Anda di halaman 1dari 27

Bed Side Teaching

*Kepaniteraan Klinis Senior/G1A218045/ September 2019


**Pembimbing/ dr. H.Irawan Anasta Putra, Sp.A

Sindrom Nefrotik
Merry Nildaweni* dr. H. Irawan Anasta Putra, Sp.A**

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
LEMBAR PENGESAHAN

BED SIDE TEACHING

Sindrom Nefrotik

Oleh :
Merry Nildaweni
G1A218045

Sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik senior


Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
2019

Jambi, September 2019


Pembimbing,

dr. H. Irawan Anasta Putra, Sp.A

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
bed side teaching yang berjudul “Sindrom Nefrotik”. Dalam kesempatan ini saya juga
mengucapkan terima kasih kepada dr.H.Irawan Anasta Putra, Sp.A, sebagai dosen
pembimbing yang memberikan banyak ilmu selama di Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
Penulis menyadari bahwa laporan bed side teaching ini jauh dari sempurna. Penulis
sedang dalam tahap pendidikan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih
baik kedepannya.
Akhir kata, saya berharap semoga laporan bed side teaching ini bermanfaat bagi kita
semua dan dapat menambah informasi dan pengetahuan kita.

Jambi, Agustus 2019

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan suatu sindrom klinik dengan adanya


gejala: proteinuria massif ( ≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+), hipoalbuminemia < 2,5g/dL, edema
dan dapat disertai hiperkolesterolemia.1
Sindroma nefrotik pada anak dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih
banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8 tahun. Pada anak-anak yang onsetnya di
bawah usia 8 tahun, ratio antara anak laki-laki dan perempuan bervariasi dari 2:1
sampai 3:2. Pada anak yang lebih tua, remaja dan dewasa, pravelensi antara laki-
laki dan perempuan kira-kira sama. Data dari International Study of Kidney
Disease in Children (ISKDC) menunjukan bahwa 66% pasien dengan minimal
change nephrotic syndrome (MCNS) dan focal segmental glomerulonephritis
(FSGS) adalah laki-laki dan untuk membrano proliveratife glomerulonephritis
(MPGN) 65% nya adalah perempuan.
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu
kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit
sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik.
Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia
kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan
mempunyai prognosis buruk. 2
Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-
7 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, dengan prevalensi
berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang angka kejadiannya
lebih tinggi. Angka kejadian di negara berkembang seperti Indonesia diperkirakan
berkisar 6 kasus per tahun tiap 100.000 anak berusia kurang dari 14 tahun dengan
perbandingan anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. 2

3
BAB II
STATUS PEDIATRIK

2.1 Identifikasi
1. Nama : An. W
2. Umur : 14 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Bangsa : Indonesia
5. Agama : Islam
6. Alamat : Desa Tanjung Bojo
7. Dikirim oleh : IGD
8. MRS : 02 September 2019

2.2 Anamnesis
Diberikan oleh : Pasien (Autoanamnesis)
Tanggal : 02 September 2019

2.2.1 Keluhan Utama


Bengkak diseluruh tubuh

2.2.2 Keluhan Tambahan


-

2.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit


Os datang dengan keluhan bengkak di seluruh tubuh sejak ±7 hari
SMRS. Bengkak awalnya pada mata os setiap pagi saat os bangun tidur,
kemudian diikuti wajah, ekstremitas, kemudian 1 hari SMRS perut os
membengak. Os tidak merasa sesak.
±3 hari SMRS os merasa nyeri pada pinggang kirinya. Nyeri dirasa
seperti di tusuk-tusuk dan hilang timbul.
2 hari SMRS os batuk, terutama di malam hari.

4
BAB normal, BAK normal, namun volumenya berkurang dari biasanya,
busa(-).

2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu.


Riwayat asma sejak kecil

2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


-
2.3 Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit
2.3.1 Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan : Cukup bulan
Partus : Normal
Tempat : Rumah
Ditolong oleh :-
Tanggal : 26 Juni 2018
BBL : tidak ditimbang
PB : tidak diukur

2.3.2 Riwayat Imunisasi


Imunisasi dasar lengkap

2.3.3 Status Gizi


Usia 14 dengan berat badan 58 kg kg dan tinggi badan 152 cm
BB/TB : 97,6% (gizi baik)
BB/U : p10-p25
TB/U :p5

2.4 Pemeriksaan Fisik


2.4.1 Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis GCS: E4M6V5

5
Posisi : Berbaring
BB : 43 kg
PB : 152 cm
Gizi : baik
Edema : (+) anasarka
Sianosis :-
Dyspnoe :-
Ikterus :-
Anemia :-
Suhu : 36,8 ˚C
Respirasi : 22 x/menit
Tipe pernapasan : Thorakoabdominal
Turgor : Baik
Nadi : Frekuensi : 82 x/menit
Isi/kualitas : Cukup, kuat angkat
Regularitas : Regular
Kulit
Warna : kemerahan
Hipopigmentasi : -
Hiperpigmentasi : -
Ikterus :-

2.4.2 Pemeriksaan Khusus


Kepala
Bentuk : Normocephal
Lingkar kepala :-
Mata
Konjungtiva anemis :-
Sklera ikterik :-
Palpebra : Edem
Pupil : Isokhor
6
Refleks cahaya : +/+
Telinga
Bentuk : Simetris
Serumen : minimal
Hidung
Bentuk : Simetris
Deviasi septum :-
Epistaksis :-
Nafas cuping hidung :-
Tenggorokan
Hiperemis :-
Mulut
Sianosis :-
Mukosa : normal
Leher
Pembesaran KGB :-
Thoraks dan paru
Bentuk : Simetris
Retraksi :-
Palpasi : Nyeri tekan : -
Fraktur iga :-
Fremitus : Normal
Perkusi : Bunyi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus kordis : tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis : ICS V linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas kiri : ICS IV linea midclavicula sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Batas atas : ICS II linea parasternal sinistra
Batas bawah : ICS V linea midclavicula sinistra

7
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk : Datar, soepel
Palpasi : Nyeri tekan : -
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Perkusi : Bunyi : timpani
Nyeri ketok CVA : (-/-)
Shifting dullness (+)
Auskultasi : Bunyi usus : (+) normal
Ekstremitas
Akral hangat, CRT : <2 detik, pitting edem (+)

2.5 Pemeriksaan Laboratorium


Hematologi
WBC : 7,03 x 109/L
RBC : 4,36 x 1012/L
HGB : 12 /dL
HCT : 37,9 %
PLT : 376 x 109/L

Pemeriksaan Urin (2 September 2019)


Warna : Kuning muda Leukosit :15-20/LPB
Kejernihan : Keruh Eritrosit : >25/LPB
pH :8,0 Sel epitel : 6-8/LPK
Protein : +3
Glukosa :-
Keton :-
Blood : +3

8
Kimia Darah (3 September 2019)
Asam urat : 5,1 mg/dL (2,6-6,0)
Kolestrol : 379 mg/dL (<200)
Ureum : 17
Kratinin : 0,6
Kolesterol total : 430
Albumin : 1,9

Imunologi
CRP :+ ASTO kualitatif :-

2.6 Diagnosis Kerja


Sindrom Nefrotik

Diagnosis Banding :
Sindrom Nefritik
Glomerunefritis Akut

2.7 Terapi
1. IVFD D51/4 NS 500 cc/24jam
2. Inj Omeprazol 2x2 mg + NS 2 cc
3. Inj Ceftriaxone 2x1 gr
4. Inj Furosemid 2x20 mg
5. Captopril 2x 6,25 mg
6. Methylprednisolon (tunda)
7. Diet ekstra putih telur
8. Pantau tanda vital
9. Balance cairan

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
9
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

Follow Up
Tanggal Perkembangan

3/09/2019 Perawatan hari ke I


S: Bengkak

O: N : 82x/menit RR: 28x/menit T : 36,6 C TD :110/80 SPO2 : 99%


Pemeriksaan fisik :
Kepala : normocephal
Mata : CA(-), SI(-), RC (+/+), pupil isokor, edema (+)
Mulut : Sianosis (-), mukosa kering (-)
Paru : vesikuler (+/+) ronki (-/-),wheezing (-/-)
Jantung :BJ I/II regular. Murmur (-), gallop (-)
abdomen:datar, BU (+), nyeri tekan suprapubik,ishifting dullness (+)
ekstremitas sup & inf: akral hangat, CRT < 2 detik,edem(+/+)
Laboratorium darah :
DR tanggal 10 Juni 2019
WBC : 13,67 x 109/L
RBC : 4,59 x 1012/l
HGB : 10,4 g/dl
HCT : 33,6 %
PLT : 395 x 109 /L
GDS : 111 mg/dL
Pemeriksaan Imunologi (10 Juni 2019)
CRP :+

Elektrolit
Na : 145,72 mmol/L
K : 4,27 mmol/L
Cl : 110,00 mmol/L
Ca : 1,15 mmol/L
A: Sindrom Nefrotik
P:
 IVFD D5 ¼ NS 500cc/24jam
 Inj Cefriaxone 2x1 gr
 Inj Furosemid 2x2amp
 Diet ekstra putih telur
 Kultur urin
4/09/2019 Perawatan hari II
S : Nyeri sendi, sembab berkurang
O : TD: 120/90 ; N : 100x/i; RR : 24x/i
Edem Palpebra (+)
Shifting dullness (-)

10
Pitting edem (+)
BB : 39 kg LP : 66,5cm
Balance cairan : -360

Kultur urin : Acinobacter haumanni


A : Sindrom Nefrotik + ISK
P : IVFD KAEn 3B 10 gtt
Inj Ceftriaxon 2x1 gr
Inj Lasix 2x2 amp
Inj Omeprazol 2x20 mg
Captopril 2x6,25mg
Cetirizin 1x 10 mg
Mantoux Test

KED (Westergren) :98 mm/Jam


5/09/2019 Perawatan hari III
S : Lemas

O : N :144x/menit, RR:22x/menit, TD : 80/palpasi, SpO2 : 93%


Mata cekung (+), akral dingin (+)
Urin Rutin
Warna : Kuning
BJ : 1005
pH : 7
Protein : positif 3
Glukosa : -
Balance cairan : -1700 cc
BB :37 kg LP:65 cm
A : Syok
Sindrom Nefrotik
P : O2 Nasal kanul 3 L/i
IVFD RL 600 cc secepatnya,
Lanjutkan IVFD KAEN 3B 10 gtt
Inj Ceftriaxon 2x1 gr
Inj Lasix ditunda
Captopril 1x10mg
Cek elektolit
6/09/2019 S :-
O: K/U :compos mentis
N: 120x/i ; RR : 22x/i; T :36,5 C; TD :100/70mmHg
BB : 37 kg
LP :
Mata: CA(-), mata cekung (-), edem (-)
Ektremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edem (-/-/-/-)
Balance cairan :
Urin Rutin
Warna : Kuning
BJ : 1010
pH : 7
Protein : positif 2
Glukosa : -
11
Tes Mantoux : (-)
Skoring TB : 3

Balance cairan :-100cc

A : Sindrom Nefrotik
P : IVFD KAEN 3A 10 tpm
Inj Ceftriaxon 2x1 gr
Inj Methylprednisolon 3x25mg
Captopril2x6,25 mg
Cetirizin 1x10 mg
Sukralfat syr 3x5 cc
Nebulizer ventolin/12 jam
Urin rutin

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

SINDROM NEFROTIK
3.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan tanda patognomonik penyakit glomerular
yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif, hipoalbuminemia,
dan lipiduria.1

3.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1)
dan kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi
paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa.
SNKM terjadi pada 85-90% pasien dibawah umur 6 tahun.3,5
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris
adalah 2-4 kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang
insidennya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per
tahun.perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Pada penelitian di
Jakarta menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan
sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan
penelitiannya diantara 521 pasien, 76,4% merupakan tipe kelainan minimal.2,4
Btas

3.3 EtiologiTer
Sindrom nefritik secara klinis dibedakan menjadi SN kongenital, primer
(idiopatik) dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan ikat,obat
atau toksin, dan akibat penyakit sistemik. Glomerulonefritis lesi minimal
menjadi penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik pada anak.
Glomerulonefritis lesi minimal ditemukan sekitar 90% pada anak dengan
sindrom nefrotik usia dibawah 10 tahun, dan lebih 50% pada anak yang lebih
tua.1,6
Beberapa batasan yang digunakan dalam SN adalah :

13
1) Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4mg/m2 LPB
/jam) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu.
2) Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam satu minggu.
3)
4) Dependen steroid : dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/
hari) selama 4 minggu mengalami remisi.
5) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) : dengan pemberian prednison
dosis penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak
mengalami remisi.
6) Sindrom nefrotik relaps jarang : relaps <2 kali dalam 6 bulan sejak respons
awal atau <4 kali dalam 1 tahun.
7) Sindrom nefrotik relaps sering : relaps ≥2 kali dalam 6 bulan sejak respons
awal atau ≥4 kali dalam 1 tahun.

8) Sindrom nefrotik dependen steroid : relaps dalam 14 hari setelah dosis


prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau
dihentikan dan terjadi 2 kali berturut-turut.

3.4 Patofisiologi
3.4.1 Proteinuria
Kehilangan protein pada SN termasuk ke dalam proteinuria glomerular
yang disebabkan oleh meningkatnya filtrasi makromolekul melewati dinidng
kapiler glomerulus. Hal ini disebabkan oleh kelainan pada podosit glomerular
meliputi retraksi foot process dan/atau reorganisasi dari slit diaphragm.1
Sistem filtrasi glomerulus terdiri dari lapisan endotel, membran basal dan
lapisan sel epitel (podosit). Podosit merupakan lapisan berier terluar dari
sistem filtrasi glomerulus. Dalam kondisi patologis podosit mengalami
perubahan struktural berupa foot process effacement yang dominan pada SN
dan dapat bersifat reversibel atau irreversibel.
Dalam keadaan normal membran basal glomerulus memiliki mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul dan muatan listrik. Pada SN

14
kedua mekanisme penghalang ikut terganggu.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan nonselektif berdasarkan ukuran
molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang
keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin.
Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.1

3.4.2 Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia
disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik
plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha
meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak
berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dpat
meningkatkan sintesis albuminhati, namun mendorong peningkatan eksresi
albumin melalui urin. Hipoalbuminemia juga dapat terjadi akibat peningktana
reabsorbsi dankatabolisme albumin oleh tubulus proksimal.1

3.4.3 Edema
Edema pada SN dijelaskan melalui teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupaka faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke
intersisial mengikuti hukum Straling. Akibatnya teradi hipovolemia dan ginjal
melakukan kompensasi merangsang renin-angiotensin sehingga terjadi retensi
natrium dan air di tubulus distal. Mekanisme ini juga mengeksaserbasi
hipoalbuminemia sehingga edama semakin berlanjut.
Pada teori underfill menjelaskan bahwa retensi natrium dalah efek utama
renal.terjadi defek primer pada kemampuan neuron distal untuk
mengeksresikan natrium yang disebabkan aktivitas kanal natrium epitel oleh
enzim proteolitik yang memasuki lumen tubulus pada keadaan proteinuria
masif. Akibatnya terjadi peningkatan volume darah, penekaan RAAS dan
15
vasopressin dan kecenderungan menjadi hipertensi. Meningkatnya volume
darah akibat tekanan onkotik yang rendah memicu transudasi cairan ke ruang
ekstraselular dan edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan
ginjal akan menambah retensi natrium dan edema.

3.5 Manifestasi Klinis


Pasien dengan SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia.
Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum, kadang
dapat disertai oligouria dan gejala infeksi, nafsu makan menurun, dan diare.2
Pada pemeriksaan fisik harus disertai berat badan, tinggi badan,lingkar
perut dan tekanan darah. Dalam laporan ISKDC (International Study of
Kidney Disease in Children),, pada SNKM ditemukan 22% dengan hematuria
mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar
kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.5

3.6 Diagnosis
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
 Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
 Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
16
 Edema
 Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

3.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:1
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin (bila didapatkan gejala klinis
mengarah infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/
kreatinin pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah
3.1 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
3.2 Kadar albumin dan kolesterol plasma
3.3 Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz
3.4 Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (Anti nuclear
antibody) dan anti ds-DNA

Indikasi biopsi ginjal:2


- Sindrom Nefrotik dengan hematuria nyata, hipertensi, kadar kreatinin
dan ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun.
- Sindrom Nefrotik resisten steroid
- Sindrom Nefrotik dependen steroid

3.8 Penatalaksanaan
Pada kasus SN awal, sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk mempercepat
pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai
pengobatan steroid, dan edukasi kepada orang tua. Sebelum pasien mendapat
terapi steroid dilakukan uji Mantoux, bila hasilnya positif diberikan profilaksis
INH bersama steroid, dan jika positif diberikan obat anti tuberkulosis.2
17
a. Diitetik
Pemberian diet tinggi protein dikontraindikasikan karena menyebabkan
hiperfiltrasi dan sklerosis pada glomerulus. Bila diberikan diet rendah
protein akan menyababkan malnutrisi energi protein (MEP) dan
menghambat pertumbuhan anak. Berika diet protein normal sesuai
Recommended Daily Allowances (RDA); 1,5-2g/kgBB/hari. diet rendah
garam (1-2g/hari) diberikan hanya pada anak dengan edema.2

b. Diuretik
Dianjurkan retriksi cairan selama edema berat. Berikan loop diuretik
(Furosemid 1-3 mg/kgbb/hari), bila perlu dapat dikombinasikan dengan
spironolakton 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Perlu dilakukan pemantauan
elektrolit kalium dan kalium darah selama pemakaian diuretik.2

c. Imunisasi
Pasien SN yang dalam masa pengobatan kortikosteroid merupakan
pasien imunokompremise, sehingga 6 minggu setelah obat dihentikan
pasien hanya boleh mendapat vaksin birus mati seperti IPV (inactivated
poliovaccine). Setelah penghentian terapi kortikosteroid selama 6 minggu
dapat diberikan vaksin virus hidup.

18
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan pengobatan awal pada SN idiopatik. Jenis
yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
1) Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan SN tanpa komplikasi berupa
prednison oral 2 mg/kgbb/hari dalam dosis terbagi. Dosis dihitung
berdasarkan berat badan ideal selama 4 minggu. Apabila terjadi remisi
maka dilanjutkan secara alternating selama 4 minggu berikutnya dengan
prednison 1,5mg/kgbb/hari selang sehari. Jika setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan
resisten steroid. Namun pada beberapa penelitian menyatakan bahwa
pemberian prednison lebih dari 12 minggu memberikan hasil yang lebih
baik.1,2,5
Berdasarkan literatur Kidney Disease Improving Global Outcomes
(KGIDO) tahun 2012 dan 2013 menyatakan jika pemberian steroid
hanya 8 minggu, maka banyak dijumpai kasus relaps setelah pengobatan
selesai. Oleh karena itu, batasan resisten diperpanjang menjadi 8
minggu, ditambah dengan tapering off sebelum prednison
diberhentikan.7,8,9
Rekomendasi KDIGO dipublikasikan dalam Kidney International
Supplement 2012 dan J Pediatric Nephrology 2013. Dalam rekomendasi
KDIGO tersebut, pengobatan inisial sindrom nefrotik dengan
prednison/prednisolon, diberi dua pilihan; (1)Prednison oral dosis penuh
selama 6 minggu (maksimal 60 mg/m2/hari), dilanjutkan 6 minggu
dengan dosis alternating, diberikan single dose pagi hari, (2) Pemberian
prednison dosis penuh 4 minggu, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua 40
mg/m2 atau 1,5 mg/kgbb/hari alternating, 8 minggu sama seperti
sebelumnya, tetapi dilanjutkan 3 bulan dosis diturunkan (tapering off)
sebelum prednison dihentikan.7,8,9

2) Relaps
Pada kasus relaps dapat diberikan prednison dosis penuh hingga
19
terjadi remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan alternating dose
selama 4 minggu.2

3) Dependen Steroid
Terdapat 4 opsi pengobatan pada SN dering relaps atau yang
tergantung steroid :
a) Steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen
steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan
dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini
kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu. Penurunan dosis dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis
ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-1 bulan,
kemudian coba dihentikan.2
b) Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari,
selama 4-12 bulan.2
c) Sitostatik
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN
anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid
dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis
tunggal (Gambar 4), maupun secara intravena atau puls. Klorambusil
diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek
toksik berupa kejang dan infeksi.2
d) Siklosporin atau mikofenolat (opsi terakhir)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid
atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis
4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB).2
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
20
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 –
1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan
dosis steroid selama 12 - 24 bulan.2

3.9 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang
baik terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis
jangka panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20
tahun menunjukan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada
glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan
pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, an.W usia 14 tahun datang ke RSUD Raden Mattaher
Jambi dengan keluhan bengkak di seluruh tubuh. Berdasarkan autoanamnesis dan
alloanamnesis dengan keluarga pasien, dan setelah dilakukan pemeriksaan
fisik,didapatkan keluhan utama badan bengkak . Bengkak pada kelopak mata,
wajah, perut, dan ekstremitas. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya
hipertensi ringan-sedang, edem palpebra, shifting dullness (+), pitting edema (+)
Oligouria
Berdasarkan temuan diatas sementara dapat ditegakkan diagnosis sindrom
Nefrotik. Untuk lebih memastikannya maka dilakukan pemeriksaan penunjang
dan didapatkan hasil pemeriksaan darah rutin normal, pemeriksaan urin
didapatkan urin keruh, pH basa, proteinuria, hematuria, dan jumlah leukosit,
erirosit, dan epitel yang meningkat pada pemeriksaan mikroskopis urin. Dari
pemeriksaan kimia darah didapat hipoalbuminemia dan hiperkolestronemia.
Hasil pemeriksaan penunjang ini mendukung ditegakkannya diagnosa
sindrom nefrotik. Hal ini sesuai dengan definisi sindrom nefrotik yaitu keadaan
klinis yang terdiri dari edema anasarka, hipoalbuminemia, hiperkolestronemia,
dan proteinuria.
Secara teori pada sindrom nefrotik kenaikan lipid dan peningkatan
lipoprotein lipid disebabkan oleh hipoalbumin serum dan penurunan tekanan
onkotik. Penurunan klirens lemak dalam darah diakibatkan oleh berkurangnya
enzim lipase sebagai katalisator lemak yang ikut bocor apabila terjadi kelainan
pada tubulus ginjal sehingga terjadi hiperkolestronemia. Hal ini sesuai dengan
temuan pada kasus.
SN pada kasus ini didiagnosa banding dengan Sindrom Nefritik Akut
(SNA) dan Glumerulonefritis Akut karena gejala klinis yang ditimbulkan sama;
berupa edema dan pada pasien ini didapatkan hipertensi. Secara teori SNA
didefinisikan sebagai kumpulan gejala klinik berupa proeinuria, azotemia, red
blood cast, oligouria dan hipertensi. Sesuai dengan teori bahwa hipertensi lebih

25
sering terjadi pada sindrom nefritik akut, namun berdasatkan literatur lain
hipertensi ringan-sedang juga dapat ditemukan pada SN. Berbeda dengan
hipertensi pada SNA berupa hipertensi berat yang memerlukan terapi
antihipertensi.1,6,10
Glomerulonefritis akut didefinisikan sebagai proses histopatologi berupa
proliferasi dan inflamasi glomerulusakibat proses imunologi. Dan dalam
kepustakaan istilah SNA dan GNA digunakan bergantian, GNA lebih bersifat
histologik, sedangkan SNA bersifat klinik.
Pada kasus ini tidak didapatkan tanda azotemia (kenaikan kadar kreatinin
serum)yang dapat menggambarkan kenaikan laju filtrasi ginjalyang biasanya
ditemukan pada SNA sehingga memperkuat diagnosa sindrom nefrotik pada
pasien ini.
Penatalaksaan pada pasien ini secara medikamentosa adalah dilakukan
retriksi cairan, pemberian diuretik furosemid dengan dosis 2x20 mg
(1mg/kgbb/hari) untuk mengurangi edema. Diberikan captopril 2 x 6,25mg untuk
hipertensi derajat ringan-sedang pada pasien. Injeksi Ceftiaxon diberikan 2x1gr.
Metilprednisolon 3 x 25 mg (2mg/kgbb/hari) sebagai terapi insial mulai diberikan
pada perawatan hari ke 4 setelah hasil tes mantoux (-).
Sebelum memulai terapi inisial dengan kortikosteroid, dilakukan skrining
TB pada pasien. Hal ini sesuai dengan Konsensus Penatalaksanaan Sindrom
Nefrotik Idiopatik Pada Anak IDAI. Dari hasil skrining dengan poin 3 dapat
disingkirkan kecurigaan TB hingga pada perawatan hari ke 4 terapi inisial
dimulai.
Dari hasil pemeriksaan urin juga didapatkan leukosituria dan pasien juga
sempat mengeluh nyeri pada pinggang kiri. Dan setelah dilakukan kultur urin
didapatkan kuman Acinobacter baumanni hingga dapat ditegakkan diagnosa
tambahan infeksi saluran kemih asimpomatik. Terapi yang diberikan adalah
Ceftriaxon injeksi 2x1 gr.
Berdasarkan teori, ISK adalah bertumbuh dan berkembang biaknya kuman
dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna. Sedangkan ISK asimptomatik
adalah terdapatnya bakteri saluran kemih tanpa menimbulkan gejala. Umumnya
didiagnosis saat melakukan pemeriksaan urin.10 Pada kasus ini didapatkan

26
leukosituria(+) dan pada kultur urin bakteriuria (+) sehingga dilakukan tatalaksana
ISK.

27
BAB V
KESIMPULAN

An. W 14 tahun datang dengan keluhan bengkak diseluruh tubuh. Bengkak


dimulai pada mata, kemudian kedua kaki, dan perut. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan hipertensi, edem palpebra, asites, dan pitting edema. Pada pemeriksaan
penunjang ditemukan proteinuria, hematuria, hipoalbuminemia dan
hiperkolestronemia sehingga dapat ditegakkan diagnosa sindrom nefrotik. Pasien
mendapat terapi retriksi cairan, diuretik, dan dan kortikostreroid dosis inisial.
Pada pasien juga ditemukan leukosituria dan bakteriuria (+) pada hasil
kultur urin. Pada pasien ditegakkan infeksi saluran kemih asimptomatik dan
mendapat terapi antibiotikyang sensitif terhadap kuman tersebut.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus


K, Setiati Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam, vol I. Edisi VI. Jakarta :
Internal publishing FKUI; 2014.
2. Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik pada Anak. Unit Kerja
Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016
3. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of
Pediatric 18th ed. Saunders. Philadelphia.
4. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
5. Mishra K, Kanwal S K, Sajjan SV, Bhaskar V, Rath B. Predictors of
poor outcome in childreanwith steroid sensitive nephrotic syndrome.
Nefrologia. 2017
6. Umboh, Adrian. Hubungan aspek klinis dan laboratorium pada
sindromnefrotik sensitif steroid dan sindrom nefrotik resisten steroid.
Sari Pediatri, Vol.15 No.3,2015.
7. Alatas,H. Trihono P, Tambunan T, Pardede S, Hidayati E. Current
Updates in Management of Nephrotis Syndrome in Children. Sari
Pediatri Vo.17No. 2, 2015.
8. Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). Kidney
International 2012
9. Lombel RM, Hodson EM, Gipson DS. Treatment ofsteroid resistant
nephrotic syndrome in children: newguidelines from KDIGO. Pediatr
Nephrol 2013
10. Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus. Unit Kerja
Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012

29

Anda mungkin juga menyukai