (36%
>24 2 (8%) 4 (16%)
7

Hubungan dengan cedera yang terjadi


Fraktur tulang 3 (12%) 4 (16%)
rusuk dan hemo/
pneumothoraks
Long bone Fractures 3 (12%) 2 (8%)
Keduanya 1 (4%) 0
Periode intraoperative
Durasi operasi, jam 3,28 - 0,52 2.90 - 0.38 0,005
Kehilangan darah, 334.00 - 87.46 322.00 - 45.82
mL
ICP (TIK)intraoperatif
Setelah pertama 27,92 - 2,13 27.16 - 1.59 0,159
kalinya burr hole
Setelah craniotomy 15.32 - 3.17 16.28 - 3.06 0,281
Setelah 6.36 - 1.91 -
cysternestomy
Penurunan ICP dari 12,60 - 3,20 10,88 - 2,99 0,055
pertamakalinya burr
hole ke Craniotomy
Periode Pasca operasi
MV support 5,68 - 3,80 7.60 - 4.93 0,130
Durasi lama di ICU 5,48 - 4,85 7.12 - 3.93 0,190

Tabel 1. Lanjutan
Variabel Kelompok Kelompok P value
Cisternostomy craniectomy
decompressive
Total durasi rawat 9,76 – 5,17 10.04 ± 5.32 0.085
inap di rumah sakit
GO 3.12 – 1.64 2.68 ± 1.65 0.349
5 7 (28%) 5 (20%)
4 5 (20%) 4 (16%
3 5 (20%) 5 (20%)
2 0 (0%) 0 (0%)
1 8 (32%) 11 (44%)
GCS, Skala Koma Glasgow; CT, tomografi komputer; TIK, tekanan intrakranial; MV ,
ventilasi mekanis; ICU, unit perawatan intensif; GOS, Hasil Glasgow Scale.

Tabel 2. Hubungan Skor CT Marshall yang menggambarkan Glasgow Coma Scale dan
Intracranial pressure (TIK)
Skor CT Average Presenting GCS Average ICP After 1st Burr Hole
Marshal Kelompok Kelompok P value Kelompok Kelompok P value
l Cystenostomy Decompres Cystenosto Decompres
sive my sive
Craniecto Craniectom
my y
1 0 0 0 0
2 9.50 ± 0.70 10 ± 1.41 0.119 28.33 ± 26 ± 0 0.000
0.57
3 8.00 ± 1.82 10.33 ± 0.000 26.75 ± 27 ± 0 0.466
1.52 1.70
8

4 6.09 ± 1.64 7.45 ± 1.86 0.009 28.91 ± 27.45 ± 0.032


2.54 2.11
5 0 0 0 0
6 6 ± 1.00 6.89 ± 1.83 0.038 28.66 ± 26.90 ± 0.917
1.34 1.37
CT, Tomografi Komputer ; GCS, Glasgow Coma Scale; ICP, Tekanan intrakranial

Hasil Kriteria inklusi dipenuhi oleh 58 pasien. Delapan pasien, tidak bersedia
untuk berpartisipasi dalam penelitian. Pasien-pasien ini dikelola dengan
kraniektomi dekompresi, karena ini adalah metode bedah standar yang diikuti di
institusi kami untuk pengelolaan TBI. Sisanya 50 pasien yang memberikan
persetujuan untuk berpartisipasi secara acak dibagi menjadi 2 kelompok dengan
masing-masing 25 pasien. Usia rata-rata pasien adalah 44,48 - 12,48 tahun pada
kelompok cisternostomy dan 42,84 - 13,90 pada kelompok kraniektomi
dekompresi. Terdapat 16 (64%) pasien pada kelompok cisternostomy dan 15 (60%)
pasien pada kelompok kraniektomi dekompresi berusia >40 tahun.
Rata-rata skor GCS pra operasi adalah 6,88 - 1,87 pada kelompok
cisternostomy dan 7,80 - 2,10 pada kelompok kraniektomi dekompresi. Ada 18
(72%) pasien dalam kelompok cisternostomy dan 14 (56%) pasien dalam kelompok
kraniektomi dekompresi dengan cedera kepala berat dengan skor GCS <9 pada saat
pemeriksaan. Rata-rata skor Marshall CT pra operasi adalah 4,16 - 1,34 pada
kelompok cisternostomy dan 4,44-1,32 pada kelompok kraniektomi dekompresi.
Rerata waktu dari trauma hingga pembedahan adalah 13,56 - 9,15 jam pada
kelompok cisternostomy dan 13,48 - 8,90 jam pada kelompok kraniektomi
dekompresi. (Karena institut kami adalah pusat perawatan tersier di wilayah kami,
banyak kasus dirujuk ke sini dari pusat perifer, sehingga transportasi pasien
membutuhkan waktu. Jadi, waktu rata-rata dari trauma hingga pembedahan dalam
penelitian kami lebih lama dibandingkan dengan penelitian sebelumnya). Pasien
dikategorikan menjadi 4 kelompok: 80% dari kelompok cisternostomy dan 48%
dari kelompok dekompresi berada di kelompok 6 - 24 jam (termasuk kelompok 7-
12 jam dan kelompok 13-24 jam).
Durasi rata-rata operasi adalah 3,28 - 0,52 jam pada kelompok cisternostomy
dan 2,90 - 0,38 jam pada kelompok kraniektomi dekompresi; ini signifikan secara
9

statistik (P = 0,005). Rata-rata kehilangan darah intraoperatif adalah 334,00 - 87,46


mL pada kelompok cisternostomy dan 322,00 - 45,82 mL pada kelompok
kraniektomi dekompresi. Rata-rata ICP intraoperatif yang diukur setelah burr hole
pertama adalah 27,92 - 2,13 mm Hg pada kelompok cisternostomy dan 27,16 - 1,59
mm Hg pada kelompok kraniektomi dekompresi (P = 0,159). Rata-rata TIK setelah
kraniotomi adalah 15,32 - 3,17 mm Hg pada kelompok cisternostomy dan 16,28 -
3,06 mm Hg pada kelompok kraniektomi dekompresi (P = 0,281). Rerata
penurunan ICP dari burr hole pertama ke kraniotomi adalah 12,60 - 3,20 mm Hg
pada kelompok cisternostomy dan 10,88 - 2,99 mm Hg pada kelompok kraniektomi
dekompresi. Durasi rata-rata penggunaan ventilasi mekanik adalah 5,68 - 3,80 hari
pada kelompok cisternostomy dan 7,60 - 4,93 hari pada kelompok kraniektomi
dekompresi. Durasi rata-rata berada di ICU adalah 5,48 - 4,85 hari pada kelompok
cisternostomy dan 7,12 - 3,93 hari pada kelompok kraniektomi dekompresi. Durasi
rata-rata rawat inap di rumah sakit adalah 9,76 - 5,17 hari pada kelompok
cisternostomy dan 10,04 - 5,32 hari pada kelompok kraniektomi dekompresi. Data
demografi pasien ditampilkan dalam Tabel 1.
Angka kematian dalam penelitian ini adalah 32% (n = 8 pasien) pada
kelompok cisternostomy dan 44% (n = 11 pasien) pada kelompok kraniektomi
dekompresi. Ini diberi skor GOS 1. Dalam penelitian ini, 50% kematian pada
kelompok cisternostomy dan 82% kematian pada kelompok kraniektomi
dekompresi terjadi pada pasien berusia >40 tahun. Rata-rata skor GOS pada pasien
dengan cedera kepala sedang adalah 4,57 pada kelompok cisternostomy dan 4,25
pada kelompok kraniektomi dekompresi. Rata-rata skor GOS pada pasien dengan
cedera kepala berat adalah 2,56 pada kelompok cisternostomy dan 1,40 pada
kelompok kraniektomi dekompresi. Rerata skor GOS pada pasien dengan skor
Marshall CT 4 adalah 2,45 - 1,75 pada kelompok cisternostomy dan 2,18 - 1,47
pada kelompok kraniektomi dekompresi (Tabel 2). Rata-rata skor GOS adalah 1
pada pasien yang datang setelah 24 jam trauma pada kedua kelompok. Rata-rata
skor GOS pada pasien yang datang dalam waktu 6 jam setelah trauma adalah 5 pada
kelompok cisternostomy dan 3,89 - 1,36 pada kelompok kraniektomi dekompresi
(Tabel 3 dan 4).
10

Tabel 3. Hubungan dari Intracranial pressure (TIK) ke Glasgow Coma Scale


GOS Mean ICP after 1st Burr Hole (mm Hg) Mean ICP Craniotomy (mm Hg)
Kelompok Kelompok P value Kelompok Kelompok P value
Cystenostomy Decompres Cystenosto Decompres
sive my sive
Craniecto Craniectom
my y
5 27.71 ± 2.98 26.80 ± 0.148 14.86 ± 13.40 ± 0.056
0.83 3.33 1.67
4 28.40 ± 2.30 27 ± 0.81 0.006 14.00 ± 3 14 ± 3.74 1.000
3 27.20 ± 1.48 27.60 ± 0.519 15.40 ± 16 ± 3.39 0.561
2.70 3.84
2 0 0
1 28.25 ± 1.75 27.18 ± 0.029 16.50 ± 18.55 ± 0.001
1.60 2.87 0.82
GOS, Glasgow Output Coma Scale; ICP, Tekanan intrakranial

Tabel 4. Hubungan Faktor Prognostik dengan Glasgow Output Coma Scale


Faktor Prognostik Rata-rata GOS

Kelompok Kelompok P Value


Cisternostomy Craniektomi
Decompressive

GCS
Ringan (14-15)
Sedang (9-3) 4.58 – 0.78 4.25 – 0.75 0.134
Berat (<9) 2.56-1.54 1.40 – 0.82 0.002
Skor CT Marshall 4.16 - 1.34 4,44 - 1,32 0,460
1 0 0
2 4.33 -1.15 5–0 0.005
3 4.25 – 1.70 4.67 – 0.57 0.223
4 2.45 – 1.75 2.18 – 1.47 0.558
5 0 0
6 2.57 – 1.39 2.25 – 1.38 0.418
Umur, tahun
18-30 4.00 – 1.32 4 – 1.09 1.000
31-40 2.75 – 2.06 3 – 1.77 0.000
41-50 2.57 – 1.61 2 – 1.41 0.189
>50 2.60 – 1.67 1.43 -1.13 0.006
Waktu dari trauma
hingga operasi, jam
<6 5–0 3.89 – 1.36 0.6880
7-12 3.09 – 1.51 2.75 – 2.06 0.509
13-24 3 – 1.66 2.13 – 1.24 0.041
>24 1 1 1
GOS, Glasgow Output Comascale; GCS, Glasgow Coma Scale, CT, Tomografi Komputer
11

DISKUSI
TBI berat adalah kondisi yang mengancam jiwa yang menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang substansial. Dalam kondisi TBI, perkembangan ICP
yang tidak terkontrol dikaitkan dengan prognosis yang buruk. Penatalaksanaan TBI
terutama difokuskan pada pengendalian kerusakan yang disebabkan oleh cedera
otak sekunder, yang terjadi terutama sebagai akibat dari peningkatan ICP.
Kraniektomi dekompresi telah terbukti efektif dalam mengurangi ICP dan
mortalitas, tetapi efeknya pada hasil masih dalam perdebatan.
Pada TBI, CSF dengan cepat bergeser ke parenkim otak. Hal ini didukung
oleh nonvisualisasi sisterna dan ventrikel terkompresi. Oleh karena itu, drainase
eksternal ventrikel sangat sulit, dan CSF tidak mengalir dari parenkim otak secara
efektif. Cisternostomy baru-baru ini diusulkan dalam kondisi TBI berat sebagai
teknik bedah adjuvant yang mungkin memiliki potensi untuk secara efektif
meningkatkan kontrol dan hasil ICP. Dalam penelitian ini, kami secara acak
menetapkan 50 pasien ke kelompok kraniektomi dekompresi dan kelompok
cisternostomy (25 pasien di setiap kelompok). Kami mempelajari kelompok-
kelompok ini dalam hal hasil dan efek faktor prognostik. Kedua kelompok
sebanding dalam hal usia, menyajikan skor GCS, Skor Marshall CT, waktu dari
trauma hingga operasi, durasi operasi, kehilangan darah intraoperatif, dan ICP
setelah penempatan burr hole pertama (Tabel 1).

Periode Intraoperatif dan Pascaoperasi


Menurut Cherian et al., waktu rata-rata untuk cisternostomy dari pembukaan
dural adalah sekitar 20 menit dengan waktu tambahan yang dibutuhkan dalam kasus
pengeboran clinoid posterior atau keadaan tak terduga tambahan lainnya yang
terkait dengan cedera kepala parah. Dalam penelitian kami, durasi rata-rata
pembedahan adalah 3,28 - 0,52 jam pada kelompok cisternostomy dan 2,90 - 0,38
jam pada kelompok kraniektomi dekompresi. Hasil ini mirip dengan penelitian oleh
Cherian et al., tetapi waktu tambahan untuk cisternostomy signifikan secara statistic
12

(P = 0,005). Dalam penelitian oleh Cherian et al., angka kematian 13,8% untuk
cisternostomy dan 34,8% untuk decompressive hemicraniectomy (DHC), dan dalam
penelitian kami, angka kematian adalah 32% pada kelompok cisternostomy dan
44% pada kelompok DHC. Meskipun angka kematian tinggi dalam penelitian kami,
itu kurang pada kelompok cisternostomy. Durasi rata-rata pada penggunaan
ventilator dan perawatan ICU dalam penelitian ini lebih banyak dibandingkan
dengan penelitian oleh Cherian et al. pada tahun 2013, tetapi lebih rendah pada
kelompok cisternostomy dibandingkan dengan kelompok kraniektomi dekompresi.

Hasil Skala Glasgow (Glasgow Outcome Scale)


Menurut Cherian et al., skor GOS rata-rata adalah 2,8 untuk pasien yang
diobati dengan DHC dan 3,9 untuk pasien yang diobati dengan cisternostomy. Hasil
penelitian kami sebanding dengan hasil mereka dengan skor GOS rata-rata 2,68
pada kelompok DHC dan 3,12 pada kelompok cisternostomy. Hasil ini juga
didukung oleh Giammattei et al. dalam serangkaian retrospektif dari 40 pasien yang
menjalani cisternostomy basal atau kraniotomi dekompresi saja. Skor GOS juga
secara signifikan lebih baik untuk pasien cisternostomy basal pada 6 bulan (61%
untuk cisternostomy basal vs 35% untuk kraniotomi dekompresi). Dalam sebuah
studi oleh Parthiban et al., cisternostomy basal saja memiliki skor GOS yang baik
dibandingkan dengan cisternostomy basal dikombinasikan dengan kraniotomi
dekompresi (82% vs 62%). Goyal et al., menerbitkan kohort 9 pasien yang
menjalani cisternostomy basal dan kraniotomi dekompresi. Mereka menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara membuka dan menutup tekanan parenkim. Studi
mereka mendukung edema pergeseran CSF dan menyarankan bahwa cisternostomy
basal dan kraniotomi dekompresi harus disediakan untuk pasien dengan cedera
kepala dengan edema berat.

TIK intraoperatif
Dalam penelitian ini, kami mengukur ICP intraoperatif. Terdapat penurunan
TIK yang signifikan pada kedua kelompok dari burr hole pertama hingga
kraniotomi. Jika dibandingkan pada kedua kelompok, penurunan ICP ini tidak
13

memiliki signifikansi statistik. Pada kelompok cisternostomy, ICP lebih lanjut


menurun secara signifikan setelah cisternostomy. Dalam penelitian kami, angka
kematian meningkat secara proporsional dengan penundaan operasi pada kedua
kelompok, karena pasien yang datang dalam waktu 6 jam dari trauma hingga
operasi memiliki hasil yang baik, dan semua pasien yang datang setelah 24 jam
memiliki hasil terburuk pada kedua kelompok. Pasien dengan prognosis buruk
dalam penelitian kami memiliki TIK tinggi setelah kraniotomi dibandingkan
dengan pasien yang menunjukkan prognosis baik pada kedua kelompok. Namun,
pasien dalam kelompok cisternostomy memiliki ICP yang lebih rendah secara
signifikan (P = 0,001) setelah kraniotomi, termasuk pasien dengan prognosis buruk
dibandingkan kelompok kraniektomi dekompresi (Tabel 3).

Kaitannya dengan Faktor Prognostik


Dalam penelitian kami, skor Marshall CT tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan dalam ICP saat penilaian. Pasien pada kedua kelompok dengan skor
Marshall CT 4 dan 6 yang buruk memiliki skor GCS yang buruk saat penilaian dan
skor GOS yang buruk. Pasien dengan peningkatan usia menunjukkan hasil yang
buruk pada kedua kelompok, tetapi hasil yang lebih baik pada kelompok
cisternostomy dibandingkan dengan kelompok kraniektomi dekompresi. Pasien
dengan cedera kepala berat (menunjukkan skor GCS <9) menunjukkan hasil yang
buruk pada kedua kelompok, tetapi hasil lebih baik pada kelompok cisternostomy,
yang secara statistik signifikan dibandingkan dengan kelompok kraniektomi
dekompresi (P = 0,002) (Tabel 4). Hubungan dengan cedera besar lainnya seperti
patah tulang panjang dan tulang rusuk menunjukkan hasil terburuk pada kedua
kelompok.

Keterbatasan
Penelitian kami terbatas karena merupakan penelitian pusat tunggal.
Keterbatasan lainnya adalah jumlah pasien yang sedikit, yang disebabkan oleh
jumlah kasus trauma yang lebih sedikit mengingat pembatasan sekunder untuk
penyakit coronavirus 2019 (COVID-19).
14

KESIMPULAN
Cisternostomy efektif dalam mengurangi ICP pada pasien dengan TBI,
karena ada penurunan ICP yang signifikan setelah cisternostomy. Pasien memiliki
skor GOS yang baik dan tingkat komplikasi yang rendah pada periode pasca operasi
setelah cisternostomy. Cisterostomy menurunkan jumlah hari penggunaan
ventilator dan lama perawatan di ICU. Cisternostomy menghindari kebutuhan untuk
operasi kedua dalam bentuk kranioplasti dan morbiditas yang terkait. Skor Marshall
CT tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam ICP. Namun, pasien
dengan skor Marshall 4 dan 6 yang buruk memiliki skor GCS yang buruk, skor
GOS yang buruk, usia yang lebih tua, penyakit lain cedera besar, dan interval
panjang dari trauma ke operasi, yang semuanya memiliki dampak prognostik yang
signifikan pada hasil dalam pengelolaan TBI, meskipun hasil yang lebih baik pada
kelompok cisternostomy. Oleh karena itu, cisternostomy basal tampak seperti
prosedur yang menjanjikan, tetapi melakukan cisternostomy di TBI merupakan
tantangan, yang membutuhkan keahlian ahli bedah dalam operasi skull base dan
ketersediaan mikroskop. Dengan uji coba terkontrol secara acak ini, kami tidak
dapat menyatakan bahwa ini adalah prosedur alternatif untuk kraniektomi
dekompresi untuk mengobati pasien dengan TBI. Percobaan acak multisenter yang
lebih besar diperlukan untuk menetapkan efektivitas cisternostomy dalam
pengelolaan TBI.
15

BAB II
KRITISI JURNAL

2.1 Identitas Jurnal

Penulis : V.V. Ramesh Chandra, Bodapati Chandra Mowliswara


Prasad, Hanuma Naik Banavath, Kalakoti Chandrasekhar
Reddy
Judul : Cisternostomy versus Decompressive Craniectomy for the
Management of Traumatic Brain Injury: A Randomized
Controlled Trial.
Nama Jurnal : Department of Neurosurgery, Sri Venkateshwara Institute
of Medical Sciences, Tirupati, India.
Tahun : 2022
Jurnal
Metode : a randomized controlled trial
Doi : https://doi.org/10.1016/j.wneu.2022.02.067
Nomer : -
Jurnal
Penerbit : WORLD NEUROSURGERY
Volume : -
Situs : www.journals.elsevier.com/world-neurosurgery

2.2 Analisis PICO pada Jurnal


Population
Dalam jurnal ini populasi yang digunakan yaitu pasien yang datang ke
Departemen Bedah Saraf di Institut Ilmu Kedokteran Sri Venkateshwara di
Tirupati, India, dengan TBI yang membutuhkan manajemen bedah terdaftar dalam
penelitian ini.
16

Intervention
Dalam jurnal ini, intervensi yang diberikan yaitu tindakan cisterostomy pada
pasien yang megalami TBI.
Comparation
Perbandingan pada kelompok intervensi dalam jurnal ini yaitu kelompok
perbandingan yang mendapatkan tindakan kraniotomi dekompresi.
Outcome
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini yaitu mengetahui efektivitas
tindakkan baik cisterostomy pada periode pasca operasi unit perawatan intensif
(ICU); hari penggunaan ventilator yang dibutuhkan, jumlah hari di unit perawatan
intensif (ICU), dan mortalitas dan morbiditas selama masa tindak lanjut setelah 3
bulan dengan Glasgow Outcome Scale (GOS).

2.4 Pertanyaan klinis peneliti pada jurnal


Berdasarkan analisis PICO diatas maka pertanyaan klinis peneliti dalam
jurnal ini sebagai berikut “Apakah cisternostomy dapat menjadi alternatif tindakan
dalam menangani traumatic brain injury dibandingkan dengan tindakan kraniotomi
dekompresi ?”

2.5 Critical Apprisial


Dalam melakukan critical apprisial terdapat tiga parameter yang menjadi
ukuran yaitu validitas, important dan aplikabilitas. Adapun tingkat validitas sisi
important dan aplikabilitas dalam jurnal ini sebagai berikut:
Validitas
Validitas adalah suatu ukuran (bukti) yang menunjukkan tingkat kesahihan
(keakuratan) suatu uji. Suatu uji dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa
yang hendak diukur. Uji memiliki validitas yang tinggi jika hasilnya sesuai dengan
kriteria, dalam arti memiliki kesejajaran antara uji dan kriteria (Arikunto, 1999;
Aschengrau, 2008). Adapun komponen untuk menentukan validitas dalam sebuah
jurnal dapat dilihat sebagai berikut:
17

1. Menentukan apakah ada proses rondomisasi dalam penelitian dan


teknik randomisasi apa yang digunakan ?
Dalam jurnal ini sudah dijelaskan dalam metode penelitian yang
dilakukan oleh peneliti bahwa telah dilakukannya proses randomisasi dalam
kedua kelompok penelitian. Randomisasi menggunakan Software 1.0
https://mahmoodsaghaei.tripod.com/Softwares/randalloc.html

2. Mengidentifikasi ada tidaknya suatu blinding dalam penelitian ?


Dalam jurnal ini tidak terdapat suatu proses blinding di penelitian ini.
Blinding sendiri merupakan suatu metode penting untuk menjamin
independensi hasil penelitian. Dengan melakukan blinding maka hasil suatu
tes akan lebih memberikan hasil yang sebenarnya dari suatu uji atau
penelian (Putra et al, 2016).
3. Menentukan ada tidaknya persamaan pada kedua kelompok dari awal
penelitian ?
Dalam jurnal ini kedua kelompok sudah memiliki persamaan, karena
peneliti sudah menetapkan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Dengan
adanya kriteria tersebut, sampel penelitian memiliki sifat yang lebih
homogen. Selain itu, dilakukannya randomisasi oleh peneliti membuat
sampel terdistribusi secara acak pada kedua kelompok sehingga bias dalam
penelitian dapat diminimalisir dalam penelitian ini.
4. Menentukan apakah ada persamaan perlakuan pada kelompok
experimen dan kontrol ?
Dalam penelitian ini, semua operasi pada kedua kelompok baik
kelompok yang mendapat tindakan cisterostomy maupun kelompok yang
mendapat tindakan dengan kraniotomi dekompresi dilakukan oleh ahli
bedah tunggal (VVRC) dengan 13 tahun pengalaman melakukan operasi
dasar tengkorak dan aneurisma.
18

Importance
Importance jurnal adalah apakah bukti jurnal yang dikatakan valid apabila
terapi memberikan efek besar dalam mengobati orang yang sakit. Berikut ini
dibahas beberapa kriteria improtance seperti: control event rate, experiment event
rate, relative risk reductiton, absolute risk reduction dan number needed to treat.
Sebelum menentukan nilai-nilai importance dalam sebuah uji klinis, perlu
dibuatkannya tabel 2x2 hasil penelitian dalam jurnal. Uji klinis yang ideal harus
memiliki nilai importance yang baik (Arikunto, 1999; Aschengrau & Seage 2008).
Dalam jurnal ini penulis tidak menampilkan secara terperinci berapa orang
yang terpengaruh terhadap tindakan cisterostomy dan tindakan kraniotomi
dekompresi melalui tabel penelitian. Penulis hanya menampilkan rata-rata nilai dari
setiap parameter penelitian. Sehingga dalam jurnal ini tidak dapat dilakukn analisis
dengan tabel traditional 2x2 seperti yang seharusnya. Hal ini akan memberikan
kesulitan untuk memeriksa kebenaran dari angka kegagalan dan angka keberhasilan
dari masing-masing intervensi yang diberikan.

Applikabilitas
1. Menentukan kemungkinan penerapan pada pasien.
Penelitian di jurnal ini dilakukan di negara India yang mana negara
tersebut termasuk dalam kawasan asia selatan yang tidak memiliki
kesamaan terhadap negara Indonesia berdasarkan sisi demografis dan ras.
Berdasarkan hasil uji coba terkontrol secara acak ini, penulis tidak dapat
menyatakan bahwa cisternostomy adalah prosedur alternatif untuk
kraniektomi dekompresi dalam mengobati pasien dengan TBI. Karena
penelitan acak multisenter yang lebih besar diperlukan untuk menetapkan
efektivitas cisternostomy dalam pengelolaan TBI.
Sehingga berdasarkan uraian tersebut, jurnal ini belum dapat untuk
diaplikasikan di Indonesia khususnya di RSUD Mataram karena masih
memerlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar
untuk dapat menentukan efektivitas cisternostomy dalam pengelolaan TBI.
19

2.5 Kelebihan dan Kekurangan Jurnal


Kelebihan jurnal
Adapun beberapa kelebihan jurnal ini antara lain :
a. Jurnal yang baru sehingga dapat dijadikan literatur bacaan mengenai
penanganan TBI.
b. Bahasa yang digunakan cukup mudah untuk dipahami
c. Metode yang digunakan cukup kuat yaitu rondomized control trial.
d. Memiliki potensi untuk dilakukan penelitian lanjutan dalam penanganan
TBI
Kekurangan Jurnal
Adapun beberapa kekurangan dalam jurnal ini adalah.
a. Pada penelitian ini tidak menjelaskan secara rinci hasil pada masing -
masing kelompok yang terpengaruh pemberian cisternostomy atau
kraniotomi dekompresi sehingga pada penelitian ini tidak dapat
dilakukan analisis dengan menggunakan tabel 2x2 yang merupakan
salah satu komponen penilaian importance pada jurnal.
b. Tidak dilakukannya blinding penelitian sehingga independensi
penelitian ini masih harus dipertanyakan.
c. Belum dapat diaplikasikan karena masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.
20

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Jurnal ini merupakan jurnal RCT (Rondomized Control Trial). RCT
merupakan metode terkuat nomer dua setelah sistematik review meta-analisis
berdasarkan piramida Evidance Based Medicine. Berdasarkan critical
appraisal yang telah dilakukan hampir semua komponen validitas dalam jurnal
ini terpenuhi hanya saja jurnal ini tidak dilakukan blinding penelitian.
Importance dalam jurnal ini tidak dapat dinilai dan hasil dalam penelitian masih
memerlukan penelitian lanjutan sehingga secara garis besar jurnal ini hanya
dapat digunakan sebagai referensi atau literatur untuk penelitian selanjutnya
namun untuk digunakan secara langsung dalam manajemen cedera otak (TBI),
jurnal ini kurang applicable mengingat beberapa kekurangan yang telah
dipaparkan diatas.
21

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S., 1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Rineka Cipta:
Jakarta.
Aschengrau, A., Seage, G.R. 2008. Essential of Epidemiology of Public Health.
Jones and Bartlett Publishers, Inc: United States.
Clinical Practice Guideline.2013. Tocolytic Treatment in Pregnancy. Institute Of
Obstetricians and Gynaecologists Royal College of Physicians Ireland.
Duarsa, Arta B S. 2020. Uji Dianostik. PPT Bahan Ajar untuk Mahasiswa
Kedokteran Angkatan 2017. Mataram: Fakultas Kedokteran. Universitas Islam
Al Azhar

Anda mungkin juga menyukai