Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS KECIL

“CONGESTIVE HEART FAILURE”

Pembimbing:
dr. Tiara Paramita Poernomo, Sp.PD

Disusun oleh:
Fikriah Rismi F G4A015134
Andini Senja A G4A015137
Rima Melati G4A015202
Dimi Maula G4A017010
Bima Sena 1620221153

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017

0
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus besar dengan judul:

“CONGESTIVE HEART FAILURE”

Pada Oktober 2017

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh:
Fikriah Rismi F G4A015134
Andini Senja A G4A015137
Rima Melati G4A015202
Dimi Maula G4A017010
Bima Sena 1620221153

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Tiara Paramita Poernomo, Sp.PD

I. LAPORAN KASUS

1
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. T
Usia : 72 Th
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Alamat : Bojongsari RT 02 RW 02
Tanggal masuk : 26 September 2017 lewat IGD RSMS
Tanggal periksa : 29 September 2017
No. CM : 00719133

B. Subjektif
1. Keluhan Utama
Dada berdebar
2. Keluhan tambahan
Kedua kaki bengkak, nafas kadang merasa sesak, BAK sedikit, nyeri
persendian
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS pada tanggal 26 September 2017
pukul 06.51 WIB dengan keluhan dada berdebar sejak sehari sebelum
masuk RS. Dada berdebar dirasakan semakin menganggu dan tidak enak
di dada sejak tidur semalam hingga mengganggu tidur dan memberat
pagi hari. Dada berdebar dirasakan hingga pasien merasa sesak. Pasien
merasa nyeri dada kiri beberapa kalidi hingga menjalar ke bagian
belakang dada menjalar ke punggung, kadang menjalar ke tangan. Nyeri
dada kadang dirasakan seperti tertekan beban berat, lamanya 10 menit.
Keluhan dirasakan memberat saat pasien sedang beraktivitas membaik
dengan istirahat.
Pasien sempat merasakan sesak nafas beberapa kali sebelumnya,
terutama pada malam hari, hingga pasien sering tidur lebih nyaman
menggunakan bantal 4-5 lapis. Pasien juga sering terbangun saat tidur
malam akibat sesak, namun sesak membaik apabila pasien tidur dengan
bantal tinggi. Pasien merasa lebih nyaman dan sesak berkurang saat
duduk. Sesak juga sering timbul ketika pasien beraktivitas.Pasien juga
mengeluhkan lemas dan mudah lelah saat beraktivitas. Pasien juga sering
merasakan keringat dingin, namun pasien menyangkal keringat dingin
mungkin dirasakan karena udara yang panas. Pasien juga memiliki
keluhan gangguan buang air kecil, pasien merasa buang air kecinya

2
sedikit sudah beberapa hari. Keluhan mual dan muntah disangkal oleh
pasien. Keluhan penurunan berat badan, demam tinggi, batuk berdahak,
batuk berdarah, tangan atau kaki yang sering bergerak sendiri, dan
terdapat benjolan di leher disangkal pasien. Pasien mengeluhkan nyeri
pada sendi-sendi kaki. Pasien juga memiliki bekas luka di kaki kanan
pasien.
Pasien mengaku baru pertama kali dirawat di rumah sakit dengan
keluhan seperti ini. Pasien memiliki riawayat darah tinggi namun tidak
rutin kontrol dan pasien belum pernah periksa di poliklinik jantung
sebelumnya.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
Riwayat hipertensi : Diakui (Tidak rutin kontrol)
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat asma : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat stroke : Disangkal
Riwayat kolesterol : Disangkal
Riwayat Gangguan tyroid : Disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di Bojongsari, bersama suami dan anaknya. Hubungan
antara pasien dengan keluarga, tetangga, dan rekan kerja baik.
b. Home
Pasien tinggal di daerah perumahan padat penduduk. Lantai rumah
beralaskan keramik dengan ventilasi yang cukup. Pencahayaan
rumah pasien berasal dari lampu dan sinar matahari yang cukup.
c. Occupational
Pasien merupakan seorang yang sudah tidak bekerja. Pembiayaan
kesehatan ditanggung oleh BPJS PBI.
d. Drugs and diet

3
Pasien mengaku makan sehari 3 kali sehari, dengan nasi, sayur dan
lauk pauk seadanya. Pasien sering mengonsumsi gorengan seperti
mendoan.
e. Personal habit
Pasien mengaku memiliki kebersihan diri yang baik, tidak pernah
mengonsumsi alkohol, atau pun mengkonsumsi obat-obatan
terlarang.

C. Objektif
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5
c. Vital sign
1) Tekanan Darah : 110/70 mmHg
2) Nadi : 75x/menit, isi dan tegangan cukup, reguler
3) RR : 22x/menit, reguler
4) Suhu : 36.2oC
d. Status Generalis
1) Kepala
Bentuk : mesochepal, simetris, venektasi
temporal (-)
Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut,
distribusi merata, tidak rontok
2) Mata
Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : reflek cahaya (+/+) normal, isokor Ø 3 mm
3) Telinga
Otore (-/-)
Deformitas (-/-)
Nyeri tekan (-/-)
Discharge (-/-)
4) Hidung
Napas cuping hidung (-/-)
Deformitas (-/-)
Discharge (-/-)
Rinorhea (-/-)
5) Mulut
Bibir sianosis (-)
Bibir kering (-)
Lidah kotor (-)
6) Leher

4
Trakhea : deviasi trakhea (-)
Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
Kelenjar thyroid : tidak membesar
JVP : nampak menonjol, 5±4 cm
Distensi vena leher (-)
Refluks hepatojugular (-)
7) Dada
a) Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-/-)
Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus (-/-)
b) Jantung
Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari medial
LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial
LMCS, kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kanan atas :SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas :SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah :SIC V 3 jari
lateral LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (+)
c) Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-),
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Hepar : tidak teraba perbesaran
Lien : tidak teraba perbesaran

8) Ekstrimitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - + +
Akral dingin - - - -

5
Sianosis - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah 26 September 2017
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hb : 13.1 gr/dl Normal : 11.7 – 15.8 gr/dl
Leukosit : 7620 U/L Normal : 3.600 – 11.000/ul
Hematokrit : 38 % Normal : 25 % - 47 %
Eritrosit : 4.5 juta/ul Normal : 3.8 - 5,2 juta/ul
Trombosit : 286.000/ul Normal: 150.000 - 440.000/ul
MCV : 84,4 fL Normal : 80 - 100 fL
MCH : 28,9 pg/cell Normal : 26 - 34 pg/cell
MCHC : 34,2 gr/dl Normal : 32 – 36 gr/dl
RDW : 21,7 % (H) Normal : 11,5 - 14.5 %
MPV : 11.7 fL Normal : 9,4 - 12,4 fL
Hitung Jenis
Basofil : 0,8 % Normal : 0 – 1 %
Eosinofil : 0.8 % (L) Normal : 2 – 4 %
Batang : 0,5 % (L) Normal : 3 – 5 %
Segmen : 678.2 % (H) Normal : 50 – 70 %
Limfosit : 13.5 % (L) Normal : 25 – 40 %
Monosit : 6.2 % Normal : 2 – 8 %

KIMIA KLINIK
Total Protein : 5.98 g/dL (L) Normal : 6.40-8.20 g/dL
Albumin : 2.81 g/dL (L) Normal : 3.40 – 5.00 g/dL
Globulin : 3.17 g/dL Normal : 2.70 – 3.20 g/dL
SGOT : 296 U/L (H) Normal : 15 – 37 U/L
SGPT : 39 U/L Normal : 14 – 59 U/L
Ureum darah : 32.8 mg/dL Normal : 14,98–38,52 mg/dL
Kreatinin darah : 1,14 mg/dL (H) Normal : 0,55-1,02 mg/dL

6
GDS : 96 mg/dL Normal : =< 200 mg/dL
HbA1C : 6.4% Normal : < 7.0 %
Natrium : 138 mmol/L (H) Normal : 134-146 mmol/L
Kalium : 2.9 mmol/L (L) Normal : 3,4-4,5 mmol/L
Klorida : 98 mmol/L Normal : 96-108 mmol/L
Calsium : 8.7 mg/dL Normal : 8.5 – 10.1 mg/dL

b. Hasil EKG 26 September 2017

Gambar 1. Hasil Pemeriksaan EKG Ny. T

c. Ro. Thoraks

7
Gambar 2. Hasil Pemeriksaan Ro. Thoraks Ny. T

D. Diagnosis
- Diagnosis Fungsional : NYHA II
- Diagnosis Etiologi : IHD
- Diagnosis Anatomi : LVH
- Diagnosis Klinis : CHF
- Diagnosis Lain-Lain : Atralgia, Hipokalemia, Hipoalbuminemia, Vulnus
Laseratum

E. Terapi
1. Non Farmakologis
a. Bedrest
b. Mendeteksi hipertensi sejak dini
c. Pengaturan abnormalitas metabolism apabila pasien juga menderita
diabetes
d. Tidak merokok
e. Mengurangi konsumsi garam, lemak, dan makanan-makanan berkalori
tinggi
f. Menghindari stress
g. Merawat luka

8
h. Makan tinggi protein
2. Farmakologi
a. IVFD NaCl 0.9% 10 tpm
b. O2 4 lpm NK
c. Inj. Ceftriaxone 1x2 gr iv
d. Inj. Ranitidin 2x1 A iv
e. Inj. Furosemid 1x1 A iv
f. PO. ISDN 3x5 mg
g. KSR 2x1 tab
h. Cetirizin 1x10 mg
i. VIP Albumin 3x1
j. Kompres luka NaCL 0.9%  tutup kasa

F. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam, KILLIP II (mortalitas 17%)
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gagal jantung atau Heart Failure (HF) didefinisikan sebagai
kumpulan gejala klinis yang bersifat kronik dan progresif, ditandai dengan
kelemahan otot jantung untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan oksigen dan

9
darah. Kelainan pada gagal jantung dapat berupa fungsional maupun struktural.
Kelainan ini menyebabkan gangguan pengisian ventrikel, maupun gangguan
pada fase ejeksi ventrikel (AHA, 2017). Salah satau jenis gagal jantung ialah
gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF), yakni gagal
jantung yang menyebabkan kelebihan cairan (Yancy et al. 2013).

B. Faktor Resiko
Menurut Ford pada tahun 2015, banyak faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung kongestif. Diantara faktor-faktor
risiko tersebut, ada yang dapat dimodifikasi, dan ada pula yang tidak. Faktor-
faktor risiko yang dimaksud ialah:
1. Faktor resiko mayor meliputi usia, jenis kelamin, hipertensi, hipertrofi
pada LV, infark miokard, obesitas, diabetes.
2. Faktor resiko minor meliputi merokok, dislipidemia, gagal ginjal kronik,
albuminuria, anemia, stress, lifestyle yang buruk.
3. Sistem imun, yaitu adanya hipersensitifitas.
4. Infeksi yang disebabkan oleh virus, parasit, bakteri.
5. Toksik yang disebabkan karena pemberian agen kemoterapi (antrasiklin,
siklofosfamid, 5 FU), terapi target kanker (transtuzumab, tyrosine kinase
inhibitor), NSAID, kokain, alkohol.
6. Faktor genetik seperti riwayat dari keluarga.

C. Etiologi
Penyebab gagal jantung dapat digolongkan menjadi 4 kelompok
secara umum, yakni kerusakan atau berkurangnya kontraktilitas otot jantung,
iskemik akut atau kronik, meningkatnya resistensi vaskuler dengan hipertensi,
atau adanya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF). Pada gagal jantung
kongestif, penyebab yang paling sering terjadi ialah (Sudoyo, 2009):
1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari

10
penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner,
hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner
Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium
karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan
asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian
sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan
dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung
menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung (peningkatan afterload),
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi
miokard) dianggap sebagai kompensasi karena meningkatkan
kontraktilitas jantung, karena alasan yg tidak jelas hipertrofi otot jantung
dapat berfungsi secara normal, akhirnya terjadi gagal jantung.
4. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Peradangan dan penyakit miokardium degenerative berhubungan
dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut
jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
5. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme
yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk
jantung (stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk
mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau
stenosis AV), peningkatan mendadak after load.
6. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam,
tirotoksikosis), hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan curah

11
jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan
anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis
respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektrolit dapat menurunkan
kontraktilitas jantung.

D. Patogenesis
1. Patofisiologi CHF
Patofisiologi dari gagal jantung dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :
a. Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan (failure)
1) Gagal jantung kiri (Left-Sided Heart Failure)
Bagian ventrikel kiri jantung kiri tidak dapat memompa dengan
baik sehingga keadaan tersebut dapat menurunkan aliran dari jantung
sebelah kiri keseluruh tubuh. Akibatnya, darah akan mengalir balik ke
dalam vaskulator pulmonal (Bender, 2011). Pada saat terjadinya aliran
balik darah kembali menuju ventrikular pulmonaris, tekanan kapiler paru
akan meningkat (>10 mmHg) melebihi tekanan kapiler osmotik (>25
mmHg). Keadaan ini akan menyebabkan perpindahan cairan intravaskular
ke dalam interstitium paru dan menginisiasi edema (Corwin, 2009).
2) Gagal jantung kanan (Right-Sided Heart Failure)
Disfungsi ventrikel kanan dapat dikatakan saling berkaitan dengan
disfungsi ventrikel kiri pada gagal jantung apabila dilihat dari kerusakan
yang diderita oleh kedua sisi jantung, misalnya setelah terjadinya infark
miokard atau tertundanya komplikasi yang ditimbulkan akibat adanya
progresifitas pada bagian jantung sebelah kiri. Pada gagal jantung kanan
dapat terjadi penumpukan cairan di hati dan seluruh tubuh terutama di
ekstermitas bawah (Fuster, 2010).

b. Mekanisme neurohormonal
Istilah neurohormon memiliki arti yang sangat luas, dimana
neurohormon pada gagal jantung diproduksi dari banyak molekul yang
diuraikan oleh neuroendokrin (Corwin, 2009). Renin merupakan salah

12
satu neurohormonal yang diproduksi atau dihasilkan sebagai respon dari
penurunan curah jantung dan peningkatan aktivasi sistem syaraf simpatik.
c. Aktivasi sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAAS)
Pelepasan renin sebagai neurohormonal oleh ginjal akan
mengaktivasi RAAS. Angiotensinogen yang diproduksi oleh hati dirubah
menjadi angiotensin I dan angiotensinogen II.Angiotensin II berikatan
dengan dinding pembuluh darah ventrikel dan menstimulasi pelepasan
endotelin sebagai agen vasokontriktor. Selain itu, angiotensin II juga dapat
menstimulasi kelenjar adrenal untuk mensekresi hormon aldosteron.
Hormon inilah yang dapat meningkatkan retensi garam dan air di ginjal,
akibatnya cairan didalam tubuh ikut meningkat. Hal inilah yang mendasari
timbulnya edema cairan pada gagal jantung kongestif (Corwin, 2009).
d. Cardiac remodeling
Cardiac remodeling merupakan suatu perubahan yang nyata secara
klinis sebagai perubahan pada ukuran, bentuk dan fungsi jantung setelah
adanya stimulasi stress ataupun cedera yang melibatkan molekuler, seluler
serta interstitial (Corwin, 2009; Bender, 2011).

13
Bagan Patofisiologi CHF

2. Patofisiologi IHD
Aterosklerosis atau pengerasan arteri adalah kondisi pada arteri besar dan
kecil yang ditandai penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit dan
makrofag di seluruh kedalaman tunika intima (lapisan sel endotel), dan akhirnya
ke tunika media (lapisan otot polos). Arteri yang paling sering terkena adalah
arteri koroner, aorta dan arteri-arteri sereberal. Langkah pertama dalam
pembentukan aterosklerosis dimulai dengan disfungsi lapisan endotel lumen
arteri, kondisi ini dapat terjadi setelah cedera pada sel endotel atau dari stimulus
lain, cedera pada sel endotel meningkatkan permeabelitas terhadap berbagai
komponen plasma, termasuk asam lemak dan triglesirida, sehingga zat ini dapat

14
masuk kedalam arteri, oksidasi asam lemak menghasilkan oksigen radikal bebas
yang selanjutnya dapat merusak pembuluh darah (Corwin, 2009; WHF, 2014).
Cedera pada sel endotel dapat mencetuskan reaksi inflamasi dan imun,
termasuk menarik sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit, serta trombosit
ke area cedera, sel darah putih melepaskan sitokin proinflamatori poten yang
kemudian memperburuk situasi, menarik lebih banyak sel darah putih dan
trombosit ke area lesi, menstimulasi proses pembekuan, mengaktifitas sel T dan B,
dan melepaskan senyawa kimia yang berperan sebagai chemoattractant (penarik
kimia) yang mengaktifkan siklus inflamasi, pembekuan dan fibrosis. Pada saat
ditarik ke area cedera, sal darah putih akan menempel disana oleh aktivasi faktor
adhesif endotelial yang bekerja seperti velcro sehingga endotel lengket terutama
terhadap sel darah putih, pada saat menempel di lapisan endotelial, monosit dan
neutrofil mulai berimigrasi di antara sel-sel endotel keruang interstisial (Corwin,
2009; AHA, 2013).
Di ruang interstisial, monosit yang matang menjadi makrofag dan bersama
neutrofil tetap melepaskan sitokin, yang meneruskan siklus inflamasi. Sitokin
proinflamatori juga merangsan ploriferasi sel otot polos yang mengakibatkan sel
otot polos tumbuh di tunika intima. Selain itu kolesterol dan lemak plasma
mendapat akses ke tunika intima karena permeabilitas lapisan endotel meningkat,
pada tahap indikasi dini kerusakan teradapat lapisan lemak diarteri. Apabila
cedera dan inflamasi terus berlanjut, agregasi trombosit meningkat dan mulai
terbentuk bekuan darah (tombus), sebagian dinding pembuluh diganti dengan
jaringan parut sehingga mengubah struktur dinding pembuluh darah, hasil akhir
adalah penimbunan kolesterol dan lemak, pembentukan deposit jaringan parut,
pembentukan bekuan yang berasal dari trombosit dan proliferasi sel otot polos
sehingga pembuluh mengalami kekakuan dan menyempit (Corwin, 2009). Apabila
kekakuan ini dialami oleh arteri-arteri koroner akibat aterosklerosis dan tidak
dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan
kemudian terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel
miokardium sehingga menggunakan glikolisis anerob untuk memenuhi
kebutuhan energinya (Bender, 2011).

15
Proses pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan
terbentuknya asam laktat sehinga menurunkan pH miokardium dan menyebabkan
nyeri yang berkaitan dengan angina pectoris. Ketika kekurangan oksigen pada
jantung dan sel-sel otot jantung berkepanjangan dan iskemia miokard yang tidak
tertasi maka terjadilah kematian otot jantung yang di kenal sebagai miokard infark
(Corwin, 2009).

Bagan Patofisiologi IHD

E. Penegakan Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan gejala, penilaian
klinis, serta pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan EKG, foto toraks,
laboratorium, dan ekokardiografi Doppler (Manurung, 2006).
Berdasarkan gejala dan tanda temuan klinis, terdapat kriteria yang
biasa digunakan untuk menegakan diagnsis gagal jantung kongestif, yakni

16
kriteria Framingham. Gagal jantung kongestif ditegakkan bila pada pasien
didapatkan paling sedikit 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor dari Kriteria Framingham (Panggabean, 2006).
Tabel 1. Kriteria Framingham

Kriteria Mayor

 Paroxysmal Nocturnal Dyspnea


 Distensi venaleher
 Ronki paru
 Kardiomegali
 Edema paru akut
 Gallop S3
 Peninggian tekanan vena jugularis lebih dari 16 cm H2)
 Waktu sirkulasi ≥ 25 detik
 Refluks hepatojugular
 Edema pulmonal, kongesti viseral, atau kardiomegali saat
autopsi
Kriteria Minor

 Edema ekstremitas
 Batuk malam hari
 Dyspnea d’effort
 Hepatomegali
 Efusi pleura
 Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
 Takikardia (>120/menit)
Kriteria Mayor atau Minor

Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Sumber: (Sudoyo, 2009)


Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi mengenai denyut,
irama, dan konduksi jantung, serta seringkali etiologi, misalnya perubahan ST
segmen iskemik untuk kemungkinan STEMI atau non-STEMI (Kalim et al.,
2008).
Pemeriksaan foto toraks harus dikerjakan secepatnya untuk menilai
derajat kongesti paru dan untuk menilai kondisi paru dan jantung yang lain.
Kardiomegali merupakan temuan penting. Pada paru, adanya dilatasi relatif
vena lobus atas, edema vaskuler, edema interstitial, dan cairan alveolar
membuktikan adanya hipertensi vena pulmonal (Kalim et al., 2008).
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan (Massie, 2005):
a. Anemia

17
b. Prerenal azotemia
c. Hipokalemia dan hiperkalemia, yang dapat meningkatkan risiko aritmia
d. Hiponatremia, akibat penekanan sistem RAA (renin-angiotensin-
aldosteron)
e. Peningkatan kadar tiroid, pada tirotoksikosis atau miksedema
f. Peningkatan produksi Brain Natriuretic Peptide (BNP), akibat
peningkatan tekanan intraventrikular, seperti pada gagal jantung

F. Penatalaksanaan
1. Terapi Non Farmakologi
Menurut Crawford (2003), hal-hal yang dapat dilakukan untuk
penatalaksanaan penyakit gagal jantung secara non-medikamentosa adalah
sebagai berikut:
a. Mendeteksi hipertensi sejak dini.
b. Pengaturan abnormalitas metabolism apabila pasien juga menderita
diabetes.
c. Tidak merokok.
d. Mengurangi konsumsi garam, lemak, dan makanan-makanan berkalori
tinggi.
e. Menghindari stress.

2. Terapi Farmakologi
Obat-obatan yang dapat diberikan untuk penatalaksanaan gagal jantung
adalah (Crawford, 2003):

a. Diuretik
Diuretik bekerja dengan merangsang ekskresi natrium dan air,
menurunkan volume plasma, sehingga akan mengurangi edema pada
paru. Diuretik terbagi menjadi golongan:
1) Thiazid; contohnya HCT.
2) Diuretik kuat (loop diuretic); contohnya furosemide, torsemide.
3) Diuretik hemat kalium; contohnya spironolakton.
b. Agen inotropik
Contoh dari agen inotropik adalah digoksin. Obat golongan ini
bekerja dengan prinsip meningkatkan efisiensi pompa jantung;
menurunkan frekuensi pompa jantung dan meningkatkan
kontraktilitas miokardium.
c. Obat-obat vasoaktif

18
1) Vasodilator; contohnya hidralazin.
2) ACEI; contohnya captopril, lisinopril, dan enalapril.
3) ARB; contohnya candesartan, losartan, dan valsartan.
d. Beta-blocker
Obat-obatan beta-blocker bekerja dengan meningkatkan saraf
simpatis. Contoh obat golongan ini adalah propranolol, atenolol,
metoprolol.
e. Obat antiaritmia; contohnya amiodarone.

Tabel 2. Terapi Obat menurut status fungsional pasien (NYHA)


Status fungsional Kelas Terapi Obat
pasien (NYHA)
Asimptomatik I ACE Inhibitor jika dikontraindikasikan
atau toleransi rendah diinginkan AII
antagonist, digoksi atau hidralizin +
isosorbit dinitrat
II Ditambah dengan diuretic (umumnya
loop diuretic), jika cocok diberikan
Carvedilol atau Bisoprolol
Simptomatik III/IV Jika cocok. Diberikan Plan
 Carvedilol atau Bisoprolol
 Spironolakton
 Digoxin
 Metolazone
 Hidralazine + Isosorbit dinitrat

G. Komplikasi

19
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus gagal jantung kongestif
biasanya berupa kematian tiba-tiba (sudden death). Komplikasi ini merupakan
kejadian yang jarang terjadi, namun bila terjadi, kejadian yang terkait
berhubungan dengan penyakit jantung struktural dengan mekanisme paling
umum ialah fibrilasi ventrikel (Sudoyo, 2009).

H. Prognosis
Prognosis gagal jantung tergantung dari derajat disfungsi miokardium.
Menurut New York Heart Assosiation, gagal jantung kelas I-III didapatkan
mortalitas 1 dan 5 tahun masing-masing 25% dab 52%. Sedangkan kelas IV
mortalitas 1 tahun adalah sekitar 40%-50% (Selwyn, 2007).

Tabel 3. Mortalitas gagal jantung berdasarkan New York Heart


Association Classification
CLASS SYMPTOMS 1-YEAR
MORTALITY*
I None, asymptomatic left ventricular 5%
dysfunction
II Dyspnoea or fatigue on moderate physical 10 %
exertion
III Dyspneoea or fatigue on normal daily 10 % - 20 %
activities
IV Dyspnoea or fatigue at rest 40 % - 50 %.

20
III. KESIMPULAN

1. Gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) didefinisikan


sebagai kumpulan gejala klinis yang bersifat kronik dan progresif, ditandai
dengan kelemahan otot jantung untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan oksigen
dan darah.
2. Faktor risiko gagal jantung dibagi menjadi faktor risiko mayor, faktor risiko
minor, kelainan sistem imun, infeksi, toksik, dan faktor genetik. Faktor-faktor
tersebut ada yang bisa dimodifikasi, ada yang tidak.
3. Penyebab gagal jantung dapat digolongkan menjadi 4 kelompok secara
umum, yakni kerusakan atau berkurangnya kontraktilitas otot jantung,
iskemik akut atau kronik, meningkatnya resistensi vaskuler dengan
hipertensi, atau adanya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).
4. Mekanisme gagal jantung dapat diawali oleh gangguan kontraktilitas ventrikel,
meningkatnya afterload, dan gangguan pengisian ventrikel.
5. Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan gejala, penilaian klinis,
serta pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan EKG, foto toraks,
laboratorium, dan ekokardiografi Doppler. Dapat juga digunakan kriteria
Framingham untuk menegakan diagnosis suatu gagal jantung kongestif.
6. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus gagal jantung kongestif biasanya
berupa kematian tiba-tiba (sudden death)
7. Prognosis gagal jantung tergantung dari derajat disfungsi miokardium.

21
IV. DAFTAR PUSTAKA

Bender, J.R.; Russel, K.S.; Rosenfeld, E.L. dan Chaudry, S., 2011. Oxford
American Handbook of Cardiology. 1st ed. New York: Oxford University
Press
Crawford, Michael H. 2003. Current Diagnosis & Treatment in Cardiology. 2nd
Edition. New York: The McGraw Hill.
Fuster, V.; Walsh, R. dan Harrington, R. 2010. Hurst’s The Heart. ed. 13th. China:
The McGraw-Hill.
Kalim et. al. 2008. Pedoman Praktis Tatalaksana Gagal Jantung kronis dan akut.
Jakarta: Divisi ‘critical care’ dan kardiologi klinik departemen kardiologi
dan kedokteran vaskular FKUI.

Manurung D. 2006. Gagal Jantung Akut; In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 4th
Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Massie B. M, Granger C. B. 2005. Heart; In: Current Medical Diagnosis and


Treatment 2005, 4th Ed. USA: McGraw-Hill.

Price, S.A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6.


Jakarta: EGC
Selwyn, AP., Eugene B. 2007. Penyakit Jantung Iskemik Dalam Prinsip-Prinsip
Ilmu Penyakit Dalam Ed.13 Vol.3. Jakarta : EGC.

Shah RV. Fifer MA. 2007. Heart Failure in Pathophysiology of Heart Disease a
Collaborative Project of Medical Student and Faculty, 4th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed. V. Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

Sylvia Anderson Price, RN, Phd; Lorraine Mccarty Wilson, RN, PhD. 2005.
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. EGC: Jakarta

22
The American College of Cardiology Foundation and The American Heart
Association. 2013. ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart
Failure. Journal of the American College of Cardiology. Vol 62 : 16.

World Heart Federation, 2014. Cardiovascular Disease Risk Factors.


http://www.world-heart-federation.org/cardiovascularhealth/cardiovascular-
diseaserisk-factors. Tanggal akses 05 Oktober 2017.
World Heart Federation, 2014. Stress and Cardiovascular Disease. http://www.
world-heart-federation.org/cardiovascular-health/cardiovascular-diseaserisk-
factors/stress/. Tanggal akses 5 Oktober 2017.

Yancy, C.W., Jessup M., dan Bozkurt B. 2013. 2013 ACCF/AHA guideline for the
management of heart failure: a report of the American College of
Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
practice guidelines. Circulation vol. 128, no. 16: 240–327.

23

Anda mungkin juga menyukai