Anda di halaman 1dari 29

DAFTAR ISI

Daftar Isi.....2
BAB 1..3
Latar Belakang.3
BAB 2..4
Laporan kasus..4
Identitas Pasien....4
Anamnesis4
Pemeriksaan Fisik....6
Resume...13
Daftar Masalah...13
Tatalaksana.13
Prognosis....14
Follow Up..14
Pengkajian..15
Kesimpulan....28
Daftar Pustaka..30

2
BAB I
Latar Belakang

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)


merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya,
memiliki sebaran gambaran klinis yang luas sertam tampilan perjalanan penyakit
yang beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan
angka kematian cukup tinggi. Faktor genetic, imunologik dan hormonal serta
lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE. SLE tergolong penyakit
kolagen-vaskuler yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan system
musculoskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi
klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
Insiden tahunan SLE di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk, dengan rasio gender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat
data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun
2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus
SLE dari total kunjungan pasien di poliklnik Reumatologi Penyakit Dalam,
sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5%
dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.
Pada SLE, antibody ditunjukkan terhadap antigen yang terutama terletak
pada nukleoplasma. Antigen sasaran iini meliputi DNA, protein histon dan non
histon. Ciri khas autoantigen ini adalah tidak spesifik pada suatu jaringan dan
merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama sama
disebut ANA (Anti nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA
membentuk komplek imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan
mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut.
Untuk membedakan lupus dengan penyakit lain, ahli medis dari American
Rheumatism Association telah menetapkan 11 kriteria kelainan yang terjadi dalam
mendiagnosis lupus eritematosus yaitu bila ada 4 poin dari 11 manifestasi
kelainan. Kriteria ini dikemukakan oleh Dr Graham Hughes pada tahun 1982

3
yaitu: ruam malar, ruam discoid, fotosensitivitas, ulser pada rongga mulut, artritis,
serositis, gangguan pada ginjal, gangguan pada system saraf, gangguan
perdarahan, gangguan immunologis, dan antibodi antinuclear.

4
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. F
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 28
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 14 November 1988
Status : Menikah
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tanga
Alamat : Jl. Pantai Impian

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis di
Bangsal PU lantai 5 kamar 506 RSPAD Gatot Subroto kepada pasien
pada tanggal 23 Mei 2017 pukul 12.00 WIB
Keluhan Utama:
Lemas sejak 1 hari sebelum datang ke rumah sakit
KeluhaN Tambahan:
Pasien merasa mual dan muntah berisi makanan
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSPAD Gatot
Subroto hari Sabtu, 20 Mei 2017 pukul 16.00 WIB dengan
keluhan lemas 1 hari sebelum datang ke rumah sakit. Lemas
dirasa memberat dan terus menerus. Pada awalnya keluhan
lemas dirasa ringan dan masih bisa melakukan kegiatan rumah
tangga lalu dapat berkurang bila beristirahat, namun semakin
lama lemas dirasa memberat tidak membaik dan mengganggu
kegiatan rumah tangga sehari-hari. Keluhan lemas disertai
dengan nyeri kepala. Nyeri kepala dirasa menusuk nusuk
terutama dibagian belakang kepala. Keluhan nyeri kepala sudah

5
dirasakan sejak kurang lebih 5 bulan yang lalu. Keluhan juga
disertai mual dan muntah sebanyak 5 kali sehari juga sejak 1
hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah berisi makanan dan
cairan., pasien juga mengatakan nafsu makannya berkurang.
Pasien mengeluhkan muncul bercak-bercak kemerahan yang
hilang timbul sejak kurang lebih 2 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Bercak bercak ini timbul pada pada daerah muka, badan,
kedua lengan, dan kaki. Bercak merah tidak dirasa gatal,
bentol, dan tidak terasa nyeri. Pasien mengatakan bahwa bercak
bercak merah bisa bertambah parah bila pasien sedang berada
di luar rumah dan berada di bawah sinar matahari. Pasien juga
mengeluhkan nyeri sendi pada lutut, siku dan pada kedua
bahunya namun nyeri dirasa hilang timbul. Pasien juga
mengeluhkan rambutnya rontok sejak 3 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan adanya penurunan berat
badan sejak kurang lebih 5 bulan yang lalu. Pasien tidak tahu
persis berapa jumlah penurunan berat badan karena tidak
pernah menimbang secara rutin. BAK pasien normal sebanyak
3x4 sehari dengan volume kurang lebih 120 cc perhari,
berwarna kuning jernih normal tidak berubah, kateter tidak
terpasang. BAB pasien normal 1 kali sehari. Pasien
menyangkal adanya demam, batuk, pilek, sesak, nyeri dada.
Tidak terdapat mimisan, ptekie, gusi berdarah, atau
pendarahan spontan lainnya pada pasien. Pasien menyangkal
memiliki riwayat hipertensi dan diabetes mellitus. Pasien
mengaku sedang mengonsumsi pengobatan dengan
lansoprazol, cefixim, sagestam, metilprednisolon dan
neurobion. Pasien mengaku telah dirawat 5 bulan yang lalu
karena BAB hitam kemudian dilakukan transfusi darah. Pasien
mengakui sering mengonsumsi obat-obatan herbal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku memiliki riwayat gastritis 5 bulan yang lalu

6
Riwayat Keluarga
Tidak ada

III. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Komposmentis
Tanda Vital :
Denyut Nadi : 89 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Suhu tubuh : 37.1 C

Antropometri

Berat Badan : 40 kg
Tinggi Badan : 155 cm
BMI : 16.6 (underweight)

Aspek Kejiwaan
Tingkah laku wajar, alam perasaan biasa, proses berpikir wajar

Pemeriksaan Lokalis
Pemeriksaan Kulit:
Sawo matang, pertumbuhan rambut merata, terdapat bercak
merah sekujur tubuh, tidak ada jaringan parut,
hiperpigmentasi, ikterus, edema. Turgor kulit baik.

Pemeriksaan Kepala:
Rambut : Berwarna hitam, rontok
Mata : Konjungtiva pucat +/+, sklera
ikterik -/-, reflex pupil baik, isokor
3mm/3mm, mata cekung (-), lapang

7
pandang, gerakan, dan tekanan bola
mata dalam batas normal
Hidung : Sekret (-), normosepta, pernapasan
cuping hidung (-)
Telinga : liang telinga lapang, serumen
minimal, membrane timpani intak,
gangguan pendengaran (-)
Mulut : bibir lembab, terdapat sariawan,
faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1,
tidak hiperemis.
Pemeriksaan Leher
JVP 5-2 cm H2O. Tidak teraba pembesaran kelenjar getah
bening di submental, submandibular, submaksila, leher, ketiak,
dan lipat paha. Tidak teraba pembesaran tiroid. Tidak ada
tahanan saat pemeriksaan meningeal.

Pemeriksaan Thoraks:
Paru
Inspeksi : Gerakan nafas simetris, venektasi (-),
massa (-), retraksi (-), spider nevi (-), di
sepanjang linea anterior aksilaris dekstra,
ginekomasti (-)
Palpasi : fremitus taktil, ekspansi dada sama di
kedua lapang paru, krepitasi -/-
Perkusi : sonor +/+
Auskaltasi : vesikular (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)

Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS 5 linea mid
klavikula sinistra
Perkusi : tidak teraba pembesaran jantung

8
Auskultasi : Bunyi jantung S1-S2 regular, gallop (-/-),
murmur (-/-)

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : bentung datar, lesi (-), striae (-), massa (-)
Auskultasi : bising usus normal tidak ada peningkatan
Palpasi : supel, nyeri tekan (-) tidak teraba
pembesaran hati dan lien
Perkusi : Shifting dullness (-), undulasi (-)

Ekstremitas
Akral teraba hangat. Terdapat bercak bercak merah. Edema (-)

9
IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah 20 Mei 2017

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hematologi
Hematologi Lengkap
Haemoglobin 8.7* 12.0-16.0 g/dL
Hematokrit 26* 37-47 %

Eritrosit 3.4* 4.3-6.0 juta/L

Leukosit 5020 4800-10800/L

Trombosit 65000* 150000-400000/L


Hitung Jenis
Basofil 1 0-1%
Eosinofil 0* 1-3%
Neutrofil 55 50-70%
Limfosit 22 20-40%
Monosit 22* 2-8%
MCV 77* 80-96%
MCH 26* 27-32 pg
MCHC 34 32-36 g/dL
RDW 16.6 11.5-14.5%
Kimia Klinik
SGOT (AST) 21 <35 U/L
SGPT (ALT) 14 <40 U/L
Ureum 7* 20-50 mg/dL
Kreatinin 0.5 0.5-1.5 mg/dL
Glukosa Darah Sewaktu 129 <140 mg/dL
Natrium (Na) 137 135-147 mmol/L
Kalium (K) 4.1 3.5-5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 102 95-105 mmol/L

10
Pemeriksaan darah 23 Mei 2017

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hematologi

LED 104* <20 mm/jam

Koagulasi
Waktu Protrombin (PT)
- Kontrol 10.9 detik

- Pasien 10.5 9.3-11.8 detik

APTT
- Kontrol 32.4 detik

- Pasien 36.5 31-47 detik

D-dimer 430 <550 ng/mL

Kimia Klinik
Protein Total 7.6 6-8.5 g/dL

Albumin 3.5 3.5 -5.0 g/dL

Globulin 4.1 2.5-3.5 g/dL

Kalsium (Ca) 8.6 8.6-10.3 mg/dL

Magnesium (Mg) 2.03 1.8-3.0 mEq/L

Glukosa Darah (Sewaktu) 102 <140 mg/dL

CRP Kuantitatif 0.83 <1 mg/dL

Pemeriksaan Thorax Foto pada tanggal 23 Mei 2017


Jantung ukuran normal (CTR <50%)
Aorta dan mediastinum superior tidak menebal

11
Trakhea di tengah. Kedua hilus tidak menebal
Corakan bronkovaskuler kedua paru baik
Tidak tampak infiltrate ataupun nodul di kedua lapangan paru
Kedua sinus kostofrenikus lancip dan kedua hemidiagfragma licin
Tulang tulang intak

Kesan: Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru


Pemeriksaan ANA IF pada tanggal 25 April 2017
Hasil: Pola: Speckled, titer 1:320 (nilai rujukan < 1 : 100)
Pola ini dapat ditemukan pada kondisi/keadaan :SLE, Mixed
connective tissue disease (MCTD), sjogrens syndrome, neonatal
lupus, dermatomyositis, myositis, progressive systemic sclerosis
(PSS), overlaps syndrome poly-/dermatomyositis and progressive
systemic sclerosis (PSS), scleroderma, chronic hepattis, cancer
associated dermatomyositis.
Pola: cytoplasmic speckled, titer 320 (nilai rujukan < 1: 100)
Pola ini dapat ditemukan pada kondisi/keadaan: primary biliary
cholangitis (PBC), systemic autoimmune rheumatic disease,
neurological and autoimmune conditions, SLE,
polymiositis/dermatomyositis, systemic sclerosis (limited form),
interstitial lung fibrosis, raynauds syndrome, polysinovitis,
necrtising myopathy, idiopathic pleural effusion, antisynthetase
syndrome, juvenile SLE, neuropsychiatric SLE.

Hasil ANA IF positif masih dapat ditemukan pada populasi sehat,


umumnya dengan titer rendah.

ANA Antigen RO-52 recombinant : ++ (positive)

V. Resume
Perempuan berumur 28 tahun datang ke IGD RSPAD Gatot
Subroto dengan keluhan lemas sejak 1 hari sebelum masuk rumah

12
sakit. Selain lemas, pasien juga merasa mual hingga muntah muntah
yang berisi makanan dan cairan, nafsu makan pasien pun dirasa
berkurang. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala yang menusuk
terutama di bagian belakang kepala. Pasien juga mengeluhkan adanya
bercak bercak merah pada tubuhnya yang tidak gatal, bentol atau nyeri
dan dapat bertambah bila pasien berada di luar rumah. Pasien
mengatakan bahwa sendinya merasa nyeri terutama di bagian bahu,
lutut dan siku. Pasien juga mengatakan bahwa rambutnya menjadi
sering rontok.
Pada Pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit
sedang, tanda vital dalam batas normal dan konjungtiva anemis.
Terdapat sariawan pada mulut pasien dan bercak bercak kemerahan
pada wajah, lengan, tubuh dan kaki pasien.
Dari hasil lab terakhir ditemukan anemia mikrositik hipokrom,
penurunan nilai eritrosit, hematokrit, trombosit dan nilai ureumnya,
serta kenaikan pada nilai hitung jenis monositnya. Dari hasil rontgen
thoraksnya tidak ditemukan kelainan pada jantung dan paru pasien.
Pada hasil pemeriksaan ANA ditemukan titer 1/320 dengan polas
speckled dan ANA Antigen RO-52 recombinant hasilnya positif.
Pasien didiagnosis menderita systhemic lupus erythematosus.

VI. Daftar Masalah


1. Systhemic lupus erythematosus
2. Anemia mikrositik hipokrom
3. Low Intake e.c Vomitus dd/ sindrom dispepsia

VII. Tatalaksana
1. Systhemik lupus erythematosus
Rencana Terapi : Methylprednisolone 2x16 mg, hydroxyquinolone
1x200 mg, paracetamol 3x500 mg
Rencana Diagnostik: Cek LED, Cek Urinalisis

13
2. Anemia Mikrositik Hipokrom
Rencana Terapi : Transfusi PRC 500 cc
Rencana diagnostik : Cek TIBC, Cek SI
3. Low Intake e.c Vomitus
Rencana Terapi: IVFD NaCl 0.9% 30 tpm, Omeprazole 1x40 mg
(iv), ondancentron 3x4mg (iv)

VIII. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia ad malam

IX. Follow Up
23 Mei 2017 24 Mei 2017

S Pasien mengaku merasa lemas, mual (+) Pasien mengaku merasa lemas, mual(+)
muntah (+) 5 x sehari muntah (+) 5 x sehari

O Keadaan Umum: Tampak sakit Keadaan Umum: Tampak sakit


sedang sedang
Kesadaran: Komposmentis Kesadaran: Komposmentis
TTV: TD 100/70 mmHg TTV: TD 100/60 mmHg
N : 89 x/mnt, suhu: 37 C, RR: 20x/mnt N : 90 x/mnt, suhu: 37.1 C, RR:
Mata: Konjungtiva anemis +/+, Sklera 21x/mnt
Ikterik -/- Mata: Konjungtiva anemis +/+,
Jantung: B I dan B II reguler, normal, Sklera Ikterik -/-
murmur -, gallop - Jantung: B I dan B II reguler, normal,
Paru : vesikuler +/+, ronkhi -/-, murmur -, gallop -
wheezing -/- Paru : vesikuler +/+, ronkhi -/-,
Abdomen : perut datar, asites -, nyeri wheezing -/-
tekan - Abdomen : perut datar, asites -,
nyeri tekan -
Ekstremitas : edema -, sianosis -
Ekstremitas : edema -, sianosis -
A SLE, Anemia mikrositik hipokrom, Low SLE, Anemia mikrositik hipokrom, Low
intake e.c vomitus
intake e.c vomitus

P Metilprednisolon 2 x 16 gr Metilprednisolon 2 x 16 gr
Hidroksiklorokuin 1 x 200 gr Hidroksiklorokuin 1 x 200 gr
As. Folat 1 x 5 mg As. Folat 1 x 5 mg
Omeprazole 1 x 20 mg Omeprazole 1 x 20 mg
Ondacetrone 3 x4 mg Ondacetrone 3 x4 mg
Klindamisin 3 x 3 mg Klindamisin 3 x 3 mg
Infus RL 1 kolf Infus RL 1 kolf

14
X. Pengkajian
1. Systhemic lupus erythematosus
Anamnesis :
Pasien mengalami lemas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengeluhkan muncul bercak-bercak kemerahan yang hilang
timbul sejak kurang lebih 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Bercak
bercak ini timbul pada pada daerah muka, badan, kedua lengan, dan
kaki. Bercak merah tidak dirasa gatal, bentol, dan tidak terasa nyeri.
Pasien mengatakan bahwa bercak bercak merah bisa bertambah parah
bila pasien sedang berada di luar rumah dan berada di bawah sinar
matahari. Pasien juga mengeluhkan nyeri sendi pada lutut, siku dan
pada kedua bahunya namun nyeri dirasa hilang timbul. Pasien juga
mengeluhkan rambutnya rontok sejak 3 bulan sebelum masuk rumah
sakit.
Penyakit lupus merupakan suatu penyakit dengan diagnosis
klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium. Diagnosis
Penyakit lupus ditegakkan berdasarkan kriteria yang
direkomendasikan oleh ACR berupa 11 kriteria klinis dan
laboratorium. Seorang penderita ditegakkan sebagai lupus jika
dijumpai minimal 4 dari kriteria tersebut

15
Tabel 1. Kriteria Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik

Keterangan:
a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi
4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan
tenggang waktu.
b. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.

Tabel 1. Kriteria Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik1

16
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki
sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria
dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan
diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA
negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA
positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE,
dan observasi jangka panjang diperlukan.1
Pada kasus ini pasien ini pasien mengalami gejala fotosensitif yang
diketahui dari anamnesa bahwa pasien bila terpapar sinar matahari
akan timbul bercak bercak merah di tubuhnya terutama daerah muka,
badan, kedua lengan, dan kaki. Pasien juga mengelukan terdapat nyeri
sendi pada lutut, siku dan pada kedua bahunya namun nyeri dirasa
hilang timbul. Pasien juga mengeluhkan rambut yang rontok sejak 3
bulan sebelum masuk rumah sakit. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan trombositopenia. Pada Pemeriksaan ANA IF, didapatkan
hasil pola speckled, titer 1:320 (nilai rujukan < 1 : 100). Hal hal
tersebut sesuai dengan kritaria ACR dimana bila 4 atau lebih kategori
ACR terpenuhi maka pasien dapat ditegakkan menderita SLE.
Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
pasien sangat mungkin menderita SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Maka pada pasien ini pasien dapat didiagnosa SLE.

Pemeriksaan Fisik:
Pada pemeriksaan fisik terdapat sariawan pada mulut pasien dan
bercak bercak kemerahan pada wajah, lengan, tubuh dan kaki pasien..
Rambut pasien juga sangat mudah untuk rontok. Tanda-tanda vital
pada pemeriksaan dalam batas normal.

Pemeriksaan penunjang :
Pada hasil pemeriksaan ANA ditemukan titer 1/320 dengan
polas speckled dan ANA Antigen RO-52 recombinant hasilnya positif.

17
Menurut Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2011, tes
imunologik awal yang diperlukan untuk menegakan diagnosis SLE
adalah tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala
mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang
positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada
beberapa penyakit lain yang mempunya gambaran klinis menyerupai
SLE misalnya infeksi kronis (tuberculosis), penyakit auto imun
lainnya (misalnya Mixed connective Tissue Disease (MCTD), artritis
rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal.2
Jika hasil tes ANA negative, pengulangan tes tidak diperlukan,
tetapi karena perjalanan penyakit reumatik yang sistemik seperti SLE
seringkali berubah, maka dapat dilakukan pengulangan tes ANA pada
waktu yang akan datang terutama bila didukung dengan gambaran
klinis yang mencurigakan. Bila hasil tes ANA didapatkan negatif dan
gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya maka diagnosis SLE
dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang dapat dikerjakan setelah tes ANA
positif adalah tes antibody terhadap antigen nuclear spesifik, termasuk
anti-dsDNA, Sm nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl 70 dan anti-Jo.
Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA, Antibodi anti
dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang didapatkan pada
penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang
tinggi hampir pasti menunjukan diagnosis SLE dibandingkan dengan
titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi
pada pasien yang bukan SLE.
Pada pasien ini dilakukan tes ANA Antigen RO-52
recombinant yang hasilnya adalah positif. Ro52 adalah interferon-
inducible protein dari tripartite motif family. Antibodi yang melawan
Ro52 biasanya ditemukan pada pasien dengan penyakit autoimun,
seperti SLE dan Sjogrens syndrome, dan biasanya di hubungkan
dengan antibody anti-Ro60. Autoantigen Ro52 bersifat imunogenik.

18
Namun, keberadaan autoantibodi ini tidak spesifik, karena masih
dapat di deteksi di kondisi lain seperti infeksi viral dan penyakit
neoplastic, bahkan dapat juga ditemukan pada orang yang sehat.3
Pada pasien ini juga ditemukan trombositopenia yang
merupakan salah satu pertanda gangguan hematologik pada pasien
SLE sesuai dengan kategori ACR. Dengan temuan penunjang ini
maka pasien dapat ditegakkan diagnosisnya sebagai penderita SLE.

Rencana Pemeriksaan Penunjang:


1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4))
6. Foto polos thorax
pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan
untuk monitoring.
Setiap 3-6 bulan bila stabil
Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

Rencana Terapi:
Pengobatan farmakologi biasanya agresif dan disesuaikan tingkat
keparahan penyakit. Kortikosteroid oral maupun injeksi tetap
merupakan tulang punggung utama pengobatan lupus dan yang paling
efektif untuk mengontrol gejala penyakit. Mekanisme kerja
kortikosteroid adalah meniru efek steroid endogen yaitu
glukokortikoid yang mempunyai efek anti inflamasi, yang diperoleh
dengan cara menghambat produksi sitokin dan molekul adhesi sel,
sehingga mengurangi akumulasi sel neutrophil pada daerah inflamasi,
mengurangi migrasi makrofag, dan mengurangi proliferasi sel T.
Kortikosteroid juga menghambat produksi antibody.

19
Jenis kortikosteroid yang digunakan adalah hidrokortison, kortison,
prednisone, dan prednisolone. Pemberian metilprednisolon pada pasien
SLE ringan dengan manifestasi kulit dan artitis maka pemberian
kortikosteroid dapat diberikan dengan dosis rendah seperti prednisone
<10mg/hari atau yang setara. Pada kasus ini pasien diberikan
metilprednisolone 2 x 16 mg. Pasien juga mengaku sudah menjalankan
pengobatan metilprednisolone sejak 2 bulan yang lalu. Setelah
aktivitas penyakit dianggap sudah terkontrol secara klinis dan
serologis, baik dengan kortikosteroid atau kombinasi obat lainnya,
pengurangan dosis harus dilakukan hingga dosis terendah mungkin.
Tujuannya adalah untuk menghentikan sama sekali steroid, yang harus
dilakukan secara bertahap. Efek samping steroid telah diketahui sangat
banyak dan bergantung dosis dan lamanya terapi, dapat bersifat akut
seperti retensi cairan, pandangan kabur, perubahan mood, insomnia,
penambahan berat bedan, dan imunosupresi. Efek jangka panjang
berupa hiperglikemia, hipertensi, osteoporosis, kelmahan otot, jerawat,
dyspepsia, cushing syndrome, supresi adrenal, dan dyslipidemia. 12 4
Hidroksiklorokuin merupakan golongan antimalaria yang diduga
mempunyai efek imunomodulator sekaligus antiinflamasi pada LES,
meskipun mekanisme pastinya belum diketahui. Obat ini juga dapat
meringankan gejala lesi di kulit seperti ruam malar dan diskoid.13
pada SLE yang ringan hidroksiklorokuin dosis 5-6.5 mg/kgBB/hari
(200-400mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan. Pada kasus ini,
pasien diberikan hidroklorokuin 1 x 200 mg. Efek samping yang dapat
terjadi karena obat ini adalah retibopati, keluhan GIT, rash mialgia,
sakit kepala, anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi G6PD.
Pada pasien dengan SLE ringan, sesuai dengan Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia tahun 2011, dapat juga diberikan
penghilang nyeri seperti paracetamol 3x 500 mg, bila diperlukan, obat
anti inflamasi non steroidal (OAINS) sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi, dan glukokortikoid topical untuk
mengatasi ruam. Pasien juga dianjurkan untuk menggunakan tabir

20
surya topical dengan sun protection factor sekurang kurangnya 15
(SPF 15) 4

2. Anemia mikrositik hipokrom


Anamnesis:
Pada saat datang ke rumah sakit pasien mengeluhkan lemas
sejak 1 hari sebelum datang ke rumah sakit. Pada awalnya keluhan
lemas dirasa ringan dan masih bisa melakukan kegiatan rumah
tangga lalu dapat berkurang bila beristirahat, namun semakin lama
lemas dirasa memberat tidak membaik dan mengganggu kegiatan
rumah tangga sehari-hari. Keluhan lemas disertai dengan nyeri
kepala. Nyeri kepala dirasa menusuk nusuk terutama dibagian
belakang kepala. Keluhan nyeri kepala sudah dirasakan sejak
kurang lebih 5 bulan yang lalu. Keluhan juga disertai mual dan
muntah sebanyak 5 kali sehari juga sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Muntah berisi makanan dan cairan., pasien juga
mengatakan nafsu makannya berkurang. Dari hasil Pemeriksaan
laboratorium didapatkan nilai Hb sebesar 8.7g/dL dengan MCV
77% dan MCH26 pg, menurut, maka dari hasil laboratorium dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami anemia mikrositik
hipokrom. Anemia mikrositik hipokrom dapat di sebabkan oleh
berkurangnya zat besi yang diakibatkan karena konsumsi makanan
kaya zat besi berkurang, ataupun kebutuhan akan zat besi yang
meningkat.
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik
sel darah merah yang kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia
mikrositik biasanya disertai penurunan hemoglobin dalam eritrosit.
Dengan penurunan MCH ( mean concentration hemoglobin) dan
MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada
apusan darah tepi. Penyebab anemia mikrositik hipokrom:
Berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe, anemia penyakit
kronis/anemia infl amasi, defisiensi tembaga.

21
Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia
sideroblastik kongenital dan didapat.
Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati.5
Pada kasus pasien ini, dapat diketahui bahwa pasien
mengalami penurunan nafsu makan dan muntah muntah sebanyak
5 kali sehari dan merasa sangat lemas selama perawatan. Untuk
menegakan diagnosis anemia dengan defisiensi besi maka perlu
diperiksa kadar Fe serum, saturasi transferrin, dan Pemeriksaan
apus darah tepinya untuk mengkonfirmasi kadar MCV MCH dan
MCHC yang menurun.

Pemeriksaan Fisik:
Pada pasien ditemukan konjungtiva anemis pada kedua
mata namun tidak ditemukan kulit pucat, takipnea, asites dan
hepatosplenomegali. Pada pasien dengan anemia Pemeriksaan fisik
yang perlu diperhatikan 6,7:
adanya takikardia, dispnea, hipotensi postural.
pucat: sensitivitas dan spesifi sitas untuk pucat pada telapak
tangan, kuku, wajah atau konjungtiva sebagai prediktor anemia
bervariasi antara 19-70% dan 70-100%.
ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik.
Ikterus sering sulit dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu artifi
sial. Pada penelitian 62 tenaga medis, ikterus ditemukan pada 58%
penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan pada 68% penderita
dengan bilirubin 3,1 mg/dL.
penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies
rodent/chipmunk) pada talasemia.
lidah licin (atrofi papil) pada anemia defi siensi Fe.
limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di
sternum); nyeri tulang dapat disebabkan oleh adanya ekspansi
karena penyakit infi ltratif (seperti pada leukemia mielositik
kronik), lesi litik ( pada mieloma multipel atau metastasis kanker).

22
petekhie, ekimosis, dan perdarahan lain.
kuku rapuh, cekung (spoon nail) pada anemia defi siensi Fe.
Ulkus rekuren di kaki (penyakit sickle cell, sferositosis herediter,
anemia sideroblastik familial).
Infeksi rekuren karena neutropenia atau defisiensi imun.

Pemeriksaan Penunjang:
Pada pemeriksaan darah pasien diadapati anemia mikrositik
hipokrom. Untuk menentukan diagnosis yang sesuai dengan
keadaan pasien maka dapat dilihat dari klasifikasi berikut:

Gambar 1. Klasifikasi Anemia Mikrositik. 5

23
Rencana Pemeriksaan Penunjang:
Perlu dilakukan pemeriksaan hapusan darah perifer, kadar besi
serum, total iron binding capacity (TIBC), feritin serum dan saturasi
transferrin.

Rencana Terapi:
Bila diagnosis defisiensi sudah ditegakkan ferrous pengobatan
harus segera dimulai untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini.
Pengobatan terdiri atas pemberian preparat besi secara oral berupa
garam fero (sulfat, glukonat, fumarat dan lain-lain), pengobatan ini
tergolong murah dan mudah dibandingkan dengan cara lain. Dosis
anjuran adalah 3x 200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferrous mengandung
66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferrous 3 x200 mg
memberikan besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis
dua sampai tiga kali normal. Pengobatan besi bisa diberikan 3 sampai
6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar
hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis
pemeliharaan yang diberikan 100 sampai 200 mg. jika tidak diberikan
pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali.
Terapi yang lain yang dapat diberikan adalah terapi besi parenteral.
Ini sangat efektif tetapi risikonya lebih besar dan harganya lebih
mahal. Oleh karena itu besi parenteral hanya diberikan atas indikasi
tertentu. Indikasinya adalah:
1. Intoleransi terhadap pemberian besi oral
2. Kepatuhan terhadap obat yang rendah
3. Gangguan pncernaan seperti colitis ulseratif yang dapat
kambuh jika diberikan besi
4. Penyerapan besi terganggu, misalnya pada gastrektomi
5. Keadaan di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak
dapat dikompensasi dengan besi oral
6. Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek

24
7. Defisiensi besi fungsional relative akibat pemberian
eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat
penyakit kronik.
Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar
hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai 1000 mg.
Pengobatan lain dapat diberikan dengan diet tinggi protein hewani,
vitamin c 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi.
Transfuse darah. ADB jarang memerlukan transfuse darah. Indikasi
pemberian transfuse darah pada anemia kekurangan besi adalah
1. Adanya penyakit jantung anemic dengan ancaman gagal
jantung
2. Anemia sangat simptomatik, misalnya anemia dengan gejala
pusing yang menyolok
3. Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat
seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi
Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red cell). Pada pasien
ini diberikan Tranfusi PRC sebanyak 2 kolf.

3. Low Intake e.c Vomitus dd sindrom dispepsia


Anamnesis:
Keluhan disertai mual dan muntah sebanyak 5 kali sehari juga
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah berisi makanan dan
cairan., pasien juga mengatakan nafsu makannya berkurang. Dispepsia
menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih
gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
Nyeri epigastrium
Rasa terbakar di epigastrium
Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama
tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis

25
ditegakkan. Pasien mengaku memiliki riwayat gastritis 5 bulan yang
lalu.
Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari
evaluasi pasien yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya
pada dispepsia yaitu:
Penurunan berat badan (unintended)
Disfagia progresif
Muntah rekuren atau persisten
Perdarahan saluran cerna
Anemia
Demam
Massa daerah abdomen bagian atas
Riwayat keluarga kanker lambung
Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun
Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan
investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi.8

Dari hasil anamnesis, pasien mengaku tidak ada nyeri dan


terbakar pada epigastrium. Pasien mengaku mual dan muntah biasanya
setelah makan, namun gejala baru dirasakan 1 hari yang lalu. Maka
menurut kriteria Roma III, dyspepsia belum dapat ditegakkan.

Pemeriksaan Fisik:
Nyeri tekan epigastrium tidak ditemukan.

Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :
laboratorium darah, endoskopi, urea breath test, dan usg abdomen.

Rencana Terapi:
Pada dispepsia yang belum diinvestigasi, strategi tatalaksana
optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik selama 1-4

26
minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Hp.9
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam
lambung (PPI misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole
dan/atau H2-Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan
sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana pilihan ditentukan
berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien
sebelumnya.
Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and
treat diterapkan pada pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda
bahaya. Test and treat dilakukan pada:9
Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon
terhadap perubahan gaya hidup, antasida, pemberian PPI tunggal
selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya.
Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang
belum pernah diperiksa.
Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus
gastroduodenal.
Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura
trombositopenik idiopatik dan defisiensi vitamin B12. Test and
treat tidak dilakukan pada:20
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD)
Anak-anak dengan dispepsia fungsional
Pada kasus ini pasien diberikan omeprazole 1 x 20 mg tab,
ondancentron 3 x 4 mg tab untuk mengurangi gejala mual dan
muntah yang dialami oleh pasien.

27
XII. Kesimpulan

Perempuan berumur 28 tahun datang ke IGD RSPAD Gatot


Subroto dengan keluhan lemas sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Selain lemas, pasien juga merasa mual hingga muntah muntah
yang berisi makanan dan cairan, nafsu makan pasien pun dirasa
berkurang. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala yang menusuk
terutama di bagian belakang kepala. Pasien juga mengeluhkan adanya
bercak bercak merah pada tubuhnya yang tidak gatal, bentol atau nyeri
dan dapat bertambah bila pasien berada di luar rumah. Pasien
mengatakan bahwa sendinya merasa nyeri terutama di bagian bahu,
lutut dan siku. Pasien juga mengatakan bahwa rambutnya menjadi
sering rontok.
Pada Pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit
sedang, tanda vital dalam batas normal dan konjungtiva anemis.
Terdapat sariawan pada mulut pasien dan bercak bercak kemerahan
pada wajah, lengan, tubuh dan kaki pasien.
Dari hasil lab terakhir ditemukan anemia mikrositik hipokrom,
penurunan nilai eritrosit, hematokrit, trombosit dan nilai ureumnya,
serta kenaikan pada nilai hitung jenis monositnya. Dari hasil rontgen
thoraksnya tidak ditemukan kelainan pada jantung dan paru pasien.
Pada hasil pemeriksaan ANA ditemukan titer 1/320 dengan polas
speckled dan ANA Antigen RO-52 recombinant hasilnya positif.
Pasien telah diberikan terapi berupa Metilprednisolon 2x16gr,
Hidroksikuinolon 1x200gr, as. Folat 1x5 mg, omeprazole 1x20mg,
ondacetrone 3x4mg, klindamisin 3x3 mg, infus RL 1 kolf, dan
transfusi PRC sebanyak 500cc
Pada kasus ini, pasien memiliki gejala yang sesuai dengan kategori
ACR, karena pasien memiliki hasil ANA yang positif, dan lebih dari 3
gejala yang sesuai dengan kategori ACR. Pasien juga memiliki nilai
Hb dan MCV dan MCH yang rendah, dengan diagnosis anemia
mikrositik hipokrom, dengan diagnosis banding anemia defisiensi besi

28
dikarenakan pasien mengalami penurunan nafsu makan dan muntah
muntah yang lebih dari 5 kali sehari. Keluhan mual dan muntah pasien
dapat dipikirkan sebagai sindrom dyspepsia mengingat pasien
memiliki riwayat gastritis 5 bulan yang lalu. Pasien ini dirawat selama
kurang lebih 2 minggu di RSPAD Gatot Subroto dengan kondisi akhir
baik dan diperbolehkan untuk rawat jalan.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan lupus


eritematosus sistemik: Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011
2. Kavanaugh A, Tomar R, Reveille J, Solomon DH, Homburger HA.
Guideline for clinical use of the antinuclear antibody test and test for
specific autoantibody to nuclear antigen. Arch pathol lab med.
2000;124:71-81
3. Infantino. M et.al. serological epitope profile of anti-Ro52-positive
patients with systemic autoimmune rheumatic diseases.. Arthritis Research
& Therapy (2015) 17:365
4. Tutuncu ZN, Kalunian KC. The Definition and clasification of systemic
lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois lupus
erythematosus. 7th ed. Philadelphia. Lippincott William & Wilkins;
2007:16-19
5. Oehadian A. Pendekatan Klinis dan Diagnosa Anemia. Continuing
Medical Education (2011)
6. Schrier SL. Approach to the adult patient with anemia. January 2011
7. Mehta BC. Approach to a patient with anemia. Indian J Med Sci.
2004;58:26-9.
8. Karnath BM. Anemia in the adult patient. Hospital Physician 2004:32-6.
9. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI). Konsensus Nasional
Penatalaksanaan ispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014

30

Anda mungkin juga menyukai