**Pembimbing
APPENDISITIS PERFORASI
i
ii
LEMBAR PENGESAHAN
APPENDISTIS PERFORASI
Oleh:
Anisa Rifkia. ZS
G1A218108
Universitas Jambi
2019
Pembimbing,
ii
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan judul “Peritonistis Diffuse et causa Appendisitis
Perforasi”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior
di bagian Bedah RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Amran Sinaga, Sp. B, selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan Case
Report Session ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi
kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
Penulis
iii
iv
DAFTAR ISI
Halaman Judul......................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................ iv
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak ±3 hari
yang lalu SMRS.
STATUS GENERALISATA
Kulit
Warna : Sawo matang Turgor : Baik
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : Dalam batas normal
Jar. Parut : (-)
Edema : (-)
Ikterus : (-)
Kelenjar
Pembesaran Kel. Submandibula : (-)
Jugularis Superior : (-)
4
Submental : (-)
Jugularis Interna : (-)
Kepala
Bentuk kepala : Normocephal
Ekspresi muka : Tampak sakit sedang
Simetris muka : Simetris
Rambut : Tampak hitamtumbuh merata
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan syaraf : (-)
Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Conjungtiva anemis : (-/-)
Sklera Ikterik : (-/-)
Pupil : Isokor (+/+)
Lensa : Tidak keruh
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : Baik kesegala arah
Hidung
Bentuk : Normal Selaput lendir : normal
Septum : Deviasi (-) Penumbatan : (-)
Sekret : (-) Perdarahan : (-)
Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi geligi : Dbn
Gusi : Berdarah (-)
Lidah : Tremor (-)
5
Leher
Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Tekanan vena jugularis : (2-5) cm H2O
Thorax
Bentuk : Simetris
Paru-paru
Inspeksi : Pernafasan simetris
Palpasi : Fremitus taktil normal, nyeritekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
Perkusi batas jantung
Kanan : ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS V Linea midklavikularis sinistra
Atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi :
Cembung, distensi abdomen (+), sikatrik (-), massa (-), bekas
operasi (-)
Palpasi :
Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen (+), nyeri lepas (+),
defans muscular (+), hepar dan lien tidak teraba, Mcburney sign
(+), Rovsing sign (+), Psoas sign (+), obturator sign (+).
6
Perkusi :
Hipertimpani (+), nyeri ketuk (+) di seluruh lapangan abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) menurun
Genetalia Eksterna
Dalam batas normal
Ekstremitas atas
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Extremitas bawah
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Elektrolit (28-3-2019)
Na : 133,81 mmol/L (135-148)
K : 3,98 mmol/L (3,5-5,3)
Cl : 97,39 mmol/L (98-110)
Ca : 1,22 mmol/L (1,19-1,23)
PemberiksaanRadiologi
8
2.7 Penatalaksanaan
- Acc rawat
- Inj. Bioxon 2gr
- Inj. Omeprazole/12 jam
- Rencana operasi CITO, 29 Mei 2019
9
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad santionam : dubia ad bonam
10
TGl S O A P
28/5/19 nyeri perut KU: sakit Abdomen Peritonitis - IVFD RL 1 kolfcor
(+) mual (+), sedang I: distensi (+) - Inj. Metronidazole if/s
diffuse ec
muntah (+) A: BU (+) - Pro Laparotomy
demam (+) Kesadaran: P: NT(+) apppendisitis eksplorasi tgl 29/5/2019,
CM seluruh lapang hasil USG menunjukkan
perforasi
TD:150/90 perut, mc adanya appendisitis.
Nadi: 84 x/m burney(+)
RR: 24 x/m P: hipertimpani
Suhu: 37,8 ºC
31/5/18 Nyeri pada KU : tampak - Jml drain: 410 Post op -IVFD RL 20 tpm
bekas kesakitan cc (merah) -Aminofluid 15tpm
laparatomy hari
operasi. Post GCS : Jml urin: 1600 -Metronidazole 3x1 flash
op hari E4V5M6 cc (kuning kedua -Inj. Bioxone 1x2 gr
kedua. Skala TD : 150/80 keruh) -Inj. Omz 2x1 gr
a/iPeritonitis
nyeri 3. RR : 20x /m -Pronalges supp
N : 86 x /m diffuseecapppen -Inj. Ranitidin 2 amp
T : 37⁰C
disitis perforasi
03/6/19 Nyeri perut KU: Tampak - Jml drain: 160 Post op - IVFD RL 20 tpm
(+), post op sakit dan cc (merah) - Aminofluid 15tpm
laparatomy hari
hari lima lemah, Jmlurin: 5800 - Inj. Bioxone 1x2 gr
(skala nyeri
GCS 15 cc (kuning) ke lima a/i - Inj. Omz 2x1 gr
4)
TD : 130/90 Peritonitis
RR : 20x /m
diffuse ec
N : 88x /m
T : 36,9 oC apppendisitis
perforasi
04/6/19 Nyeri perut KU: Tampak - Hb: 10,3 gr Post op - IVFD RL 20 tpm
(+), post op sakit dan - Jml drain: 5 - Aminofluid 15tpm
laparatomy hari
hari keenam lemah, cc (merah) - Inj. Bioxone 1x2 gr
(skalanyeri - Jml urin: 4800 kelima a/i
GCS 15
3) cc (kuning)
TD : 130/80 Peritonitis
RR : 18x /m
diffuse ec
N : 80x /m
T : 36,9⁰C apppendisitis
perforasi
05/6/19 Nyeri perut KU: Tampak - Jml drain: 60 Post op - IVFD RL 20 tpm
(+), post op sakit dan cc (merah) - Aminofluid 15tpm
laparatomy hari
hari ketujuh lemah, - Jmlurin: 300 - Inj. Bioxone 1x2 gr
(skalanyeri cc (kuning) ke lima a/i
GCS 15
3)
12
TD : 130/80 Peritonitis
RR : 18x /m
diffuse ec
N : 80x /m
T : 36,9 oC apppendisitis
perforasi
06/6/19 Nyeri perut KU: Tampak Abdomen Post op - Aff drain, NGT
(+), post op sakit dan I: datar, supel - IVFD RL 15 tpm
laparatomy hari
hari ketujuh lemah, A: BU (+) - Opimer 3x1gr
(skala nyeri normal ke lima a/i
GCS 15
3) P: nyeri post
TD : 130/80 Peritonitis
op (+)
RR : 18x /m
P: timpani diffuse ec
N : 80x /m
T : 36,9⁰C apppendisitis
perforasi
07/6/19 Nyeri perut KU: Tampak Abdomen Post op - Inj. Ketorolac drip
(+), post op sakit dan I: datar, supel - PCT tablet
laparatomy hari
hari ke lemah, A: BU (+)
delapan
GCS 15
normal ke lima a/i - Pulang
(skalan yeri P: nyeri post
TD : 130/70 Peritonitis
3) op (+)
RR : 20x /m
P: timpani diffuse ec
N : 80x /m
T : 36 oC apppendisitis
perforasi
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Peritonitis
3.1.1 Definisi
3.1.2. Klasifikasi
Peritonitis umumnya dikategorikan menjadi primary peritonitis (primer),
secondary peritonitis (sekunder) , dan tertiary peritonitis (tersier).1,2,3
13
14
Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen
yang mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomenn,6 sedangkan
peritoneum visceral dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga
memberikan suplai saraf otonom pada organ visceral tersebut (Gambar 5).7
Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon sensasi
apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau
parietal. Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau
kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri
umumnya terjadi di satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi
peritoneum parietal yang terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain
menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir, juga menghantarkan refleks
kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal peritoneum. Refleks inilah
yang menyebabkan localizedhypercontractility (muscle guarding) dan perut
papan (rigidity of abdominal wall).6 Di sisi lain, iritasi dari peritoneum
visceral tidak memberikan sensasi nyeri dan refleks otot yang serupa seperti
pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf visceral peritoneum visceral
terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu daerah dari tiga lokasi,
antara lain lokasi epigastrium (struktur foregut), periumbilikal (struktur
midgut), dan suprapubik (struktur hindgut).6,7
17
3.1.5. Etiologi
Sesuai dengan definisinya, peritonitis secara prinsip merupakan
peradangan yang terjadi pada peritoneum akibat adanya kerusakan pada
peritoneum. Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi
yang berbeda dalam patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi
terjadinya peritonitis tidak berasal dari traktus gastrointestinal (infeksi yang
nantinya terjadi tidak berhubungan langsung dengan gangguan organ
19
3.1.6. Patofisiologi
Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang
kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis
dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat
terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi
perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan
parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
20
Anoreksia, mual, dan muntah adalah gejala yang sering. Namun demikian,
tergantung pada etiologi peritonitis dan waktu evolusi mereka, gejalanya dapat
bervariasi. Sebagian besar pasien terlihat dalam kondisi umum yang
buruk.Suhu biasanya di atas 38 ° Celcius, tetapi pasien yang memiliki syok
septik mungkin mengalami hipotermia. sedangkan pada tanda klinis sistemik
dapat ditemukan adanya demam, takikardia, takipnea, dehidrasi, oliguria,
disorientasi, dan syok (manifestasi SIRS). Takikardia dan penurunan
amplitudo denyut nadi merupakan indikasi hipovolemia, dan mereka sering
terjadi pada sebagian besar pasien. Pasien datang dengan curah jantung tinggi
dan penurunan resistensi vaskular sistemik. Mereka mungkin mengalami
peningkatan tekanan nadi.4
21
3.1.8. Diagnosis
Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik.2,4 Anamnesis harus mencari kemungkinan
sumber etiologi dari peritonitis sekunder sehingga harus ditanyakan mengenai
riwayat penyakit sekarang (riwayat dyspepsia kronis mengarahkan ke
perforasi ulkus peptikum, riwayat inflammatory bowel disease atau
divertikulum mengarahkan perforasi kolon karena divertikulitis, riwayat
demam lebih dari 1 minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis khas
untuk tifoid mengarahkan ke perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah
inguinal (inguinalis atau femoralis) harus disuspek kemungkinan adanya
strangulasi, sedangkan nyeri mendadak tanpa disertai adanya riwayat penyakit
apapun mengarahkan ke appendisitis perforasi), riwayat operasi abdomen
sebelumnya.2 Berbeda dengan peritonitis sekunder, peritonitis primer patut
dicurigai pada pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat penyakit
liver kronis (terutama sirosis hepatis).4,8
peritoneum, rasa sakitnya mungkin hebat, tetapi sejauh waktu berlalu, rasa
sakit menjadi lebih berbahaya dan lebih sulit untuk dinilai.4
. Kimia darah mungkin normal, tetapi pada kasus yang serius dapat
menunjukkan dehidrasi parah, seperti peningkatan nitrogen ureum darah
(BUN) dan hipernatremia.dan pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat
menunjukan adanya asidosis metabolik, Asidosis metabolik membantu dalam
konfirmasi diagnosis. Urinalisis sangat diperlukan untuk menyingkirkan
infeksi saluran kemih, pielonefritis, dan nefrolitiasis.4
3.1.9. Tatalaksana
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad
spectrum, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram
atau ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor
(piperacillin/tazobactam 4x 3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi
ginjal normal). 1 Terapi empiris untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada
pasien dengan primary bacterial peritonitis (PBPatau SBP). Pasien peritonitis
primer umumnya mengalami perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian
antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat diberikan selama 5 hari – 2 minggu
(tergantung perbaikan gejala dan kultur darah yang negatif). Hal yang perlu
diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya rekurensi pada SBP, sampai 70%
24
mean arterial pressure >65 mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila
dipasang central venous pressure CVP antara 8-12mmHg).4 Tindakan lainnya,
meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT) pada pasien ileus dengan
distensi perut dan mual-muntah yang dominan.9 Pada pasien penurunan
kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan pemasangan
intubasi.
3.1.10. Prognosis
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah
10%-40% pada perforasi kolon (Tabel 1).11 Faktor yang mempengaruhi
tingkat mortalitias yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi
26
3.2.Appendisitis
3.2.1. Anatomi dan Fisiologi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
dan berpangkal di sekum. Lumennya menyempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian pada bayi apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya.6
Apendiks terletak di ileosekum dan merupakan pertemuan ketiga tinea
koli. Untuk mencarinya cukup dicari pertemuan 2 tinea tersebut. Didekatnya
27
3.2.3. Patofisiologi12
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks
oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
30
proses radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau
adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, appendiks akan sembuh dan massa periapendikular akan
menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.1 Proses
inflamasi lambat laun melibatkan serosa appendiks dan peritoneum parietale
pada regio tersebut sehingga nyeri dirasa berpindah ke kanan bawah. Pada
distensi yang hebat, daerah dengan suplai darah terburuk akan lebih menderita
sehingga akan terjadi infark. Distensi, invasi bakteri, kelainan vaksular dan
infark dapat menyebabkan terjadinya perforasi. Akan tetapi, proses tersebut
tidak selalu terjadi, pada beberapa kasus dapat sembuh spontan.
Infeksi di mukosa
3.2.4. Diagnosis11
Anamnesis
Gejala klasik dari appendisitis adalah nyeri samar-samar atau tumpul yang
merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan
sering disertai dengan mual muntah, penurunan nafsu makan. Dalam beberapa
jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah titik McBurney.
Pemeriksaan Fisik
Laboratorium Leukositosis 2
Neutrofil bergeser ke kiri 1
Interpretasi:
Skor 1-4 : Tidak dipertimbangkan mengalami apendisitis akut
Skor 5-6 : Dipertimbangkan apendisitis akut, tapi tidak perlu operasi segera
Skor 7-8 : Dipertimbangkan mengalami apendistis akut
Skor 9-10 : Hampir definitif mengalami apendisitis akut dan dibutuhkan
tindakan bedah
Interpretasi:
Skor < 6 : Jarang appendicitis
Skor 6-11.5 : Kemungkinan appendicitis (Monitoring)
Skor > 11.5 : Appendisitis sangat sering
Pemeriksaan Penunjang12
a. Laboratorium
1. Pemeriksaan darah
Akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut
terutama pada kasus dengan komplikasi. Leukositosis sedang (10000-
18000/mm3) dan disertai predominan polimorfonuklear sel yang terdapat
pada kasus apendisitis akut. Tetapi jika jumlah leukosit lebih dari 18000 /
mm, atau pergeseran ke kiri sangat mencolok, appendisitis perforasi atau
proses peradangan organ visceral yang lebih besar mungkin terjadi. Pada
appendikular infiltrat, LED akan meningkat.
2. Pemeriksaan urin
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai
gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis. Urinalisa ditemukan
BJ tinggi karena dehidrasi. Jika letak appendiks dekat vesika urinaria akan
ditemukan eritrosit dan leukosit dalam urinalisa.
36
b.Radiologis
1. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fekalit sebagai penyebab appendisitis.
Gambaran appendikolit pada foto polos abdomen, caecum yang distensi
merupakan kunci diagnosa appendisitis. Selainitu, dapatdilihattanda-tanda
peritonitis. Kebanyakan kasus appendisitis akut didiagnosa tanpa
memperlihatkan kelainan radiologi. Foto polos bisa memperlihatkan
densitas jaringan lunak dalam kuadran kanan bawah, bayangan psoas
kanan abnormal, gas dalam lumen appendiks dan ileus lebih menonjol.
Foto pada keadaan berbaring bermanfaat dalam mengevaluasi keadaan-
keadaan patologi yang meniru appendisitis akut. Contohnya udara bebas
intraperitoneum yang mendokumentasi perforasi berongga seperti duo
denum atau kolon. Kelainan berupa radio opaque, benda asing serta batas
udara cairan di dalam usus yang menunjukkan obstruksi usus. Sebaiknya
dilakukan BNO dalam 3 posisi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada
anak-anak.
2. Barium enema
Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
37
(Tampak atas) ultrasound pada bagian kanan bawah perut (tampak kiri,
noncompress/tidak ada kepadatan; tampak kanan, compresses/adanya
38
5. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses. CT-
Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100%
dan 96-97%, serta akurasi 94-100%. CT-Scan sangat baik untuk
mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon.
3.2.5. Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah appendektomi. Pada appendicitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada
appendicitis gangrenosa atau appendicitis perforata.
39
3.2.6. Komplikasi11
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi. Baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,
sekum, dan lekuk usus halus.2
Komplikasi apendisitis akut diantaranya :
- Apendisitis abses
- Apendisitis perforata
- Apendisitis kronis
3.2.7. Prognosis12
Prognosis untuk appendisitis adalah bonam. Angka kematian akibat
appendisitis di Amerika Serikat telah menurun dari 9,9 per 100.000 pada
tahun 1939 menjadi 0,2 per 100.000 pada tahun 1986. Hal ini disebabkan oleh
karena diagnosis dini dan penatalaksanaan yang baik, adanya antibiotik yang
baik, cairan intravena, tersedianya darah dan terapi yang tepat sebelum
terjadinya perforasi. Hal-hal lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya angka
kematian akibat appendisitis adalah umur pasien dan terjadinya perforasi.
Pada orang tua dengan komplikasi perforasi maka angka kematiannya menjadi
jauh lebih tinggi dbandingkan dengan orang muda tanpa perforasi.12
BAB IV
ANALISA KASUS
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis di region abdomen terlihat distensi
abdomen, ketika di palpasi terdapat nyeri tekan (+) dan nyeri lepas (+) pada
seluruh bagian perut, defans muscular (+), Rovsing sign (+), Psoas sign (+),
obturator sign (+), pada aukustasi bunyi bising usus menurun, saat di perkusi
terdapat suara hipertimpani di bagian perut, nyeri ketuk (+).
PemeriksaanPenunjang
Terjadi peningkatan dari WBC yaitu 34 109/L,pada pemeriksaan foto polos
menunjukkan tanda-tanda peritoneum.
Diagnosa
Diagnosa pada pasien ini adalah peritonitis et causa appendisitis perforasi
40
41
Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah tindakan bedah. Pada penderita yang
diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi atau rontgen appendicogram dan CT
Scan abdomen dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan.
Penangan pada pasien ini selama observasi yaitu dipasang NGT, kateter, rehidrasi
dengan Ringer Lactat dan pemberian antibiotik.
1. Pre Op
- IVFD RL 1 kolfcor
- Inj. Metronidazole if/s
- Pasang kateter dan NGT
- Ajukan USG Abdomen
2. Operasi
- Laparotomi eksplorasi
- Appendektomi
3. Post Op
- IVFD RL 20 tpm
- Aminofluid 15tpm
- Metronidazole 3x1 flash
- Inj. Bioxone 1x2 gr
- Inj. Omz 2x1 gr
- Pronalges supp
- Inj. Ranitidin 2 amp
BAB V
KESIMPULAN
42
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Silen W. Chapter 300. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo DL, Fauci
AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies. 2012
2. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Medscape
2013. Accessed in: http://emedicine.medscape.com/article/180234-
overview#showall
3. Chris tanto, et al. KapitaSelektaKedokteran. Ed IV. Jakarta : Media
Aeskulapius; 2014
4. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill
Patient. Surg Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49
5. Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR.
Essential Clinical Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins. 2007.
p. 118-204
6. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S.
Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th Edition.
Churchill Livingstone El Sevier. 2008.
7. Neurobiology of Visceral Pain. International Association for the Study of Pain
2012.
8. Johnson CC, Baldessarre J, Levison ME. Peritonitis: Update on
Pathophysiology, Clinical Manifestations, and Management. Clin Inf Dis
1997;24:1035-47
9. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT
Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
Accessed November 11, 2013.
10. Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar FisiologiKedokteran. Edisi 9.
Jakarta: EGC
11. Sjamsuhidajat, R., W.D. Jong. 2012. Buku Ajar IlmuBedahEdisi 3.
Jakarta: EGC: 2012.
12. Sabiston, et al. Sabiston texbook of surgery the biological basis of modern
surgical practice. Edisike 18; 2007.