Anda di halaman 1dari 43

PRESENTASI KASUS

STEMI DAN DM TIPE II

Pembimbing:
dr. Abraham Avicenna, Sp.JP

Disusun oleh:
Ririn Widya Ningrum G4A015149
Pradnya Paramitha G4A015172
Agum Yanuar Rizki G4A016057
Bayu Aji Perdana G4A016104
Intani Kurnia S. G4A016114

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul:

STEMI DAN DM TIPE II

Pada tanggal Agustus 2017

Diajukan untuk memenuhi


salah satu syarat mengikuti
program profesi dokter di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh:
Ririn Widya Ningrum G4A015149
Pradnya Paramitha G4A015172
Agum Yanuar Rizki G4A016057
Bayu Aji Perdana G4A016104
Intani Kurnia S. G4A016114

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Abraham Avicenna, Sp.JP

1
I. LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama : Tn. HM
Usia : 42 Th
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pembisnis
Alamat : Kopasus no 5 RT 1/12 Depok
Tanggal masuk : 22 Juli 2017 lewat IGD RSMS
Tanggal periksa : 11 Juli 2017
No. CM : 020105556

B. Subjektif
1. Keluhan utama
Nyeri dada
2. Keluhan tambahan
Nyeri dada menjalar ke punggung dan lengan kiri, sesak nafas, rasa sakit
diulu hati, keringat dingin, lemas dan mual
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS pada hari Sabtu, 22 Juli 2017 pukul 20.00
dengan keluhan nyeri dada secara mendadak, nyeri dada muncul 4 jam
sebelum pasien masuk IGD ketika pasien sedang bekerja. Sebelumnya
pasien tidak pernah merasakan gejala yang serupa. Nyeri dada dirasa
seperti ditindih oleh benda berat, menjalar ke punggung dan lengan kiri.
Pasien juga mengeluhkan sesak nafas, rasa sakit diulu hati, keringat
dingin, lemas dan mual. Nyeri tidak membaik dengan beristirahat.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat Hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : diakui

2
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat keganasan : disangkal
f. Riwayat operasi : disangkal
g. Riwayat Tranfusi : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : diakui pada ibu pasien
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal.
6. Riwayat Sosial Ekonomi dan Expossure
a. Community
Pasien tinggal di Jakarta Kopasus bersama istri dan anaknya.
Hubungan antara pasien dengan keluarga, tetangga, dan rekan kerja
baik.
b. Home
Pasien tinggal di daerah perumahan. Lantai rumah beralaskan
keramik dengan ventilasi yang cukup. Pencahayaan rumah pasien
berasal dari lampu dan sinar matahari yang cukup.
c. Occupational
Pasien merupakan seorang pembisnis besi tua. Pembiayaan rumah
sakit ditanggung oleh BPJS NON PBI.
d. Drugs and diet
Pasien mengatakan tidak teratur minum obat DM dan juga tidak
teratur makan karena seringnya pasien bepergian keluar kota. Pasien
merupakan perokok aktif.
e. Personal habit
Pasien mengaku memiliki kebersihan diri yang baik, tidak pernah
mengonsumsi alkohol, atau pun mengkonsumsi obat-obatan terlarang,
pasien juga mengaku jarang berolahraga.

C. Objektif
1. Pemeriksaan Fisik

3
a. Keadaan Umum : lemah
b. Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5
c. Vital sign
1) Tekanan Darah : 150/80 mmHg
2) Nadi : 78 x/menit
3) RR : 32 x/menit
4) Suhu : 36.4oC
d. Status Generalis
1) Kepala
Bentuk : mesochepal, simetris, venektasi
temporal (-)
Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut,
distribusi merata, tidak rontok
2) Mata
Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : reflek cahaya (+/+) normal, isokor Ø 3 mm
3) Telinga
Otore (-/-)
Deformitas (-/-)
Nyeri tekan (-/-)
Discharge (-/-)
4) Hidung
Napas cuping hidung (-)
Deformitas (-/-)
Discharge (-/-)
Rinorhea (-/-)
5) Mulut
Bibir sianosis (-)
Bibir kering (-)
Lidah kotor (-)

4
6) Leher
Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
Kelenjar thyroid : tidak membesar
JVP : nampak, tidak kuat angkat
7) Dada
a) Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-)
Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus (-/-)
b) Jantung
Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari medial
LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial
LMCS, tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kanan atas :SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas :SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SICIV LPSD
Batas jantung kiri bawah :SIC V 2 jari
medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, nyeri ketok costo vertebrae (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-) pada epigastrik dan
bawah arcu costae
Hepar : tidak teraba perbesaran
Lien : tidak teraba perbesaran

5
9) Ekstrimitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiografi

Gambar 1. EKG Tn. HM pada 22 Juli 2017

b. Laboratorium Darah 22 Juli 2017


HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hb : 15,1 gr/dl Normal : 11.2 – 17.3 gr/dl
Leukosit : 12350 /ul (H) Normal : 3.800 – 10.600/ul
Hematokrit : 43 % (L) Normal : 40 % - 52 %

6
Eritrosit : 4,9 juta/ul Normal : 4,4 - 5,9 juta/ul
Trombosit : 226.000/ul Normal: 150.000 - 440.000/ul
MCV : 87,7 fL Normal : 80 - 100 fL
MCH : 30,9 pg/cell Normal : 26 - 34 pg/cell
MCHC : 35,8 gr/dl Normal : 32 – 36 gr/dl
RDW : 12,8 % Normal : 11,5 - 14.5 %
MPV : 10,2 fL Normal : 9,4 - 12,4 fL
Hitung Jenis
Basofil : 0,4 % Normal : 0 – 1 %
Eosinofil : 0,0 % (L) Normal : 2 – 4 %
Batang : 0,5 % (L) Normal : 3 – 5 %
Segmen : 79,6 % (H) Normal : 50 – 70 %
Limfosit : 14,3 % (L) Normal : 25 – 40 %
Monosit : 4,5% Normal : 2 – 8 %
KIMIA KLINIK
Albumin : 2,5 g/dL (L) Normal : 3,40 – 5,00 g/dL
Ureum : 207 g/dL Normal : 7 - 25 g/dL
Ureum : 21,3 g/dL Normal : 14,98 – 38,52 g/dL
Kreatinin darah : 0,99 mg/dL Normal : 0,70 – 1.30 mg/dL
Glukosa sewaktu : 481 mg/dL (H) Normal : <=200 mg/dL
Kolesterol total : 161 mg/dL (L) Normal : 200 - 239 mg/dL
Trigliserid : 115 U/L Normal : 150 – 199 mg/dL
Kolesterol : 31 U/L (L) Normal : 40 – 60 mg/dL
Glukosa puasa : 351 U/L (H) Normal : 74 – 106 mg/dL
Glukosa 2 jam pp : 423 U/L (H) Normal : <= mg/dL

Laboratorium Darah 23 Juli 2017


KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu : 310 mg/dL (H) Normal : <=200 mg/dL

Laboratorium Darah 25 Juli 2017


KIMIA KLINIK

7
Glukosa Puasa : 318 mg/dL (H) Normal : 74 - 106 mg/dL
Glukosa 2 jam pp : 283 mg/dL (H) Normal : <=126 mg/Dl

Laboratorium Darah 26Juli 2017


KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu : 216 mg/dL (H) Normal : <=200 mg/dL

Laboratorium Urin 10 Juli 2017


Urin Lengkap
PH : 6,5 Normal : 4.6 – 7.8
Protein : 30 Normal : Negatif
Sedimen
Eritrosit : Negatif Normal : Negatif
Leukosit : Negatif Normal : Negatif
Epitel :0–1 Normal : Negatif
Silinder hialin : Negatif Normal : Negatif
Silinder linin : Negatif Normal : Negatif
Silinder eritrosit : Negatif Normal : Negatif
Silinder leukosit : Negatif Normal : Negatif
Granuler Halus : Negatif Normal : Negatif
Granuler Kasar : Negatif Normal : Negatif
Kristal : 60 - 70 Normal : Negatif
TRIPLE FOSFAT
Bakteri :2–5 Normal : Negatif
Trikomonas : Negatif Normal : Negatif
Jamur : Negatif Normal : Negatif

Laboratorium Darah 27 Juli 2017


HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hb : 14,1 gr/dl Normal : 11.2 – 17.3 gr/dl
Leukosit : 11650 /ul (H) Normal : 3.800 – 10.600/ul

8
Hematokrit : 42 % (L) Normal : 40 % - 52 %
Eritrosit : 4,7 juta/ul Normal : 4,4 - 5,9 juta/ul
Trombosit : 328.000/ul Normal: 150.000 - 440.000/ul
MCV : 87,6 fL Normal : 80 - 100 fL
MCH : 30,0 pg/cell Normal : 26 - 34 pg/cell
MCHC : 34,2 gr/dl Normal : 32 – 36 gr/dl
RDW : 12,1 % Normal : 11,5 - 14.5 %
MPV : 10,4 fL Normal : 9,4 - 12,4 fL
Hitung Jenis
Basofil : 0,3 % Normal : 0 – 1 %
Eosinofil : 0,2 % (L) Normal : 2 – 4 %
Batang : 0,8 % (L) Normal : 3 – 5 %
Segmen : 83,9 % (H) Normal : 50 – 70 %
Limfosit : 8,8 % (L) Normal : 25 – 40 %
Monosit : 6,0% Normal : 2 – 8 %
Urin Lengkap
Fisis : Kuning Normal : kuning muda –
kuning tua
Warna : Jernih Normal : Jernih
Kejernihan : Khas Normal : Khas
Kimia
Urobilinogen : Normal Normal : Normal
Glukosa : 500 Normal : Normal
Bilirubin : Negatif Normal : Normal
Keton : 15 Normal : Negatif
Berat jenis : 1.015 Normal : 1.010 – 1.030
Eritrosit : 50 Normal : Negatif

D. Diagnosis
STEMI anterior
DM tipe II

9
E. Terapi
1. Non Farmakologis
- Bedrest
- Diet: pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam
4-12 jam pertama. Diet mencakip lemak <30% kalori total dan
kandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan
makanan yang kaya serat, kaliaum, magnesium dan rendah lemak.
2. Farmakologi
- IVFD RL 10 TPM
- O2 2 LPM
- Miniaspi 1x1 tab
- Brilinta 2x1 tab
- Arixta 1x2,5 mg SC
- ISDN 3X5 mg
- Atorvastatin 1x20 mg
- Novaramid 3x6 IU
- Levemir 0-0-8 IU
- Dulcolac 0-0-2 tab
- Alprazolam 0,5 mg 0-0-1 tab
- Ramipril 1x1,25 mg
- Concor 1x1,25 mg pagi
- Spironolakton 1x25 mg

F. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam

10
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sindroma Koroner Akut


1. Definisi
Sindroma coroner akut adalah keadaan dimana penderita merasakan
nyeri dada yang berkepanjangan, akibat gangguan sementara pada aliran
darah myokard. Penyebab terjadinya sindroma coroner akut adalah adanya
erosi atau rupture dari plak atherosclerosis dalam diniding pembuluh darah
coroner. Plak yang terlepas memiliki metrial kolesterol yang tinggi yang
menyebabkan ketika lepas kedalam aliran darah maka kompensasinya
adalah terjadi thrombosis. Trombosis yang terjadi dapat memenuhi ruang
dinding pembuluh darah coroner sehingga terjadi sumbatan. Sumbatan yang
terjadi mungkin hanya sementara sehingga tidak menimbulkan nekrosis.
Kejadian sumbatan pembuluh darah coroner tanpa disertai nekrosis disebut
sebagai unstable angina. Unstable angina dapat menunjukan kelianan ekg
namun tidak terdapat peningkatan enzim jantung. Ketika sumbatan
mengakibatkan nekrosis ringan pada daerah yang kecil hal demikian sering
disebut sebagai NSTEMI (Non ST Elevasi Myokard Infark) (Alwi, 2005).

Ketika iskemia menyebabkan infark pada daerah yang cukup luas dan
terjadi dalam waktu lama, hal ini mengakibatkan penderita mengalami gejala
yang lebih khas. Gejala yang berat diakui dengan adanya nyeri dada berat
diikuti keadaan sesak nafas, mual dan berkeringat dingin. Keadaan ini dapat
tidak muncul pada penderita diabetes. Pada EKG didapatkan hasil ST elevasi
dan peningkatan kadar enzim. Oleh Karena itu keadaan demikian dinamakan
sebagai STEMI (ST Elevasi Myokard Infark) (Cannon, 2008)

2. Etiologi
Penyebab dari sindroma koroner akut adalah atherosclerosis.
Penyebab utama terjadinya sindroma coroner akut adalah adanya gangguan
pada lesi dalam endotel pembuluh darah coroner dalam bentuk
atherosclerosis yang sebelumnya tidak fatal. Perubahan hemodinamik
menjadi salah satu penyebab terganggunya lesi yang tidak menimbulkan

11
gejala menjadi terangkat dan terlepas dari badan luka sehingga
mengakibatkan sumbatan. Plak yang rentan menjadi penyebab sindroma
korner akut adalah plak dengan kadar lipid yang tinggi, jumlah sel
inflammatory yang banyak dan memiliki jaringan fibrosa dalam jumlah
banyak (Alwi, 2005).
Terjadinya atherosclerosis harus menjadi perhatian utama dalam
menangani maupun mencegah terjadinya sindroma coroner akut.
Atherosclerosis terjadi akibat adanya perlukaan pada endotel, perlukaan
endotel ini akan perubahan local pada endotel yang merangsang
pembentukan dari plak atherosclerosis (Coven, 2013).

Atherosclerosis terbentuk atas berbagai interaksi genetic,


hemodinamik tubuh dan keadaan endotel vascular. Atherosclerosis paling
sering terjadi pada daerah yang mengalami perubahaan tekanan dan
turbulensi akibat kejadian otonom maupun neurohumoral. Arteri coroner,
arteri ekstrimitas inferior dan cabang-cabang aorta abdominal adalah
predileksi tersering terjadinya atherosclerosis (Coven, 2013).
Pada arteri coroner, vaskulatur coroner, dinamika aliran darah dan
tekanan pada endothelial sangat berpengaruh pada terbentuknya
atherosclerosis. Arteri koroner yang membentuk atherosclerosis (culprit
lesions) akan menimbulkan gejala apabila terjadi stenosis lebih dari 70%
lumen vascular. Culprits lesion yang sering rupture adalah yang memiliki
kadar macrofag dalam jumlah banyak, inti lipid yang besar dan dikelilingi
penurup fibrosa yang tipis (Coven, 2013).
Berbagai faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi pada kejadian
atherosclerosis adalah :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Riwayat atherosclerosis pada keluarga (genetic).

Faktor resiko yang tidak dapat dirubah ini menunjukan bahwa pria
akan lebih mudah terkena atherosclerosis.

12
Berbagai faktor resiko yang dapat dimodifikasi pada kejadian
atherosclerosis, yaitu :
a. Merokok
b. Diabetes mellitus
c. Hipertensi
d. Dyslipidemia
e. Obesitas
f. Kurang olahraga
g. Stress psikososial
h. Higienitas kurang

Gabungan antara faktor resiko dapat dimodifikasi dan yang tidak


dapat dimodifikasi ini data meningkatkan angka kejadian atherosclerosis.
Kejadian atherosclerosis yang tinggi akan mengakibatkan tingginya kejadian
myokard infark akibat obstruksi pada arteri coroner. Adapun berbagai
penyebab lain dari infark myokard selain akibat atherosclerosis yaitu
sumbatan coroner akibat vasculitis, ventricular hypertrofi, emboli arteri
coroner, kelainan kongenital arteri coroner, trauma coroner, penggunaan obat
(efedrin, cocaine), olahraga berat, hipoksemia (Coven, 2013).

3. Patofisiologi
Patofisiologi STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang
secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri
koroner terjadi secara cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan
oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid (Alwi,
2005).
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisura, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik
memicu trombogenesis sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur
yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis

13
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai
fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada STEMI gambaran patologik
klasik terdiri dari trombus merah kaya fibrin, yang dipercaya menjadi dasar
sehingga STEMI memberi respons terhadap terapi trombolitik (Alwi, 2005).
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
serotonin, epinefrin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan Tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang
poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor
glikoprotein IIb/IIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor
mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuens asam amino pada protein adesi
yang larut (integrin) seperti vWF dan fibrinogen, di mana keduanya adalah
molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara
simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi (Alwi, 2005).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi
protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan
fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi
arteri koroner oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2005).

4. Penegakan Diagnosis

Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang


khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥1 mm, minimal pada 2
sandapan yang berdampingan. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin
T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan
terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim
(Kowoskwe, 2009).

14
a. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan
anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau
luar jantung. Selanjutnya perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari
koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark
miokard sebelumnya, serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, DM,
dislipidemia, merokok, stres, serta riwayat sakit jantung koroner pada
keluarga (Kowoskwe, 2009).
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum
terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit
medis atau bedah.Walaupun STEMI dapat terjadi sepanjang hari atau
malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam
setelah bangun tidur (Kowoskwe, 2009).
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sbb:
1) Lokasi: sub/retrosternal, prekordial
2) Sifat: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
ditusuk, diperas, dan dipelintir
3) Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang
bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan
kanan
4) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau nitrat
5) Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah
makan
6) Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas dan lemas.
b. Pemeriksaan fisik
Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Sering kali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada
substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya
STEMI.Seperempat pasien infark anterior memiliki manifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipertensi) dan

15
hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas
parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi)
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3
gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split
paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur
midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena
disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub.
Peningkatan suhu sampai 38 0C dapat dijumpai pada minggu pertama
pasca STEMI (Kowoskwe, 2009).
c. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam
menentukan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi
ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan
terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi
pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG
serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan
secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI
inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan
infark pada ventrikel kanan (Kowoskwe, 2009).
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosis sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil
menetap menjadi infark miokard non-gelombang Q. jika obstruksi
trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan
banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien
tersebut biasanya mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI
(Kowoskwe, 2009).
d. Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung adalah pemeriksaan
yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus

16
digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti
peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA,
terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung
pemeriksaan biomarker (Kowoskwe, 2009).
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard) :
1) CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4
hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat
meningkatkan CKMB.
2) cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah
2 jam bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam
dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari
3) Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic
dehidrogenase (LDH)
Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis
PMN yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan
menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL
(Kowoskwe, 2009).

5. Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,
pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.

a. Tatalaksana awal
Tatalaksana pra-rumah sakit menentukan rognosis STEMI.
sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu
komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure)
(Alwi, 2005).

17
Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24
jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam
pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang
dicurigai STEMI adalah:
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
2) Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan
tindakan resusitasi
3) Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih
4) Melakukan terapi reperfusi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI
mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat
pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien
risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari pemulangan
cepat pasien dengan STEMI.
b. Tatalaksana umum
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama (Alwi, 2005).
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis
0,4 mg/kgBB dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan
oksigen dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark
atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat
diberikan NTG intravena. NTG IV juga dapat diberikan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema paru. Terapi nitrat harus dihindarkan
pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai
menderita infark ventrikel kanan. Nitrat juga harus dihindari pada pasien
yang menggunakan fosfodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam
sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat (Alwi, 2005).

18
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena
nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan
vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung
1) Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah
jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan
elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan
IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik
yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi,
terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi
dengan pemberian atropine 0,5 mg IV.
2) Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI
dan efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai
dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di UGD.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
3) Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat, mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan
adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan
syarat frekuensi jantung >60 kali/menit, tekanan darah sistolik >100
mmHg, interval PR <0,24 detik dan rhonki <10 cm dari diafragma. 15
menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral
dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg
tiap 12 jam.
4) Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah

19
door-to-needle time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai
dalam 30 menit atau door-to-balloon time untuk PCI dapat dicapai
dalam 90 menit (Alwi, 2005).
c. Seleksi strategi reperfusi
Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi
reperfusi, antara lain (Alwi, 2005).
1) Waktu onset gejala
Waktu onset untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam
menghancurkan trombus sangat tergantung waktu. Terapi fibrinolisis
yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama)
terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis
menurunkan angka kematian (Alwi, 2005).
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami
infark menjadi paten, kurang lebih tergantung pada lama gejala pasien
yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada
pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI
dikerjakan setelah 2-3 jam setelah gejala (Alwi, 2005).
2) Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam
menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas
dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien dengan syok
kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik (Alwi,
2005).
3) Risiko perdarahan
Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada
pasien.Jika tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko
perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk
memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi
farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko (Alwi,
2005).
4) Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI

20
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama
apakah PCI dapat dikerjakan.Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan
PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi
farmakologis. Jika composite end point kematian, infark miokard
rekuren nonfatal atau stroke dianalisis, superioritas PCI terutama
dalam hal penurunan laju infark miokard nonfatal berulang (Alwi,
2005).
a) Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau
stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini
efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan
dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif
daripada fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat
dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan panjang
yang lebih baik. Dibandingkan fibrinolisis, PCI lebih dipilih jika
terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko
perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada minimal 2 atau 3 jam
jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan
obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dan aplikasinya
terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa RS(7)..
b) Fibrinolisis
Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi
arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik: tissue
plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK)
dan reteplase (rpA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu
konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya
melisiskan trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok, yaitu: golongan
spesifik fibrin seperti tPA dan nonspesifik fibrin seperti
streptokinase (Alwi, 2005).
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3
(menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark dengan
aliran normal), karena perfusi penuh pada arteri koroner yang

21
terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri
dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan panjang (Alwi,
2005).
tPA dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain sepeti
rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam
mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan
memperbaiki survival sedikit lebih baik (Alwi, 2005).
d. Obat fibrinolitik
Streptokinase (SK). Merupakan fibrinolitik nonspesifik fibrin.
Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan
selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi sering
ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens
perdarahan intrakkkranial yang rendah (Alwi, 2005).
Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase). GUSTO-1 trial
menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien
yang mendapat tPA disbanding SK. Namun harganya lebih mahal dari
SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi (Alwi, 2005).
Reteplase (retavase). INJECT trial menunjukkan efikasi dan
keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO trial III,
dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih
panjang (Alwi, 2005).
Tenekteplase (TNKase). Keuntungannya mencakup
memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap PAI-1.
Laporan awal dari TIMI 10 B menunjukkan TNKase memiliki laju
TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan
dengan tPA (Alwi, 2005).
e. Antitrombotik
Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan
sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis.
Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Obat

22
antikoagulan standar yang digunakan dalam praktik klinis adalah
unfractionated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan
terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin membantu
trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang
terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg
(maksimum 4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam
(maksimum 1000 U/jam). APTT selama terapi pemeliharaan harus
mencapai 1,5-2 kali. Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI
adalah low-molecular-weight heparin (LMWH). Pada penelitian
ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki
mortalitas, reinfark di RS dan iskemia refrakter di RS (Alwi, 2005).
f. Penyekat beta (Beta-blocker)
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi
menjadi: yang terjadi segera bila obat diberikan secara akut dan yang
diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan
sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV
memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko
kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian
besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE, kecuali
pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau
fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi
ortostatik atau riwayat asma).
g. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan
manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin
dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE
menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal
tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark
inferior, riwayat infark sebelumnya dan/atau fungsi ventrikel kiri
menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek

23
terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan
hemodinamik stabil pada STEMI (pasien dengan tekanan darah sistolik
>100 mmHg). Mekanismenya melibatkan penurunan remodeling
ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung.
Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat
inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien
STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada
pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan dengan
pemeriksaan pencitraan menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri
secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau
pasien hipertensif. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal
jantung termasuk data dari penelitian pada pasien STEMI
menunjukkan bahwa ARB mungkin bermanfaat pada pasien dengan
fungsi ventrikel kiri menurun.

24
B. Diabetes Melitus
1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes
Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (ADA, 2011)(Perkeni, 2011).

2. Epidemiologi
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa klit putih berkisar antara 3%-6%
dari jumlah penduduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi diabetes
meningkat cepat dalam 10 tahun terakhir (Suyono, 2006).Di Amerika
Serikat, penderita diabetes meningkat dari 6.536.163 jiwa di tahun
1990 menjadi 20.676.427 jiwa di tahun 2010 (Gregg, 2014). Di
Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,4%-1,6%, kecuali di
beberapa tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%
(Suyono, 2006).

3. Penegakan Diagnosis
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association
2010 (ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu:
a. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes
Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas
karena sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau
tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level
protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi
sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah
ketoasidosis.
b. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes
Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi
insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan

25
karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya
kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa
oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa
oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor
insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih
tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif
insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya
sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi
insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami
desensitisasi terhadap adanya glukosa.
Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu
gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi
perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan
glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah
terjadi komplikasi.
c. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada
defek genetik fungsi sel beta, defek genetic kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain,
iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan
genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat
pada tabel 1.

26
d. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana
intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan,
biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional
berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.
Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk
menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun
setelah melahirkan.

4. Komplikasi
Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik
akut maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama
dari end-stage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering
amputation, dan adult blindness (Powers, 2008).
Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah,
terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita
diabetes akibat komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan
hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol
lebih lama. Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat diabetes yang
tidak terkendali adalah (Tapp, 2003) (Waspadji, 2006).
a. Kerusakan saraf (Neuropati)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat,
yaitu otak dan sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer
di otot, kulit, dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang
mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal ini
biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak
terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau
lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi
normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila
dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil
diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan

27
merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan
ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut
neuropati diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik
dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau
menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim
atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya
kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena. Prevalensi
Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada populasi klinik berkisar
3% s/d 65.8% dan dalam penelitian pada populasi berkisar
12.8% s/d 54%. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi
neuropati pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d 68.0% dan
dalam penelitian pada populasi berkisar 13.1% s/d 45.0%
(Tapp, 2003).
b. Kerusakan ginjal (Nefropati)
Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta
pembuluh darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini
berfungsi sebagai saringan darah. Bahan yang tidak berguna
bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja
selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun
yang masuk ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada
nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan,
sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor
ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin
lama terkena tekanan darah tinggi, maka penderita makin
mudah mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada
penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau
kerusakan saraf. Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit
DM tipe 1 berkisar 4.3% s/d 37.6% pada populasi klinis dan
12.3% s/d 27.2% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan
pada pasien DM tipe 2 prevalensi mikroalbuminuria pada
populasi klinik berkisar 2.5% s/d 57.0% dan dalam penelitian
pada populasi berkisar 18.9% s/d 42.1%. Prevalensi overt

28
nephropathy dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 0.7% s/d 27%
pada populasi klinis dan 0.3% s/d 24% dalam penelitian pada
populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi overt
nephropathy pada populasi klinik berkisar 5.4% s/d 20.0% dan
dalam penelitian pada populasi berkisar 9.2% s/d 32.9% (Tapp,
2003).
c. Kerusakan mata (Retinopati)
Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan
menjadipenyebab utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama
pada mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu:
i. retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak
pembuluh darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa
darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina;
ii. katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan
transparan menjadi keruh sehingga menghambat
masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya
glukosa darah yang tinggi; dan
iii. glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola
mata sehingga merusak saraf mata. Prevalensi retinopati
dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 10.8% s/d 60.0%
pada polpulasi klinik dan 14.5% s/d 79.0% dalam
penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM
tipe 2 prevalensi retinopati pada populasi klinik berkisar
10.6% s/d 47.3% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 10.1% s/d 55.0% (Tapp, 2003).
d. Penyakit jantung koroner (PJK)
Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang
menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan
menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot
jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga
kematian mendadak bisa terjadi. Prevalensi Penyakit jantung
koroner dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0%

29
s/d 25.2% pada polpulasi klinik dan 1.8% s/d 43.4% dalam
penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi
penyakit jantung koroner berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan
Diabetes tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan Diabetes
tipe 2 (Tapp, 2003).
e. Stroke
Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2)
berkisar 1.0% s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d
12.5% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari
prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes tipe
1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan Diabetes tipe 2 (Tapp,
2003).
f. Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan
keluhanyang dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan
ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu
terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau
stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali
lipat apabila penderita diabetes juga terkena hipertensi (Tapp,
2003).
g. Penyakit pembuluh darah perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan
kaki, yang dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD),
dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada
penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita
diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau
tidak terasa sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10
tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami
kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti
gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar
sembuh, pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada
pembuluh darah jantung (Tapp, 2003).

30
h. Gangguan pada hati
Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes
tidak makan gula bisa bisa mengalami kerusakan hati (liver).
Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu akibat penyakit
diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita
diabetes, penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus
hepatitis B atau hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes
harus menjauhi orang yang sakit hepatitis karena mudah
tertular dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan hepatitis.
Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah
terjadi karena infeksi atau radang hati yang lama atau berulang.
Gangguan hati yang sering ditemukan pada penderita diabetes
adalah perlemakan hati atau fatty liver, biasanya (hampir 50%)
pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini jangan
dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan
lemak di jaringan tubuh lainnya (Tapp, 2003).
i. Penyakit paru
Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis
paru dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi
baik dan secara sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat
infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa
darah (Tapp, 2003)
j. Gangguan saluran cerna
Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan
karena kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan
saraf otonom yang mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini
dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena infeksi,
gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan,
sampai pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi
menjadi mudah tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata.
Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare juga bisa terjadi.
Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada lambung

31
dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul
akibat pemakaian obat- obatan yang diminum (Tapp, 2003).
k. Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan
tubuh dalam menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga
penderita diabetes mudah terkena infeksi. Tempat yang mudah
mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit, kaki,
kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang
tinggi juga merusak sistem sehingga mengurangi kepekaan
penderita terhadap adanya infeksi (Tapp, 2003).

5. Penatalaksanaan
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM
tipe-2, dan sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka
tatalaksana DM tipe-2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai
kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular. Dalam
Konsensus Pengelolaandan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011,
penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar
penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani
dan intervensi farmakologis (Perkeni, 2011).
a. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan
perilaku sehat yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan
keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif
dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki
perilaku sehat (Piette, 2003)(Perkeni, 2011).
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha
pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami
penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/
komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible,
ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara

32
mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang
diperlukan (Piette, 2003).
Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan
glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan,
berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi
asupan kalori dan diet tinggi lemak (Piette, 2003).
b. Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu
makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-
masing individu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal
makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang
dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%,
protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat
sekitar 25g/hari (Perkeni, 2011).
c. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-
masing selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan
yang bersifat aerobic seperti berjalan santai, jogging, bersepeda
dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas
insulin (Perkeni, 2011).
d. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan
pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi
farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan (Perkeni,
2011). Obat yang saat ini ada antara lain:
1) Pemicu sekresi insulin
Sulfonilurea
i. Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pancreas
ii. Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau
kurang

33
iii. Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada
orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta
malnutrisi
b) Glinid
i. Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
ii. Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih
ditekankan pada sekresi insulin fase pertama.
iii. Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia
postprandial
2) Peningkat sensitivitas insulin
a) Biguanid (Sugondo, 2006)
i. Golongan biguanid yang paling banyak
digunakan adalah Metformin.
ii. Metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat
seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan
produksi glukosa hati.
iii. Metformin merupakan pilihan utama untuk
penderita diabetes gemuk, disertai dislipidemia,
dan disertai resistensi insulin.
b) Tiazolidindion (Sugondo, 2006) (Perkeni, 2011)
i. Menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa sehingga meningkatkan ambilan
glukosa perifer.
ii. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal
jantung karena meningkatkan retensi cairan.
3) Penghambat gluconeogenesis
Salah satu penghambat gluconeogenesis golongan
Biguanid adalah Metformin. Metformin
dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan
kreatinin serum > 1,5 mg/ dL, gangguan fungsi hati, serta

34
pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada
sepsis. Metformin tidak mempunyai efek samping
hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea. Metformin
mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun
bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan.
Sebagai salah satu obat hipoglikemik oral,
metformin mempunyai beberapa efek terapi antara lain
menurunkan kadar glukosa darah melalui penghambatan
produksi glukosa hati dan menurunkan resistensi insulin
khususnya di hati dan otot. Metformin tidak meningkatkan
kadar insulin plasma. Metformin menurunkan absorbsi
glukosa di usus dan meningkatkan sensitivitas insulin
melalui efek penngkatan ambilan glukosa di perifer. Studi-
studi invivo dan invitro membuktikan efek metformin
terhadap fluidity membran palsma, plasticity dari reseptor
dan transporter, supresi dari mitochondrial respiratory
chain, peningkatan insulin-stimulated receptor
phosphorylation dan aktivitas tirosine kinase, stimulasi
translokasi GLUT4 transporters, dan efek enzimatik
metabolic pathways (Maric, 2010).
4) Penghambat glukosidase alfa
Salah satu penghambat glukosidase alfa adalah
Acarbose. Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di
usus halus. Acarbose juga tidak mempunyai efek samping
hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea. Acarbose
mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu
kembung dan flatulens. Penghambat dipeptidyl peptidase-4
(DPP-4) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu
hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa
usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk.
GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan
penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah

35
menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4.
Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan
insulin dan menghambat penglepasan glukagon.

Injeksi Insulin
1) Insulin kerja cepat
2) Insulin kerja pendek
3) Insulin kerja menengah
4) Insulin kerja panjang
5) Insulin campuran tetap
Agonis GLP-1/incretin mimetic
1) Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa
menimbulkan hipoglikemia, dan menghambat penglepasan
glucagon
2) Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan
sulfonylurea
3) Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti
mual muntah Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM
tipe 2 ini, maka dapat dipahami bahwa yang menjadi dasar
utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Semua pengobatan
DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi
yang terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan
secara konsisten, dan melakukan latihan jasmani secara
teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat terkendali
kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini.
Bila dengan GHS glukosa darah belum terkendali, maka
diberikan monoterapi OHO.
Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan
ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Pemberian OHO berbeda-beda tergantung jenisnya.
Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid
diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bisa diberikan

36
sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama
makan suapan pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada
jadwal makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan saat makan atau
sebelum makan.
Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah
belum terkendali maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi
kombinasi harus dipilih 2 OHO yang cara kerja berbeda, misalnya
golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS dan
kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka ada
2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO
atau GHS dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal.
Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja
menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam hari
menjelang tidur. Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak
terkendali maka pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih
kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini diberikan kombinasi
insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan
insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk mengendalikan glukosa
darah prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial ini berbentuk
basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial.
Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan
cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12
minggu sebelumnya. Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan,
atau minimal 2 kali setahun. Gambar 3 menunjukkan panduan
tatalaksana berdasarkan hasil A1c.
Tatalaksana DM tipe-2 bukan hanya bertujuan untuk
kendali glikemik, tetapi juga kendali faktor risiko kardiovaskuler,
karena ancaman mortalitas dan morbiditas justru datang dari
berbagai komplikasi kronik terebut. Dalam mencapai tujuan ini,
Metformin salah satu jenis OHO ternyata bukan hanya berfungsi
untuk kendali glikemik, tetapi juga dapat memperbaiki

37
disfungsiendotel, hemostasis, stress oksidatif, resistensi insulin,
profil lipid dan redistribusi lemak (Rojas, 2013).
Metformin terbukti dapat menurunkan berat badan,
memperbaiki sensitivitas insulin, dan mengurangi lemak visceral
(Reinehr, 2004). Pada penderita perlemakan hati (fatty liver),
didapatkan perbaikan dengan penggunaan Metformin (Tock,
2010). Metformin juga terbukti mempunyai efek protektif terhadap
komplikasi makrovaskular (Holman, 2008)
Selain berperan dalam proteksi risiko kardiovaskuler, studi-
studi terbaru juga mendapatkan peranan neuroprotektif Metformin
dalam memperbaiki fungsi saraf, khususnya spatial memory
function (Wang, 2012), dan peranan proteksi Metformin dalam
karsinogenesis. Diabetes tipe-2 mempunyai risiko lebih tinggi
untuk terkena berbagai macam kanker terutama kanker hati,
pankreas, endometrium, kolorektal, payudara, dan kantong
kemih.Banyak studi menunjukkan penurunan insidens keganasan
pada pasien yang menggunakan Metformin (Rojas, 2013).
Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru
dari the American Diabetes Association/ European Association for
the Study of Diabetes (ADA/EASD) dan the American Association
of Clinical Endocrinologists/American College of Endocrinology
(AACE/ACE) merekomendasikan pemberian metformin sebagai
monoterapi lini pertama. Rekomendasi ini terutama
berdasarkanefek metformin dalam menurunkan kadar glukosa
darah, harga relatif murah, efek samping lebih minimal dan tidak
meningkatkan berat badan (Rodbard, 2009)(Perkeni, 2011).
Posisi Metformin sebagai terapi lini pertama juga diperkuat
oleh the United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS)
yang pada studinya mendapatkan pada kelompok yang diberi
Metformin terjadi penurunan risiko mortalitas dan morbiditas.
UKPDS juga mendapatkan efikasi Metformin setara dengan
sulfonylurea dalam mengendalikan kadar glukosa darah (UKPDS,

38
1998). Ito dkk dalam studinya menyimpulkan bahwa metformin
juga efektif pada pasien dengan berat badan normal (Ito, 2010).

39
KESIMPULAN

1. Infark miokard akut dengan ST elevasi (ST Elevation Myocardial Infarction =


STEMI) merupakan bagian dari spectrum sindro coroner akut (SKA) yang
terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan
elevasi ST.
2. Penyebab dari sindroma koroner akut adalah atherosclerosis. Penyebab utama
terjadinya sindroma coroner akut adalah adanya gangguan pada lesi dalam
endotel pembuluh darah coroner dalam bentuk atherosclerosis yang
sebelumnya tidak fatal
3. Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
EKG, dan pemeriksaan enzim jantung.
4. Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri
dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,
pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang
dan tatalaksana komplikasi IMA.
5. Diabetes mellitus tipe-2 masih merupakan masalah kesehatan yang penting,
khususnya karena komplikasi kronik yang ditimbulkannya. Tatalaksana
diabetes mellitus tipe-2 bukan hanya ditujukan pada kendali glikemik, tetapi
juga terhadap proteksi komplikasi kardiovaskuler.
6. Metformin merupakan obat hipoglikemik lini pertama untuk diabetes mellitus
tipe-2, karena disamping terbukti efektif dalam kendali glikemik, Metformin
juga terbukti mempunyai efek protektif terhadap komplikasi kardiovaskuler,
disamping masih mempunyai banyak efek positif lainnya yang sebagian masih
dalam tahap penelitian.

40
DAFTAR PUSTAKA

Alwi I. 2005. Infark Myokard Akut Dengan Elevasi ST. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : FK UI.
American Diabetes Association. Diagnosis And Classification Of Diabetes
Mellitus. Diabetes Care 2011;34:s62-9.
Cannon, C And E, Braunwald. 2008. ST-Elevation Myocard Infarction. Harrisons
Principle Internal Medicine. New York : Mc Grawhill.
Coven, David L. 2013. Acute Coronary Syndrome. Medscapereference. [Online]
Medscape, June 11, 2013. [Cited: June 14, 2013.]
Http://Emedicine.Medscape.Com/Article/1910735-
Overview#Aw2aab6b2b3
Gregg EW, Li Y, Wang J, Burrows NR, Ali MK, Rolka D, et al. Changes in
Diabetes-Related Complications in the United States, 1990–2010. N
Engl J Med 2014;370:1514-23
Holman RR, Paul SK, Bethel MA, Matthews DR, Neil HA:10-year follow up of
intensive glucose control in type 2 diabetes.N Engl J Med2008,
359:1577–1589
Ito H, Ishida H, Takeuchi Y,et al: Long-term effect of metformin on blood
glucose control in non-obese patients with type 2 diabetes mellitus. Nutr
Metab2010,7:83
Kowoskwe, J., Yaa, M. 2009. The diagnosis and Treatment STEMI in Emergency
Medicine. 11(6) Boston Emergency Medicine Journal.
Marić. A Metformin – more than ‘gold standard’ in the treatment of type 2
diabetes mellitus. Diabetologia Croatica 2010; 39-3
National Clinical Guideline Centre. 2013. NICE Clinical. Myocardial Infarction
With ST Segmen-Elevation. London
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2011. hlm.4-10, 15-29
Piette, J. Effectiveness of Self-management Education. Dalam: Gan D, Allgot B,
King H, Lefebvre P, Mbanya JC, Silink M, penyunting. Diabetes Atlas.
Edisi ke-2. Belgium: International Diabetes Federation; 2003:h.207-15)
Powers AC. Diabetes mellitus. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser
SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
17th Edition. United States: The McGraw-Hill Companies; 2008.
hal2275-304.
Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group:Effect of intensive blood glucose
control with metformin on complications in overweight patients with
type 2 diabetes (UKPDS 34). Lancet1998,352(9131):854–865.
Reinehr T, Kiess W, Kappellen T, Andler W:I nsulin sensitivity among obese
children and adolescents, according to degree of weight loss. Pediatrics
2004,114:1569–1573
RI, Departemen Kesehatan. 2009. Survey Kesehatan Rumah Tangga Pelayanan
Dan Tidakan Medis Departemen Kesehatan RI. Jakarta : Depkes.
Rodbard HW, Jellinger PS, Davidson JA,et al: Statement by an American
association of clinical endocrinologists/American college of

41
endocrinology consensus panel on type 2 diabetes mellitus. An
algorithm for glycemic control. Endocr Pract 2009,15(6):540–559.
Rojas LBA, Gomes MB. Metformin: an old but still the best treatment for type 2
diabetes. Diabetology & Metabolic Syndrome2013,5:6. Diunduh dari
http://www.dmsjournal. com/ content/5/1/6
Sugondo S. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2.
Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hlm.1882-5
Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006. hlm.1874-8
Tapp R, Shaw J, Zimmet P. Complications of Diabetes. Dalam: Gan D, Allgot B,
King H, Lefebvre P, Mbanya JC, Silink M, penyunting. Diabetes Atlas.
Edisi ke-2. Belgium: International Diabetes Federation; 2003:h.72-112)
Tock L, Dˆamaso A, de Piano A, Carnier J,et al: Long-Term Effects of metformin
and lifestyle modification on nonalcoholic fatty liver disease obese
adolescents. J Obes2010,831901:6. Article ID 831901
Wang J, Gallagher D, De Vito L,et al: Metformin activates an atypical PKC-CBP
pathway to promote neurogenesis and enhance spatial memory
formation. Cell Stem Cell2012,11:23–35
Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes: Mekanisme terjadinya, diagnosis dan
strategi pengelolaan. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.hlm.1874-8

42

Anda mungkin juga menyukai