Anda di halaman 1dari 4

Tujuan dari kraniotomi dekompresi adalah untuk memberikan perluasan ruangan bagi otak

secara paksa. Kraniotomi yang lebar akan menghalangi kerusakan jaringan dan bendungan
vena bila dibandingkan dengan kraniotomi yang lebih kecil bila terdapat pembengkakan otak
yang hebat. Berbagai teknik operasi telah didiskusikan, tetapi hanya ada sedikit dasar untuk
perbandingan secara objektif. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi teknik operasi
(surgical approach).
Pembengkakan (swelling) unilateral paling baik ditangani dengan dekompresi unilateral yang
luas. Efek masa yang difus, bifrontal atau bitemporal paling baik ditangani dengan teknik
bilateral frontal (atau pan-frontal). Batas Hemicraniectomy termasuk
(a) 2 cm dari tepi lateral sinus sagital superior
(b) pada tingkat lantai fossa kranial tengah pada asal lengkungan zygomatic
(c) frontal ke midpupillary baris
(d) 3 cm posterior meatus akustik eksternal.
Craniotomy bifrontal diperpanjang posterior hanya sekitar 2 cm di depan sutura koronal dan
lateral ke fossa tengah. Duramater dibuka, dan pembukaan diperpanjang ke margin tulang
secara stellate atau setengah lingkaran. Permukaan otak ditutupi longgar oleh dura sisa atau
substites dural buatan. (Huang, 2013) .
Tujuan pembedahan untuk menghilangkan peningkatan tekanan intrakranial, hipertensi
intrakranial tidak sepenuhnya dapat diatasi setelah tindakan dekompresi. Static
autoregulation hilang setelah tindakan operasi ini yang dapat mengarah ke hyperemic
intracranial hypertension yang mungkin memerlukan atau tidak memerlukan tindakan.
Tindakan bedah kraniotomi dekompresi juga dilakukan sebagai tindakan profilaksis dalam
rangka pengaturan darurat pada saat evakuasi subdural hematoma atau lesi masa epidural.
Indikasi untuk kraniotomi dekompresi yaitu : (i) tindakan setelah dilakukannya evakuasi dari
lesi masa dimana otak dirasakan membengkak berlebihan; dan (ii) pengukuran TIK yang
tetap tinggi meskipun telah mengikuti protokol manajemen medis yang maksimal.
Komplikasi kraniotomi Dekompresi :
Komplikasi dari operasi kraniotomi dekompresi
1.Kematian
Dari enam kematian yang terjadi setelah operasi dekompresi hanya satu kasus yang dapat
dianggap sebagai komplikasi sesungguhnya. Pasien ini menunjukkan penyembuhan yang
baik beberapa hari setelah terjadinya cedera dan ketika ia sedang mencoba untuk berjalan
tanpa bantuan dan jatuh tepat pada sisi kraniotomi yang tidak terlindungi. Pasien ini
mengalami cedera serebral yang lebih berat dan pada akhirnya meninggal. Sebuah kebijakan
operasional khusus untuk post kraniotomi decompresi diimplementasikan untuk pemeriksaan
dan manajemen pasien. Sisanya adalah kematian yang disebabkan karena cedera otak
traumatik meskipun dilakukan intervensi medis tepat waktu.
2. Herniasi melalui celah kraniotomi
Walaupun herniasi melalui cela kraniotomi telah dilaporkan sebagai suatu komplikasi,
fenomena ini terjadi begitu seringnya (contohnya 51% dari sampel kohort ini) yang hampir
selalu menjadi penyebab keadaan patologis pada prosedur dekompresi. Meskipun
kemungkinan terjadinya cedera pada korteks serebri yang mengalami herniasi telah
dijelaskan, pada studi kohort ini, tidak ditemukan bukti klinis atau radiologis dari herniasi
pada tepi dari celah kraniotomi. Hal ini kemungkinan pada kedua centre ini lebih
menekankan pada tindakan kraniotomi ekstensif untuk kasus bedah pada kasus trauma.
3. Efusi subdural/subgaleal
Efusi subdural post traumatic yang terjadi setelah cedera kepala merupakan suatu fenomena
yang dapat dikenali dengan baik, dengan insiden yang dilaporkan dari 6% sampai 21%.
Patogenesis ini berperan pada terjadinya ruptur lapisan dura-arachnoid dan trabeculae yang
disebabkan oleh kejadian traumatik dan perubahan dinamika dari sirkulasi CSF yang transien.
Efusi subdural merupakan suatu komplikasi dari kraniotomi dekompresi dengan insiden 26%
sampai dengan 60%. Pada studi ini, dari seluruh pasien yang selamat, 63% mengalami
beberapa bentuk efusi.
Efusi yang terjadi bisa merupakan komplikasi primer dari cedera otak traumatik dan
pembuangan dari bone flap dapat menyebabkan terbentuknya ruangan dimana cairan dapat
berkumpul. Pembukaan dari dura menyebabkan terciptanya hubungan dengan ruangan
subgaleal dan seiring dengan berkurangnya oedem cerebral akut beberapa bentuk efusi
biasanya terbentuk. Ketika efusi ini timbul secara cepat, kebanyakan dari efusi ini
mempunyai gejala klinis yang tidak signifikan. Efusi ini biasanya terserap begitu bone flap
dipindahkan. Pada seorang pasien dimana efusi terjadi secara kontralateral pada sisi
kraniotomi, drainase burr hole berhasil dilakukan pada saat cranioplasty autolog yang
dilakukan karena pergeseran midline dan deteriorisasi neurologis.
4 Sindrom Trephined
Sekelompok gejala – gejala yg tidak diinginkan telah ditemui berhubungan dengan tidak
adanya bone flap. Sindrom trephined pertama kali dijelaskan oleh Grant dan Necross tahun
1939, mereka menjelaskan gejala – gejala dari sakit kepala, kejang – kejang, perubahan
mood, dan gangguan perilaku. Kalimat “sindrom dari tenggelamnya scalp flap” menunjukkan
defisit – defisit neurologis yg bisa timbul dikarenakan disfungsi kortikal yang disebabkan
distorsi otak dibawah scalp flap tadi seiring dengan hilangnya oedem.
Pada tingkatan dimana pasien ini terpengaruh oleh gejala ini sangat sukar untuk ditentukan
secara akurat karena banyak pasien dalam fase penyembuhan dari cedera kepala berat. Pasien
– pasien secara terus menerus mengeluh sakit kepala, perubahan mood dan gangguan
perilaku serta sukar untuk menentukan derajat – derajat fenomena post kraniotomi ini. Pada
dua rumah sakit trauma di Australia Barat, bone flaps digantikan sesegera mungkin untuk
mengembalikan fungsi kosmetik dan protektifnya. Pada penelitian kohort ini tidak
ditemukannya contoh – contoh dimana fungsi neurologis pasien meningkat signifikan setelah
operasi kranioplasti primer. Bagaimanapun, tiga orang pasien yang mengalami cranioplasty
autolog telah melalporkan keluhan tentang sakit kepala berat postural dengan diikutinya
vertigo. Gejala – gejala mereka terpecahkan dengan melakukan sebuah cranioplasty titanium.
5. Hidrosefalus
Nilai insidensi dari hidrosefalus post-traumatik yg simptomatik bervariasi dari 0.7% hingga
29%. Perbedaan – perbedaan dalam kriteria diagnostik dan klasifikasi mempengaruhi variasi
ini. Pada pasien yg telah dilakukan kraniotomi dekompresi, nilai insidensi dari hidrosefalus
post- traumatik berkisar dari 10% hingga 40%. Penelitian ini dilakukan terhadap lima pasien
yg telah tepasang VP shunt. Empat dari pasien tersebut didapatkan kemajuan klinis. Seorang
pasien lagi yg telah berada di status vegetatif berkepanjangan, tidak ditemukan adanya
perubahan klinis dan diagnosisnya menuju ke ventrikulomegali. Angka insidensi penelitian
kohort ini kemudian dilaporkan sebesar 11%. Seperti yg disebut sebelumnya, gangguan –
gangguan aliran CSF post-traumatik kemungkinan berpengaruh dalam perkembangan dari
efusi subdural dan subgaleal dan dipercaya bahwa hidrosefalus simptomatis muncul ketika
sirkulasi CSF tidak normal/ stabil.
Tingkat keparahan dari cedera dan perkembangan efusi –efusi subgaleal/ subdural terlihat
sangat berhubungan erat dgn perkembangan hidrosefalus. Keseluruhan empat orang pasien
menunjukkan efusi – efusi yang ekstensif dan hanya seorang dari empat orang pasien tadi
yang menunjukkan penyembuhan yang baik. Meskipun hidrosefalus muncul secara primer
sebagai hasil dari cedera kepala berat, ada kemungkinkan juga operasi kraniotomi
dekompresi dapat mengubah dinamika tekanan CSF menjadi lebih jelek dan/ atau
meningkatkan perlukaan sub-arakhnoid, sehingga menempatkan kelompok pasien ini pada
resiko yang lebih besar terkenanya hidrosefalus.
6. Kejang post-traumatik
Angka insidensi dari kejang post-traumatik untuk segala tipe dari cedera kepala adalah 2%
hingga 2.5% dalam populasi masyarakat sipil. Insidensi ini meningkat hingga 5% pada pasien
– pasien bedah saraf di rumah sakit. Ketika yang dipertimbangkan hanya cedera kepala berat
(kontusi otak, hematoma intrakranial, kehilangan kesadaran atau amnesia post-traumatik >24
jam), insidensinya 10% hingga 15% pada pasien dewasa dan 30% hingga 35% pada anak –
anak. Pada pasien – pasien yang telah dilakukan kraniotomi dekompresi (yg diduga termasuk
dalam kategori cedera kepala berat), angka insidensi terjadinya epilepsi bervariasi dari 7%
hingga 20%. Dalam penelitian ini, dari 34 orang pasien yang bertahan hidup, lima orang
(17%) mengalami kejang – kejang post-traumatik. Meskipun terlihat komplikasi ini terjadi
secara primer karena cedera kepala berat, manipulasi serebral yang timbul dengan prosedur
dekompresi dan cranioplasty yang dilakukan setelahnya kemungkinan mempunyai beberapa
pengaruh.(Honeybul S,2010)

Anda mungkin juga menyukai