Anda di halaman 1dari 52

REFLEKSI KASUS

INKONTINENSIA URIN ET CAUSA


FISTULA UROGENITAL PADA WANITA

Disusun Oleh:
Hanifah Khoirunnisa
20110310108

Pembimbing:
dr. M. Omar Rusydi, Sp.U

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD KOTA SALATIGA
2015

HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan refleksi kasus dengan judul

INKONTINENSIA URIN ET CAUSA


FISTULA UROGENITAL PADA WANITA

Disusun oleh :
Nama: Hanifah Khoirunnisa
No. Mahasiswa: 20110310108

Telah diajukan pada,


Hari, Tanggal :
____________________

Disahkan oleh :
Dokter Pembimbing,

dr. M. Omar Rusydi, Sp.U

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah
Subhanahu wa taala, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas refleksi kasus
Inkontinensia Urin et causa Fistula Urogenital Pada Wanita. Sholawat dan
salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
Sallallahu alaihi wasallam.
Refleksi kasus ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat pendidikan
profesi kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
setulusnya kepada:
1. dr. M. Omar Rusydi, Sp.U selaku dokter pendidik klinis
2. Rekan-rekan dokter muda, serta semua pihak yang telah membantu
Penulisan refleksi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang berguna. Semoga selanjutnya tulisan
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Salatiga, Januari 2015

Hanifah Khoirunnisa

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDULi
HALAMAN PENGESAHAN.ii
KATA PENGANTARiii
DAFTAR ISI..iv
BAB I. DATA MEDIS1
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

Identitas Pasien1
Anamnesis ...1
Pemeriksaan Fisik2
Pemeriksaan Penunjang...3
Diagnosis.5
Penatalaksanaan...5
Follow Up5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...7


A. INKONTINENSIA URIN (IU)..7
1. Definisi7
2. Epidemiologi...7
3. Anatomi dan Fisiologi.8
4. Klasifikasi..10
5. Faktor Risiko..11
6. Patofisiologi...13
7. Penatalaksanaan.15
B. FISTULA UROGENITAL...17
1. Definisi..17
2. Epidemiologi.18
3. Etiologi dan Faktor Risiko.20
4. Patofisiologi...21
5. Klasifikasi..22
6. Penegakan Diagnosis.24
7. Penatalaksanaan.28
8. Penanganan Bedah.34
9. Prognosis44
BAB III. PEMBAHASAN46
DAFTAR PUSTAKA....50

BAB I
DATA MEDIS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. P
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia
: 27 Tahun
Alamat
: Susukan, Semarang
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Pendidikan
: SMA
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Masuk RS
: 4 Januari 2016
No. RM
: 1516318306
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Tidak bisa menahan kencing.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pada bulan Januari 2012 pasien melahirkan anak pertamanya,
persalinan normal tanpa adanya penyulit. Kemudian setelah
melahirkan, penderita terus mengompol, tidak dapat merasakan
ingin kencing dan juga tidak dapat menahannya, selalu memakai
popok. Selang waktu 6 bulan setelah melahirkan, bulan Juni 2016,
dilakukan cystoscopy. Namun tidak banyak perbaikan yang
dialaminya, sudah dapat merasakan ingin kencing namun masih
tidak dapat menahannya, bisa kencing sampai 20x sehari semalam.
Setelah itu penderita memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya
di kantor, karena tidak nyaman dengan kondisinya yang sering
kencing dan harus selalu menggunakan popok, takut baunya
membuat orang disekitarnya (teman kantor) merasa tidak nyaman.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan/penyakit serupa, diabetes, hipertensi, maupun
asma sebelum ini disangkal. Selama masa kehamilan, baik bayi
maupun pasien tidak memiliki kelainan, dan persalinan normal.
Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit serupa, diabetes, hipertensi, maupun asma pada


anggota keluarganya disangkal.
Riwayat Personal Sosial
Bekerja di kantor, namun setelah melahirkan dan tidak bisa
menahan kencing membuatnya memutuskan untuk berhenti
bekerja, hanya di rumah mengurus keluarganya, anak dan suami.
Penderita juga menjadi jarang bersosialisasi karena kondisinya
membuatnya tidak nyaman dan merasa kurang percaya diri.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan Umum
: Compos mentis, baik
Tanda Vital
:
Tekanan darah
: 120/90 mmHg
Nadi
: 84x/menit
Suhu
: 36,5 C
Pernafasan
: 18x/menit
Kepala
: Normosefali, tidak terdapat hematom
Mata
: Pupil isokor (3mm/3mm), konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga: Normotia, serumen (-/-), sekret (-/-)
Hidung
: Normosepta, sekret (-), darah ()
Tenggorokan : Dbn
Leher
: KGB tidak teraba membesar, simetris
Cor
: S1 dan S2 terdengar reguler

Pulmo

Abdomen
Ekstremitas

: Bentuk simetris, tidak ada jejas & kelainan


bentuk, tidak ada nyeri tekan, tidak ada
ketinggalan gerak, perkusi sonor, suara
dasar vesikuler (+/+), suara ronkhi (-/-),
suara wheezing (-/-)
: Supel (+), nyeri tekan (-), bising usus (+)
: Odema (-) dan akral dingin (-) pada
ekstremitas atas maupun bawah

Status Lokalis
I
: Tampak pasien menggunakan popok, dari lubang vagina
urin kuning keruh tampak lambat mengalir keluar
A
:P
:P
: Teraba basah karena urin yang keluar, tidak ada nyeri tekan
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Cystografi (02-12-2015)
Telah dilakukan pemeriksaan Retrograd Sistografi,
Hasil :
Pada X Foto Polos Pelvis, tak tampak Batu opaque intra

VU dan Urethra
Kontras cair IOPAMIRO dimasukkan kedalam VU melalui
Cateter dengan BC dan diisikan, baru sebanyak 90 cc,

sudah merasa kesakitan dan tak dapat lagi menahan kencing


Tak tampak gambaran kontras yang keluar melalui dinding

VU pada posisi AP/Oblique Dx


Kesan :
Gambaran VU yang Sklerotik
Tak tampak gambaran Fistula diseluruh Dinding VU

2. Pemeriksaan Laboratorium (05-01-2016)


PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Trombosit
Golongan Darah ABO
PTT
APTT
MPV (Mean Platelet Volume)
PDW (Platelet Distribution Width)
PCT (Platelecrit)
KIMIA
Glukosa Darah Sewaktu
IMUNO/SEROLOGI
HBs Ag (Rapid)
URINALISA
Bau
Warna
PH
Keasaman
Kejernihan
Berat Jenis
Reduksi
Bilirubin
Urobilinogen
Keton
Nitrit
Blood
Leukosit
Protein-Albumin
MIKROSKOPIS
Epithel
Leukosit
Eritrosit
Kristal
Silinder
Bakteri
Benang Mucus

HASIL

NILAI RUJUKAN

4.78
4.56
13.2
40.5
88.8
28.9
32.6
208
O
14.7
34.0
9.5
16.3
0.2

4.5 11
45
14 18
38.00 47.00
86 108
28 31
30 35
150 450

72

80 144

Negative

Negative

Khas
Kuning
8.0
Basa
Keruh
1.015
Negative
Negative
0.1
Negative
Negative
Negative
(+) 25
Negative
46
68
12
Negative
Negative
Negative
Negative

11.5 15.5
24 36.2
6.5 12.00
9.0 17.0
0.108 0.282

Kuning
4.8 7.4
1.015 1.025
<15
<0.20
0.2 1.0
<5
Negative
<5
<10
Negative
5 15
14
01
Negative
Negative

3. Pemeriksaaan Tes 3 Tampon (08-01-2016)

E. Diagnosis
Diagnosis Kerja
: Fistula ureterovaginal
Diagnosis Banding : Fistula vesicovaginal, fistula urethrovaginal
F. Penatalaksanaan
Instruksi post cystoscopy (06-01-2016) :
Inf. RL III + NaCl III/12 jam
Inj. Ceftizoxime 2x1 gr
Inj. Ketorolac 2x1 ampul
Besok tes kassa 3 tampon (Inj. Carbazochrome)
G. Follow Up
Hari perawatan ke-1 (04-01-2016)
S
: Tidak dapat menahan BAK
O
: KU: CM, baik
TD: 142/94
SL: Abd supel, BU (+), NT(-)
A
: Susp. fistula vesikovaginal
P
: Inf. RL 20 tpm
Pro cystoscopy
Hari perawatan ke-2 (05-01-2016)
S
: Sulit menahan kencing, kencing bisa sampai 20x sehari semalam
O
: KU: CM, baik
TD: 130/80
SL: Abd supel, BU (+), NT (-)
Cystografi: Gambaran VU yang sklerotik
A
: VU sklerotik
P
: Rencana insisi bladder slerotik (06-01-2016)
Cek lab
Inf. RL II + NaCl II/12 jam
Inj. Ceftriaxone 2x2 gr
Konsul interna dan anestesi
Hari perawatan ke-3 (06-01-2016)
S
: Sulit menahan kencing

: KU: CM, baik


TD: 120/90
SL: Abd supel, BU (+), NT (-)
Cystografi: Gambaran VU yang sklerotik
A
: Inkontinensia urin, susp. VU sklerotik, dd. fistula vesicovaginal
P
: Instruksi post cystoscopy (06-01-2016) :
Inf. RL III + NaCl III/12 jam
Inj. Ceftizoxime 2x1 gr
Inj. Ketorolac 2x1 ampul
Besok tes kassa 3 tampon (Inj. Carbazochrome)
Hari perawatan ke-4 (07-01-2016)
S
: Tidak bisa menahan BAK, bisa merasakan kebelet
O
: KU: CM, baik
TD: 110/70
SL: Abd supel, BU (+), NT (-)
A
: Susp. fistula vesikovaginal
P
: Tes kassa 3 tampon
BLPL

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. INKONTINENSIA URIN (IU)


1. Definisi
Menurut International Continence Society, inkontinensia
urin adalah keluhan berkemih tanpa disadari (involunter) akibat
gangguan fungsi saluran kemih bagian bawah yang dipicu oleh
sejumlah penyakit sehingga menyebabkan pasien berkemih pada
situasi yang berbeda.1-3 Selain IU, dikenal juga istilah overactive
bladder syndrome (OAB) yang menrpakan desakan untuk segera
berkemih (urgensi) dengan/tanpa IU dan biasanya disertai sering
berkemih (frekuensi) dan nokturia sehingga IU urgensi disebut
juga sebagai OAB basah. OAB yang terjadi tanpa IU disebut
sebagai OAB kering. Kombinasi gejala tersebut menyokong
gambaran urodinamik aktivitas detrusor yang berlebih atau sebagai
dampak disfungsi uretrovesika.1
2. Epidemiologi
Inkontinensia urin dapat mengenai perempuan pada semua
usia dengan derajat dan perjalanan penyakit yang bervariasi.
Walaupun jarung mengancam jiwa, IU dapat memberikan dampak
serius pada kesehatan fisik, psikologi, dan sosial pasien. Selain itu
IU juga dapat berdampak bagi keluarga dan karier pasien.1
Prevalensinya pada wanita berkisar antara 3-55% bergantung pada
batasan dan kelompok usia. Prevalensi IU meningkat seiring
dengan pertambahan usia.2 Prevalensi pada perempuan usia di atas
80 tahun mencapai 46%.3
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak
dilaporkan dan diobati. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar
10-12 juta orang dewasa mengalami gangguan ini. Gangguan ini
bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat gangguan

meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15


tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65
tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada
wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian
5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat
sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.4-6
IU berhubungan dengan penurunan kualitas hidup pasien
seperti isolasi sosial, kesendirian, dan kesedihan; gangguan
psikiatri seperti depresi; rasa malu yang mempengaruhi aktivitas
sehari-hari; stigmatisasi; ganagguan pada hubungan seksual; dan
gangguan tidur. Mengingat IU sangat erat kaitannya dengan
morbiditas fisik, fungsional, dan psikologi maka upaya identifikasi
dini penyebabnya menjadi sangat penting sebagai dasar tata
laksana atau rujukan ke pusat kesehatan spesialistik.7,8
3. Anatomi dan Fisiologi
Vesika dan uretra dapat dipandang sebagai suatu kesatuan
dengan pertumbuhannya yang berasal dari jaringan sekitar sinus
urogenitalis.4,5 Oleh karena itu lapisan otot polos keduanya sama,
lapisan dalam merupakan lapisan longitudinal dan lapisan luar
membentuk anyaman sirkuler yang mengelilingi lubang urehra.
Anyaman sirkuler ini yang berperan pada keadaan tekanan istirahat
atau tekanan penutupan dalam uretra.9,10
Anyaman otot vesika ini menjadi satu lapisan dengan
kelanjutan serabut-serabutnya ditemukan pula di dinding uretra
sebagai otot-otot uretra, dikenal sebagai muskulus sfingter vesicae
internus atau muskulus lisosfingter. Otot-otot tersebut terletak di
bawah lapisan jaringan yang elastis dan tebal dan disebelah luar
dilapisi jaringan ikat. Di dalam lapisan elastis yang tebal
ditemukan lapisan mukosa dengan jaringan submukosa yang
spongius.4
Disamping muskulus sfingter vesikae internus dan lebih ke
distal sepanjang 2 cm, uretra dilingkari oleh suatu lapisan otot
tidak polos dikenal sebagai muskulus sfingter uretra ekstranus atau
8

muskulus rabdosfingter eksternus. Otot ini dapat meningkatkan


fungsi sfingter vesika dengan menarik uretra ke arah proksimal
sehingga urethra lebih menyempit. Otot-otot polos vesika dan
uretra berada dibawah pengaruh saraf para simpatis dan dengan
demikian berfungsi serba otonom. Muskulus rabdosfingter
merupakan sebagian dari otot-otot dasar panggul sehingga
kekuatannya dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan dasar
panggul tertentu. Muskulus bulbokaver-norsus dan ishiokavernosus
juga dapat aktif ditutup bila vesika penuh dan ada perasaan ingin
berkemih, sehingga tidak terjadi inkontinensia.4,6

Terdapat

komponen

anatomis

dari

mekanisme

kontinensia, yaitu penyangga uretra, sfingter internus dan


eksternus. Sfingter internus yang terletak setinggi leher vesika, bila
terganggu menimbulkan inkontinensia stres walaupun penyangga
normal, sedang sfingter eksternus mempunyai kemampuan untuk
kontraksi volunter.11-14
Aktifitas sfingter eksterna berasal dari 3 elemen yang
berbeda. Otot polos, otot lurik dan elemen vaskuler menyokong
tekanan penutupan uretra pada keadaan istirahat. Lapisan luar
urethra distal dibentuk oleh otot lurik sfingter urethrovaginal atau
ke dalam daerah di atas membran perineal sebagai kompresor
uretra. Otot ini memelihara tonus kontinensia.
Otot polos uretra terdiri dari lapisan longitudinal dan
sirkuler dan terletak di dalam otot lurik sfingter urogenital, terdapat

pada 4/5 bagian uretra proksimal. Konfigurasi otot ini berperan


dalam konstriksi lumen. Di dalam uretra juga terdapat pleksus
vaskuler, yang mempunyai beberapa AV anastomose. Hal ini
membantu penutupan urethra.
Pada orang dewasa sehat, kerja kandung kemih dapat
dibagi dalam dua fase; fase pengisian, dengan kandung kemih
berfungsi sebagai reservoar urine yang masuk secara berangsurangsur dari ureter, dan fase miksi dengan kandung kemih befungsi
sebagai pompa serta menuangkan urine melalui uretra dalam waktu
relatif singkat.6,13,15
Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian
otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume
kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap
rendah.

Sebaliknya

otot-otot

yang

merupakan

mekanisme

penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka


uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung
kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara
terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra
membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama
antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase
pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada kedua fase itu
urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).5,6,15
4. Klasifikasi
Banyak klinisi mengelompokkan IU pada perempuan
secara sederhana menjadi IU stres dan IU urgensi, tetapi lebih
praktis membagi IU menjadi 4 kategori di bawah ini7 :
a. IU urgensi yaitu IU yang berhubungan dengan aktivitas
detrusor, disebut juga instabilitas detrusor. Bila penyebabnya
neurologik maka disebut sebagai hiperefleksia detrusor.7 Kasus
IU urgensi tersebut paling sering dijumpai pada perempuan
usia lanjut.8
b. IU stress ialah keluarnya urin secara tidak disadari selama
proses batuk, bersin, tertawa, atau aktivitas fisik lainnya yang

10

meningkatkan tekanan intraabdominal. Keadaan ini dapat


terjadi sekunder akibat hipermobilitas uretra, kelemahan otot
sfingter intrinsik uretra maupun keduanya.7 IU stres paling
sering dijumpai pada perempuan dewasa terutama lanjut usia.8
c. Overflow Incontinence (OI) merupakan hilangnya kendali
miksi involunter yang berhubungan dengan distensi kandung
kemih yang berlebihan. Hal ini dapat terjadi secara sekunder
dari kerusakan otot detrusor yang memicu kelemahan detrusor.
Selain itu obstruksi uretra juga dapat memicu distensi kandung
kemih dan overflow incontinence.7
d. IU total merupakan hilangnya kendali miksi secara menetap
dengan pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap akibat
gangguan kontraktilitas detrusor atau obstruksi kandung kemih.
Kebocoran urin biasanya sedikit dan volume residual
pascakemih (postvoid) biasanya meningkat.8 Gejala yang paling
sering

pada

fistula

vaginal

adalah

inkontinensia

total

involunter. Adanya kebocoran urin melalui vagina tanpa nyeri


dan terjadi setelah proses persalinan atau operasi dan radiasi.
5. Faktor Risiko
Di bawah ini adalah faktor risiko yang berperanan memicu
IU pada perempuan3 :
a. Faktor kehamilan dan persalinan
Efek kehamilan pada IU tampaknya bukan sekedar
proses mekanik, IU pada perempuan hamil dapat terjadi
dari awal kehamilan hingga masa nifas, jadi tidak
berhubungan dengan penekanan kandung kemih oleh
besarnya uterus.
Prevalensi IU meningkat selama kehamilan dan
beberapa minggu setelah persalinan.
Pemakaian forseps selama permlinan dapat memicu IU.
Bila IU timbul >3 bulan pascasalin (postpartum) maka
ini dapat dipandang sebagai indikator prognostik untuk
masalah kontinensia di masa depan.

11

Tingginya usia, paritas, dan berat badan bayi tampaknya


berhubungan dengan IU.
b. Perempuan dengan indeks massa tubuh lebih tinggi akan
cenderung lebih banyak mengalami IU.
c. Menopause cenderung bertindak sebagai kontributor (turut
menambah risiko) daripada faktor kausatif.
Selain faktor yang telah disebutkan, ada faktor lain yang
perlu dipertimbangkan dan seringkali terlewatkan. Seorang klinisi
perlu mempertimbangkan kausa multipel yang dapat memicu IU.
Penyebab lain IU dikenal dengan akronim DIAPERS.7
D
adalah kependekan dari delirium yang menunjukkan
kegagalan kendali kandung kemih,
I
adalah infeksi dan inflamasi yang dapat memicu disuria dan
aktivitas kandung kemih yang berlebihan,
A
adalah kependekan dari atrophic vaginitis yang dapat
menyebabkan status anatomi yang memicu IU,
P
adalah kependekan dari farmakologi dan psikologi,
Beberapa obat seperti hipnotik, diuretik,
antikolinergik dan penyekat alfa (alpha blocker) dapat
menyebabkan perubahan yang memicu IU. Depresi
juga merupakan kondisi yang perlu dipertimbangkan
sebagai pemicu inkontinensia.
mengandung arti produksi urin yang berlebihan (excessive
urin production),
R
adalah restriksi mobilitas yang memicu akses toilet yang
terbatas, sedangkan
S
adalah stool impaction atau impaksi tinja yang dapat
memicu urgensi atau overflow incontinence.
6. Patofisiologi
a. Gangguan Koordinasi
Tidak ada struktur tunggal yang menyokong uretra.
E

Fungsi itu dijalankan melalui kerja yang terkoordinasi antara


fasia dan otot di bawah kendali saraf dalam satu unit integrasi.
Otot pelvis berkontraksi ketika tekanan abdominal meningkat.
Hal itu menunjukkan peranan serta potensinya dalam
mencegah keluarnya urin. Perubahan fungsi saraf pelvis
berhubungan erat dengan patofisiologi inkontinensia karena
akan terjadi kelemahan otot atau kegagalan koordinasi otot.
12

Selain itu, walaupun otot dan fungsi saraf utuh, adanya defek
pada hubungan fasia yang menyokong uretra dan adanya
kerusakan setiap elemen sistem kontrol kontinensia akan
melemahkan kemampuan perempuan dalam mempertahankan
keadaan kontinensia saat tekanan abdominal meningkat.16
b. Masalah Sfingter
Leher vesika dan struktur uretra berperanan penting
dalam kontinensia. Leher vesika (vesical neck) merupakan satu
kesatuan regional dan fungsional yang tidak mengacu pada satu
fokus anatomi tunggal. Leher vesika merupakan area di dasar
kandung kemih tempat lumen uretra menembus lapisan otot
kandung kemih yang tebal. Hilangnya stimulasi adrenergik atau
kerusakan pada area ini menyebabkan leher vesika gagal
menutup rapat sehingga memicu inkontinensia stres; dan bila
faktor ini merupakan penyebab inkontinensia stres, maka
suspensi uretra sederhana seringkali tidak efektif untuk
menangani kasus ini.16
c. Pengarah Gangguan pada Uretra
Dalam praktik klinis, seringkali peranan uretra dalam
mempertahankan kontinensia ini diabaikan karena suspensi
uretra dapat memperbaiki IU tanpa mengubah tekanan
penutupan uretra. Mekanisme kontinensia artifisial tidak serta
merta memungkinkan klinisi menyimpulkan bahwa kontinensia
normal. Beberapa observasi di bawah ini mendukung konsep
bahwa uretra memang berperanan penting dalam kontinensia.16
1) Perempuan dengan IU stres memiliki tekanan penutupan
uretral yang lebih rendah (34 cmH2O) dibandingkan
dengan kelompok usianya yang normal (68 cmH2O).
2) Eksisi uretra distal dapat memicu inkontinensia stres pada
perempuan tanpa riwayat IU.
3) Sekitar 50% perempuan kontinensia normal, urin mencapai
tingkat leher vesika sebagai respons terhadap batuk

13

kemudian dikembalikan masuk dalam kandung kemih oleh


lapisan otot uretra.
Uretra merupakan tabung dengan struktur kompleks
yang berjalan di bawah kandung kemih. Pada uretra, terdapat
sejumlah elemen yang berperanan penting dalam disfungsi
saluran kemih bawah. Baik otot sfingter urogenital striata dan
otot polos bekerja memicu konstriksi lumen uretra. Struktur itu
tidak hanya mengalami penurunan fungsi seiring dengan
pertambahan usia tetapi juga menunjukkan bukti peranan
trauma denervasi.16
d. Pengaruh Gangguan Persarafan
Otot detrusor kandung kemih berkontraksi dengan
stimulasi parasimpatis melalui peranan asetilkolin, dan
relaksasi dengan stimulasi simpatis pada reseptor -adrenergik.
Stimulasi reseptor adrenergik oleh norepinefrin akan
menyebabkan kontraksi sfingter uretra involunter internal
sedangkan stimulasi parasimpatis akan memicu relaksasi
sfingter tersebut. Sfingter uretra eksternal disarafi oleh sistem
saraf somatik yang memungkinkan kendali miksi volunter.8
Sejumlah studi melaporkan perubahan fungsi saraf
pudendus pada perempuan dengan IU stres. Kekuatan
hubungan antata IU stres dan neuropati merupakan faktor
penting yang harus dipertimbangkan secata serius. Kerusakan
saraf akan memicu sejumlah gangguan dalam mekanisme
kontinensia. Hilangnya atau lemahnya kontraksi otot levator
ani selama proses batuk dapat memicu destabilisasi lapisan
penyokong dan mencegah tekanan abdominal dari kompresi
uretra terhadap fasia endopelvis. Dengan kata lain, penurunan
tekanan penutupan uretra akan menghilangkan perbedaan
tekanan sehingga memicu IU. Hipotesis tersebut masih perlu
dikaji ulang untuk menentukan relevansinya dan seberapa jauh
peranannya dalam memicu IU.16

14

Kerusakan yang menyebabkan mekanisme kontinensia


gagal dapat terjadi di beberapa tingkat. Fasia endopelvis dapat
robek dari pelekatan lateralnya (defek paravaginal) dan robekan
ini dapat melibatkan otot levator ani. Kontrol persarafan otot
akan hilang misalnya kontraksi tidak akan terjadi atau tidak
dapat diaktifkan pada waktu yang tepat. Leher vesika gagal
menutup dan konstriksi uretra tidak cukup sehingga tidak dapat
menahan urin yang akan keluar. Pada sebagian besar
perempuan, kombinasi defek ini dapat dijumpai.16
7. Penatalaksanaan
a. Tata Laksana Konservatif
1) Edukasi intervensi gaya hidup berupa mengurangi asupan
kafein, modifikasi asupan cairan yang tinggi atau rendah
dapat dianjurkan pada perempuan dengan IU atau OAB.
Perempuan dengan indeks massa tubuh lebih dari 30
disarankan menjalani progam penurunan berat badan.1
2) Terapi fisik dengan pelatihan otot dasar panggul
Setiap program pelatihan otot dasar pangul
sebaiknya dapat mencapai 8 kali kontraksi yang dilakukan
3 kali setiap hari. Jika bermanfaat pelatihan tersebut
sebaiknya dilaksanakan bersinambung. Pada perempuan
dengan IU stres atau kombinasi, pelatihan otot dasar
panggul di bawah panduan sedikitnya selama 3 bulan
merupakan tata laksana lini pertama yang aman dan efektif.
Pada IU urgensi atau kombinasi, pelatihan kandung kemih
ini dilakukan sedikitnya selama 6 bulan. Stimulasi elektrik
dan

atau

biofeedback

dapat

dipertimbangkan

pada

perempuan yang tidak dapat melakukan kontraksi aktif otot


dasar panggul. Stimulasi itu ditujukan sebagai bantuan
motivasi dan tidak boleh diberikan secara rutin dalam
pelatihan otot.1
3) Terapi medikametosa

15

Setidaknya

ada

empat

antimuskarinik

yaitu

oksibutinin, tolterodin, trospium dan proviperin yang cukup


efektif dalam menekan aktivitas detrusor berlebihan yang
memicu urgensi dan inkontinensia urgensi. Obat tersebut
menekan kontraksi detrusor volunter dan involunter dengan
memblok reseptor muskarinik pada otot polos kandung
kemih; cukup efektif untuk pasien lanjut usia pasca
transurethral resection prostat.3
b. Tata Laksana Bedah
Pada perempuan yang IU-nya tidak dapat ditata laksana
secara konservatif akibat aktivitas detrusor yang berlebihan,
stimulasi saraf sakralis perlu dipetimbangkan dengan dasar
respons terhadap evaluasi saraf per kutaneus. Pada kasus itu
perlu dilakukan tindak lanjut jangka panjang. Prosedur
retropubic mid-urethral tape dengan pendekatan bottom-up
dengan mesh macroporous polypropylene juga dianjurkan bila
tata laksana konservatif IU stres mengalami kegagalan.1
c. Rujukan
Perempuan dengan IU berikut ini harus segera dirujuk1 :
1) Hematuria mikroskopik pada pasien usia 50 tahun/lebih
2) Hematuria yang kasat mata
3) Infeksi saluran kemih rekuren atau persisten dengan
hematuria pada pasien usia 40 tahun/lebih
4) Massa keganasan yang terdapat pada saluran kemih
Perempuan
dengan
IU
berikut
ini

perlu

dipertimbangkan untuk segera dirujuk untuk mendapatkan


pelayanan kesehatan spesialistik1 :
1) Nyeri uretra atau kandung kemih yang menetap
2) Massa jinak panggul secara klinis
3) Disertai inkontinensia alvi
4) Dicurigai adanya penyakit saraf
5) Gejala kesulitan berkemih
6) Dicurigai fistula urogenital
7) Riwayat bedah kontinensia
8) Riwayat bedah keganasan pelvis
9) Riwayat tata laksana radioterapi pelvis
B. FISTULA UROGENITAL
1. Definisi
16

Fistula urogenital diartikan sebagai suatu hubungan


abnormal antara dua atau bahkan lebih organ internal urogenital
atau terbentuknya hubungan antara saluran kemih (uretra, kandung
kemih, ureter) dan saluran genitalia (vagina, uterus, perineum).17,18
Namun penderitaan sebenarnya tidak selalu dapat dilihat
secara jelas, sebab kebanyakan wanita yang menderita fistula
enggan mencari penolong untuk mengatasi permasalahannya.
Akibatnya angka yang menunjukkan jumlah penderita sebenarnya
tidak diketahui secara pasti.
Prinsip dasar pembedahan untuk memperbaiki fistula
vesikovaginal pertama kali dijelaskan oleh Hendrik Von Roonhuyse
(1663)19, yang menekankan penggunaan spekulum dan posisi
litotomi untuk prosedur pemindahan agar didapat tampilan fistula
yang adekuat saat dilakukan tindakan. Hingga pada abad 19
keberhasilan tindakan perbaikan terhadap fistula kemudian banyak
mendapat keberhasilan.
2. Epidemiologi
Salah satu insidensi yang pernah dikemukakan secara
umum adalah 12 per 1000 kelahiran dari seluruh populasi di
dunia. Terbesar adalah di negara berkembang, berkaitan dengan
persalinan dan penyakit keganasan serta radiasi. Laporan lainnya
menjelaskan perkiraan terdapat 2 juta wanita menderita fistula
urogenital di seluruh dunia. Namun demikian angka tersebut masih
lebih kecil dari yang sebenarnya.18,20
Besarnya permasalahan fistula diseluruh dunia belum
diketahui secara jelas, namun diyakini sangat memprihatinkan.
Sebagaimana salah satu penelitian yang dilakukan di Nigeria saja,
dari tahun ke tahun, Harrison (1985) melaporkan fistula
vesikovaginal mencapai jumlah frekuensi 350 kasus dari 100.000
wanita bersalin di rumah sakit pendidikan. Hajiya (2001)
memperkirakan jumlah fistula yang tidak ditangani adalah antara
800.000 1.000.000 kasus. Fistula vesikovaginal sebagai hasil
trauma obstetrik telah diketahui sejak lama, yaitu saat Marion Sims
17

pada

pertengahan

1800,

keberhasilan

pembedahan

fistula

dikerjakan. Namun pada negara berkembang hingga saat ini belum


menunjukkan penurunan jumlah kasus yang berarti.21
Wall Lewis (2006)22, total jumlah kasus 932 dengan fistula,
kebanyakan adalah berkaitan dengan keterlambatan persalinan
(899; 96,5%). 33 kasus sisanya adalah disebabkan faktor lain, 4
kasus trauma dan 8 kasus keganasan. 764 kasus obstetri dijumpai
fistula vesikovaginal saja, 99 kasus (11%) dijumpai campuran
fistula vesikovaginal dan rektovaginal dan 36 kasus (4%) fistula
rektovaginal.
Wanita dengan fistula sering dijumpai menikah pada usia
muda. Menurut data yang terkumpul, nilai median umur penderita
fistula adalah 27 tahun. Usia rata-rata menikah 15,5 tahun, namun
demikian 352 wanita yang telah menikah tersebut belum
mengalami menarche.
Wanita yang

mengalami

fistula

cenderung

adalah

pendidikan rendah dan diantaranya 700 penderita tidak pernah


mengikuti pendidikan formal. Hanya 126 penderita pernah
mengikuti pendidikan dasar. 13 wanita hanya sampai pendidikan
lanjut pertama, dan tidak ada yang pernah mengikuti pendidikan
tahap selanjutnya.
Fistula umumnya terjadi pada wanita primigravida, 45,5%
(412) dari fistula terjadi pada kehamilan pertama dan 20% terjadi
pada kehamilan dengan multi paritas (183 kasus). Terdapat angka
kematian janin lahir mati sebesar 91,7% (824 kasus), 75 kelahiran
hidup. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa 647 diantara
wanita tersebut tidak pernah memeriksakan kehamilannya secara
rutin (antenatal care).
Sedangkan 211 wanita (23,5%) melahirkan dirumah.
Terdapat 688 wanita lainnya melahirkan dibeberapa fasilitas
kesehatan. Keterlambatan menuju fasilitas rujukan kesehatan yang
memadai mengakibatkan seringnya persalinan macet. Hanya 190
wanita yang mengalami fistula bersalin dalam waktu <24 jam.
18

Kebanyakan penderita mengalami persalinan yang lebih lama,


yaitu 272 wanita (30,2%) melahirkan >24 jam, 244 wanita
melahirkan setelah 27 jam.
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Sejumlah faktor berperan dalam kejadian fistula pada
wanita. Umumnya dijumpai di daerah yang memiliki budaya
perkawinan pada usia muda dan kehamilan pada usia muda.
Malnutrisi kronis merupakan faktor terjadinya fistula jangka
panjang, keadaan persalinan yang abnormal seperti disproporsi
kepala panggul dan malpresentasi janin, yang tidak ditangani oleh
tenaga kesehatan yang terampil selama persalinan, sehingga
mengakibatkan persalinan macet. Keadaan ini sangat dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan dan letak daerah yang sulit untuk
menjangkau tempat pelayanan kesehatan yang lebih memadai.
Bentuk penyebab fistula dapat berupa obstetrik atau
ginekologi. Fistula yang paling umum terjadi adalah akibat trauma
obstetrik, selanjutnya akibat trauma pembedahan, radiasi, penyakit
radang saluran usus, penyakit infeksi, dan neoplasma.
Penyebab fistula berhubungan dengan komplikasi, yaitu :
a. Komplikasi obstetri
Nekrosis jaringan dinding depan vagina dan kandung
kemih, dan dapat menimbulkan fistula, tindakan ekstraksi
cunam dan tindakan obstetri lainnya berupa vakum, kuretase
dan sectio cesarea (SC) yang kurang hati-hati dan lege artis
dapat mengakibatkan trauma dan fistula kandung kemih.
b. Komplikasi ginekologi
Merupakan faktor yang paling sering dewasa ini.
Komplikasi histerektomi abdominal dan histerektomi vaginal
paling

sering

menjadi

penyebabnya,

juga

komplikasi

radioterapi. Terjadinya fistula pada histerektomi dapat juga


diakibatkan oleh :
a. Kurang pengalaman, kurang hati-hati operator dalam
membebaskan kandung kemih dari portio vagina.

19

b. Kegagalan mengenal jaringan kandung kemih waktu


melakukan hemostatis pada puncak kandung kemih
dengan jahitan.
c. Kegagalan mengenal atau tidak melakukan pengujian
terhadap adanya kemungkinan cedera kandung kemih saat
tindakan operasi.
d. Terputarnya kandung kemih karena mioma yang besar
atau oleh endometriosis.
c. Radiasi pelvis
d. Penyakit kanker, infeksi dan batu saluran kemih
e. Instrumentasi: kateterisasi, trauma endoskopik, dilatasi
Penyebab lain adalah didapat dari budaya tertentu yang
mengharuskan bayi wanita untuk dilakukan insisi pada bagian
depan vagina atau insisi Gishiri untuk mempermudah persalinan
kelak dan budaya yang cenderung untuk meningkatkan daya tarik
dengan pembedahan dinding vagina agar tetap ketat seperti
nullipara. Pembedahan khusus lainnya seperti prosedur suburetral
sling, pembedahan untuk koreksi uretral divertikulum, pembedahan
pada keganasan pelvis.
4. Patofisiologi
Trauma pada kandung kemih saat melakukan tindakan
histerektomi yang sulit atau persalinan operatif sectio cesarea (SC)
dapat

menimbulkan

fistula

vesikovaginal.

Kebanyakan

terbentuknya fistula vesikovaginal adalah saat melakukan diseksi


tumpul yang luas pada daerah kandung kemih saat memisahkan
lapisan kandung kemih. Hal ini menyebabkan devaskularisasi atau
robekan yang tidak teridentifikasi pada dinding posterior kandung
kemih. Hal lain dalam tindakan pembedahan yang menyebabkan
terjadinya fistula adalah jahitan pada puncak vagina yang secara
kebetulan melibatkan kandung kemih, keadaan ini menjadikan
jaringan sekitarnya iskemia, nekrosis dan selanjutnya menjadi
fistula.23
Fistula sebagai hasil dari suatu proses persalinan terjadi saat
persalinan lama atau dengan kesulitan. Bagian kepala janin akan

20

menekan bagian trigonal dan leher kandung kemih dengan


penekanan ke bagian tulang pubis pada simfisis. Keadaan demikan
juga dapat menyebabkan iskemia dan nekrosis.24
Hampir 10 15% fistula tidak dijumpai pada 10 30 hari
setelah tindakan pembedahan atau persalinan. Bahkan ada fistula
yang tidak manifes dalam hitungan bulan. Fistula yang timbul
sebagai komplikasi radiasi tidak tampak dalam kurun waktu tahun
setelah radiasi. Manifestasi lambat tersebut disebabkan oleh
perubahan lanjutan oleh efek radiasi. Timbul fibrosis pada jaringan
subepitelial, hialinisasi jaringan ikat akan tampak dengan
pemeriksaan histologi. Terjadi perubahan vaskularisasi berupa
obliterasi pembuluh darah arteri. Perubahan pada pembuluh darah
tersebut akan menghasilkan atropi atau nekrosis pada epitel
kandung kemih, kemudian terjadi ulserasi atau terbentuk fissura.24
5. Klasifikasi
Belum dijumpai kesepakatan yang menjadi standar untuk
menentukan satu pembagian ataupun tingkat keparahan fistula
urogenital. Berbeda penulis nampaknya menentukan klasifikasi
yang berbeda pula. Hamlins menentukan klasifikasi berdasarkan
penilaian subjektif dari hasil penilaian kerusakan yang dijumpai.
Arrowsmith menyarankan pemakaian sistem skoring untuk dapat
memprediksi luaran penderita fistula.21
Klasifikasi terdahulu oleh Sims (1852) yang melakukan
pembagian fistula berdasarkan lokasinya pada vagina, klasifikasi
tersebut adalah21 :
a. Uretro-vaginal, yaitu kerusakan terjadi melibatkan uretra
b. Fistula yang melibatkan leher kandung kemih atau pangkal
uretra
c. Fistula yang melibatkan dasar kandung kemih
d. Fistula utero-vesikal, dengan bagian terbuka pada uterus dan
kanalis serviks
Klasifikasi

umum

dari

fistula

urogenital

dapat

dikelompokkan dalam 4 jenis, yaitu :


a. Vesikouterina
b. Urethrovaginal
21

c. Vesikovaginal
d. Ureterovaginal
Namun pada umumnya, terdapat dua faktor yang sangat
penting yang harus dilibatkan dalam setiap pembagian suatu fistula
urogenital dengan maksud untuk mendapatkan prediksi nilai luaran
yang lebih akurat. Faktor tersebut adalah25 :
a. Besarnya kerusakan, yang diukur berdasarkan besarnya fistula,
jaringan parut yang ada pada vagina dan kandung kemih.
b. Keterlibatan dengan mekanisme aliran urin, yang berarti
penentuan lokasi pada uretra dan leher kandung kemih. Untuk
menilai kerusakan objektif yang terjadi pada bagian leher
kandung kemih sangat sulit dilakukan, namun demikian
pengukuran panjang urethra yang sehat dapat menghasilkan
suatu penilaian yang cukup terpercaya.
Fistula vesikovaginal dapat dibagi lagi berdasarkan lokasi
anatomi fistula tersebut. Klasifikasi tersebut adalah25 :
a. Juxtauretral, melibatkan lehir kandung kemih dan proksimal
uretra dengan kerusakan mekanisme spingter dan terkadang
disertai hilangnya uretra.
b. Midvaginal, tanpa melibatkan leher kandung kemih dan
trigonum
c. Juxtaservikal,

terbuka

sampai

forniks

anterior

dengan

kemungkinan melibatkan ureter bagian distal


d. Vesikoservikal atau vesikouterina
e. Masife, kombinasi 1 sampai 3 dengan bekas parut dan
melibatkan tulang simfisis, sering melibatkan ureter pada
pinggir fistula dan prolapsus kandung kemih melalui lubang
fistula yang besar.
f. Compound, melibatkan rekto vaginal atau ureterovaginal
Secara sedarhana dapat diklasifikasikan kedalam 2 jenis
fistula, yaitu26 :
a. Fistula simple, panjang vagina normal, fistula diameter tidak
lebih 2 cm dan tidak dijumpai riwayat radiasi atau keganasan
vaginal atau serviks.

22

b. Fistula complex, panjang vagina lebih pendek, terdapat riwayat


penyakit keganasan yang menjalani radiasi dan panjang fistula
>3 cm.
6. Penegakan Diagnosis
a. Gejala Klinis
Adanya kebocoran urin melalui vagina tanpa nyeri dan
terjadi setelah proses persalinan atau operasi dan radiasi. Pada
fistula yang kecil urin dapat merembes atau mungkin terjadi
sekali sekali tergantung pada vesika yang terisi penuh atau
posisi tubuh. Gejala yang paling sering pada fistula vaginal
adalah inkontinensia total involunter. Dijumpai iritasi daerah
vulva, paha dan infeksi saluran kemih. Dalam anamnesa harus
diupayakan mengetahui penyebab fistula dengan pertanyaan
yang spesifik tentang etiologi. Juga perlu diperoleh catatan
medis sebelumnya tentang penyakit, kondisi atau terapi yang
bisa saja menyebabkan berkembangnya fistula dan juga setiap
pengobatan atau prosedur yang mungkin pernah dilakukan
untuk menyembuhkan fistula.27,28
b. Pemeriksaan Vaginal
Vulva dan perineum biasanya basah dan disertai bau
urin. Dengan bantuan spekulum biasanya mudah mencari
lokasi fistula urogenital yang melibatkan kandung kemih atau
urethra bila pasien diperiksa dalam posisi litotomi. Dipakai
spekulum sims untuk pemeriksaan dinding vagina, dan bisa
digunakan probe kecil untuk memperlihatkan fistula diantara
urethra atau kandung kemih dengan vagina. Adanya urin di
forniks posterior vagina merupakan keadaan yang abnormal.
Walaupun pemeriksaan vagina dapat menentukan lokasi fistula
dan kebocoran dapat diperlihatkan, namun penilaian lebih
lanjut masih dibutuhkan.29
c. Tes Diagnostik
Uji bahan warna (misalnya, indigo carmine atau
methylene blue dalam air steril atau saline normal) atau susu

23

(misalnya, formula bayi steril) bisa digunakan untuk mengisi


kandung kemih melalui kateter transurethral. Bila ada fistula
vesikovaginal, cairan berwarna atau susu biasanya bisa dilihat
bocor ke dalam vagina. Bila fistula kecil, mungkin perlu
menempatkan sedikit bola kapas secara longgar melalui liang
vagina dan pasien diinstruksikan bergerak-gerak berganti posisi
agar terjadi kebocoran dari kandung kemih ke dalam vagina.
Bila ini terjadi, bola kapas akan basah dan berwarna biru di
dalam vagina. Namun jika metoda ini gagal, atau tampon
terlihat basah tapi tidak terdapat pewarnaan, dapat dilakukan
cara pyridium oral atau indigo carmine intravena kemudian
dapat ditentukan adanya fistula ureterovaginal, ureterouterin
dan ureteroservikal.
Double-dye test digunakan untuk mendeteksi fistula
ureterovaginal.
(pyridium)

dan

Pasien
indigo

diberikan
carmine

phenazopyridine

oral

atau

blue

methylene

dimasukkan ke dalam kandung kemih melalui kateter urethra.


Pyridium membuat urin warna merah dan methylene blue atau
indigo carmine membuat urin berwarna biru. Adanya warna
biru pada tampon menunjukkan fistula vesikovagina atau
urethrovagina dan jika berwarna merah menunjukkan fistula
ureterovagina.
Tes tampon Moir dapat digunakan untuk membantu
mendeteksi fistula ureterovaginal. Setelah fistula vesikovaginal
disingkirkan dan semua cairan berwarna biru telah dikeluarkan
dari kandung kemih. Beberapa tampon ditempatkan secara
longgar pada keseluruhan panjang liang vagina, dan indigo
carmine (5 mL) diberikan secara intravena. Kemudian pasien
disuruh berjalan-jalan di sekitar ruangan. Setelah 10 15
menit, tampon satu persatu diambil dari vagina, apabila tampon
bagian bawah tidak berwarna biru dan tampon pada puncak

24

vagina berwarna biru, maka harus dicurigai adanya fistula


ureterovaginal.
Uji air dan udara (flat-tire) bisa digunakan untuk
mendeteksi fistula vesikovaginal. Pasien dengan knee-chest
position, vagina diisi dengan air steril atau saline normal dan
udara atau karbon dioksida dimasukkan ke dalam kandung
kemih melalui kateter transurethral kecil. Gas yang keluar
melalui fistula dibuktikan oleh gelembung-gelembung cairan di
dalam vagina. Ini sama halnya dengan menguji sebuah tabung
atau ban apabila ada bagian yang bocor. Uji ini sangat
membantu dalam mendiagnosis fistula vesikovaginal yang
sangat kecil.
d. Endoskopi
Cystourethroscopy adalah bagian penting dari penilaian
prabedah pasien dengan fistula urogenital. Ini membantu
memastikan lokasi anatomis yang pasti dari fistula dan
hubungan fistula vesicovaginal dengan muara ureter. Yang
penting, cystourethroscopy juga memungkinkan penilaian
jaringan di sekitar fistula. Kondisi jaringan ini menentukan
ketepatan waktu perbaikan secara bedah. Ada kemungkinan
bahwa cystourethroscopy harus diulang beberapa kali selama
penanganan prabedah fistula urogenital.30
e. Radiologi
Urografi intravena harus dipertimbangkan pada wanita
penderita fistula urogenital, terutama bila fistula akibat dari
proses penyakit, histerektomi atau terapi radiasi yang dapat
menyebabkan fistula ureterovaginal atau obstruksi ureter.
Ureterografi retrograde dilakukan pada kasus yang dicurigai
keterlibatan ureter tapi belum dapat dideteksi pada gambaran
urogram intravena. CT-Scan dilakukan pada penderita yang
terkait dengan neoplasma pelvis dan obstruksi ureter.31
Kebanyakan fistula yang terjadi adalah cukup besar
untuk dapat diketahui dengan pemeriksaan sederhana. Tapi

25

banyak juga yang diameter fistula terlalu kecil untuk dapat


dideteksi dan kemudian dapat menutup dengan sendirinya
tanpa lanjutan gejala klinis. Fistula vesikoservikal sebagai
suatu bentuk fistula yang terjadi sebagai akibat dari tindakan
sesarea. Fistula tersebut sangat sulit untuk diidentifikasi dan
jarang dijumpai. Lesi mungkin tidak diketahui dan dapat pula
salah dalam diagnosis sebagai sekret vagina biasa atau
inkotinensia urin transien.
Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan menyeluruh
pada saluran urineren bagian atas dan bawah secara sistematik.
Riwayat perjalanan penyakit penderita dan pemeriksaan fisik
diikuti dengan uji pewarnaan ganda dapat menerangkan
terjadinya fistula tersebut. Urografi ekskretori dan pielografi
retrograde dipergunakan untuk evaluasi saluran urineren bagian
atas untuk menghilangkan kemungkinan adanya kelainan pada
ureter oleh sebab lain, sedangkan sistografi, evaluasi untuk
saluran urineren bagian bawah.
Fistula sebaiknya dapat diketahui segera dan kemudian
merencanakan untuk tindakan perbaikan fistula. Pada kasus
fistula vesikovagina dapat dideteksi secara visual. Sedangkan
jenis lain seperti fistula ureterovaginal atau vesikouterina dapat
dibantu dengan pemeriksaan urogram atau flouroskopi.30
f. Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan kadar urea dari cairan yang
keluar dari vagina yang dicurigai suatu fistula, hasil kadar urea
yang tinggi menandakan cairan tersebut adalah urin. Cairan
urin sebaiknya dilakukan kultur dan uji sensitivitas, apabila ada
infeksi diberikan terapi antibiotik yang sesuai.29,32
7. Penatalaksanaan
a. Manajemen Konservatif
Jika suatu fistula dijumpai beberapa hari setelah
pembedahan ginekologi, kateter surprapubis atau transurethral
terpasang

dan

dipertahankan

sampai

30

hari.

Fistula

26

vesikovaginal (FVV) yang kecil <1 cm akan hilang atau


berkurang selama periode waktu tersebut.
Kebocoran urin dari fistula yang kecil dapat sembuh
dengan pemasangan kateter foley, fistula yang terjadi dapat
menutup spontan kembali setelah 3 minggu pemasangan
kateter untuk drainase urin. Selain itu jika dalam kurun waktu
30 hari setelah pemasangan kateter, fistula semakin mengecil,
dari uji klinis yang dilakukan, mempertahankan kateter tersebut
2 3 minggu lagi dapat memberikan manfaat. Jika lebih dari
30 hari tidak ada perubahan, dalam kasus FVV tidak akan
menutup secara spontan.
Untuk itu tidak dibenarkan lagi mempertahankan
kateter lebih lama sebab akan memberikan kesempatan untuk
terjadi infeksi yang lebih besar daripada pengecilan fistulanya
sendiri.26,33
Pemberian

kortikosteroid

diharapkan

dapat

memfasilitasi percepatan penyembuhan dengan mengurangi


edema dan fibrosis pada fistula. Dosis kortikosteroid yang
dianjurkan, diberikan kortison 100 mg setiap hari. Setelah 10
hari kateter dilepas apabila fistel tidak menutup dilakukan
tindakan operasi.34
Suatu fistula semakin besar kemungkinan untuk sembuh
sendiri pada keadaan; fistula yang terjadi dalam waktu 7 hari
setelah pembedahan, ukuran fistula <1 cm, suatu fistula simple,
tidak ada riwayat radiasi dan penyakit keganasan genitalia dan
penderita telah menjalani setidaknya 4 minggu pemasangan
kateter menetap.26
Sebagian fistula vesikovaginal yang berdiameter hingga
3 mm bisa disembuhkan dengan superficial electro surgical
coagulation dari epitel saluran yang mengalami fistula diikuti
dengan drainase kandung kemih dalam waktu yang lama. Akan
tetapi, koagulasi yang lebih dalam akan lebih besar
kemungkinan

memperberat

dan

memperbesar

fistula.
27

Penyembuhan

spontan

dapat

juga

dirangsang

dengan

pemberian Argentum nitrat 5% atau tinctura jodii memakai


kapas lidi di pinggir fistula, selain perawatan rendam (sitzbad)
memakai larutan betadine, Kamillosan atau Permanganas
kalikus 2-3 kali sehari.29,35
b. Perawatan Pra Bedah
Perlu dilakukan tindakan untuk memperbaiki keadaan
umum. Penderita yang sudah menopause dan sudah menjalani
oophorectomy diberikan terapi estrogen dapat secara topikal
atau sistemik yang berguna untuk memperbaiki jaringan
vagina, diberikan suntikan IM 1 mg estradiolbenzoat setiap hari
selama 1-2 minggu dan dilanjutkan 2 minggu paska bedah.
Infeksi saluran kemih dan vagina harus diatasi sebelum
tindakan bedah. Topikal dapat diberikan estrogen vaginal cream
dengan dosis 2-4 gr setiap pada waktu hendak tidur, atau 1 gr
tiga kali seminggu pada waktu tidur. Kulit yang mengalami
dermatitis akibat pengaruh urin diatasi dengan pemberian salep
antibiotika dan setelah peradangan sembuh kulit dilindungi
dengan pemberian pasta zinc. Penilaian keadaan umum dan
kondisi

jaringan

di

sekitar

fistula

menentukan

waktu

pembedahan fistula urogenital.32,35


c. Penentuan Waktu Operasi
Penentuan waktu melakukan tindakan operasi atau
fistelplastik masih kontroversi dan menjadi kendala bagi dokter
maupun penderita sendiri. Padahal penentuan waktu tindakan
sangat penting dalam menentukan keberhasilan tindakan
operasi. Selama ini dipahami bahwa interval 3 bulan sejak
terjadinya fistula atau selama 1 tahun jika fistula yang
berhubungan dengan terapi radiasi. Dalam waktu tersebut
diharapkan peradangan atau infeksi telah diatasi atau dalam
masa pengobatan seperti antibiotik, estrogen atau steroid.
Mempersingkat waktu untuk dapat segera melakukan
tindakan operasi fistula sangatlah bermanfaat sebab dampak
28

sosial dan psikologis akibat fistula itu sendiri sudah cukup


mengganggu penderita, namun demikian mempertimbangkan
upaya-upaya yang bertujuan untuk keberhasilan tindakan
operasi fistula adalah yang lebih utama.
Belum ada kesepakatan berkenaan dengan tindakan
bedah segera atau penundaan dalam penatalaksanaan bedah
fistula. Pemahaman segera adalah bila dalam kurun waktu 1 3
bulan atau kurang dari 6 bulan, sedangkan penundaan adalah
dalam interval 2 4 bulan atau 6 bulan dan lebih. 36
Keberhasilan tindakan operasi lambat dan segera menunjukkan
perbedaan angka keberhasilan tindakan. Keberhasilan tindakan
segera lebih efektif diutarakan oleh Waaldijk (2004)33.
Sedangkan penundaan tindakan untuk menghilangkan infeksi
biasanya dianjurkan pada kasus fistula obstetrik. Keadaan lain
jika infeksi dan peradangan sudah hilang, langsung dilakukan
tindakan bedah fistula. Perbedaan pendapat tersebut tercetus
dari besarnya dampak sosial dan psikologis penderita yang
mengalami penundaan tindakan, sebab terjadi penurunan
kualitas hidup dan isolasi lingkungan. Dampak tersebut bisa
lebih besar daripada morbiditas yang terjadi. Untuk itu
sebagian peneliti menganjurkan agar tidak semua kasus fistula
urogenital dilakukan penundaan tindakan operasi repair.
Waktu yang tepat untuk dilakukan tindakan operasi
berbeda pada setiap penderita, penilaian tergantung keadaan
jaringan fistula. Operasi dapat dilakukan apabila jaringan
fistula tidak ada peradangan, sudah terjadi epitelialisasi dan
tidak ada jaringan granulasi dan jaringan yang nekrotik.
Keberhasilan operasi fistulaplastik sangat dipengaruhi beberapa
faktor antara lain peradangan pada pinggir fistula, edema
jaringan sekitarnya sehingga tidak dapat dijahit, atau dinding
vagina yang atrofi. Semua ini memerlukan persiapan prabedah

29

yang baik dan ideal membutuhkan waktu yang cukup untuk


pemulihan jaringan agar fistula tersebut laik untuk direparasi.35
Untuk mendapatkan keberhasilan yang tinggi dari
operasi fistelplastik dimana jaringan dinding fistula dan
sekitarnya sudah layak untuk dilakukan operasi dengan
pertimbangan berikut :
1) Fistula akibat partus lama yang menyebabkan nekrosis
jaringan sehingga menimbulkan fistula, maupun akibat
tindakan pembedahan ginekologik atau akibat trauma
lainnya, maka saat yang baik untuk melakukan operasi
yaitu 3 bulan setelah terjadinya fistula.
2) Fistula yang terjadi akibat terapi radiasi terhadap proses
keganasan maka saat yang baik untuk melakukan operasi
yaitu 1 tahun setelah terjadinya fistula.
d. Penanganan Bedah
Prinsip dasar pembedahan untuk menutup suatu fistula
adalah sama, yaitu mobilitas jaringan, vaskularisasi yang baik
dan penyatuan jaringan yang baik. Namun demikian terdapat
beberapa perbedaan seiring dengan perkembangan penanganan
kasus fistula dalam penentuan waktu pembedahan dan tehnik
pembedahan. Keutamaan dalam pelaksanaan tindakan bedah
fistula adalah tampilan fistula yang adekuat, hemostasis yang
baik, mobilisasi yang luas dari vagina dan kandung kemih dan
menghilangkan jaringan yang mengalami devaskularisasi dan
benda asing, jaringan bebas regangan, permukaan jaringan
sesuai jalur dan konfermasi penutupan fistula dan drainase
kandung kemih selama 10 14 hari.37,38
Pendekatan operasi untuk fistula urogenital pada
prinsipnya ada 3 pilihan yaitu :
1) Transvaginal
2) Transabdominal (suprapubik)
3) Kombinasi transvaginal dan transabdominal
Ahli Obstetri dan Ginekologi yang sudah terlatih dan
terbiasa untuk menangani fistula urogenital lebih memilih

30

pendekatan transvaginal sebab lebih mudah, tidak berbahaya


dan

lebih

besar

keberhasilannya

dibandingkan

dengan

pendekatan transabdominal. Pendekatan abdominal digunakan


pada kasus fistula ureterovaginal, fistula urogenital yang
melibatkan organ lain (misalnya, uterus, usus), penyakit
keganasan di daerah pelvis yang rekuren atau terapi radiasi
pelvis yang ekstensif sebelumnya. Untuk fistula yang lebih
besar dan pinggirnya terfiksasi oleh jaringan sikatriks pada
simfisis pubis maka operator akan memilih kombinasi
keduanya.35,39
e. Perawatan Pasca Operasi
Perawatan pasca operasi tidak kalah pentingnya dari
tehnik operasi dalam keberhasilan penatalaksanaan fistula.
Setelah operasi dipasang kateter hisap selama 8-10 hari, setelah
itu kateter dilepaskan dan dilakukan latihan otot vesika dengan
cara menjepitkan dan membuka kateter tiap 4 jam selama 2
hari, kemudian kateter dilepas dan penderita disuruh berkemih
sendiri setiap 4 - 6 jam, dan diukur sisa urinnya dan dapat
dipulangkan bila sisa urin kurang dari 100 ml. Bila sisa urin
lebih dari 100 ml dilakukan kateterisasi intermiten setiap 4 jam,
sebelumnya penderita disuruh minum 100-125 ml/jam.25
Metode ini dihentikan bila sisa urin kurang dari 100 ml.
Sesudah operasi dianjurkan tidak melakukan senggama selama
10-12 minggu. Diberikan antibiotika oral untuk mencegah
infeksi saluran kemih dan kontrasepsi oral selama 1-2 bulan
sebelum dan sesudah reparasi.
f. Komplikasi Pasca Operasi
Komplikasi pasca operasi

yang

umum

dapat

dikelompokkan menjadi komplikasi segera atau komplikasi


lambat. Fistula dapat terbuka kembali, kegagalan penutupan
fistula biasanya diketahui setelah hari ke 7-10 pasca operasi,
penderita mengeluh mengompol kembali. Mengganti kateter
dengan ukuran lebih besar untuk memastikan urin dapat keluar
31

dengan lancar, penutupan spontan diharapkan dapat terjadi.


Jika tetap bocor, dilakukan operasi ulang setelah 3 bulan.
Tabel 1. Komplikasi Pasca Operasi25

Segera
Perdarahan
Spasme kandung kemih
Infeksi luka
Dehisensi luka

Lambat
Stress Inkontinensia
Stenosis vaginal
Kandung kemih kapasitas kecil
Dyspareunia
Rekurensi

8. Penanganan Bedah
a. Pendekatan Transvaginal
Penanganan fistula urogenital dengan pendekatan
transvaginal

hanya

dikerjakan

pada

jenis-jenis

fistula

urethrovaginal, vesikovaginal dan tidak dilakukan pada fistula


ureterovaginal yang sering terjadi sebagai komplikasi operasi
histerektomi. Posisi penderita menjadi perhatian untuk tujuan
pamaparan daerah fistula yang lebih adekuat, beberapa posisi
dalam pendekatan transvaginal :
Posisi Lawson ideal untuk fistula pada urethra
proksimal dan leher kandung kemih, pasien dalam
posisi prone dengan lutut diangkat melebar disangga
dengan penyangga kaki, dikombinasi dengan anti

tredelenberg sehingga lapangan operasi lebih jelas.


Posisi Jackknife ideal untuk fistula pada urethra
proksimal dan leher kandung kemih, pasien dalam

posisi prone dengan abduksi dan fleksi panggul.


Posisi dorsal litotomi dengan tredelenberg, posisi yang

baik untuk reparasi fistula vesikovaginal yang tinggi.


1) Tehnik Latzko35

32

Tehnik
vesikovaginal
komplikasi

Latzko
kecil
dari

diindikasikan
pada

puncak

histerektomi

untuk

fistula

vagina

sebagai

transvaginal

atau

transabdominal. Karena prosedur biasanya merupakan


kolpokleisis apikal dan tidak melibatkan bedah pada
saluran fistula atau kandung kemih, prosedur ini bisa
dilakukan

segera

setelah

berkembangnya

fistula

vesikovaginal.
o Pasien posisi litotomi, empat jahitan penggantung
ditempatkan di sekitar puncak vagina pada posisi jam
12, 3, 6 dan 9, sedikitnya 2 cm dari tepi fistula.
o Dengan tarikan pada jahitan penggantung ini, dibuat
gambaran lingkaran/oval 2 cm ke segala arah dari tepi
fistula, dan ini secara kasar dibagi menjadi 4 kuadran.
o Hidrodiseksi dengan saline atau bahan vasokonsriktif
encer bisa digunakan untuk memisahkan epitelium
vagina di dalam lingkaran dari lapisan otot di
bawahnya. Semua jaringan epitelium di daerah
lingkaran tersebut dibuang. Penempatan kateter balon
kecil

melalui

fistula

dapat

membantu

dalam

mobilisasi dan memaparkan puncak vagina.


o Setelah seluruh epitelium vagina diangkat, vagina
ditutupkan ke atas saluran fistula dengan lapisan
pertama jahitan terputus bahan yang dapat diserap
(chromoic 3-0 atau 4-0) dan kemudian dua lapisan
33

jahitan terputus dengan benang absorpsi lambat


(polyglactin atau asam polyglycolat 3-0 atau 4-0).
o Dilakukan pengujian kedap air dengan menempatkan
250 sampai 300 mL larutan steril (misalnya, air
dengan bahan pewarna indigo carmine, saline atau
susu) ke dalam kandung kemih. Apabila terjadi
kebocoran, pada tempat kebocoran dilakukan jahitan
secara terputus menutupi tepi kebocoran. Sesudah
jahitan kedap air, epitelium vaginal diaproksimasi
dengan jahitan terputus dan benang absorpsi lambat.
2) Tehnik Futh35
Persiapan operasi :
o Penderita terlentang diatas meja operasi dengan posisi
litotomi dan sebelumnya telah dilakukan klisma
dengan baik.
o Lampu penerangan yang baik, istrumen yang halus
dan panjang serta jarum yang atraumatik.
o Preparasi dan mobilisasi jaringan sekitar fistula
dengan cara sangat berhati-hati adalah sangat penting.
Operator yang kurang hati-hati, akan menyebabkan
terjadinya kegagalan karena kerusakan jaringan akan
menambah luasnya defek jaringan yang ada.
o Apabila vagina sempit dan mengkerut disarankan
untuk melakukan episiotomi atau insisi Schuchardt
untuk

memperluas

lapangan

operasi

sehingga

memudahkan tindakan.
o Pada fistula yang oleh jaringan sikatrik terfiksasi erat
pada simfisis pubis atau tulang panggul maka
kandung kemih harus dimobilisasi dengan membuka
rongga paravesikal di sisi kanan dan kiri.
Tehnik operasi :
o Dipasang 4 buah jahitan penggantung 2 cm dari
pinggir fistula secara simetris pada dinding depan
vagina. Dengan penggantung ini fistula dapat

34

ditampilkan lebih kedepan dan dinding vagina dapat


diregangkan untuk memudahkan sirkumisisi.
o Dilakukan insisi sirkuler 1 cm dari pinggir fistula,
sayatan dimulai dari belakang kemudian kedepan.
o Terpenting bahwa dinding vagina yang diinsisi
melingkar dimobilisasi secukupnya ke segala arah
dengan melakukan preparasi yang luas dari muara
fistula dengan sangat hatihati.
o Dengan cara menjepit dan menarik portio kebawah
dengan tenakulum maka pole belakang kandung
kemih dapat lebih mudah dipreparasi dari dinding
depan serviks hingga mendekati plika vesiko uterina.
Dengan demikian di daerah belakang sirkumisisi
didapatkan permukaan kandung kemih bebas dan luas
untuk memudahkan melakukan jahitan penutupan
fistula lapis demi lapis.
o Rangkaian pertama adalah jahitan melintang satu-satu
dengan jarum atraumatik dan benang halus tetapi
lama

diabsorbsi

(Vicryl/Dexon

2-0)

untuk

melipatkan mulut fistula ke arah kandung kemih dan


menutupnya. Tusukan jarum tidak boleh menembus
dinding fistula. Segera sesudah rangkaian jahitan
pertama

selesai

harus

dilakukan

tes

dengan

memasukkan larutan methylen blue 100 ml ke dalam


kandung kemih untuk menguji apakah sudah kedap
urin sehingga tidak bocor.
o Rangkaian jahitan kedua juga melintang depan cara
dan benang yang sama seperti rangkaian jahitan
pertama. Jahitan kedua ini harus cukup jauh ke lateral
dan melewati jauh dari rangkaian jahitan pertama
dengan

demikian

diharapkan

sudut-sudut

dari

35

rangkaian jahitan pertama ditutupi dengan baik oleh


jahitan kedua.
o Semua jahitan tersebut seperti juga pada rangkaian
pertama

dipasang

dahulu

seluruhnya

baru

disimpulkan satu persatu.


o Terakhir adalah rangkaian jahitan ketiga pada mukosa
vagina yang dijahit memanjang dengan jahitan satusatu memakai benang yang lebih besar yaitu
Vicryl/Dexon no.0.
3) Tehnik Martius (Bulbokavernosus Plastik)35

Cocok pada fistula yang dengan jaringan sekitar


yang memiliki vaskularisasi minimal. Tehnik operasi :
o Fistula vesikovaginal dilipatkan kedalam kandung
kemih dan ditutup dengan 2 rangkaian jahitan pada
fascia kandung kemih seperti cara Fth. Pole bawah
buli-buli dibebaskan hingga mendekati plika vesiko
uterina. Untuk menutupi dan melindungi jahitan pada
kandung

kemih

tersebut

ambil

jaringan

bulbokavernosus sebagai bantalan.


o Dilakukan insisi memanjang 8 cm pada kulit labium
mayor kiri dengan ujung kranial insisi setinggi
klitoris. Pinggir sayatan kulit tersebut dipegang dan
direntangkan satu sama lain dengan klem jaringan
(klem Allis) atau klem Pean. Lapisan otot-lemak
bulbokavernosus

tersebut

2/3

bagian

kranial
36

dilepaskan dari fascia, pembuluh darah yang terbuka


dihematosis dengan ikatan. Pada ujung kranial yang
bebas tersebut dibuat 2 jahitan penggantung dengan
benang chromic catgut.
o Dengan klem yang ujungnya tumpul dan sedikit lebih
besar dibuat terowongan dari luka di labia kearah
vagina dan keluar di daerah operasi fistula sambil
menjepit membawa 2 benang penggantung yang
dijahit pada ujung bulbokavernosus yang bebas tadi.
Dengan menarik kedua penggantung dengan hatihati
jaringan bulbokavernosus tadi ditarik ke vagina.
o Luka pada labium mayor ditutup dan berikan drain.
o Jaringan bulbokavernosus dibentangkan sehingga
menutupi seluruh luka operasi dan dijahitkan pada
fascia

kandung

kemih

dengan

kedua

benang

penggantung tadi.
o Kemudian dinding vagina dijahit satu-satu arah
memanjang dengan benang yang sedikit lebih lama
diabsorbsi Vicryl atau Dexon no.0.
4) Tehnik Symonds-Knapstein (Myokutan-BulbokavernosusPlastik)35
Cara ini dipakai pada kasus fistula vesikovaginal
dengan defek dinding vagina yang luas sehingga pinggir
dinding vagina tersebut tidak dapat bertemu karena jarak
yang terlalu jauh. Maka dilakukan penambalan defek
dinding

vagina

tadi

dengan

perivulva. Tehnik operasi :


o Fistula vesiko-vagina

mempergunakan

direparasi

seperti

kulit
pada

Fistelplastik cara Fth sampai dengan penutupan


fistula dengan 2 rangkaian jahitan pada fascia
kandung kemih.

37

o Dibuat sayatan pulau kulit perivulva dengan bentuk


dan ukuran yang sesuai dengan besarnya defek pada
dinding vagina minimal 4 x 2 cm.
o Dimulai dengan insisi longitudinal lateral sepanjang
1/3 distal labium mayor, bulbokavernosus dibebaskan
ke kaudal sampai sebatas perineum. Untuk menjaga
vaskularisasi terhadap kulit yang akan dijadikan
tambahan maka preparasi bulbokavernosus tadi
langsung dilapisan bawah kulit labium mayor jangan
terlalu dalam. Pada ujung kranial lempengan kulit tadi
dipasang jahitan penggantung benang monofil.
o Dibuat terowongan subkutan dari luka labia ke vagina
guna memindahkan lempengan kulit tadi menutupi
luka jahitan fistula untuk menambal dinding vagina
yang defek dengan menarik benang penggantung tadi.
Perdarahan harus dirawat sebaik mungkin sebab
transportasi lempeng kulit tadi melalui terowongan
tersebut harus hatihati sekali jika tidak akan
menimbulkan perdarahan.
o Kemudian lempengan pulau kulit tadi pinggirnya
dijahit satu-satu pada dinding vagina memakai benang
monofil yang diabsorbsi (no.3-0 atau 4-0).
o Setelah dilakukan hemostasis yang cukup baik maka
luka kulit perivulva ditutup dengan jahitan satu-satu
memakai benang monofil no.3-0 atau 4-0. Subskutis
tidak dijahit akan tetapi dipasang drain untuk selama
3-4 hari.
5) Tehnik G.Doederlein (Gulungan-Plastik)35
Indikasi :
o Penutupan lubang fistula yang besar.
o Reparasi fistula residif.
Tehnik Operasi :
o Mula-mula dilakukan sondase urethra ke kandung
kemih

38

o Dipasang balon katheter No. 24 dalam kandung kemih


untuk menarik fistula ke depan dan menegangkan
dinding vagina.
o Dibuat insisi setengah lingkaran di depan fistula
sejauh 1,5 cm dari pinggirnya dan dilanjutkan ke
lateral kiri dan kanan. Dinding vagina di preparasi dan
dibebaskan dari fascia kandung kemih. Posisi balon
katheternya ditarik kedepan dan kebawah.
o Sayatan tidak dilanjutkan sirkuler pada dinding fistel
bagian belakang melainkan insisi tersebut dilanjutkan
kebelakang dalam bentuk lidah sepatu sepanjang 7
cm. Dilakukan preparasi dinding belakang vagina
yang berbentuk lidah sepatu ini dibebaskan sampai
0,5 cm dari pinggir belakang fistula. Posisi balon
kateter pada tahapan ini ditarik kedepan dan keatas.
Balon kateter ini dilepas setelah selesai preparasi.
o Dinding belakang vagina yang berbentuk lidah sepatu
tadi digulung dan diiikat agar tetap dalam gulungan
dan digunakan menutupi lubang fistula.
o Penutupan fistula dimulai dengan memasang jahitanjahitan

sudut,

kemudian

dilanjutkan

dengan

pemasangan benang-benang jahitan pada fascia


kandung kemih dari depan menembus gulungan
polster dan dilanjutkan pada fascia kandung kemih
dibelakang fistula. Setelah semua benang jahitan
terpasang dengan baik lalu satu-persatu disimpul
sehingga seluruh lubang fistula tertutup sempurna.
o Dilakukan tes dengan larutan methylen blue untuk
menguji kekedapan jahitan. Setelah terbukti tidak
bocor, lanjutkan dengan jahitan lapisan kedua.
o Terlebih dahulu dilakukan jahitan memanjang pada
dinding vagina bekas pengambilan gulungan polster

39

tadi dan terakhir jahitan melintang terhadap dinding


vagina penutup fistula.
b. Pendekatan Transabdominal36,40
1) Fistula Vesikovaginal
Pendekatan abdominal diindikasikan untuk fistula
urogenital yang kompleks yang melibatkan ureter atau
organ pelvis lainnya (misalnya, uterus, usus) atau yang
mungkin terkait dengan penyakit keganasan atau akibat
dari radioterapi. Operasi transabdominal juga dikerjakan
apabila fistula tinggi sehingga sulit dicapai dari vagina.
Komponen vesikovaginal dari fistula bisa dicapai dengan
cystotomy sagital untuk memberikan akses ke tempat
fistula. Saluran fistula dieksisi, dan ruang vesikovaginal
disayat lebar. Lubang ke dalam vagina ditutup dengan dua
lapisan menggunakan benang absorpsi lambat (misalnya,
polyglactin atau asam polyglyconat 3-0), dan lubang pada
kandung kemih ditutup dengan tiga lapisan menggunakan
jahitan benang yang dapat diabsorpsi (misalnya, 3-0)
untuk aproksimasi submukosa dan dua lapis jahitan
dengan benang absorpsi lambat (polyglactin atau asam
polyglyconat 3-0) untuk imbrikasi otot yang berdekatan.
Dianjurkan

agar

omentum

atau

peritoneum

diatur

tempatnya sedemikian rupa sehingga memisahkan vagina


dan kandung kemih. Keterlibatan organ-organ yang
berdekatan haruslah ditangani satu per satu.
2) Fistula Ureterovaginal
Fistula ureterovaginal biasanya berlokasi 4 sampai 5
cm bagian distal ureter. Hal ini paling tepat ditanggulangi
dengan

ureteroneocystostomy,

dilaksanakan

dengan

yang

menggunakan

paling

umum

pendekatan

abdominal. Fistula ureterovaginal yang melibatkan ureter


bagian atas dan yang mengenai segmen ureter distal yang

40

bisa

dipertahankan,

ditanggulangi

dengan

ureteroureterostomy.
3) Ureteroneocystostomy
Ureteroneocystostomy dilakukan dengan pendekatan
abdominal. Segmen distal ureter di samping kandung
kemih diligasi atau dijahit atas dengan bahan jahitan
permanen. Kandung kemih dibuka dibagian apex, dan
fundus kandung kemih digeser ke arah ujung proksimal
ureter yang akan diimplantasikan ke dalam kandung
kemih. Anastomosis antara ujung ureter dan kandung
kemih harus bebas tegangan. Apabila ada keraguan akan
hal ini, kandung kemih bisa dimobilisasi dengan
memotong ruang retropubis dan membebaskan kandung
kemih dari perlekatan di retropubik. Pergeseran kandung
kemih ke arah ujung ureter bisa dipertahankan dengan
menjahit fundus kandung kemih ke otot psoas (psoas
hitch) dengan bahan jahitan permanen.
Kandung kemih wanita dianggap merupakan organ
bertekanan rendah, karena itu, pelaksanaan implantasi
langsung ujung ureter ke dalam kandung kemih biasanya
memuaskan. Ureter proksimal diimplantasikan ke kandung
kemih dengan jarak sekitar 0,5 cm dari kedua muara
ureter, dijahit dengan benang yang dapat diserap
(misalnya, 3-0 atau 4-0 chromic).
Kemudian peritoneal flap yang membungkus ureter
dijahitkan ke kandung kemih pada sisi luar dengan benang
yang

diabsorpsi

lambat

(misalnya,

3-0

atau

4-0

polyglactin atau asam polyglycolat). Kandung kemih


ditutup dengan dua lapis jahitan absorpsi lambat
(misalnya, 3-0 polyglactin atau asam polyglyconat).
4) Fistula Urogenital Kompleks
Pada kasus ini, cacat pada ureter, kandung kemih
dan urethra diperbaiki menggunakan prinsip-prinsip

41

umum perbaikan fistula urogenital melalui pendekatan


vaginal atau abdominal. Penanganan organ lain yang
mungkin terlibat dalam fistula harus ditangani satu per
satu. Dianjurkan menggunakan peritoneum atau omentum
untuk memisahkan lapisan-lapisan yang diperbaiki yang
melibatkan saluran kemih, vagina dan usus.
9. Prognosis
Tingkat keberhasilan dari perbaikan fistula vesicovaginal
dan ureterovaginal (fistula repair) mendekati 90% di usaha
pertama dan mendekati 100% setelah usaha kedua. Namun,
disadari bahwa operasi kedua lebih luas dan lebih kompleks
daripada operasi pertama. Sering, pendekatan bedah perlu diubah,
dan prosedur tambahan, seperti Martius flap, peritoneal flap,
omental flap, atau gracilis muscle flap, harus dilakukan dalam
kombinasi dengan fistula repair. Untuk perbaikan kompleks
melibatkan jaringan radiasi,tingkat keberhasilannya kurang dari
90%, tetapi, untuk ahli bedah berpengalaman, hasilnya tetap sangat
sukses.
Perlu diingat bahwa operasi pertama adalah yang terbaik.
Salah satu usaha untuk perbaikan bedah lebih lanjut setelah
pendekatan awal gagal dapat menghasilkan hasil tidak memuaskan.
Hal ini sangat direkomendasikan untuk mencari seorang ahli bedah
yang ahli dalam hal tipe rekonstruksi ini dan melakukan ini dalam
banyaknya dalam upaya untuk memaksimalkan hasil dan
meminimalisir potensi morbiditas lebih lanjut.

42

BAB III
PEMBAHASAN

DIAGNOSIS
Ditemukan pada anamnesis pasien (autoanamnesis) bahwa gejala klinisnya
berupa inkontinensia total involunter, yaitu adanya kebocoran urin melalui vagina
tanpa nyeri dan terjadi setelah proses persalinan atau operasi dan radiasi. Pada
fistula yang kecil, urin dapat merembes atau mungkin terjadi sekali sekali
tergantung pada vesika yang terisi penuh atau posisi tubuh. Inkontinensia total
involunter merupakan gejala yang paling sering pada fistula vaginal. Fistula
vaginal ada beberapa macam: fistula ureterovaginal, fistula vesicovaginal, fistula
urethrovaginal, dan fistula rectovaginal.
Setelah anamnesis, dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang. Hasil
pemeriksaan fisik didapatkan urin yang keluar melalui vagina berwarna kuning
keruh, maka diagnosis fistula rectovaginal dapat disingkirkan. Hasil pemeriksaan
radiologi retrograd sistografi, menunjukkan kesan gambaran kandung kemih (VU;
vesica urinary) yang sklerotik dan tak tampak gambaran fistula diseluruh dinding
VU. Maka dapat disimpulkan bahwa diagnosisnya bukan fistula vesikovaginal.
Berbagai dye test dapat dilakukan untuk menjelaskan adanya fistula
urogenital. Ada yang hanya menggunakan 1 macam sediaan untuk memberikan
warna pada urin, dan ada pula yang menggunakan 2 macam sediaan pewarna
berbeda yang disebut double dye test. Pewarna yang dapat digunakan yaitu :
1. Phenazopyridine oral (pyridium) dapat membuat urin berwarna
oranye-merah dalam 30 menit selama 4 5 jam.
2. 1% carmine red solution dapat membuat urin berwarna merah dengan
dimasukkan ke dalam kandung kemih melalui kateter transurethral
3. Methylene blue dapat membuat urin berwarna biru dalam 10 15
menit dengan melalui kateter urethra.

43

4. Indigo carmine membuat urin berwarna biru dalam 10 menit dengan


disuntikkan intravena, atau 10 15 menit melalui kateter urethra.
5. Carbazochrome dapat membuat urin berwana kuning-oranye dalam 1
jam dengan disuntikkan intravena.
Pyridium telah dilaporkan menyebabkan methemoglobinemia setelah
digunakan dalam dosis berlebih (overdose) dan bahkan dosis normal.41 Indigo
carmine dapat menyebabkan severe hypotension disamping komplikasi umumnya
dapat meningkatkan tekanan darah dan bradikardi.42 Methylene blue dapat juga
disuntikkan intravena namun harus secara perlahan karena jika terlalu cepat dapat
menyebabkan methemoglobinemia, sehingga lebih sering digunakan dengan
dimasukkan langsung ke dalam kandung kemih melalui kateter. Penggunaan
sediaan pewarna dengan intravena maupun oral lebih aman dibandingkan dengan
dimasukkan langsung ke dalam kandung kemih melalui kateter transurethral,
karena jika dimasukkan langsung dapat menyebabkan iritasi pada saluran kemih
walaupun sudah melalui kateter tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya
iritasi, selain itu juga pasien lebih merasa nyaman tanpa menggunakan kateter.
Carbazochrome di sini dipilih karena penggunaannya yang aman baik cara
penggunaannya yang melalui intravena dan farmakokinetiknya, dan juga
sediaannya yang mudah didapatkan.
Carbazochrome menghambat peningkatan permeabilitas kapiler dan
memperkuar resistensi kapiler, bekerja dengan memperpendek waktu perdarahan
(hemostatik), tetapi tidak mempunyai efek pada koagulasi darah atau sistem
fibrinolitik. Setelah pemberian carbazochrome secara intravena, senyawa ini
didistribusi ke seluruh tubuh kecuali sistem saraf pusat, dan konsentrasinya
mencapai puncak segera setelah pemberian (10-30 menit setelah pemberian secara
intramuskular) dan menurun dalam waktu singkat. Senyawa ini diekskresi kirakira 63% di urin dalam 1 jam, dan kira-kira 91% di urin dan 5% di feses dalam 24
jam. Metabolit carbazochrome dapat menyebabkan hasil positif pada tes
urobilinogen urin, dan juga dapat menimbulkan perubahan warna kuning-oranye
pada urin.

44

Moir43 menjelaskan three-swab test (tes 3 tampon) dapat membantu dalam


menentukan letak saluran fistula. Tes tampon Moir dilakukan dengan dye test
sehingga dapat menunjukkan hasil yang lebih baik untuk mengetahui lokasi fistula
urogenital. Tes tampon Moir atau disebut juga tes 3 tampon dilakukan dengan cara
vagina dipenuhi 3 tampon/kassa pada tingkat yang berbeda dalam liang vagina.
Sebaiknya kassa yang digunakan adalah 3 kassa bulat steril yang masing-masing
disertai benang memanjang keluar vagina untuk memudahkan pengambilannya.
Namun di sini pemeriksaannya dilakukan langsung di bangsal, maka kassa yang
digunakan adalah kassa gulung yang memanjang, karena tidak tersedia kassa yang
disertai benang memanjang dan jika menggunakan kassa bulat steril biasa (tanpa
benang tersebut) pengambilannya akan sulit dilakukan di bangsal. Sediaan
pewarna yang digunakan di sisni hanya injeksi carbazochrome, 1 macam sediaan,
supaya pasien merasa lebih nyaman dan juga pelaksanaannya mudah dan
membutuhkan waktu yang tidak lama.

Masukkan 1 kassa gulung ke dalam vagina, tepat setelah diinjeksikannya


carbazochrome 1 ampul melalui saluran infus pasien. Pada pasien ini
menggunakan

kassa

gulung

supaya

memudahkan

pengambilannya.

Ambil/keluarkan kassa setelah 1 jam, cek warna dari kassa tersebut. Jika
tampon/kassa bagian bawah basah dan berwarna kuning-oranye maka kebocoran
dari urethra. Jika bagian tengah basah dan berwarna kuning-oranye berarti dari
fistula vesikovaginal. Jika bagian atas yang basah dan berwarna kuning-oranye
berarti dari ureter. Hasil dari tes ini adalah fistula ureterovaginal, yaitu kassa dari
bagian atas ke bawah basah dan berwarna kuning-oranye.

45

Hasil tersebut di atas tidak valid, karena kassa gulung yang diambil itu
tampak rata basah berwarna kuning-oranye. Kesalahan yang terjadi dikarenakan
peletakkan kassa gulung dalam liang vagina yang tidak tersusun rapi. Walaupun
menggunakan 1 kassa gulung yang memanjang dalam tes 3 tampon, seharusnya
tetap disusun seperti halnya 3 kassa, yakni kassa gulung dimasukkan perlahan
melalui vagina dan tempatkan kassa secara rapat pada 3 tingkat yang berbeda
dalam liang vagina, dan masing-masing diantaranya tempatkan kassa secara
longgar untuk membedakan antara tingkat yang satu dengan yang lainnya
sehingga tampak jelas nantinya bagian mana yang spesifik basah berwarna
kuning-oranye.

46

DAFTAR PUSTAKA
1. Clement K.M, Hilton P, Diagnosis and Management of Vesicovaginal Fistula, the
Obstet and Gynecol., 2001;3:173-78.
2. Roy K.K, Malhotra N., Kumar S., et al, Genitourinary Fistula : an Experience from a
Tertiary Care Hospital, 2006, Vol.8(3).
3. Kataria S., Vesico-vaginal Fistula : the Need for Safe Matherhood Practices in India,
Womens Health and Education Cent. 2007:1-4.
4. Raut V., Bhattacharga W., Vesical Fistula, an Experience from a Developing Country,
J.Postgrad.Med,1993;39:20-1.
5. Wall L.L, Arrowsmith S.D, Briggs N.D, Urinary Incotinence in the Developing
Word: the Obstetric Fistula, Comittee 12, available at fistulafoundation.org.
6. Wall L. L, The Obstetric Vesicovaginal Fistula; Characteristics of 894 Patients from
Nigeria, Am J Obstet and Gynecol, 2004;4, vol.190.
7. Elkin T.E, Surgery for the Obstetric Vesicovaginal Fistula; A Review of 100
Operation in 82 patients, Am J Obstet Gynecol., 1994;170:1108-20.
8. Vasavada S.P., Vesicovaginal and Ureterovaginal Fistula, available at Emedicine,
2006;1-12.
9. Tafesse B, Muleta M, Michael A.W, et al, Obstetric Fistula and its Physical, Social
and Psychological dimension : The Etiopian Scenario. Acta Urologica, 2006, 23 ;
4:25-31.
10. Kohli N, Miklos J.R, Managing Vesico-Vaginal Fistula, Womens Health and
Education Center Urogynecology, Boston, 2007.
11. Djokic J.H, Dzamic Z, Tulic C.,et al, Vesico-Vaginal Fistulas:Diagnosis and
treatment, Med and Biol.,1999, Vol.5,No.1,69-71.
12. Smith E.L, Williams G, Vesicovaginal Fistula, BJU Int.,1999;83:564-70.
13. Santoso B. I, Fistula Urogenital,Uroginekologi I,Uroginekologi Rekonstruksi, Obstet
dan Ginekologi FK-UI, Jakarta, 2002,6-8.
14. Shobeiri S.A., Chesson R.R, Echols K.T, Cystoscopy Fistulography: A new
Technique for the Diagnosis of Vesicocervical Fistula,2001;1-4
15. Porcano A.B, Antoniolli S.Z, Zicari M.,et al, Vesico Uterine Fistulas Following
Cesarean Section ; Report on case, review and Update of the Literature, Int. J. Uro
and Nephro., 2002,34 :335-344.
16. Riley V.J., Vesicovaginal Fistula, available at Emedicine,2004;1-25.
17. Waaldijk K, The Immediate Management of Fresh Obstetric Fistulas. Am. J. Obstet
and Gynecol., 2004, Vol.9,3.
18. Junizaf, Fistula Vesiko Vagina, Uroginekologi I, Uroginekologi Rekonstruksi Obstet
dan Ginekol., FK-UI, Jakarta,2002,14-19.
19. Josoprawiro M.J, Penanganan Fistula Urogenital dengan Pendekatan Transvagina,
Uroginekologi I, Uroginekologi Rekonstruksi Obstet dan Ginekol., FK-UI,
Jakarta,2002,20-37.
20. Kam M.H, Tan Y.H, Wong M.Y.C, A 12 Year Expirience in the Surgical Management
of Vesicovaginal Fistula, Singapore Med.J.,2003,Vol.44(4) :181-4.
21. Sims J.M, On the treatment of Vesico-Vaginal Fistula, Am J. Obstet and Gynecol.,
1995, Vol. 172, 6.
22. Hanif N.S, Saeed K., Sheikh M.A., Surgical Management of Genitourinary Fistula,
JPMC,2003;1-8.
23. Santosh K, Nitin K.S, Ganesh G., Vesicovaginal Fistula ; an Update, Indian J.
Urology, 2007;23:187-191.

47

24. Thompson J.D, Vesicovaginal and Urethrovaginal Fistula, TeLindes Operative


Gynecology, 8th Ed, Chap.14, Lippincott Raven Pub, 1996,1175-1203.
25. National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). Urinary Incontinence:
the management of urinary incontinence in woman. Diunduh dari URL:
http://www.nice.org.uk, pada tanggal 10 Februari 2008.
26. Holroyd-Leduc JM, Straus SE. Management of urinary incontinence in wornen:
Scientific Review. JAMA 2004;291(8):986-5.
27. Scottisg Intercollegiate Guidelines Network. Management of urinary incontinence in
primary care: a national clinical guideline. Edisi pertama. Edinburgh: SIGN 2004.
Diunduh dari URL: http://www.sign.ac.uk, pada tanggal 10 Februari 2008.
28. Prawirohardjo S. Ilmu kandungan. Edisi I. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta, 1991 :
392-404.
29. Burnnet LS. Relaxations, Malpositions, Fistulas, and Incontinence. In : Jones HW,
Wentz AC, Burnnet LS. Novaks Texbook of Gynecology. Eleventh Ed. William &
Wilkins, 1988 ; 467-478.
30. Marchant DJ. Urinary Incontinence. Obsterics and Gynecology Annual, 19809 ; 9 :
261-2.
31. Petrou SP, Baract F. Evaluation of urinary incontinence in women. Braz J Urol,
2001;27:165-0.
32. Siddiqi S, Kausar S. Urinary incontinence in women. Medicine Today
2005;3(4):164-9.
33. Richardson AC, Edmonds PB, Williams NL. Treatment of Stress Incontinence due to
Paravaginal Fascial Defect. Obstet Gynecol 1981 ; 57 : 357-362.
34. Fantl JA, Hurt WE, Bump RC, Dunn LJ, Choi SC. Urethral Axis and Sphincteric
Function. Am J Obstet Gynecol 1986 ; 155 : 554-558.
35. De Lancey JL. Correlative Study of Paraurehtral Anatomy. Obstet Gynecol 1986;
68 :91-97.
36. Sand PK, Bowen LW, Ostegard DR, Brubaker L, Panganiban R. The Effect of
Retropubic Urethropexy on Detrusor Instability. Obstet Gynecol 1988 ; 71 : 818-822.
37. Purnomo, Dasar-dasar Urologi. FK-Brawijaya, Malang 2003; 106-119.
38. Bhatia NN, Bergman A. pessary Test in women With urinary Incontinence. Obstet
Gynecol 1985 ; 65 : 220-225.
39. Andrianto P. Urologi Untuk Praktek Umum. EGC. Jakarta, 1991 : 175-186.
40. De Lancey JO. The pathophysiology of stres urinary incontineoce in women and its
implications for surgical treatrnent. World J Urol 1997;15:268-74.
41. Jeffery WH, Zelicoff AP, Hardy WR. (February 1982). "Acquired
methemoglobinemia and hemolytic anemia after usual doses of phenazopyridine".
Drug Intell Clin Pharm 16 (2): 579. PMID 7075467.
42. Lee, Won-Jae., Jang, Hyun-Soo. Cardiac arrest from intravenous indigo carmine
during laparoscopic surgery. A case report. Korean J Anesthesiol 2012 January
62(1): 87-90. http://dx.doi.org/10.4097/Case Report kjae.2012.62.1.87
43.Moir JC: Vesicovaginal fistula as seen in Britain. J Obstet Gynaecol Br Commonw
80:598, 1973.

48

Anda mungkin juga menyukai