Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2020


UNIVERITAS PATTIMURA

Kejang Demam Kompleks, Bronkopneumonia, Sepsis, Gizi Buruk, & Cerebral


Palsy

Disusun oleh:

Rezky Nugraha Putra Salampessy


2018-84-005

Pembimbing:

dr. Vivianty Hartiono, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena

atas hikmat dan cinta kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan

judul “Kejang Demam Kompleks, Bronkopneumonia, Sepsis, Gizi Buruk, &

Cerebral Palsy” dengan baik untuk memenuhi persyaratan dalam stase Ilmu

Kesehatan Anak, sekaligus sebagai bahan bacaan yang memberikan kontribusi positif

bagi koass dalam menambah pengetahuan.

Penulis menyadari sungguh bahwa laporan kasus ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan banyak kritik dan saran yang

membangun untuk perkembangan penulisan di waktu yang akan datang.

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih dan semoga laporan kasus ini dapat

diterima dan bermanfaat bagi semua pihak.

Ambon, Januari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii

BAB I LAPORAN KASUS .......................................................................................... 1

BAB II DISKUSI ........................................................................................................ 15

1. Kejang Demam Kompleks ............................................................................... 15

2. Bronkopneumonia ............................................................................................ 19

3. Sepsis ............................................................................................................... 23

4. Gizi Buruk ........................................................................................................ 25

5. Cerebral Palsy .................................................................................................. 26

BAB III KESIMPULAN ............................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 31

iii
iv
1

BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : An. VM
Tanggal lahir : 8 April 2019
Umur : 8 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Buru
Tanggal MRS : 15/12/2019, pukul 22.00 WIT
Agama : Islam
Tanggal periksa : 15/12/2019

B. Anamnesis : Alloanamnesis (Ibu pasien)


 Keluhan utama : Kejang
 Riwayat penyakit sekarang:
Pasien merupakan rujukan dari RS Namalea dengan rujukan kejang

Demam Kompleks, Sepsis, dengan Cerebral Palsy. Keluhan awal ialah demam,

demam ± 2 minggu. Demam yang dirasakan terus-menerus, tanpa disertai adanya

perdarahan dan penurunan kesadaran, kemudian terjadi kejang yang diawali pada

tangan kemudian ke seluruh tubuh, ≥ 15 menit, dan berulang dalam 24 jam.

Kejang tanpa disertai muntah, keluhan lainnya yaitu batuk, batuk ± 1 minggu,

hilang-timbul, batuk berlendir, tanpa adanya bercak darah, dan tanpa adanya

beriggus serta adanya penurunan berat badan. Penurunan berat badan, yang

awalnya berat badan bayi mencapai 6 kg. Minum baik, BAB dan BAK dalam

batas normal.
2

 Riwayat Penyakit Dahulu : Bayi lahir secara normal ditolong dukun, pernah
dirawat dengan keluhan kejang akibat adanya infeksi tali pusar. Adanya riwayat
kuning yang telah diatasi dengan fototerapi.
 Riwayat Penyakit Keluarga: Kedua orang tuanya saat ini masih hidup dan
dalam keadaan sehat
 Riwayat kebiasaan/sosial: Pasien berasal dari keluarga menengah-kebawah,
ayah pasien seorang wiraswasta, dan ibunya bekerja sebagai honorer. Pasien
merupakan anak pertama. Pekerjaan rumah tangga, seperti memasak masih
memakai metode tungku.

 Riwayat imunisasi:
Jenis Imunisasi Jumlah Belum pernah Tidak tahu

BCG 1x
Hepatitis 4x
Polio 4x
DPT 3x
Campak √
HiB 3x
IPD/Pneumokokus √
Varicella √
Thphoid √
Lain-lain √

 Riwayat tumbuh kembang: Tidak normal seperti anak seusianya. Bayi lahir
dengan berat badan 2.600, bayi didagnosis Cerebral Palsy.
 Pemeriksaan fisik
 Status Generalis
Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis GCS : E4V5M6 = 15
 Tanda-tanda vital:
Nadi : 123 x/menit
Pernapasan : 38 x/menit
3

Suhu : 38,4°C
SpO2 : 99% tanpa O2

 Status gizi: Buruk


Umur : 8 Bulan
Berat Badan : 4.5 Kg
Panjang Badan/ Tinggi Badan : 26 cm
BB/U : < - 3 SD

Tabel Z-Score. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak


4

Kepala : Normocephal Lingkar kepala: 40 cm


- Mata: CA (-/-), SI (-/-), Edema (-), Reflek pupil isokor (+/+), Strabismus (-/+)
- Bibir: sianosis (-)
- Mulut: sariawan (-)
- Lidah: kotor (-)
- THT : Pernapasan cuping hidung (-), Rhinore (-), Otore (-), nyeri
tarik/tekan (-/-), Tonsil T1/T1, Hiperemis (-)
- KGB : Pembesaran (-)
Dada : normochest, simetris
Paru-paru:
- Lingkar dada: 38 cm
- Inspeksi: pergerakan kedua dinding dada simetris kanan-kiri, retraksi (-)
- Palpasi: nyeri tekan (-), krepitasi (-), massa (-)
- Perkusi: sonor (+/+)
- Auskultasi: Bronkovesikuler (+/+), Bunyi napas rhonki (+/+), wheezing (-/-)
Jantung: BJ I & II Reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
- Lingkar perut : 33 cm
- Inspeksi: Datar
- Auskultasi: Bising usus (+) kesan normal
- Palpasi: supel, nyeri tekan (-), distensi (-), organomegali (-)
- Perkusi: timpani
Genitalia: dalam batas normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-), tonus otot normal, LLA : 11cm
Pemeriksaan Neurologi :
- Refleks Fisiologis : KPR (+), APR (+)
- Reflex Patologis : (-)
- Nervus Kranialis : Dalam batas normal
5

- Tanda Rangsangan Meningeal : Kaku kuduk (-), Kernig sign (-), Brudsinki I-
IV (-)

C. Foto Pasien
6

D. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium tanggal 11/12/2019 RSU, Namlea


7

Hasil Laboratorium tanggal 15/12/2019 RSU Haulussy, Ambon


8

Hematologi (11/09/2019)
Jenis pemeriksaan Nilai Nilai Rujukan
Eritrosit 4,85x106/mm3 3,5-5,5x106/mm3
Hemoglobin 11,6 g/ dl 14-18 g/dl
Hematokrit 33,2% 40-52%
MCV 74 µm3 80-100 µm3
Trombosit 256.000 /mm3 150.000-400.000 /mm3
Leukosit 8.320 /mm3 5.000-10.000 mg/dl

Hematologi (15/12/2019)
Jenis pemeriksaan Nilai Nilai Rujukan
Eritrosit 4,96x106/mm3 3,5-5,5x106/mm3
Hemoglobin 12,2 g/ dl 14-18 g/dl
Hematokrit 35,9% 40-52%
MCV 72 µm3 80-100 µm3
Trombosit 251.000 /mm3 150.000-400.000 /mm3
Leukosit 7.5x103 /mm3 5.000-10.000 mg/dl

E. Resume
Bayi laki-laki usia 8 bulan masuk Rumah Sakit dengan rujukan dari RS

Namlea dengan rujukan kejang Demam Kompleks, Sepsis, dengan Cerebral

Palsy. Sebelumnya memiliki riwayat demam yang lama (± 1 minggu), setelah

demam terjadi kejang, kejang yang diawali pada tangan kemudian ke seluruh

tubuh, ≥ 15 menit, dan berulang dalam 24 jam. Keluhan lainnya yaitu batuk,

batuk ± 1 minggu, hilang-timbul, batuk berlendir, tanpa adanya bercak darah, dan

tanpa adanya beriggus, adanya penurunan berat badan. Penurunan berat badan,

yang awalnya berat badan bayi mencapai 6 kg. Memiliki riwayat dirawat Rumah

Sakit akibat adanya infeksi pada tali pusar dan kuning seluruh tubuh.
9

Pada pemeriksaan fisik ditemukan gizi buruk (Z- Score < - 3 SD) dan bunyi

nafas rhonki (+/+). Keluarga ayah dan ibu sehat, riwayat imunisasi baik,

Pekerjaan rumah tangga, seperti memasak masih memakai metode tungku.

Hasil pemeriksaan darah, darah rutin tanggal 15/12/2019, Hemoglobin 12.2

g/dl, Leukosit 7.5x 103/mm3, Trombosit 251x103/mm3, HCT 35.9%.

F. Diagnosis kerja
- Kejang Demam Kompleks
- Bronkopneumonia
- Sepsis
- Gizi Buruk
- Cerebral Palsy

G. Tatalaksana
- IVFD RL 28 tpm/ makro
- Observassi Oksigen (1- 0.5 lpm)
- Drip Fenitoin 45 mg (maintenance) dalam Nacl 0.9% 50 cc
- Cefotaxim 3x 150 mg/IV
- Paracetamol drops 3x 0.4 cc
- Ambroxol 3x 0.2 cc

H. Prognosis
- QuoAd functionam: Dubia ad malam
- QuoAd vitam: Dubia
- QuoAd sanationam: Dubia ad bonam
10

I. Follow up
Pasien ini dirawat selama 5 hari perawatan.
Tanggal / Hari
SOA PLANNING
perawatan
16 / 09 / 2019 S : bayi tenang, cukup aktif, batuk - IVFD RL 28 tpm/ makro
H +1 lendir hilang-timbul (+), Demam (+). - Drip Fenitoin 45 mg
Kejang (-), minum baik, BAB/BAK (+) (maintenance) dalam Nacl
0.9% 50 cc
O : N :118 x/menit - Cefotaxim 3x 150 mg/IV (1)
P : 32 x/menit - Paracetamol drops 3x 0.4 cc
S : 36,7°C - Ambroxol 3x 0.2 cc
SpO2: 98% tanpa O2
rhonki (+/+)  Foto Thoraks
 LED
A:
- Kejang Demam Kompleks
- Bronkopneumonia
- Sepsis
- Gizi Buruk
- Cerebral Palsy

Hasil lab:
HB: 12.2 g/dL
Trombosit:251.000/ mm3
Leukosit: 7.500/mm3
Glukosa Puasa: 71 mg/dl
17 / 12 / 2019 S : bayi tenang, cukup aktif, batuk - IVFD RL 28 tpm/ makro
H +2 lendir, hilang-timbul (+) berkurang, - Fenitoin stop
Demam (-). Kejang (-), minum baik, - Cefotaxim 3x 150 mg/IV (2)
BAB/BAK (+) - Paracetamol drops 3x 0.4 cc
(KP)
- Ambroxol 3x 0.2 cc
O : N :115 x/menit
P : 32 x/menit  LED
S : 36,6°C  Foto thoraks: Cor tidak
SpO2: 99% tanpa O2 membesar, infltrat perihiler
rhonki (+/+) kanan-kiri (gambaran
Bronkopneumonia), hilus
A: limfadenopati negatif ,
- Kejang Demam Kompleks deviasi trakea ke kanan 
- Bronkopneumonia DD/ posisi segmental
- Sepsis atelektaksis
- Gizi Buruk
- Cerebral Palsy

Hasil lab:
HB: 12.2 g/dL
Trombosit:251.000/ mm3
Leukosit: 7.500/mm3
11

Glukosa Puasa: 71 mg/dl


18 / 12 / 2019 S : bayi tenang, cukup aktif, batuk - IVFD RL 28 tpm/ makro
H +3 lendir hilang-timbul (+) berkurang, - Cefotaxim 3x 150 mg/IV (2)
Demam (-). Kejang (-), minum baik, - Paracetamol drops 3x 0.4 cc
BAB/BAK (+) (KP)
- Ambroxol 3x 0.2 cc

O : N :115 x/menit  LED = 5 mm/jam


P : 37 x/menit
S : 37,1°C
SpO2: 99% tanpa O2
rhonki (-/+)

A:
- Kejang Demam Kompleks
- Bronkopneumonia
- Sepsis
- Gizi Buruk
- Cerebral Palsy

Hasil lab:
HB: 12.2 g/dL
Trombosit:251.000/ mm3
Leukosit: 7.500/mm3
Glukosa Puasa: 71 mg/dl
19/ 12 / 2019 S : bayi tenang dan aktif, batuk lendir - IVFD RL 28 tpm/ makro
H +4 hilang-timbul (+) sangat berkurang, - Cefotaxim 3x 150 mg/IV (2)
Demam (-). Kejang (-), minum baik, - Paracetamol drops 3x 0.4 cc
BAB/BAK (+) (KP)
- Ambroxol 3x 0.2 cc

O : N :130 x/menit
P : 38 x/menit
S : 37,0°C
SpO2: 99% tanpa O2
rhonki (-/-)

A:
- Kejang Demam Kompleks
- Bronkopneumonia
- Sepsis
- Gizi Buruk
- Cerebral Palsy

Hasil lab:
HB: 12.2 g/dL
Trombosit:251.000/ mm3
Leukosit: 7.500/mm3
Glukosa Puasa: 71 mg/dl
LED: 5 mm/jam
12

20 / 12 / 2019 S : bayi tenang dan aktif, batuk (-),  Rawat jalan


H +5 Demam (-), Kejang (-), minum baik,  Ambroxol 3x 0.2 cc
BAB/BAK (+)  Cefadroxil 150 mg/
Renasistin drops 3x 0.4 cc
 Edukasi Keluarga
O : N :138 x/menit
P : 38 x/menit
S : 36,7°C
SpO2: 99% tanpa O2

A:
- Kejang Demam Kompleks
- Bronkopneumonia
- Sepsis
- Gizi Buruk
- Cerebral Palsy

Hasil lab:
HB: 12.2 g/dL
Trombosit:251.000/ mm3
Leukosit: 7.500/mm3
Glukosa Puasa: 71 mg/dl
LED: 5 mm/jam

Pemeriksaan Penunjang
Glukosa Puasa By VM
(16/12/2019)
13

Pemeriksaan Penunjang LED by VM (18/12/2019)

Kimia Klinik (16/12/2019) dan (18/12/2019)


Jenis pemeriksaan Nilai Nilai Rujukan
Glukosa Puasa 71 mg/ dl 80-100 mg/dl
LED 5 mm/jam < 10 (Pria), < 15 (Wanita)
14

Foto thoraks By.VM (17/12/2019)


15

BAB II
DISKUSI

1. Kejang Demam Kompleks

Pada pasien terjadi kejang yang terjadi lebih dari satu kali, dengan bentuk

kejang pada seluruh tubuh. Kejang pada pediatri disebut kejang demam, kejang

demam karena pada awalnya terjadi demam yang akan mempengaruhi temperatur di

central nervous system (CNS) sehingga terjadi pelepasan sitokin sehingga terjadi

mekanisme kompensasi yaitu kejang. Berdasarkan epidemiologi kenjang demam

memiliki prevalensi 4% pada anak usia 6 bulan dan 6 tahun. Secara garis besar atau

menurut International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam terbagi atas

dua; kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kriteria kejang demam

sederhana; kejang menyeluruh, kurang dari 15 menit, terjadi satu kali dalam 24 jam

tanpa adanya gangguan neurologis, sebaliknya kejang fokal, lebih dari 15 menit,

terjadi lebih dari satu kali dalam 24 jam, adanya gangguan neurologis merupakan

kriteria kejang demam kompleks.1,2

Untuk dapat membedakan antara kejang demam sederhana dan kejang demam

kompleks, dapat dilihat berdasarkan gambaranya, yaitu kejang fokal/parsial dan

kejang menyeluruh. Kejang fokal terbagi dua yaitu kejang parsial sederhana dan

kejang parsial kompleks. Kejang parsial sederhana yaitu kejang tanpa adanya

perubahan kesadaran, kejang dimulai dengan adanya fokus anatomi yang berada

didekat daerah CNS/otak. Gejalanya dapat berupa gangguan motorik (tonik, klonik,
16

tonik-klonik), gangguan sensoris, gangguan psikis, dan abnormalnya otonom tanpa

adanya perubahan kesadaran (Tabel 1). Lokasi dan penyebaran kejang dapat

mempengaruhi gejala.1

Kejang parsial kompleks yaitu kejang dengan adanya perubahan kesadaran.

Gejalannya perubahan kesadaran (diskognitif) seperti pergerakan yang lambat atau

tidak berespon terhadap rangsangan, jadi pasien dapat berada pada keadaan

automatism atau tenang pada saat kejang. Automatism yang dimaksud yaitu

pergerakan semisadar otomatis pada mulut (lip smack, mengunyah) atau extremitas

(menggosok jari, menyeret kaki) serta adanya gejala psikis otomatis seperti jamais vu.

Kejang menyeluruh yaitu kejang tonik, klonik, dan bifasik tonik-klonik. Pada

kejang tonik-klonik sistem kontrol dan kesadaran menghilang, diikuti dengan adanya

kaku tonik dan deviasi keatas dari mata (Tabel 1). 1


17

Tabel 1. Perbedaan kejang parsial/fokal dan kejang menyeluruh

Dari hasil anamnesis dan rujukan didapatkan adanya kejang, kejang yang

berlangsung lebih dari 15 menit, berulang dalam waktu 24 jam, dan adanya kejang

seluruh tubuh. Dua dari kriteria kejang demam kompleks telah terpenuhi, sedangkan

kejang seluruh tubuh ini, jika diasumsikan pengentahuan orang tua kurang mengenaik

kejang, maka kemungkinan kejang yang dialami bukan kejang seluruh tubuh tetapi

bentuk dari kejang parsial kompleks, maka diagnosis kejang demam kompleks

sudahlah tepat. Secara teori pengobatan untuk kasus kejang demam yaitu obat

golongan benzodiazepine (Diazepam atau midazolam) dengan alur penangannya

dapat dilihat pada bagan dibawah ini:1,2


18

Kejang
Berikan diazepam rektal jika 0.5 mg/kgBB atau jika BB
< 10 kg = 5 mg/kgbb, sedangkan jika BB > 10 kg = 10
mg/kgbb, Evaluasi 5 menit.... Evaluasi 5 menit

Masih Kejang
Berikan diazepam IV dengan dosis 0.3-0.5 mg diberiakn
dengan kecepatan 0.5- 1 mg/menit (3-5 menit)
atau
Fenitoin bolus 10-20 mg/kgBB/x dengan kecepatan 1
mg/KgBB/ menit.... maintenance dalam 12 jam

Kejang lagi
transfer ke ICU/PICU

Bagan 1. Alur penganan Kejang Demam

Untuk mencegah kejadian kejang berikutnya dapat diberikan antipiretik

menginggat etiologi dari kasus ini adalah demam sehingga sangat direkomendasikan

penggunaan antipiretik seperti paracetamol (dosis 10 mg/kgBB/x). Pada beberapa

penelitian telah terbukti bahwa pemberian antipiretik pada saat demam terutama pada

usia 6, 12, 18, 24, dan 36 tahun angka kejadian dari kejang demam sangat berkurang

dibandingkan yang masih menggunakan metode lama (kompres).2

Sehingga pada kasus ini tatalaksana yang diberikan telah sesuai. Untuk

pemeriksaan selanjutnya dan edukasi yang dapat diberikan ialah pemeriksaan darah

lengkap dan eletroencephalography (EEG). Pemeriksaan darah lengkap untuk

mencari atau mencari penyebab kejang atau demam sedangkan EEG merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling penting karena selain bisa membedakan apakah

ini kejang parsial atau menyeluruh serta dapat membedakan epilepsy dengan
19

gangguan paroximal non epilepsy.1 Pemeriksaan penunjang lainnya ialah pungsi

lumbal pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2018, dimana dilakukan pungsi

lumbal pada pasien dengan kejang demam episode pertama kali, didapatkan bahwa

21.3% bayi berusia 6 bulan sampai 18 bulan dengan kejang demam mengalami

meningitis terutama dengan kejang demam kompleks (dengan nilai perbandingan

7.38 kali daripada dengan kejang sederhana).3 Edukasi yang dapat diberikan terbagi

dua yaitu kejang dapat terjadi lagi dan risiko epilepsy. Berdasarkan penelitian kohort

angka rekurensi dari kejang demam sekitar 70% terutama dengan faktor risiko usia

kejang yang pertama kali < 18 bulan, suhu < 390 C, waktur demam < 1 jam, kejang

berulang dalam satu kali demam. Risiko dengan epilepsy, berdasarkan penelitian

epidemiologi meliputi 687 anak, bahwa anak yang mengalami kejang demam dapat

terjadi kejang lainnya (6-8%), sedangkan risiko terjadi epilepsy tergantung faktor

risiko yang terbagi tiga yaitu riwayat keluarga epilepsy, kejang demam kompleks, dan

gangguan perkembangan neurologi. Berdasarkan penelitian retrospektif di Korea

dengan meneliti 204 anak yang mengalami kejang demam dengan ketiga faktor risiko

tersebut, Risiko terjadi epilepsy menjadi 50%.3

2. Bronkopneumonia

Bronkopneumonia adalah infeksi pada paru, dimana fokus inflamasi terutama

pada bronkiolus dan terjadi produksi mukopurulen eksudat sehingga terjadi obstruksi

dan konsolidasi pada lobulus yang berdekatan. Etiologi dari bronkopneumonia bisa

virus maupun bakteri. Secara klinis, dalam mendiganosis bronkopneumonia menurut

WHO yaitu adanya takipneu atau distress pernapasan dengan batuk atau sesak
20

(respiratory rate > 40x/menit pada anak usia 1-5 tahun, > 50x/menit pada usia 2-12

bulan, dan > 60x/menit pada usia < 2 bulan) dan dapat disertai demam atau tanpa

demam serta pada pemeriksaan penunjang, foto thorax maka ada gambaran

konsolidasi (end-point consolidation dengan atau tanpa adanya air bronchogram),

opacity atau infiltrat pada lobus atau seluruh bagian paru. Pada pemeriksaan darah

sendiri tergantung dari etiologi, bila penyebabnya bakteri maka leukosit akan tinggi

(15.000 – 20.000/ mm3) dengan predominasi neutrofil, sebaliknya jika etiologi adalah

virus maka leukosit dapat berkurang maupun dalam batas normal dengan predominasi

limfosit (etiologi dapt dilihat pada Tabel 2). Selain itu berdasarkan penelitian

mengenai gejala klinis bronkopneumonia menggunakan metode peninjauan

sistematik literatur ditemukan bahwa tanda yang paling sering ialah ronki diikuti

krepitasi, wheezing, tidak ada suara nafas, serta merintih.1,4,5

Berdasarkan teori tersebut maka diagnosis bronkopenumonia pada kasus ini

sudahlah tepat. Yang pertama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik adanya

demam, batuk dan sesak serta adanya ronki, yang memenuhi kriteria dari diagnosis

sedangkan pada pemeriksaan darah, tampak leukosit berjumlah 7.500/mm3 dengan

limfosit meningkat (47.9%) sehingga dapat dipastikan bahwa etiologi pada kasus ini

ialah virus. Hal ini juga didukung oleh penelitian pada 2017 mengenai etiologi dari

bronkopneumonia sendiri 9-10% ialah virus. Pada pemeriksaan radiologi juga adanya

gambaran infiltrat pada foto thoraks. Pada kasus juga ditemukan adanya deviasi

trakea, penyebab deviasi trakea pada kasus ini berdasarkan teori ada istilah yang

disebut bronkiolitis obliterans. Bronkiolitis obliterans adalah proses inflamasi


21

subakut pada jalan nafas yang menyebabkan terjadinya scar tissue atau jaringan parut

sehingga terjadi penurunan kapasitas paru dan hal ini biasa terjadi pada

bronkopnemumonia dengan etiologi infeksi virus berulang atau adenovirus berat.

Untuk tatalaksana dari bronkopenumia sendiri dapat bersifat supportif dan

pemberian antibiotik (Tabel 3) sesuai etiologi. Jika berdasarkan teori maka pemberian

cefotaxim dalam kasus ini dapat diterima.1,4,5,6


22

Tabel 2. Etiologi dari Bronkopneumonia pada anak


23

Tabel 3. Terapi Antibiotik yang disarankan

3. Sepsis

Sepsis adalah respon sistemik untuk infeksi, etiologi dari sepsis adalah adanya

patogen dan respon imun. Ada beberapa keadaan yang berpotensi menyebabkan

sepsis namum penyebab yang paling sering ialah infeksi bakteri, virus, dan fungi.

Mekanisme terjadi sepsis ialah saat sistem imun atau innate immune cell (makrofag)

menangkap atau berespon terhadap bagian dari patogen (lipopolisakarida dari bakteri

gram negatif) sehingga terjadi proses pemanggilan sel polimorfonuklear yang akan

melepaskan sitokin pro-inflamatori akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan

premeabilitas vaskuler yang bersifat menyeluruh, normalnya jika respon ini

terlokalisasi maka tidak bisa disebut sepsis. Dalam kriteria diagnosis sepsis harus ada
24

keadaan infeksi sistemik atau menurut International Consensus Conference on

Pediatric Sepsi, berdasarkan bentuknya terbagi atas:7

 Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)

Jika ada dua atau lebih kriteria berikut ini dapat dikatakan SIRS:

 Suhu abnormal (< 36 0C atau > 38,5 0C)

 Takikardi (> 160x/menit)

 Pernafasan cepat (> 60x/menit

 Jumlah sel darah putih yang abnormal (penurunan atau peningkatan>

10% sel darah putih imatur)

 Sepsis

Infeksi dengan adanya patogen yang terdeteksi melalui biakan darah atau

kultur

 Sepsis Berat

Telah terjadi kegagalan organ (> 2), disfungsi sistem kardiovaskuler dan

distress pernapasan

Berdasarkan teori tersebut maka pada kasus ini diagnosis sepsis kurang tepat

atau dapat menjadi diagnosis banding. Disebut tidak tepat karena selama

pemeriksaan atau perawatan belum sampai pada proses pembiakan kuman (kultur

darah) lebih tepatnya kasus ini lebih kearah SIRS karena adanya suhu yang abnormal,

pernafasan yang cepat dan jumlah sel darah putih yang abnormal. Dapat disebut

diagnosis banding karena berdasarkan penelitian epidemiologi penyebab sepsis


25

tersering pada bayi ialah komplikasi dari pneumonia (bronkopneumia pada kasus)

dan H. Influenza tipe B (dapat dicegah dengan vaksin) dengan gejala klinis dan

pemeriksaan penunjang yang mengarah ke sepsis.7

4. Gizi Buruk

Jika menggunakan rumus untuk menghitung perkiraan berat badan, maka

𝑢𝑠𝑖𝑎 (𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛)+9 𝐾𝑔 8 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛+9 𝐾𝑔


Perkiraan Berat Badan aktual = = = 8.5 Kg
2 2

Jadi pada bayi ini berat badan bayi ini seharunysa 8.5 Kg.

Pada kasus berat badan bayi hanya 4.5 kg, sehingga dapat dikatakan gizi

buruk menurut perhitungan Z-Score (- 3 SD). Penyebab gizi buruk pada pasien ini

dapat dikatakan sebegai malnutrisi. Etiologi malnutrisi pada anak bukan sekedar

kurang makan tetapi dikelompokan menjadi beberapa penyebab (terutama pada

beberapa Negara berkembang); nutrisi yang kurang, increased resting energy

expenditure (REE), inflamasi, infeksi dan penyakit kronis. Untuk mengatasi tersebut

dibuatlah suatu tabel untuk memperkirakan kalori yang dibutuhkan sesuai kelompok

usia oleh Texas Children’s Hospital Pediatric Nutrition Reference Guide tahun 2013

(Tabel 4).8,9
26

Tabel 4. Perkiraan energy dan proteim yang dibutuhkan dari kelompok bayi sampai remaja

muda

Berdasarkan tabel tersebut maka pasien ini berat badan pasien harus 9 kg (usia

7- 12 bulan) dengan usia 8 bulan dengan kebutuhan kalori sekitar 988 kkal/hari (82

kkal/kg/hari) dan protein 11 g/hari (1.2d g/kg/hari).

5. Cerebral Palsy

Hipotesis etiologi dari cerebral palsy (CP) adalah hipoksia atau asfiksia.

Adanya kedua hal tersebut akan menyebabkan gangguan di otak yang dapat

berkembang menjadi cerebral palsy (gangguan motorik dan kekuatan otot atau

postur). Faktor risiko dari cerebral palsy dapat dibagi dalam beberapa kelompok,

dibawah ini:10
27

 Usia Kehamilan

Prevalensi cerebral palsy tertinggi terjadi pada bayi yang lahir pada usia

gestasi dibawah 33 minggu atau tepatnya 28 minggu sehingga bayi yang lahir

kurang bulan (BKB) sangat rentan menjadi cerebral palsy.

 Anomali Kongenital

Beberapa penelitian yang meneliti hubungan anomali kongenital dengan

kejadian cerebral palsy, sekitar 43% dengan masalah cacat lahir dan 16.5%

dengan pembatasan perkembangan janin lebih berhubungan dengan cerebral

palsy daripada masalah asifiksia (8.5%) dan inflamasi (4.8%). Pada penelitian

mengenai bayi pre-term dan term yang paling berhubungan dengan CP adalah

cacat lahir sedangkan jika ditambah dengan pembatasan perkembangan janin

merupakan faktor risiko utama CP.

 Infeksi Intrauterus

Infeksi bakteri dan virus pada uterus dapat bersifat asimptomatik dan tidak

terdeteksi tanpa pemeriksaan penunjang serta akan menyebakan masalah pada

placenta yang akan menyebabkan terjadinya CP. Berdasarkan beberapa

penelitian case-control tanda yang dapat menjadi resiko CP secara signifikan

ialah demam dan infeksi, tanda infeksi yang sering ditemukan seperti

chorioamnionitis.
28

 Masalah Pada Placenta

Berdasarkan penelitian epidemiologi chorioamnionitis dan funitis paling

sering berhubungan dengan kejadian dan berisiko terjadi CP.

 Genetik

Secara genetik, terjadinya mutasi dapat menyebabkan terjadinya CP.

Beberapa mutasi genetik telah terdeteksi dapat menjadi faktor risiko terjadiya

CP, yaitu KANK1, AP4MI dan GAD1. Mutasi genetik yang telah

teridentifikasi akan terjadi CP adalah ZC4H2.

 Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian epidemiologi mengenai CP didapatkan bahwa jenis

kelamin laki-laki lebih berisiko terjadi CP daripada jenis kelamin perempuan

dengan perbandingan 1.3:1. Hal ini dapat berhubungan resesif kromosom X

atau secara genetic, genetic pada jenis kelamin laki-laki lebih rentan terjadi

mutasi daripada perempuan.

Berdasarkan tinjuan teori tersebut dapat dikatakan penyebab CP pada pasien

ini akibat adanya infeksi yang tidak terdeteksi karena lahir di dukun dan secara

epidemiolgi jenis kelamin laki-laki lebih rentan serta adanya riwayat infeksi pada tali

pusar.
29

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan tinjuan teori dan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang, maka diagnosis pertama pada kasus ini ialah

bronkopneumonia. Diagnosis bronkopneumonia berdasarkan adanya batuk, sesak,

dan bunyi nafas tambahan, ronki. berdasarkan etiologi adalah virus karena tidak

terjadi peningkatan sel darah putih dengan predominan limfosit, salah satu tanda

bronkopneumonia demam, demam yang terjadi tersebut dapat menyebabkan

terjadinya kejang demam, kejang demam yang terjadi pada kasus ini adalah kejang

demam kompleks (kejang parsial, > 15 menit, berulang dalam 24 jam). Bila tanda dan

gejala bronkopneumonia digabung dengan kejang demam kompleks maka dapat

menjadi (suhu dan leukosit abnormal serta pernapasan cepat) SIRS yang dapat

berkembang menjadi Sepsis (bila klinis mendukung dan dilakukan kultur).

Bronkopneumonia yang tidak terdiagnosis dan tertangani akan menyebabkan

gangguan makan, karena secara penelitian epidemiologi salah satu tanda

bronkopneumonia adalah gangguan makan. Gangguan makan pada bayi akan

menyebabkan malnutrisi yang akan menjadi gizi buruk. Jika dihubungan kondisi CP

yang dialami pada pasien makan ini akan berisiko menyebabkan gangguan

perkembangan motorik dan perkembangan neurologis dan kognitif yang lebih berat,

yang pada awalnya sudah terganggu dengan adanya CP.


30

Untuk tatalaksana dari suportif seperti pemberian Oksigen, fenitoin,

antibiotik, paracetamol, dan ambroxol dapat diterima dan telah sesuai guideline yang

berlaku serta edukasi (kemungkinan terjadi kejang lagi dan pencegahan infeksi

berulang) yang diberikan saat pasien pulang telah sesuai prosedur yang berlaku.
31

DAFTAR PUSTAKA

1. Marcdante, K. Kliegman. Nelson Essential Of Pediatrics. 8th. Philadelphia: Elsevier.

2019. Pg 687-692 dan 402-408.

2. Patel, Nikhil. Ram, Dipak et al. Febrile Seizure. [pdf] The BMJ 2015; 351: pg 1-7.

3. Kayatstha N, Rai GK, Karki S. Use Of Lumbar Puncture For First Episode Of Febrile

Seizure Among Children 6 Month To 18 Month Of Age: A Cross Sectional Study.

[pdf] Birat Journal of Health Sciences 2018; 3(6): pg 1-4.

4. Sonal N. Shah et al. Does Child Have Pneumonia? The Rational Clinical

Examination Systematic Review. [pdf] JAMA 2017; 318(5): pg 462-471.

5. Valerie D’Acremont et al. Clinical Feature For Diagnosis Of Pneumonia In Children

Younger Than 5 Years: A Systematic Review. [pdf] The Lancet 2015.

6. Terhi Tapiainen et al. Finnish Guideline For The Treatment Of Community-Acquired

Pneumonia And Pertussis In Children. [pdf] John Wiley & Sons 2016; 105:Pg 39-43.

7. Plunkett, Adrian. Tong, Jeremy. Sepsis In Children. The BMJ 2015; 350: 1-13.

8. Kemenkes RI Tahun 2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.

[pdf]

9. Stacey S et al. Nutrisional in Clinical Practice. Pediatric Malnutrition: Putting The

New Definition And Standards Into Practice. [pdf] Univ. Prince Edward Island 2015;

30(5). Pg 609-624.

10. Alastair H et al. Cerebral Palsy- Causes, Pathways, and The Role of Genetic variant.

American Journal of Obstestri and Gynecology 2015; 9378(15): pg 1-67.

Anda mungkin juga menyukai