Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


ASPERGILLOSIS

Oleh:
Henry Jonathan
01073210077

Pembimbing:
dr. Sylvia Sagita Siahaan, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE
PAVILIUN UMUM RUMAH SAKIT SILOAM LIPPO KARAWACI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE JANUARI-MARET 2023
TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ 2

BAB I ILUSTRASI KASUS .................................................................................................... 3

I.1 Identitas Pasien .......................................................................................................... 3

I.2 Anamnesis ................................................................................................................. 3

I.3 Pemeriksaan Fisik ...................................................................................................... 4

I.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................................. 9

I.5 Resume .................................................................................................................... 12

I.6 Daftar Masalah ........................................................................................................ 12

I.7 Prognosis ................................................................................................................. 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 14

2.1 Definisi .................................................................................................................... 14

2.2 Epidemiologi ........................................................................................................... 14

2.3 Etiologi .................................................................................................................... 15

2.4 Patofisiologi ............................................................................................................. 16

2.5 Manifestasi Klinis .................................................................................................... 20

2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 25

2.7 Tatalaksana .............................................................................................................. 29

2.8 Diagnosis Banding................................................................................................... 30

2.9 Komplikasi .............................................................................................................. 30

2.10 Prognosis ................................................................................................................. 31

BAB III ANALISIS KASUS ................................................................................................. 32

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 34


2
BAB I ILUSTRASI KASUS

I.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. M
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 52 tahun
Tanggal Lahir : 02 Februari 1970
No. Rekam Medis : RSUS 01-14-45-xx
Agama : Islam
Status Pernikahan : Sudah menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tanggal Masuk RS : 25 Januari 2023
Tanggal Pemeriksaan : 25 Januari 2023

I.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di poli RSUS lantai 1 pada
tanggal 25 Januari 2023.

Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan batuk berdarah yang memberat sejak 1 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan batuk berdarah yang memberat sejak 1 hari SMRS.
Keluhan batuk berdarah dialami terus menerus. Darah berwarna merah segar. Pasien batuk
sebanyak 4-5x sehari, dengan volume darah sebanyak 3 sendok makan. Tidak ada yang dapat
memperingan keluhan batuk berdarah yang dialami. Keluhan batuk darah sudah dirasakan
sejak 3 tahun yang lalu. Pada awalnya batuk berdarah yang dialami muncul secara hilang
timbul. Batuk juga disertai dengan dahak berwarna putih kehijauan yang semakin bertambah
banyak seiring waktu. Pasien juga mengalami penurunan berat badan dan badan terkadang
terasa lemas. Pasien menyangkal adanya keluhan sesak napas, demam, atau keringat malam.
Pasien memiliki riwayat diagnosis TB pada 6 tahun yang lalu yang didapatkan ketika pasien
berobat ke Puskesmas Bojong Kamal. Pasien mengonsumsi OAT selama 6 bulan pada 5 tahun 3
yang lalu. Sejak saat itu, pasien rutin berobat ke puskesmas dan Rumah Sakit Keluarga Kita.
Pasien terakhir memeriksakan diri ke puskesmas pada bulan Oktober tahun 2022, dan
mendapatkan obat-obatan untuk meringankan batuk dan antibiotik, tetapi keluhan pasien tidak
kunjung membaik. Pasien tidak mengeluhkan keluhan lainnya sepeti mual, muntah, pusing,
sakit kepala, ataupun nyeri tenggorokan. Pasien memiliki riwayat DM sejak 8 tahun yang lalu,
dan sejak itu pasien rutin minum obat DM. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit darah tinggi,
asam urat, ataupun kolesterol. Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan ataupun obat-
obatan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat penyakit TB, yang didiagnosis sejak 6 tahun yang lalu. Pasien
juga memiliki riwayat DM sejak 8 tahun yang lalu. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
darah tinggi, asam urat maupun kolesterol.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien menyangkal adanya keluhan serupa pada keluarga. Riwayat penyakit pada
keluarga seperti darah tinggi, kencing manis, asma dan alergi pada keluarga disangkal pasien.

Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya alergi terhadap makanan atau obat-obatan tertentu.

Riwayat Pengobatan
Pasien rutin mengonsumsi Metformin 3x500mg dan Itraconazole 2x100mg. Pasien
menyangkal penggunaan obat-obatan lainnya.

Riwayat Sosial / Budaya


Pasien tidak merokok, konsumsi alkohol ataupun obat-obatan terlarang.

I.3 Pemeriksaan Fisik

o Keadaan umum : Tampak sakit sedang


o Kesadaran : Compos mentis
o GCS : E4 M6 V5
o Tinggi badan : 152 cm
4
o Berat badan : 44 kg
o BMI : 19.0

Tanda-tanda Vital

o Tekanan darah : 110/70 mmHg


o Frekuensi Napas: 18x/menit
o Nadi : 80x/menit
o Suhu : 36.5ºC
o SpO2 : 98 % on room air

5
Status Generalis

Kepala • Simetris, normosefali


• Benjolan/deformitas (-)
Mata • Palpebra : Edema (-/-)
• Kornea : Jernih
• Sklera : Ikterik (-/-)
• Konjungtiva : Anemis (-/-)
• Mata tidak cekung
• Pupil bulat, isokor 3mm/3mm
• RCL/RCTL (+/+)
Hidung • Bentuk simetris
• Perdarahan (-)
• Sekret (-)
• Deviasi septum (-)
Telinga • Bentuk simetris
• Bekas luka (-)
• Deformitas (-)
• Perdarahan (-)
• Sekret (-)
Mulut • Bibir : Simetris, sianosis (-)
• Mukosa normal, lembab
• Faring : Hiperemis (-)
• Uvula : Ditengah, Simetris, Hiperemis (-)
• Tonsil : T1/T1
Leher • Bekas luka (-)
• Massa (-)
• Deviasi trakea (-)
• Pembesaran kelenjar tiroid (-)
• Pembesaran kelenjar getah bening (-)

6
Paru-Paru

Inspeksi Pengembangan dinding dada secara statis


maupun dinamis simetris kiri dan kanan
Bekas luka (-), deformitas (-), diskolorisasi (-)
Spider naevi (-)
Retraksi interkostal (-) Pectus excavatum (-)
Pectus carinatum (-)
Palpasi Nyeri tekan (-)
Chest expansion simetris Tactile fremitus simetris
Perkusi Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi Vesikuler (+/+)
Ronchi (-/-)
Wheezing (-/-)

Cor

Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi Ictus cordis tidak teraba

Perkusi Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

7
Abdomen

Inspeksi Bentuk abdomen datar Distensi (-)


Bekas luka (-) Caput medusa (-) Darm contour (-)
Darm steifung (-)
Auskultasi Bising usus 12x/menit
Metallic sound (-) Bruit (-)
Perkusi Timpani pada seluruh regio abdomen
Shifting dullness (-)
Palpasi Nyeri tekan (-)

- - -
- - -
- - -

Massa (-)
Defans muskular (-) Hepatosplenomegali (-)
Spesial Tes Fluid wave (-)
Nyeri tekan Mc Burney (-) Rovsing sign (-)
Obturator sign (-)
Nyeri tekan suprapubik (-) Nyeri ketok CVA (-)

Ekstremitas

Inspeksi Sianosis (-)


Clubbing finger (-)
Palpasi Akral hangat
Pulsasi arteri dorsalis pedis dan radialis simetris,
kuat angkat dan isi cukup
CRT < 2s, Edema (-/-)/(-/-)

8
I.4 Pemeriksaan Penunjang
CT Scan Thorax Non-Contrast (03-11-2022)

9
10
Temuan:
- Trakea: Normal
- Karina: Normal
- Bronkus Utama Kanan: Normal
- Bronkus Utama Kiri: Normal
- Bronkus Lobaris dan Segmental: Normal
- Paru Kanan-Kiri: Konsolidasi dengan crescent sign pada segmen 3 paru kiri ukuran +/- 2,9 x
2,75 cm
Fibroinfiltrat pada segmen 1, 2, 3 paru kiri
Nodul subpleural segmen 5 paru kanan diameter +/- 1 cm
Penebalan minimal pada fissura kanan
Atelektasis subsegmental pada segmen 5 paru kiri
- Pleura: Normal
- Perikardium: Normal
- Jantung: Normal
- Mediastinum: Normal
- Vena Cava Superior: Normal
- Aorta: Normal
- Arteri Pulmonalis: Normal
- Vena Brakhiosefalik: Normal
- Arteri Subclavia kiri: Normal
- Arteri Karotis Komunis kiri: Normal
- Trunkus Brakhiosefalik kanan: Normal
- Kelenjar Getah Bening: Tampak pembesaran KGB multiple pada paratrakea diameter +/- 0,8-
1,2 cm
- Tulang: Mild dextrosclerosis vertebra thoracalis, spondylosis thoracalis
- Esofagus: Normal
- Gastroesofageal Junction: Normal
- Abdomen yang Tervisualisasi: Normal

Kesan:
- Konsolidasi dengan crescent sign pada segmen 3 paru kiri ukuran +/- 2,9 x 2,75 cm →
Aspergillosis 11

- Fibroinfiltrat pada segmen 1, 2, 3 paru kiri → TB paru lama aspek aktif


- Nodul subpleural segmen 5 paru kanan diameter +/- 1 cm
- Penebalan minimal pada fissura kanan
- Atelektasis subsegmental pada segmen 5 paru kiri
- Lymphadenopathy multiple pada paratrakea diameter +/- 0,8-1,2 cm

I.5 Resume

Pasien datang dengan keluhan batuk darah yang memberat sejak 1 hari SMRS. Keluhan batuk
berdarah dialami terus menerus. Darah berwarna merah segar. Pasien batuk sebanyak 4-5x
sehari, dengan volume darah sebanyak 3 sendok makan. Keluhan batuk darah sudah dirasakan
sejak 3 tahun yang lalu. Pada awalnya batuk berdarah yang dialami muncul secara hilang
timbul. Batuk juga disertai dengan dahak berwarna putih kehijauan yang semakin bertambah
banyak seiring waktu. Pasien juga mengalami penurunan berat badan dan badan terkadang
terasa lemas. Pasien menyangkal adanya keluhan sesak napas, demam, atau keringat malam.
Pasien memiliki riwayat diagnosis TB pada 6 tahun yang lalu yang didapatkan ketika pasien
berobat ke Puskesmas Bojong Kamal. Pasien mengonsumsi OAT selama 6 bulan pada 5 tahun
yang lalu. Sejak saat itu, pasien rutin berobat ke puskesmas dan Rumah Sakit Keluarga Kita.
Pasien terakhir memeriksakan diri ke puskesmas pada bulan Oktober tahun 2022, dan
mendapatkan obat-obatan untuk meringankan batuk dan antibiotik, tetapi keluhan pasien tidak
kunjung membaik.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan pasien tampak sakit sedang, tetapi tidak ditemukan
kelainan apapun. Pada pemeriksaan CT Scan Thorax Non-Contrast ditemukan adanya
aspergillosis pada paru kiri, TB paru lama aspek aktif pada paru kiri, nodul subpleural pada
paru kanan, penebalan minimal pada fissura kanan, atelektasis subsegmental pada paru kiri,
dan lymphadenopathy multiple pada paratrakea diameter.

I.6 Daftar Masalah


1. Aspergillosis paru

2. TB paru kasus kambuh, BTA (-), HIV (-)

- Tatalaksana
Medikamentosa 12
o Itraconazole 2x100mg PO
o Codein 3x10mg PO
o Asam Traneksamat 3x500mg PO
o Rifampicin 1x450mg PO
o Isoniazide 1x1 tab PO
o Ethambutol 1x500mg PO

I.7 Prognosis
Quo Ad vitam: Bonam
Quo Ad functionam: Dubia ad Bonam
Quo Ad sanationam: Dubia ad Bonam

13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Aspergillus adalah jenis jamur yang tersebar di seluruh dunia dan dapat
menyebabkan infeksi terutama pada orang dengan status imunokompromi dan penyakit
paru-paru yang mendasar. Terdapat banyak spesies Aspergillus yang dapat menyebabkan
infeksi, termasuk tiga jenis utama infeksi Aspergillus pada saluran napas: aspergilosis
invasif, aspergilosis kronis, dan aspergilosis alergi. Infeksi aspergilosis juga dapat terjadi
sebagai penyakit sinus pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah. Jika tidak
diobati, aspergilosis invasif dapat menyebabkan mortalitas hingga 100%. Dalam kasus
yang diduga mengalami aspergilosis invasif, diperlukan pemeriksaan diagnostik yang
cermat, tetapi pengobatan sebaiknya dimulai secepat mungkin untuk mengurangi
mortalitas dan morbiditas.1

2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2017, diperkirakan terdapat lebih dari 3.000.000 kasus aspergilosis
paru kronis (CPA), dan sekitar 250.000 kasus aspergilosis invasif (IA) terjadi setiap
tahunnya di seluruh dunia2. Estimasi populasi sebelumnya pada tahun 1990-an
menunjukkan tingkat kejadian IA sebanyak 1 hingga 2 kasus aspergilosis per 100.000
populasi, meskipun dengan meningkatnya jumlah penerima transplantasi organ padat
(SOT) dan transplantasi sel batang (SCT), serta peningkatan penggunaan imunosupresan,
penelitian ini kemungkinan kurang mengilustrasikan kejadian saat ini dari IA.3 Pada
populasi berisiko tinggi, seperti penerima SCT, insiden infeksi jamur invasif (IFIs)
selama 12 bulan mencapai 3,4%; IA menyebabkan sekitar separuh dari infeksi tersebut.4
Pada penerima SOT, insiden tahunan IA adalah 0,65% dalam studi oleh Pappas, et al.5
Meskipun spesies Aspergillus umum ditemukan, aspergilosis invasif umumnya
hanya ditemukan pada populasi yang kekebalan tubuhnya menurun, terdiri dari pasien
dengan AIDS, pasien neutropenia, pasien yang menggunakan kortikosteroid dalam
jangka panjang, dan penerima transplantasi dengan obat anti-rejeksi. Insidensi
aspergilosis pada pasien yang menjalani transplantasi sumsum tulang bisa mencapai 10–
20%. Aspergilosis invasif juga dapat terjadi pada pasien kritis di unit perawatan intensif
dengan penyakit paru mendasar seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau
14
asma. Secara keseluruhan, insidensi aspergilosis invasif meningkat empat kali lipat
dalam 13 tahun terakhir. Pasien dengan penyakit paru mendasar seperti penyakit paru
obstruktif kronik, tuberkulosis, asma, kanker paru-paru, dan sarkoidosis juga berisiko
lebih tinggi untuk mengembangkan bentuk kronis aspergilosis. Aspergilosis
bronkopulmoner alergi hampir secara eksklusif ditemukan pada pasien asma dan fibrosis
kistik. Mereka yang bekerja di industri konstruksi dan pertanian mungkin berisiko lebih
tinggi terkena infeksi Aspergillus karena paparan kronis di lingkungan kerja mereka.
Merokok ganja yang terkontaminasi jamur juga dapat meningkatkan risiko terkena
infeksi. Infeksi Aspergillus nosokomial telah dilaporkan dari kamar mandi rumah sakit
dan fasilitas kesehatan yang sedang dalam konstruksi.6

2.3 Etiologi
Aspergillus spp. adalah jamur lingkungan berfilamen yang menyebabkan
berbagai infeksi pada manusia, termasuk reaksi hipersensitivitas, infeksi paru-paru
kronis, dan infeksi akut yang mengancam nyawa, terutama terjadi pada individu yang
kekebalan tubuhnya menurun. Dari lebih dari 250 spesies Aspergillus, kurang dari 40
diketahui menyebabkan infeksi pada manusia, dan dari spesies tersebut, Aspergillus
fumigatus adalah penyebab infeksi paling umum pada manusia dan penyebab penyakit
serius dan invasif.7,8
Rute utama infeksi adalah melalui saluran pernapasan. Namun, Aspergillus juga
dapat menginfeksi jaringan lain seperti kulit, sinus, sistem saraf pusat, mata, kuku, atau
menyebar ke seluruh tubuh. Dari banyak spesies Aspergillus, yang paling umum
menginfeksi manusia adalah Aspergillus fumigatus. Ketika terjadi keterlibatan sinus,
Aspergillus flavus lebih mungkin menjadi penyebab infeksi. Terkadang sulit untuk
mengidentifikasi spesies yang tepat, dan organisme akan diidentifikasi hanya sebagai
spesies Aspergillus.9

15
2.4 Patofisiologi
Aspergillus menyebabkan spektrum penyakit paru-paru (Tabel 1) yang
ditentukan oleh interaksi antara patogen Aspergillus, penyakit paru yang mendasari, dan
kekebalan tubuh inang [3-7]. Pada ujung spektrum yang satu, AI secara dominan
mempengaruhi pasien dengan gangguan kekebalan yang parah, sedangkan aspergilosis
paru kronis (CPA) mempengaruhi pasien dengan penyakit paru yang mendasar tetapi
tanpa gangguan kekebalan atau gangguan kekebalan yang ringan. Pneumonia Aspergillus
akut yang didapat dari masyarakat terjadi pada pasien tanpa defisit kekebalan yang
signifikan dan paru-paru normal. Bronkitis Aspergillus adalah bronkitis kronis yang
terutama terjadi pada pasien non-imunokompromi dengan bronkiektasis atau fibrosis
kistik. Aspergilosis bronkopulmonal alergik disebabkan oleh respons alergi terhadap
Aspergillus yang dihirup pada pasien asma.10

Tabel 1. Spektrum penyakit akibat Aspergillus.10


Sindrom Aspergilosis Status Imun Penyakit Paru
Mendasar
Aspergilosis paru invasif Pejamu imunokompromi Tidak ada
(IA) • Neutropenia berat
berkepanjangan
• Pasien
kortikosteroid,
HIV/AIDS, resipien
sel punca,
transplantasi organ
padar, penyakit
granulomatosa
kronik

Aspergilosis Pejamu imunokompromi Transplantasi paru-paru


trakeobronkial (TBA) (AIDS, pasca transplantasi)

Aspergilosis paru kronik Pejamu imunokompeten Emfisema, kavitas akibat


(CPA) tuberkulosis
16
Bronkitis Aspergillus Pejamu imunokompeten Bronkiektasis
Pneumonia komunitas Pejamu imunokompeten Normal/pasca influenza
akut akibat Aspergillus
Aspergilosis Pejamu imunokompeten Asma, sistik fibrosis
bronkopulmoner alergi Hipersensitivitas terhadap
(ABPA) Aspergillus

Aspergillus fumigatus merupakan agen etiologi yang paling umum menyebabkan


aspergilosis pada manusia. Pasien dengan imunitas terganggu, terutama yang menderita
penyakit keganasan hematologi atau yang telah menjalani transplantasi, berisiko
mengalami infeksi Aspergillus yang paling parah, yaitu IA. Meskipun telah banyak studi
mengenai patogenesis Aspergillus11, faktor-faktor yang secara jelas berkontribusi
terhadap IA yang disebabkan oleh A. fumigatus masih sedikit. Konidia yang kecil dan
mudah tersebar di udara dapat masuk ke saluran pernapasan bawah, dan A. fumigatus
tumbuh dengan baik pada suhu 37°C, dengan tingkat perkecambahan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan spesies lain. Selain sifat-sifat ini, A. fumigatus beradaptasi dengan
kondisi lingkungan di dalam paru-paru mamalia. Pada individu yang mengalami
penekanan sistem kekebalan tubuh dan berisiko terkena IA, konidia menempel pada
jaringan paru-paru yang rusak atau epitelium paru-paru, menghindari pembunuhan oleh
makrofag, dan mendegradasi jaringan sekitar untuk mendapatkan atau mensintesis nutrisi
yang diperlukan untuk pertumbuhan. Bergantung pada status imunitas inang yang
mendasar, A. fumigatus dapat tumbuh tanpa kendali dan menyebar (neutropenia) atau
dikendalikan oleh neutrofil dan menyebabkan peradangan yang berlebihan (penekanan
imunitas oleh steroid). Patogenesis A. fumigatus bersifat multifaktorial.

17
Gambar 1. Siklus infeksi A. fumigatus.11

Aspergillus tersebar luas di lingkungan, dan reproduksi aseksual menghasilkan


konidia yang terbawa oleh udara (Gambar 1). Konidia ini dapat terhirup oleh pasien
yang mengalami imunosupresi tertentu, kemudian menetap di paru-paru, tumbuh menjadi
hifa, dan terkontrol oleh sel darah putih neutrofil dengan peradangan yang signifikan
(pada pasien yang menerima terapi kortikosteroid) atau tumbuh tidak terkontrol dengan
sedikit infiltrat sel darah putih neutrofil dan dalam kasus yang parah dapat menyebar ke
bagian tubuh lainnya (pada pasien dengan neutropenia).11

Gambar 2. Interaksi antara A. fumigatus dengan epitel saluran pernapasan.11


Setelah dihirup, A. fumigatus berinteraksi dengan epitel saluran udara (yang
18
melapisi trakea, bronkus, dan bronkiolus), lendir dan cairan yang melapisi saluran
pernapasan bagian atas, dan pada akhirnya, ruang alveoli (Gambar 2). Produk jamur
(ditunjukkan dengan warna merah) dapat meningkatkan kolonisasi melalui cedera
jaringan (garis silang) dan melekat pada sel epitel atau membran basal yang rusak.
Konidia juga dapat berkecambah dan menyerang jaringan paru sekitarnya melalui
membran basal atau setelah ditelan oleh sel epitel.11

Gambar 3. Interaksi A. fumigatus dengan fagosit.11

Makrofag alveolar menelan konidia yang dihirup melalui PRR (pattern


recognition receptors). Pembengkakan konidia (di dalam atau di luar makrofag)
melepaskan lapisan pelindung rodlet, mengekspos β(1,3)-glukan untuk dikenali oleh
dectin-1. Interaksi dectin-1-β(1,3)-glukan bertanggung jawab terutama untuk aktivasi
respons proinflamasi makrofag, termasuk pembunuhan konidia. Neutrofil menempel
pada hifa dan mendegranulasi, merusak hifa dengan mekanisme oksidatif dan non-
oksidatif (Gambar 3). Neutrofil juga dapat mengumpulkan konidia dan mencegah
perkecambahan. Fungsi fagosit yang terganggu adalah faktor risiko utama terjadinya IA.
Produk jamur dapat berkontribusi pada patogenisitas jamur pada host yang kekebalan
tubuhnya menurun dengan menghindari atau memodulasi pertahanan tubuh.11

19
2.5 Manifestasi Klinis
Untuk setiap pasien yang dicurigai mengalami infeksi Aspergillus, perlu
dilakukan pemeriksaan medis dan riwayat penyakit yang teliti. Penting untuk memahami
faktor risiko pasien terkena penyakit yang lebih serius, seperti keadaan imunokompromi.
Dokter harus memeriksa secara rinci pengobatan dan penyakit penyerta yang pernah
dialami pasien untuk menilai potensi kondisi imunokompromi.9
Pasien aspergilosis invasif umumnya adalah orang yang kritis dan mengalami
imunokompromi. Kondisi ini juga harus dipertimbangkan pada pasien yang sudah kritis
dan memiliki penyakit paru yang mendasar. Gejala awal yang paling umum meliputi
sesak napas, peningkatan produksi dahak, menggigil, sakit kepala, dan artralgia. Ketika
kondisi cepat berkembang, gejala lain seperti demam, toksisitas, dan penurunan berat
badan muncul. Pada pemeriksaan, bisa ditemukan nyeri sinus, pengeluaran ingus, rales,
perubahan dermatologis, atau tanda-tanda meningeal pada sistem saraf pusat.10
Aspergilosis paru kronis umumnya akan menunjukkan gejala nyeri dada,
penurunan berat badan, batuk, hemoptisis, sesak napas, dan kelelahan. Aspergilosis alergi
akan menunjukkan eksaserbasi asma yang berulang dengan gejala sesak napas dan
mengi, serta batuk dengan banyak lendir dan gumpalan coklat. Manifestasi klinis lebih
lengkap masing-masing penyakit pada spektrum infeksi aspergilosis dapat dilihat pada
Tabel 2.9

20
Tabel 2. Manifestasi klinis spektrum sindrom infeksi aspergilosis.9,10
Sindrom Aspergilosis Ciri Khas dan Manifestasi Klinis
Aspergilosis paru invasif (IA) • Terjadi pada pasien dengan neutropenia atau
penekanan sistem kekebalan yang berlangsung
lama.
• Umumnya pasien menunjukkan gejala demam,
batuk, sesak napas, sakit dada pleuritik, dan
kadang-kadang hemoptisis.
• Pasien mungkin mengalami takipnea dan
mengalami hipoksemia yang cepat memburuk.
• Faktor risiko meliputi transplantasi organ,
terutama sumsum tulang tetapi juga paru-paru,
jantung, dan organ padat lainnya.
• Pada pasien dengan leukemia dan limfoma, invasi
Aspergilosis dapat terjadi setelah supresi sumsum
tulang akibat kemoterapi.

Aspergilosis paru kronik (CPA) • Terjadi pada pasien dengan penyakit penyerta
(PPOK yang membutuhkan steroid, alkoholisme)
• Pneumonia subakut yang tidak merespons terapi
antibiotik; berkembang dan membentuk rongga
dalam waktu beberapa minggu atau bulan
• Gejala dapat mencakup demam, batuk, keringat
malam, dan penurunan berat badan.
Aspergilosis bronkopulmoner • Terjadi pada orang yang menderita asma dan juga
alergi (ABPA) orang yang menderita fibrosis kistik (CF)
• Dapat menunjukkan gejala demam dan infiltrat
paru yang tidak responsif terhadap terapi
antibakteri
• Pasien sering mengalami batuk dan menghasilkan
sumbatan lendir, yang dapat membentuk ulir
bronkial; mereka dapat mengalami hemoptisis
• 21
Pasien dengan asma dan ABPA mungkin memiliki
penyakit yang sulit dikendalikan dan sulit untuk
menghentikan penggunaan kortikosteroid oral
• ABPA dapat terjadi bersamaan dengan sinusitis
alergi jamur, dengan gejala termasuk sinusitis
kronis dengan pengeluaran sinus purulen
• Tersedia suara mengi pada pemeriksaan dada
dengan stetoskop; pasien dapat menghasilkan
sumbatan lendir saat batuk.

- Hemoptisis
Hemoptisis didefinisikan sebagai ludah darah yang berasal dari paru-paru atau
saluran bronkial sebagai akibat dari perdarahan paru atau bronkial. Hemoptisis
diklasifikasikan sebagai nonmasif atau masif berdasarkan volume kehilangan darah;
namun, tidak ada definisi yang seragam untuk kategori ini. Hemoptisis dianggap
nonmasif jika kehilangan darah kurang dari 200 mL per hari. Paru-paru menerima
darah dari sistem arteri pulmonal dan bronkial. Perdarahan dari system pulmonal
cenderung menghasilkan hemoptisis volume kecil, sedangkan perdarahan dari sistem
bronkial, yang berada pada tekanan sistemik, cenderung banyak. Volume kehilangan
darah lebih berguna dalam mengarahkan manajemen daripada mencapai diagnosis.
Hemoptisis dapat disertai tanda dan gejala lain yang menjadi prediktor
mortalitas pasien. Skoring prediktor mortalitas pasien dengan hemoptisis yang
dirawat di rumah sakit dapat dilihat pada tabel 3 dan 4
Prediktor mortalitas ini memiliki skor minimal 0 dan skor maksimal 9 di mana
pasien dengan skor >2 perlu dirawat di ruangan intensif dan pasien dengan skor >5
mungkin memerlukan radiologi intervensi segera.

Tabel 3. Skoring Mortalitas Pasien Rawat Inap dengan Hemoptisis

Prediktor Poin
Pencitraan radiologi toraks saat masuk rumah sakit menunjukkan bukti 1
keterlibatan dua atau lebih kuadran
Alkoholisme kronis 1
Keterlibatan arteri pulmonal 1
Aspergillosis 2 22
Keganasan 2
Kebutuhan ventilator mekanik 2

Tabel 4. Prediktor Mortalitas Pasien Rawat Inap dengan Hemoptisis

Skor 0 1 2 3 4 5 6 ≥7

Mortalitas 1% 2% 6% 16% 34% 58% 79% 91%

Hemoptisis masif
Algoritme untuk hemoptisis masif dirangkum dalam Gambar 4. CXR awal
disarankan untuk melokalisir tempat perdarahan. MDCTA harus dilakukan dalam kasus
apa pun, bahkan dalam keadaan darurat, terlepas dari hasil CXR, karena keunggulannya
yang tak terbantahkan dalam mengidentifikasi sumber perdarahan dan kemungkinan
penyebab yang mendasarinya, memungkinkan perencanaan yang lebih baik untuk
pengelolaan dan pengobatan lebih lanjut.
Jika penyebab utamanya adalah trauma dada atau ruptur arteri pulmonal
iatrogenik, perawatan bedah adalah standar emas (dengan pengecualian pasien yang
operasinya dikontraindikasikan karena penyakit penyerta atau keadaan darurat)
sedangkan, dalam semua kasus lain dengan MDCTA positif, DSA dengan embolisasi
endovaskular arteri merupakan prosedur pilihan untuk mengelola hemoptisis masif dan
berulang. Dalam keadaan darurat, semua pasien dengan hemoptisis masif harus menjalani
embolisasi endovaskular apapun penyebabnya; pengobatan definitif melalui operasi dapat
dilakukan pada akhirnya, setelah pasien stabil.
Jika MDCTA negatif atau menunjukkan lesi endobronkial, dianjurkan
bronkoskopi dengan pengambilan sampel jaringan. Jika bronkoskopi mengungkapkan
lesi, embolisasi arteri harus menjadi langkah selanjutnya diikuti dengan pembedahan, jika
diperlukan. Jika bronkoskopi tidak menunjukkan kelainan apa pun, hemoptisis masif
kriptogenik didiagnosis dan embolisasi dapat diindikasikan, terutama pada perokok.

Hemoptisis nonmasif
Algoritme untuk hemoptisis nonmasif dirangkum dalam Gambar 5. CXR harus
selalu dilakukan sebagai pemeriksaan pertama. Jika kelainan parenkim atau pleura yang
mendasari menyebabkan hemoptisis (yaitu, pneumonia, massa, dll.) diidentifikasi,23
manajemen diagnostik dan terapeutik untuk lesi yang terdeteksi harus mengikuti (yaitu,
pengobatan antibiotik untuk pasien muda dengan demam dan opasitas paru pada CXR ;
penyelidikan lebih lanjut dalam kasus pasien perokok paruh baya dengan opasitas paru
pada CXR). Jika hemoptisis tidak sembuh atau berulang, perawatan lebih lanjut (medis,
endovaskular, dan bedah) harus dipertimbangkan. Di sisi lain, disarankan untuk
melakukan MDCTA dalam kasus CXR negatif atau nonlokal, terutama ketika kanker paru
tidak dapat disingkirkan.
Jika MDCTA mengungkapkan penyebab hemoptisis, penatalaksanaan diagnostik
dan terapeutik standar untuk kondisi yang mendasarinya harus dilakukan. Jika MDCTA
negatif dan episode hemoptisis teratasi, penyelidikan dapat dihentikan, sedangkan
pemeriksaan lebih lanjut seperti bronkoskopi diperlukan jika hemoptisis persisten.
Dalam kasus hasil positif pada bronkoskopi, bagan alur mengikuti indikasi yang
sama dengan tes diagnostik positif yang disebutkan di atas. Jika penyebabnya tidak dapat
diidentifikasi bahkan dengan bronkoskopi, hemoptisis kriptogenik harus
dipertimbangkan. Klinisi harus menunggu resolusi spontan perdarahan pada contoh
pertama; namun, dalam kasus perdarahan berulang, pengobatan endovaskular dapat
disarankan.

24
Gambar 4. Algoritme hemoptisis masif.
Gambar 5. Algoritme hemoptisis nonmasif.

2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Langkah pertama dalam evaluasi aspergilosis adalah mencurigai pasien yang
berisiko terkena IA, karena konidia Aspergilosis terus-menerus terhirup. Pewarnaan
jamur dari dahak harus dilakukan terlebih dahulu untuk mengidentifikasi pasien dengan
IA. Pada host normal, keberadaan Aspergillus tidak selalu menunjukkan infeksi akut,
namun pada host imunokompromis, keberadaan jamur harus memicu klinisi untuk
mengobatinya sebagai infeksi akut. Kultur spesies Aspergillus pada dahak atau melalui
bronkoalveolar lavage dengan identifikasi hifa, yang merupakan standar emas, akan
mengkonfirmasi bahwa infeksi berasal dari Aspergillus dan bukan jamur atau fungi
lainnya. Biopsi jaringan dari aspergilloma dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis
dan mengecualikan kondisi lain yang dapat menyebabkan massa paru.1,12

25
Gambar 6. Kriteria diagnosis IA.13

Biomarker serum seperti galaktomannan (sekitar 50% nilai prediksi positif,


sekitar 90% nilai prediksi negatif) dan tes beta-D-glukan juga dapat membantu.
Galaktomannan juga dapat diukur dalam sampel dahak dari bronkoalveolar lavage.
Aspergillus IgG positif juga dapat membantu dalam mendiagnosis bentuk kronis
Aspergilosis dalam pengaturan tes tuberkulosis negatif. Foto polos toraks dapat
menunjukkan opasitas parenkim dari aspergilloma paru (bola jamur). CT paru akan
menunjukkan nodul karakteristik dengan penyerapan sekitarnya ("tanda halo"),
aspergilloma (bola jamur di rongga paru yang sudah ada sebelumnya), kavitasi, atau
fibrosis. CT juga dapat berguna untuk mengevaluasi keterlibatan sinus seperti massa,
opasifikasi, atau penghancuran dinding sinus jika manifestasi Aspergilosis ini
dicurigai.7,12

26
Gambar 7. Kriteria diagnostik CPA.14

Di Indonesia, belum ada konsensus diagnostik dalam penegakkan kasus


aspergilosis. Akan tetapi, sejumlah organisasi profesi global telah berupaya untuk
merumuskan kriteria diagnostik IA dan mengkategorisasinya menjadi kasus terbukti
(proven), probable, dan possible (Gambar 6). Selain itu, dari penelitian oleh Denning,
et al14, terdapat sejumlah rekomendasi kriteria diagnosis klinis, radiologis, dan
laboratorium yang harus dipenuhi oleh kasus CPA (Gambar 7). Terakhir, Agarwal, et
27
al telah mengusulkan alur protokol diagnostik bagi kasus-kasus ABPA (Gambar 8).
Gambar 8. Alur diagnostik ABPA.15

28
2.7 Tatalaksana
Pengobatan aspergilosis invasif yang diduga harus segera dimulai karena
kondisi pasien dapat memburuk dengan cepat dalam waktu 1 hingga 2 minggu dari
onset hingga kematian. Terapi intravena untuk pasien yang kritis dapat mencakup
vorikonazol (4 mg/kg, dua kali sehari), posakonazol (300 mg IV, setiap hari),
mikafungin (150 mg IV, setiap hari), atau amfoterisin B (1 mg/kg, setiap hari) untuk
masa pengobatan 6–12 minggu. Vorikonazol dianggap sebagai pengobatan lini
pertama. Meskipun amfoterisin dianggap efektif, obat tersebut dianggap sebagai agen
lini kedua karena profil efek sampingnya. Pertimbangan juga harus diambil untuk
mengatasi kondisi pasien yang memiliki gangguan sistem kekebalan tubuh sebanyak
mungkin mengingat kondisi penyakit lainnya.7,16,17
Pengobatan pasien dengan aspergilosis paru kronis yang menunjukkan gejala
paru dan kehilangan fungsi paru dilakukan dengan terapi oral itraconazole (200 mg,
dua kali sehari) atau vorikonazol (200 mg, dua kali sehari). Dianjurkan untuk
melakukan terapi minimal selama 6 bulan untuk semua pasien, meskipun terapi seumur
hidup untuk pasien dengan penyakit progresif kronis mungkin diperlukan. Kegagalan
terapi rawat jalan biasanya memerlukan rawat inap untuk terapi IV. Respons
pengobatan diukur melalui evaluasi gejala dan titer Aspergillus yang diikuti. CT-scan
mungkin menunjukkan hilangnya bola jamur dan lesi kaviter yang berkurang
ukurannya. Pemindaian ulang harus dilakukan setelah minimal 2 minggu pengobatan
selesai.7,16,17
Operasi bersama terapi antijamur mungkin diperlukan untuk menghilangkan
aspergilloma. Pendekatan ini paling efektif pada pasien yang memiliki satu lesi dan
tidak memiliki penyakit yang menyebar. Amfoterisin intrakavitari telah dicoba dalam
uji coba kecil pada pasien. Embolisasi terapeutik untuk mengendalikan hemoptisis
adalah cara lain untuk mengatasi gejala meskipun itu tidak menyembuhkan penyakit.
Profilaksis antijamur dengan vorikonazol atau posakonazol dianjurkan untuk pasien
dengan periode neutropenia yang panjang akibat kemoterapi, pengobatan radiasi yang
lama, penerima transplantasi sel punca allogenik, penyakit graft versus host yang parah
atau berkepanjangan, dan penerima transplantasi organ padat. Eksaserbasi aspergilosis
bronkopulmoner alergi biasanya diobati dengan terapi kortikosteroid oral selama 3–6
minggu ditambah dengan itraconazole.7,16,17 29
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang dapat dipikirkan pada pasien dengan
aspergilosis adalah sebagai berikut:
● Asma;
● Pneumonia bakterial;
● Bronkiektasis;
● Eosinofilia;
● Pneumonia eosinofilik;
● Pneumonia jamur;
● Transplantasi jantung;
● Transplantasi jantung-paru;
● Pneumonitis hipersensitivitas;
● Transplantasi hati.18

2.9 Komplikasi
Komplikasi potensial dari aspergilosis meliputi:
● Fibrosis paru;
● Mengi yang berlanjut;
● Hemoptisis;
● Gagal napas;
● Infeksi sistem saraf pusat;
● Endokarditis;
● Kematian.18

30
2.10 Prognosis
Infeksi yang disebabkan oleh Aspergillus spp. masih berhubungan dengan
tingginya angka kesakitan dan kematian. Prognosis Aspergilosis bronkopulmoner
alergi baik pada pasien dengan gangguan fungsi ringan. Namun, banyak pasien
mungkin memerlukan steroid untuk waktu yang lama jika diagnosis terlambat. Untuk
pasien dengan aspergilosis invasif, prognosisnya buruk. Meskipun terapi antijamur
intensif, angka kematian tetap tinggi. Pasien yang memiliki sistem kekebalan tubuh
yang terganggu cenderung memiliki angka kematian tertinggi. Bahkan mereka yang
diobati, cenderung memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi. Begitu infeksi telah
menyebar ke Sistem Saraf Pusat, angka kematian mendekati 100%. Tingginya angka
kematian pada pasien ini disebabkan oleh resistensi terhadap obat antijamur.1,18

31
BAB III ANALISIS KASUS

Pasien datang dengan keluhan batuk berdarah yang memberat sejak 1 hari SMRS.
Keluhan batuk berdarah dialami terus menerus. Darah berwarna merah segar. Pasien batuk
sebanyak 4-5x sehari, dengan volume darah sebanyak 3 sendok makan. Tidak ada yang dapat
memperingan keluhan batuk berdarah yang dialami. Keluhan batuk darah sudah dirasakan
sejak 3 tahun yang lalu. Pada awalnya batuk berdarah yang dialami muncul secara hilang
timbul. Batuk juga disertai dengan dahak berwarna putih kehijauan yang semakin bertambah
banyak seiring waktu. Pasien juga mengalami penurunan berat badan dan badan terkadang
terasa lemas. Pasien menyangkal adanya keluhan sesak napas, demam, atau keringat malam.
Pasien memiliki riwayat diagnosis TB pada 6 tahun yang lalu yang didapatkan ketika pasien
berobat ke Puskesmas Bojong Kamal. Pasien mengonsumsi OAT selama 6 bulan pada 5 tahun
yang lalu. Sejak saat itu, pasien rutin berobat ke puskesmas dan Rumah Sakit Keluarga Kita.
Pasien terakhir memeriksakan diri ke puskesmas pada bulan Oktober tahun 2022, dan
mendapatkan obat-obatan untuk meringankan batuk dan antibiotik, tetapi keluhan pasien tidak
kunjung membaik. Pasien tidak mengeluhkan keluhan lainnya sepeti mual, muntah, pusing,
sakit kepala, ataupun nyeri tenggorokan. Pasien memiliki riwayat DM sejak 8 tahun yang lalu,
dan sejak itu pasien rutin minum obat DM. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit darah tinggi,
asam urat, ataupun kolesterol. Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan ataupun obat-
obatan.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan pasien tampak sakit sedang, tetapi tidak ditemukan
kelainan apapun. Pada pemeriksaan CT Scan Thorax Non-Contrast ditemukan adanya
aspergillosis pada paru kiri, TB paru lama aspek aktif pada paru kiri, nodul subpleural pada
paru kanan, penebalan minimal pada fissura kanan, atelektasis subsegmental pada paru kiri,
dan lymphadenopathy multiple pada paratrakea diameter.
Pasien dipikirkan memiliki Aspergillosis paru berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien memenuhi kriteria diagnosis aspergillosis yaitu
dengan ditemukan konsolidasi dengan crescent sign pada paru kiri pada hasil pemeriksaan CT
Scan thoraks disertai dengan gejala seperti batuk berdarah, batuk produktif, penurunan berat
badan, dan rasa lemas. Pasien ini termasuk dalam Chronic Pulmonary Aspergillosis (CPA)
karena pasien mengalami gejala selama lebih dari 3 bulan serta bukan pasien imunokompromi.
Pasien juga memiliki konsolidasi dengan crescent sign pada lapang paru kiri dari pemeriksaan 32
CT Scan Thoraks Non-Kontras yang menandakan adanya aspergillosis kronik. Akan tetapi,
diagnosis CPA belum dapat dipastikan oleh karena pemeriksaan laboratorium belum dilakukan
pada pasien ini.
Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan kelainan apapun pada pasien. Pada
pemeriksaan penunjang rontgen thorax didapatkan adanya konsolidasi dengan crescent sign
pada lapang paru sebelah kiri. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk dapat memastikan diagnosis aspergillosis. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium serum precipitin, IgG, CRP, dan/atau ESR.
Tatalaksana yang disarankan pada pasien yaitu mencakup pemberian antifungal dan
terapi simtomatik. Antifungal yang digunakan berdasarkan kondisi pasien adalah Itraconazole
2x100mg PO. Selain itu, dapat diberikan kepada pasien pengobatan simtomatik seperti untuk
mengurangi gejala batuk Codein 3x10mg PO, untuk mengontrol perdarahan Asam
Traneksamat 3x500mg PO, dan tatalaksana TB pada pasien yaitu Rifampicin 1x450mg PO,
Isoniazide 1x1 tab PO, dan Ethambutol 1x500mg PO.
Pasien dipikirkan memiliki TB paru kasus kambuh karena pasien memiliki riwayat TB
sejak 6 tahun yang lalu dan kini kembali mengalami gejala TB. Pasien memenuhi kriteria
diagnosis TB paru kasus kambuh yaitu dengan ditemukan fibroinfiltrat pada segmen 1, 2, 3
paru kiri pada hasil pemeriksaan CT Scan thoraks disertai dengan gejala seperti batuk
berdahak putih kehijauan, penurunan berat badan, dan rasa lemas. Pasien ini termasuk dalam
BTA (-) karena pasien pernah dilakukan pemeriksaan sputum di Rumah Sakit Keluarga Kita
dengan hasil normal, serta HIV (-) karena pasien tidak memiliki riwayat penyakit HIV. Untuk
pasien ini pirazinamid tidak diberikan karena pirazinamid tidak diberikan setelah 2 bulan terapi
akibat hepatotoksisitas yang dapat menyebabkan cedera hati.
Berdasarkan klasifikasi hemoptisis, pasien ini termasuk dalam hemoptisis nonmasif
karena volume darah <200 ml yaitu sebanyak 3 sendok makan atau sekitar 45 ml (1 sendok
makan = 15 ml). Pemeriksaan x-ray dan CT scan telah dilakukan pada pasien ini dan pada
kedua pemeriksaan tidak ditemukan tanda-tanda hemoptisis. Akan tetapi, hemoptisis pasien
masih belum resolusi. Maka dari itu, berdasarkan algoritme hemoptisis nonmasif, maka saran
pemeriksaan selanjutnya yang dilakukan adalah bronkoskopi.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Jenks J, Hoenigl M. Treatment of Aspergillosis. Journal of Fungi. 2018 Aug 19;4(3):98.


2. Bongomin F, Gago S, Oladele R, Denning D. Global and Multi-National Prevalence of Fungal
Diseases—Estimate Precision. Journal of Fungi. 2017 Oct 18;3(4):57.
3. Rees JR, Pinner RW, Hajjeh RA, Brandt ME, Reingold AL. The Epidemiological Features of
Invasive Mycotic Infections in the San Francisco Bay Area, 1992-1993: Results of Population-
Based Laboratory Active Surveillance. Clinical Infectious Diseases. 1998 Nov 1;27(5):1138–
47.
4. Kontoyiannis DP, Marr KA, Park BJ, Alexander BD, Anaissie EJ, Walsh TJ, et al. Prospective
Surveillance for Invasive Fungal Infections in Hematopoietic Stem Cell Transplant Recipients,
2001–2006: Overview of the Transplant‐Associated Infection Surveillance Network
(TRANSNET) Database. Clinical Infectious Diseases. 2010 Apr 15;50(8):1091–100.
5. Pappas PG, Alexander BD, Andes DR, Hadley S, Kauffman CA, Freifeld A, et al. Invasive
Fungal Infections among Organ Transplant Recipients: Results of the Transplant‐Associated
Infection Surveillance Network (TRANSNET). Clinical Infectious Diseases. 2010 Apr
15;50(8):1101–11.
6. Zilberberg MD, Nathanson BH, Harrington R, Spalding JR, Shorr AF. Epidemiology and
Outcomes of Hospitalizations With Invasive Aspergillosis in the United States, 2009–2013.
Clinical Infectious Diseases. 2018 Aug 16;67(5):727–35.
7. Alastruey-Izquierdo A, Cadranel J, Flick H, Godet C, Hennequin C, Hoenigl M, et al.
Treatment of Chronic Pulmonary Aspergillosis: Current Standards and Future Perspectives.
Respiration. 2018;96(2):159–70.
8. Geiser DM. Sexual structures in Aspergillus : morphology, importance and genomics. Med
Mycol. 2009 Jan;47(s1):S21–6.
9. Davda S, Kowa XY, Aziz Z, Ellis S, Cheasty E, Cappocci S, et al. The development of
pulmonary aspergillosis and its histologic, clinical, and radiologic manifestations. Clin Radiol.
2018 Nov;73(11):913–21.
10. Kosmidis C, Denning DW. The clinical spectrum of pulmonary aspergillosis. Thorax. 2015
Mar 1;70(3):270–7.
11. Dagenais TRT, Keller NP. Pathogenesis of Aspergillus fumigatus in Invasive Aspergillosis.
Clin Microbiol Rev. 2009 Jul;22(3):447–65.
12. Mohedano del Pozo RB, Rubio Alonso M, Cuétara García MS. Diagnosis of invasive fungal 34
disease in hospitalized patients with chronic obstructive pulmonary disease. Rev Iberoam
Micol. 2018 Jul;35(3):117–22.
13. de Pauw B, Walsh TJ, Donnelly JP, Stevens DA, Edwards JE, Calandra T, et al. Revised
Definitions of Invasive Fungal Disease from the European Organization for Research and
Treatment of Cancer/Invasive Fungal Infections Cooperative Group and the National Institute
of Allergy and Infectious Diseases Mycoses Study Group (EORTC/MSG) Consensus Group.
Clinical Infectious Diseases. 2008 Jun 15;46(12):1813–21.
14. Denning DW, Riniotis K, Dobrashian R, Sambatakou H. Chronic Cavitary and Fibrosing
Pulmonary and Pleural Aspergillosis: Case Series, Proposed Nomenclature Change, and
Review. Clinical Infectious Diseases. 2003 Oct;37(s3):S265–80.
15. Agarwal R, Sehgal IS, Dhooria S, Aggarwal AN. Developments in the diagnosis and treatment
of allergic bronchopulmonary aspergillosis. Expert Rev Respir Med. 2016 Dec 7;10(12):1317–
34.
16. Cornely OA, Koehler P, Arenz D, C. Mellinghoff S. EQUAL Aspergillosis Score 2018: An
ECMM score derived from current guidelines to measure QUALity of the clinical management
of invasive pulmonary aspergillosis. Mycoses. 2018 Nov;61(11):833–6.
17. van de Peppel RJ, Visser LG, Dekkers OM, de Boer MGJ. The burden of Invasive Aspergillosis
in patients with haematological malignancy: A meta-analysis and systematic review. Journal
of Infection. 2018 Jun;76(6):550–62.
18. Kousha M, Tadi R, Soubani AO. Pulmonary aspergillosis: a clinical review. European
Respiratory Review. 2011 Sep 31;20(121):156–74.

35

Anda mungkin juga menyukai