Anda di halaman 1dari 41

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebanyak 36 juta orang meninggal setiap tahunnya (63% dari seluruh
kematian) oleh karena Penyakit Tidak Menular (PTM). Secara global, penyakit
kardiovaskular merupakan PTM penyebab kematian nomor satu setiap tahunnya
(Kemenkes RI, 2018). Penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang disebabkan
oleh karena gangguan pada fungsi jantung dan pembuluh darah, salah satunya
adalah Acute Coronary Syndrome. Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan
penyakit kardiovaskular utama yang memiliki tingkat mortalitas yang tinggi dan
menjadi penyebab kematian utama di seluruh dunia (Patricia, Suling, & Suling,
2018; PERKI, 2018). Bedasarkan data dari Kemenkes tahun 2018, ACS
menempati posisi ke-7 sebagai penyakit tidak menular tertinggi di Indonesia,
dimana terdapat sekitar 1,5% penduduk atau 2.650.340 orang yang terdiagnosis
oleh dokter bedasarkan gejala yang mengalami ACS di Indonesia. Selain itu,
diperkirakan kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular, terutama
penyakit jantung koroner dan stroke akan terus meningkat mencapai 23,3 juta
kematian pada tahun 2030 (Kemenkes RI, 2018).
ACS dapat disebabkan oleh karena aliran darah di koroner yang terhenti
secara tiba-tiba akibat oklusi yang disebabkan oleh karena pecahnya plak ateroma
pada pembuluh darah koroner, sehingga terjadi gangguan aliran darah ke
miokardium yang mengakibatkan iskemia yang signifikan dan berkelanjutan
(Liwang, Yuswar, Wijaya, & Sanjaya, 2020; Patricia et al., 2018; PERKI, 2018).
Penyakit ini dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu Infark Miokard Akut
dengan Elevasi Segmen ST (IMA-EST) / ST Segment Elevation Myocardial
Infarction (STEMI), Infark Miokard Non-Elevasi Segmen ST (IMA-NEST)/ Non-
ST Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), dan Angina pektoris
tidak stabil/Unstable Angina Pectoris (UAP), yang ditegakkan melalui anamnesis
dengan gejala nyeri dada tipikal, pemeriksaan elektrokardiogram, dan
pemeriksaan biomarka jantung (Gulati et al., 202; Liwang et al., 2020; PERKI,

1
2018). Pada ACS tanpa adanya elevasi segmen ST (UAP dan NSTEMI), terjadi
pembentukan trombus dengan oklusi yang parsial. Sedangkan pada STEMI,
trombus yang terbentuk menyebabkan oklusi total pada lumen pembuluh darah
coroner (Liwang et al., 2020).
STEMI merupakan kejadian oklusi total pada pembuluh darah arteri koroner
yang dapat menyebabkan infark luas pada miokardium dan ditandai dengan
peningkatan segmen ST persisten minimal 2 sadapan yang bersebelahan pada
elektrokardiogram. Klinis yang dapat ditemukan pada pasien adalah nyeri dada
iskemik yang berkepanjangan pada saat istirahat (Loscalzo, 2018). Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi segera untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard (PERKI, 2018). Terapi reperfusi dapat dilakukan dengan
intervensi koroner perkutan (IKP) atau melalui terapi fibrinolitik. Terapi reperfusi
harus dilaksanakan sesegera mungkin pada pasien dengan infark miokard akut.
Menurut European Society of Cardiology (ESC) (2017) IKP-primer harus
dilaksanakan dalam waktu kurang dari 60 menit dari waktu diagnosa STEMI
ditegakkan pada pusat IKP-primer. Sedangkan pada fasilitas rumah sakit yang
belum memiliki pusat IKP-primer, jika jarak tempuh ke fasilitas pusat IKP-primer
terdekat melebihi 120 menit, maka terapi fibrinolitik akan menjadi pilihan
reperfusi (Collet et al., 2021).

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


a. Nama : Tn. U
b. Tanggal lahir/umur : 31 Desember 1947
c. Umur : 74 tahun
d. Jenis Kelamin : Laki-laki
e. Status Perkawinan : Duda
f. Suku/Bangsa : WNI
g. Agama : Islam
h. Pendidikan : S1
i. Pekerjaan : Pensiunan
j. Alamat KTP : Pajarakan Karya
k. No. Rekam Medis : 205892
l. Tanggal masuk RS : 21 Agutus 2022
2.2 Anamnesa
2.2.1 Keluhan Utama
Nyeri dada
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang laki – laki, 74 tahun datang diantar oleh keluarganya ke IDG
RSUD Mataram pada tanggal 21/08/2022 pukul 01.36 WITA dengan
keluhan nyeri dada sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada
dikatakan timbul secara mendadak dan berlangsung terus menerus dengan
skala 8. Nyeri dada dirasakan seperti tertindih benda berat yang menjalar
ke leher, rahang bawah, hingga ke lengan kirinya dan menembus
punggung. Nyeri dada dirasakan tidak berkurang dengan istirahat maupun
berubah posisi.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan mual, namun tidak sampai
muntah, keringat dingin, dan dada terasa penuh sehingga sulit untuk
bernapas saat nyeri dada berlangsung. Pasien mengatakan memiliki

3
riwayat hipertensi, kolesterol tinggi, sejak 2 tahun yang lalu. Pasien sering
mengonsumsi daging yang berlemak, berminyak, dan makanan yang
mengandung garam tinggi. Pasien tidak rutin kontrol tekanan darah, gula
darah maupun kolesterol. Keluhan deman, batuk dan pilek disangkal oleh
pasien. BAK dan BAB dalam batas normal.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
 Riwayat Hipertensi : Ada, sejak 2 tahun yang lalu
 Riwayat Kolestrol : Ada, sejak 2 tahun yang lalu
 Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal
 Riwayat alergi : Disangkal
 Riwayat alergi obat-obatan : Disangkal
 Riwayat Covid-19 : Disangkal
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
 Riwayat Hipertensi : Ada, sejak 2 tahun yang lalu
 Riwayat Kolestrol : Ada, sejak 2 tahun yang lalu
 Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal
 Riwayat alergi : Disangkal
 Riwayat alergi obat-obatan : Disangkal
 Riwayat Covid-19 : Disangkal
2.2.5 Riwayat Sosial
 Riwayat merokok : (-)
 Riwayat alcohol : (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran/GCS : Kuantitatif: E4V5M6 (Komposmentis)
 Tanda Vital
Tekanan Darah : 151/100 mmHg

4
Respiration Rate : 20x/menit
Denyut Nadi : 77x/menit
Suhu Aksila : 36,6°C
PO2 : 96 %
Visual Analog Scale :8
Berat badan : 70 kg
 Status Generalis
Kepala : Normocephali.
Mata : Pupil (+/+) bulat isokor 3/3 mm, anemis (-/-),
ikterik (-/-), reflek cahaya pada kedua pupil mata (+/+).
Hidung : Discharge (-/-), pernafasan cuping hidung
(-), deviasi Septum (-), deformitas (-)
Mulut : Bibir tampak pucat, sianosis (-), lidah kotor
(-), tidak ditemukan pembesaran tonsil, tonsil T1/T1.
Telinga : Normal, discharge tidak ada (-/-), tidak ada
kelainan kongenital.
Leher : Deviasi trakea tidak ada, JVP normal (5+2
cmH2O), pembesaran KGB tidak ada, kelenjar tiroid tidak ada
pembesaran (-/-).
Pemeriksaan Thorax Cor
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
 Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga V, linea
midclavicula sinistra
 Perkusi
Batas kanan jantung : ICS 5 linea parasternalis dextra.
Batas kiri jantung : ICS 5 linea midclavicula sinistra.
Batas atas jantung : ICS 2 linea parasternalis sinistra.
Batas pinggang jantung : ICS 3 linea parasternaslis sinistra
 Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-),
Gallop (-).

5
Pemeriksaan Thorax Pulmonal
- Inspeksi : Normochest, dinding dada simetris kanan dan kiri,
tidak ada gerakan nafas tertinggal, tidak ada massa
dan tidak ada tanda-tanda peradangan.
- Palpasi : Nyeri tekan (-), palpasi pengembangan kedua lapang
paru simetris, vocal premitus kedua lapang paru
teraba simetris
- Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru.
- Auskultasi :

++ -- --
++ -- --
++ -- --

Vesikuler Rhonki Wheezing


Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : Abdomen datar, tidak tampak adanya massa, tidak
tampak adanya tanda-tanda peradangan.
- Auskultasi: Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpani pada Sembilan regio abdomen.
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), turgor baik, hepar dan
lien sulit dinilai.
Ekstremitas
- Superior: Akral hangat, tidak terdapat edema capillary refill
time < 2 detik
- Inferior: Akral hangat, tidak terdapat edema capillary refill time
< 2 detik

2.4 Diagnosis Awal


- Acute Coronary Syndrome

2.5 Usulan Pemeriksaan Penunjang

6
- Darah lengkap
- EKG
- Cardiac marker
- CT Coronary Angiography
- Foto thoraks
- Profil lipid

2.6 Hasil Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Lengkap 21 Agustus 2022

7
HEMATOLOGI Hasil Nilai Rujukan
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 13.5 (Low) 14.0 – 17.5 g/dl
Jumlah eritrosit 4.56 (4.10 – 5.90¿ x 103 /Ul
Hematokrit 42.2 40.0-52.0 x 10 6/Ul
Jumlah trombosit 211 150-450 x 10 3
MCV, MCH, MCHC
MCV 92.5 80.0 – 96.0
MCH 29.6 26.0 – 32
MCHC 32.0 32.0 – 36.0
RDW-CV 12.8 11.0 – 16.0
Eritrosit berinti 0
Jumlah leukosit 9.64 4.50 – 11.50 103 /Ul
Hitung Jenis
Basofil 0.5 0.0 – 2.0
Eosinofil 2.6 1.0 – 3.0
Neutrofil 71.8 (High) 50.0 – 70.0
Limfosit 19.2 18.0 – 42.0
Monosit 5.9 2.0 – 11.0
Basofil# 0.05 0.00 – 0.10 103 /Ul
Eosinofil# 0.25 0.00 – 0.40 103 /Ul
Neutrofil# 6.9 (High) 2.3 – 6.1 103 /Ul
Limfosit# 1.85 0.80 – 4.80 103 /Ul
Monosit# 0.57 0.45 – 1.30 103 /Ul
Ratio N/L 3.73 (High) < 3.14
IG 0.4
Pemeriksaan EKG 21 Agustus 2022

8
Interpretasi:

 Irama: Sinus, reguler


 HR : 75x/menit
 Axis: Normoaxis
 Gel. P: Lebar 0.08 s, tinggi 1 mv (normal, ditemukan di lead 2
Panjang)
 Interval P-R: 0.16 s (normal)
 Kompleks QRS: Durasi 0.04 s (sempit), hipertrofi ventrikel (-)
kelainan morfologi (+) rabbit ear appearence di lead II, III dan
aVF durasi 0.08 s.
 Segmen ST: Terdapat deviasi berupa elevasi di lead aVL dan V1-
V6
 Gelombang T: T inversi di V1-V5
 Kesan : Sinus regular dengan ST evelasi dan RBBB inkomplit

Pemeriksaan Kimia Darah (Cardiac Marker) 21 Agustus 2022


Hasil Nilai Rujukan
Jenis Pemeriksaan
Troponin I 155.1 (High) 28.9 – 39.2 pg/ml

Pemeriksaan Foto Thorax 21 Agustus 2022

9
Interpretasi:
 Cor: Besar dan bentuk normal
 Pulmo: Tak tampak infiltrate, tampak peningkatan bronchovascular
pattern par kanan kiri
 Trakea di tengah
 Sinus phrenicicostalis kanan tajam, kiri tumpul
 Hemidiagfragma kanan kiri tampak baik
 Soft tissue dan tulang tulang tak tampak kelainan
 Kesan: Bronchitis dan efusi pleura dextra

2.7 Diagnosis Kerja


- STEMI Anterior extensive onset 6 jam kilip 1 TIMI 5
- Bronchitis
- Efusi pleura dextra

2.8 Penatalaksanaan
- O2 nasal kanul 2 lpm
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Clopidogrel 300 mg (loading dose)
- Aspilet 320 mg (loading dose)

10
- Inj Fundaparinux 2.5 (Scra) / 24 jam (6 jam post trompolitik)
- Lansoprazole 30 mg / 24 jam
- Atorvastatin 40 mg / 24 jam
- Ramipril 5 mg / 24 jam
- Diazepam 5 mg / 8 jam
- Concor (Bisoprolol) 1.25 mg / 8 jam
- Laxadin 3 x 1 C
- Konsul Sp. P terkait bronchitis dan efusi pleura dextra

2.9 Prognosis
Prognosis pada pasien ini berdasarkan klasifikasi kilip yaitu kilip 1 dan
berdasarkan klasifikasi TIMI yaitu 5/14.
Tabel 1. Prognosis berdasarkan Kilip
Kelas Definisi
I Tak ada tanda gagal jantung
II +S3 dan atau ronki basah
III Edema Paru
IV Syok kardiogenik

Tabel 2. Prognosis pasien berdasarkan TIMI.


Faktor Risiko Bobot Point
Usia 65 – 74 tahun 2 point
Usia > 75 tahun 3 point
Diabetes mellitus/hipertensi/angina 1 point
TDS < 100 mmHg 3 point
Frekuensi jantung > 100x/menit 2 point
Klasifikasi kilip II-IV 1 point
Berat badan < 67 kg 1 point
Elevasi ST anterior atau LBBB 1 point
Waktu reperfusi > 4 jam 1 point
Total Skor = 5 point

11
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Acute Coronary Syndrome


3.1.1 Definisi
Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah suatu terminologi yang dipakai
untuk menunjukkan sekumpulan gejala nyeri dada ishemik yang akut dan perlu

12
penanganan segera atau keadaan emergenci. ACS merupakan sindroma klinis
akibat adanya penyumbatan pembuluh darah koroner, baik bersifat intermitten
maupun menetap akibat rupturnya plak atherosclerosis. Hal tersebut
menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard (Gulati
et al., 202; PERKI, 2018).
ACS sendiri merupakan bagian dari penyakit jantung koroner (PJK) dimana
yang termasuk ke dalam ACS adalah angina pectoris tak stabil (Unstable Angina
Pectoris/UAP), infark miokard dengan ST Elevasi (ST Elevation Myocard
Infarct/STEMI) dan infark miokard tanpa ST Elevasi (Non ST Elevation Myocard
Infarct/NSTEMI) (Gulati et al., 2021; PERKI, 2018).
Angina pectoris tak stabil (unstable angina=UA) dan infark miokard akut
tanpa elevasi ST (non ST elevation myocardial infarction=NSTEMI) diketahui
merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran
klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda.
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA
menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker
jantung (Collet et al., 2021).
3.1.2 Etiologi
Acute Coronary Syndrome disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.
NSTEMI terjadi karena thrombus akut atau proses vasokonstrisi koroner,
sehingga terjadi eskemia miokard dan dapat menyebabkan nekrosis jaringan
miokard dengan derajat lebih kecil, biasanya terbatas pada subendokardium.
Keadaan ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen ST, namun menyebabkan
pelepasan penanda nekrosis (Liwang, Yuswar, Wijaya, & Sanjaya, 2020; Patricia
et al., 2018; PERKI, 2018).
3.1.3 Epidemiologi
The American Heart Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta
penduduk Amerika, menderita penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari 1
juta orang yang diperkirakan mengalami serangan infark miokardium setiap
tahun. Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai 65

13
tahun, dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 tahun. 4 – 6
Penyakit jantung koroner juga merupakan penyebab kematian utama (20%)
penduduk Amerika. Di Indonesia penyakit jantung koroner telah menempati
angka prevalensi 14,2 % pada tahun 2018 di Indonesia.
3.1.4 Faktor Risiko
Faktor risiko penyakit kardiovaskular dibedakan menjadi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi (Liwang, Yuswar, Wijaya, &
Sanjaya, 2020; Patricia et al., 2018; PERKI, 2018).
1. faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Dislipidemia, LDL dapat berakumulasi di subendotelial space dan
menyebabkan kerusakan tunika intima.
b. Merokok, meningkatkan LDL yang teroksidasi, menurunkan HDL,
disfungsi endotel, peningkatan adhesi platelet, stimulasi simpatis yang
tidak appropriate.
c. Hipertensi, menyebabkan jejas endotel.
d. DM dan sindroma metabolic, menyebabkan disfungsi endotel
e. Kurangnya aktivitas fisik
2. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia lanjut
b. Jenis kelamin laki-laki, estrogen menurunkan LDL, menaikan HDL
dan antioksidan serta antiplatelet
c. Herediter.

3.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya ACS terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama,
bahkan dapat mencapai lebih dari 20 tahun. Awalnya berupa pembentukan
aterosklerosis yang kemudian mengalami rupture dan menyebabkan terjadinya
pembentukan thrombus. Lebih dari 90% sindrom koroner akut terjadi karena
adanya mekanisme ini. Selain karena adanya pembentukan thrombus,
UAP/NSTEMI juga dapat disebabkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen
miokardium (akibat adanya takikardia atau hipertensi) atau karena pengurangan

14
suplai (pengurangan diameter lumen vascular oleh thrombus, vasospasme atau
hipotensi). Mekanisme lain menyebabkan sindrom koroner akut dapat disebabkan
sindrom vaskulitis, emboli koroner, anomaly congenital pembuluh darah koroner,
trauma atau aneurisma koroner, spasme berat arteri koroner, peningkatan
viskositas darah, diskeksi spontan arteri coroner (Collet et al., 2021).
1. Pembentukan plak atheroma
Plak atheroma diawali dengan adanya akumulasi dari lipoprotein
pada tunika intima. Kemudian terjadi oksidasi dan glikasi dari
lipoprotein. Hal ini menyebabkan stress oksidatif yang akhirnya akan
menyebabkan peningkatan sitokin. Sitokin tersebut meningkatkan
ekspresi dari molekul adhesi yang mengikat leukosit dan molekul
kemoatraktan (seperti MCP-1/ monocyte chemoattractan protein 1) yang
menyebabkan migrasi leukosit ke tunika intima. Selanjutnya akan terjadi
stimulasi macrophage colony stimulating factor yang menyebabkan
ekspresi dari reseptor scavenger. Reseptor ini memediasi uptake
modified lipoprotein yang menyebabkan terbentuknya foam cells. Foam
cells merupakan sumber dari sitokin, molekul efektor seperti anion
superoksida dan matrix metalloproteinase. Kemudian akan terjadi
migrasi sel otot polos dari tunika media ke tunika intima yang akan
menyebabkan peningkatan ketebalan intima. Pada stage akhir dapat
terjadi kalsifikasi dan fibrosis.
Selain karena adanya pembentukan thrombus, UAP/NSTEMI juga
dapat disebabkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
(akibat adanya takikardia atau hipertensi) atau karena pengurangan
suplai (pengurangan diameter lumen vaskular oleh thrombus,
vasospasme atau hipotensi).

15
Gambar 1. Pembentukan plak (Collet et al., 2021).
2. Pembentukan thrombus
Pembentukan thrombus dari plak atherosklerotik melibatkan proses
rupture plak yang akan memaparkan elemen darah terhadap substansi
trombogenik dan disfungsi endotel sehingga kehilangan fungsi
vasodilatasi dan antotrombotik. Rupturnya plak merupakan pemicu
utama. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mengurangi
stabilitas plak, stress fisik.

Gambar 2. Pembentukan thrombus (Collet et al., 2021).


Komposisi dari plak atheroma dipengaruhi oleh mekanisme
sintesis dan degradasi. Sintesis sel otot polos membuat formasi fibrous
cap disamping kolagen dan elastin. Foam sel meningkatkan aktivasi dan
enzim proteolitik seperti matrix metalloproteinase yang mendegradasi
kolagen dan elastolitik katepsin. Derivate dari sel limfosit T juga
merusak fibrous cap. Plak dengan fibrous cap yang tipis mudah menjadi
rupture jika ada stress yang tinggi baik secara spontan maupun saat
aktivitas fisik.

16
Gambar 3. Patofisilogi ACS (Collet et al., 2021).
Setelah terjadi rupturnya plak akan terjadi pemaparan platelet
terhadap lapisan kolagen subendotelial sehingga platelet terkativasi dan
menjadi beragregasi. Mengaktivasi kaskade koagulasi dan
vasokonstriksi. Mekanismenya dapat dilihat pada gamar di bawah.
Disfungsi endotel akan menyebabkan penurunan produksi vasodilator
dam antiplatelet (Gulati et al., 2021; Liwang et al., 2020).

17
Gambar 4. Pembentukan thrombosis (Gulati et al., 2021; Liwang et al.,
2020).
3.1.6 Manifestasi Klinis
1. UAP
Pada angina tidak stabil terdapat 3 kriteria yaitu nyeri dada terjadi
pada saat istirahat, nyeri dada onset baru, nyeri dada crescendo (lebih
berat, panjangm dan sering dari pada sebelumnya). Nyeri dada mempunyai
ciri rasa nyeri atau tidak nyaman pada daerah retrosternal yang sulit untul
dilokalisasi. Pasien dengan UAP dapat berlanjut menjadi NSTEMI atau
STEMI jika tidak ditangani dengan baik (PERKI, 2018)
2. Infark miokard akut (STEMI dan NSTEMI)
Nyeri dada dirasakan lebih parah, lebih lama, dan menjalar lebih luas.
Sensasi nyeri disebabkan oleh pelepasan laktat dan adenosin pada ujung
saraf biasanya mengenai dermatom C7 sampai T4 meiputi leher,
punggung, dan lengan. Gejala simpatik dapat berupa diaphoresis dan kulit
yang dingin. Pada iskemia yang luas, dapat terjadi penurunan
kontraktilitas ventrikel kiri sehingga mengurangi stroke volume kemudian
akan diikuti oleh peningkatan volume dan tekanan diastolic ventrikel kiri.
Kemudian diikuti peningkatan di atrium kiri dan vena pulomer sehingga
terjadi kongesti paru yang mengurangi compliance paru dan menstimulasi
reseptor jukstakapiler yang menyebakan napas cepat, dangkal dan sensasi
sesak napas. Gejala fisik yang muncul antara lain dapat ditemukan S4, S3

18
maupun murmur sistolik. Bisa juga terjadi demam yang low grade karena
pengeluaran sitokin seperti IL-1 dan TNF (PERKI, 2018).
3.1.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA, sifat
nyeri dada pada angina sebagai berikut (PERKI, 2018):
a. Lokasi : substernal, retrosternal, dan precordial.
b. Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada antara lain perikarditis akut, emboli paru,
diseksi aorta akut, kostokondritis, dan gangguan gastrointestinal.
2. Pemeriksaan fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >
30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar
seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf
simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark
inferior menunjukan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau
hipotensi) (PERKI, 2018).
Tanda fisik lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi
jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apical
yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan

19
pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 °C dapat dijumpai dalam
minggu pertama pasca STEMI (PERKI, 2018).
3. Pemeriksaan Penunjang
A. EKG
 STEMI
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosa infark miokard gelombang Q sebagian kecil menetap
menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus
tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak
kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut
biasanya mengalami UAP atau NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa
elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut
infark non Q. Sebelumnya, istilah infark transmural digunakan jika
EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan
infark miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan
perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata
tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark
(mural/transmural) sehingga terminologi infark miokard gelombang Q
dan non Q menggantikan infark miokard mural/transmural (Collet et
al., 2021; Gulati et al., 2021; PERKI, 2018).
 NSTEMI
Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST
merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada
Trombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) III Registry; adanya
depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan prediktor
outcome yang buruk. Kaul et al, menunjukkan peningkatan risiko
outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya
depresi segmen ST, dan baik depresi segmen ST maupun perubahan
troponin T, keduanya memberikan tambahan informasi prognosis

20
pasien-pasien dengan NSTEMI (Collet et al., 2021; Gulati et al., 2021;
PERKI, 2018).
 UAP
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun
stratifikasi risiko pasien UAP.Adanya depresi segmen ST yang baru
menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut.Gelombang T negatif
juga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST
dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,05
mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk
iskemia, dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada UAP, sebanyak
4% mempunyai EKG yang normal, dan pada NSTEMI, sebanyak 1-
6% EKG juga normal (Collet et al., 2021; Gulati et al., 2021; PERKI,
2018).
Berdasarkan tampilan EKG infark miokardium dapat dibedakan
menjadi UA/NSTEMI dengan STEMI. Pada UA dan NSTEMI perubahan
yang dapat terjadi antara lain:

Gambar 5. Perjalanan EKG pada UAP / NSTEMI (PERKI, 2018)

21
Sedangkan pada STEMI akan terjadi evolusi gambaran EKG seperti di
bawah ini:

Gambar 6. Perjalanan EKG STEMI (PERKI, 2018)

Adapun lokasi iskemia berdasarkan perubahan sadapan di EKG sebagai


berikut:
Tabel 3. Lokasi Infark Bedasarkan Sadapan EKG
Lokasi Dadapan
Septum V1-V2
Anterior V3-V4
Apeks V5-V6
Lateral I, aVL, V5-V6
Anteroseptal V1-V4
Anterolateral I, aVL, V3-V6
Anterior-ekstensif I, aVL, V2-V6
Inferior II, III, aVF
Ventrikel Kanan V3R dan V4R
Posterior V7-V9
Sumber: PERKI, 2018

B. LAB
 STEMI
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin kinase myocardial
band (CKMB) dan cardiac specifik troponin (cTn) T atau cTn I dan
dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal

22
untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada
keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan
elevasi ST dan gejala infark miokard, terapi reperfusi diberikan segera
mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker (Gulati et
al., 2021; PERKI, 2018).
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
a. CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-
4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik
dapat meningkatkan CKMB.
b. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat
setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14
hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
c. Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai
puncak dalam 4-8 jam.
d. Creatinin kinase (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali
normal dalam 3-4 hari.
e. Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila
ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali
normal dalam 8-14 hari.
 NSTEMI
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard
yang lebih disukai, karena lebih spesifik dari pada enzim jantung
tradisional seperti CK dan CKMB.Pada pasien dengan infark miokard,
peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan
dapat menetap sampai 2 minggu (Gulati et al., 2021; PERKI, 2018).
 UAP

23
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CKMB telah
diterima sebagai petanda paling penting dalam diagnosa SKA.Menurut
ESC dan ACC dianggap ada mionekrosis bila troponin T atau I positif
dalam 24 jam.Troponin tetap positif dalam 2 minggu.Risiko kematian
bertambah dengan tingkat kenaikan troponin. CKMB kurang spesifik
untuk diagnosa karena juga diketemukan di otot skeletal, tapi berguna
untuk diagnosa infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam
dan kembali normal dalam 48 jam (Gulati et al., 2021; PERKI, 2018).
3.1.8 Tatalaksana
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari evidence
based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang
ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline) (Gulati et al., 2021;
PERKI, 2018).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA
dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2018 dan ESC tahun 2018, tetapi
perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan
kemampuan ahli yang ada (Gulati et al., 2021; PERKI, 2018).
1. Tatalaksana Awal (Ruang emergensi)
Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan
diagnosis kerja Kemungkinan ACS atau ACS atas dasar keluhan angina di
ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka
jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat,
Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau
bersamaan (Gulati et al., 2021; PERKI, 2018).
 Tirah baring
 Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi
O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi.

24
 Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien ACS dalam 6
jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.
 Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih
cepat.
 Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate) a.Dosis awal
ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-
B) atau b.Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor
ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel).
 Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat jika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang
setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena
diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis
NTG sublingualdalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat
(ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
 Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
2. Tatalaksana Pada Pasien STEMI
 Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikular yang maligna (Gulati et al., 2021; PERKI,
2018).

25
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk
memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to
balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit (Gulati et al.,
2021; PERKI, 2018).

Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor


penting terhadap luas infark dan outcome pasien.Efektivitas obat
fibrinolitik dalam menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi
fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka
kematian (Liwang, Yuswar, Wijaya, & Sanjaya, 2020; Patricia et al.,
2018; PERKI, 2018).
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan
pada pasien.Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan
fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi
fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI.Jika PCI
tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus
mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi
intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan
(Liwang, Yuswar, Wijaya, & Sanjaya, 2020; Patricia et al., 2018;
PERKI, 2018).
A. Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa
didahului fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI
efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan
beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih
efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang
tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan
jangka panjang yang lebih baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika
terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun),
risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-
kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang

26
mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal
dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit
(Liwang, Yuswar, Wijaya, & Sanjaya, 2020; Patricia et al., 2018;
PERKI, 2018).

Gambar 7. Tatalaksana PCI (PERKI, 2018)


B. Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak
masuk (door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat
kontraindikasi.Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi arteri
koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik
antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu
konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan
trombus fibrin (Liwang, Yuswar, Wijaya, & Sanjaya, 2020;
Patricia et al., 2018; PERKI, 2018).
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri
dada dan penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit
pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada

27
graft vena, sehingga pada pasien paska CABG datang dengan
IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI (Liwang,
Yuswar, Wijaya, & Sanjaya, 2020; Patricia et al., 2018; PERKI,
2018).

Kontraindikasi absolut
1. Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2. Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3. Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4. Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam
3 jam
5. Dicurigai diseksi aorta
6. Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7. Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3
bulan
Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg
atau TDS>110 mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau
diketahui patologi intrakranial yang tidak termasuk
kontraindikasi
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau
operasi besar (<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase: riwayat penggunaan >5 hari
sebelumnya atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif

28
10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin
tinggi risiko perdarahan.
Obat Fibrinolitik
1. Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin.
Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan
pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi
alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya
yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang
rendah.8
2. Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of
Strategies to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial
menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada
pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA
harganya lebih mahal disbanding SK dan risiko perdarahan
intrakranial sedikit lebih tinggi (Jneid & Michael Lincoff,
2022).
3. Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan
keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III
trial dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang
lebih panjang (Jneid & Michael Lincoff, 2022).
4. Tenekteplase (TNKase): Keuntungannya mencakup
memperbaiki spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap
plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari
TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3
flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan
dengan tPA (Jneid & Michael Lincoff, 2022).
Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu
terapi yang manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa
risiko seperti perdarahan.
3. Tatalaksana Lainnya

29
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua
pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet
(aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated
Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat
beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker (Liwang, Yuswar,
Wijaya, & Sanjaya, 2020; Patricia et al., 2018; PERKI, 2018).

A. Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI
berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang
terkait infark.Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut
penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar
23% dan infark non fatal sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan
hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan
6 bulan pada kelompok abciximab dan stenting.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan
terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu
trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait
infark.Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U)
dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam).Activated
partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2
kali.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung
kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau
fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus
mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH)
selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan.
B. Thienopiridin

30
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien
dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang
menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators
mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang
mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan
kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non
fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada
kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka
kematian 1 tahun tertinggi (18%).
C. Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat
yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam
jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark.
Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen
miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko
kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien
termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan
kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri
sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma). 2
D. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan
manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat
beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE
pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat
infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian
infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE
menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien
STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada
pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan

31
imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau
terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.
3.1.9 Komplikasi
1. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya
gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan
dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark
pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
2. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama
kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia
mempunyai korelasi dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada
awal (10 hari infark) dan sesudahnya.
3. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan
90% terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi
syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
4. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan
yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan
atau tanpa hipotensi.
5. Aritmia paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan
sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan
konduksi di zona iskemi miokard.
6. Ekstrasistol ventrikel

32
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua
pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif
dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.2
7. Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia
sebelumnya dalam 24 jam pertama.
8. Fibrilasi atrium
9. Aritmia supraventrikular
10. Asistol ventrikel
11. Bradiaritmia dan Blok
12. Komplikasi Mekanik
13. Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding
ventrikel.
3.1.10 Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska serangan infak
miokard akut, diantaranya sebagai berikut:
1. Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik
Tabel 4. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Kelas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal jantung 6
II +S3 dan atau ronki basah 17
III Edema Paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
Sumber: PERKI, 2018; Waters & Arsenault, 2016
2. Klasifikasi berdasarkan skor Thrombolysis In Myocardial Infarction
(TIMI)
Tabel 5. Klasifikasi TIMI pada Infark Miokard Akut
Faktor Risiko Bobot Point
Usia 65 – 74 tahun 2 point
Usia > 75 tahun 3 point

33
Diabetes mellitus/hipertensi/angina 1 point
TDS < 100 mmHg 3 point
Frekuensi jantung > 100x/menit 2 point
Klasifikasi kilip II-IV 1 point
Berat badan < 67 kg 1 point
Elevasi ST anterior atau LBBB 1 point
Waktu reperfusi > 4 jam 1 point
Sumber: PERKI, 2018; Waters & Arsenault, 2016

Tabel 4. Interpretasi Skor TIMI


Risk Score 30 Day Mortality In Time (%)
0 0.8
1 1.6
2 2.2
3 4.4
4 7.3
5 12
6 16
7 23
8 27
>8 36
Sumber: PERKI, 2018; Waters & Arsenault, 2016

3. Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks


jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
Tabel 3. Klasifikasi Forrester pada Infark Miokard Akut
Kelas Indeks Kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
(L/min/m2)

I >2,2 <18 3

34
II >2,2 >18 9

III <2,2 <18 23

IV <2,2 >18 51

Sumber: PERKI, 2018; Waters & Arsenault, 2016

BAB 4
PEMBAHASAN

Nyeri dada dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu nyeri dada tipikal (angina
tipikal) dan atipikal (angina ekuivalen). Persentasi pasien ini sesuai dengan nyeri dada
tipikal dimana ditemukan adanya keluhan berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal,
menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium;
berlangsung secara intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit); disertai keluhan
penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop
(Collet et al., 2021; Gulati et al., 2021; PERKI, 2018). Sedangkan pada nyeri dada
atipikal dapat dijumpai nyeri pleuritik, abdomen tengah/bawah, dapat ditunjuk
dengan satu jari pada apeks ventrikel kiri atau kostokondral, menjalar ke
ekstremitas bawah, dan berlangsung dengan durasi hanya beberapa detik, dan
dapat disertai dengan gangguan pencernaan, sesak dan rasa lemah yang sulit
diuraikan. Keluhan atipikal ini sering terjadi pada usia muda (25-40 tahun) atau
lansia (>75 tahun), wanita, riwayat diabetes mellitus, gagal ginjal menahun, atau
demensia (PERKI, 2018). Prinsip utama dalam melakukan anamnesis selain
menegakkan diagnosis kerja dengan mencari tanda-tanda nyeri dada yang tipikal,
juga berperan dalam mengeleminasi kontraindikasi terapi fibrinolisis seperti
hipertensi, diseksi aorta, riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit

35
serebrovaskular (PERKI, 2018). Pada anamnesis pasien ditemukan adanya
riwayat nyeri dada yang tipikal yaitu nyeri yang berlokasi pada dada kiri yang
menjalar ke lengan kiri; berlangsung secara persisten dengan onset 6 jam; kualitas
nyeri dada terasa berat seperti tertindih; dan disertai dengan keluhan mual, dan
keringat dingin. Pada wanita dan pria sama-sama memiliki presentasi gejala nyeri
dada yang mirip, namun pada wanita sering kali ditemukan gejala-gejala lain
seperti palpitasi, mual/muntah, kelelahan, napas pendek, gejala epigastrium dan
nyeri pada rahang, leher, serta punggung (Gulati et al., 2021).
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan dalam batas normal. Tidak ada
pemeriksaan fisik yang spesifik pada pasien dengan STEMI, namun pemeriksaan
fisik dapat dilakukan untuk identifikasi faktor risiko dan komplikasi iskemia,
penyakit penyerta, menyingkirkan diagnosis banding, serta penilaian risiko
segera. Temuan seperti regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, ronki basah halus,
suara jantung S3 gallop, dan tanda edema paru dapat meningkatkan peningkatan
kecurigaan terhadap ACS (Gulati et al., 2021; PERKI, 2018).
Pemeriksaan penunjang yang essensial pada pasien STEMI adalah
elektrokardiogram (EKG) mencari tanda dari peningkatan segmen ST (Collet et
al., 2021). Seluruh pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan yang mengarah
gejala iskemia merupakan indikasi dalam melakukan pemeriksaan EKG dengan
segera (maksimal terintepretasi dalam waktu 10 menit), sekaligus mendeteksi
adanya aritmia yang dapat mengancam jiwa (Collet et al., 2021; PERKI, 2018).
Pada pasien ditemukan adanya peningkatan segmen ST yang berlokasi pada
sadapan aVL dan V1-V6 yang mengindikasikan terjadinya infark anterior
ekstensif. Pada gambaran EKG pasien juga terdapat adanya rabbit ear
appearence di lead II, III dan aVF dengan durasi 0.08 sekon yang
mengindikasikan adanya Right Bundle Branch Blok (RBBB) inkomlpit. RBBB
dapat disebabkan oleh stenosis mitral, atrial septal defect, infak miokard akut,
serta bisa juga suatu variasi normal (Teplitz, 2019).
Pemeriksaan biomarka jantung adalah untuk melihat dari adanya nekrosis
pada miosit sehingga dapat membedakan antara kondisi nyeri dada dengan infark
dan non infark, sehingga pemeriksaan ini cocok untuk membedakan kondisi tanpa

36
adanya peningkatan segmen ST yaitu UAP dan NSTEMI dimana pada NSTEMI
terjadi peningkatan biomarka jantung (Liwang et al., 2020). Terdapat berbagai
jenis biomarka jantung antara lain mioglobin, troponin I/T, dan Creatine Kinase-
MB (CK-MB). Namun oleh karena pasien dengan STEMI memerlukan terapi
reperfusi se-segera mungkin sehingga terapi reperfusi dapat dilakukan sebelum
hasil pemeriksaan biomarka jantung muncul (PERKI, 2018).
Pada pasien ini diberikan terapi awal berupa O2 nasal kanul 2 lpm, IVFD
NaCl 0,9% 20 tpm, Clopidogrel 300 mg (loading dose), Aspilet 320 mg (loading
dose), Inj Fundaparinux 2.5 (Scra) / 24 jam (6 jam post trompolitik),
Lansoprazole 30 mg / 24 jam, Atorvastatin 40 mg / 24 jam, Ramipril 5 mg / 24
jam, Diazepam 5 mg / 8 jam, Concor (Bisoprolol) 1.25 mg / 8 jam, Laxadin 3 x 1
C. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2
arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi (PERKI, 2018). Pemberian
obat antiplatelet diindikasikan pada pasien ACS. Aspirin wajib diberikan pada
semua pasien tanpa kontraindikasi dan tanpa memandang strategi pengobatan
yang diberikan (PERKI, 2018). Mekanisme kerja obat aspirin yaitu mengurangi
agregasi platelet dengan cara menghambat enzim COX-1 dan COX-2 secara
irreversibel di prostaglandin synthesis pathway (PGH2) (AM, Lopez, & Hai,
2020). Dalam dosis rendah (75–150 mg) hanya dapat menginhibisi enzim COX-1
sehingga diperlukan dosis tinggi atau Loading pada fase awal untuk menginhibisi
enzim COX-2 (AM et al., 2020). Sedangkan clopidogrel memiliki efek anti
agregasi dan menghambat pembentukan trombus dengan cara menghambat
reseptor P2Y12 di platelet secara irreversible (AM et al., 2020). Loading dosis
clopidogrel 300 mg diberikan pada pasien yang akan menjalani terapi reperfusi
dengan agen fibrinolitik. Selain itu, pemberian kombinasi aspirin dengan obat
golongan P2Y12 inhibitor ini selama 12 bulan terbukti dapat menurunkan
kejadian iskemia pada pasien SKA atas pertimbangan risiko perdarahan pada
pasien (Jneid & Michael Lincoff, 2022). Pemberian beta bloker dapat diberikan
sebagai pilihan obat lini pertama terutama bagi pasien dengan angina yang
berhubungan dengan kerja fisik, hipertensi, takikardia, maupun pada pasien
dengan riwayat penyakit jantung atau gagal jantung kronis yang stabil dengan

37
mekanisme kerja menurunkan demand dari oksigen pada miokardium dengan cara
memperlambat denyut jantung dan kontraktilitas, sehingga beban jantung dalam
memompa darah ke seluruh tubuh berkurang (Ganiswara, 2017; Liwang et al.,
2020; PERKI, 2018). Pasien diberikan penyekat beta kardioselektif berupa
bisoprolol. Statin berperan dalam mengurangi konsentrasi lipoprotein aterogenik
yang bersirkulasi sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya kejadian
kardiovaskular. Statin dapat diberikan secara langsung tanpa melihat kadar LDL
maupun diet pada pasien dan direkomendasikan dimulai sedini mungkin (Jneid &
Michael Lincoff, 2022; Liwang et al., 2020; PERKI, 2018). Pada pasien ini
diberikan obat statin berupa atorvastatin. Obat antikoagulan berperan dalam
mencegah pembekuan darah dan menghambat pembentukan fibrin sehingga dapat
mengurangi pembesaran thrombus (Ganiswara, 2017). Adanya konstipasi
mengakibatkan terjadinya kontraktilitas pada otot yang dapat memicu peningkatan
dari tekanan darah sehingga meningkatan kejadian kardiovaskular. Untuk
mencegah hal tersebut dapat dilakukan pemberian obat Laxative Agent (laxadine)
(Ishiyama, Hoshide, Mizuno, & Kario, 2019). dapat diberikan pada pasien sebagai
anti-ansietas dimana sekitar 50% pasien mengalami kecemasan oleh karena nyeri
dada dan SKA yang dapat mengancam nyawa. Melalui pengurangan kecemasan
juga diyakini dapat berperan dalam efek kardiovaskular baik secara langsung
maupun tidak langsung seperti vasodilatasi, anti-iskemik, anti-aritmia, inhibisi
trombosit, dan menurunkan kadar katekolamin (Von Känel et al., 2021).
Penambahan obat golongan Proton Pump Inhibitor (PPI) berupa pantoprazole
dapat diindikasikan kepada pasien sebagai proteksi terhadap gaster dan
pencegahan risiko terjadinya perdarahan saluran cerna oleh karena mendapatkan
DAPT (Dual Antiplatelet Therapy) (Collet et al., 2021).
Dalam menentukan prognosis pada pasien ACS dapat menggunakan
berbagai perhitungan stratifikasi risiko seperti skoring kilip dan TIMI. Pada
pasien ini didapatkan skoring Killip I, dan TIMI 5/14. Pasien dengan skor Killip I
artinya, tidak ada gagal jantung kongestive dan memiliki persentase mortilitas
sebesar 6 %. Skor TIMI terdiri dari 14 poin dan digunakan untuk memperkirakan
mortalitas pasien dalam 30 hari kedepan dengan variasi skor mortalitas mulai dari

38
0,8% pada poin skor 0 hingga 35,9% pada poin skor >8 (PERKI, 2018; Waters &
Arsenault, 2016). Pada pasien ditemukan bahwa skor TIMI 5/14 yang dimana
pasien memiliki persentase mortalitas sebesar 12 % dalam 30 hari.

BAB 5
KESIMPULAN

Acute Coronary Syndrome (ACS) ditandai oleh adanya ketidakseimbangan


antara pasokan dengan kebutuhan oksigen miokard. Sindroma koroner akut
mencakup Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST (IMA-EST) / ST
Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI), Infark Miokard Non-Elevasi
Segmen ST (IMA-NEST)/ Non-ST Segment Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI), dan Angina pektoris tidak stabil/Unstable Angina Pectoris (UAP)
Diagnosis ACS dapat ditegakkan dari 3 komponen utama, yaitu dari anamnesis,
EKG, dan pengukuran enzim-enzim jantung (cardiac marker). Angina pectoris
tak stabil ditandai dengan keluhan nyeri dada tipikal tanpa peningkatan enzim
jantung. NSTEMI ditandai dengan nyeri dada tipikal yang disertai perubahan
EKG berupa ST depress dan peningkatan enzim jantung. STEMI ditandai dengan
nyeri dada tipikal yang disertai perubahan EKG berupa ST elevasi dan
peningkatan enzim jantung. Penanganan dini yang harus segera diberikan kepada
pasien nyeri dada dengan kecurigaan ACS adalah MONACO (morfin, oksigen,
nitrat, aspilet, clopidogrel)

39
DAFTAR PUSTAKA

AM, I., Lopez, R., & Hai, O. (2020). Antiplatelet Medications - StatPearls - NCBI
Bookshelf. NCBI.

Collet, J. P., Thiele, H., Barbato, E., Bauersachs, J., Dendale, P., Edvardsen, T.,
… Siontis, G. C. M. (2021). 2020 ESC Guidelines for the management of
acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-
segment elevation. European Heart Journal, 42(14), 1296–1336.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehaa575

Gulati, M., Levy, P. D., Mukherjee, D., Amsterdam, E., Bhatt, D. L., Birtcher, K.
K., … Shaw, L. J. (2021). 2021 AHA/ACC/ASE/CHEST/SAEM/SCCT/SCMR
Guideline for the Evaluation and Diagnosis of Chest Pain: A Report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Joint
Committee on Clinical Practice Guidelines. Circulation (Vol. 124–143).
https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000001029

Ganiswara SG. (2017). Farmakologi dan Terapi. Fkui.


Ishiyama, Y., Hoshide, S., Mizuno, H., & Kario, K. (2019). Constipation-induced
pressor effects as triggers for cardiovascular events. Journal of Clinical
Hypertension, 21(3), 421–425. https://doi.org/10.1111/jch.13489

40
Jneid, H., & Michael Lincoff, A. (2022). Acute coronary syndromes. The
Cleveland Clinic Foundation Intensive Review of Internal Medicine: Sixth
Edition, 399(10332), 341–342. https://doi.org/10.1161/circresaha.114.302806

Kemenkes RI. (2018). Situasi kesehatan jantung. Pusat Data Dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI, 3.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.
Liwang, F., Yuswar, patria w, Wijaya, E., & Sanjaya, nadira p. (2020). Kapita
Selekta Kedokteran Edisi V. Jakarta: Media Aesculapius.

Loscalzo, J. (2010). Harrison’s Cardiovascular Medicine. Mc Graw Hill Medical.


https://doi.org/10.1002/9780470745465.ch3

Patricia, M. I., Suling, F. R. ., & Suling, T. E. (2018). Prevalensi dan Faktor


Risiko Sindrom Koroner Akut di Rumah Sakit Umum Universitas Kristen
Indonesia. Majalah Kedokteran UKI, 35(3), 1101–1114

PERKI. (2018). Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut. Indonesian Heart
Association.

Teplitz, L. (2019). The Only ECG Book Youʼll Ever Need. Dimensions Of Critical
Care Nursing (Vol. 8). https://doi.org/10.1097/00003465-198905000-00006

Von Känel, R., Schmid, J. P., Meister-Langraf, R. E., Barth, J., Znoj, H.,
Schnyder, U., … Pazhenkottil, A. P. (2021). Pharmacotherapy in the
management of anxiety and pain during acute coronary syndromes and the
risk of developing symptoms of posttraumatic stress disorder. Journal of the
American Heart Association, 10(2), 1–11.
https://doi.org/10.1161/JAHA.120.018762

Waters, D. D., & Arsenault, B. J. (2016). Predicting Prognosis in Acute Coronary


Syndromes: Makeover Time for TIMI and GRACE? Canadian Journal of
Cardiology, 32(11), 1290–1293. https://doi.org/10.1016/j.cjca.2016.02.053

41

Anda mungkin juga menyukai