Anda di halaman 1dari 94

Laporan Kasus

PEREMPUAN 58 TAHUN DENGAN CHRONIC HEART FAILURE NYHA


III, DIABETIC KIDNEY DISEASE, HIPERTENSI STAGE II, DIABETES
MELITUS TYPE 2, ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK, DAN
HIPERKALEMIA SEDANG

Oleh:
Rahmadhani Bella Kp G991903049

Residen Pembimbing:

Dr. Yohana Fillamina Setiawan dr. Dian Ariningrum, Sp.PK, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


STASE TERINTEGRASI – LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul

PEREMPUAN 58 TAHUN DENGAN CHRONIC HEART FAILURE NYHA


III, DIABETIC KIDNEY DISEASE, HIPERTENSI STAGE II, DIABETES
MELITUS TYPE 2, ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK, DAN
HIPERKALEMIA SEDANG

Oleh:
Rahmadhani Bella Kp G991903049

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal

dr. Dian Ariningrum, Sp.PK, M.Kes


BAB I

STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Ny. S
Umur : 58 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Menjing, Kajuapak, Polokarto, Sukoharjo
No RM : 01408xxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 15 Maret 2019
Tanggal Periksa : 16 Maret 2019

B. Data dasar
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan saat hari kedua
perawatan di Bangsal Penyakit Dalam Flamboyan 8 RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Keluhan utama:
Sesak napas memberat sejak 1 hari SMRS.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien mengeluhkan sesak napas yang memberat sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas sudah pasien rasakan hilang
timbul selama ± 2 bulan terakhir. Sesak napas yang memberat
dirasakan terus menerus hingga mengganggu aktivitas. Keluhan
memberat ketika pasien melakukan aktivitas meskipun aktvitas
ringan. Keluhan terasa lebih ringan ketika pasien beristirahat. Pasien

2
mengaku sesak napas tidak dipengaruhi oleh debu dan cuaca. Pasien
biasa tidur dengan 2-3 bantal.
Selain sesak napas pasien juga mengeluhkan bengkak di tungkai
atas dan tungkai bawah di kedua sisi. Bengkak dirasa bertambah besar
selama seminggu ini. Keluhan bengkak membesar biasanya
bersamaan ketika pasien sesak dan mengecil setelah mondok dua hari
di rumah sakit.
Pasien juga mengeluh batuk hilang timbul selama ± 2 bulan
terakhir. Keluhan batuk biasanya bersamaan dengan sesak nafas yang
dirasakannya
Pasien juga mengeluh badannya terasa lemas. Lemas dirasakan
terus menerus.
Pasien BAK menurun sehari 2 – 3 kali, sebanyak ½ gelas
belimbing, darah (-) dan nyeri BAK (-).BAK batu maupun pasir
disangkal. BAB pasien sehari sekali. Tidak ada BAB berdarah. Nafsu
makan pasien biasa, tidak ada penurunan.
Pasien mengaku memiliki sakit ginjal sejak 3 tahun yang lalu
dan rutin melakukan cuci darah di RSDM setiap Rabu siang. Pasien
juga mengaku memiliki sakit gula sejak 5 tahun yang lalu, sempat
menggunakan insulin dan obat gula namun tidak rutin. Selain itu
pasien memiliki riwayat penyakit darah tinggi sejak 3 tahun terakhir,
namun tidak rutin minum obat. Riwayat sakit jantung disangkal.

Riwayat penyakit dahulu :


Penyakit Keterangan
(+) Dirasakan kambuh-kambuhan
Riwayat sakit serupa
selama satu tahun
Riwayat tekanan darah tinggi (+) diketahui sejak 3 tahun yang lalu
Riwayat sakit gula (+)sejak 5 tahun yang lalu
Riwayat sakit ginjal (+) diketahui sejak 3 tahun yang

3
lalu. Rutin hemodialisis
Riwayat sakit jantung Disangkal
Riwayat alergi Disangkal
(+) pemasangan catether double
Riwayat Operasi
lumen untuk hemodialysis

Riwayat penyakit keluarga:


Penyakit Keterangan
Riwayat sakit serupa Disangkal
Riwayat sakit gula Disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi Disangkal
Riwayat sakit liver Disangkal
Riwayat sakit jantung Disangkal
Riwayat sakit ginjal Disangkal
Riwayat alergi Disangkal

Riwayat kebiasaan
Makan Pasien mengaku makan 3 kali sehari dengan
nasi, lauk-pauk, dan sayur. Pasien terkadang
makan buah.
Merokok Pasien tidak pernah merokok
Alkohol Disangkal
Obat Warung Pasien mengaku kadang kadang
menggunakan obat pegal linu yang dibeli di
warung
Minuman berenergi Disangkal
ataupun Jamu.

Riwayat gizi
Pasien makan 3 kali dalam sehari. Porsi untuk sekali makan +
10-12 sendok makan dengan dengan lauk tahu, tempe, telur, daging,

4
dan sayur. Pasien terkadang makan buah. Namun dalam 3 hari terakhir
pasien tidak mau makan karena keluhan nyeri perut yang dirasakan.
Sementara waktu pasien hanya minum dalam jumlah sedikit.

Riwayat sosial ekonomi


Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Sehari-hari pasien
biasanya pasien mengerjakan pekerjaan rumah dan memasak. Pasien
masih bisa mandiri untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien
berobat menggunakan fasilitas BPJS kelas III. Pasien tinggal bersama
keluarga yaitu suami dan anak perempuannya di rumah yang
sederhana. Pasien mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga
dan tetangga sekitar. Lingkungan sekitar rumah bersih, tidak dekat
dengan sungai ataupun tempat pembuangan sampah. Pasien
menggunakan sumber air dari sumur.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 5 September 2018 dengan hasil sebagai
berikut:
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, compos
mentis, GCS E4V5M6, kesan gizi
cukup
2. Tanda vital
• Tensi : 170/90 mmHg
• Nadi : 80 kali /menit, reguler, teraba kuat.
• Frekuensi nafas : 24 kali /menit tipe costoabdominal
• Suhu : 36.50 C
3. Status gizi
• Berat Badan : 51 kg
• Tinggi Badan : 156 cm
• IMT : 20.95 kg/m2
• Kesan : Normoweight

5
4. Kulit : Warna coklat, turgor (-) normal, hiperpigmentasi (-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),
ekimosis (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok
(-), luka (-), atrofi m. Temporalis (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (+/+),
skleraikterik (-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil
isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya
(+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), mata merah
(-/-), lensa keruh (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
8. Hidung : Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau air
berlebihan (-), gatal (-), epistaksis (-)
9. Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-), gusi berdarah (-), luka pada sudut bibir (-
), oral thrush (-), lidah kotor (-).
10. Leher : JVP 5+2 cm, trakea ditengah,simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening
leher (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, dinding dada = dinding
abdomen pengembangan dada kanan = kiri, retraksi
intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela iga
melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening axilla (-/-)
12. Jantung
• Inspeksi : Ictus kordis tak tampak
• Palpasi : Ictus kordis teraba di SIC VI 2 cm lateral LMCS,
tidak kuat angkat
• Perkusi : Batas jantung kiri di SIC V 2 cm LMCS
Batas jantung kanan di SIC V LSD
Kesan batas jantung melebar

6
• Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).
13. Pulmo
a. Depan
• Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
• Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
• Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada
SIC V linea medioclavicularis dextra
- Kiri : Sonor, redup dari SIC V ke bawah.
• Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (+) SIC VI,
ronki basah kasar (-),krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (+) SIC VI,
ronki basah kasar (-), krepitasi (-)
b. Belakang
• Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
• Palpasi
- Statis : Simetris

7
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan =kiri
• Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
- Peranjakan diafragma 5 cm
• Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (+), ronki basah
kasar (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (+), ronki basah
kasar (-), krepitasi (-)
13. Abdomen
• Inspeksi : Dinding perut = dinding thorak, ascites (-),
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae
(-), spider nevi (-)
• Auskultasi : Bising usus (+) 16 x / menit
• Perkusi : timpani (+), pekak alih (-), area traube timpani,
liver span 12 cm,
• Palpasi : supel (+), distended (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas
(-), defans muskuler (-), hepar dan lien tidak
teraba, undulasi (-)
14. Ginjal
• Palpasi : bimanual palpation : ginjal kanan - kiri tidak teraba

8
Ekstremitas :
Akral dingin _ _ Oedem + +
_ _ + +

Superior Ka/Ki : Oedem (+/+), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-),
clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan
nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-)
Inferior Ka/Ki : Oedem (+/+), hiperpigmentasi (-), sianosis (-/-),
pucat (-/-), akral dingin (-/-), kuku pucat (-/-),
spoonnail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-),
deformitas (-/-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium darah
Tanggal 15 Maret 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 9.0 (↓) g/dl 13.5 – 17.5
Hct 24 (↓) % 33 – 45
AL 8.0 103 /  L 4.5 – 11.0
AT 280 103 /  L 150 – 450
AE 2.67 (↓) 106/  L 4.50 – 5.90
INDEX ERITROSIT
MCV 88.2 /um 80.0 – 96.0
MCH 31,7 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 36.3 (↑) g/dl 33.0 – 36.0
RDW 12.9 % 11.6 – 14.6
MPV 7.3 fl 7.2 – 11.1

9
HITUNG JENIS

Eosinofil 4.00 % 0.00 – 4.00

Basofil 0.20 % 0.00 – 2.00


Netrofil 71.2 % 55.00 – 80.00
Limfosit 20.20 (↓) % 22.00 – 44.00
Monosit 4.60 % 0.00 – 7.00
Golongan Darah O
ELEKTROLIT
Natrium darah 133 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 6.7 (↑) mmol/L 3.3 – 5.1
Calsium Ion 1.17 mmol/L 1.17 – 1.29
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 83 mg/dl 60 – 140
SGOT 26 u/l <35
SGPT 14 u/l <45
Creatinine 12.8 (↑) mg/dl 0.6 – 1.1
Ureum 141 (↑) mg/dl <50
SEROLOGI
HbsAg Nonreactive

10
B. Pemeriksaan Urin Rutin
Tanggal 16 Maret 2019 di RSUD Dr. Moewardi
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
MAKROSKOPIS
Warna Yellow
Kejernihan Cloudy
KIMIA URIN
Berat jenis 1.012 1.015 – 1.025
pH 8.0 4.5 – 8.0
Leukosit Negatif /ul Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein +++/Positif mg/dl Negatif
Glukosa 3 mg/dl Normal
Keton Normal mg/dl Negatif
Urobilinogen Negatif mg/dl Normal
Bilirubin Normal mg/dl Negatif
Eritrosit Negatif mg/dl Negatif
MIKROSKOPIS +/ Positif 1
Leukosit /LPB 0 – 12
EPITEL 4.6
Epitel squamous /LPB Negatif
Epitel transitional 10-15 /LPB Negatif
Epitel bulat - /LPB Negatif
SILINDER -
Hyaline /LPK 0–3
Granulated 0 /LPK Negatif
Leukosit 0-1 /LPK Negatif
-

11
12
C. Elektrokardiografi
Tanggal 15 Maret 2019

Irama : Sinus Ritmis


Frekuensi : 88 x/menit
Axis : Normoaxis
Gelombang P : reguler
PR : 0.12 second
QRS : 0.06 second
QT : 0.32 second
Kesan : Normal

13
D. Foto Rontgen Thoraks

Tanggal 14 Juli 2018

Cor: Batas kiri jantung tertutup perselubungan


Pulmo: Tak tampak infiltrate di kedua lapang paru
Tampak perihilar haziness di kedua lapang paru
Sinus phrenicocostalis kanan tajam kiri tertutup perselubungan
Hemidiaphragma kanan normal kiri tertutup perselubungan
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Tampak terpasang HD Cath dari sisi kanan dengan tip terproyeksi corpus VTh 8 sisi
kanan
Kesimpulan:
1. Oedem pulmo
2. Efusi pleura kiri
3. Terpasang HD Cath dari sisi kanan dengan dengan tip terproyeksi corpus VTh 8
sisi kanan
4. Cor tak valid dinilai

IV. DIAGNOSIS ATAU PROBLEM


1. CHF NYHA III dengan edema pulmo
2. DKD 5 HD rutin Rabu
3. Hipertensi Stage II
4. DM tipe II dengan Gula Darah Terkontrol non-obese
5. Anemia tipe normositik-normokromik ec PGK (Hb: 9.0)

2
6. Hiperkalemia sedang (6.7)

VI. ASSESSMENT LABORATORIS


Pemeriksaan lab darah
Kesan :
- Anemia normositik normokromik
- Penurunan hematokrit
- Limfositopenia relatif
- Hiperkalemia sedang
- Peningkatan ureum creatinin

Pemeriksaan lab urin


Kesan:
- Urin keruh
- Penurunan berat jenis urin
- Proteinuria
- Hematuria
- Epitel skuamous dan silinder granulated

VII. TERAPI
a. Bedrest tidak total setengah duduk
b. O2 2-3 lpm NK
c. Diet ginjal jantung DM 1700 kkal
d. Inf. D5% 16 tpm mikro
e. Inf EAS Primer 1 fl/24 jam
f. Inj Furosemid 20 mg/8 jam
g. Inj Fluimucyl 600 mcg/24 jam
h. Candesartan 16 mg/24 jam
i. Amlodipin 10 mg 0-0-0-1
j. Asam folat 800 mcg/24 jam
k. CaCO3 1 tab/8 jam
l. Clonidin 0.15 mg/12 jam
m. Kalitake sach 1 sach/8 jam

3
VIII. PLANNING
Pemeriksaan Manfaat
GDT Melihat morfologi sel darah tepi
Hitung retikulosit Bantu mengarahkan proses anemia
BNP Pada CHF biasanya meningkat
Analisis Gas Darah Menentukan kadar pH, pCO2 dan O2. Pada
pasien CHF pasien sesak nafas, asidosis
respiratorik.
Pada pasien CKD kemungkinan terjadi asidosis
metabolik
AST dan ALT (enzim Pada CHF biasanya meningkat
liver)
Elektrolit (Na, K, Cl) Monitoring tx diuretik
Profil Lipid Pada CKD biasanya ada peningkatan
trigliserid dan LDL, serta penurunan HDL
Urin tampung 24 jam - Mengetahui produksi urin dalam 24 jam
Urin rutin dengan - memeriksa kadar analit urin (protein Esbach)
sedimen
Urinalisis, Albumin, - Monitoring
Fungsi Ginjal
GDS, GD2PP, GDP, - Monitoring gula darah
HbA1c

IX. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia
2. Ad sanam : dubia
3. Ad fungsionam :dubia

4
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini didapatkan pasien dengan sesak napas yang memberat sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Sesak napas sudah pasien rasakan hilang timbul selama ± 2 bulan terakhir.
Sesak napas yang memberat dirasakan terus menerus hingga mengganggu aktivitas. Keluhan
memberat ketika pasien melakukan aktivitas meskipun aktivitas ringan. Keluhan terasa lebih
ringan ketika pasien beristirahat. Pasien mengaku sesak napas tidak dipengaruhi oleh debu dan
cuaca. Pasien biasa tidur dengan 2-3 bantal. Selain itu pasien juga mengeluhkan bengkak pada
tungkai atas dan bawah di kedua sisi, batuk hilang timbul, badan terasa lemas, dan BAK
berkurang, Pasien mempunya riwayat sakit ginjal sejak 3 tahun yg lalu dan rutin cuci darah di
RSDM setiap Rabu siang. Sakit gula (+) sejak 5 tahun yang lalu, sempat menggunakan insulin
dan obat gula namun tidak rutin. Sakit darah tinggi (+) sejak 3 tahun terakhir, namun tidak rutin
minum obat. Riwayat sakit jantung disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adaya tekanan darah tinggi 170/90, konjungtiva mata
pucat, RBH di basal kedua paru. Pada ekstremitas didapatkan edema pada keempat ekstremitas.
Pada pemeriksaan penunjang lab darah didapatkan Hb (9.0), penurunan hematokrit (24),
penurunan eritrosit (2.67), limfositopenia relatif (20.2), peningkatan ureum (141) dan
peningkatan kreatinin (12.8), hiperkalemia (6.7). Lab urin didapatkan urin warna kuning keruh
dengan protein +++ (positif 3), dan eritrosit + (positif 1) dan ditemukan epitel squamous dan
silinder granulated.. Dan pada rontgen toraks didapatkan edema pulmo dan efusi pleura kiri
minimal.
Sampai disini didapatkan adanya trias gagal ginjal pada pasien, yakni hipertensi, edema,
dan anemia. Penyakit ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (PGK) adalah abnormalitas
struktur atau fungsi ginjal, yang terjadi dalam waktu lebih dari 3 bulan dengan implikasi bagi
kesehatan (KDIGO, 2013).
Kriteria PGK (terjadi lebih dari 3 bulan)
Penanda kerusakan ginjal (1 atau lebih) - Albuminuria (AER ≥ 30mg/24 jam;
ACR ≥ 30mg/g (≥3 mg/mmol)
- Abnormalitas sedimen urin
- Abnormalitas elektrolit atau lainnya
yang berkaitan dengan gangguan
tubulus
- Abnormalitas struktur yang dideteksi
dari radiologi
- Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) LFG< 60 ml/menit/1,73 m2

5
Pada pasien ini terdapat edema pada ekstremitas, hipertensi, proteinuria, hematuri, dan
hipoalbuminemia yang mengarah pada CKD
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan
glomerulus. Dalam keadaan normal mambrana basalis glomerulus (MBG) mempunyai
mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama
berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge
Barrier). Proteinuria dibedakan menjadi proteinuria selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuri selektif apabila protein yang keluar
terdiri dari molekul yang kecil misalnya albumin, sedangkan non-selektif apabila protein yang
keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuri ditentukan oleh
keutuhan struktur MBG.
Edema dapat terjadi karena retensi natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan
cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan LFG akibat kerusakan ginjal
akan menambah retensi natrium dan edema.. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau
terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi gromerulus, dan keterkaitan dengan
penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan
Pasien mendapatkan terapi berupa bedrest tidak total ½ duduk karena pasien memiliki
keluhan sesak napas yang semakin memberat saat beraktivitas, selain itu pada pasien juga
didapatkan adanya edema paru dan efusi pleura minimal yang umumnya akan membuat sesak
napas pada pasien semakin memberat bila dalam posisi berbaring. Hal ini dikarenakan saat
posisi berbaring maka akan semakin besar luas permukaan paru yang “terendam” oleh cairan,
sehingga pasien dapat menjadi semakin sesak.
Pada pasien juga didapatkan adanya hipertensi stage II dengan tekanan darah 170/90,
yang masuk ke dalam hipertensi stage 2 menurut JNC., yakni adanya peningkatan tekanan
darah diatas ≥ 160/100. Untuk tatalaksana hipertensi menurut guideline ESC, 2018 pasien dapat
langsung diberikan terapi kombinasi 2 jenis obat, seperti ACE inhibitor/ARB dan CCB. Pada
pasien ini diterapi dengan amlodipin dan candesartan , sehingga dapat menurunkan tekanan
darah – dan dengan begitu menurunkan tekanan hidrostatik plasma untuk membantu
mengurangi edema pada pasien. Selain itu pasien juga mendapatkan furosemide, yakni loop
diuretic yang berefek pada menurunnya cardiac output dengan begitu juga mengurangi cairan
dalam tubuh dan menurunkan tekanan darah.
Pasien mengeluh badan terasa lemas, Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva
anemis. Pada pemeriksaan lab darah didapatkan penurunan Hb (9), penurunan hematokrit (24),
penurunan jumlah eritrosit (2.25). Pada indeks eritrosit didapatkan MCH dan MCV dalam batas
normal. Hal ini menunjukkan adanya anemia normositik normokromik.

6
Anemia normositik normokromik dapat disebabkan karena beberapa sebab seperti
penyakit kronis, anemia aplastik, hemolisis, atau kehilangan darah secara akut sehingga belum
memengaruhi ukuran dan konsentrasi Hb dalam sel darah merah. Untuk membantu menegakkan
diagnosis dan penyebab anemia, direncakan pemeriksaan lanjutkan yakni gambaran darah tepi
dan pemeriksaan retikulosit.
Anemia normositik normokromik yang disertai dengan limfositopenia relative akibat
limdositosis dapat menunjukan kemungkinan adanya penyakit/kondisi kronis yang
menyebabkan kondisi ini, misalnya adanya penyakit ginjal.
Selain itu pada pasien ini ditemukan imblans elektrolit berupa hiperkalemia sedang.
berkurangnya kemampuan ginjal untuk mengeksresi kalium di urin sehingga kalium di darah
menjadi meningkat. Hiperkalemia juga bias diinduksi oleh RAAS inhibitor, jadi penggunaan
obat ACE i dan ARB menurunkan sekresi aldosteron sehingga sekresi ion K bekurang dan
terjadi hiperkalemia
Ureum kreatini meningkat karena pada pasien CKD gagal dalam memperthankan
metabolism dan keseimbangan elektrolit dan cairan sehingga terjadi retensi urea dan sampah
nitrogen dalam darah.
Kelebihan cairan terjadi karena terganggunya regulasi cairan di ginjal pada pasien PGK
terutama bila memiliki gagal jantung kongestif bias menyebabkan edema pulmo

7
TINJAUAN PUSTAKA

1. CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


Definisi dan Kriteria Diagnosis
Chronic Kidney Disease atau Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan proses
patofisiologi yang berhubungan dengan fungsi ginjal yang abnormal dan penurunan
secara progresif glomerular filtration rate (GFR). Menurut National Kidney Foundation
KDIGO (2013), kriteria penyakit ginjal kronik (PGK) adalah:
Tabel 1.1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
Kriteria PGK (terjadi lebih dari 3 bulan)
Penanda kerusakan ginjal (1 atauAlbuminuria (AER ≥ 30mg/24 jam;
lebih) ACR ≥ 30mg/g (≥3 mg/mmol)
Abnormalitas sedimen urin
Abnormalitas elektrolit atau lainnya
yang berkaitan dengan gangguan
tubulus
Abnormalitas struktur yang dideteksi
dari radiologi
Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus GFR < 60 ml/menit/1,73 m2
(GFR)

Klasifikasi, Etiologi, dan Patogenesis


Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan pada penyebab dan keparahannya,
yang dapat digambarkan dengan GFR dan level albuminuria, yang mana GFR dan
albuminuria ini dapat menunjukkan outcome termasuk mortalitas dan outcome ginjal.
Faktor-faktor ini yang menjadi acuan dalam manajemen PGK (KDIGO,2013).

Sesuai rekomendasi The National Kidney Foundation Kidney Disease Improving


Global Outcome (NKF-KDIGO) tahun 2012, klasifikasi penyakit ginjal kronik menurut
derajat penyakit di kelompokkan menjadi 5 derajat, dikelompokkan atas penurunan faal
ginjal berdasarkan GFR, yaitu:
Tabel 1.2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Menurut Derajat Penyakit
Derajat LFG (ml/menit/1,73 m2) Keterangan
G1 ≥90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Menurun ringan
G3a 45-59 Menurun ringan-
8
sedang
G3b 30-44 Menurun sedang-berat
G4 15-29 Menurun berat
G5 <15 Gagal ginjal

GFR dapat dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai berikut :
LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Dua penyebab utama penyakit ginjal kronik menurut Indonesian Renal Registry
(IRR) 2014 adalah penyakit ginjal hipertensi (37%) dan nefropati diabetika (27%).
Jumlah pasien penyakit ginjal Diagnosa Etiologi/Comorbid) di Indonesia tahun 2014
(IRR, 2014) :
- Penyakit ginjal hipertensi (4699)
- Nefropati diabetika (3401)
- Glumerulopati Primer (1317)
- Nefropati obstruktif (914)
- Pielonefritis Kronik (850)
- Nefropati Lupus (164)
- Ginjal polikistik (154)
- Nefropati asam urat (148)
- Lain-lain (921)
- Tidak diketahui (202)
Patofisiologi terjadinya Gagal Ginjal Kronis (GGK) meliputi dua mekanisme
yaitu mekanisme spesifik berdasarkan etiologi yang mendasari (nefropati diabetik,
glomerulonefritis, hipertensi, genetik, toksin) dan mekanisme progresif meliputi
hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron yang masih normal sebagai mekanisme
kompensasi yang maladaptif (Kasper et al., 2015).
Hilangnya unit fungsional ginjal baik karena penyakit ataupun operasi akan
menyebabkan perubahan anatomis dan fungsional dari nefron normal yang tersisa.
Aliran darah ke glomerolus yang normal meningkat karena adanya peningkatan dari
nitrit oksida, sehingga akan menyebabkan hipertrofi dan hiperfiltrasi. Hal ini
menyebabkan terjadinya hipertensi glomerular sehingga meningkatkan tegangan dan
gaya pada dinding kapiler yang pada awalnya dapat diatasi oleh kontraktilitas dari
endotel dan membran basalis serta podosit. Podosit akan meningkatkan adhesi sel agar
dinding kapiler tetap utuh. Seiring berjalannya waktu, maka hipertensi glomerular ini
akan merusak podosit dan menyebabkan glomerulasklerosis (Kasper et al., 2015).
9
Gambar 2.1 Glumerolus Normal (Kiri) dan Hiperfiltrasi (Kanan)

Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat Hipertensi, DM, ISK, batu saluran kemih, SLE. Riwayat hipertensi dalam
kehamilan (pre-eklamsia, abortus spontan). Riwayat konsumsi obat NSAID, antimikroba,
kemoterapi, antiretroviral, paparan zat kontras. Evaluasi sindrom uremia : lemah, nafsu
makan berkurang, berat badan menurun, mual muntah, nokturia, sendawa, edema perifer,
neuropati perifer, pruritu, kram otot, kejang sampai koma. Riwayat penyakit ginjal pada
keluarga, juga evaluasi manifestasi sistem organ seperti auditorik, visual, kulit dan lainnya
untuk menilai apa ada PGK yang diturunkan (Sindrom Alport atau Fabry, sistinuria) atau
paparan nefrotoksik dari lingkungan (logam berat).
2. Pemeriksaan Fisik :
Difokuskan pada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target organ : funduskopi,
pemeriksaan pre-kordial (heaving ventrikel kiri, bunyi jantung IV). Gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit : edema, polineuropati. Gangguan endokrin metabolik: amenorrhea,
malnutrisi, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, infertilitas dan disfungsi seksual.
Gangguan saluran cerna : anoreksia, mual muntah, nafas bau urin (uremic fector), disgeusia
(metalik taste). Gangguan neuromuscular: letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus, fasikulasi

10
otot, restless leg syndrome, miopati, kejang sampai koma. Gangguan dermatologis: palor,
hiperpigmentasi, pruritus.
3. Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium: darah perifer lengkap, penurunan LFG dengan rumus Kockroft-Gault,
tes klirens kreatinin, gula darah, profil lipid, analisa gas darah, serologis hepatitis, SI, TIBS,
feritin serum, hormon PTH, urinalisis.
Radiologis: foto polos abdomen, USG ginjal, ekokardiografi.
Biopsi ginjal untuk melihat abnormalitas parenkim ginjal, dilakukan biopsi jika dengan
tidakan non invasi diagnosis belum bisa ditegakkan. (Alwi et al, 2015) (KDIGO,2013)

Penatalaksanaan
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya (Sudoyo, 2014):
Tabel 1.3 Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik
Derajat LFG Rencana Tatalaksana
(ml/mnt/1.73 m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi perburukan
fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler
2 60-89 Menghambat perburukan fungsi
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi Komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti
ginjal
5 < 15 Terapi Pengganti Ginjal

Non Farmakologi (KDOQI, 2013) (Alwi et al, 2015) :


- Asupan protein 0.8 g/kg/hari pada dewasa dengan diabetes atau non diabetes LFG<
30ml/min/1.73 m2 (LFG kategori G4-G5). Pre-dialisis : 0.6-075 g/KgBB/hari,
hemodialisis : 1.2 g/KgBB ideal/hari, dialisis peritoneal : 1.2-1.3 g/KgBB ideal/hari,
pasca transplantasi : 0.8-1 g/KgBB iedal/hari.
- Asupan garam Predialisis : < 5 g/hari, hemodialisis : 5-6 g/hari, dialisis peritoneal :
5-10 g/hari, transplantasi ginjal : <6-7 g/hari pada fase akut.
- Olahraga 30 menit 5x dalam seminggu, dan tidak boleh merokok.
- Pada dewasa diabetes atau non diabetes dengan CKD dan eksresi urine < 30 mg/24
jam yang memiliki tekanan sistol >140 mmHg diastole >90 mmHg
direkomendasikan diberikan obat untuk menurunkan tekanan darah sampai sistole ≤
140 mmHg dan diastole ≤ 90 mmHg.
- Pada diabetes atau non diabetes dengan CKD dan eksresi urine ≥ 30 mg/24 jam
yang memiliki tekanan sistol >130 mmHg diastole >80 mmHg disarankan diberikan
11
obat untuk menurunkan tekanan darah sampai sistole ≤ 130 mmHg dan diastole ≤
80 mmHg.
- Intake cairan Pre-dialisis : cairan tidak dibatasi dengan produksi urin normal,
hemodialisis : 500 mL/hari + produksi urin, dialisis peritoneal : 1500-2000 mL/hari
dengan pemantauan harian
Farmakologis (KDOQI, 2013) (Alwi et al, 2015) :
Kontrol tekanan darah: Pada pasien diabetes dewasa dengan penyakit ginjal kronis dan
eksresi albumin urine 30-300 mg/24 jam disarankan menggunakan ARB atau ACE-I. Pada
pasien diabetes atau non diabetes dengan penyakit ginjal kronis dan eksresi albumin urin >
300mg/24jam direkomendasiakan menggunakan ARB dan ACE. Monoterapi ACE inhibitor
atau ARB signifikan secara statistik mengurangi resikoend stage renal disease (ESRD) pada
pasien gagal ginjal kronis dan manfaatnya terbatas pada pasien makroalbuminuria dengan
diabetes dan hipertensi (Qaseem et al, 2013).
Kontrol gula darah : hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea masa kerja
panjang. Target HbA1C (7%) untuk mencegah komplikasi mikrovaskular diabetes (DKD).
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl.
Kontrol hiperfosfatemia dengan kalsium karbonat atau kalsium asetat.
Kontrol dislipidemia dengan target LDL < 100mg/dl dianjurkan golongan statin. Golongan
statin mengurangi resiko mortalitas, miokardiak infark, dan gagal jantung kronis (Qaseem et
al, 2013).
Monitoring :

Gambar 2.2. Monitoring LFG dan Albumin


Hijau : resiko rendah CKD, Kuning: peningkatan resiko sedang CKD, Orange:
resiko tinggi CKD Merah : sangat berisiko tinggi CKD

12
Terapi ginjal pengganti
Pasien penyakit ginjal kronis stage 4 (LFG< 30ml/mnt/1.73 m2) seharusnya
mulai diberikan edukasi tentang terapi pengganti ginjal seperti transpantasi ginjal,
hemodialisis, peritonial dialisis yang dapat dilakukan dilakukan di unit hemodialisa
maupun dirumah. Pasien dengan end stage kidney disease (ESKD) dapat diberikan
hemodialisis 3 x seminggu dilakukan di unit hemodialisa dengan memperhatikan
manfaat psikososial, kualitas hidup dan resiko dari terapi. Pada pasien end stage
kidney disease yang hamil harus sering hemodialisis dengan waktu yang lama.

Komplikasi
Toksisitas Obat
Pada LFG yang rendah pemberian obat harus selalu diobsevasi karena obat
sedikit dieksresikan di ginjal. Kesalahan dosis obat pada pasien PGK umum terjadi
sehingga dapat menyebabkan toksisitas ginjal, toksistas sistemik, hal ini mengancam
keselamatan pasien. Penggunaan obat herbal untuk PGK tidak direkomendasikan
(KDIQO,2013).
Komplikasi Metabolik dan Endokrin
Anemia :
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah,
defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun
kronik. (KDIQO,2013).
Asidosis:
Eksresi asam pada awalnya mencegah penurunan konsentrasi serum
bikarbonat, tetapi pada orang dengan LFG< 40ml/mnt/1.73 m2 terjadi penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+disertai penurunan kadar bikarbonat
(HCO3). Disarankan pada orang PGK dan konsentrasi serum bicarbonat <22mmol/l
diberikan suplemen bikarbonat oral (KDIQO,2013).
Gangguan tulang dan mineral :
Penurunan fungsi ginjal menyebabkan gangguan homeostasis mineral di
jaringan maupun serum. Dimulai pada CKD stage 3 kemampuan ginjal
mengeksresikan fosfat berkurang menyebabkan hiperfosfatemia, penurunan
1,25(OH)D dan disertai penurunan fibroblast growth faktor 23. Konversi 25(OH)D

13
menjadi 1,25 (OH)2 terganggu, terjadi penurunan absorbsi kalcium pada intestinal
dan peningkatan PTH. (KDIQO,2013).
Kerusakan Ginjal :
Proteinuria : akibat peningkatan permeabilitas glumerolus terhadap protein molekul
besar (albuminuria, proteinuria glumerular), reabsorbsi tubular yang tidak sempurna.
Albuminuria: Albuminuria merupakan pertanda pertama sebelum penurunan LFG
dari penyakit glumerolus seperti diabetes glumerulosclerosis. Albuminuria juga
pertanda hipertensi nefrosclerosis tetapi mungkin tidak muncul sampai terjadi
penurunan LFG. Albuminuria sering dihubungkan dengan penyebab yang mendasari
hipertensi, obesitas, dan penyakit pembuluh darah.
Sedimen urin abnormal : Tanda patognomik adanya kerusakan pada ginjal antara lain
ditemukam sel darah merah, sel darah putih, butiran endapan cast, dismorfik sel darah
merah.
Abnormal elektrolit dan patologi jaringan ginjal (KDIQO,2013)
Resiko infeksi :
Faktor risiko infeksi pada pasien dengan CKD yaitu : Usia lanjut,
penyakit penyerta yang memperberat seperti DM, hipoalbuminemia, Terapi
imunosupresan, sindrom nefrotik, uremia, anemia dan malnutrisi (KDIQO,2013).
Penyakit Kardiovaskuler: Albuminuria berhubungan dengan durasi dan keparahan
hipertensi berkebalikan dengan profil lipid seperti peningkatan total kolesterol,
trigliserida, lipoprotein dan HDL-C rendah yang dapat menyebabkan peningkatan
mortalitas kardiovascular. LVH banyak dijumpai pada pasien CKD, LVH
menunjukan target kerusakan organ pada jantung. Pada pasien CKD dengan resiko
aterosklerosis disarankan pemberian antiplatelet kecuali ada resiko perdarahan
(KDIQO,2013).
Prognosis
Penting sekali untuk merujuk pasien penyakit ginjal kronis stadium 4 dan 5.
Terlambat merujuk (kurang dari 3 bulan sebelum onset terapi pengganti ginjal)
berkaiatan erat dengan meningkatnya angka mortalitas setelas dialisis dimulai. Pasien
penyakit ginjal kronis lebih baik ditangani oleh pelayanan kesehatan tingkat primer
bersama nefrologis. Edukasi pada pasien mengenai perjalanan penyakit, terapi
pengganti ginjal (hemodialisa,peritoneal dialisis, transplantasi) dan pemilihan akses
vascular untuk hemodialisa. Bagi yang ingin transplantasi, evaluasi donor harus
segera dimulai (Alwi et al, 2015). Pasien dengan penyakit ginjal polikistik berisiko
tinggi menjadi end stage renal disease (ESRD), sedangkan pasien dengan nefropati

14
diabetes berisiko tinggi mengalami kematian sebelum berakhir dengan end stage
renal disease (ESRD) (Haynes et al, 2014).

2. CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)


Definisi dan Kriteria Diagnosis
Gagal jantung kongestif atau Congestive heart failure (CHF) merupakan suatu
keadaan patofisiologi jantung dimana terjadi abnormalitas fungsi jantung sehingga gagal
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan tubuh. Gagal
jantung kongestif adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien
memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung ( nafas pendek yang tipikal saat istirahat
atau saat melakukan aktivitas disertai/tidak kelelahan), tanda retensi cairan (kongesti
paru atau edema pergelangan kaki), adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau
fungsi jantung saat istirahat (Siswanto et al., 2015).
Berdasarkan studi Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan
apabila diperoleh 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria minor.
Major Criteria Minor Criteria
PND or orthopnea Ankle edema
Neck vein distension Night cough
Lung crepitations Dyspnea on exertion
Cardiomegaly Hepatomegaly
S3 gallop Pleural effusion
Hepatojugular reflux Tachycardia >120bpm
Diagnosis: 2 Major or 1 major + 2 minor for diagnosis

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Elektrokardiogram
Beberapa pola EKG abnormal mungkin didapatkan pada penderita CHF
seperti gelombang Q abnormal, left bundle branch block, gangguan konduksi lain,
hipertrofi ventrikel atau atrium kiri, aritmia ventrikel atau atrium dimana hal ini
dapat dijadikan bahan investigasi untuk menentukan penyakit dasar yang mendasari
terjadinya CHF (Camn et al., 2007).
Pemeriksaan Foto Thoraks Dada
Pemeriksaan foto thoraks dada juga direkomendasikan sebagai pilihan
pemeriksaan diagnostik lini pertama. Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi
mengenai ukuran dan ketajaman jantung. Namun pemeriksaan ini memiliki

15
keterbatasan. Tidak adanya kardiomegali tidak dapat menyingkirkan adanya
kemungkinan penyakit katub atau disfungsi sistolik ventrikel kiri (Camn et al.,
2007).
Pemeriksaan Hematologi dan Biokimia
Beberapa pemeriksaan laboratorium direkomendasikan guideline ESC
sebagai bagian dari rutinitas diagnosis pada pasien yang dicurigai menderita CHF.
Pemeriksaan tersebut diantaranya yaitu hitung darah lengkap, elektrolit, glukosa,
ureum, kreatinin, enzim hepar, dan urinalisis. Biomarker miokardium seperti
troponin T atau I merupakan pemeriksaan penting selama fase akut infark miokard.
Pemeriksaan lain yang penting yaitu asam urat, C-reactive protein, dan
thyroidstimulatinghormone. Beberapa pemeriksaan yang penting saat followup dan
setelah pemberian pengobatan tertentu yaitu ureum, kreatinin, dan potassium (Camn
et al., 2007).
Pemeriksaan Ekokardiografi
Ekokardiografi telah digunakan secara luas, cepat, dengan teknik non-
invasif, dan aman dimana pemeriksaan ini dapat memberikan informasi mengenai
dimensi jantung, ketebalan dinding jantung dan pengukuran fungsi sistolik dan
diastolik.Penentuan LVEF merupakan kunci untuk mengukur fungsi sistolik
ventrikel kiri. Fungsi sistolik dinyatakan menurun jika didapatkan LVEF < 0,40
(Camn et al., 2007).

Klasifikasi dan Etiologi


Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau
berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA.

16
Gambar 2.3 Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan Kelainan Struktural
dan Fungsional
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
Penyakit Jantung Koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita
penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi ventrikel
kiri (Doughty dan White, 2007).
Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi terjadinya
gagal jantung. Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme
disfungsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi
predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya akan
berujung pada gagal jantung kongestif (Lip et al., 2001).
Kardiomiopati
Kardiomiopati merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak disebabkan oleh
penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital. Kardiomiopati terdiri dari
beberapa jenis. Diantaranya ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu
penyebab tersering terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa
dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini
disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan
jaringan fibrosis (Lip et al., 2001; Camn et al., 2007).
Hipertrophic cardiomiopathy merupakan salah satu jenis kardiomiopati yang
bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas

17
pada serabut otot miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga menyebabkan
hipertrofi septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow).
Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan tekanan
diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel.
Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy. Karakteristik dari
jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan komplians yang buruk, tidak ditemukan
adanya pembesaran dari jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi
saat diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normal. Kondisi yang dapat
menyebabkan keadaan ini ialah amiloidosis, sarcoidosis, hemokromasitomatosis dan
penyakit resktriktif lainnya.
Kelainan Katup Jantung
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering menyebabkan
gagal jantung kongestif ialah regurgitasi mitral. Regurgitasi mitral meningkatkan
preload sehingga terjadi peningkatan volume di jantung. Peningkatan volume jantung
memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke
seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama dapat menyebabkan gagal jantung
kongestif (Lip et al., 2001).
Aritmia
Artial fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa perlu
adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. Aritmia tidak hanya
sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga memperparah prognosis dengan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Camn et al., 2007).
Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk
menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada wanita
belum ada fakta yang konsisten (Lip et al., 2001).
Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan kejadian
rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme perubahan struktur
dan fungsi dari miokardium. Selain itu,obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol
yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab utama
dari gagal jantung kongestif (Lip et al., 2001; Camn et al., 2007).
Patogenesis
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak bisa
berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan hemodinamik,
overload volume, ataupun kasus herediter seperti kardiomiopati. Kondisi-kondisi
tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung. Namun, pada awal penyakit,
18
pasien masih menunjukkan asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang minimal. Hal
ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury
ataupun disfungsi ventrikel kiri. Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya: (1)
Aktivasi Renin- Angiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2)
peningkatan kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap normal
dengan cara retensi cairan dan garam (Lily et al., 2002).
Ketika terjadi penurunan cardiac output maka akan terjadi perangsangan
baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus, dan arkus aorta, kemudian akibar
rangsangan tersebut akan memberi sinyal aferen ke sistem syaraf sentral di
cardioregulatory center yang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon (ADH)
dari hipofisis posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus
sehingga reabsorbsi air meningkat.
Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang
menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi
simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan kadar
angiotensin II dan aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam
melalui vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Beberapa mekanisme ini dapat
mengembalikan fungsi kardiovaskuler dalam batas normal, menghasilkan pasien dengan
gejala yang asimptomatik. Mekanisme kompensasi neurohormonal ini berkontribusi
dalam perubahan fungsional dan struktural jantung serta retensi cairan dan garam pada
gagal jantung kongestif yang lebih lanjut. Meskipun demikian, jika tidak terdeteksi dan
berjalan seiring waktu akan menyebabkan kerusakan ventrikel dengan suatu keadaan
remodeling sehingga akan menimbulkan gagal jantung yang simtomatik (Crawford et
al., 2012).

19
Gambar 2.4 Mekanisme Kompensasi Neurohormonal
Tubuh memiliki beberapa mekanisme kompensasi untuk mengatasi gagal
jantung seperti (1) mekanisme Frank-Starling , (2) neurohormonal (3)ventricular
hipertrofi dan remodeling. Penurunan stroke volume akan meningkatkan end sistolic
volume (ESV) sehingga volume dalam ventrikel kiri meningkat. Peningkatan volume ini
akan meregangkan ventrikel kiri sehingga otot jantung akan berkontraksi dengan lebih
kuat untuk meningkatkan stroke volume (Frank-Starling mechanism) dan cardiac output
(CO) untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Mekanisme kompensasi ini
mempunyai batas. Pada kasus CHF dengan penurunan kontraktilitas yang berat,
ventrikel tidak mampu memompa semua darah sehingga end diastolic volume (EDV)
meningkat dan tekanan ventrikel kiri juga meningkat dimana tekanan yang ini akan
ditransmisi ke atrium kiri, vena pulmonal dan kapiler pulmonal dan ini akan
menyebabkan edema paru (Crawford et al., 2012).
Penurunan CO akan merangsang sistem simpatis sehingga meningkatkan
kontraksi jantung sehingga stroke volume meningkat dan CO meningkat. Penurunan CO
juga merangsang renin angiotensin sistem dan merangsang vasokonstriksi vena dan
menyebabkan venous return meningkat (preload increase) dan akhirnya stroke volume
meningkat dan CO tercapai. Penurunan CO juga meningkatkan ADH dan merangsang
retensi garam dan air untuk memenuhi stroke volume dan CO. Hormon aldosterone juga
meningkat untuk meningkatkan retensi garam dan cairan untuk meningkatkan venous
return tubuh. Tetapi stimulasi neurohormonal yang kronik akan menyebabkan efek yang
tidak diinginkan seperti edema (Lily et al., 2002).

20
Peningkatan beban jantung juga akan meningkatkan wall stress menyebabkan
dilatasi ventrikel kiri dan peningkatan tekanan sistolik untuk mengatasi afterload yang
meningkat. Maka otot ventrikel akan menebal sebagai kompensasi untuk menurunkan
wall stress namun peningkatan kekakuan dinding hipertrofi menyebabkan tekanan
diastolik ventrikular yang tinggi dimana tekanan ini akan ditransmisi ke atrium kiri,
vaskular pulmonal. Chronic volume overload seperti pada mitral regurgitasi atau aorta
regurgitasi akan merangsang miosit memanjang. Maka radius chamber ventrikel
meningkat dan dinamakan eccentric hipertrofi. Chronic pressure overload seperti
hipertensi atau aorta stenosis akan merangsang miosit menebal yang dinamakan
concentric hypertrophy. Hipertrofi dan remodeling ini membantu untuk menurunkan
wall stress tetapi pada waktuyang lama, fungsi ventrikel akan menurun dan dilatasi
ventrikel akan terjadi. Apabila ini terjadi, beban hemodinamik pada otot jantung akan
menurunkan fungsi jantung sehingga gejala gagal jantung yang progresif akan timbul.
Ketika beban kerja yang berlebihan dikenakan pada jantung dengan tekanan
darah sistolik meningkat (kelebihan tekanan), peningkatan volume diastolik (volume
overload), atau kehilangan miokardium, normalnya sel-sel miokard akan hipertrofi
dalam upaya untuk meningkatkan kekuatan kontraktil daerah normal. Pada perubahan
berikutnya dalam biokimia, elektrofisiologi, dan fungsi kontraktil mengakibatkan
perubahan mekanis fungsi miokard. Laju kontraksi melambat, waktu untuk
mengembangkan ketegangan meningkat puncak, dan relaksasi miokard tertunda.
Penebalan dinding ventrikel membatasi tingkat pengisian ventrikel (disfungsi diastolik),
yang diperparah dengan peningkatan denyut jantung karena memperpendek durasi
pengisian ventrikel. Kekuatan kontraksi miokard pada akhirnya berkurang karena
hilangnya sel dan berlanjutnya hipertrofi, yang menyebabkan perubahan ventrikel dan
volume. Proses dilatasi ruang atau hipertrofi dikenal sebagai remodeling jantung.
Setelah fase kompensasi awal, peningkatan volume Intracavitary biasanya
dikaitkan dengan pengurangan lebih lanjut dalam fraksi ejeksi ventrikel (progresif
disfungsi sistolik) dan akhirnya dengan kelainan pada sirkulasi perifer dari aktivasi
berbagai mekanisme kompensasi neurohormonal. CHF berikutnya ditandai dengan
berkurangnya respon kontraksi untuk meningkatkan volume (rata Frank-Starling kurva)
dan berkurangnya fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF). Respon neurohormonal yang
abnormal menyebabkan peningkatan tonus simpatik sistemik dan aktivasi sistem renin-
angiotensin. Produksi angiotensin meningkat, menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Peningkatan resistensi arteri perifer membatasi curah jantung selama latihan.
Peningkatan kadar angiotensin II juga menstimulasi pelepasan aldosteron oleh kelenjar

21
adrenal, meningkatkan retensi natrium dan sehingga menyebabkan retensi cairan dan
edema perifer.
Kegagalan pompa miokard dan CHF tidak selalu terkait erat pada waktunya.
Pasien seringkali awalnya asimtomatik, dengan tanda dan gejala CHF berkembang
hanya setelah beberapa bulan kegagalan miokard dan penurunan fraksi ejeksi. Curah
jantung tidak meningkatkan cukup selama latihan, tapi bisa normal saat istirahat selama
periode ini. Walaupun pasien mungkin tanpa gejala atau sedikit gejala saat istirahat,
dengan fraksi ejeksi tidak berubah, perubahan dalam pembuluh darah perifer terjadi
dengan perlahan-lahan naik resistensi perifer saat berolahraga. Kinerja Latihan perlahan-
lahan menjadi terbatas karena pembuluh darah perifer tidak dapat memenuhi kebutuhan
metabolisme meningkat dari melatih otot-otot rangka.
Meskipun mekanisme yang tepat dimana respon hemodinamik dan faktor
neurohormonal berinteraksi untuk menyebabkan pemburukan klinis progresif dalam
CHF tidak diketahui, kelainan hemodinamik dan neurohormonal yang meningkatkan
stres dinding jantung dapat menyebabkan morfologi perubahan sel miokard, dan
remodeling struktural jantung. Dilatasi rongga ventrikel dan perubahan bentuknya
akhirnya dapat menyebabkan regurgitasi mitral. Peningkatan tekanan jantung dan
volume juga dapat memicu iskemia miokard, terutama pada pasien dengan penyakit
arteri koroner yang mendasarinya (CAD). Pada hipertrofi miokard dapat meningkatkan
kebutuhan metabolik jantung dan dapat meningkatkan risiko iskemia pada pasien
dengan CAD. Konsentrasi tinggi dari norepinefrin dan angiotensin II dapat memberi
efek toksik langsung pada sel miokard. Aktivitas tinggi dari saraf dan sistem renin-
angiotensin simpatik dapat memiliki efek elektropsikologi merugikan dan dapat
menyebabkan aritmia jantung-khususnya mematikan pada pasien dengan
ketidakseimbangan elektrolit (Crawford et al., 2012).
Telah diketahui bahwa peningkatan aktivitas saraf simpatik dapat meningkatkan
kontraksi miokardium dan heartrate. Hal ini untuk memicu peningkatan cardiac output.
Aktivasi saraf simpatik juga akan menyebabkan pelapasan renin, retensi natrium, dan
vasokontriksi sehingga akan meningkatkan preload dan aktivasi mekanisme frank
starling. Respon ini memiliki pengaruh yang baik terhadap tubuh dalam rentang waktu
yang singkat, namun akan menyebabkan pengaruh yang buruk dalam rentang waktu
yang lama. Hal ini disebabkan karena peningkatan afterload karena konstriksi pembuluh
darah akan menyebabkan kegagalan stroke volume. Sistem simpatik akan menyebabkan
perubahan metabolisme miokardium dan katekolamin mungkin merupakan suatu hal
yang bersifat toksis terhadap cardiomyocyte. Peningkatan aktivitas adrenergic dan
penurunan aktivitas vagal dapat meningkatkan aktivitas listrik yang tidak stabil pada
22
jantung.selain itu, aktivasi sistem simpatik juga dapat menyebabkan redistribusi aliran
darah regional dan menyebabkan perubahan struktur pembuluh darah (Camn et al.,
2007).

Gambar 2.5 Proses patofisiologi gagal jantung sebagai akibat dari disfungsi sistolik ventrikel
kiri. Kerusakan pada myocyte dan matriks ekstraseluler akan menyebabkan perubahan ukuran
dan fungsi ventrikel kiri dan terjadi remodeling. Perubahan ini akan menyebabkan instabilitas
elektrik dan proses sistemik sehingga mengakibatkan efek terhadap jaringan dan organ serta
kerusakan lebih parah pada jantung (Camn et al., 2007).
Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif
- Tatalaksana non-farmakologi
- Manajemen perawatan mandiri
- Ketaatan pasien berobat
- Pemantauan berat badan mandiri
- Restriksi cairan
- Pengurangan berat badan
- Latihan fisik

Tata laksana farmakologis


Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas.Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap
merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Sangatlah penting untuk
mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan
non kardiovaskular yang sering dijumpai (Mansjoer et al., 2015).
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada beberapa aspek,
yaitu; 1)mengurangi beban kerja, 2)memperkuat kontraktilitas miokard, 3) mengurangi
kelebihan cairan, 4)melakukan tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyebab,
faktor-faktor pencetus dan kelainan yang mendasari (Lily et al., 2002)

23
- Menurunkan preload
- Diuretik
- Nitrat
- Obat inotropik
Tidak semua CHF terjadi gangguan kontraktilitas. Obat inotropik hanya
diberikan pada pasien yang terbukti ada gangguan kontraktilitas misalnya pada
pemeriksaan fisis atau pada foto toraks tampak pembesaran jantung, atau hasil
ECHO menunjukkan ejection fraction (EF) <40%.
- Digitalis (digoksin)
- β-blocker
- Menurunkan after-load
- Angiotensin converting enzyme (ACE)- inhibitors
- Angiotensin Resepror Blockers (ARB)
- Calcium Channel Blockers (CCB)
- Mencegah remodeling
Obat yang memiliki efek mencegah remodeling seperti ACE-inhibitors dan ARB
bermanfaat menghambat progresivitas CHF. Namun dosis yang diberikan harus
maksimal. Sebenarnya hampir semua obat antihipertensi memiliki efek mencegah
remodeling termasuk CCB, β blockers dan diuretik.

Prognosis
CLASS SYMPTOMS 1-YEAR
MORTALITY*
I None, asymptomatic left ventricular 5%
dysfunction
II Dyspnoea or fatigue on moderate physical 10 %
exertion
III Dyspneoea or fatigue on normal daily 10 % - 20 %
activities
IV Dyspnoea or fatigue at rest 40 % - 50 %.

i. ANEMIA
A. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah

24
yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (Bakta,
2009).
B. Etiologi
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena gangguan pembentukan eritrosit oleh
sumsum tulang, kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan), proses penghancuran eritrosit
dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis) (Bakta,2009).
C. Kriteria Anemia
Kriteria Anemia menurut WHO:
1. Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL
2. Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL
3. Wanita hamil Hb < 11 gr/dl
D. Klasifikasi Anemia
Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : (Bakta.2009)
1. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
- Anemia defisiensi besi
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan besi
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
- Anemia aplastik
- Anemia mieloptisik
- Anemia pada keganasan hematologi
- Anemia diseritropoietik
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
2. Anemia akibat perdarahan
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
3. Anemia hemolitik
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: (Bakta.2009)
1. Anemia hipokromik mikrositik

25
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks eritrosit :
MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %). Penyebab anemia ini adalah:
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
2. Anemia normokromik normositer
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut,
hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi
hemoglobin (Indeks eritrosit normal pada anak: MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31
pg , MCHC 26 – 35 %), bentuk dan ukuran eritrosit. Contoh anemia dengan
morfologi ini adalah:
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
3. Anemia makrositik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks eritrosit
pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %). Ditemukan pada
anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam folat), serta anemia
makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan myelodisplasia)
a. Bentuk megaloblastic
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
- Anemia pada penyakit hati kronik
- Anemia pada hipotiroidisme
- Anemia pada sindrom mielodisplastik

E. Diagnosis anemia
26
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang :
sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus
tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat
penyakit kronik oleh karena atritis rheumatoid.
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity), yang
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting
diperhatikan dalam diagnosis anemia.
1. Menentukan adanya anemia
2. Menentukan jenis anemia
3. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
4. Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil
pengobatan.

DIABETES MELITUS
DEFINISI
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM
merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat
tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi
akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan
fungsi insulin.
ETIOLOGI
Diabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) disebabkan karena kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin. Resistensi insulin
adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mengimbangi resistensi
insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat
dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa
bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi
terhadap glukosa (Gustaviani, 2006). Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis
Diabetes Melitus (DM). Sel β pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi
hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian
setelah terjadi kelelahan sel β pankreas, baru terjadi diabetes melitus klinis, yang ditandai

27
dengan adanya kadar glukosa darah yang meningkat, memenuhi kriteria diagnosis diabetes
melitus (Gustaviani, 2006).

PATOGENESIS DM TIPE II
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
merupakan patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam
menimburkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2 (PERKENI, 2015)
Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting
dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang (PERKENI, 2015):
Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya
untuk menurunkan HbAlc saja
Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada gangguan
multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan
toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta
pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat
organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet (gambar 1)

Gambar 1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2
28
(Rolph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New Poradigm for the
Treotment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diobetes. 2009; 58:773-795)
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut
(PERKENI, 2015):
Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti
diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan
DPP-4 inhibitor.
Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu glukoneogenesis
sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP= hepatic glucose
production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang
menekan proses glukoneogenesis.
Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan
proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma.
Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxicity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibandingkan bila diberikan
secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon
GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GLP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2
didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GLP. Disamping hal tersebut incretin
segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja dalam menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4
inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui
kinerja ensim alfa-glukokinase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang

29
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukokinase adalah akarbosa.
Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak tahun 1970. Sel-α berfungsi αdalam sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya didalam plasma penderita meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat
yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1
agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.
Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal
memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi
ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada
bagian convuloted tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran
SGLT-L pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satunya.
Otak:
lnsulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obese baik yang
DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
mengacu akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja dijalur
ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

PATOFISIOLOGI
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Di
samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh berfungsi dengan baik. Energi pada
”mesin” tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang dimakan sehari-hari, yang terdiri dari
karbohidrat, protein dan lemak (Suyono, 2007).
Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu ke dalam
sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses
kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme.
Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas
memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar.
30
Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas (Suyono,
2007).
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi autoimun yang disebabkan oleh
peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang disebut
Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) menyebabkan
hancurnya sel beta (Suyono, 2007).
Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak
tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin
ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah
lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena
lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk akan sedikit, sehingga sel akan
kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini
disebut sebagai resistensi insulin (Suyono, 2007).
Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi faktor-
faktor di bahwa ini banyak berperan (Suyono, 2007) :
Obesitas terutama yang berbentuk sentral
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
Kurang gerak badan
Faktor keturunan (herediter)

MANIFESTASI KLINIK
Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi),
sering kencing terutama pada malam hari (poliuri), banyak makan (polifagi) serta berat badan
yang turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada
jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, luka
sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di atas 4 kg (Suyono, 2007).

31
Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak sama.
Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya bila diketahui sedikit tentang
perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.

Tabel 2.
Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Onset (umur) Biasanya < 40 tahun Biasanya > 40 tahun
Keadaan klinis saat Berat Ringan
diagnosis
Kadar Insulin Tak ada insulin Insulin normal atau
tinggi
Berat badan Biasanya kurus Biasanya gemuk atau
normal
Pengobatan Insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, tablet,
insulin
Sumber : Suyono S, 2007

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan untuk diagnosa Diabetes Melitus (DM), melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah (gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah makan/post prandial/PP) dan setelah
pemberian glukosa per-oral (TTGO) (Gustaviani Reno, 2006).
Pemeriksaan kadar glukosa darah.
Bahan untuk pemeriksaan gula darah puasa, pasien harus berpuasa 6 – 12 jam sebelum
diambil darahnya. Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan makanan seperti yang
biasa dia makan/minum glukosa per oral (75 gr) untuk TTGO, dan harus dihabiskan dalam
waktu 15 – 20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam
PP (Gustaviani Reno, 2006).
Pemeriksaan dilakukan dengan cara darah disentrifugasi untuk mendapatkan serumnya,
kemudian diperiksa kadar gula darahnya. Bila pemeriksaan tidak langsung dilakukan (ada
32
penundaan waktu), darah dari penderita bisa ditambah dengan antiglikolitik (gliseraldehida,
fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari terjadinya glukosa darah yang rendah palsu. Ini
sangat penting untuk diketahui karena kesalahan pada fase ini dapat menyebabkan hasil
pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan sebenarnya, dan akan menyebabkan kesalahan
dalam penatalaksanaan penderita Diabetes Melitus (DM) (Gustaviani Reno, 2006).
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi,
enzimatik, dan lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu metode
glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase (Gustaviani Reno, 2006).
Metode GOD, akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD spesifik untuk
reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik). Interferen yang
bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.
Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan
presisi yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang
digunakan spesifik untuk glukosa. Untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM),
digunakan kriteria dari consensus perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun
1998.

b. Pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM)


Antibody marker adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell cytoplasmic
antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibody terhadap glutomic acid
decarboxylase (anti-GAD) (Gustaviani Reno, 2006).
Islet cell cytoplasmic antibodies (ICA) bereaksi dengan antigen yang ada di
sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pankreas. ICA menunjukkan adanya
kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya
penyakit ke arah Diabetes Melitus (DM) tipe 1.
Antibody terhadap glutomic acid decarboxylase (anti-GAD) adalah enzim yang
dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmitter g-aminobutyric acid (GAB).
Anti GAD ini bisa teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3
pertanda ini bisa digunakan sebagai uji saring sebelum gejala Diabetes Melitus
(DM) muncul.
Untuk membedakan Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dengan Diabetes Melitus (DM) tipe 2
digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indikator yang baik
untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan untuk memonitor respons individual setelah operasi
pankreas. Konsentrasi C-peptide akan meningkat pada transplantasi pankreas atau transplantasi
sel-sel pulau pankreas (Gustaviani Reno, 2006).

33
Pemeriksaan untuk Pemantauan Diabetes Melitus (DM)
Untuk Pemantauan Pengelolaan Diabetes Melitus (DM), yang digunakan adalah kadar
gula darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta
pemeriksaan fruktosamin (Gustaviani Reno, 2006). Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang
dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang memakan waktu lama.
Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan
sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin
(Gustaviani Reno, 2006).

Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa
dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini
diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan irevarsibel (Gustaviani Reno,
2006).
Metode pemeriksaan HbA1C ; ion-exchange chromatography, HPLC (high performance
liquid chromatography), electroforesis, Immunoassay (EIA), Affinity Chromatography, dan
analisis kimiawi dengan kolorimetri (Gustaviani Reno, 2006).
Metode Ion Exchange Chromatography, harus dikontrol perubahan suhu reagen dan kolom,
kekuatan ion, dan pH dari buffer, Interferens yang mengganggu adalah adanya Hbs dan HbC
yang bisa memberikan hasil negatif palsu.
Metode HPLC (high performance liquid chromatography), prinsip sama dengan ion exchange
chromatography, bias diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali.
Metode ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi.
Metode elektroforesis, hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya kurang
dibanding HPLC, HbF memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan
HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.
Metode immunoassay (EIA), hanya mengukur HbA1C tidak mengukur HbA1C yang labih
maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.
Metode Affinity Chromatography, non-glycated hemoglobin serta bentuk labih dari HbA1C tidak
mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS,
ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan
glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode
HPLC.
Metode Kalorimentri, waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-
glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sample besar, dan satuan
pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.
34
Interpertasi hasil pemeriksaan HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa
darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa
darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya) sejak 3
bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat : pemberian Therapi lebih intensif untuk
menghindari komplikasi
(Gustaviani Reno, 2006).
Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol) : 4%, 5,9%.(6) Jadi, HbA1C
penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum. Sebaiknya, penentuan
HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali
(Gustaviani Reno, 2006).

DIAGNOSIS DIABETES MELITUS


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah ,pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria, Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti (PERKENI, 2015):
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulva pada wanita.

Kriteria Diagnosis DM menurut PERKENI, 2015 antara lain;

35
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke
dalam kelompok prediabetes yang meliputi; toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa
darah puasa terganggu (GDPT)
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-
125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO
antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl.
Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1C yang
menunjukkan angka 5,7 -6,4%.

Keterangan :
GDP = Glukosa Darah Puasa
GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT = Toleransi Glukosa Terganggu

Pemeriksaan penyaringan
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko Diabetes Melitus
(DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
36
menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) maupun GDPT (Glukosa
Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT
dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua
keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di
kemudian hari (PERKENI, 2002).

Tabel 3.
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-199 > 200
sewaktu (mg/dl)
Darah < 90 90-199 > 200
kapiler
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-125 > 126
puasa (mg/dl)
Darah < 90 90-199 > 110
kapiler
Sumber : Soegondo S (2005)
catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Langkah-langkah Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan Tolerangi


Glukosa
Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan
khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada
pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu  200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 
126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM (Sudoyo Aru, 2006).
Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus (DM), hasil pemeriksaan
glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan

37
diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa  126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 
200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO)
didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan  200 mg/dl (Sudoyo Aru, 2006).
Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2015) :
3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih
diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak -anak), dilarutkan
dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 15 menit
Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan tidak merokok

Tabel 4.
Kriteria diagnostik diabetes melitus * dan gangguan toleransi glukosa
Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena)  200 mg/dl
Atau
Kadar glukosa darah puasa (plasma vena)  126 mg/dl
Atau
Kadar glukosa plasma  200 mg/dl pada dua jam sesudah beban glukosa
75 gram pada TTGO **
Sumber : PERKENI, 2002

38
*
Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali
untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik berat, seperti
ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun cepat.
**
Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk penelitian
epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar glukosa darah
puasa dan dua jam pasca pembebanan. Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria
diagnostik yang sama.

PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas
hidup
Diabetes Melitus (DM) (Sudoyo Aru, 2006).

Tujuan penatalaksanaan
Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah
turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM.

Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus (PERKENI, 2015)


Edukasi
Terapi gizi medis
Latihan jasmani
Intervensi farmakologis

Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan
latihan jasmani selama beberapa waktu (2 – 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan
atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin
dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemia
dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa
darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2006).

39
Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
Perjalanan penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Penyulit DM dan risikonya
Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral
atau insulin serta obat-obatan lain
Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau
hipoglikemia
Pentingnya latihan jasmani yang teratur
Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan)
Pentingnya perawatan diri
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

Terapi gizi medis (TGM)


Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai
target terapi
Prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :


Karbohidrat
- Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi
Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan
Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang berserat tinggi
Sukrosa tidak boleh lebih dari 10% total asupan energi
Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan makan yang sehat
dan pemanis non-nutrisi dapat digunakan sebagai pengganti jumlah besar gula misalnya
pada minuman ringan dan permen
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari
40
Lemak
Dianjurkan sekitar 20 – 25% kebutuhan kalori
Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk)
Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber
asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty Acid), membatasi PUFA (Poly
Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh.

Protein
Dibutuhkan sebesar 15 – 20% total asupan energi
Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacang-kacangan, tahu, tempe
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg
BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik
tinggi

Garam
Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau
sama dengan 6 – 7 g (1 sendok teh) garam dapur
Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6 gram/hari terutama pada
mereka yang hipertensi

Serat
onsumsi serat adalah ± 25 g/hari, diutamakan serat larut

Pemanis
ggunaan pemanis bergizi
dak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma
man digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman

Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi.
Diantaranya adalah dengan perhitungan berdasarkan kebutuhan kalori basal sebesar
41
25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa faktor,
yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, dll.

Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang dimodifikasi adalah
sebagai berikut :
Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
modifikasi menjadi : ( TB dalam cm – 100) x 1 kg
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI – 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Penentuan status gizi dapat digunakan
BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus Broca.

BB ( Kg )
IMT =
TB2 ( m2 )

Klasifikasi IMT :
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5 – 22,9
BB lebih ≥ 23,0
Dengan risiko 23,0 – 24,9
Obes I 25,0 – 29,9
Obes II ≥ 30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :


Jenis kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal / kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal / kg BB

Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 % untuk dekade
antara 40 an 59 tahun, dikurangi 10 % untuk usia 60 s/d 69 tahun, dan dikurangi 20
% untuk usia diatas 70 tahun

42
Aktifitas fisik atau pekerjaan
Penambahan 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat, 20 %
pada pasien dengan aktifitas ringan, 30 % dengan aktifitas sedang, dan 50 % dengan
aktifitas sangat berat

Berat badan
- Bila kegemukan dikurangi 20 – 30 % bergantung pada tingkat
kegemukan
-Bila kurus ditambah 20 – 30 % sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB
-Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 –
1200 kkal / hari untuk wanita dan 1200 – 1600 kkal / hari untuk pria

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam
3 porsi besar untuk makan pagi( 20 % ), siang ( 30 % )dan sore ( 25 % ) serta 2 – 3
porsi makan ringan ( 10 – 15 % ) diantaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan
pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan
kebiasaan. Untuk diabetisi yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan
disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit yang
sifatnya CRIPE ( Continous Rhytmical Interval Progressive Endurace training ).
Continous
Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa henti. Contoh :
bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien melakukan jogging tanpa
istirahat.

Rhytmical
Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot berkontraksi dan
berelaksasi secara teratur.

Interval
Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh : jalan cepat
diselingi dengan jalan lambat, dsb.

43
Progressive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan sampai
hingga mencapai 30-60 menit.
Sasaran Heart Rate = 75-85 % dari Maksimum Heart Rate
Maksimum Heart Rate = 220-umur

Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan
(jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan bersepeda.

Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai memulai
olah raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu yang pas, didampingi oleh
orang yang tahu bagaimana cara mengatasi hipoglikemia, harus membawa permen,
membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam pengobatan, dan memeriksa
kaki dengan cermat setelah berolahraga.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85% denyut nadi
maksimal yang dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

DNM = 220 – Umur ( dalam Tahun )

Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3 – 4 kali
seminggu selama ± 30 menit ) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas – malasan.

Terapi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan
TGM dan latihan jasmani (Sudoyo Aru, 2006).
bat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan
(Sudoyo Aru, 2006) :
44
Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
Penghambat glukoneogenesis : metformin
Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α

Golongan Insulin Secretagogues


Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi
sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

SULFONILUREA
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak tahun
1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan
diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi
gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi
kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan
sekresi insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang
channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat
pada reseptor (SUR) pada channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan
ini menyebabkan penurunan permeabilitas K pada membran dan membuka channel
Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan
terikat pada Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung
insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya bermanfaat untuk pasien
yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak
dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana kadar
glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih
besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh
efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa
darah yang cukup bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya dimulai
dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu
sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila glukosa darah puasa >
45
200mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan
setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang
diberikan satu kali sehari sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada
makan makanan porsi terbesar.

GLINID
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai struktur
yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya.
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin) kedua-
duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan
melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2 sampai 3 kali sehari.

Golongan Insulin Sensitizing


BIGUANID
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak
dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh karena itu
metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk
extended release.
Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk
menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (kreatinin >1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada laki-laki) atau pada
gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-hati pada
orang usia lanjut.
Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan
menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa
oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan menghambat absorpsi glukosa di
usus sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan
mencapai kadar tertingi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam
keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan menyebabkan
hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat
antihiperglikemik. Metformin tidak meyebabkan kenaikan berat badan.
Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi
yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat
46
menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan tuggal masing-
masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal
pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom
Prospective Diabetes Study) dan hanya 50% pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat
dikendalikan dengan pengobatan tungal metformin atau sulfonylurea sampai dosis
maksimal.
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien
gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan
sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Penelitian lain
ada yang mendapatkan kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding
dengan insulin saja.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah
penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai
monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia
dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi
tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan sulfonilurea atau obat anti
diabetik lain.

GLITAZONE
Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk
meningkatkan sensitivitas insulin. Mekanisme kerja Glitazone (Thiazolindione)
merupakan agonist peroxisome proliferators-activated receptor gamma (PPAR) yang
sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja
insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ
tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja
insulin.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi ter jadi setelah 1-
2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh
berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone.
Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau
dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl
dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan placebo. Sedangkan pioglitazone juga
mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai
monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis
tunggal. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas
47
I – IV karena dapat memperberat udem / retensi cairan dan juga pada gangguan faal
hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal
hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion tidak digunakan sebagai obat tunggal.

Penghambat Glukoneogenesis
METFORMIN
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan perifer. Terutama dipakai
pada diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien – pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi efek
samping tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.

Penghambat Alfa Glukosidase ( acarbose )


Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase
di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan
glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus
dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulen.
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada saluran pencernaan.
Acarbose mengalami metabolisme di dalam saluran pencernaan, metabolisme
terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim
pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat dan
sebagian besar diekskresi melalui feses.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat hipoglikemi oral:
Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan
secara bertahap.
Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping
obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet,
karena lama kerjanya 24 jam).
Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya
interaksi obat.
Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada insulin.
Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.
48
Tabel 5
Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh OHO terhadap penurunan A1C
( Hb-glikosilat )
Golongan Cara kerja Efeksamping Penurunan
utama utama A1C
Meningkatkan BB naik,
Sulfonilurea sekresi insulin hipoglikemia 1,5 – 2 %
Meningkatkan BB naik,
Glinid sekresi insulin hipoglikemia 1,5 – 2 %
Menekan Diare, dyspepsia,
produksi glukosa asidosis laktat
Metformin hati & menambah 1,5 – 2 %
sensitifitas
terhadap insulin
Penghambat Menghambat Flatulens, tinja
glukosidase α absorpsi glukosa lembek 0,5 – 1,0 %
Menambah Edema
Tiazolidindion sensitifitas 1,3%
terhadap insulin
Menekan Hipoglikemia, BB
Insulin produksi glukosa naik Potensial
hati, stimulasi sampai normal
pemanfaatan
glukosa
Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006

Cara pemberian OHO terdiri dari (PERKENI, 2015) :


OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon kadar
glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
Sulfonilurea generasi I & II : 15 – 30 menit sebelum makan
Glimepiride : sebelum / sesaat sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat
Acarbose : bersama suapan pertama makan
Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan
49
Tabel 6
Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia
Golongan Generik Mg/tab Dosis Lam Frek/hari Waktu
harian a
kerja
Klorpropamid 100-250 100- 24-36 1
500
Glibenklamid 2,5 - 5 2,5 - 12-24 1–2
15
Sulfonilurea Glipizid 5 - 10 5 – 2- 10-16 1–2 Sebelum
Glikuidon 30 30 - 6-8 2–3 makan
120
Glimepirid 1,2,3,4 0,5 - 6 24 1
Glinid Repaglinid 0,5,1,2 1,5 - 6 - 3
Nateglinid 120 360 - 3
Tiazolidindio Rosiglitazon 4 4-8 24 1 Tdk
n bergantung
Pioglitazon 15,30 15 - 45 24 1 jadwal
makan
Penghambat Acarbose 50-100 100- 3 Bersama
glukosidase α 300 suapan
pertama
Biguanid Metformin 500-850 250- 6-8 1-3 Bersama/se
3000 sudah
makan
Sumber : Sudoyo Aru, 2006

50
INSULIN (Sudoyo Aru, 2006)
Insulin diperlukan pada keadaan :
n berat badan yang cepat
emia berat yang disertai ketosis
sis diabetik
emia hiperosmolar nonketotik
emia dengan asidosis laktat
gan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM
fungsi ginjal atau hati yang berat
ikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :
rja cepat ( rapid acting insulin )
rja pendek ( short acting insulin )
rja menengah ( intermediate acting insulin )
rja panjang ( long acting insulin )
mpuran tetap ( premixed insulin )

Efek samping terapi insulin


Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin

Tabel 7. Insulin di Indonesia


Nama Buatan Efek puncak Lama kerja

51
Cepat 2-4 jam 6-8 jam
Actrapid Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-R Eli Lilly (U-100)
Menengah 4-12 jam 18-24 jam
Insulatard Novo Nordisk (U-40&U-100)
Monotard Human Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-N Eli Lilly (U-100)
Campuran 1-8 14-15
Mixtard 30 Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-30/70 Eli Lilly (U-100)
Panjang
Lantus Aventis Tidak ada 24 am
Bentuk Penfill untuk Novopen 3 adalah :
Actrapid Human 100
Insulatard Human 100
Maxtard 30 Human 100
Bentuk Penfill untuk Humapen Ergo adalah :
Humulin-R 100
Humulin-N 100
Humulin-30/70
Bentuk Penfill untuk Optipen adalah :
Lantus
Sumber : PERKENI, 2006

Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan kombinasi
harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan
kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan
insulin. Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak memungkinkan
untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang / panjang) yang diberikan
52
pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin
yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah / panjang adalah 10 unit yang
diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka obat hpoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja
(PERKENI, 2006).

I. KOMPLIKASI
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
(Sudoyo Aru, 2006).
Penyulit akut
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang harus ditangani dengan
tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah angka kematiannya dapat ditekan
serendah mungkin.
Ketoasidosis diabetik
Hiperosmolar nonketotik
Hipoglikemia
Penyulit menahun
Makroangiopati, yang melibatkan :
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi
Pembuluh darah otak
Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Nefropati diabetic
Neuropati

J. PENGENDALIAN DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang
baik yag merupakan sasaran terapi. DM terkndali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai
kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan.
Demikian pula status gizi dan tekanan darah (Sudoyo Aru, 2006).
Tabel 8
Kriteria pengendalian DM
53
Baik Sedang Buruk
GD puasa 80 - 109 110 - 125 ≥ 126
GD 2 jam pp 80 - 144 145 - 179 ≥ 180
A1C < 6,5 6,5 – 8 >8
Kolesterol total < 200 200 - 239 ≥ 240
LDL < 100 100 - 129 ≥ 130
HDL >45
Trigliserida < 150 150 - 199 ≥ 200
IMT 18,5 – 22,9 23 - 25 >25
Tekanan darah < 130/80 130 – 140 / 80 - 90 >140/90
Sumber : Sudoyo Aru, 2006

K. PROGNOSIS
Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti
orang normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronis, dan kemungkinan
untuk meninggal lebih cepat( Mansjoer, 2001).

HIPERTENSI GRADE II
I. Pengertian Hipertensi
Menurut WHO (2013), hipertensi adalah kondisi dimana pembuluh darah mengalami
peningkatan tekanan secara persisten. Berdasarkan The Seventh Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC 7), hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau
lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih (Chobanian et al, 2003). Tekanan darah sistolik
merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi (PERKI,
2015). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan
darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti
feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit
parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat. Pada populasi lanjut usia, hipertensi
didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps,
2005).

II. Etiologi Hipertensi

54
A. Hipertensi essensial
Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologis
yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial. Penyebab hipertensi
meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap
natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokontriktor,
resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain
diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan lain-lain (Nafrialdi, 2009).
B. Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit
renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik
secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat
hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Oparil, 2003). Hipertensi yang penyebabnya
dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung
koroner, diabetes dan kelainan sistem saraf pusat (Sunardi, 2000).

III. Klasifikasi Tekanan Darah


Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa berdasarkan rata-rata
pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis (Tabel 1).
Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal tekanan darah sistolik
(TDS) < 120 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80 mmHg. Prehipertensi tidak
dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasikan pasien-pasien yang tekanan
darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua
tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada kategori ini harus diterapi obat (JNC VII,
2003).
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC-VII 2003
Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah
Darah Sistolik (TDS) Diastolik (TDD)
Normal <120 mmHg dan <80 mmHg
Prehipertensi 120-139 mmHg atau 80-90 mmHg
Hipertensi Stage I 140-159 mmHg atau 90-99 mmHg
Hipertensi Stage II ≥ 160 mmHg atau ≥ 100 mmHg

IV. Hipertensi Esensial


Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologis
yang jelas.
A. Faktor Risiko
55
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
Faktor risiko yang tidak dapat dirubah yang antara lain usia, jenis kelamin dan
genetik.
2. Faktor risiko yang dapat diubah
Faktor risiko penyakit jantung koroner yang diakibatkan perilaku tidak sehat
dari penderita hipertensi antara lain merokok, diet rendah serat, kurang aktifitas gerak,
berat badan berlebihan/kegemukan, komsumsi alkohol, hiperlipidemia atau
hiperkolestrolemia, stress dan komsumsi garam berlebih sangat berhubungan erat
dengan hipertensi (Depkes, 2006b).
B. Patofisiologi
Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara
akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk mempertahankan
kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek kardiovaskular melalui sistem saraf
termasuk sistem kontrol yang bereaksi segera. Kestabilan tekanan darah jangka panjang
dipertahankan oleh sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai
organ terutama ginjal.
Corwin (2000) menjelaskan bahwa tekanan darah tergantung pada kecepatan
denyut jantung, volume sekuncup dan Total PeripheralResistance (TPR). Maka
peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah.
1. Perubahan Anatomi dan Fisiologi Pembuluh Darah

Gambar 2.1 Aterosklerosis dan Hipertensi

Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan


penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan proses

56
multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah dan terbentuk deposit
substansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium dan berbagai substansi
lainnya dalam lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan
plak di bawah lapisan tunika intima akan memperkecil lumen pembuluh darah,
obstruksi luminal, kelainan aliran darah, pengurangan suplai oksigen pada organ atau
bagian tubuh tertentu (Gofir, 2009 ; Tugasworo, 2010).
2. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA)

Gambar 2.2 Sistem RAA dan Hipertensi

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II


dari angiotensin I oleh angiotensin I-convertingenzyme (ACE). Angiotensin II inilah
yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
a. Meningkatkan sekresi Anti-DiureticHormone (ADH). Dengan meningkatnya ADH,
sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga
menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler.
Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan
tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur volume
cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan
cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan
diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang

57
pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Guyton&Hall,
2008).
3. Sistem Saraf Simpatis
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di
pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
gangliasimpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah (Smeltzer&
Bare, 2002).

Gambar 2.3 Regulasi Tekanan Darah

V. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain.
Hipertensi sekunder dapat diketahui penyebabnya dengan anamnesis, menanyakan riwayat
keluarga, riwayat hipertensi sebelumnya, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Penyebab
hipertensi sekunder disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 2.2 Penyebab Hipertensi Sekunder
Penyebab Prevalensi (%)
Penyakit parenkim ginjal 5
Penyakit renovaskular 0,5-5
Aldosteronisme 0,5-1
Penyakit tiroid 0,5-1
Feokromasitoma <0,2
Sindrom cushing <0,2
Obat 0,1-1

58
Kehamilan 0,1-1

VI. Krisis Hipertensi


Krisis hipertensi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan kenaikan tekanan darah
yang sangat tinggi >180/120 mmHg dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi
kelainan organ target (Joint National Committee VII, 2003). Menurut The Seventh Report of
the Joint National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure
(JNC VII), krisis hipertensi ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi emergensi
(hipertensi gawat darurat) dan hipertensi urgensi (hipertensi darurat).
Hipertensi urgensi adalah keadaan di mana tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan
diastolik > 120 mmHg tanpa adanya tanda dan gejala kerusakan organ. Sedangkan
hipertensi emergensi adalah keadaan di mana tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan
diastolik > 120 mmHg yang disertai dengan tanda dan gejala kerusakan organ. Pada pasien
dengan hipertensi urgensi, tekanan darah perlu diturunkan dalam waktu 24-48 jam,
sementara pada hipertensi emergensi tekanan darah diturunkan secepatnya, walaupun tidak
sampai kondisi normal (25% MAP dalam 1 jam) (Joint National Committee VII, 2003).
Tabel di bawah ini menunjukkan prevalensi kerusakan masing-masing target organ.
Tabel 2.3 Prevalensi Kerusakan Organ Target
Kerusakan Organ Target Prevalensi kasus (%)
Infark cerebral 24.5
Pendarahan intraserebral/subaraknoid 4.5
Ensefalopati hipertensi 16.3
Edema pulmo akut 22.5
Gagal jantung kongestif 14.3
Akut miokard infark/angina pectoris 12.0
Diseksi aorta 2.0
Eklampsia 2.0

VII. Diagnosis Hipertensi


Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan pemeriksaan
yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana yang akan diambil.
Algoritme diagnosis ini diadaptasi dari Canadian Hypertension Education Program. The
Canadian Recommendation for The Management of Hypertension 2014

59
Gambar 1.6 Kriteria Diagnosis Hipertensi
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang
tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat,
penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil (edema
pada diskus optikus).
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi maupun
pada seseorang dengan tekanan darah yang normal hipertensi yaitu sakit kepala, gelisah,
jantung berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga
berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat
komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan penglihatan, saraf, jantung,
fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan pendarahan
pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga
koma (Cahyono, 2008).
VIII. Komplikasi Hipertensi
Menurut Elisabeth J Corwin komplikasi hipertensi terdiri dari stroke, infarkmiokard,
gagal ginjal, ensefalopati (kerusakan otak) dan pregnancyincludedhypertension (PIH)
(Corwin, 2005).

IX. Penatalaksanaan Hipertensi

60
A. Pengendalian faktor risiko
Pengendalian faktor risiko penyakit jantung koroner yang dapat saling
berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi, hanya terbatas pada faktor risiko yang dapat
diubah, dengan usaha-usaha sebagai berikut :
1. Mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi
pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-
orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan sesorang yang badannya
normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki
berat badan lebih (overweight). Dengan demikian, obesitas harus dikendalikan
dengan menurunkan berat badan (Depkes, 2006b).
2. Mengurangi asupan garam didalam tubuh
Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan makan
penderita. Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit dirasakan. Batasi
sampai dengan kurang dari 5 gram (1 sendok teh) per hari pada saat memasak
(Depkes, 2006b).
3. Melakukan olahraga teratur
Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit
sebanyak 3-4 kali dalam seminggu, diharapkan dapat menambah kebugaran dan
memperbaiki metabolisme tubuh yang akhirnya mengontrol tekanan darah (Depkes,
2006b).
4. Berhenti merokok
Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah sehingga dapat
memperburuk hipertensi. Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon
monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat
merusak jaringan endotel pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses
arterosklerosis dan peningkatan tekanan darah. Merokok juga dapat meningkatkan
denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok
pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada
pembuluh darah arteri. (Depkes, 2006b).
5. Mengurangi konsumsi alkohol
Hindari konsumsi alkohol berlebihan, untuk laki-laki tidak lebih dari 2 gelas
per hari, dan untuk Wanita tidak lebih dari 1 gelas per hari
B. Terapi Farmakologis
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan
61
menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa
prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan
meminimalisasi efek samping, yaitu :
1. Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
2. Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
3. Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada usia 55 – 80
tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
4. Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i) dengan
angiotensin II receptor blockers (ARBs)
5. Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi farmakologi
6. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur. (Perki, 2015)
Di bawah ini (gambar 2) terlampir algoritme tatalaksana hipertensi yang
direkomendasikan oleh JNC VIII

62
Gambar 2.7 Algoritme Pemilihan Obat Anti-Hipertensi menurut JNC 8
1. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan
curah jantung dan tekanan darah. (Nafrialdi, 2009).
a. Golongan Tiazid
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain
hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang memiliki
gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat
transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi
Na+ dan Cl- meningkat (Nafrialdi, 2009).
b. Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)
Diuretik kuat bekerja di ansa Henleasenden bagian epitel tebal dengan
cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl-, menghambat resorpsi air dan
elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada
golongan tiazid. Oleh karena itu diuretik ini jarang digunakan sebagai
antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal
jantung (Nafrialdi, 2009).
b. Diuretik Hemat Kalium
Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik lemah.
Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah
hipokalemia (Nafrialdi, 2009).
2. Penghambat Adrenergik
a. Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Bloker)
Beta bloker memblok beta-adrenoreseptor. Reseptor ini diklasifikasikan
menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta-1 terutama terdapat pada
jantung sedangkan reseptor beta-2 banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh
darah perifer dan otot lurik. Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan di jantung,
sedangkan reseptor beta-1 dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat
ditemukan di otak (Nafrialdi, 2009).
Efek akhirnya adalah peningkatan cardiacoutput, peningkatan tahanan
perifer dan peningkatan sodium yang diperantai aldosteron dan retensi air
(Nafrialdi, 2009).
63
b. Penghambat Adrenoresptor Alfa (α-Bloker)
Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 (α 1) yang
digunakan sebagai antihipertensi. Alfa-bloker non selektif kurang efektif sebagai
antihipertensi karena hambatan reseptor alfa-2 (α 2) di ujung saraf adrenergik
akan meningkatkan penglepasannorefineprin dan meningkatkan aktivitas
simpatis (Nafrialdi, 2009).
Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula
sehingga menurunkan resistensi perifer. Di samping itu, venodilatasi
menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya menurunkan curah
jantung. Venodilatasi ini dapat menyebabkan hipotensi ortostatik terutama pada
pemberian dosis awal (fenomena dosis pertama) yang menyebabkan refleks
takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada pemakaian jangka
penjang refleks kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek antihipertensinya
akan bertahan (Nafrialdi, 2009).
3. Vasodilator
Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos
(otot pembuluh darah) yang menurunkan resistensi dan karena itu mengurangi
tekanan darah. Obat-obat ini menyebabkan stimulasi refleks jantung, menyebabkan
gejala berpacu dari kontraksi miokard yang meningkat, nadi dan komsumsi oksigen.
Efek tersebut dapat menimbulkan angina pectoris, infarkmiokard atau gagal jantung
pada orang-orang yang mempunyai predisposisi. Vasodilator juga meningkatkan
renin plasma, menyebabkan resistensi natrium dan air. Efek samping yang tidak 34
diharapkan ini dapat dihambat oleh penggunaan bersama diuretika dan penyekat-β
(Myceketal, 2001).
4. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
Angiotensin converting enzym inhibitor (ACE-Inhibitor) menghambat secara
kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekusorangitensin I yang inaktif, yang
terdapat pada pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Selain itu,
degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah
meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara
langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan
menyebabkan ekskresi air dan natrium (Nafrialdi, 2009).
5. Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker, ARB)
Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu AT1
(Angiotensin I) dan AT2 (Angiotensin II). Reseptor AT1 terdapat terutama di otot
polos pembuluh darah dan otot jantung. Selain itu terdapat juga di ginjal, otak dan
64
kelenjar adrenal. Reseptor AT1 memperantarai semua efek fisiologis ATII terutama
yang berperan dalam homeostatis kardiovaskular. Reseptor AT2 terdapat di medula
adrenal dan mungkin juga di SSP, hingga saat ini fungsinya belum jelas (Nafrialdi,
2009).
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi
genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pada
pasien hipovolemia, dosis ARB perlu diturunkan (Nafrialdi, 2009).
Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi
denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan hipertensi rebound.
Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa darah (Nafrialdi,
2009).
6. Antagonis Kalsium (Calcium Channel Blocker (CCB)
Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks ion kalsium ke
dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung dan sel-sel otot polos
pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan
pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas
vasodilatasi, interferensi dengan kontriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di
atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium (Nafrialdi, 2009).
7. Penghambat Simpatis
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas saraf simpatis (saraf
yang bekerja saat kita beraktivitas) (Depkes, 2006b).
Tatalaksana hipertensi dengan obat antihipertensi yang dianjurkan :
Tabel 2.7 Obat-Obat Anti-Hipertensi Utama (Depkes, 2006a).
Kelas Nama Obat Dosis Frekuensi
Lazim Pemberian
(mg/hari)
Diuretik
Tiazid Klortalidon 6,25–25 1
Hidroklorotiazid 12,5–50 1
Indapamide 1,25-2,5 1
Metolazone 0,5 1
ACE-Inhibitor
Captopril 12,5-150 2-3
Enalapril 5-40 1-2
Lisinopril 10-40 1
Ramipril 2,5-10 1-2
Tanapres
Angiotensin Receptor
Blocker
Kandesartan 8-32 1-2
Eprosartan 600-800 1-2
65
Irbesartan 150-300 1
Losartan 50-100 1-2
Valsartan 80-320 1
Penyekat Beta (β Bloker)
Kardioselektif Atenolol 25-100 1
Betaxolol 5-20 1
Bisoprolol 2,5-10 1
Metoprolol 50-200 1
Non-selektif Nadolol 40-120 1
Propanolol 160-480 2
Propanolol LA 80-320 1
Timolol
Sotalol
Aktifitas simpatomimetik Acebutolol 200-800 2
Carteolol 2,5-10 1
Pentobutolol 10-40 1
Pindolol 10-60 2
Campuran penyekat α dan Karvedilol 12,5-50 2
β
Labetolol 200-800 2
Calcium Chanel Blocker
Dihidropiridin Amlodipin 2,5-10 1
Felodipin 5-20 1
Isradipin 5-10 2
Isradipin SR 5-20 1
Lekamidipin 60-120 2
Nicardipin SR 30-90 1
Nicardipin LA 10-40 1
Nisoldipin
Non-dihidropiridin Diltiazem SR 180-360 1
Verapamil SR 1

Terapi kombinasi antara lain :


1. Penghambat ACE dengan diuretik
2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik
3. Diuretik dan agen penahan kalium
4. Penghambat ACE dengan penghambat kalsium
5. Penghambat reseptor beta dengan diuretik
6. Agonis reseptor α-2 dengan diuretik
7. Penyekat α-1 dengan diuretik

66
DIABETIC KIDNEY DISEASE

1. DEFINISI
Diabetic kidney disease (DKD) adalah sindrom klinis pada pasien diabetes
mellitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200
lg/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan,
penurunan kecepatan filtrasi glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan
darah arterial tetapi tanpa penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler 1.
2. KLASIFIKASI
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes mellitus lebih banyak
dipelajari pada diabetes mellitus tipe 1 daripada tipe 2, dan oleh Mogensen dibagi
menjadi 5 tahapan.

Tabel Tahapan Diabetic Kidney Disease Oleh Mogensen


Tahap Kondisi Ginjal AER LFG TD Prognosis
1 Hipertrofi N N Reversible
Hiperfungsi
2 Kelainan Struktur N /N Mungkin

55

67
Reversible
3 Mikroalbuminuria 20-200 /N Mungkin
Persisten mg/menit Reversible
4 Makroalbuminuria >200 Rendah Hipertensi Mungkin Bisa
Proteinuria mg/menit Stabilisasi

5 Uremia Tinggi/Rendah < 10 Hipertensi Kesintasan tahun +


ml/menit 50%
AER = Albumin Excretion Rate, LFG = Laju Filtrasi Glomerulus (GFR), N = Normal, TD =
Tekanan Darah

a. Tahap I (Stadium Hiperfiltrasi)


Terjadi hiperfiltrasi dan hipertrofi glomerulotubulus pada saat diagnosis
ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat
5. Pada tahap ini LFG meningkat sampai 40% diatas normal dan disertai pembesaran
ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap
ini reversible dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal didiagnosis diabetes mellitus.
Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, kelainan fungsi maupun struktur
ginjal kembali normal.
b. Tahap II (Stadium Silent)
Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, LFG tetap meningkat,
eksresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Albuminuria akan meningkat
apabila setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang
memburuk. Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan membrane basalis
yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan volume mesangium fraksional
(dengan peningkatan matriks mesangium). Terjadi 5-10 tahun setelah didiagnosis
diabetes mellitus. Keadaan ini dapat berlangsung lama dan hanya sedikit yang akan
berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya berlanjut terkait keadaan
metabolik yang memburuk.
c. Tahap III (Stadium Mikroalbuminuria / Nefropati Insipient)
Merupakan tahap awal dari diabetic kidney disease. Pada tahap ini ditemukan
mikroalbuminuria atau nefropati insipient. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau
dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 20-
200 lg/menit (30-300 mg/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara
histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrane basalis dan volume
mesangium fraksional dalam glomerulus 5. Tahap ini biasanya terjadi setelah 10-15
tahun didiagnosis diabetes mellitus. Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan

56

68
progresivitas masih mungkin dapat dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan
darah yang ketat.
d. Tahap IV (Stadium Makroalbuminuria / Nefropati Lanjut)
Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut (overt nefropati), diabetic kidney
disease bermanifestasi klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan
biasa, tekanan darah sering meningkat serta LFG yang sudah menurun dibawah
normal sekitar 10ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan
tingginya tekanan darah 5. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah di atas 300
mg/24 jam (200 μg/menit). Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul
hipertensi

pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik dan retinopati sering ditemukan pada
tahap ini. Terjadi setelah 15-20 tahun didiagnosis diabetes mellitus. Progresivitas
mengarah ke gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa
darah, lemak darah, dan tekanan darah.
e. Tahap V (Stadium Uremia / Gagal Ginjal Terminal)
Glomerulus sudah demikian rendah sehingga pasien menunjukkan tanda-
tanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti,
dialisis, maupun cangkok ginjal. Rata-rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk
sampai pada stadium IV dan 5-7 tahun kemudian akan sampai stadium V.
3. PATOFISIOLOGI

Berbagai teori tentang patogenesis DKD adalah peningkatan produk glikosilasi

dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation End

Products), peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway), glukotoksisitas (oto-

oksidasi), dan protein kinase-C memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal. Kelainan

glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena hiperglikemia dan hipertensi

intraglomerulus. Kelainan atau perubahan terjadi pada membran basalis glomerulus

dengan proliferasi dari sel-sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan

glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-

perubahan pada permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai dengan

timbulnya albuminuria.

57
69
Hiperfiltrasi dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju

kerusakan ginjal, dimana saat jumlah nefron mengalami pengurangan progresif,

glomerulus akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan filtrasi nefron yang

masih sehat dan pada akhirnya nefron yang sehat menjadi sklerosis. Peningkatan laju

filtrasi glomerulus pada nefropati diabetikum kemungkinan disebabkan oleh dilatasi

arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif,

IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin, dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia

adalah perangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi

Transforming growth factor-beta (TGF-β) yang diperantarai oleh aktivasi protein

kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi

pada vaskuler seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas

kapiler . TGF-beta menyebabkan peregangan mesangial dan fibrosis melalui stimulasi

kolagen dan fibronectin.

Hiperglikemia kronik menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam

amino dan protein (reaksi mallard dan Browning). Pada awalnya, glukosa akan

mengikat residu amino secara nonenzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi

penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversible dan

disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk

Advanced Glycation End-Products (AGEs) yang irreversible. AGEs diperkirakan

menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi molecule adhesi

yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi

sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan

terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta

fibrosis tubulointerstitialis sesuai dengan tahap-tahap dari Mogensen. Akibat kelainan

rennin-angiotensin system, Angiotensin II (ATII) meningkat pada nefropati

diabetikum,

70
58

71
sehingga menyebabkan konstriksi arteriola efferentia di glomerulus, menyebabkan

peningkatan tekanan kapiler glomerulus dan hipertensi, serta menstimulasi fibrosis dan

inflamasi pada glomerulus.

Patogenesis dari diabetic kidney disease sejalan dengan patogenesis diabetes

melitus pada umumnya, dan mikroangiopati pada khususnya. Progresivitas nefropati

diabetikum ditandai dengan adanya proteinuria yang merupakan penanda penurunan

fungsi ginjal, peningkatan creatinine clearance (crcl), glomerulosklerosis, dan fibrosis

interstitial.

Saat ini diketahui bahwa connective tissue growth factor (CTGF) merupakan

faktor penting pada nefropati diabetikum. Pada sel ginjal, CTGF diinduksi oleh kadar

glukosa darah yang tinggi dan berkaitan dengan perubahan sintesis matriks

ekstraselular, migrasi sel, serta transisi epitel menjadi mesenkim. CTGF merupakan

protein yang disekresi dan dapat dideteksi di cairan biologis. CTGF plasma pada

pasien dengan nefropati diabetikum lebih tinggi daripada pasien dengan

normoalbuminuria. Pada pasien dengan nefropati diabetikum, peningkatan CTGF di

atas nilai batas 413 pmol/l plasma merupakan prediktor independen terhadap ESRD

dan berkaitan dengan penurunan LFG. Selain itu hal tersebut juga dikaitkan dengan

penurunan LFG yang lebih tinggi pada pasien dengan nefropati diabetikum

dibandingkan normoalbuminuria, yaitu berturut-turut 5,4 dan 3,3ml/menit/1,73 m2 per

tahun. Pada pasien dengan nefrotik albuminuria >3 g/hari, CTGF plasma hanya

sebagai prediktor ESRD. Kadar CTGF plasma juga merupakan prediktor independen

terhadap mortalitas secara keseluruhan. Namun, CTGF plasma pada pasien

normoalbuminuria tidak berkorelasi dengan parameter klinis serta tidak memprediksi

hasil 17.

59

72
Beberapa kejadian memegang peranan penting, yaitu kelainan pada endotel,

membrane basalis glomerulus dan mesangium, serta meningkatnya kompleks


imun

pada penderita diabetes mellitus.

a. Endotel

Hiperglikemia pada diabetes mellitus akan menyebabkan pembengkakan

endotel akibat timbunan sorbitol dan fruktosa, sehingga faal endotel terganggu

yang mengakibatkan celah endotel bertambah luas dan timbulnya proteinuria.

Kerentanan terjadinya agregasi trombosit akibat sintesis Faktor VIII meningkat,

phosphoglucoisomerase (PGI) sebagai anti agregan menurun dan aktivator

plasminogen yang menurun.

b. Membrana basalis glomerulus

Diabetes mellitus dan hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya penebalan

membrane basalis glomerulus sebagai akibat dari deposisi kolagen tipe I, III, IV

dan glikoprotein, serta menurunnya kadar glikoaminoglikans dan sistein, sehingga

menyebabkan hilangnya sifat anionik dari membrane basalis glomerulus yang

mengakibatkan permeabilititasnya meningkat dan terjadi albuminuria.

Albuminuria akan meningkat bila tekanan intraglomeruler meningkat, misalnya

pada latihan dan hipertensi. Setelah 2 tahun mengidap diabetes mellitus, membrane

basalis glomerulus menebal kurang lebih 15%, sesudah 5 tahun 30%, dan setelah

20 tahun penebalan menjadi dua kali lipat.

c. Mesangium

Pada diabetes mellitus dan hiperglikemia, produksi matriks mesangium

meningkat, sehingga pelebaran mesangium terjadi dengan akibat permukaan

filtrasi efektif mengecil. Pada diabetes mellitus dengan gangguan faal ginjal yang

lanjut,

73
60

74
maka permukaan tersebut semakin mengecil dan akhirnya glomerulus tidak
18
berfungsi lagi .

Kompleks imun (Ag-Ab) pada diabetes mellitus meningkat, dan

endapan kompleks Ag-Ab banyak didapatkan pada membrane basalis glomerulus

dan mesangium. Dalam keadaan normal, kompleks ini dibersihkan oleh fagosit

(RES) dan sel-sel mesangium, sedangkan pada diabetes mellitus dengan kendali

glukosa yang rendah, fagosit RES dan sel mesangium kurang mampu

membersihkannya, sehingga matriks mesangium bertambah lebar dan permukaan

filtrasi efektif bertambah sedikit. Kelebihan kompleks imun di dalam darah juga

akan merangsang sistem komplemen dan faktor-faktor koagulasi, sehingga

memacu terjadinya mikroangiopati diabetes mellitus dengan akibat munculnya dan

bertambah beratnya nefropati diabetikum. Kompleks imun yang berlebihan pada

diabetes mellitus juga akan merangsang sintesis Tromboksan A di trombosit,

sehingga mudah terjadi agregasi trombosit. Seperti diketahui, agregasi trombosit

adalah bahan dasar untuk terbentuknya mikrotrombus.

4. DIAGNOSIS
Diagnosis diabetic kidney disease dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan

seperti di bawah ini:

a. Diabetes Mellitus

b. Retinopati Diabetika

c. Albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua kali

pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan tanpa penyebab proteinuria

yang lain.

Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:

a. Anamnesis
61

75
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak

khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polifagi,

penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar sembuh,

gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotensi.

b. Pemeriksaan Fisik

1) Pemeriksaan Mata

Pada nefropati diabetikum didapatkan kelainan pada retina yang merupakan

tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan Funduskopi, berupa :

a) Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam

kapiler retina

b) Mikroaneurisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah kapiler

vena

c) Eksudat berupa :

Hard exudates : Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang lama.

Cotton wool patches : Berwarna putih, tak berbatas tegas, dihubungkan


dengan iskhemia retina.

d) Shunt arteri-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi

kapiler.

e) Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan permeabilitas

mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.

f) Neovaskularisasi

2) Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end

stage, didapatkan perubahan pada :

a) Cardiomegali

b) Edema pulmo

62

76
c. Pemeriksaan Laboratorium

Albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada

minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan,

penurunan kecepatan filtrasi glomerulus yang tidak fleksibel dan

peningkatan tekanan darah arterial tetapi tanpa penyakit ginjal lainnya

atau penyakit kardiovaskuler. Mikroalbuminuria dianggap sebagai

prediktor penting untuk timbulnya nefropati diabetikum.

Tabel Laju Ekskresi Albumin Urin

Perbandingan
Laju Ekskresi Albumin Urin
Albumin Urin –
Kondisi
24 Jam Sewaktu Kreatinin
(mg/hari) (µg/menit) (µg/mg)
Normoalbuminuria <30 <20 <30
Mikroalbuminuria 30-300 20-200 30-300 (299)
Makroalbuminuria >300 >200 >300
Diagnosis ditegakkan jika 2 dari 3 pemeriksan berturut-turut dalam 3 bulan

menunjukkan adanya mikroalbuminuria.

Urinalisis Rutin Untuk Deteksi

Negatif Positif

Tes Untuk Nefropati Jelas.


mikroalbumin Tentukan Jumlah Ekskresi
Protein.

Jika tes mikroalbumin


(+), >> Ulang 2x dalam
3 bulan
Jika 2 Dari 3 Tes (+) >> Memulai
Diagnosis Mikroalbuminuria Terapi

16
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2003. Treatment of Hypertension in Adults with


Diabetes. Diabetes care 2003.
Chobanian, AV., Bakris, GL., Black, HR., Cushman, WC., Green, LA., Izzo, JL.
et al. 2003. The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure : The JNC 7
Report. JAMA, 289 : 2560-72
Corwin, E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta
Depkes RI. 2006b. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit
Hipertensi. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta.
Depkes RI. 2008a. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Indonesia Tahun 2007. Depkes RI. Jakarta.
Gofir A. Definisi stroke. Anatomi Vaskularisasi Otak dan Patofisiologi Stroke.
Dalam: Manajemen Stroke. Yogyakarta: Pustaka Cendikia Press. 2009. 19-
43.
Guyton, A.C., John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC.
Jakarta.
Nafrialdi. 2009. Antihipertensi. Sulistia Gan Gunawan (ed). Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Oparil, S., Zaman, MA., Calhoun, DA. 2003. Pathogenesis of Hypertension, Ann
Intern Med 2003.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015.
Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular. Jakarta
Sheps, S. 2005. Mayo Clinic, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. Intisari. Jakarta.
Smeltzer& Bare. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC. 2002.
Sunardi, Tuti. 2000. Hidangan Sehat untuk Penderita Hipertensi. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Tugasworo D. Patogenesis aterosklerosis. Semarang: BP UNDIP. 2010: 3-14
World Health Organization (WHO). 2013. A Global Brief on Hypertension: Silent
Killer, Global Public Health Crisis.

17
Waspadji, S. (2006). Diabetes mellitus di Indonesia, Dalam : Aru W, dkk,
editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi 4., Jakarta: FK UI.

Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I ed.IV, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta

Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III ed.IV, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta
Soegondo, Sidartawan., dkk. (2004). Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu. Jakarta:
Penerbit FKUI. Halaman 7-17, 281-285 dan 293- 298.
Scobie, Ian. (2007). Atlas of Diabetes Mellitus. Third edition. UK: Informa
Healthacer. Halaman 1-33 dan 69-75
Holt and Kumar (2010). ABC of Diabetes. Sixth edition. UK: Wiley-Blackwell.
Halaman 1-5, 34-37, dan 64-66.

18
19

Anda mungkin juga menyukai