Anda di halaman 1dari 68

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur Klavikula


2.1.1 Definisi
Fraktur adalah patahan yang terjadi didalam kontinuitas struktural tulang
yang disebabkan oleh trauma dan non trauma eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap oleh tulang. Tidak hanya keretakan atau terpisahnya
korteks, kejadian fraktur lebih sering mengakibatkan kerusakan yang komplit
dan fragmen tulang terpisah. Fragmen tulang yang dihasilkan mungkin akan
berada di tempatnya atau keluar dari tempatnya. Jika kulit atasnya tetap utuh,
maka disebut juga fraktur tertutup. Namun jika kulit atau salah satu dari rongga
tubuh menerobos keluar atau tertembus, maka disebut juga fraktur terbuka (atau
compound) yang dapat menyebabkan kontaminasi dan infeksi (Apley &
Solomon, 2018).
Fraktur Klavikula adalah terputusnya kontinuitas tulang klavikula. Tulang
klavikula relatif tipis, bagian paling lebar adalah sisi medial dan lateral
tempatnya berartikulasi dengan sternum dan akromion. Tulang ini mempunyai
dua lengkungan: yang lebih besar adalah bagian koronal yang memberi bentuk
huruf S (konveks anterior sisi medial dan konkaf anterior sisi lateral). Pada anak
anak, klavikula mudah pata, tetapi hampir selalu mengatu dengan cepat dan
tanpa komplikasi. Pada orang dewasa ini bisa menjadi cedera yang jauh lebih
megulitkan (Apley & Solomon, 2018).

2.1.2 Mekanisme Cedera


Mekanisme trauma dari fraktur klavikula terjadi karena penderita jatuh
pada bahu, biasanya tangan dalam keadaan terulur. Bila gelang bahu mendapat
trauma kompresi dari sisi lateral, penopang utama untuk mempertahankan posisi
adalah klavikula dan artikulasinya. Bila traumanya melebihi kapasitas struktur
ini untuk menahan, terjadi kegagalan melalui 3 cara, Artikulasi
akromioklavikular akan rusak, klavikula akan patah, atau sendi sternoklavikular
2

akan mengalami dislokasi. Trauma pada sendi sternoklavikular jarang terjadi


dan biasanya berhubungn dengan trauma langsung ke klavikula bagian medial
dengan arah lebih posterior (dislokasi posterior) atau trauma dari arah posterior
yang langsung mengenai gelang bahu (menyebabkan dislokasi proksimal
klavikula ke anterior) (Apley & Solomon, 2018).
Pada fraktur midshaft, fragmen lateral tertarik ke bawah karena berat
lengan, fragmen medial tertarik oleh muskulus sternocleidomastoideus. Pada
fraktur 1/3 lateral, bila ligamen intak, ada sedikit pergeseran; namun bila terjadi
robekan ligamen korakoklavikula, atau bila garis fraktur terletak medial dari
ligamen ini, pergeseran yang terjadi mungkin lebih berat dan tindakan reduksi
tertutup tidak mungkin dilakukan. Klavikula juga merupakan bagian yang sering
mengalami fraktur patologis (Apley & Solomon, 2018).

Gambar 2.1 Mekanisme trauma fraktur klavikula (Court et al, 2018)


3

Gambar 2.2 Muskulus dan gaya gravitasi yang terjadi pada fraktur klavikula
(Court et al, 2018).

2.1.3 Gambaran Klinis


Gambaran Klinis fraktur klavikula biasanya penderita datang dengan
keluhan jatuh atau trauma. Fraktur klavikula yang disebabkan oleh trauma
ringan biasanya tidak menyebabkan cedera organ lainnya atau trauma intra
toraks. Namun, pada kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian, harus
dicari cedera lainnya. Lengan pasien biasanya didekatkan ke dada untuk
mencegah pergerakan. Biasanya dapat terlihat adanyan penonjolan pada
subkutan dan kadang-kadang ada fragmen tulang yang melukai kulit. Adanya
deformitas pada gelang bahu paling baik diperiksa saat pasien berdiri. Bila
terjadi fraktur midshaft dengan pergeseran besar, tampak gambaran shoulder
ptosis. Meskipun komplikasi pada vaskular jarang terjadi, perabaan pulsasi
vaskular di leher sebaiknya dikerjakan. Adanya perlukaan ada sendi
akromioklavikular sering terlewatkan pada fraktur 1/3 lateral (Apley &
Solomon, 2018).
4

2.1.4 Pemeriksaan Penunjang


Imaging
Pemeriksaan radiologis yang diperlukan minimal adalah rontgen dengan
proyeksi anteroposterior dan kemiringan 30 derajat sefalik. Biasanya didapatkan
fraktur pada 1/3 tengah dari tulang, fragmen bagian luar biasanya terletak lebih
rendah dari fragmen bagian dalam. Fraktur pada 1/3 lateral dapat terlewatkan,
atau perkiraan derajat pergeserannya dapat lebih rendah, kecuali jika rontgen
proyeksi bahu juga dikerjakan. Rontgen sendi sternoclavicular pada fraktur 1/3
medial juga lebih baik dikerjakan. Saat menilai kemajuan klinis, harus diingat
bahwa ‘clinical’ union biasanya mendahului ‘radiological’ union beberapa
minggu sebelumnya (Apley & Solomon, 2018).
CT scan dengan rekonstruksi tiga dimensi mungkin diperlukan untuk
menentukan derajat pemendekan secara akurat atau untuk mendiagnosis fraktur
dislokasi sternoklavikula dan untuk meyakinkan union dari sebuah fraktur
(Apley & Solomon, 2018).

Gambar 2.3 Fraktur klavikula 1/3 tengah displaced – paling sering terjadi
(Apley & Solomon, 2018)

Gambar 2.4 Fraktur biasanya menyembuh dalam posisi ini, tampak adanya
5

‘tonjolan’ (Apley & Solomon, 2018).


2.1.5 Klasifikasi
Fraktur klavikula biasanya diklasifikasikan berdasarkan posisi dari fraktur
oleh Allman menjadi proximal (Group I), middle (Group II), dan distal (Group
III) third fractures. Pembagian secara general berhubungan dengan pendekatan
klinis yang akan dikerjakan (Apley & Solomon, 2018).
Karena tingginya tingkat delayed union and non-union pada fraktur 1/3
distal, Neer membaginya menjadi tiga subklasifikasi berdasarkan kondisi
ligamentum dan derajat pergeseran. Neer tipe I (ligamentum korakoklavikular
masih intak), Neer tipe II (ligamentum korakoklavikular robek atau lepas dari
fragmen medial tetapi ligamentum trapezoid tetap intak dengan segmen distal),
dan Neer tipe III (intraartikular). Neer tipe II disubklasifikasikan menjadi dua
oleh Rockwood menjadi tipe IIA: konoid dan trapezoid melekat pada fragmen
distal dan tipe IIB: konoid lepas dari fragmen medial. Klasifikasi yang lebih
detail untuk fraktur midshaft dibuat oleh Robinson, yang berguna untuk
pengolahan data dan membandingkan hasil klinis (Apley & Solomon, 2018).
6

Gambar 2.5 Klasifikasi fraktur klavikula (Court et al, 2018).


2.1.6 Tatalaksana
A. Fraktur Klavikula 1/3 Tengah
Terdapat kesepakatan bahwa fraktur klavikula 1/3 tengah non displaced
seharusnya diterapi secara non operatif. Sebagian besar akan berlanjut dengan
union yang baik, dengan kemungkinan non union di bawah 5% dan kembali
ke fungsi normal (Apley & Solomon, 2018).
Manajemen non operatif meliputi pemakaian simple sling untuk
kenyamanan. Sling dilepas setelah nyeri hilang (setelah 1-3 minggu) dan
pasien disarankan untuk mulai menggerakkan lengannya. Tidak ada bukti
yang menyatakan bahwa penggunaan figure-of-eight bandage memberikan
manfaat dan dapat berisiko terjadinya peningkatan insidens terjadinya luka
akibat penekanan pada bagian fraktur dan mencederai struktur saraf; bahkan
akan meningkatkan risiko terjadinya non-union (Apley & Solomon, 2018).
Terdapat lebih sedikit kesepakatan mengenai manajemen fraktur 1/3
tengah. Penggunaan simple splintage pada fraktur dengan pemendekan lebih
dari 2 cm dipercaya menyebabkkan risiko terjadinya malunion simptomatik –
terutama nyeri dan tidak adanya tenaga saat pergerakan bahu – dan
peningkatan insidens terjadinya non-union. Sehingga dikembangkan teknik
fiksasi internal pada fraktur klavikula akut yang mengalami pergeseran berat,
fragmentasi, atau pemendekan. Metode yang dikerjakan berupa pemasangan
plat (terdapat plat dengan kontur yang spesifik) dan fiksasi intramedular
(Apley & Solomon, 2018).
7

Gambar 2.6 Fraktur klavikula 1/3 tengah dengan pergeseran berat (dilakukan
reduksi terbuka dan fiksasi internal dengan plate dan screw) (Apley &
Solomon, 2018).
B. Fraktur Klavikula 1/3 Distal
Sebagian besar fraktur 1/3 distal klavikula mengalami pergeseran minimal
dan ekstra-artikular. Ligamentum korakoklavikula yang intak mencegah
pergeseran jauh dan manajemen non operatif biasanya dipilih.
Penatalaksanaannya meliputi pemakaian sling selama 2-3 minggu sampai
nyeri menghilang, dilanjutkan dengan mobilisasi dalam batas nyeri yang dapat
diterima (Apley & Solomon, 2018).
Fraktur klavikula 1/3 distal displaced berhubungan dengan robeknya
ligamentum korakoklavikula dan merupakan injuri yang tidak stabil. Banyak
studi menyebutkan fraktur ini mempunyai tingkat non-union yang tinggi bila
ditatalaksana secara non operatif. Pembedahan untuk stabilisasi fraktur sering
direkomendasikan.1 Teknik operasi menggunakan plate dan screw
korakoklavikular, fiksasi plat hook, penjahitan dan sling techniques dengan
graft ligamen Dacron dan yang terbaru adalah locking plates klavikula (Apley
& Solomon, 2018).
8

Gambar 2.7 Fraktur klavikula 1/3 bagian luar (lateral). (a) Klavikula
terangkat, mununjukkan bahwa bagian medial ligament coracoclavicular
pecah. (b) Hal ini ditangani dengan Open Reduction Internal Fixation
menggunakan lateral clavicular locking plate (Apley & Solomon, 2018).

C. Fraktur Klavikula 1/3 Proksimal


Sebagian besar fraktur yang jarang terjadi ini adalah ekstra-artikular.
Penatalaksanaan yang dilakukan sebagian besar adalah non operatif kecuali
jika pergeseran fraktur mengancam struktur mediastinal. Fiksasi pada fraktur
berhubungan dengan komplikasi yang mungkin terjadi seperti migrasi dari
implan ke mediastinum, terutama pada penggunaan K-wire. Metode stabilisasi
lain yang digunakan yaitu penjahitan dan teknik graft, dan yang terbaru
locking plates (Apley & Solomon, 2018).

2.2 Implant Failure


2.2.1 Definisi
Implant failure atau kegagalan implan didefinisikan suatu implan yang
harus dilepas sebelum waktunya. Beberapa implan lebih sering mengalami
kegagalan dibandingkan jenis implan lainnya tergantung dari lokasi dan usia
dari pasien. Implan metal bisa mengalami kegagalan dipengaruhi oleh beberapa
9

faktor; (1) defek dari pabrik, (2) pemilihan jenis implan yang tidak sesuai
dengan tujuan, (3) akumulasi beban akibat posisi pemasangan implan yang tidak
benar. Selain itu ada keadaan lain baik medis dan non-medis yang berujung
pada kegagalan implan seperti korosi, infeksi dan malignansi (Ritonga, 2021).
Kegagalan implan dibagi menjadi 3: plastic, brittle, fatigue failure. Plastic
failure adalah dimana implan gagal untuk mempertahankan bentuk yang
menyebabkan kegagalan implan. Brittle failure adalah tipe implant failure yang
jarang, biasanya disebabkan oleh adanya defek pada desain atau implan.
Fatigue failure terjadi sebagai hasil dari trauma berulang pada implant (Ritonga,
2021).
2.2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya implant failure berhubungan dengan kualitas implan,
pengalaman dokter bedah, serta kaitannya dengan prinsip tatalaksana fraktur
oleh Assotiation for The Study of Internal Fixation, yaitu pemilihan jenis implan
yang adekuat untuk jenis fraktur yang berbeda serta pelayanan post-operatif.
Penelitian oleh Sanaullah menjelaskan bahwa implant failure merupakan hasil
kombinasi dari kualitas implan, pemilihan implan, kualitas fiksasi, geometri
fraktur, dan pelayanan post-operatif. Selain dari kualitas implan, pemilihan
implan untuk jenis fraktur tertentu serta Teknik aplikasinya memegang peranan
penting. Contohnya, ketika melakukan fiksasi pada diafisis tulang panjang
dengan menggunakan DCP (dynamic compression plate), delapan korteks harus
ditembus baik pada fragmen proksimal, maupun pada fragmen distal. Sebagai
tambahan, teknik kompresi harus digunakan sehingga tidak ditemukan gap pada
tempat fraktur. Teknik ini mungkin tidak dapat diaplikasikan pada fraktur
dengan konfigurasi spiral atau oblique. Penyebab kegagalan implan yang paling
sering menurut studi aksakal et al adalah stress, corrosion fatique dan wear.
Faktor lain yang mempengaruhi implant failure adalah produksi yang eror,
existence of inclusions, stress gaps dari maunfactoring route, loosening dari
implant material karena gagalnya osseointegration (Ritonga, 2021).
10

Gambar 2.8 Radiografi dari implan yang mengalami failure (Ritonga, 2021).

2.3 Definisi Anestesi


Anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible).
Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi
terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang
terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan pesiapan pada hari operasi. Sedangkan tahap
penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, induksi dan
pemeliharaan (Mangku et al, 2017; Oubenyahya & Bouhabba, 2019).
Adapun trias anestesi adalah :
1. Hipnotik (tidak sadarkan diri=mati ingatan)
2. Analgesia (bebas nyeri=mati rasa)
11

3. Relaksasi otot (mati gerak)


Untuk mencapai ketiga komponen dapat digunakan satu jenis
obat, atau dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang
mempunyai efek khusus tersebut diatas, yaitu : obat yang khusus
sebagai hipnotik, khusus sebagai analgetik dan khusus sebagai obat
pelumpuh otot. Anesthesi dibagi menjadi 3 jenis kelompok besar
anestesi, antara lain sebagai berikut (Mangku et al, 2017; Oubenyahya
& Bouhabba, 2019):
2.3.1 Anestesi Umum
Suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti
oleh hilangnya rasa nyeri seluruh tubuh akibat pemberian obat
anestesi. Teknik anestesi umum terdiri dari (Mangku et al, 2017;
Oubenyahya & Bouhabba, 2019):
a. Anestesi umum intravena: merupakan salah satu teknik anestesi
umum yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi
parenteral langsung dalam pembuluh darah vena.
b. Anestesi umum inhalasi: merupakan salah satu teknik anestesi
umum yang dilakukan dengan cara memberikan kombinasi obat
anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah
menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara
inspirasi.
Berbagai teknik anestesi umum inhalasi yaitu:
 Inhalasi dengan respirasi spontan:
- Sungkup wajah
- Intubasi endotrakeal
- Laringealmask airway (LMA)
 Inhalasi dengan respirasi kendali:
- Intubasi endotrakeal
- Laryngeal mask airway
c. TIVA: Total Intravena Anestesia (TIVA) merupakan teknik
anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi
12

yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan untuk


ketiga trias anestesi yaitu : hipnotik, analgesik, dan relaksasi otot.
Kebanyakan obat-obat anestesi intravena hanya mencakup dua
komponen anestesi, akan tetapi ketamin mempnyai ke tiga trias
anestesi sehingga ketamin dianggap juga sebagai agen anestesi
yang lengkap (Mangku et al, 2017: Butterworth, 2018).
Kelebihan TIVA
1. Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat di titrasi
dalam dosis yang lebih akurat dalam pemakaiannya.
2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien
3. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat dan
mesin anestesi khusus
d. Anestesi imbang: merupakan tehnik anestesi dengan
mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anestesi
intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi. Tehnik
anestesi umum dengan analgesia regional untuk mencapai trias
anestesia secara optimal dan berimbang.
2.3.2 Anestesi lokal: Anestesi yang dlakukan dengan cara menyuntikkan
obat anestesi lokal pada daerah atau disekitra lokasi pembedahan yang
menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat
temporer.
2.3.3 Anestesi Regional : Anestesi yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan obat anestesi lokal padalokasi serat saraf yang
menginervasi region tertentu, yang menyebabkan hambatan konduksi
impuls aferen yang bersifat temporal (Mangku et al, 2017:
Butterworth, 2018).

2.4 Evaluasi Pra Anestesi dan Reaminasi


2.4.1 Batasan
Evaluasi pra anestesia dan reaminasi adalah langkah awal yang
dilakukan sebelum rangkaian tindakan anesthesia yang dilakukan
13

terhadap pasien yang direncanakan untuk melakukan operatif


(Mangku et al, 2017: Butterworth, 2018). Tujuan:
 Mengetahui status fisik pasien preoperative.
 Mengetahui dan menganalisis jenis operasi.
 Memilih jenis/teknik anesthesia yang sesuai.
 Mememberitahu pasien apa yang akan menjadi kendala yang
akan mungkin terjadi selama operasi dan atau pasca bedah.
 Mempersiapkan alat-alat apa saja yang dibutuhkan pada waktu
operasi dan obat apa yang digunakan pada waktu kesulitan pada
waktu operasi.
2.4.2 Waktu Evaluasi
Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anesthesia dilakukan
beberapa hari sebelum operasi, jadi disana melakukan pencatatan
status pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik dan menginformasikan
pasien baik buruknya pada waktu operasi. Kemudian evaluasi ulang
dilakukan sehari menjelang operasi, keesokan harinya pasien di
lakukan pemeriksaan lagi sebelum masuk ke dalam kamar operasi
dan evaluasi akhir dilakukan dikamar persiapan instalasi bedah
sentral (IBS) gunanya untuk menentukan status fisik ASA pada
pasien. Pada kasus bedah darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu
juga diruangan persiapan operasi Instalasi Rawat Darurat (IRD),
karena waktu yang tersedia untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga
sering kali informasi tentang penyakit yang diderita kurang akurat
(Mangku et al, 2017: Butterworth, 2018).

2.4.3 Tatalaksana Evaluasi


Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau kalau
pasien tidak bisa diajak komunikasi, wawancara
heteroanamnesis yaitu keluarga pasien atau kerabat dekat pasien,
meliputi: (Mangku et al, 2017: Butterworth, 2018).
14

a. Tanyakan identitas pasien atau biodata.


b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang
mungkin menimbulkan gangguan fungsi organ atau gangguan
psikis pada pasien.
c. Anamnesis umum, meliputi :
 Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau yang
sedang menderita penyakit sistemik selain penyakit bedah
yang diderita, yang bisa mempengaruhi anesthesia atau
dipengaruhi oleh anesthesia.
 Riwayat pemakaian obat atau alergi obat, tanyakan pada
pasien apakah ada obat yang sebelumnya diminum dan
tanyakan pada pasien apakah pasien ada alergi obat.
 Riwayat operasi / anesthesia terdahulu.
 Tanyakan kepada pasien apakah pasien merokok, meminum
minuman alcohol, minum kopi, dan mengkonsumsi obat-
obatan terlarang.
 Memberitahu pasien sebelum oprasi pasien harus puasa 8 jam
sebelum oprasi dimulai.
d. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang dilakukan adalah :
 Pemeriksaan atau pengukuran status presen pasien, meluputi:
kesadaran pasien, nafas pasien, tekanan darah atau tensi
pasien, nadi, suhu tubuh, berat badan dan tinggi badan pasien
untuk menilai status gizi pasien atau BMI pasien.
 Pentingnya pemeriksaan jalan napas harus ditekankan.
Pertumbuhan gigi pasien sebaiknya diinspeksi untuk
memeriksa adanya gigi yang tanggal ataulonggar dan adanya
caps, bridges, atau gigi palsu. Kondisi gigi yang ompong
(tidak bergigi) dan abnormalitas wajah dapat mengganggu
pemasangan masker saat prosedur anestesi. Micrognathia
(jarak pendek antara dagu dan tulang hyoid), gigi seri atas
15

yang prominen, lidah besar, keterbatasan gerak sendi


temporomandibula atau cervical spine, atau leher pendek
dapat merupakan penyulit intubasi trakea.
 Ada beberapa cara dalam mengidentifikasi sebanyak mungkin
resiko akan terjadinya kesulitan intubasi dan laringoskopi
yaitu dengan teknik LEMON atau MELON :
L (Look externally): Yang dievaluasi adalah dengan melihat
seluruh bagian wajah. Apakah ada hal - hal yang dapat
menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi
seperti trauma pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher
pendek, mandibula yang kecil.
E (Evaluate 3 – 3 - 2): Langkah ini merupakan gabungan dari
buka mulut dan ukuran mandibula terhadap posisi laring.
Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm,
kemungkinan sulit untuk dilakukan intubasi. Evaluasi buka
mulut juga penting. Pasien normal bisa membuka mulutnya
dengan jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak thyromental
direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara ujung mentum,
tulang hioid dan 2 jari antara tulang hioid dan takik tiroid.
Dalam aturan 3-3- 2:
 Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral
 Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula
untuk memuat lidah ketika laringoskopi. Kurang atau lebih
dari 3 jari dapat dikaitkan dengan peningkatan kesulitan.
 Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring
berkaitan dengan dasar lidah. Bila lebih dari 2 jari maka letak
laring lebih jauh dari dasar lidah, sehingga mungkin
menyulitkan dalam hal visualisasi glottis.
M (Mallampaty score): Skor mallampati atau klasifikasi
mallampati adalah sistem skor medis yang digunakan dibidang
anestesiologi untuk menentukan level kesulitan dan bisa
16

menimbulkan resiko pada intubasi pasien yang sedang menjalani


proses pembedahan. Hasil menentukan tingkat dibedakan dari I
sampai IV. Kelas I mengindikasikan seorang pasien yg
seharusnya lebih mudah diintubasi. Tingkat tertinggi, kelas IV
ditujukan ditujukan kepada pasien dengan resiko tinggi,
komplikasi. Klasifikasi mallampati ditentukan oleh pengamatan
visual dari rongga mulut. Skoring Mallampati: (Mangku et al,
2017: Butterworth, 2018).

Gambar 2. Derajat malapati

I : Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan


II : Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan
uvula
III : Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
IV : Hanya terlihat palatum durum
Dalam sistem klasifikasi kelas 1 dan 2 umumnya mudah
diintubasi sedangkan 3 dan 4 terkadang sulit. Selain sistem
klasifikasi malempati, temuan fisik lainnya telah terbukti
menjadi prediktor yang baik dari kesulitan napas. Faktor lain
yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi antara lain
lidah bedah, gerak sendi temporo mandibular terbatas,
mandibular menonjol, maksila atau gigi depan yang menonjol,
mobilitas leher terbatas, pertumbuhan gigi tidak lengkap, langit-
langit mulut sempit, anafilaksis saluran napas, atritis dan
ankilosis servikal, sindrome congenital Klippel-Fei (leher
pendek, leher menyatu), Pierre Robin (micrognathia, belahan
17

langit-langit, glossoptosis), Treacer Collins (mandibulo facial


dysostosis), endokrinopati (kegemukan, acromegali, hipotiroid
macroglossia, gondok), infeksi (Ludwig Angina (abses pada
dasar mulut), peritonsillar abses, retropharyngeal abses,
epiglottitis), massa pada medisastinum, myopati menunjukkan
myotoniaatau trismus, jaringan parut luka bakar atau radiasi,
trautam dan hematoma, tumor dan kista, benda asing jalan
napas, kebocoran disekitar masker wajah (edentulous, hidung
datar, besar wajah dan kepala, kumis, jenggot), nasogastrik tube,
kurangnya ketrampilan, pengalaman, atau terburu-buru.
Kelas 1 sebagian besar glottis terlihat, kelas 2 hanya
ektremitas posterior glottis dan etiglotis tampak, kelas 3 tidak
ada bagian dari glottis yang terlihat, hanya etiglotis yang terlihat,
kelas 4 bahkan etiglotis tidak terlihat. Kelas 1 dan 2 dianggap
mudah, kelas 3 dan 4 dianggap suli (Magboul, 2018).
O (Obstruction): Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus
selalu kita pertimbangkan sebagai akibat adanya obstruksi pada
jalan napas. 3 tanda utama adanya obstruksi yaitu muffled voice
(hot potato voice), adanya kesulitan menelan ludah (karena nyeri
atau obstruksi) dan adanya stridor (Magboul, 2018).
N (Neck mobility): Keterbatasan mobilisasi leher harus
dipertimbangan sebagai suatu kesulitan dalam intubasi.
Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi atlanto -
oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien
memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal
ini untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto - oksipital.
Aksis oral, faring dan laring menjadi satu garis lurus dikenal
dengan posisi Magill. Nilai normalnya adalah 35 derajat
(Magboul, 2018).
e. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
Pemeriksaan rutin ditujukan pada pasien yang dipersiapkan
18

untuk operasi kecil dan sedang. Hal-hal yang akan


dipersiapkan :
1) Test darah pasien: Hb, Ht, Eritrosit, Leukosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan.
2) Urin : pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin.
3) Pemeriksaan radiologi : CT Scan, X-ray.
Menentukan prognosis pasien perioperatif Berdasarkan hasil
evaluasi pra operatif tersebut diatas maka dapat disimpulkan
status fisik pasien pra anesthesia. American Society of
Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi status fisik
praanestesia menjadi 6 kelas, yaitu (Mangku et al, 2017:
Butterworth, 2018):
1. ASA 1: Pasien penyakit bedah tanpa memiliki penyakit
sistemik.
2. ASA 2: Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik ringan sampai sedang.
3. ASA 3: Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang disebabkan karena berbagai penyebab
tetapi tidak mengancam nyawa.
4. ASA 4: Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya.
5. ASA 5: Pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit
sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,
dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan
meninggal.
6. ASA 6: Pasien sudah mati batang otak, siap donorkan organ
yang masih berfungsi baik.
2.4.4 Persiapan Praoperatif
Persiapan pra anestesia dan reanimasi dapat dilakukan di poliklinik
dan di rumah sakit tempat pasien dirawat (pada pasien rawat inap), ruang
19

perawatan, ruang persiapan IBS dan kamar operasi yang akan dijabarkan
sebagai berikut (Mangku et al, 2017: Butterworth, 2018):
a) Persiapan di ruang perawatan
Persiapan di ruang perawatan hampir sama dengan persiapan di
poliklinik dan di rumah pasien meliputi 12 persiapan psikis dan
persiapan fisik. Persiapan psikis yang dilakukan adalah
1) Memberikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarga agar
mengerti perihal rencana anestesi dan pembedahan yang
direncanakan sehingga pasien dan keluarganya bisa tenang.
2) Memberikan obat sedatif pada pasien yang menderita stress
berlebihan atau pasien yang tidak kooperatif seperti pediatrik
pada malam hari menjelang tidur dan pada pagi hari, 60-90
menit sebelum ke IBS. Pada persiapan fisik, perlu
diinformasikan kepada pasien untuk:
 Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok
minimal dua minggu sebelum anestesia atau minimal
dimulai sejak evaluasi pertama kali di poliklinik
 Melepas segala macam protesis dan asesoris seperti
perhiasan
 Melakukan puasa dengan aturan sebagai berikut :
Tabel 1. Lama puasa sesuai jenis makanan.
Tipe Makanan/Minuman Lama Puasa yang Dibutuhkan
Cairan jernih  2 jam
 Contoh air, jus buah tanpa
ampas buah, teh jernih, kopi.
 Tidak termasuk alkohol
ASI  4 jam
Formula bayi  6 jam
Makanan ringan  6 jam
 Contoh roti panggang
20

Makanan  8 jam
bergoreng/makanan
padat/makanan
berlemak/daging

b) Persiapan di ruangan IBS Persiapan yang dilakukan meliputi


evaluasi ulang status presen dan catatan medik pasien serta
perlengkapan lainnya, konsultasi di tempat apabila diperlukan,
memberi premedikasi dan memasang infus.
c) Persiapan di kamar operasi
1) Mempersiapkan mesin anestesi dan sistem aliran gasnya, alat
pantau tekanan darah, pulse oksimeter, EKG, tiang infus,
defribilator dan obat-obat anestesia yang diperlukan.
2) Mempersiapkan stetoskop, laringoskopi, endotrakeal tube,
guedel orotrakeal tube, plester untuk fiksasi, stilet, connector
dan suction.
3) Mempersiapkan obat-obat resusitasi, misalnya : adrenalin,
atropin, aminofilin, natrium bikarbonat dan lain-lainnya.
4) Mempersiapkan catatan medik anestesia, selimut penghangat
khusus.
2.4.5 Premedikasi
Adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat
pendahuluan yang terdiri antikolinergik, sedative/trankuilizer dan analgetic
sebelum induksi anestesia dilakukan. Adapun tujuan dari premedikasi
diantaranya (Mangku et al, 2017: Butterworth, 2018):
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien yang meliputi bebas dari
rasa takut, tegang dan khawatir: bebas nyeri dan mencegah mual-
muntah.
2. Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan reflek vagus.
3. Memudahkan/melancarkan induksi.
4. Mengurangi dosis obat anestesia.
21

5. Mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah.


6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
2.4.6 Pilihan Anestesi
Pemilihan anestesi yang akan dikerjakan pada pasien yang akan
mengalami pembedahan perlu mempertimbangkan berbagai faktor
seperti umur, jenis kelamin, status fisik dan jenis operasi (Mangku
et al, 2017: Butterworth, 2018).
1. Umur
Pada pasien bayi dan anak pilihan anestesinya adalah anestesi
umum karena pasien anak cenderung kurang kooperatif. Pilihan
anestesi pada orang dewasa bisa diberikan anestesi umum atau
analgesia regional, tergantung jenis operasi yang akan dikerjakan.
2. Jenis kelamin
Pada perempuan dimana faktor emosional dan rasa malu yang
lebih dominan, maka pilihan anestesi umum dapat menjadi pilihan,
sebaliknya pada laki-laki bisa dilakukan anestesi regional.
3. Status fisik
Status fisik pasien seperti penyakit sistemik dan komplikasi
dari penyakit primer yang diderita juga menjadi pertimbangan
penting dari tindakan anestesi yang akan dipilih.
4. Jenis operasi
Apabila ditinjau dari jenis operasi, terdapat 4 permasalahan
dalam menentukan pilihan anestesi yakni lokasi, posisi,
manipulasi dan durasi operasi. Apabila ditinjau dari jenis
operasi, terdapat 4 permasalahan dalam menentukan pilihan
anestesi yakni lokasi, posisi, manipulasi dan durasi operasi. Pada
kasus orthopedi, pilihan anestesi yang sering dilakukan adalah
dengan menggunakan teknik Endo Tracheal Tube (GA-ETT) dan
Laringeal mask airway (LMA).
2.4.7 Pemulihan Anestesi
22

Pasca operasi, pulih dari anestesi general secara rutin pasien


dikelola di recovery room ata disebut juga Post Anesthesia Care Unit
(PACU), idealnya adalah bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa
keluhan dan mulus dengan pengawasan dan pemngelolaan secara
ketat sampai dengan keadaan stabil. Oleh karena itu, diperlukan
pengkajian post anestesi yaitu dengan cara Aldrete Score (untuk
pengkajian general anestesi) atau Bromage Score (untuk spinal
anestesi) (Mangku et al, 2017: Butterworth, 2018).
Aldrete Score Untuk mengetahui tingkat pulih sadar
seseorang pasca anestesi dilakukan perhitungan menggunakan skor
aldrete (Baron, 2004). Metode penilaian aldrete score Pendekatan
penilaian yang paling umum digunakan adalah kombinasi dari sistem
penilaian aldrete dan penilaian sistem tubuh utama. Sistem penilaian
aldrete untuk mengevaluasi aktivitas pernafasan pasien dan
kewaspadaan oksigen. Hipertensi menghasilkan nilai numerik 0 ,1,
atau 2, di daerah tertentu, dengan mewakili 2 tingkat fungsi tertinggi.
Sistem penilaian aldrete adalah yang paling banyak Menggunakan
sistem penilaian di PACU walaupun nilai prediktif dalam
menentukan pemulihan dari anestesi belum diteliti secara prospektif
(Mangku et al, 2017: Butterworth, 2018).
Tabel 2. Aldrete Score
Parameter Skor
Aktivitas
 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
 Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
 Tidak dapat bergerak 0
Respirasi
 Dapat bernapas dalam dan batuk 2
 Dangkal namun pertukaran adekuat 1
 Apnea atau obstruksi 0
Sirkulasi
 Tekanan darah menyimpang < 20 % dari preanestesi 2
 Tekanan darah menyimpang 20 – 50 % preanestesi 1
 Tekanan darah menyimpang > 50 % preanestesi. 0
Kesadaran
 Sadar, siaga, orientasi baik 2
 Bangun namun cepat kembali tertidur 1
 Tidak berespon 0
23

Saturasi oksigen
 Saturasi oksigen > 90 % oksigen ruangan 2
 Saturasi oksigen > 90 % dengan oksigen tambahan 1
 Saturasi oksigen < 90 % dengan oksigen tambahan 0
Jika jumlahnya > 8 pasien dapat dipindahkan ke ruangan

2.5 Obat-obat Anestesi


2.5.1 Obat premedikasi:
1. Obat Antikolinergik (muskarinik)
Sulfat Atropin
Sulfat atropine termasuk golongan antikolinergik yang
bekerja pada reseptor muskarinik (antimuskarinik),
menghambat transmisi asetil kolin yang dipersarafi oleh serabut
pasca ganglionerkolinergik. Pada ganglion otonom dan otot
rangka serta pada tempat asetil kolin. Penghambatan atrofin
hanya terjadi pada dosis sangat besar. Pada dosis kecil (0,25
mg) atrofin hanya menekan sekresi air liur, mucus, bronkus dan
keringat. Sedangkan dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan
penghambatan nervus vagus terhadap jantung baru terlihat pada
dosis besar. Dosis yang lebih besar lagi diperlukan untuk
menghambat peristaltic usus dan sekresi asam lambung.
Hanbatan oleh atrofin bersifat reversible dan dapat diatasi oleh
pemberian asetil kolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian
asetilkolin esterase (Mangku et al, 2017; Windmann et al,
2019).
Farmakokinetik
Atropine bekerja melalui reseptor kolinergik, yakni
reseptor nikotinik dan reseptor muskarinik dan berbagai
subtipenya.5 Reseptor nikotinik dibagi 2 yaitu :

Reseptor nikotinik neuronal (NN) yaitu reseptor nikotinik
yang terdapat di ganglion otonom, medulla adrenal dan
SPP.
24


Reseptor nikotinik otot (NM) yaitu reseptor nikotinik yang
terdapat sambungan saraf otot
Reseptor muskarinik ada 5 subtipe yakni :

Reseptor M1 di ganglia dan berbagai kelenjar

Reseptor M2 di jantung

Reseptor M3 di otot polos dan kelenjar

Reseptor M4 mirip M2

Reseptor M5 mirip M1
Hambatan oleh atropine bersifat reversible dan dapat
dilatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan
atau pemberian antikolinestrase. Atropine memblok asetilkolin
endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat
terhadap eksogen.
Kepekaan reseptor muskarinik terhadap antimuskarini
berbeda antar organ. Pada dosis kecil (0,25 mg) misalnya,
atropine hanya menekan sekresi air liur, mucus, bronkus dan
keringat dan belum jelas mempengaruhi jantung. Dosis yang
lebih besar (0,5-1.0 mg) baru terlihat dilatasi pupil, gangguan
akomodasi dan penghambatan nervus vagus sehingga terlihat
takikardi. Diperlukan dosis yang lebih besar lagi untuk
menghambat peristaltic usus dan sekresi asam lambung.
Penghambatan pada reseptor muskarinik ini mirip denervasi
serabut pascaganglion kolinergik dan pada keadaan ini biasanya
efek adrenergic menjadi lebih nyata (Mangku et al, 2017;
Windmann et al, 2019).
Efek pada sistem organ :
- Sistem Saraf Pusat :
Pada dosis biasa atropin mempunyai efek stimulansia
minimal pada SSP, terutama pusat-pusat parasimpatis di
medulla, dan efek sedatif yang lebih lambat, dan tahan lama di
dalam otak. Skopolamin mempunyai efek sentral yang nyata,
25

menghasilkan efek ngantuk ketika diberikan pada dosis terapi


dan amnesia pada individu yang sensitif. Tremor pada
parkinson yang merupakan akibat dari aktifitas kolinergik yang
berlebihan dan defisiensi sistem dopaminergik pada sistem
ganglia basalis stratum, dapat dihilangkan oleh atropin.dalam
dosis toksik dapat mengakibatkan eksitasi, agitasi, halusinasi
dan koma (Mangku et al, 2017; Windmann et al, 2019; Ghazal
et al, 2019).
- Mata.
Otot konstriktor pupil bergantung pada aktivitas
kolinoseptor muskarinik. Aktivitas ini secara efektif diblok oleh
atropin topikal yaitu mencegah efek perangsangan
kolinomimetik, sehingga terjadi midriasis (pelebaran pupil), dan
paralisis otot siliaris mata (sikloplegia) dengan gejala hilangnya
daya akomodasi untuk melihat dekat. Obat ini juga berpotensi
membahayakan, karena galukoma akut bisa dipercepat
kemunculannya pada pasien dengan sudut kamar depan yang
sempit juga keringnya kelenjar air mata (Windmann et al, 2019;
Ghazal et al, 2019).
- Sistem Kardiovaskular.
Atrium dan nodus sinoatrial sangat kaya dengan
persarafan parasimpatis, sehingga efek atropin sangat nyata
karena penghambatan reseptor muskarinik. Pada dosis sedang
dan tinggi menimbulkan takikardia. namun pada dosis kecil
efek perangsangan pusat vagus memberi bradikardia. Demikian
pula terhadap nodus AV, namapak adanya pengurangan interval
PR pada EGC dengan menghalangi reseptor-reseptor
muskarinik pada nodus AV. Efek muskarinik pada atrium juga
terhalang. Pada dosis toksis, atropin dapat memblok konduksi
AV yang mekanismenya tidak diketahui. Vasodilatasi karena
perangsangan simpatis kolinergik pada otot rangka dapat
26

dilawan oleh atropin, sedangkan efeknya langsung pada


pembuluh darah tidak ada karena pembuluh darah tidak
diinervasi oleh parasimpatis. Efek jaringan kardiovaskular dari
atropine pada pasien dengan hemodinamika normal tidak
dramatis, takikardi mungkin muncul, tetapi hanya mempunyai
efek kecil pada tekanan darah (Windmann et al, 2019; Ghazal
et al, 2019).
- Sistem Pernafasan.
Penghambatan atropin terhadap reseptor muskarinik
pada bronkus dan kelenjarnya menyebabkan bronkodilatasi dan
pengurangan sekresi. Efeknya lebih dramatis pada pasien
dengan penyakit saluran napas. Pada beberapa pasien asma
dapat berguna dan pasien penyakit paru obstruksi menahun.
Keuntungan lain untuk pengurangan sekresi dan pencegahan
spasme laring akibat penggunaan anestesi inhalasi (Windmann
et al, 2019; Ghazal et al, 2019).
- Saluran Gastrointestinal.
Blokade reseptor muskarinik mempengaruhi motalitas
dan beberapa sekresi usus. Namun, karena hormonlokal dan sel-
sel saraf nonkolinergik pada sistem saraf enteric juga
memodulasi fungsi gastrointestinal, maka penghalang
muskarinik yang lengkap tidak bisa menghapuskan secara
sempurna aktivitas di sistem organ ini. Efek obat
antimuskarinik pada sekresi saliva terlihat jelas, mulut kering
merupakan gejala yang sering terjadi pada pasien yang
meminum obat antimuskarinik, parkinson atau ulkus peptikum,
sekresi lambung diblokade dengan kurang efektif. Piperazin
lebih selektif dari pada atropin dalm mengurangi asam
lambung. Sekresi pankreas dan usus hanya sedikit
dipengaruhi atropin. Penghambatan motilitas lebih nyata
dengan penurunan tonus dan gerakan dan propulasi usus, oleh
27

karena waktu penggosongan lambung memanjang dan


mengurangi diare. Efek paralisis ini bersifat sementara.
Beberapa obat ini berefek spasmolitik cukup baik.
- Saluran urinaria.
Merelaksasi dinding kandung kemih pada kasus infeksi
kandung kemih, pada lansia harus hati-hati karena timbul
retensi urin. Pada uterus tidak berefek.

- Kelenjar Keringat.
Reseptor muskarinik pada kelenjar keringat yang berasal
dari persarafan simpatis sangat peka dengan atropin. Pada bayi
dan anak-anak justru mengakibatkan naiknya suhu tubuh karena
berkeringat “atropin fever” pada dewasa baru terjadi pada dosis
besar (Windmann et al, 2019; Ghazal et al, 2019).
Farmakodinamik :
Atropine mudah diserap disemua tempat, kecuali di
kulit. Pemberian atropin sebagai obat tetes mata, terutama pada
anak-anak dapat menyebabkan absorpsi dalam jumlah yang
cukup besar lewat mukosa nasal, sehingga menimbulkan efek
sistemik dan bahkan keracunan. Dari sirkulasi darah, atropine
cepat memasuki jaringan dan separuhnya mengalami hidrolisis
enzimatik dihepar. Sebagian di eksresi melalui ginjal dalam
bentuk basal. Waktu paruh atropinsekitar 4 jam.
Dosis dan sediaan
 Intramuscular, dosis 0,01 mg/kgBB, diberikan 30-45 menit
sebelum induksi
 Intravena, dosis 0,005 mg/kgBB, diberikan 10-15 menit
sebelum induksi.
Kontraindikasi :
- Jangan diberikan pada pasien-pasien dengan gangguan
urethra- prostat, gangguan jantung dan glukoma
28

- Jangan diberikan pada anak dengan demam tinggi


- Dapat menyebabkan : retensi urin, mulut kering,
konstipasi, pusing, sakit kepala, dilatasi pupil dan
takikardi.
- Berikan dengan hati-hati dan dibawah pengawasan ketat
pada pasien-pasien yang sedang memakai obat-obat
antikolinergik yang lain (antidepresan, neuroleptik, H-1
antihistamin, antiparkinson)
- Cegah pemakaian pada wanita menyusui, tidak ada
kontraindikasi pada wanita hamil (Butterworth, 2018;
Wang et al, 2021).
2. Obat Sedative
1. Midazolam
Mekanisme kerja :
Sebagai agonis benzodiazepine yang terikat dengan
spesifitas yang tinggi pada reseptor benzodiazepine, sehingga
mempertinggi daya hambatan neurotransmitter susunan saraf
pusat direseptor GABA sentral. Mempunyai efek sedasi dan
anticemas yang bekerja pada sistem limbic dan pada ARAS
serta bisa menimbulkan amnesia anterograd (Windmann et al,
2019; Ghazal et al, 2019).
Metabolisme :
Hati merupakan tempat utama proses metabolisme,
dan hampir semua obat mengalami hidroksilasi pada ikatan
metil pada cincin imidazol ke αhidroksimidazolam atau ke 4 -
hidroksimidazolam, dimana keduanya dikonjugasi dengan
cepat di hati. Kedua metabolit inisial juga dapat mengalami
hidroksilasi panjang ke dihidroksi α, 4 bentuk ini kemudian
terkonjugasi menjadi glukoronida. Metabolit utama adalah α-
hidroksimetilmidazolam, yang memiliki beberapa aktivitas
farmakologik, namun dikunjugasi dengan cepat dan tidak
29

memilki arti klinis. Eliminasi pada hati bergantung pada


aliran darah. Perubahan pada aliran darah di hati dapat
merubah klirens. Metabolisme ekstrahepatik juga dapat
terjadi. Klirens midazolam dari darah, cepat dan 10 kali lebih
cepat dibandingkan diazepam. Sekitar setengah liter plasma
dibersihkan perjam per kilogram.
Farmakodinamik :
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan
dengan cepat melalui sawae darah otak. Hanya 50% dari obat
yang diserap yang akan masuk ke sirkulari sistemik karena
metabolism porta hepatic yang tinggi. Sebagian besar
midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan
protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan
lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke
jaringan yang tidak begitu aktif juga dengan klirens yang
cepat. Waktu paruh midazolam 1-4 jam. Waktu paruh
meningkat pada usia tua dan gangguan faal hati. Pada pasien
obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat
banyak berikatan dengan lemak. Biotransformasi midazolam
dimediasi oleh gastrointestinal. Metabolic ini dikonjugasi
dengan asam glukoronat mejadi satu hidroksi midazolam
glikoronat yang dieksresikan melalui ginjal.
Farmakokinetik dan Biotransformasi :
Mebolisme midazolam terjadi di liver oleh reaksi
hidroksilasi membentuk tiga metabolit utama. Metabolit
utama tersebut tidak mempunyai aktivitas farmakologis.
Waktu paruh (α-half life – distribusi ) midazolam pendek
yaitu 4-18 menit serta β-half life ( metabolisme sampai
ekskresi) 1,7 sampai 2,4 jam, sehingga aman digunakan
dalam prosedur sedasi rawat jalan. Perbandingan midazolam
dan diazepam adalah (1) metabolit utama diazepam bersifat
30

aktif; (2) waktu paruh β ( β- half life) diazepam adalah 31,3


jam. Midazolam terikat dalam protein sebanyak 94%,
terutama berikatan dengan serum albumin. Midazolam
mempunyai onset kerja yang cepat. Midazolam mempunyai
efek anterograde amnesia. Keuntungan midazolam sebagai
agen sedatif untuk anak adalah efek amnesia, anti kejang,
ansiolitik dan pelemas otot (Windmann et al, 2019; Ghazal et
al, 2019).

Cara Pemberian dan Dosis Midazolam:


Midazolam dapat diberikan dengan berbagai cara dengan
dosis yang berbeda untuk mendapatkan efek sedasi yang
diharapkan. Pemberian midazolam dapat dilakukan secara per
rectal, intranasal, intramuskular, intravena dan per oral. Dosis
yang disarankan untuk pasien anak secara per oral adalah
0,25- 1,0mg/kg BB. Walaupun midazolam relatif aman, tetapi
dapat menyebabkan depresi pernafasan apabila digunakan
dalam dosis yang besar.. Sediaan midazolam peroral dalam
bentuk sirup dengan konsentrasi 2mg/ml dalam botol 118 ml
sudah ada dipasaran, tetapi sampai saat ini masih banyak
klinisi yang menggunakan sediaan untuk intravena yang
diberikan secara peroral (Windmann et al, 2019; Ghazal et al,
2019).
3. Obat Anti Emetik
1. Serononin 5- Hidroksi-Triptamin (5-HT)
 Ondansentron
Serotonin, 5-Hidroksi-Triptamin (5-HT) terdapat
dalam jumlah yang besar pada trombosit dan traktus
gastrointestinal (sel enterochromafin dan pleksus
myentericus). Serotonin juga merupakan neurotransmiter
penting pada sistem saraf pusat, meliputi retina, sistem
31

limbik, hipotalamus, cerebelum, dan medula spinalis.


Serotonin dibentuk dari proses hidroksilasi dan
dekarboksilasi triptofan. Fisiologi serotonin sangat kompleks
karena serotonin sendiri memiliki tujuh tipe reseptor dengan
banyak subtipe. Salah satu reseptornya yang berperan dalam
mekanisme terjadinya mual dan muntah adalah 5-HT3,
ditemukan pada traktus gastrointestinal dan area postrema
otak. Pada traktus gastrointestinal, serotonin menginduksi
pembentukan asetilkolin pada pleksus myentericus melalui
reseptor 5-HT3 yang menyebabkan bertambahnya peristaltik,
sedangkan pengaruh pada sekresi lemah.
Farmakokinetik :
Farmakokinetik Ondansetron dapat diberikan secara
oral dan parenteral. Pada pemberian oral, dosis yang
diberikan adalah 4-8 mg/kgBB. Pada intravena diberikan
dosis tunggal ondansetron 0,1 mg/BB sebelum operasi atau
bersamaan dengan induksi. Pada pemberian oral, obat ini
diabsorbsi secara cepat. Ondansetron di eliminasi dengan
cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara
hidroksilasi dan konjugasi dengan glukoronida atau sulfat di
hati. Pada disfungsi hati terjadi penurunan kadar plasma dan
berpengaruh pada dosis yang diberikan. Kadar serum dapat
berubah pada pemberian bersama fenitoin fenobarbital dan
rifampin). Efek ondansetron terhadap kardiovaskuler sampai
batas 3 mg/kgBB masih aman, clearance ondansetron pada
wanita dan orang tua lebih lambat dan bioavailabilitasnya
60%, ikatan dengan protein 70-76%, metabolisme di hepar,
diekskresi melalui ginjal dan waktu paruh 3,5-5,5 jam. Mula
kerja kurang dari 30 menit, lama aksi 6-12 jam (Butterworth,
2018; Wang et al, 2021).
Farmakodinamik :
32

Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor


serotonin (5-HT3) merupakan obat yang selektif
menghambat ikatan serotonin dan reseptor 5-HT3. Obat-obat
anestesi akan menyebabkan pelepasan serotonin dari sel-sel
mukosa enterochromafin dan dengan melalui lintasan yang
melibatkan 5-HT3 dapat merangsang area postrema
menimbulkan muntah. Pelepasan serotonin akan diikat
reseptor 5-HT3 memacu aferen vagus yang akan
mengaktifkan refleks muntah. Serotonin juga dilepaskan
akibat manipulasi pembedahan atau iritasi usus yang
merangsang distensi gastrointestinal.
Efek antiemetik ondansetron terjadi melalui :
a) Blokade sentral pada area postrema (CTZ) dan nukleus
traktus solitarius melalui kompetitif selektif di reseptor 5-
HT3
b) Memblok reseptor perifer pada ujung saraf vagus yaitu
dengan menghambat ikatan serotonin dengan reseptor
pada ujung saraf.
Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi :
Pengobatan dengan ondansetron adalah pencegahan
mual dan muntah yang berhubungan dengan operasi dan
pengobatan kanker dengan radioterapi dan sitostatika.
Kontraindikasi pengobatan dengan ondansetron adalah
keadaan hipersensitivitas dan penyakit hati.
Efek Samping:
Keluhan yang umum ditemukan ialah konstipasi.
Gejala lain dapat berupa sakit kepala, flushing, mengantuk,
gangguan saluran cerna, nyeri dada, susah bernapas.
Penggunaan Klinik:
Ondansetron digunakan untuk pencegahan mual dan
muntah yang berhubungan dengan operasi dan pengobatan
33

kanker dengan radioterapi dan sitostatika. Ondansetron biasa


diberikan secara oral dan intravena atau intramuskuler. Awal
kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara perlahan melalui
intravena atau infus untuk 15 menit sebelum tindakan
operasi. Dan disusul pemberian oral dengan dosis 4-8
mg/kgBB tiap 12 jam selama 5 hari (Butterworth, 2018;
Wang et al, 2021).
2. Antagonis dopamine
Ada berbagai macam obat yang memusuhi dopamin
(D2 reseptor) di CTZ dan karena itu memiliki sifat
antiemetik.

 Fenotiazin
Proklorperazin lebih umum digunakan sebagai anti -
emetik daripada klorpromazin, karena lebih ditandai dengan
efek sedasi dan mengantuk. Keduanya dapat menghasilkan
efek samping ekstrapiramidal dan krisis okulogirik akut
dapat terjadi dengan dosis tinggi dan pengobatan
berkepanjangan. Sindrom neuroleptik ganas (katatonia,
ketidakstabilan kardiovaskular, hipertermia dan
myoglobinaemia - kematian lebih dari 10 %) telah
dilaporkan dalam hubungan dengan proklorperazin.
(Butterworth, 2018; Wang et al, 2021).
 Metoklopromid
Selain memiliki efek pada CTZ, metoklopromid
memiliki tindakan prokinetik pada usus, mempromosikan
pengosongan lambung dan meningkatkan tekanan
penghalang dari sfingter esofagus lebih rendah (sekitar 17
mmHg). Meskipun banyak digunakan sebagai bukti
antiemetik untuk kemanjurannya dalam mengobati PONV
terbatas. Hal ini mungkin paling dicadangkan untuk
34

digunakan sebelum operasi dalam kasus-kasus di mana ada


bukti tertunda pengosongan lambung atau pasien berisiko
gastro-esofagus refluks. Efek samping ekstrapiramidal dapat
terjadi. Tidak dianjurkan setelah operasi gastrointestinal
yang melibatkan anastamoses. Sindrom neuroleptik ganas
telah dilaporkan dalam hubungan dengan metoklopromid
(Butterworth, 2018; Wang et al, 2021).
Metoklopramid merupakan suatu derivat dari
prokainamid. Metoklopramid merangsang traktus
gastrointestinalis bagian atas dan meningkatkan tonus
sfingter esofagus sebesar 10-20 cmH2O. Sekresi asam
lambung tidak berubah. Efek neto adalah percepatan
pengosongan lambung dan transit usus. Obat ini
mensensitisasi otot polos gastrointesinal terhadap asetilkolin
dan dapat menyebabkan pelepasan asetilkololin dari ujung
saraf kolinergik. Efek antimetik dari antagonisme reseptor
dopamin sentral dan perifer dan inhibisi dari muntah yang
diperantarai zona pemicu kemoreseptor. Metoklopramid
menghasilkan sedasi minimal dan jarang menghasilkan
reaksi ekstra piramida (Butterworth, 2018; Wang et al,
2021).
Farmakokinetik dan Farmakodinamik:
Absorbsi :
Metoklopramid dapat diberikan secara oral atau
parenteral. Diabsorbsi cepat dengan konsentrasi plasma
maksimum tercapai 30-60 menit setelah pemberian oral dan
1-3 menit setelah pemberian 0,2 mg/kgBB intravena.
Kadar dalam plasma 40-80 mg/ml setelah pemberian
oral metoklopramid 10 mg pada orang sehat dan puasa.
Metoklopramid dimetabolisme dihati (Butterworth, 2018;
Wang et al, 2021).
35

Distribusi :
Volume distribusi dilaporkan 2,2-3,5 1/kgBB pada orang
dewasa. Dapat melewati placenta, dengan konsentrasi tinggi
pada air susu ibu. Berikatan secara lemah dengan protein
plasma (terutama albumin) yaitu sebanyak 13-30%.
Eliminasi :
Waktu paruh eliminasi (t½α) 5 menit, dengan waktu
paruh distribusit1/2 β 2,5-6 Jam.
Toksisitas
Efeknya pada motilitas gastrointetinal di antagonis
oleh obat-obatan antikolinergik (contohnya atropin) dan
analgesik narkotik; efek sedatif dipotensiasi oleh alkohol,
hipnotik sedatif, penenang, narkotik; mempercepat awitan
aksi dari tetrasiklin, asetaminofen, levodopa, dan etanol,
yang terutama diobsorbsi dalam usus kecil; memperpanjang
lamanya aksi suksinilkolin (melalui pelepasan asetilkolin dan
inhibisi dari kolinesterase plasma); melepaskan katekolamin
pada pasien dengan hipertensi esensial dan feokromositoma;
dapat menimbulkan perasaan ansietas dan kegelisahan yang
sangat setelah suntikan intravena cepat; dapat menimbulkan
reaksi ekstra pyramid
Farmakodinamik
Efek gastrointestinal :
Metoklopramid bekerja secara selektif pada sistem
chilinergik traktus gastrointestinal. Metoklopramid
merangsang motilitas saluran cerna bagian atas tanpa
merangsang sekresi asam lambung, empedu atau pankreas.
Metoklopramid meningkatkan tonus dan amplitudo kontraksi
lambung terutama bagian antral, merelaksasi sfingterpilorus
dan bulbus duodenum, dan meningkatkan peristaltik
duodenumdan yeyunum sehingga terjadi percepatan
36

pengosongan lambung dan transit intestinal. Metoklopramid


meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian bawah pada
keadaan istirahat. Motilitas kolon atau kandung empedu
hanya terpengaruh sedikit oleh metoklopramid (Butterworth,
2018; Wang et al, 2021).
Efek antiemetic :
Efek ini timbul berdasarkan mekanisme sentral
maupun perifer. Secara sentral, metoklopramid
mempertinggi ambang rangsang muntah di Chemoreceptor
Trigger Zone (CTZ), sedangkan secara perifer menurunkan
kepekaan saraf visceral yang menghantarkan impuls afferent
dari saluran cerna ke pusat muntah
Efek pada saraf pusat :
Memiliki efek anti mual dan efek sedasi. Efek anti
mual karena kemampuannya pada sistem saraf pusat
memblok reseptor-reseptor dopamine terutama reseptor D-2,
pada Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ).
Efek samping :
Efek samping umumnya ringan dan sangat jarang,
meliputi: mengantuk, disporia, agitasi/gelisah, distonia,
oedem periorbita. Efek samping utama pada kardiovaskular:
hipertensi, hipotensi, aritmia.
Pada SSP : mengantuk, reaksi ekstra piramida akatisia,
insomnia, ansietas. Pada gastrointestinal : mual dan diare.
Lain-lain galaktokel, ginekomastia, hipoglikemia
(Butterworth, 2018; Wang et al, 2021).
4. Kortikosteroid
1. Dexametason
Farmakologi
Deksametason adalah derivat fluorinated prednisolon dan
isomer dengan betametason. Deksametason merupakan derivat
37

steroid yang memiliki durasi panjang. Memiliki efek seperti


glukokortikoid yang memiliki efek utama terhadap penyimpanan
glikogen hepar, anti inflamasi dan sedikit berpengaruh terhadap
keseimbangan air dan elektrolit. Deksametason dilaporkan
pertama kali efektif sebagai antiemetik dan terbukti aman pada
pasien yang menjalani kemoterapi kanker tahun 1981. Penelitian
yang dilakukan saat ini menunjukkan bahwa deksametason
terbukti efektif sebagai profilaksis PONV, paling sedikit sama
efektifnya dengan droperidol dan antagonis serotonin jika
digunakan sebagai agen tunggal (Butterworth, 2018; Wang et al,
2021).
Mekanisme kerja deksametason dengan inhibisi
pelepasan asam arachidonat, modulasi substansi yang berasal
dari metabolisme asam arachidonat, dan pengurangan jumlah 5-
HT3. Deksametason mempunyai efek antiemetik, diduga melalui
mekanisme menghambat pelepasan prostaglandin (inhibisi
pelepasan asam asam arachidonat dan modulasi substansi yang
berasal dari metabolisme asam arachidonat) secara sentral
sehingga terjadi penurunan kadar 5-HT3 di sistem saraf,
menghambat pelepasan serotonin di saluran cerna sehingga tidak
terjadi ikatan antara serotonin dengan reseptor 5-HT3, pelepasan
endorfin, dan anti inflamasi yang kuat di daerah pembedahan
dan diduga glukokortikoid mempunyai efek yang bervariasi pada
susunan saraf pusat dan akan mempengaruhi regulasi dari
neurotransmitter, densitas reseptor, transduksi sinyal dan
konfigurasi neuron (Butterworth, 2018; Wang et al, 2021).
Reseptor glokokortikoid juga ditemukan pada nukleus
traktus solitarius, nukleus raphe, dan area postrema, dimana init-
inti tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas
mual dam muntah. Efek antiemetik deksametason juga
dihubungkan dengan supresi dari adrenokortikotropin yang
38

telah diteliti responnya terhadap stimulasi gerakan. Hal ini


menyebabkan deksametason paling efektif untuk mencegah
PONV pada pasien yang mengalami mabuk perjalanan (motion
sickness) (Ghazal et al, 2019).
Farmakokinetik :
 Onset deksametason secara intravena cepat, hanya dalam
beberapa menit sampai setengah jam, larut dalam air dan
tidak berikatan dengan protein.
 Durasi selama 36-54 jam.
 Absorbsi pada pemberaian oral dan intravena baik.
 Metabolisme di hepar dan ekskresi melalui ginjal.
Farmakodinamik :
Efek terhadap kardiovaskuler
Dilaporkan pengaruh glukokortikoid terhadap
keseimbangan air dan elektrolit kecil, tetapi kelebihan
glukokortikoid dapat berakibat retensi air dan hipertensi pada
pemakaian jangka panjang (oleh karena meningkatnya
substrat rennin dan reaktivitas vaskuler).
Efek terhadap sistem imunitas
Pemberian deksametason jangka panjang dan dosis
besar dapat menyebabkan penekanan terhadap sistem
imunitas.
Efek terhadap gastrointestinal
Dapat meningkatkan tukak lambung.
Efek terhadap tubuh lainnya Pada pemakaian jangka panjang
dapatterjadi gangguan psikotik. Akibat pengaruhnya
terhadap metabolisme lemak, pemberian deksametason yang
berlebihan akan berakibat moon face, buffalo hump, kulit
tipis dan striae. Dapat berakibat pula kegagalan
pembentukan matriks tulang dan kegagalan absorbsi
kalsium.
39

Dosis :
Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa
adalah 5-10 mg (evidence based IIA) dan pada anak 150
µg/kgBB (IIA). Deksametason paling efektif bila diberikan
sebelum induksi anestesi (IIIA) Walaupun batas dosis
deksametason untuk profilaksis PONV sangat luas namun
dosis 2,5mg, 5mg, dan 0,15mg/kgBB intravena dilaporkan
bermakna menurunkan kekerapan PONV yang berhubungan
dengan pembedahan ginekokogi dan laparoskopi ginekologi
Efek Samping :
Dengan dosis deksametason 5 mg intravena yang
diberikan sebelum induksi anestesi sebagai agen tunggal
terbukti tidak terdapat efek samping yang signifikan sepeti
pada penggunaan steroid dosis tinggi atau pemakaian lama
(Laksono et al, 2020).

2. H2-receptor bloker
 Ranitidine
Ranitidin hidroklorida adalah H2-receptor
blocker. Obat ini mengurangi sekresi asam lambung yang
dirangsang oleh histamine maupun gastrin dan agen
kolinomimetik. Ranitidin banyak diresepkan dalam
pengobatan ulkus duodenum aktif,ulkus lambung,
gastroesophageal reflux disease dan esofagitis erosif
yang direkomendasikan pada sediaan oral dewasa 150mg
dua kali sehari atau 300mg sekali sehari.
Reseptor H-2 sebagai mediator penting dalam asam
lambung. Reseptor Histamin berada pada lapisan
basolateral dan sel parietal. Adanya histamin pada
reseptor H-2 akan mengakivasi adenilsiklase dan terjadi
peningkatan konsentrasi cyclic-adenosinmonophosphate
(c-AMP) intraseluler. Peningkatan konsentrasi cAMP
40

mengaktivasi pompa proton (hidroksida kalium APT-ase)


pada sel parietal untuk mensekresi ion hidrogen (H+)
menggantikan posisi ion kalium (K+). Reseptor H-2
secara selektif dan kompetitif menghambat pengikatan
histamin pada reseptor H-2, selanjutnya menurunkan
konsentrasi c- AMP pada sel parietal. Ranitidin memiliki
kelarutan yang tinggi pada suhu 37°C pada rentang pH 1
- 7,4 (Mangku et al, 2017).
Ranitidin diabsorbsi sangat baik di lambung dan
dalam jumlah yang lebih kecil di usus halus.
Bioavailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral 50-
60% dan memiliki waktu paruh 2- 3 jam pada orang
dewasa dan memanjang pada orang tua dan pasien gagal
ginjal. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama
dihati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral.
Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui
ginjal sisanya melalui tinja. NSAID merupakan substrat
dan dimetabolisme oleh isozym CYP2C9 dan pengikatan
ranitidin dapat menghambat metabolisme NSAID pada
isozym yang sama. Ranitidin merupakan inhibitor lemah
dalam menghambat isozym CYP2C9 dibandingkan
dengan obat reseptor H-2 yang lain (Laksono et al,
2020).
5) Obat analgetik
• Ketorolak
Ketorolak adalah suatu obat analgetik anti inflamasi
non steroid (OAINS) yang menunjukkan efek analgesik yang
potensial namun efek anti inflamasinya sedang, dapat
diberikan secara intramuskular atau intravena. Obat ini
sangat berguna untuk mencegah nyeri pasca bedah, baik
sebagai obat tunggal atau diberikan bersama opioid.
41

Ketorolak 30 mg intra muskular memberikan efek analgesia


yang setara dengan morfin 10 mg atau meperidin 100 mg.
Keuntungan penting dari ketorolak untuk terapi analgesi
yaitu tidak menimbulkan depresi pernafasan atau depresi
kardiovaskular (Mangku et al, 2017; Karthick et al, 2019).
Farmakokinetik :
Ketorolak dimetabolisme terutama oleh sitokrom
P450 kemudian dikonjugasi asam glukoronat. Pada
pemberian dosis tunggal intravena waktu paruh 5,2 jam,
puncak analgetik dicapai dalam 2 jam. Lama analgetik 4 - 6
jam. Ekskresi terutama melalui ginjal (91,4 %) dan melalui
feses (6,1 %) (Mangku et al, 2017; Karthick et al, 2019)
Farmakodinamik :
Ketorolak merupakan suatu analgesik non narkotik.
Obat ini merupakan obat anti inflamasi non steroid yang
menunjukkan aktivitas anti piretik yang lemah dan anti
inflamasi. Ketorolak mengganggu sintesis prostaglandin
dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX) dan
dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena
tidak mempunyai efek terhadap reseptor opioid (Mangku et
al, 2017; Karthick et al, 2019)
2.5.2 Obat induksi
1. Fentanyl
Fentanyl merupakan derivat agonis opioid sintetis fenil
piperidine yang strukturnya berasal dari meperidin. Sebagai
analgesik, fentanyl lebih poten 75-125 kali dibanding morfin.
Farmakokinetik Dosis tunggal fentanyl yang diberikan secara
intravena memiliki onset yang lebih cepat dan durasi aksi yang
pendek dibanding morfin. Meskipun kesan klinis bahwa fentanyl
menghasilkan onset cepat, jeda waktu yang berbeda terjadi antara
konsentrasi fentanyl plasma puncak dan puncak perlambatan pada
42

EEG (effect-site equilibration time antara darah dan otak). Saat dosis
intravena multipel diberikan, atau diberikan infus kontinyu, terjadi
saturasi progresif pada jaringan yang inaktif. Sehingga plasma
konsentrasi fentanyl tidak turun secara cepat, dan durasi
analgesianya dapat memanjang, begitu juga dengan efek depresi
ventilasinya. Metabolisme Norfentanyl secara struktur mirip
normoperidin dan merupakan metabolit utama fentanyl pada
manusia. Aktifitas farmakologinya diperkirakan minimal. Waktu
Paruh Context-sensitive Karena durasi infus kontinyu fentanyl
meningkat diatas 2 jam, waktu paruh contextsensitif opioid ini
menjadi lebih besar dibanding sufentanyl. Hal ini menggambarkan
saturasi fentanyl pada jaringan inaktif selama pemanjangan waktu
penginfusan dan kembalnya opioid dari perifer ke plasma. Bypass
Kardiopulmoner Semua opioid menunjukkan penurunan konsentrasi
plasma dengan adanya bypass kardiopumoner. Kegunaan Klinis
Dosis rendah fentanyl, 1-2 µg/kg IV, diinjeksikan untuk
mendapatkan analgesia. Fentanyl 2-20 µg/kg IV, dapat diberikan
sebagai adjuvan anestesi inhalasi untuk mengaburkan respon
sirkulasi pada (a) laringoskopi direk untuk intubasi endotrakhea,
atau (b) perubahan mendadak karena stumulasi bedah. Penentuan
waktu ijeksi fentanyl intravena untuk mencegah atau memperbaiki
respon harus berdasarkan waktu effect-site equiibration, dimana
fentanyl lebih lama daripada alfentanil dan remifentanil. Dosis
tinggi fentanyl, 50-150 µg/kg IV, telah digunakan tunggal untuk
memproduksi anestesi dalam pembedahan. Dosis tinggi tunggal
fentanyl memiliki keuntungan hemodinamik yang stabil karena (a)
rendahnya efek depresi miokard, (b) tidak adanya histamin release,
(c) supressi stress respon terhadap pembedahan. Fentanyl dapat
diberikan melaluri preparat transmukosa (fentanyl oral transmukosa)
bentuk desain khusus untuk memberikan 5-20 µg/kg fentanyl.
Sistem fentanyl transdermal diberikan sebelu induksi anestesi dan
43

habis dalam 24 jam, menurunkan keperluan opioid parentral untuk


analgesia postoperasi. Efek samping Efek samping fentanyl mirip
dengan opioid Efek kardiovaskuler (Mangku et al, 2017).
Jika dibandingkan dengan morfin, fentanyl, bahkan dalam dosis
tinggi (50 µg/kg IV), tidak menimbulkan pelepasan histamin.
Bradikardi lebih sering pada fentanyl daripada morfin dan dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah dan kardiak output yang
ocasional. Aktifitas seizure jika tidak didapatkan aktifitas kejang
pada EEG, sangat sulit untuk membedakan kekakuan otot rangka
atau mioklonik karena opioid dari aktifitas seizure. Tekanan
Intrakranial Pemberian fentanyl dan sufentanil pada pasien cedera
kepala diketahui meningkatkan TIK sebesar 6- 9 mHg, meskipun
tidak merubah PaCO2. Peningkatan TIK ini terjadi bersamaan
dengan penurunan mean arterial pressure dan cerebral perfusion
pressure. Interaksi obat Konsentrasi analgesik fentanyl berpotensiasi
sangat besar dengan efek midazolam dan menurunkan kebutuhan
dosis propofol. Kombinasi opioid dan benzodiazepin memberikan
sinergisme dalam hipnosis dan depresi ventilasi (Mangku et al,
2017).
2. Propofol
Propofol adalah modulator selektif reseptor GABA yang
merupakan neurotransmiter inhibitor utama di sistem saraf pusat.
Saat reseptor GABA diaktifkan akan terjadi peningkatan konduksi
klorida transmembran sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel
post-sinap dan inhibisi fungsi neuron post-sinap. Interaksi antara
propofol dengan reseptor GABA menurunkan kecepatan disosiasi
neurotransmiter inhibisi (GABA) dari reseptornya sehingga
memperpanjang efek GABA (Mangku et al, 2017).
Struktur Bangun dan Karakteristik Propofol :
Propofol adalah bagian dari grup alkylphenol yang memiliki
kemampuan hipnotik pada binatang coba. Propofol (2,6-
44

diisophropyl-phenol) terdiri dari cincin phenol dengan dua gugus


isoprophyl. Karakteristik potensi, kecepatan induksi dan waktu
pemulihan sangat dipengaruhi oleh panjangnya rantai alkilphenol
ini. Propofol tidak larut dalam air tetapi merupakan suatu emulsi
minyak dan air. Alkylphenol menjadi minyak dalam temperatur
kamar dan tidak larut dalam larutan air, namun propofol sangat larut
lemak. Pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap telur belum
tentu akan alergi terhadap propofol karena kebanyakan reaksi alergi
telur disebabkan oleh bagian putih telur, sedangkan lecitin telur
berasal dari ekstraksi kuning telur. Keburukan propofol yang
dirasakan oleh pasien adalah nyeri yang timbul saat penyuntikan
oleh karena formula yang beredar memiliki keasaman pH sekitar 7.
Formula propofol di atas sangat mudah menjadi media tumbuh
bakteri, sehingga tehnik seril sangat diperlukan dalam penggunaan
propofol dan sebaiknya tidak melebihi 6 jam dari saat pertama kali
mebuka ampul obat.Saat ini propofol sudah mengandung 0,005%
disodium edetate atau 0,025% sodium metabisulfite untuk
mengurangi pertumbuhan mikroorganisme walaupun hal ini
belumlah memenuhi standar pharmacopie Amerika Serikat. Semua
formula yang tersedia secara komersial stabil pada suhu kamar dan
tidak sensitif terhadap cahaya. Jika diperlukan dalam konsentrasi
yang lebih rendah dalam larutan, sebaiknya dilarutkan dalam
dextrose 5% air (D5W) secara teori larutan ini akan mengakibatkan
sedikit perubahan pada farmakokinetik, pemecahan emulsi,
degradasi spontan propofol dan kemungkian perubahan efek
farmakologi (Mangku et al, 2017; Webb et al, 2018).
Farmakokinetik Propofol :
a. Absorpsi
Sediaan propofol di pasaran sebagai induksi anestesi hanya
untuk penggunaan intravena saja dan memberikan efek sedasi
sedang sampai berat (Mangku et al, 2017; Webb et al, 2018).
45

b. Distribusi
Tingginya tingkat kelarutan propofol dalam lemak
menyebabkan onset kerja cepat. Waktu yang diperlukan dari
saat pertama kali diberikan bolus sampai pasien terbangun
(waktu paruh) sangat singkat yaitu 2-8 menit. Waktu paruh
eliminasi sekitar 30-60 menit. Banyak peneliti yang mempunyai
pendapat yang sama bahwa waktu pemulihan propofol lebih
cepat dan kurangnya perasaan seperti mabuk dibandingkan obat
lain (methohexital, thiopental atau etomidate). Hal ini
menyebabkan propofol menjadi pilihan untuk anestesi rawat
jalan (one day care). Sehubungan dengan volume distribusi
yang lebih rendah pada orang dewasa maka kebutuhan dosis
induksi lebih rendah dan perempuan memerlukan dosis yang
lebih besar dibanding laki-laki juga waktu bangun pada
perempuan lebih cepat (Mangku et al, 2017; Webb et al, 2018).
Farmakokinetik propofol digambarkan sebagai model 3
kompartemen, dimana pada pemberian bolus propofol, kadar
propofol dalam darah akan menurun dengan cepat akibat
adanya redistribusi dan eliminasi. Waktu paruh distribusi awal
dari propofol adalah 2-8 menit. Pada model tiga kompartemen
waktu paruh distribusi awal adalah 1-8 menit, yang lambat 30-
70 menit dan waktu paruh eliminasi 4- 23,5 jam. Waktu paruh
yang panjang diakibatkan oleh karena adanya kompartemen
dengan perfusi terbatas. Context sensitive half time untuk infus
propofol sampai 8 jam adalah 40 menit. Propofol mengalami
distribusi yang cepat dan luas juga dimetabolisme dengan cepat.
Waktu yang diperlukan untuk bangun dari anestesi atau sedasi
dari propofol hanya 50%, sehingga waktu pulih sadar dari
propofol tetap cepat meskipun pada infus kontinyu yang lama.
Biotransformasi Tingginya tingkat bersihan (clearence)
propofol di hepar (hampir 10 kali lipat dibanding tiopental)
46

menyebabkan cepatnya waktu pemulihan setelah pemberian


infus kontinyu (Mangku et al, 2017; Webb et al, 2018).
Ekskresi :
Walaupun metabolisme propofol utamanya diekskresikan
melalui ginjal, tetapi penurunan fungsi ginjal tidak
mempengaruhi bersihan propofol.
Farmakodinamik Propofol :
a. Susunan Saraf Pusat
Mekanisme kerja dari propofol adalah dengan
meningkatkan aliran γ-aminobutyric acid (GABA)-induced
chloride melalui ikatan pada subunit β dari reseptor GABA.
Propofol melalui aksinya pada reseptor GABA di
hipokampus menghambat pelepasan asetilkolin di
hipokampus dan korteks prefrontal. Sistem α2-
adrenoreseptor juga tampaknya memainkan peran tidak
langsung dalam efek penenang propofol. Propofol juga
bekerja pada penghambatan dari subtipe N-metil-D- aspartat
(NMDA) dari reseptor glutamat melalui modulasi kanal
sodium, sehingga menyebabkan efek pada sistem saraf
pusat (SSP). Propofol tidak memiliki komponen analgetik.
Dua efek menguntungkan propofol adalah efek antiemetik
dan rasa nyaman pada pasien. Propofol meningkatkan
konsentrasi dopamin di nucleus accumbens. Efek antiemetik
propofol dapat dijelaskan dengan penurunan kadar serotonin
yang dihasilkan dalam daerah postrema, yang mungkin
disebabkan karena penghambatan GABA. Permulaan
hipnosis setelah pemberian dosis 2,5 mg/kg BB sangat cepat
(arm-brain circulation time), dengan efek puncak terlihat
pada 90 sampai 100 detik. Dosis efektif median (ED 50)
propofol untuk hilangnya reflek mata adalah 1 sampai 1,5
mg/kgBB setelah bolus. Durasi hipnosis adalah tergantung
47

dosis, antara 5 sampai 10 menit setelah 2 sampai 2,5


mg/kgBB bolus propofol. Efek propofol pada EEG yang
dinilai setelah pemberian 2,5 mg/kgBB diikuti dengan
pemberian kontinyu menunjukkan peningkatan awal dalam
irama alfa diikuti dengan pergeseran ke gamma dan
frekuensi theta. Pada pemberian pemberian propofol dari
dosis 3µg /mL ke dosis 8 µg/mL awalnya amplitudo akan
meningkat dan diikuti penurunan amplitudo yang nyata bila
diberikan lebih dari 8 µg/mL. Konsentrasi propofol di mana
50% dari orang coba gagal menanggapi perintah lisan
adalah pada dosis 2,5µg/mL. Kejang (gerakan involunter)
setelah pemberian propofol telah dilaporkan, terutama pada
induksi, jarang selama operasi berlangsung dan kadang-
kadang paska operasi. Opistotonus juga pernah dilaporkan
karena pemberian propofol. Rasa nyaman, fantasi sexual
dan halusinasi merupakan efek sentral yang menyenangkan
karena propofol. Dosis propofol menjadi lebih rendah jika
dikombinasikan dengan obat lain. Konsentrasi propofol
(jika dikombinasikan dengan Nitric Acid 66%) diperlukan
selama operasi adalah 1,5-4,5 µg/ mL,dan konsentrasi untuk
operasi besar adalah 2,5-6 µg/ mL (Mangku et al, 2017;
Webb et al, 2018).
b. Kardiovaskular
Efek utama propofol pada sistim kardiovaskular adalah
menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan
systemic vascular resistance (SVR) yaitu dengan
menghambat aktivitas vasokonstriktor oleh sistim simpatis,
menurunkan kontraktilitas otot jantung, dan menurunkan
preload. Kejadian hipotensi pada pemberian propofol lebih
sering terjadi dibandingkan dengan tiopental tetapi biasanya
akan dihilangkan akibat perlakuan saat laringoskopi
48

intubasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian


hipotensi adalah besarnya dosis, kecepatan injeksi dan umur
tua. Efek kardiovaskular propofol telah dievaluasi setelah
penggunaannya untuk induksi dan pemeliharaan anestesi.
Efek yang paling menonjol propofol adalah penurunan
tekanan darah arteri selama induksi anestesi. Terlepas dari
adanya penyakit kardiovaskular, dosis induksi 2 sampai 2,5
mg/kg menghasilkan penurunan 25% sampai 40% dari
tekanan darah sistolik, perubahan serupa terlihat pada
tekanan darah rata-rata dan diastolik. Penurunan tekanan
arteri dikaitkan dengan penurunan curah jantung kurang
lebih 15%, indek volume sekuncup kurang lebih 20%, dan
tahanan vaskular sistemik 15% sampai 25%. Dalam tinjauan
retrospektif terhadap 2406 pasien, Reich menunjukkan
bahwa 9% dari pasien mengalami hipotensi berat, 0 sampai
10 menit setelah induksi anestesi umum. Prediktor
signifikan secara statistik multivarian hipotensi 0 sampai 10
menit setelah induksi anestesi termasuk status fisik ASA
kelas III dengan V, dengan dasar TAR kurang dari 70
mmHg, usia 50 tahun atau lebih, menggunakan propofol
dan fentanil untuk induksi anestesi. Kombinasi propofol
dengan fentanil adalah stimulus utama yang ampuh untuk
hipotensi. Selama pemeliharaan anestesi dengan infus
propofol, tekanan darah sistolik arteri juga menurun
menjadi 20% sampai 30%. Pada pemberian dosis
pemeliharaan propofol 100 µg/kgBB/menit terjadi
penurunan yang signifikan dalam resistensi pembuluh darah
sistemik (30%), tetapi curah jantung dan volume sekuncup
tidak berubah. Efek penekanan pada pembuluh darah
(vasodilatasi), konsumsi oksigen dan penekanan pada otot
jantung jauh lebih jelas terjadi pada saat induksi
49

dibandingkan pada pemeliharaan anestesi. Efek lain


Propofol adalah tidak meningkatkan blokade neuromuskuler
yang dihasilkan oleh obat pelumpuh otot (Mangku et al,
2017; Webb et al, 2018).
c. Respirasi
Apnea bisa terjadi setelah pemberian dosis induksi
propofol, kejadian dan lamanya apnea bergantung pada
dosis, kecepatan injeksi, dan premedikasi yang diberikan
sebelumnya. Sebesar 25% sampai 30% pasien mengalami
apnea selama induksi propofol. Durasi apnea terjadi akibat
propofol dapat diperpanjang hingga lebih dari 30 detik,
namun kejadian apnea yang berkepanjangan (> 30 detik)
meningkat lebih lanjut dengan penambahan opiat, baik
sebagai premedikasi atau sebelum induksi anestesi.
Kejadian apnea dengan propofol lebih sering dibandingkan
dengan anestesi IV umum lainnya yang digunakan untuk
induksi. Permulaan apnea biasanya didahului dengan
pengurangan volume napas ditandai pasang surut dan
takipnea. Infus pemeliharaan propofol (100 µg/
kgBB/menit) menghasilkan penurunan 40% pada tidal
volume dan peningkatan 20% pada frekuensi pernapasan,
dengan perubahan tak terduga dalam ventilasi semenit.
Menggandakan laju infus dari 100 ke 200 mcg/kgBB/menit
menyebabkan penurunan lebih lanjut volume tidal (455-380
mL), tetapi tidak ada perubahan dalam frekuensi
pernapasan. Selama infus pemeliharaan propofol (54
µg/kgBB/menit), PaCO2 cukup meningkat 39-52 mmHg.
Penggandaan laju infus tidak mengakibatkan peningkatan
lebih lanjut dalam PaCO2. Propofol (50-120
µg/kgBB/menit) juga menekan respon ventilasi terhadap
hipoksia, akibat kerja langsung pada kemoreseptor badan
50

karotid. Propofol menyebabkan bronkodilatasi pada pasien


dengan penyakit paru obstruktif kronis. Dalam model
hewan percobaan dengan endotoksemia septik, propofol (10
mg/ kgBB/ jam) secara nyata mengurangi mediasi radikal
bebas dan katalis siklooksigenase peroksidasi lemak.
Manfaat ini belum dikonfirmasi pada manusia. Propofol
pada konsentrasi terapeutik juga melindungi makrofag
tikus dari nitrat oksida-induced apoptosis. Efek Samping
propofol Induksi anestesia menggunakan propofol dapat
mengakibatkan beberapa efek samping, antara lain nyeri
saat injeksi, mioklonus, apneu, penurunan tekanan darah
arteri dan walaupun jarang terjadi, tromboplebitis pada vena
tempat propofol diinjeksikan. Mioklonus terjadi lebih sering
pada propofol dibandingkan dengan tiopental, tetapi lebih
jarang dibandingkan dengan etomidat dan metohexital.
Apneu setelah pemberian propofol biasa terjadi. Insiden
apneu sama dengan setelah pemberian thiopental dan
metohexital, walaupun insiden apneu lebih dari 30 detik
lebih tinggi pada propofol. Penurunan tekanan darah
sistemik adalah efek samping yang paling penting saat
induksi propofol. Mungkin injeksi perlahan dan dosis yang
lebih kecil, pada pasien yang sudah direhidrasi adekuat akan
mencegah turunnya tekanan darah sistemik. Sebaliknya,
efek laringoskopi dan intubasi endotrakeal serta
peningkatan MAP, frekuensi nadi dan SVR secara
bermakna lebih rendah pada pemberian propofol daripada
tiopental. Efek propofol yang paling menonjol adalah
menurunkan tekanan darah arterial selama induksi
anestesia. Dosis induksi 2,0-2,5 mg/kg berat badan
menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik 25-40%.
Perubahan serupa juga terlihat pada tekanan darah diastolik.
51

Biasanya insiden hipotensi akibat pemberian propofol ini


berlangsung selama 5-10 menit pertama setelah induksi.
Propofol dianggap menghambat barorefleks sehingga
menurunkan respon takikardi terhadap hipotensi. Propofol
dapat mengurangi aktifitas saraf simpatis lebih besar
daripada saraf parasimpatis, sehingga parasimpatis lebih
dominan dan dapat menyebabkan bradikardi maupun
asistol pada induksi anesthesia. Nyeri saat injeksi lebih
ringan atau sama dengan etomidat, sama dengan
metohexital dan lebih berat dari tiopental. Nyeri saat injeksi
dapat dikurangi dengan cara injeksi pada vena yang lebih
besar, menghindari injeksi pada vena di dorsum manus dan
menambahkan lidokain pada larutan propofol. Mekanisme
terjadinya nyeri yang disebabkan oleh penyuntikan propofol
sampai saat ini belum jelas karena propofol tersedia dalam
larutan steril, nonpirogenik, isotonis dengan pH = 7,0.
Klemen dan Arnold telah membuktikan bahwa penyuntikan
dengan larutan yang mempunyai pH < 4 atau pH >11 dapat
menyebabkan nyeri (Mangku et al, 2017; Webb et al,
2018).
Kontra Indikasi Propofol :
Propofol dikontraindikasikan pada pasien dengan
riwayat alergi propofol. Pasien dengan kelainan jantung
yang diberikan obat propofol, harus dimonitor secara ketat
hemodinamik maupun respirasinya, serta pemberian
propofol dititrasi sesuai respon kardiovaskular pasien
(Mangku et al, 2017; Webb et al, 2018).
2.5.3 Obat inhalasi
1. N2O
N2O adalah anestesi lemah dan harus diberikan dengan
konsentrasi besar (lebih dari 65%) agar efektif. Paling sedikit 20%
52

atau 30% oksigen harus diberikan sebagai campuran, karena


konsentrasi N2O lebih besar dari 70-80% dapat menyebabkan
hipoksia. N2O tidak dapat menghasilkan anestesia yang adekuat
kecuali dikombinasikan dengan zat anestesi yang lain, meskipun
demikian, karakteristik tertentu membuatnya menjadi zat anestesi
yang menarik, yaitu koefisien partisi darah/gas yang rendah, efek
anagesi pada konsentrasi subanestetik, kecilnya efek
kardiovaskuler yang bermakna klinis, toksisitasnya minimal dan
tidak mengiritasi jalan napas sehingga ditoleransi baik untuk induksi
dengan masker. Efek anestesi N2O dan zat anestesi lain bersifat
additif, sehingga pemberian N2O dapat secara substansial
mengurangi jumlah zat anestesi lain yang seharusnya digunakan.
Pemberian N2O akan menyebabkan peningkatan konsentrasi
alveolar dari zat anestesi lain dengan cepat, oleh karana sifat “efek
gas kedua” dan “efek konsentrasi” dari N2O. Efek konsentrasi
terjadi saat gas diberikan dengan konsentrasi tinggi. Semakin tinggi
konsentrasi gas diinhalasi, maka semakin cepat peningkatan tekanan
arterial gas tersebut (Mangku et al, 2017).
Absorpsi, Distribusi Dan Eliminasi dari N2O:
Absorbsi dan eliminasi nitorus oksida relatif lebih cepat
dibandingkan dengan obat anestesi inhalasi lainnya, hal ini terutama
disebabkan oleh koefisien partisi gas darah yang rendah dari N2O.
Pada menit pertama, N2O (75%) dengan cepat akan diabsorbsi kira-
kira 1.000 ml/menit. Setelah 5 menit, tingkat absorbsi turun menjadi
600 ml/menit, setelah 10 menit turun menjadi 350 ml/menit dan
setelah 50 menit tingkat absorbsinya kira-kira 100 ml/menit,
kemudian pelan-pelan menurun dan akhirnya mencapi nol.
Konsentrasi N2O yang diabsorbsi tergantung antara lain oleh
konsentrasi inspirasi gas, ventilasi alveolar dan ambilan oleh
sirkulasi, seperti koefisien partisi darah/gas dan aliran darah (curah
jantung). N2O akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh.
53

Konsentrasi di jaringan adalah berbanding lurus dengan perfusi per


unit volume dari jaringan, lamanya paparan dan koefisien partisi
darah / jaringan zat tersebut. Jaringan dengan aliran darah
besar/banyak seperti otak, jantung, hati dan ginjal akan menerima
N2O lebih banyak sehingga akan menyerap volume gas yang lebih
besar. Jaringan lain dengan suplai darah sedikit seperti jaringan
lemak dan otot menyerap hanya sedikit N2O, ambilan dan
penyerapan yang cepat menyebabkan tidak terdapatnya simpanan
N2O dalam jaringan tersebut sehingga tidak menghalangi pulihnya
pasien saat pemberian N2O dihentikan. N2O dieliminasi melalui
paru-paru dan sebagian kecil diekskresikan melalui kulit (Mangku et
al, 2017; Butterworth, 2018).
Efek Farmakologi :
 Terhadap sistem saraf pusat
Berkhasiat analgesia dan tidak mempunyai khasiat
hipnotik. Khasiat analgesianya relatif lemah akibat
kombinasinya dengan oksigen. Pada konsentrasi 25% N2O
menyebabkan sedasi ringan. Peningkatan konsentrasi
menyebabkan penurunan sensasi perasaan khusus seperti
ketajaman, penglihatan, pendengaran, rasa, bau dan diikuti
penurunan respon sensasi somatik seperti sentuhan,
temperatur, tekanan dan nyeri. Penurunan perasaan membuat
agen ini cocok untuk induksi sebelum pemberian agen lain
yang lebih iritatif. N2O menghasilkan analgesi sesuai
besarrnya dosis. N2O 50% efek analgesinya sama dengan
morfin 10 mg. Bukti menunjukkan bahwa N2O memiliki efek
agonis pada reseptor opioid atau mengaktifkan sistem opioid
endogen. Area pusat muntah pada medula tidak dipengaruhi
oleh N2O kecuali jika terdapat hipoksia. Nitrous oksida tidak
mengikuti klasifikasi stadium anestesi dari guedel dalam
kombinasinya dengan oksigen dan sangat tidak mungkin
54

mencoba memakai nitrous oksigen tanpa oksigen hanya karena


ingin tahu gambaran stadium anestesi dari guedel. Efeknya
terhadap tekanan intrakranial sangat kecil bila dibandingkan
dengan obat anestesi yang lain. Terhadap susunan saraf
otonom, nitrous oksida merangsang reseptor alfa saraf
simpatis, tetapi tahanan perifer pembuluh darah tidak
mengalami perubahan (Ghazal et al, 2019; Mangku et al,
2017; Butterworth, 2018).
 Terhadap sitem kardiovaskuler
Nitrous oxide memiliki kecenderungan untuk
menstimulasi simpatis sistem saraf. Jadi, meski nitrat oksida
secara langsung menekan kontraktilitas miokard secara in
vitro, tekanan darah arteri, curah jantung, dan detak jantung
pada dasarnya tidak berubah atau sedikit meningkat. Depresi
ringan kontraktilitas miokard terjadi pada rasio N2O : O2 =
80% : 20%. N2O tidak menyebabkan perubahan laju jantung
dan curah jantung secara langsung. Tekanan darah tetap stabil
dengan sedikit penurunan yang tidak bermakna (Mangku et al,
2017; Butterworth, 2018).
 Terhadap sistem respirasi
Nitrous oxide dapat meningkatkan laju pernapasan
(takipnea) dan menurunkan volume tidal sebagai akibat
stimulasi SSP dan, mungkin, akibat aktivasi reseptor
peregangan pada paru, Perubahan laju dan kedalaman
pernapasan (menjadi lebih lambat dan dalam) lebih disebabkan
karena efek sedasi dan hilangnya ketegangan (Mangku et al,
2017; Butterworth, 2018).
 Terhadap sistem gastrointestinal
Penggunaan nitro oksida pada orang dewasa
meningkatkan risiko mual dan muntah pasca operasi, mungkin
seperti hasil aktivasi pemicu kemoreseptor zona dan pusat
55

muntah di medulla (Mangku et al, 2017; Butterworth, 2018).


 Terhadap ginjal
Nitro oksida tampaknya dapat mengurangi aliran darah
ginjal dengan meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal.
Ini adalah petunjuk untuk penurunan laju filtrasi glomerulus
dan urin output. Penggunaan Klinik Dalam praktik anestesia,
N2O digunakan sebagai obat dasar dari anestesia umum
inhalasi dan selalu dikombinasikan dengan oksigen dengan
perbandingan N2O : O2 = 70 : 30 (untuk pasien normal), 60 :
40 (untuk pasien yang memerlukan tunjangan oksigen yang
lebih banyak), atau 50 : 50 (untuk pasien yangberesiko
tinggi). Oleh karena N2O hanya bersifat analgesia lemah,
maka dalam penggunaannya selalu dikombinasikan degnan
obat lain yang berkhasiat sesuai dengan target “trias anestesia”
yang ingin dicapai (Mangku et al, 2017; Butterworth, 2018).
2. ISOFLURAN
Isofluran adalah obat anestesi isomer dari enfluran, merupakan
cairan tidak berwarna dan berbau tajam, menimbulkan iritasi jalan
nafas jika dipakai dengan konsentrasi tinggi menggunakan sungkup
muka sehingga pada saat induksi inhalasi sering menimbulkan batuk
dan tahanan nafas. Tidak mudah terbakar, tidak terpengaruh cahaya
dan proses induksi dan pemulihannya relatif cepat dibandingkan
dengan obat-obat anestesi inhalasi yang ada pada saat ini tapi masih
lebih lambat dibandingkan dengan sevoflurane. Proses induksi dan
pemulihannya relatif cepat dibandingkan dengan obat-obat anestesi
inhalasi yang ada pada saat ini tapi masih lebih lambat dibandingkan
dengan sevofluran (Mangku et al, 2017; Butterworth, 2018).
Dosis
- Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi
adalah 2-3% bersama-sama dengan N2O.
- Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan konsentrasinya
56

berkisar antara 1- 2,5%, sedangkan untuk nafas kendali berkisar


antara 0,5-1%. Pada pasien yang mendapat anestesi isofluran
kurang dari 1 jam akan sadar kembali sekitar 7 menit setelah
obat dihentikan. Sedangkan pada tindakan 5-6 jam, kembali
sadar sekitar 11 menit setelah obat dihentikan.
Efek Farmakologi
 Terhadap sistem saraf pusat
Efek depresinya terhadap SSP sesuai dengan dosis yang
diberikan. Isofluran tidak menimbulkan kelainan EEG seperti
yang ditimbulkan oleh enfluran. Pada dosis anestesi tidak
menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebrum
serta mekanisme autoregulasi aliran darah otak tetap stabil.
Kelebihan lain yang dimiliki oleh isofluran adalah penurunan
konsumsi oksigen otak. Sehingga dengan demikian isofluran
merupakan obat pilihan untuk anestesi pada kraniotomi, karena
tidak berperngaruh pada tekanan intrakranial, mempunyai efek
proteksi serebral dan efek metaboliknya yang menguntungkan
pada tekhnik hipotensi kendali (Mangku et al, 2017;
Butterworth, 2018).
 Terhadap sistem kardiovaskular
Efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh darah
lebih ringan dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain.
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama anestesi.
Dengan demikian isofluran merupakan obat pilihan untuk obat
anestesi pasien yang menderita kelainan kardiovaskuler.
 Terhadap sistem respirasi
Isofluran juga menimbulkan depresi pernafasan yang
derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan. Terhadap
otot rangka Menurunkan tonus otot rangka melalui mekanisme
depresi pusat motorik pada serebrum, sehingga dengan
demikian berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot non
57

depolarisasi. Walaupun demikian, masih diperlukan obat


pelumpuh otot untuk mendapatkan keadaan relaksasi otot yang
optimal terutama pada operasai laparatomi. Terhadap ginjal
Pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran darah ginjal
dan laju fitrasi glomerulus sehingga produksi urin berkurang,
akan tetapi masih dalam batas normal. Toksisitas pada ginjal
tidak terjadi (Mangku et al, 2017; Butterworth, 2018).
Biotransformasi:
Hampir seluruhnya dikeluarkan melalui udara ekspirasi,
hanya 0,2% dimetabolisme di dalam tubuh. Konsentrasi
metabolitnya sangat rendah, tidak cukup untuk menimbulkan
gangguan fungsi ginjal. Penggunaan klinik sama seperti halotan
dan enfluren, isofluren digunakan terutama sebagai komponen
hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum. Disamping efek
hipnotik, juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi
ringan. Untuk mengubah cairan isofluran menjadi uap,
diperlukan alat penguap (vaporizer) khusus isofluran (Ghazal et
al, 2019).
3. SEVOFLURSAN
Sevofluran dikemas dalam bentuk cairan, tidak berwarna, tidak
eksplosif, tidak berbau, stabil di tempat biasa (tidak perlu tempat
gelap), dan tidak terlihat adanya degradasi sevofluran dengan asam
kuat atau panas. Obat ini tidak bersifat iritatif terhadap jalan nafas
sehingga baik untuk induksi inhalasi. Proses induksi dan
pemulihannya paling cepat dibandingkan dengan obat-obat anestesi
inhalasi yang ada pada saat ini (Mangku et al, 2017; Butterworth,
2018).
Dosis
 Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara
inspirasi adalah 3,0-5,0% bersama-sama dengan N2O.
 Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan,
58

konsentrasinya berkisar antara 2,0- 3,0%, sedangkan untuk


nafas kendali berkisar antara 0,5-1%.
Efek Farmakologi
 Terhadap sistem saraf pusat
Efek depresinya pada SSP hampir sama dengan
isofluran. Aliran darah otak sedikit meningkat sehingga
sedikit meningkatkan tekanan intrakranial. Laju metabolisme
otak menurun cukup bermakna sama dengan isofluran. Tidak
pernah dilaporkan kejadian kejang akibat sevofluran
(Mangku et al, 2017; Butterworth, 2018).
 Terhadap sistem kardiovaskuler
Sevofluran relatif stabil dan tidak menimbulkan
aritmia. Tahanan vaskuler dan curah jantung sedikit
menurun, sehingga tekanan darah sedikit menurun. Pada 1,2-
2 MAC sevofluran menyebabkan penurunan tahanan
vaskuler sistemik kira-kira 20% dan tekanan darah arteri
kira-kira 20%-40%. Curah jantung akan menurun 20% pada
pemakaian sevofluran lebih dari 2 MAC. Dibandingkan
dengan isofluran, sevofluran menyebabkan penurunan
tekanan darah lebih sedikit. Sevofluran tidak atau sedikit
meyebabkan perubahan pada aliran darah koroner.
Sevofluran menyebabkan penurunan laju jantung. Penelitian-
penelitian menyebutkan bahwa penurunan laju jantung tidak
sampai menyebabkan bradikardi (Mangku et al, 2017;
Butterworth, 2018).
 Terhadap sistem respirasi
Seperti halnya dengan obat anestesi inhalasi yang lain
sevofluran juga menimbulkan depresi pernapasan yang
derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan sehingga
volume tidal akan menurun, tapi frekuensi nafas sedikit
meningkat. Pada manusia, 1,1 MAC sevofluran
59

menyebabkan tingkat depresi pernafasan hampir sama


dengan halotan dan pada 1,4 MAC tingkat depresinya lebih
dalam daripada halotan. Sevofluran menyebabkan relaksasi
otot polos bronkus, tetapi tidak sebaik halotan (Mangku et al,
2017; Butterworth, 2018).
 Terhadap otot rangka
Efeknya terhadap otot rangka lebih lemah
dibandingkan dengan isofluran. Relaksasi otot dapat terjadi
pada anestesi yang cukup dalam dengan sevofluran.
Proses induksi, laringoskopi dan intubasi dapat dikerjakan
tanpa bantuan obat pelemas otot (Mangku et al, 2017;
Butterworth, 2018).
 Terhadap hepar dan ginjal
Sevofluran menurunkan aliran darah ke hepar paling
kecil dibandingkan dengan enfluran dan halotan. Ada
beberapa bukti, sevofluran menurunkan aliran darah ke
ginjal, tetapi tidak ada bukti hal ini menyebabkan gangguan
fungsi ginjal pada manusia (Mangku et al, 2017;
Butterworth, 2018).

2.6 Laringeal Mask Airway


Penemuan dan pengembangan “laryngeal mask airway” (LMA)
oleh seorang ahli anestesi berkebangsaan inggris dr. Archie Brain telah
memberikan dampak yang luas dan bermakna dalam praktek anestesi,
penanganan airway yang sulit, dan resusitasi kardiopulmonar. LMA telah
mengisi kekosongan antara penggunaan “face mask” dengan intubasi
endotracheal. LMA memberikan ahli anestesi alat baru penanganan
airway yaitu jalan nafas supraglotik, sehingga saat ini dapat digolongkan
menjadi tiga golongan yaitu : (1) jalan nafas pharyngeal, (2) jalan nafas
supraglotik, dan (3) jalan nafas intratracheal. Ahli anestesi mempunyai
variasi yang lebih besar untuk penanganan jalan nafas sehingga lebih
60

dapat disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap pasien, jenis anestesi, dan


prosedur pembedahan (Magboul, 2018; Sanjul et al, 2018).
LMA dibuat dari karet lunak silicone khusus untuk kepentingan
medis, terdiri dari masker yang berbentuk sendok yang elips yang juga
berfungsi sebagai balon yang dapat dikembangkan, dibuat bengkok
dengan sudut sekitar 30°. LMA dapat dipakai berulang kali dan dapat
disterilkan dengan autoclave, namun demikian juga tersedia LMA yang
disposible (Magboul, 2018).
2.6.1 Jenis-Jenis LMA
Sampai saat ini berbagai jenis telah diproduksi dengan
keunggulan dan tujuan tertentu dari masin-masing jenis LMA.
Jenis-jenis LMA yang telah tersedia sebagai berikut (Magboul,
2018; Sanjul et al, 2018):
1. LMA klasik
Tidak seperti jalan nafas supraglotik, tersedia dalam
berbagai ukuran, yang cocok untuk semua penderita mulai dari
bayi sampai dengan dewasa. Suatu metode pemasangan LMA
klasik dengan teknik standar direkomendasikan oleh Dr Archie
Brain. Setelah deflasi cuff secara penuh, LMA dimasukkan
dengan bantuan indek jari menekan masker kearah
cranioposterior melewati kurva palatofaringeal, dilanjutkan
kearah caudal sampai dirasakan adanya tahanan di mana ujung
masker memasuki upper esophageal sphincterKeberhasilan
LMA yang klasik mendorong munculnya berbagai jenis LMA
lainnya dengan beberapa tujuan tertentu seperti untuk intubasi
buta disertai dengan akses ke lambung (Proseal LMA).
61

Gambar 2.9 LMA Klasik (Sanjul et al, 2018)


2. LMA Flexible
Bentuk dan ukuran masknya hampir menyerupai cLMA,
dengan airway tube terdapat gulungan kawat yang
menyebabkan flexibelitasnya meningkat yang memungkinkan
posisis proximal dan menjauhi lapang bedah tanpa
menyebabkan pergeseran mask. Berguna pada pembedahan
kepala dan leher, maxilla facial dan THT. FLMA memberikan
perlindungan yang baik terhadap laryng dari sekresi dan darah
yang ada di atas FLMA. Popular digunakan untuk pembedahan
nasal dan pembedahan intra oral, termasuk tonsilektomi.
Airway tube fLMA lebih panjang dan lebih sempit, yang akan
menaikkan resistensi tube dan kerja dari pernapasan. Ukuran
fLMA : 2-5. Insersi fLMA dapat lebih sulit dari cLMA karena
flexibilitas airway tube. Mask dapat berotasi 180 pada
sumbu panjangnya sehingga masknya mengarah ke belakang.
Harga fLMA kira-kira 30% lebih mahal dari cLMA dan
direkomendasikan untuk menggunakan 40 kali (Magboul, 2018;
Sanjul et al, 2018).
62

Gambar 2.10 LMA Flexible (Sanjul et al, 2018)

3. LMA proseal
LMA proseal dengan akses lambung dapat mendekomprasi
lambung seketika LMA dipasang. LMA proseal lebih sesuai
secara anatomis untuk jalan nafas dan lebih cocok untuk
ventilasi tekanan positif. Jenis LMA proseal memberikan dua
keuntungan : (1) adanya akses ke lambung memungkinkan
untuk memasukkan selang lambung dan kemudian dekompresi
lambung; (2) desain ulang terhadap balon LMA memungkinkan
untuk mengembangkan balon LMA lebih besar dan posisi
balon LMA yang lebih tepat terhadap jalan nafas (Magboul,
2018).

Gambar 2.11 LMA Proseal (Sanjul et al, 2018).

4. LMA fast track


LMA Fastrach terdiri dari sutu tube stainless steel yang
melengkung (diameter internal 13 mm) yang dilapisi dengan
silicone, connector 15 mm, handle, cuff, dan suatu batang
pengangkat epiglotis. Perbedaan utama antara LMA clasic dan
63

LMA Fastrach yaitu pada tube baja, handle dan batang


pengangkat epiglottic. Nama lain dari Intubating LMA:
Fastrach. Laryngeal mask yang dirancang khusus untuk dapat
pula melakukan intubasi tracheal. Sifat ILMA : airway tube-nya
kaku, lebih pendek dan diameternya lebih lebar dibandingkan
cLMA. Ujung proximal ILMA terdapat metal handle yang
berfungsi membantu insersi dan membantu intubasi, yang
memungkinkan insersi dan manipulasi alat ini. Di ujung mask
terdapat ”pengangkat epiglotis”, yang merupakan batang semi
rigid yang menempel pada mask. ILMA didesign untuk insersi
dengan posisi kepala dan leher yang netral. Ukuran ILMA : 3 –
5, dengan tracheal tube yang terbuat dari silicone yang dapat
dipakai ulang, dikenal : ILMA tube dengan ukuran : 6,0 – 8,0
mm internal diameter (Magboul, 2018; Sanjul et al, 2018).
ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan
patologi esofagus bagian atas karena pernah dilaporkan
kejadian perforasi esofagus. Intubasi pada ILMA bersifat ”blind
intubation technique”. Setelah intubasi direkomendasikan untuk
memindahkan ILMA. Nyeri tenggorok dan suara serak biasanya
ringan, namun lebih sering terjadi pada pemakaian ILMA
dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan penting dalam
managemen kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok
untuk pasien dengan cedera tulang belakang bagian cervical.
Dan dapat dipakai selama resusitasi cardiopulmonal (Magboul,
2018; Sanjul et al, 2018).
Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan ILMA
mirip dengan intubasi konvensional dengan menggunakan
laryngoscope. Kemampuan untuk insersi ILMA dari belakang,
depan atau dari samping pasien dan dengan posisipasien supine,
lateral atau bahkan prone, yang berarti bahwa ILMA
merupakan jalan nafas yang cocok untuk insersi selama
64

mengeluarkan pasien yang terjebak (Magboul, 2018; Sanjul et


al, 2018).

Gambar 2.11 LMA Fast Track (Sanjul et al, 2018)

Tabel 2. Berbagai macam ukuran LMA


Ukuran Berat Badan Volume Balon
Masker (Kg) (mL)
1 <5 4
1,5 5 – 10 7
2 10 – 20 10
2½ 20 – 30 14
3 30 – 50 20
4 50 – 70 30
5 > 70 40

2.6.2 Indikasi Penggunaan LMA


1) Pemasangan Ventilasi Elektif
2) Kesulitan Jalan Nafas
3) Cardiac Arrest
4) Saluran Untuk Intubasi
5) Manajemen Jalan Nafas Prehospital
6) Anak-Anak
2.6.3 Kontraindikasi Penggunaan LMA
Kondisi-kondisi berikut ini merupakan kontraindikasi
65

penggunaan LMA (Magboul, 2018; Sanjul et al, 2018):


1. Resiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (hernia hiatus,
ileus intestinal)
2. Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher
(misalnya artitis rematoid yang berat atau ankilosing spondilitis),
menyebabkan memasukkan LMA lebih jauh ke hipopharynx
sulit.
3. Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang
besar
4. Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya
5. Kelainan pada oropharynx (misalnya hematoma, dan
kerusakan jaringan)
6. Ventilasi paru tunggal.
2.6.4 Keuntungan dan kerugian LMA
A. Keuntungan LMA Dibandingkan Face Mask
Bila dibandingkan dengan pemakaian dengan face mask maka
LMA dapat memberikan ahli anestesi lebih banyak kebebasan untuk
melaksanakan tugas yang lain (misalnya mencatat perjalanan
anestesi, memasukkan obat-obatan dll) dan mengurangi angka
kejadian kelelahan pada tangan operator. Dengan LMA dapat
memberikan data capnography yang lebih akurat dan dapat
mempertahankan saturasu oksigen yang lebih tinggi. Kontaminasi
ruangan oleh obat-obat anestesi inhalasi dapat dikurangi tetapi
dengan manipulasi yang lebih kecil terhadap jalan nafas. Cedera
pada mata dan saraf wajah dapat dihindari dibandingkan bila
memakai face mask (Magboul, 2018; Sanjul et al, 2018).
B. Keuntungan LMA dibandingkan dengan ETT
Walaupun LMA tidak dapat menggantikan posisi ETT
(khususnya pada prosedur operasi yang lama dan yang memerlukan
proteksi terhadap aspirasi) namun LMA mempunyai berbagai
kelebihan. LMA lebih mudah dimasukkan dan mengurangi
66

rangsangan pada jalan nafas dibandingkan ETT (sehingga dapat


mengurangi batuk, rangsang muntah, rangsang menelan, tahan
nafas, bronchospame, dan respon kardiovaskuler) adalah dua
keuntungan yang dimiliki LMA dibandingkan ETT. Level anestesi
yang lebih dangkal dapat ditoleransi dengan menggunakan LMA
dibandingkan ETT. Ditangan yang terampil, penempatan LMA
dapat lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan menempatkan ETT,
sehingga lebih memudahkan untuk resusitasi. Trauma pada pita
suara dapat dihindari karena LMA tidak masuk sampai ke lokasi pita
suara. Insidens kejadian suara serak setelah penggunaan LMA
dapat dikurangi bila dibandingkan dengan pemakaian ETT
(Magboul, 2018; Menna et al, 2021)
2.6.5 Komplikasi Penggunaan LMA
1. Komplikasi Mekanikal (kinerja LMA sebagai alat) :
a. Gagal insersi (0,3 – 4%)
b. Ineffective seal (<5%)
c. Malposisi (20 – 35%)
2. Komplikasi Traumatik (kerusakan jaringan sekitar) :
a. Tenggorokan lecet (0 – 70%)
b. Disfagia (4 – 24%)
c. Disartria (4 – 47%)
3. Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh) :
a. Batuk (<2%)
b. Muntah (0,02 – 5%)
c. Regurgitasi yang terdeteksi (0-80%)
d. Regurgitasi klinik (0,1%)
67

DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. G. and Solomon, L. (2018) Apley and Solomon’s System
ofOrthopaedics and Trauma. tenth Edit. Edited by B. Ashley W, R.
Michael,and W. David. New York.

Butterworth, J. F., Mackey, D. C., & Wasnick, J. D. Morgan & Mikhail's


clinical anesthesiology Clinical Anesthesiology 6nd ed, Lange Medical
Books, New York, 2018.

Bunyamin. Yildirim. (2018). Metallurgical Failure Analysis of Various


Implant Materials Used in Orthopaedic Applications.

Court-Brown CM, Heckman JD, McQueen MM, Ricci WM, Tornetta III P,
editors. Rockwood and Green’s Fracture in Adults (8th edition).
Philadelphia: Wolters Kluwer, 2018.

Ghazal, E. A., Vadi, M. G., Mason, L. J., & Coté, C. J. (2019). Preoperative
evaluation, premedication, and induction of anesthesia. In A practice of
anesthesia for infants and children (pp. 35-68). Elsevier.

Karthick, A., Subbiya, A., Reddy, V. M., Malarvizhi, D., Venkatesh, A., &
Prakash, V. (2019). Comparative Evaluation of Effect of Preoperative
Oral Medication of Ketorolac on Anesthetic Efficacy of Inferior
Alveolar Nerve Block in Patients with Irreversible Pulpitis: A
Randomized Clinical Trial. Indian Journal of Public Health Research &
Development, 10(12).

Laksono, R. M., Isngadi, I., & Hidayatullah, A. (2020). The comparison of


gastric ph after premedication using ranitidine, antacids, and ranitidine-
antacids combination in cesarean section. Bali Journal of
Anesthesiology, 4(1), 8.

Magboul M. Ali. Magboul: The Dilemma of Airway Assessment and


Evaluation. Journal of Anesthesiology. 10 (1). 2018.

Mangku, Gde., Senapathi, Tjokorda, Gde, Agung. 2017. Buku Ajar Ilmu
Anestesi dan Renimasi. Penerbit PT. Macan Jaya Cemerlang: Jakarta
68

Menna, C., Fiorelli, S., Massullo, D., Ibrahim, M., Rocco, M., & Rendina, E.
A. (2021). Laryngeal mask versus endotracheal tube for airway
management in tracheal surgery: a case–control matching analysis and
review of the current literature. Interactive cardiovascular and thoracic
surgery, 33(3), 426-433.

Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R., Anestesiologi. Jakarta :


Bagian Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI.

Oubenyahya, H., & Bouhabba, N. (2019). General anesthesia in the


management of early childhood caries: an overview. Journal of Dental
Anesthesia and Pain Medicine, 19(6), 313-322.

Ritonga, I. (2021). Karakteristik Implant Failure pada Pasien yang


Menjalani Orif Plate and Screw pada Anggota Gerak Bawah di RSUP
HAM Medan Tahun 2015-2019.

Sanjul Dandona, Surinder Singh, Neha Batra. (2018). A review on laryngeal


mask airway applications and limitations. International Journal of
Medical and Health Research, 4(10), 43-47.

Wang, H. Y., Chen, T. Y., Li, D. J., Lin, P. Y., Su, K. P., Chiang, M. H., ... &
Hung, K. C. (2021). Association of pharmacological prophylaxis with
the risk of pediatric emergence delirium after sevoflurane anesthesia: An
updated network meta-analysis. Journal of clinical anesthesia, 75,
110488.

Webb, T. R., Wyman, M., Smith, J. A., Ueyama, Y., & Muir, W. W. (2018).
Effects of propofol on intraocular pressure in premedicated and
nonpremedicated dogs with and without glaucoma. Journal of the
American Veterinary Medical Association, 252(7), 823-829.

Windmann, V., Spies, C., Brown, E. N., Kishnan, D., Lichtner, G., Koch, S.,
& BioCog Study Group. (2019). Influence of midazolam premedication
on intraoperative EEG signatures in elderly patients. Clinical
Neurophysiology, 130(9), 1673-1681.

Anda mungkin juga menyukai