Anda di halaman 1dari 62

PRESENTASI KASUS

Anak Perempuan 5 Bulan dengan Meningitis Bakterial dan Pneumonia et


causa Staphylococcus Hemoliticus

DISUSUN OLEH:
Yudhistira Hutomo G99181069/C19

PEMBIMBING :
Diah Lintang Kawuryan, dr., Sp.A, M.Kes
Labiqatullubabah Ahasmi, dr.

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Presentasi kasus dengan judul:

Anak Perempuan 5 Bulan dengan Meningitis Bakterial dan Pneumonia et


causa Staphylococcus Hemoliticus

Hari, tanggal : April 2020

Oleh:
Yudhistira Hutomo G99181069/C19

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

Diah Lintang Kawuryan, dr., Sp.A, M.Kes

1
BAB I
STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. CAA
Usia : 5 bulan
Tanggal Lahir : 29 September 2019
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 3,7 kg
Tinggi Badan : 57 cm
Agama : Islam
Alamat : Jatiroto, Wonogiri
Tanggal Masuk : 19 Februari 2020
Nomor Rekam Medis : 0147xxxx

B. ANAMNESIS

Anamnesis diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap ibu


penderita dan dilengkapi dengan rekam medis rumah sakit.

1. Keluhan Utama
Demam terus menerus
2. Riwayat Penyakit Sekarang

Kurang lebih 7 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami


demam. Ibu pasien memberikan obat penurun panas sirup yang dibeli di
warung. Setelah diberikan obat, panas turun namun naik lagi. Pasien
mengalami panas tinggi selama 5 hari sampai kejang seluruh tubuh, mata
melirik keatas. Durasi kejang ± 30 menit. Demam disertai batuk pilek,
batuk berlendir, pilek berwarna coklat putih. Batuk dan pilek saat ini sudah
berkurang. Kemudian pasien dibawa ke puskesmas, tetapi masih kejang.
Lalu pasien dirujuk ke RS dr Soediran Wonogiri. Pasien mendapat obat-
obatan selama di RS namun panas masih naik turun, batuk pilek
berkurang, kejang (+).

2
Sejak 3 hari yang lalu pasien tidur terus menerus dan hanya bangun
jika dibangunkan dengan keras. Makan minum seperti biasa, BAB jarang,
hitam (-), BAK ± 3x/hari. Karena tidak ada perkembangan, pasien dirujuk
ke RSDM.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit demam sebelumnya : disangkal

Riwayat alergi obat/makanan : disangkal

Riwayat kejang sebelumnya : disangkal

Riwayat mondok sebelumnya : RS dr Soediran Wonogiri


4. Riwayat Penyakit Keluarga dan Faktor Lingkungan
Riwayat sakit demam sebelumnya : disangkal

Riwayat alergi obat/makanan : disangkal

Riwayat kejang pada keluarga : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi

Penderita adalah anak pertama. Anggota keluarganya terdiri dari


ayah, ibu, dan pasien. Ayah penderita bekerja sebagai wiraswasta.

Ibu adalah ibu rumah tangga. Keluarga penderita menempati rumah


permanen berukuran 8 x 10 m2. Penerangan rumah cukup, ventilasi cukup.
Sumber air berasal dari PAM.

6. Riwayat Kehamilan dan Prenatal


Status ibu P1A0 dengan usia ibu saat hamil 25 tahun, rutin kontrol
ke bidan. Frekuensi pemeriksaan pada trimester I dan II 1 kali tiap bulan,
dan pada trimester III 2 kali tiap bulan. Penyakit kehamilan disangkal.
Riwayat minum jamu selama hamil disangkal, obat-obatan yang diminum
adalah vitamin dan tablet penambah darah.
7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir normal di RS dari ibu usia 25 tahun dengan umur
kehamilan 37 minggu. Bayi lahir dengan berat badan lahir 2600 gram dan
panjang 48 cm, merintih setelah lahir, tidak kebiruan, dan gerak kurang
aktif.

3
8. Riwayat Imunisasi
0 bulan : Hep B
1 bulan : BCG, Polio 1
2 bulan : DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan : DPT-HB-Hib 2, Polio 3
9. Riwayat Nutrisi
ASI diberikan sejak lahir. Diberikan setiap anak meminta atau
menangis. Lama menyusui 10-15 menit, bergantian payudara kanan dan
kiri, sesudah menyusu anak tidak menangis dan tertidur.
10. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Motorik Kasar
Mengangkat kepala : 2,5 bulan
Bahasa
Bersuara “ooh/aah” : 2 bulan
Menoleh ke arah suara : 6 bulan
Motorik halus
Memegang benda : 3 bulan
Meraih benda : 4 bulan
Personal sosial
Tersenyum : 2 bulan
Berusaha mencapai dan meraih : 5 bulan
11. Pohon Keluarga

4
An. CAA (5 bulan)

5
C. PEMERIKSAAN FISIS (17/03/2020)
1. Keadaan umum
Pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis (E4V5M6)
2. Tanda vital
Laju nadi : 149 kali/menit
Laju napas : 45 kali/menit, regular
Suhu : 37,8 oC peraksiler
Saturasi Oksigen : 99%
Berat Badan : 3,7 kg
Tinggi Badan : 57 cm
3. Kepala
Mesocephal, lingkar kepala 40 cm (- 2SD < LK < 0SD)
4. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-), reflek
cahaya (+/+), pupil isokor (2mm/2mm)
5. Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
6. Telinga
Sekret (-/-)
7. Mulut
Mukosa basah (+)
8. Leher
Pembesaran KGB (-)
9. Toraks
Retraksi (-)
10. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan=kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dapat dievaluasi
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi: suara napas vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
11. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba tak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tak membesar

6
Auskultasi: bunyi jantung I dan II regular, bising (-)
12. Abdomen
Supel, datar, timpani, bising usus normal (+), hepar dan lien tak teraba
13. Ekstremitas
ADP kuat, CRT< 2 detik,

+ +
Akral Hangat
+ +

14. Neurologi
Pemeriksaan Reflek Fisiologis
Reflek Biceps +2/+2
Reflek Triceps +2/+2
Reflek Patella +2/+2
Reflek Achilles +2/+2

Pemeriksaan Reflek Patologis


Reflek Babinski -/-
Reflek Oppenheim -/-
Reflek Chaddok -/-
Reflek Gordon -/-

Meningeal Sign
Kaku Kuduh -
Brudzinski I-II -
Kernig -

7
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Thorak PA/Lateral Tanggal 19/02/2020
Cor: Ukuran dan bentuk normal
Pulmo: Tampak infiltrate disertai air bronchogram di parakardial kanan kiri
Sinus costophrenicus kanan kiri anterior posterior tajam
Retrosternal dan retrocardiac space normal
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan: Pneumonia

2. Pemeriksaan Analisa Cairan Otak Tanggal 26/02/2020


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Warna Merah
Kejernihan Keruh
Bekuan Tidak ada bekuan
Tes Pandy Positif Negatif
Tes Nonne Positif Negatif
Protein Total 200 mg/dL 15 - 50
Glukosa 82 mg/dL 32 – 82
Jumlah Sel 150 /ul <32
Hitung jenis sel PMN 68 % -
Hitung jenis sel MN 32 % -
Ekspertise: Peningkatan protein total LCS

3. Pemeriksaan Gambaran Darah Tepi Tanggal 10/03/2020


Eritrosit : Hipokrom, mikrosit, burr cell, polikromasi, eritroblast (-)
Leukosit : Jumlah dalam batas normal, hipersegmentasi netrofil, limfosit
atipik, monosit teraktivasi, sel blast (-), IT Ratio 0.09 (batang)
Trombosit : Jumlah dalam batas normal, makrotrombosit, clumping (+)
sebagian lapang pandang
Simpulan : Anemia hipokromik mikrositik ec proses kronis disertai infeksi
(mixed infection)
4. Pemeriksaan Mikrobiologi Klinik Tanggal 16/03/2020
Specimen type = Blood
Spora : Negatif
Astospora : Negatif

8
Pseudohyfa : Negatif
Yeast Cell : Negatif
Candida Sp : Negatif
Crytococcus : Negatif
Kapang : Negatif
Kesimpulan : Hasil pemeriksaan biakan kultur tidak ditemukan
pertumbuhan jamur

5. Pemeriksaan Mikrobiologi Klinik Tanggal 16/03/2020


Specimen type = Blood
Organism = No growth

6. Pemeriksaan Mikrobiologi Klinik Tanggal 16/03/2020


Specimen type = Sputum
Organism = Staphylococcus haemolyticus
Trimethroprim/Sulfamethoxazole Sensitif
Tigecycline Sensitif
Vancomycin Sensitif
Quinupristin/Dalfopristin Sensitif
Saran: Vancomycin

7. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 17/03/2020


PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 9.1 g/dl 9.4 – 13.0
Hematokrit 27 % 32 - 44
Leukosit 14.2 ribu/ui 5.0-19.5
Trombosit 805 ribu/ui 150-450
Eritrosit 3.92 juta/ui 3.90-5.20
INDEX ERITROSIT
MCV 68.9 /um 80.0-96.0
MCH 23.3 pg 28.0-33.0
MCHC 33.8 g/dl 33.0-36.0
RDW 16.8 % 11.6-14.6
MPV 6.5 fl 7.2-11.1
PDW 40 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 1.20 % 0.00-4.00

9
Basofil 0.20 % 0.00-1.00
Neutrofil 52.30 % 18.00-74.00
Limfosit 25.90 % 60.00-66.00
Monosit 12.60 % 0.00-6.00

E. ASSESMENT
1. Meningitis bacterial
2. Pneumonia ec Staphylococcus Hemolyticus

F. PENATALAKSANAAN
1. Diet Infant 12x45ml
2. O2 ruangan
3. IVFD D51/4NS 6ml/jam
4. Inj Vancomycin (20mg/kgBB/8jam)
5. Paracetamol 15mg/kgBB/8jam k/p
6. Nebu NS 5mg/8jam
7. Fisioterapi dada

G. PLAN
1. Jika kejang inj Diazepam (0,3 mg/kgBB)

H. MONITORING
KUVS BCD TD/8 jam

I. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

J. FOLLOW UP

Tanggal Keluhan/KU/VS Pemeriksaan / Diagnosis Terapi

Demam (+) Kepala: Mesosefal 1. Diet Infant


17 Maret
2020 Kejang (-) Mata: CA (-/-), SI (-/-) 12x45ml

10
2. O2 ruangan
Batuk (+) Hidung: NCH (-/-),
3. IVFD D51/4NS
sekret (-/-)
6ml/jam
KU: sakit Mulut: Mukosa basah (+)
4. Inj Vancomycin
sedang, Thorax: retraksi (-)
(20mg/kgBB/8ja
compos mentis Pulmo: SDV (+/+), ronki
basah halus (+) m)
Cor: BJ I-II int Normal, 5. Paracetamol
VS:
reguler, bising (-) 15mg/kgBB/8ja
HR: 149x/menit
Abdomen: DP//DD, BU (+), m k/p
RR: 45x/menit
Supel, hepar dan lien tidak 6. Nebu NS
Suhu: 37,8oC
teraba, timpani 5mg/8jam
Ext : akral dingin (-), CRT < 7. Stop Ceftriaxon
2”, ADP teraba kuat 8. Fisioterapi dada
Neuro: R. Fisiologis dbn, R.
Patologis dbn, Meningeal
sign dbn

Tanggal Keluhan/KU/VS Pemeriksaan / Diagnosis Terapi

Demam (+) 1x Kepala: Mesosefal 1. Diet Infant


18 Maret
pengukuran
2020 Mata: CA (-/-), SI (-/-) 12x45ml
Kejang (-)
Hidung: NCH (-/-), 2. O2 ruangan
Batuk (+)
sekret (-/-) 3. IVFD D51/4NS
berkurang
Mulut: Mukosa basah (+) 6ml/jam
Muntah (-)
Thorax: retraksi (-) 4. Inj Vancomycin
Pulmo: SDV (+/+), ronki (20mg/kgBB/8ja
KU: sakit
basah halus (+)
m)
sedang,
Cor: BJ I-II int Normal,
5. Paracetamol
compos mentis
reguler, bising (-)
15mg/kgBB/8ja

11
m k/p
Abdomen: DP//DD, BU (+),
VS: 6. Nebu NS
Supel, hepar dan lien tidak
HR: 153x/menit 5mg/8jam
teraba, timpani
RR: 34x/menit 7. Stop Ceftriaxon
Ext : akral dingin (-), CRT <
Suhu: 37,2oC 8. Fisioterapi dada
2”, ADP teraba kuat
Neuro: R. Fisiologis dbn, R.
Patologis dbn, Meningeal
sign dbn

Tanggal Keluhan/KU/VS Pemeriksaan / Diagnosis Terapi

12
Demam (+) 1x Kepala: Mesosefal 1. Diet Infant
18 Maret
pengukuran
2020 Mata: CA (-/-), SI (-/-) 12x45ml
Kejang (-)
Hidung: NCH (-/-), 2. O2 ruangan
Batuk (+)
sekret (-/-) 3. IVFD D51/4NS
berkurang
Mulut: Mukosa basah (+) 6ml/jam
Muntah (+) 1x
Thorax: retraksi (-) 4. Inj Vancomycin
Pulmo: SDV (+/+), ronki (20mg/kgBB/8ja
KU: sakit
basah halus (+)
m)
sedang,
Cor: BJ I-II int Normal,
5. Paracetamol
compos mentis
reguler, bising (-)
15mg/kgBB/8ja
Abdomen: DP//DD, BU (+),
m k/p
VS:
Supel, hepar dan lien tidak
6. Nebu NS
HR: 160x/menit
teraba, timpani
5mg/8jam
RR: 32x/menit
Ext : akral dingin (-), CRT <
7. Stop Ceftriaxon
Suhu: 38,1oC
2”, ADP teraba kuat
8. Fisioterapi dada
Neuro: R. Fisiologis dbn, R.
Patologis dbn, Meningeal
sign dbn

BAB II
ANALISIS KASUS

13
Pada kasus ini diagnosis Meningitis Bakterial dan Pneumonia staphylococcus
haemolyticus berdasarkan :
A. Anamnesis didapatkan :
1. Pasien mengalami batuk pilek sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit.
Batuk berlendir, pilek berwarna coklat putih.
2. Demam tinggi sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, kemudian timbul
kejang seluruh tubuh dan mata melirik keatas. Durasi kejang ± 30menit.
3. Sejak 3 hari yang lalu pasien tidur terus menerus dan hanya bangun jika
dibangunkan dengan keras.
B. Pemeriksaan Fisik didapatkan
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang. Tanda vital penderita didapatkan
denyut nadi 149x/menit, pernapasan 45x/menit dan suhu 37,8 oC peraksiler

C. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Thorak PA/Lateral didapatkan kesan pneumonia
2. Hasil pemeriksaan cairan otak: tes Pandy (+), glukosa 82 mg/dL, sel PMN
dominan (68%), jumlah sel ↑ (150/uL) mendukung diagnosis meningitis
bakterial.
3. Hasil gambaran darah tepi menunjukkan adanya anemia mikrositik
hipokromik. Anemia kemungkinan terjadi akibat proses infeksi
4. Hasil mikrobiologi klinik ditemukan adanya organisme staphylococcus
haemolyticus pada stuputum yang mendukung diagnosis pneumonia ec
staphylococcus haemolyticus

5. Hematokrit ↓ (27 %) dan hemoglobin ↓ (9,1 g/dL) menunjukkan


adanya anemia mikrositik hipokromik. Anemia kemungkinan
terjadi akibat proses infeksi.

Pada kasus ini, penderita dimondokkan, karena pada pemeriksaan laboratorium


didapatkan penurunan hematokrit dan hemoglobin. Penurunan hematokrit dan
hemoglobin menunjukkan adanya anemia mikrositik hipokromik. Anemia ini
kemungkinan disebabkan oleh defisiensi besi atau proses infeksi, dalam kasus ini adalah
meningitis bakteri dan pneumonia. Meningitis bakteri dibuktikan dengan hasil

14
pemeriksaan cairan otak yaitu tes Pandy (+), glukosa (+), jumlah sel ↑, sel PMN
dominan sedangkan pneumonia ec staphylococcus haemolyticus dibuktikan dengan foto
toraks dengan kesan pneumonia dan hasil mikrobiologi sputum yang menunjukkan
adanya organisme staphylococcus haemolyticus.

Pada pasien ini diberikan antibiotik pada saat mondok pertama kali berupa
ceftriaxon selama 14 hari (26 Februari – 10 Maret 2020). Antibiotik yang dipilih adalah
ceftriakson karena ceftriakson merupakan cephalosporin generasi III. Cephalosporin
generasi III dapat mencapai LCS dengan kadar tinggi dan berfungsi secara efektif
melawan infeksi gram negatif.

Pemberian parasetamol sebagai terapi simptomatis karena pasien mengalami


kejang demam. Pemberian vancomycin pada kasus ini juga menjadi pilihan karena
vancomycin merupakan antibiotik golongan glikopeptida trisiklik yang bekerja dengan
menghambat pembentukan dinding sel bakteri dan digunakan untuk tatalaksana infeksi
oleh bakteri gram positif, maka dari itu vancomycin menjadi pilihan dan juga sudah
terbukti sensitif dari hasil pemeriksaan penunjang mikrobiologi klinik yang didapatkan.
Pada pasien ini juga diberikan injeksi diazepan jika terjadi kejang berulang. Pemberian
injeksi diazepam sebanyak 0,3mg/kgBB.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

15
A. MENINGITIS BAKTERIALIS
Definisi
Meningitis bakterialis adalah terjadinya suatu proses peradangan atau inflamasi
yang disebabkan oleh bakteri patogen pada selaput otak (meninges), meliputi dura
mater, araknoid mater, dan pia mater.8 Ketiganya berfungsi sebagai pelapis otak dan
medulla spinalis. Proses peradangan atau inflamasi ini dapat diidentifikasi oleh adanya
peningkatan kadara leukosit di dalam likuor cerebrospinal (LCS).3

Etiologi
Salah satu penyebab utama meningitis bakteri pada anak-anak dan orang dewasa
muda di Amerika Serikat adalah bakteri Neisseria meningitidis. Meningitis disebabkan
oleh bakteri ini dikenal sebagai penyakit meningokokus. Bakteri penyebab meningitis
juga bervariasi menurut kelompok umur.5 Selama usia bulan pertama, bakteri yang
menyebabkan meningitis pada bayi normal merefleksikan flora ibu atau lingkungan
bayi tersebut (yaitu, Streptococcus group B, basili enterik gram negatif, dan Listeria
monocytogenes). Meningitis pada kelompok ini kadang -kadang dapat karena
Haemophilus influenzae dan patogen lain ditemukan pada penderita yang lebih tua.
Meningitis bakteri pada anak usia 2 bulan – 12 tahun biasanya karena H.
influenzae tipe B, Streptococcus pneumoniae, atau Neisseria meningitidis. Penyakit
yang disebabkan oleh H.influenzae tipe B dapat terjadi segala umur namun seringkali
terjadi sebelum usia 2 tahun. Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas, Treponema
pallidum, dan Mycobacterium tuberculosis dapat juga mengakibatkan meningitis.
Citrobacter diversus merupakan penyebab abses otak yang penting.
Mikroorganisme yang sering menyebabkan meningitis berdasarkan usia :3
a. 0 – 3 bulan
Pada grup usia ini meningitis dapat disebabkan oleh semua agen termasuk
bakteri, virus, jamur, Mycoplasma, dan Ureaplasma. Bakteri penyebab yang
tersering seperti Streptococcus grup B, E.Coli, Listeria, bakteri usus selain
E.Coli ( Klebsiella, Serratia spesies, Enterobacter), streptococcus lain, jamur,
nontypeable H.influenza, dan bakteri anaerob. Virus yang sering seperti Herpes
simplekx virus (HSV), enterovirus dan Cytomegalovirus.

b. 3 bulan – 5 tahun

16
Sejak vaksin conjugate HIB menjadi vaksinasi rutin di Amerika Serikat,
penyakit yang disebabkan oleh H.influenza tipe B telah menurun. Bakteri
penyebab tersering meningitis pada grup usia ini belakangan seperti
N.meningitidis dam S.Pneumoniae. H. influenza tipe B masih dapat
dipertimbangkan pada meningitis yang terjadi pada anak kurang dari 2 tahun
yang belum mendapat imunisasi atau imunisasi yang tidak lengkap. Meningitis
oleh karena Mycobacterium Tuberculosis jarang, namun harus dipertimbangkan
pada daerah dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi dan jika didapatkan
anamnesis, gejala klinis, LCS dan laboratorium yang mendukung diagnosis
Tuberkulosis. Virus yang sering pada grup usia ini seperti enterovirus, HSV,
Human Herpesvirus-6 (HHV-6).
c. 5 tahun – dewasa
Bakteri yang tersering menyebabkan meningitis pada grup usia ini seperti
N.meningitidis dan S.pneumoniae. Mycoplasma pneumonia juga dapat
menyebabkan meningitis yang berat dan meningoencephalitis pada grup usia ini.
Meningitis virus pada grup ini tersering disebabkan oleh enterovirus, herpes
virus, dan arbovirus. Virus lain yang lebih jarang seperti virus Epstein-Barr ,
virus lymphocytic choriomeningitis, HHV-6, virus rabies, dan virus influenza A
dan B.
Pada host yang immunocompromised, meningitis yang terjadi selain dapat
disebabkan oleh pathogen seperti di atas, harus juga dipertimbangkan oleh pathogen
lain seperti Cryptococcus, Toxoplasma, jamur, tuberculosis dan HIV.

17
Tabel 2. Etiologi Meningitis pada Anak

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sebelum pemberian rutin vaksin conjugate-pneumococcal,
insidens dari meningitis bakteri ± 6000 kasus per tahun dan sekitar setengahnya adalah
pasien anak (≤18 tahun). N. meningitidis menyebabkan 4 kasus per 100.000 anak (usia 1
– 23 bulan). Sedangkan S.pneumoniae menyebabkan 6,5 kasus per 100.000 anak (usia 1
– 23 bulan). Angka ini menurun setelah pemberian rutin dari vaksin conjugate-
pneumoccal pada anak-anak. Pengenalan dari vaksin meningococcal baru-baru ini di
Amerika Serikat diharapkan dapat mengurangi insidens meningitis bacterial di
kemudian hari. Insidens dari meningitis bakterial pada neonatus sekitar 0,15 kasus per
1000 bayi lahir cukup bulan dan 2,5 kasus per 1000 bayi lahir kurang bulan
(premature). Hampir 30% bayi baru lahir dengan klinis sepsis, berhubungan dengan
adanya meningitis bakterial. Sejak adanya pemberian antibiotik inisiasi intrapartum
tahun 1996, terjadi penurunan insidens nasional dari onset awal infeksi GBS (Group B
Streptococcus) dari hampir 1,8 kasus per 1000 bayi lahir hidup pada tahun 1990
menjadi 0,32 kasus per 1000 bayi lahir hidup pada tahun 2003.1,8
Secara umum, mortalitas dari meningitis bacterial bervariasi menurut usia dan
jenis pathogen, dengan angka tertinggi untuk S.pneumoniae. Mortalitas pada neonatus
tinggi dan meningitis bakterial juga menyebabkan long term sequelae yang
menyebabkan morbiditas pada periode neonatal. Mortalitas tertinggi yakni pada tahun
pertama kehidupan, menurun pada pertengahan (mid life) dan meningkat kembali di
masa tua. Insidens lebih banyak pada kulit hitam. Bayi laki – laki lebih sering terkena
meningitis gram negatif, bayi perempuan lebih rentan terhadap infeksi
L.monocytogenes , sedangkan Streptococcus agalactiae (GBS) mengenai kedua jenis
kelamin.8

18
Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan-2 tahun.
Umumnya terdapat pada anak distrofik,yang daya tahan tubuhnya rendah. Insidens
meningitis bakterialis pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000 kelahiran hidup.
Insidens meningitis pada bayi berat lahir rendah tiga kali lebih tinggi dibandingkan bayi
dengan berat lahir normal. Streptococcus group B dan E.coli merupakan penyebab
utama meningitis bakterial pada neonatus. Penyakit ini menyebabkan angka kematian
yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40% diantaranya mengalami gejala sisa berupa
gangguan pendengaran dan defisit neurologis.9-11

Patogenesis
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
1. Alian darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering
didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman
yang ada dalam cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi
dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi
lumbal dan mielokel.
4. Meningitis pada neonatus dapat terjadi oleh karena:
 Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau
oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir
 Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.

19
Gambar 3. Patogenesis Meningitis Bakterial

Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen.
Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis
purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen mempunyai
tahap-tahap sebagai berikut :
1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)
2. Bakteri menembus rintangan mukosa
3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit dan
aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia.
4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal
5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.

20
Gambar 4. Patogenesis Meningitis Bakterial

Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melampaui


semua tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme virulensi yang
berbeda-beda, dan masing-masing mekanisme mempunyai peranan yang khusus pada
satu atau lebih dari tahap-tahap tersebut. Terjadinya meningitis bakterial dipengaruhi
oleh interaksi beberapa faktor, yaitu host yang rentan, bakteri penyebab dan lingkungan
yang menunjang.
Faktor Host
Beberapa faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis:
1. Telah dibuktikan bahwa laki-laki lebih sering menderita meningitis
dibandingkan dengan wanita. Pada neonates sepsis menyebabkan meningitis,
laki-laki dan wanita berbanding 1,7 : 1
2. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan premature lebih mudah menderita
meningitis disbanding bayi cukup bulan
3. Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama kehamilan,
adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah terjadinya sepsis dan
meningitis
4. Pada bayi adanya kekurangan maupun aktivitas bakterisidal dari leukosit,
defisiensi beberapa komplemen serum, seperti C1, C3. C5, rendahnya properdin
serum, rendahnya konsentrasi IgM dan IgA ( IgG dapat di transfer melalui
plasenta pada bayi, tetapi IgA dan IgM sedikit atau sama sekali tidak di transfer
melalui plasenta), akan mempermudah terjadinya infeksi atau meningitis pada
neonates. Rendahnya IgM dan IgA berakibat kurangnya kemampuan
bakterisidal terhadap bakteri gram negatif.

21
5. Defisiensi kongenital dari ketiga immunoglobulin ( gamma globulinemia atau
dysgammaglobulinemia), kekurangan jaringan timus kongenital, kekurangan sel
B dan T, asplenia kongenital mempermudah terjadinya meningitis
6. Keganasan seperti system RES, leukemia, multiple mieloma, penyakit Hodgkin
menyebabkan penurunan produksi immunoglobulin sehingga mempermudah
terjadinya infeksi.
7. Pemberian antibiotik, radiasi dan imunosupresan juga mempermudah terjadinya
infeksi
8. Malnutrisi

Faktor Mikroorganisme
Penyebab meningitis bakterial terdiri dari bermacam-macam bakteri.
Mikroorganisme penyebab berhubungan erat dengan umur pasien. Pada periode
neonatal bakteri penyebab utama adalah golongan enterobacter terutama Escherichia
Coli disusul oleh bakteri lainnya seperti Streptococcus grup B, Streptococcus
pneumonia, Staphylococuc sp dan Salmonella sp. Sedangkan pada bayi umur 2 bulan
sampai 4 tahun yang terbanyak adalah Haemophillus influenza type B disusul oleh
Streptococcus pneumonia dan Neisseria meningitides. Pada anak lebih besar dari 4
tahun yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitides. Bakteri
lain yang dapat menyebabkan meningitis bakterial adalah kuman batang gram negative
seperti Proteus, Aerobacter, Enterobacter, Klebsiella Sp dan Seprata Sp.

Faktor Lingkungan
Kepadatan penduduk, kebersihan yang kurang, pendidikan rendah dan sosial
ekonomi rendah memgang peranan penting untuk mempermudah terjadinya infeksi.
Pada tempat penitipan bayi apabila terjadi infeksi lebih mudah terjadi penularan.
Adanya vektor binatang seperti anjing, tikus, memungkinkan suatu predisposisi, untuk
terjadinya leptospirosis.

Patofisiologi
Akhir – akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis

22
bakterial, yaitu suatu proses yang kompleks, komponen – komponen bakteri dan
mediator inflamasi berperan menimbulkan respons peradangan pada selaput otak
(meningen) serta menyebabkan perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan
tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak, yang dapat mengakibatkan
tinbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah ada bakteriemia atau embolus septik,
yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam susunan saraf pusat dengan jalan
menembus rintangan darah otak melalui tempat – tempat yang lemah, yaitu di
mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media pertumbuhan yang baik
bagi bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi. Segera setelah bakteri
berada dalam cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut memperbanyak diri dengan
mudah dan cepat oleh karena kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis
dalam cairan serebrospinal melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang subaraknoid.
Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan
melepaskan dinding sel atau komponen – komponen membran sel (endotoksin, teichoic
acid) yang menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan peradangan di
selaput otak (meningen) melalui beberapa mekanisme seperti dalam skema tersebut di
bawah, sehingga timbul meningitis. Bakteri Gram negative pada waktu lisis akan
melepaskan lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman Gram positif akan melepaskan
teichoic acid (asam teikoat).

Gambar 5. Patofisiologi Molekuler Meningitis Bakterial 1

Produk – produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan
makrofag di susunan saraf pusat (sel astrosit dan microglia) memproduksi mediator

23
inflamasi seperti Interleukin – 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF). Mediator
inflamasi berperan dalam proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan
peningkatan tekanan intracranial, yang selanjutnya mengakibatkan menurunnya aliran
darah otak. Pada meningitis bacterial dapat juga terjadi syndrome inappropriate
antidiuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan oleh karena proses peradangan akan
meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran vasopressin endogen sistem
supraoptikohipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan SIADH ini
menyebabkan hipovolemia, oliguria dan peningkatan osmolaritas urine meskipun
osmolaritas serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala water intoxication yaitu
mengantuk, iritabel dan kejang.
Edema otak yang berat juga menghasilkan pergeseran midline kearah kaudal dan
terjepit pada tentorial notch atau foramen magnum. Pergeseran ke kaudal ini
menyebabkan herniasi dari gyri parahippocampal, cerebellum, atau keduanya.
Perubahan intrakranial ini secara klinis menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran
dan refleks postural. Pergeseran ke kaudal dari batang otak menyebabkan lumpuhnya
saraf kranial ketiga dan keenam. Jika tidak diobati, perubahan ini akan menyebabkan
dekortikasi atau deserebrasi dan dengan cepat dan progresif menyebabkan henti nafas
dan jantung.
Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah otak
yang juga disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus dan
adanya penurunan autoregulasi, terutama pada pasien yang mengalami kejang. Akibat
lain adalah penurunan tekanan perfusi serebral yang juga dapat disebabkan oleh karena
penurunan tekanan darah sistemik 60 mmHg sistole. Dalam keadaan ini otak mudah
mengalami iskemia, penurunan autoregulasi serebral dan vaskulopati. Kelainan –
kelainan inilah yang menyebabkan kerusakan pada sel saraf sehingga menimbulkan
gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah otak, peningkatan tekanan intrakranial dan
kandungan air di otak akan menyebabkan gangguan fungsi metabolik yang
menimbulkan ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan penurunan
pH cairan srebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan metabolisme anaerob,
keadaan ini menyebabkan penggunaan glukosa meningkat dan berakibat timbulnya
hipoglikorakia.
Ensefalopati pada meningitis bakterial dapat juga terjadii akibat hipoksia
sistemik dan demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial adalah
peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan – bahan toksis

24
bakteri. Peradangan selaput otak akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris,
akibatnya terjadi refleks kontraksi otot – otot tertentu untuk mengurangi rasa sakit,
sehingga timbul tanda Kernig dan Brudzinksi serta kaku kuduk. Manifestasi klinis lain
yang timbul akibat peradangan selaput otak adalah mual, muntah, iritabel, nafsu makan
menurun dan sakit kepala. Gejala – gejala tersebut dapat juga disebabkan karena
peningkatan tekanan intracranial, dan bila disertai dnegan distorsi dari nerve roots,
makan timbul hiperestasi dan fotofobia.
Pada fase akut, bahan – bahan toksis bakteri mula – mula menimbulkan
hiperemia pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang subaraknoid,
dan selanjutnya merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah hingga mempermudah adesi sel fagosit dan sel polimorfonuklear, serta
merangsang sel polimorfonuklear untuk menembus endotel pembuluh darah melalui
tight junction dan selanjutnya memfagosit bakteri bakteri, sehingga terbentuk debris sel
dan eksudat dalam ruang subaraknoid yang cepat meluas dan cenderung terkumpul
didaerah konveks otak tempat CSS diabsorpsi oleh vili araknoid, di dasar sulkus dan
fisura Sylvii serta sisterna basalis dan sekitar serebelum.
Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang memfagosit
bakteri, secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel limfosit, monosit dan
histiosit yang jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini terjadi eksudasi
fibrinogen. Dalam minggu ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblas yang berperan
dalam proses organisasi eksudat, sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada selaput otak
yang menyebabkan perlekatan – perlekatan. Bila perlekatan terjadi didaerah sisterna
basalis, maka akan menimbulkan hidrosefalus komunikan dan bila terjadi di aquaductus
Sylvii, foramen Luschka dan Magendi maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam
waktu 48-72 jam pertama arteri subaraknoid juga mengalami pembengkakan, proliferasi
sel endotel dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan adventisia, sehingga timbul fokus
nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang menyebabkan trombosis arteri. Proses
yang sama terjadi di vena. Fokus nekrosis dan trombus dapat menyebabkan oklusi total
atau parsial pada lumen pembuluh darah, sehingga keadaan tersebut menyebabkan
aliran darah otak menurun, dan dapat menyebabkan terjadinya infark.
Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa hari
pertama dirawat tidak mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol,
kejang menetap lebih dari 4 hari dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama

25
dirawat dengan penyakit yang sudah berlangsung lama, serta kejang fokal akan
menyebakan manifestasi sisa yang menetap. Kejang fokal dan kejang yang
berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah otak yang
serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum dirawat sering
menyebakna gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.
Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks
serebri. Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia,
invasi kuman akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dang gangguan
fungsi motorik berupa paresis yang sering timbul pada hari ke 3-4, dan jarang timbul
setelah minggu I-II; selain itu juga menimbulkan gangguan sensorik dan fungsi intelek
berupa retardasi mental dan gangguan tingkah laku; gangguan fungsi intelek merupakan
akibat kerusakan otak karena proses infeksinya, syok dan hipoksia. Kerusakan langsung
pada selaput otak dan vena di duramater atau arakhnoid yang berupa trombophlebitis,
robekan-robekan kecil dan perluasan infeksi araknoid menyebabkan transudasi protein
dengan berat molekul kecil ke dalam ruang subaraknoid dan subdural sehingga timbul
efusi subdural yang menimbulkan manifestasi neurologis fokal, demam yang lama,
kejang dan muntah.
Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood brain
barrier) menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan arena aliran CSS terganggu atau
hidrosefalus akan menyebabkan terjadinya edema interstitial.
Meskipun kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi absorpsi dan
penetrasi toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak dan vaskulitis;
kelainan saraf kranial pada meningitis bakterial disebabkan karena adanya peradangan
lokal pada perineurium dan menurunnya persediaan vaskular ke saraf cranial, terutama
saraf VI, III dan IV, sedang ataksia yang ringan, paralisis saraf kranial VI dan VII
merupakan akibat infiltasi kuman ke selaput otak di basal otak, sehingga menimbulkan
kelainan batang otak.
Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradanga ke mastoid,
sehingga timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran tipe konduktif.
Kelain saraf kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan kebutaan tetapi dapat
juga disebabkan karena infark yang luas di korteks serebri, sehingga terjadi buta
kortikal. Manifestasi neurologis fokal yang timbul disebabkan oleh trombosis arteri dan
vena di korteks serebri akibat edema dan peradangan yang menyebabkan infark serebri,
dan adanya manifestasi ini merupakan petunjuk prognosis buruk, karena meninggalakan

26
manifestasi sisa dan retardasi mental.

Manifestasi Klinik
Meningitis mempunyai karakteristik yakni onset yang mendadak dari demam,
sakit kepala dan kaku leher (stiff neck). Biasanya juga disertai beberapa gejala lain,
seperti :
· Mual
· Muntah
· Fotofobia (sensitif terhadap cahaya)
· Perubahan atau penurunan kesadaran
Tidak ada satupun gambaran klinis yang patognomonik untuk meningitis
bakterial. Tanda dan manifestasi klinis meningitis bakterial begitu luas sehingga sering
didapatkan pada anak-anak baik yang terkena meningitis ataupun tidak. Tanda dan
gambaran klinis sangat bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit di rumah sebelum
diagnosis dan respon tubuh terhadap infeksi.
Meningitis pada bayi baru lahir dan prematur sangat sulit didiagnosis, gambaran
klinis sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi baru lahir hanya terjadi
pada ½ dari jumlah kasus. Biasanya pasien tampak lemas dan malas, tidak mau makan,
muntah-muntah, kesadaran menurun, ubun-ubun besar tegang dan membonjol, leher
lemas, respirasi tidak teratur, kadang-kadang disertai ikterus kalau sepsis. Secara umum
apabila didapatkan sepsis pada bayi baru lahir kita harus mencurigai adanya meningitis.
Bayi berumur 3 bulan – 2 tahun jarang memberi gambaran klasik meningitis.
Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah, gelisah, kejang
berulang, kadang-kadang didapatkan pula high pitch cry (pada bayi). Tanda fisik yang
tampak jelas adalah ubun-ubun tegang dan membonjol, sedangkan tanda Kernig dan
Brudzinsky sulit di evaluasi. Oleh karena insidens meningitis pada umur ini sangat
tinggi, maka adanya infeksi susuan saraf pusat perlu dicurigai pada anak dengan demam
terus menerus yang tidak dapat diterangkan penyebabnya.
Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang memberikan gambaran
klasik. Gejala biasanya dimulai dengan demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala.
Kadang-kadang gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan tingkah laku.
Penurunan kesadaran seperti delirium, stupor, koma dapat juga terjadi. Tanda klinis
yang biasa didapatkan adalah kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig. Nyeri kepala
timbul akibat inflamasi pembuluh darah meningen, sering disertai fotofobia dan

27
hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas spinal disebabkan karena iritasi meningen serta
radiks spinalis.
Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium, juga
karena terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf – saraf kranial VI, VII, dan IV
adalah yang paling sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder karena
nekrosis kortikal atau vaskulitis oklusif, paling sering karena trombosis vena kortikal.
Vaskulitis serebral menyebabkan kejang dan hemiparesis.1
Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:9
1. Gejala infeksi akut seperti lethargy, irritabilitas, demam ringan, muntah,
anoreksia, sakit kepala (pada anak yang lebih besar), petechia dan Herpes
Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).
2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi seperti muntah, nyeri kepala (pada
anak yang lebih besar), moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus),
penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma, kejang (dapat terjadi secara
umum, fokal atau twitching), bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol
dan tegang, gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis,
Strabismus. Crack pot sign, pernafasan Cheyne Stokes, hipertensi dan Choked
disc papila N. optikus (pada anak yang lebih besar).
3. Gejala rangsangan meningeal seperti kaku kuduk positif, kernig, Brudzinsky I
dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas terjadi, sering terdapat
keluhan sakit di daerah leher dan punggung.
Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat
diandalkan sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan
pungsi lumbal untuk mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).

28
Gambar 6. Tanda Brudzinski Gambar 7. Tanda Kernig

Gambar 8. Manifestasi klinis pada bayi / neonatus

Gambar 9. Manifestasi klinis pada anak dan dewasa

29
Gambar 10. Opisthotonus dan Blank starring pada M.Meningococcus

Pemeriksaan Penunjang
Pungsi Lumbal 1
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospimal yang paling
sering dilakukan pada segala umur, dan relatif aman. Indikasinya adalah kejang atau
twitching, paresis atau paralisis termasuk paresis N. VI, koma, ubun-ubun besar
membonjol, kaku kuduk dengan kesadaran menurun, TBC milier, leukemia,
mastoiditis kronik yang dicurigai meningitis, sepsis.
Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya
dah pada pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan
dilakukan pada meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis.
Cairan serebrospinal dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit kepala
dan sakit pinggang. Pungsi lumbal berulang-ulang juga dilakukan pada tekanan
intrakranial meninggi jinak (beningn intracranial hypertension), pungsi lumbal juga
dilakukan untuk memasukkan obat-obat tertentu.
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah
sekitar tempat pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya
proses desak ruang dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan
pembekuan yang belum diobati. Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga
karena infeksi (meningitis) bukan kontraindikasi tetapi harus dilakukan dnegan hati-
hati.
Komplikasi lumbal pungsi adalah sakit kepala, infeksi, iritasi zat kimia
terhadap selaput otak, bila penggunaan jarum pungsi tidak kering, jarum patah,
herniasi dan tertusuknya saraf oleh jarum pungsi karena penusukan tidak tepat yaitu
kearah lateral dan menembus saraf di ruang ekstradural.

30
Alat dan Bahan
1. Sarung tangan steril
2. Duk berlubang
3. Kassa steril, kapas, dan plester
4. Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
5. Antiseptik: povidon iodine dan alkohol 70%
6. Tabung reaksi untuk menampung cairan serebrospinal
Prosedur
1) Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal
(dahi ditarik ke arah lutut), ektremitas bawah fleksi maksimum (lutut ditarik ke
arah dahi), dan sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat
tidur.
2) Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan
menemukan garis potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis
antara kedua spina iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi
dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak boleh
pada bayi.

Gambar 11. Lumbal Pungsi

3) Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm


dengan larutan povidon iodin diikuti dengan larutan alkohol 70% dan tutup
dengan duk steril di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
4) Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah
memakai sarung tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik
pungsi tersebut selama 1 menit.

31
5) Tusukkan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan
jarum perlahan-lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan mulut
jarum terbuka ke atas sampai menembus duramater. Jarak antara kulit dan ruang
subarakhnoid berbeda pada tiap anak tergantung umur dan keadaan gizi.
Umumnya 1,5-2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm pada umur 3-5
tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm. (gambar di bawah ini.)
6) Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran
cairan yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial.
Ambil cairan untuk pemeriksaan.
7) Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester

Pengukuran Tekanan Cairan Serebrospinal


Bila tusukan jarum pungsi lumbal tepat dan LCS mengalir keluar, manometer pengukur
tekanan LCS dihubungkan dengan pangkal jarum pungsi lumbal tersebut. LCS
dibiarkan mengalir mengisi manometer, dan tingginya cairan yang mengisi manometer
diukur dalam milimeter air. Nilai normal tekanan LCS 50-200 mm pada keadaan
tenang. Pada anak yang berontak, menangis atau batuk tekanan akan meningkat.

Pemeriksaan LCS
Biasanya pada LP yang berhasil LCS yang keluar ditampung dalam botol steril
untuk pemeriksaan lengkap. Cairan yang keluar diperhatikan kejernihan dan warnanya,
kemudian ditentukan adanya protein yang meninggi dengan menggunakan uji Pandy
dan Nonne.
Pada uji Pandy 1-2 tetes LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang
sebelumnya telah diisi dengan 1 ml larutan fenol jenuh (carbolic acid). Bila kadar
protein meninggi akan didapatkan warna putih keruh atau endapan putih dalam tabung
reaksi tersebut.
Pada uji Nonne, 0,5 ml LCS dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
sebelumnya telah diisi dengan 1 ml larutan amonium-sulfat jenuh. Bila kadar protein
LCS meningkat didapati cincin putih pada perbatasan kedua cairan tersebut.
Pada kesempatan selanjutnya ditentukan jumlah dan diferensiasi sel, kadar
protein, glukosa dan kuman dengan preparat langsung maupun kultur. Pada keadaan
normal LCS berwarna jernih seperti akuadest, tetapi pada neonatus bisa xantokrom.

32
Sel
Untuk menghitung jumlah sel LCS harus segar, harus sudah dihitung dalam
waktu 1 jam sesudah pungsi, karena jika terlalu lama sebagia sel menempel di dinding
tabung/botol, sebagian sudah lisis sehingga mempengaruhi perhitungan. Jumlah sel
leukosit normal pada bayi sampai umur 1 tahun adalah 10 sel/ µl, 1-4 tahun 8 sel/ µl,
reamaj dan dewasa 2,59 ± 1,73 leukosit /µl. Eritrosit biasanya tidak terdapat pada anak
dan orang dewasa, kecuali pada pungsi traumatik. Adanya sel neoplastik, plasmasit, sel
stem dan eosinofil dalam LCS selalu abnormal.
Sel eritrosit berlebihan dalam LCS menunjukkan adanya perdarahan atau pungsi
traumatik, untuk membedakannya segera lakukan pemutaran (centrifuge) dan
perhatikan supernatanya. Apabila supernatan berwarna xantokrom berarti perdarah
lama, jika jernih berarti pungsi traumatik.
Apabila terdapat peninggian jumlah sel dan terutama PMN, maka kemungkinan
pasien menderita meningitis bakterial, atau pada meningitis virus dini atau neoplasma.di
Bagian ilmu kesehatan anak FKUI dipakai patokan jumlah sel LCS normal pada anak
20/3 per µl dan pada neonatus minggu pertama 100/3 per µl, tetapi tergantung juga pada
keadaan klinis pasien dan diferensiasi sel.

Protein
Kadar protein normal 20-40 mg/dl. Kadar ini meningkat pada sindrom Guillain
Barre, tumor intrakranial atau intraspinal, perdarah intrakranial, penyakit degeneratif
dan meningitis.
Pada neonatus kadar protein agak lebih tinggi, yaitu 40-80 mg/dl pada umur 0-2
minggu, dan 30-50 mg/dl pada umur 2-4 minggu. Pada neonatus dengan berat badan
lahir rendah kadar protein lebih tinggi lagi rata-rata 100 mg/dl. Kadar protein yang
tinggi pada neonatus mungkin disebabkan oleh fungsi sawar darah otak yang belum
matang dan adanya perdarahan-perdarahan kecil saat partus.

Glukosa
Kadar normal glukosa dalam LCS antara ½ - 2/3 kadar glukosa plasma, biasanya
50-90 mg/dl. Bila memeriksa kadar glukosa LCS perlu pula ditentukan kadar glukosa
plasma dan kedua nilai ini dibandingkan. Bila kadar glukosa LCS kurang dari 50%
kadar glukosa plasma, maka dapat dikatakan bahwa kadar glukosa dalam LCS
merendah. Penurunan kadar glukosa dalam LCS didapati pada pasien dengan meningitis

33
bakterial, karsinomatosis selaput otak dan lain-lain.

Mikroorganisme
Pemeriksaan mikroorganisme perlu dilakukan yang pertama-tama dengan
pewarnaan gram. Dengan melihat bentuk kuman dan gram dapat diduga diagnosisnya
secara cepat. Biakan LCS dalam media dan uji sensitivitas terhadap obat dapat
menentukan kuman penyebab yang sebenarnya dan obat yang serasi.

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis Meningitis


Bakterialis yaitu darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan
elektrolit jika ada indikasi. Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis
dan menentukan etiologi:
- Didapatkan cairan keruh atau opalesens dengan Nonne (-)/(+) dan Pandy (+)/ (+
+).
- Jumlah sel 100-10.000/m3 dengan hitung jenis predominan polimorfonuklear,
protein 200-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Pada stadium dini jumlah sel dapat
normal dengan predominan limfosit.
- Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat tidak
spesifik.
Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan
pemberian antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai diagnostik
kecuali identifikasi kuman, itupun jika antibiotiknya senstitif). Jika memang kuat
dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan asalkan berhati-hati. Pemakaian
jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi terjadinya herniasi.
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan gejala
peningkatan tekanan intracranial oleh karena lesi desak ruang. Pemeriksaan CT-Scan
dengan kontras atau MRI kepala (pada kasus berat atau curiga ada komplikasi seperti
empiema subdural, hidrosefalus dan abses otak) Pada pemeriksaan elektroensefalografi
dapat ditemukan perlambatan umum.

34
Tabel. 3. Gambaran Cairan Serebrospinal pada meningitis berdasarkan agen
etiologinya 2

Diagnosis
Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala
dan tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan
adanya tanda rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada meningismus,
meningitis TBC dan meningitis aseptic. Hamper semua penulis mengatakan bahwa
diagnosis pasti meningitis hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan cairan
serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh Karena itu setiap pasien dengan kecurigaan
meningitis harus dilakukan pungsi lumbal.1
Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi pada
stadium dini dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya
didapatkan positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan yang
sebagian besar terdiri dari sel polimorphonuclear (PMN). Pada stadium dini didapatkan
jumlah sel hanya ratusan permilimeter kubik dengan hitung jenis lebih banyak limfosit
daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan sedemikian, pungsi lumbal perlu
diulangi keesokan harinya untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Keadaan seperti ini
juga ditemukan pada stadium penyembuhan meningitis purulenta. Kadar protein dalam
CSS meninggi. Kadar gula menurun tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa.
Kadar klorida kadang-kadang merendah.9
Dari pemeriksaan sediaan langsung dibawah mikroskop mungkin dapat
ditemukan kuman penyebab, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Diferensiasi kuman

35
yang dapat dipercaya hanya ditentukan secara pembiakan (kultur) dan percobaan
binatang. Tidak ditemukan kuman pada sediaan langsung bukanlah kontra-indikasi
terhadap diagnosis. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis yang tinggi
dengan pergeseran ke kiri (Shift to the left). Umumnya terdapat anemia megaloblastik.9

Diagnosis Banding
· Abses otak
· Encephalitis
· Herpes Simplex
· Herpes Simplex Encephalitis
· Neoplasma
· Kejang demam
· Subarachnoid Hemorrhage

Komplikasi
Kejang
Kejang merupakan komplikasi yang penting dan sering terjadi hampir 1 dari 5
pasien. Insidens lebih tinggi pada usia kurang dari 1 tahun, mencapai 40%. Pasien
meninggal akibat dari iskemik yang difus pada susunan saraf pusat atau dari komplikasi
sistemik. Walaupun dengan terapi antibiotik yang efektif, komplikasi neurologis tetap
terjadi pada 30% pasien.

Edema Serebral
Beberapa derajat dari edema serebral sering terjadi pada meningitis bakterial.
Komplikasi ini merupakan penyebab penting kematian.

Gangguan cairan dan elektrolit


Pada pasien meningitis bacterial kadang disertai dengan hipervolemia (edema),
oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena SIADH, sekresi
ADH berlebihan. Diagnosis ditegakkan dengan meninmbang ulang pasien, memeriksa
elektrolit serum, mengukur volume dan osmolaritas urin dan mengukur berat jenis urin.
Pengobatan dengan restriksi pemberian cairan, pemberian diuretic (furosemid). Pada
pasien berat dapat diberikan sedikit natrium.

36
Tuli
Kira-kira 5-30% pasien meningitis bacterial mengalami komplikasi tuli terutama
apabila disebabkan oleh S.penumoniae. Tuli konduktif disebabkan oleh karena infeksi
telinga tengah yang menyertai meningitis. Yang terbanyak tuli sensorineural. Tuli
sensorineural lebih sering disebabkan oleh karena sepsis koklear daripada kelainan
N.VIII. Gangguan pendengaran dapat dideteksi dalam waktu 48 jam sakit dengan
BAEP. Biasanya penyembuhan terjadi pada akhir minggu ke-2, tetapi yang berat
menetap.
Pemberian deksametason dapat mengurangi komplikasi gangguan pendengaran
apabila diberikan sebelum pemberian antibiotic dengan dosis 0,6mg/kgBB/hari
intravena diabgi 4 dosis selama 4 hari. Komplikasi lain berupa hidrosefalus, kejang,
hemiparesis, tetraparesis, dan retardasi mental. Pada hidrosefalus dikonsulkan ke
Bagian Bedah Saraf untung pemasangan pirau ventrikulo-peritoneal.

Tatalaksana
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis.
Idealnya kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum antibiotik
yang diberikan. Jika bayi yang baru lahir dengan ventilator dan penilaian klinis
menunjukkan pungsi lumbal mungkin berbahaya, dapat ditunda hingga bayi stabil.
Pungsi lumbal yang dilakukan beberapa hari pengobatan awal berikut masih
menunjukkan kelainan seluler dan kimia namun hasil kultur bisa negatif.8
Mencari akses intravena, dan pemberian cairan. Neonatus dengan meningitis
rentan untuk mengalami hiponatremia akibat SIADH. Perubahan ini elektrolit juga
berkontribusi terhadap timbulnya kejang, terutama selama 72 jam pertama penyakit.8
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder akibat edema serebral jarang pada
bayi. Monitor kadar gas darah dengan ketat untuk memastikan oksigenasi yang
memadai dan stabilitas metabolisme
Mri dengan gadoteridol, ultrasonografi, atau CT scan dengan kontras yang
dibutuhkan untuk menggambarkan kelainan intrakranial. Pediatric Academy Sociaties
merekomendasikan bahwa MRI dengan kontras harus dilakukan untuk neonatus dengan
komplikasi meningitis 7-10 hari setelah memulai pengobatan untuk memastikan bahwa
tidak ada penyulit yang terjadi. Semua bayi yang baru lahir sembuh dari meningitis haus
dinilai auditory avoked potential untuk skrining adanya ketulian.8 Pada bayi dan anak-
anak, manajemen meningitis bakteri akut melibatkan kedua terapi antimikroba yang

37
tepat dan terapi suportif. Semua pasien harus evaluasi audiotlogic setelah selesai terapi.
Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan
memeriksa tanda-tanda vital dan status neurologis dan balans cairan, menetapkan jenis
yang dan volume cairan, risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus menerima
cairan cukup untuk menjaga tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mm Hg, output urin
500 mL/m2/hari, dan perfusi jaringan yang memadai. Meskipun menghindari SIADH
adalah penting, mengurangi hidrasi pasien dan risiko penurunan perfusi serebral sama-
sama penting juga. Dopamin dan agen inotropik lain mungkin diperlukan untuk
mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang memadai.8
Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam dapat
diulang dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan
pemberian fenobarbital dengan dosis awal 10-20mg/kgBB IM, 24 jam kemudian
diberikan dosis rumatan 4-5mg/kgBB/hari. Apabila dengan diazepam intravena 2 kali
berturut-turut kejang belum berhenti dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-
20mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan dalam 1 menit jangan
melebihi 50 mg atau 1mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya 5mg/kgBB/hari diberikan 12-
24 jam kemudian. Bila tidak tersedia diazepam, dapat digunakan langsung
phenobarbital dengan dosis awal dan selanjutnya dosis maintenance.1

Terapi antibiotik
Neonatus
Antibiotik harus diberikan segera setelah terdapat akses vena pada pasien
dengan meningitis bakteri. Secara konservatif, pengobatan antimikroba awal atau inisial
terdiri dari ampisilin dan kombinasi aminoglikosida (ampisilin dan cefotaxime juga).
Jika S pneumoniae dicurigai, vankomisin harus ditambahkan. Terapi empiris awal untuk
penyakit late-onset pada bayi prematur harus mencakup agen antistaphylococcus dan
seftazidim, amikasin, atau meropenem.8
Ampisilin memiliki cakupan yang baik untuk coccus gram-positif, termasuk
streptococcus grup B, enterococcus, L monocytogenes, beberapa strain dari E coli, dan
jenis H influenzae B. Ampisilin juga dapat mencapai kadar yang adekuat dalam
likuor cerebrospinal (LCS).8 Aminoglikosida (misalnya, gentamisin, tobramycin,
amikasin) mempunyai aktivitas yang baik terhadap hampir kebanyakan basil Gram-
negatif, termasuk P. aeruginosa dan Serratia marcescens. Namun, aminoglikosida

38
hanya dapat mencapai kadar marginal pada cairan LCS dan ventrikel, bahkan
ketika meninges meradang. 8 Beberapa generasi ketiga sefalosporin mencapai kadar
yang baik dalam LCS dan telah muncul sebagai agen efektif terhadap infeksi gram
negatif. Seftriakson berkompetisi dengan bilirubin untuk pengikatan oleh albumin, dan
dosis terapeutik ceftriaxone menurunkan cadangan albumin dalam serum bayi baru lahir
sebesar 39%, dengan demikian, ceftriaxone dapat meningkatkan risiko ensefalopati
bilirubin, terutama pada bayi baru lahir beresiko tinggi. Seftriakson juga menyebabkan
sludging (lumpur) empedu. Tidak satupun dari sefalosporin memiliki aktivitas terhadap
L. monocytogenes dan enterococcus dan, karenanya, tidak boleh digunakan sebagai
agen tunggal untuk pengobatan awal. Kombinasi ampisilin dan sefalosporin generasi
ketiga diperlukan.
Jika patogen terbukti menjadi bakteri yang rentan ampisilin dengan low
minimum inhibitory concentration (MIC) ampisilin, maka ampisilin dapat dilanjutkan
sendiri. Cefotaxime dan ceftriakson juga mempunyai aktivitas yang baik terhadap
kebanyakan S.pneumoniae resisten penisilin. Baik vankomisin dan cefotaxime harus
diberikan pada pasien dengan meningitis S.pneumoniae sebelum hasil uji resistensi
antibiotik.
Diantara aminoglikosida, gentamisin dan tobramycin telah digunakan secara
ekstensif dalam kombinasi ampisilin. Meskipun kekhawatiran kadarnya pada LCS, agen
ini telah efektif bila dikombinasikan dengan antibiotik beta laktam untuk pengobatan
meningitis yang disebabkan oleh organisme seperti streptococcus gruo B dan
enterococcus yang sensitif. 8
Infeksi yang melibatkan Staphylococcus S, anaerob, atau P. Aeruginosa
mungkin memerlukan antimikroba lainnya seperti oksasilin, methicilin, vankomisin,
atau kombinasi dari seftazidim dengan aminoglikosida. Penetrasi LCS dan keamanan
agen antimikroba harus menetukan penggunaan.
Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama pengobatan, namun
pengobatan selama 10 hari-21 hari biasanya cukup untuk infeksi Streptococcus grup B.
Waktu yang lebih lama dibutuhkan untuk mensterilkan LCS dengan meningitis oleh
bacil gram negatif, dan biasanya diperlukan pengobatan selama 3-4 minggu.8
Lumbal pungsi ulangan diindikasi pada keadaan tidak adanya perbaikan klinis
atau meningitis yang disebabkan oleh strain S. Pneumonia yang resisten atau dengan
basil enterik gram negatif. Pada neonatus dengan meningitis basil negatif, pemeriksaan
CSS selama pengobatan diperlukan untuk memverifikasi kultur steril. Pemeriksaan

39
ulang terhadap CSS untuk pemeriksaan kimia dan kultur harus dilakukan 48-72 jam
setelah memulai pengobatan. Specimen labih lanjut diperlukan bila tidak didapatkan
sterilisasi ataupun perbaikan klinis.
Antibiotic Adminis Dose for birth Dose for Dose for Dose for
tration weight < 2000 birth weight birth birth weight
Route g and age 0-7 > 2000 g and weight < > 2000 g and
d age 0-7 d 2000 g and age > 7 d
age > 7 d

Penicilins
Ampicillin IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h
Penicillin-G IV 50,000 U q12h 50,000 U q8h 50,000 U q8h 50,000 U q6h
Oxacillin IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h
Ticarcillin IV, IM 75 mg q12h 75 mg q8h 75 mg q8h 75 mg q6h
Cephalosporins
Cefotaxime IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h
Ceftriaxone IV, IM 50 mg once 50 mg once 50 mg once 75 mg once
daily daily daily daily
Ceftazidime IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q8h
Tabel 4. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus
berdasarkan berat badan dan usia (mg/kg/dosis atau U/kg/dosis untuk
dosis tertinggi diantara rentang dosis) dan interval pemberian.8

Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik
untuk neonatus dengan meningitis bakterial sebagai berikut :11
· Umur 0-7 hari
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100
mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV atau
- Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5
mg/kgBB/hari setiap 12 ajm IV.
· Umur >7 hari
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5
mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV atau
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau
- Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV.

40
Bayi dan anak
Pemberian antibiotik yang cepat pasien yang dicurigai meningitis adalah
penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan melawan 3 patogen
umum: S pneumoniae, N. meningitidis, dan H. influenzae.8 Menurut Infectious
Diseases Society of America (IDSA) practice guidelines for bacterial meningitis tahun
2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone atau cefotaxime dianjurkan bagi
mereka yang dicurigai meningitis bakteri, dengan terapi ditargetkan berdasarkan
pada kepekaan patogen terisolasi. Kombinasi ini memberikan respon yang adekuat
terhadap pneumococcus yang resisten penisilin dan H. Influenza tipe B yang resisten
beta-laktam. Perlu diketahui, Ceftazidime mempunyai aktivitas yang buruk
terhadap penumococcus dan tidak dapat digunakan sebagai substitusi untuk
cefotaxime atau ceftriaxone.8
Oleh karena buruknya penetrasi vankomisin pada susunan saraf pusat, dosis
yang lebih tinggi 60 mg/kg/hari dianjurkan untuk mengatasi infeksi susunan saraf pusat.
Cefotaxime atau ceftriaxone cukup adekuat untuk pneumococcus yang peka. Namun,
bila S.pneumonia terisolasi mempunya MIC yang lebih tinggi untuk cefotaxime, dosis
tinggi cefotaxime (300 mg/kg/hari) dengan vankomisisn (60 mg/kg/hari) bisa menjadi
pilihan.8
Terapi dengan Carbapenem merupakan pilihan yang baik patogen yang resisten
sefalosporin. Meropenem lebih dipilih dibandingkan imipenem oleh karena resiko
kejang lebih rendah. Antibiotik lain seperti oxazolidinon (linezolid), masih dalam
penelitian. Fluorokuinolon dapat menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat
menggunakan antibiotik jenis lain atau gagal pada terapi sebelumnya.8
Pada pasien yang alergi beta-laktam (penisilin dan sefalospori) dapat dipilih
vankomisin dan rifampisin untuk kuman S.pneumoniae. Kloramfenikol juga
direkomendasikan pada pasien dengan meningitis meningococcal yang alergi beta-
laktam.8
Penilaian LCS pada akhir terapi tidak dapat memprediksi akan terjadinya relaps
atau rekrudesensi dari meningitis. H.influenzae tipe B dapat menetap pada sekret
nasofaring walopun setelah terapi meningitis. Untuk alasan tersebut, pasien harus
diberikan Rifampisin 20 mg/kg dosis single selama 4 hari bila anak dengan resiko tinggi
tinggal di rumah ataupun pusat penitipan anak. N.meningitidis dan S.pneumoniae
biasanya dapat di eradikasi dari nasofaring setelah terapi meningitis berhasil.8
Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi

41
dan anak dengan meningitis bakterial sebagai berikut : 10
· Usia 1 – 3 bulan :
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim
200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
· Usia > 3 bulan :
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +
Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil
kultur dan resistensi.
Durasi pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of
bacterial meningitis adalah sebagai berikut :8
· N meningitidis - 7 hari
· H influenzae - 7 hari
· S pneumoniae - 10-14 hari
· S agalactiae - 14-21 hari
· Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu
· L monocytogenes - 21 hari atau lebih

Terapi Deksametason
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis bakterial
yang menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi, penurunan
edema serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan kerusakan otak.8
Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H.infulenzae tipe
B yang mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan insidens
gejala sisa neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki gangguan
pendengaran. Oleh karena itu IDSA merekomendasikan penggunaan deksametason
pada kasus meningits oleh H.influenza tipe B 10 – 20 menit sebelum atau saat
pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 – 0,6 mg/kg setiap 6 jam selama 2-4 hari.1,8
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP.
Oleh karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang berdasarkan kasus,
resiko dan manfaatnya.8

42
Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti
empiema subdural, abses otak, atau hidrosefalus.10

Pencegahan 13
Melakukan imunisasi yang direkomendasikan tepat waktu dan sesuai jadwal
merupakan pencegahan terbaik. Menjalani kebiasaan hidup sehat, seperti istirahat yang
cukup, tidak kontak langsung dengan penderita lain juga dapat membantu. Bila hamil,
resiko meningitis oleh bakteri Listeria (listeriosis) dapat dikurangi dengan memasak
daging dengan benar, hindari keju yang terbuat dari susu tanpa pasteurisasi.
Berikut beberapa vaksin untuk tiga bakteri penyebab meningitis: Neisseria
meningitidis, Streptococcus pneumoniae and Haemophilus influenzae type b (Hib):

Vaksin Meningococcus
Terdapat dua macam vaksin untuk Neisseria meningitidis yang tersedia di
America Serikat. Vaksin Meningococcus polisakarida (Menomune®). Vaksin
Meningococcus conjugate, Menactra® and Menveo®. Vaksin Meningococcus tidak
dapat mencegah semua tipe penyakit, namun dapat memberikan proteksi orang-orang
yang dapat sakit jika tidak diberi vaksin. Vaksin meningococcus conjugate di
rekomendasikan rutin untuk orang berusia 11 – 18 tahun dan anak serta dewasa yang
mempunyai resiko tinggi.

Vaksin Pneumococcal
Terdapat dua tipe dari vaksin pneumococcus yang tersedia : Vaksin polisakarida
dan konjugasi. Vaksin pneumococcus konjugasi, PCV7 (Prevnar®), yang diproduksi
akhir tahun 2000, merupakan vaksin pertama yang digunakan untuk anak-anak usia
kurang dari 2 tahun. PCV13 (Prevnar 13®), diproduksi awal tahun 2010, menggantikan
PCV7. Vaksin pneumococcus sebagai pencegahan penyakit pada anak-anak usia 2
tahun atau lebih dan dewasa sudah digunakan sejak tahun 1977. Pneumovax®, 23-
valent polysaccharide vaccine (PPSV) di rekomendasikan untuk dewasa usia 65 tahun
atau lebih, untuk usia 2 tahun atau lebih yang mempunyai resiko tinggi penyakit
Pneumococcus (termasuk penyakit sel sabit, infeksi HIV, atau kondisi
imunokompromais, dan untuk usia 19-64 tahun yang merokok dan mempunyai asma.
43
Vaksin Hib
Vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib) mempunyai efektivitas yang tinggi
melawan meningitis bakterial oleh bakteri Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin Hib
dapat mencegah can prevent pneumonia, epiglottitis, dan infeksi serius lainnya yang
disebabkan oleh bakteri Hib. Vaksin ini di rekomendasikan untuk semua anak usia
kurang dari 5 tahun di Amerika Serikat, dan biasa diberikan pada bayi mulai usia 2
bulan. Vaksin Hib dapat dikombinasikan dengan vaksin lainnya.

Prognosis
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain
umur pasien, jenis mikroorganisme, berat ringannya infeksi, lamanya sakit sebelum
mendapat pengobatan, kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan.
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir yang
menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai DIC
mempunyai prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun kurang
adekuat dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Infeksi yang
disebabkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik bersifat fatal.
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang adekuat
dan pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat diturunkan.
Walaupun kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram negatif masih
sulit diturunkan, tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti
H.influenzae, pneumokok dan meningokok angka kematian dapat diturunkan dari 50-
60% menjadi 20-25%. Insidens sequele Meningitis bakterialis 9-38%, karena itu
pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan setelah pulang, selain
pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan dengan temuan
klinis pada saat itu.1,9

B. Pneumonia
Definisi

44
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. sebagian besar oleh
mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi,
radiasi, dll)

Etiologi
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis dan
strategi pengoatan. Spektrum mikroorganisme penyabab pada neonatus dan bayi kecil
berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi
kecil meliputi Streptococcus gurp B dan bakteri Gram negatif seperti E.colli,
Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita,
pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus
influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar
dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma
pneumoniae. Dinegara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus,
disamping bakteri, atau campuran bakteri virus. (tabel 1)

Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas


pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor resiko tersebut adalah:
pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah, tidak mendapat
imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya
prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap
polusi udara (polusi industri atau asap rokok).14

Tabel 1. Etiologi pneumonia menurut umur


Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir – 20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri an aerob
Streptococcus grup B Haemophillus influenza
Listeria monocytogenes Streptococcus pneumonia
Ureaplasma urealyctims
Virus
3 minggu -3 bulan Bakteri Bakteri
Chalmydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumonia Haemophilus influenza tipe
B
Virus Moraxella cathralis
Virus adeno Staphylococcus aureus
Virus influenza Ureaplasma urealyctims
45
Respiratory syncytial virus Virus
Virus parainfluenza 1,2,3 Virus sitomegalo
4 bulan – 5 tahun Bakteri Bakteri
Chalmydia trachomatis Haemophilus influenza tipe
B
Streptococcus pneumonia Moraxella cathralis
Mycoplasma pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus Neisseria meningitidis
Virus adeno virus
Virus influenza Virus varisela-Zoster
Respiratory syncytial virus
Virus rinovirus
parainfluenza
5 tahun- remaja Bakteri Bakteri
Chalmydia trachomatis Haemophilus influenza tipe
B
Streptococcus pneumonia legionella
Mycoplasma pneumoniae Staphylococcus aureus
virus
Virus adeno
Virus influenza
Respiratory syncytial virus
Virus rinovirus
parainfluenza
Virus Epstein-Barr
Virus Varisela Zoster

Epidemiologi
Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak
balita meningal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional 2001, 27% kematian bayi, 22,8%
kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori, terutama
pneumonia.14

Patofisiologi
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena
mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema
dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hapatisasi merah.
Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di

46
alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi
kelabu. Selanjutnya jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami
degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium
resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.

Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit,


sehingga stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri
tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan
bakteri lain. Infeksi streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-
bercak konsolidasi merata di seluruh lapang paru (bronkopneumonia), dan pada anak
besar atau remaja dapat berupa konsolidasi pada saru lobus (pneumonia lobaris).
Pneumatokel atau abses-abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada
neonatus atau bayi kecil, karena Staphylococcus aureus menghasilakan berbagai toksin
dan enzim seperti hemolisis, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim
ini menyebabkan nekrosis, pendarahan, dan kavitas. Koagulase berinteraksi dengan
faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi
fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi
koagulase dan virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase
jarang menimbulkan penyakit yang serius. Pneumatokel dapat menetap hingga
berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut.14

Manifestasi klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga
sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yan gberat, mengancam
kehidupan, dan mungkinkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah
imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yag luas, gejala klinis
yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur
diagnostik invasif, etiologi non infeksi yang relatif lebih sering dan faktor patogenesis.
Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan
karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana
pneumonia.

47
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

 Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan napsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmuner
 Gejala gangguan respiratori untuk batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

Pada pemeriksaan dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas
melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda
pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi
paru umumnya tidak ditemukan kelainan.14

Pasien biasanya mengalami demam tinggi, batuk, gelisah, rewel, dan sesak nafas. Pada
bayi, gejalanya tidak khas, seringkali tanpa demam dan batuk. Anak besar kadang
mengeluh sakit kepala, nyeri abdomen disertai muntah.15

Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu.
Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis.
Pada bayi-bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat
adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.

Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non
produktif/produktif), takipneu, dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada.
Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non
produktif/produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pada semua
kelompok umur, akan dijumpai adanya nafas cuping hidung.

Pada auskultasi, dapa terdengar suara pernapasan menurun. Fine creackles (ronki basah
halus) yang khas pada anak besar, bisa tidak ditemukan pada bayi. Gejala lain pada anak
besar adalah dull (redup) pada perkusi, vokal fremitus menurun, suara nafas menurun,
dan terdengar fine creakles (ronkhi basah halus) di daerah yang terkena. Iritasi pleura
akan mengakibatkan nyeri dada; bila berat gerakan dada menurun waktu inspirasi, anak
berbaring ke arah yang sakit dengan kaki fleksi. Rasa nyeri dapat menjalar ke leher,
bahu dan perut.15

48
Diagnosis kerja
pneumonia pada anaka umunya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang
menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling
kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori
berikut: takipnea, batuk, nafas cuping hidung, retraksi, ronki dan suara nafas melemah.
Tandan bahaya pada anak:13,16

1. Usia 2 bulan – 5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor, dan gizi buruk
2. Tanda bahaya pada aak berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang,
kesadaran menurun, stridor, mengi dan demam/badan terasa dingin.

Berikut adalah kalsifikasi pneumonia berdasarkan pedoman diagnosis dari WHO

Usia 2bulan – 5 tahun

 Pneumonia berat:
- Bila ada sesak nafas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
 Pneumonia
- Bila tidak ada sesak nafas
- Ada nafas cepat dengan laju nafas:
 >50x/menit untuk anak usia 2 bulan-1 tahun
 >40x/menit untuk anak >1-5 tahun
- Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
 Bukan pneumonia
- Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas
- Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan
simtomatis seperti penurun panas
Usia < 2 bulan
 Pneumonia
- Bila ada nafas cepat (>60x/menit) atau sesak nafas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
 Bukan pneumonia
- Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas

49
- Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis.15,16

Diagnosis banding
1. Bronkiolitis
Gejala awal berupa gejala infeksi respiratori atas akibat virus, seperti pilek
ringan, batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang
disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis,
merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan penurunan
nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis
bronkiolitis adalah adanya takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu diatas 38,5
derajad celcius. Selain itu, dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan dan
faringitis. Obstruksi saluran respiratori bawah akibat respon inflamasi akut akan
menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha
pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan
napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan
ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. sianosis dapat terjadi dan bila gejala
menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia 6 minggu.

Pada rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat, tetapi


gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral
atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama
pada saat konvalesens akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang
menyumbat, air trapping, diafragma datar dan peningkatan diameter antero-
posterior.

Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu


pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan
kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen
minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah
digunakan bronkodilator, anti-inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti
ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline, atau
humanized RSV monoclonal antibody (palivizumab).17

2. Bronkitis

50
Bronkitis akut adalah proses inflamasi selintas yang mengenai trakea, bronkus
utama dan menengah yang bermanifestasi sebagai batuk, serta biasanya akan
membaik tanpa terapi dalam 2 minggu. Pemeriksaan auskultasi dada biasanya
tidak khas pada stadium awal. Seiring perkembangan dan progresivitas batuk,
dapat terdengar berbagai macam ronki, suara napas yang berat dan kasar,
wheezing, ataupun suatu kombinasi. Hasil pemeriksaan radiologis biasanya
normal atau didapatkan peningkatan corakan bronkial. Pada umumnya, gejala
akan menghilang dalam 10-14 hari. Bila tanda-tanda klinis menetap hingga 2-3
minggu, perlu dicurigai adanya proses kronis. Selain itu, dapat juga terjadi
infeksi bakteri sekunder.17

Pemeriksaan penunjang
1. Darah perifer lengkap
pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya
ditemukan leukosit dalam batas normal ataus sedikit meningkat. Akan tetapi,
pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-
40.000/mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia (>5.000/mm3) menunjukan
prognosis yang buruk. Leukositosis hebat (< 3.000/ mm 3) hampir selalu
menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteriemi,
dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Chalmydia
pneumoniae kadang-kadang ditemukan eosinofiilia. Efusi pleura merupakan
cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300-100.000/mm3, protein >2,5
g/dl, dan glukosa relatif lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang-kadang
terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara
umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat
membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.
2. C- Reactive Protein (CRP)
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi
oleh sitokin, terutama inteleukin (IL) -6, IL-1, dan TNF. Meskipun fungsi
pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi
mikroorganisme atau sel yang rusak. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada
infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda.
CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.

51
3. Uji serologi
Uji serologi untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis
infeksi streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer
antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Peningkatan
titer dapat juga berarti adanya infeksi terdahulu. Untuk konfirmasi diperlukan
serum fase akut dan serum fase konvalesen
4. Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di Rs. Untuk pemeriksaan
mikrobiologis spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. diagnosis dikatakan
definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.
kecuali pada masa neonatus, kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur
darah jarang yang positif. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang
mengandung lebih dari 25 lekosit dan kurang dari 40 sel epitel/ lapangan pada
pemeriksaan mikroskopis dengan pemebesaran kecil.
5. Rontgen toraks
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia
di Instalasi gawat darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Posisi
lateral tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakan diagnosis
pneumonia pada anak. Foto AP lateral hanya dilakuakan pada pasien dengan
tanda dan gejala klinik distress pernapasan.
Gambaran foto rongen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan
pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. pada suatu penelitian
ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan,
terutama lobus atas. Bila ditemukan di paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah,
maka hal itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan
resiko terjadinya pleuritis lebih meningkat.
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan
etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat intersisial merata dan
hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa
konsolidari segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air bronchogram sangat
mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia stafilokokus sering

52
ditemukan abses-abses kecil dan pneumatokel dengan berbagai ukuran. Jika
terdapat gambaran retikonodular fokal pada satu lobus, hal ini cenderung
disebabkan oleh infeksi mikoplasma. Demikian pula bila terlihat gambaran
perkabutan atau ground glass consolidation, serta transient pseudoconsolidation
karena infiltrat intersisial yang konfluens, patut dipertimbangkan adanya infeksi
mikoplasma.14

Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap.indikasi perawatan
terutama berdasarkan terat ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan,
tidak mu makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lina, komplikasi dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah
pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan
suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam-basa, elektrolit dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat
diberikan analgetik/antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. Penyakit
penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat, kompilasi yang mungkin terjadi harus
dipantau dan diatasi.

Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.


Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga
disebabkan oleh bakteri. Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat
dilakukan karena tidak tersedianya uji mikroniologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik
dipilih berdasarkan pengalaman empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris
didarkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan
keadaan klinis pasien serta faktor epidemiologis (tabel 2).14

 Pneumonia rawat jalan


Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotika lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan,
dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%.
Penelitian multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada pneumonia rawat jalan,
pemberian amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali sehari mempunyai efektifitas
yang sama. Dosis amoksisilin yang diberikan 25mg/kgBB, sedangkan

53
kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB TMP-20mg/kgBB sulfametoksazol). Makrolid,
baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan sebagai terapi alternatif
beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya
aktivitas ganda terhadap S. pneumoniae dan bakteri atipik.

 Pneumonia rawat inap


Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan beta-laktam
atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta laktam dan
kolramfenikol dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau
sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotik
diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi,
meskipun tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi antibiotik yang optimal.
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai
sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis
dan meningitis, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas
seperti kombinasi beta laktam/klavulonat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin
generasi ketiga. Bila keadaan sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik
oral selama 10 hari.

Pada balita dan anak lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik
beta-laktam/klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberika beta laktam/klavulanat
dikombinasikan dengna makrolid baru intravena, atau sefalosporin generasi ketiga.
Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti dengan
antibiotik oral dan berobat jalan.14

Pada pneumonia rawat inap, berbagai RS di Indonesia memberikan antibiotik beta


laktam, ampisilin, atau amoksisilin, dikombinasikan dengan kloramfenikol.

Tabel 2. Tatalksana pneumonia menurut etiologinya

Pathogen Rekomendasi terapi Terapi alternative


Streptococcus
pneumonia Seftriakson, sefoktaksim, Sefuroksimaxetil,
penisilin G atau penisilin eritromisin, klindamisin, atau
V vaksomisin.

54
Streptococcus grup A
Penisilin G Sefuroksimaxetil,
eritromisin, sefuroksim
Streptococcus grup B
Penisilin G
Haemophilus influenza
tipe B Seftriekson, sefotaksim, Sefuroksimaxetil,,sefuroksim
ampisilin-sulbaktam, atau
ampisilin

Bakteri aerob gram Sefotaksim dengan Piperacilin-tazobactam


negatif ataupun tanpa ditambah sediaan
aminoglikosida aminoglikosid

p. aeroginosa Seftazidim dengan Piperacillin-tazobactam


ataupun tanpa ditambah sediaan
aminoglikosida aminoglikosida

Staphylococcus aureus Nafsilin, sefazolin, Vankomisin (untuk MRSA)


klindamisin (untuk
MRSA)

Chelydophilis Eritromisin, azitromisin Doksisiklin (<9 tahun),


pneumonia atau klaritomisin florokuinolon (>18 tahun)

Chalmydia trachomatis Eritromisin, azitromisin,


atau klaritomisin

Herpes simplex virus asiklovir

Komplikasi
komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta,
pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmuner seperti meningitis purulenta. Empiema
torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri

Ilten F dkk. Melaporkan mengenai komplikasi miokarditis yang cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang
fatal, maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG,
ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim.14
Prognosis
Pada umumnya anak akan sembuh dari pneumonia dengan cepat dan sembuh sempurna,
walaupun kelainan radiologi dapat bertahan selama 6-8 minggu sebelum kembali ke
55
kondisi normal. Pada beberapa anak, pneumonia dapat berlangsung lebih lama dari 1
bulan atau dapat berulang. Pada kasus seperti ini keumgnkinan adanya penyakit lain
yang mendasari harus dinvestigasi lebih lanjut, seperti dengan uji tuberkulin,
pemeriksaan hidroklorida keringat untuk penyakit kistik fibrosis, pemeriksaan
imunoglobulin serum dan determinasi sub kelas IgG, bronkoskopi untuk identifikasi
kelaianan anatomis atau mencari benda asing, dan pemeriksaan barium meal untuk
refluks gastroeusofageal.18

Pencegahan
Vaksin influenza yang diberikan tiap tahun dianjurkan untuk seluruh anak berusia 6
bulan- 18 tahun. Bayi 6 bulan sampai dengan anak usia 5 tahun memiliki risiko tinggi
terjadinya komplikasi dari influenza yang dilemahkan dapat diberikan pada pasien 2-49
tahun. Beberapa vaksin trivalen telah memiliki lisensi untuk digunakan sejak berusia 6
bulan. vaksinasi universal sejak masa kanak-kanak dengan vaksinasi H. Influenza tipe B
terkonjungasi dan S.pneumonia telah menurunkan insidens terjadinya pneumonia secara
bermakna. Keparahan suatu infeksi RSV dapat dikurangi dengan menggunakan
palivisumab pada pasien yang beresiko tinggi.18

Upaya mengurangi durasi ventilasi mekanik dan pemberian antibiotik dengan bijaksana
dapat menurunkan pneumonia akibat ventilator. Tempat tidur pada bagian kepala harus
dinaikan setinggi 30-45 derajad pada pasien terintubasi untuk meminimalisasi risiko
aspirasi dan semua instrumen penghisap lendir dan cairan saline harus steril. Cuci
tangan baik sebelum dan setelah kontak dengan setiap pasien dan menggunakan sarung
tangan steril ketika menggunakan prosedur invasif sangat penting untuk mencegah
terjadinya penularan infeksi nosokomial. Staf rumah sakit yang mengalami penyakit
respiratori atau menjadi pembawa penyakit tertentu seperti MRSA (methicillin-resisten
S.aureus) harus mematuhi kebijakan pengendalian infeksi untuk mencegah transmisi
penyakit kepada pasien. Sterilisasi peralatan sumber aerosol (misalnya alat pendingin
udara) dapat mencegah terjadinya pneumonia Legionella.18

Untuk mencegah pneumonia perlu partisipasi aktif dari masyarakat atau keluarga
terutama ibu rumah tangga, karena pneumonia sangat dipengaruhi oleh kebersihan di
dalam dan di luar rumah. Pencegahan pneumonia bertujuan untuk menghindari
terjadinya penyakit pneumonia pada balita. Berikut adalah upaya untuk mencegah
terjadinya penyakit pneumonia :

56
1. Perawatan selama masa kehamilan
Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah, perlu gizi ibu selama
kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi yang cukup bagi kesehatan ibu dan
pertumbuhan janin dalam kandungan serta pencegahan terhadap hal-hal yang
memungkinkan terkenanya infeksi selama kehamilan.
2. Perbaikan gizi balita
Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan karena malnutrisi,
sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI pada bayi neonatal sampai umur 2
tahun. Karena ASI terjamin kebersihannya, tidak terkontaminasi serta mengandung
faktor-faktor antibodi sehingga dapat memberikan perlindungan dan ketahanan
terhadap infeksi virus dan bakteri. Oleh karena itu, balita yang mendapat ASI secara
ekslusif lebih tahan infeksi dibanding balita yang tidak mendapatkannya.
3. Memberikan imunisasi lengkap pada anak
Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi yang
memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak umur 9 bulan, imunisasi DPT
(Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan dan 4
bulan.
4. Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk.
Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang sesuai untuk
mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa menjadi batuk yang disertai dengan
napas cepat/sesak napas.
5. Mengurangi polusi didalam dan diluar rumah
Untuk mencegah pneumonia disarankan agar kadar debu dan asap diturunkan
dengan cara mengganti bahan bakar kayu dan tidak membawa balita ke dapur serta
membuat lubang ventilasi yang cukup. Selain itu asap rokok, lingkungan tidak
bersih, cuaca panas, cuaca dingin, perubahan cuaca dan dan masuk angin sebagai
faktor yang memberi kecenderungan untuk terkena penyakit pneumonia.
6. Menjauhkan balita dari penderita batuk.
Balita sangat rentan terserang penyakit terutama penyakit pada saluran pernapasan,
karena itu jauhkanlah balita dari orang yang terserang penyakit batuk. Udara napas
seperti batuk dan bersin-bersin dapat menularkan pneumonia pada orang lain.
Karena bentuk penyakit ini menyebar dengan droplet, infeksi akan menyebar
dengan mudah. Perbaikan rumah akan menyebabkan berkurangnya penyakit saluran
napas yang berat. Semua anak yang sehat sesekali akan menderita salesma (radang

57
selaput lendir pada hidung), tetapi sebagian besar mereka menjadi pneumonia
karena malnutrisi.14,16,18

BAB IV
PENUTUP

58
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pada pasien didapatkan meningitis bacterial dan pneumonia ec
staphylococcus haemolyticus.

B. Saran
Keluarga pasien disarankan untuk melakukan pemantauan pada pasien
terhadap berbagai kemungkinan gejala yang dapat terjadi pada pasien dan
dilakukan pemeriksaan lab ulang untuk monitoring.

BAB V

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS,


Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h.
40-6, 339-71
2. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview. Diakses 20 Maret
2020.
3. Tan TQ. Meningitis. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting.
Pediatric Hospital Medicine, textbook of inpatient management. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins; 2003. h. 443-6.
4. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35461/1/anatomi-mega2.pdf.
Diakses 20 Maret 2020
5. Anonymous. Meningitis. Center for Disease Control and Prevention. Updated:
August 6th, 2009 Available from :
http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html. Diakses 20 Maret 2020
6. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier
saunders; 2005. h. 106-13.
7. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman,
Jenson, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders; 2004. h. 2038-47.
8. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11 th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Diakses 20 Maret
2020
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2.
Jakarta: Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
10. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jilid 1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.
11. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 – 208.
12. Cordia W,dkk. Meningitis Viral. Updated: Mar 29th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview. Diakses 20 Maret

60
2020.
13. Anonymous. Meningitis. Center for Disease Control and Prevention. Updated:
August 6th, 2009 Available from :
http://www.cdc.gov/meningitis/about/prevention.html. Diakses 20 Maret 2020
14. Rahajoe N, Supriyanto B, setyanto D. Respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta:
IDAI; 2013
15. Santoso M, Kurniadhi D, Tandean M, Oktavia E, Ciulianto R. Panduan
kepanitraan klinik pendidikan dokter. Jakarta: FK Ukrida; 2009
16. Yayasan penyantun anak asma Indonesia. Manajemen kasus respirologi anak
dalam praktek sehari-hari. Jakarta: YAPNAS SUDDHAPRANA; 2007
17. Meadow R, Newell S. Lecture notes pediatrika. Edisi ke-7. Jakarta: Erlangga;
2005
18. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson ilmu kesehatan
anak esensial. Edisi ke-6. Singapura: Elsevier; 2014

61

Anda mungkin juga menyukai