Anda di halaman 1dari 19

Journal Reading

“Pertussis in Children: Problems in Indonesia”

Pembimbing:
dr. Arief Wijaya, Sp.A

oleh:
Nurmila Baitika Devi (201704200314)
PENDAHULUAN

• Pertussis atau batuk rejan atau batuk • Telat mendiagnosis sering membuat pasien
100 hari meningkat akhir-akhir ini datang dengan komplikasi berat dan kegaga
• Pertusis umumnya under-diagnosed lan pernafasan.
• Tenaga medis memiliki pengetahuan • Kurangnya laporan kasus mungkin disebabk
an karna keadaan demografis indonesia yan
terbatas mengenai pertussis
g terdiri dari ribuan pulau dan fasilitas komu
• Diagnosis  adanya presentasi klinis nikasi rendah.
karena pemeriksaan penunjang untuk
diagnosis seperti culture dan test PCR
tidak tersedia
Tujuan

mereview masalah
management pertus
is pada anak - anak
di indonesia.
Metode

• Peneliti mencari data2 di pubmed/medline, Elsevier, dan website


resmi dengan kata kunci: pertussis, whooping cough, diagnosis d
an treatment, problem, Indonesia
• Peneliti meriview algoritma terbaru, klasifikasi kasus, dan guidelin
e WHO dan CDC dan beberapa masalah mengenai pertussis dal
am diagnosis dan terapi pada anak-anak di indonesia
Situasi di Indonesia
200.868 Bayi
2012 Paling rentan
cases WHO < 6 bln

50% bayi Memerlukan rawat


• 95%  Negara berkembang <1th inap
50% Pneumonia
• Di Indonesia, konfirmasi uji 1% Meninggal akibat
laboratorium hampir tidak mungkin pneumonia
karena fasilitas kultur mikrobiologi
untuk Bordetella pertussis tidak
• Sebagian besar kematian disebabkan oleh
tersedia kecuali di beberapa
bayi muda yang tidak divaksinasi atau tidak
laboratorium di Jawa Barat
divaksinasi lengkap
• Meskipun cakupan vaksinasi • Setelah penurunan kejadian pertusis sete
lah imunisasi sekitar tahun 1970, pember
DPT3 lebih dari 80%, ada 2.970
itahuan kasus di Asia Tenggara mencatat
kasus pertusis yang kebangkitan pertusis yang meningkat da
terdokumentasi yang dilaporkan ri 38.510 kasus pada tahun 2000 menjadi
di Indonesia pada tahun 2013 52.871 pada tahun 2014.
Klasifikasi
• Algoritma diagnosis dibuat karena adanya perbedaan klinis
antara bayi dan anak-anak serta tidak adanya fasilitas Lab,
terutama di negara berkembang
• WHO dan CDC telah mengembangkan kriteria untuk definisi
kasus pertusis yang berlaku di berbagai keadaan, termasuk di
negara dengan keterbatasan sumber
• Kasus-kasus yang memenuhi kriteria definisi kasus klinis harus
dikonfirmasi dengan tes laboratorium yang sesuai (yaitu,
kultur atau uji PCR) atau adanya kontak dengan kasus yang
dikonfirmasi laboratorium.
Klasifikasi
CDC WHO
• kasus pertusis akan diklasifikasikan • definisi kasus pertusis oleh WHO mirip
sebagai salah satu dari dua klasifikasi, dengan CDC, tetapi WHO memiliki
1. dikonfirmasi secara klinis: kasus yang beberapa kriteria tambahan : apnea
memenuhi definisi kasus klinis tetapi (dengan atau tanpa sianosis) (untuk
tidak dikonfirmasi laboratorium bayi yang hanya berusia kurang dari
2. dikonfirmasi laboratorium: kasus satu tahun)
yang memenuhi kasus klinis definisi • Kriteria klinis untuk pertusis oleh WHO
dan sudah dikonfirmasi laboratorium  batuk ≥ 2mg
• Definisi kasus pertusis  Salah satu gejala
 batuk ≥ 2mg  kontak dengan kasus pertusis yang
 minimal satu dari gejala dikonfirmasi laboratorium
 tanpa sebab yang jelas lainnya • Kriteria laboratorium
 PCR positif untuk B. pertusis,
WHO

PROBABLE CONFIRMED

Batuk (any duration)


Batuk ≥ 2mg
Minimal satu dari gejala
Minimal satu dari gejala
Kontak dengan kasus terkonfirmasi lab
Kontak dengan kasus terkonfirmasi (+)
lab (-)
Lab konfirmasi (+)
Lab konfirmasi (-)
• Kultur dan RT-PCR
memberikan hasil positif
pada bayi, kultur lebih
spesifik dan RT-PCR lebih
sensitif
• Gold standar adalah kultur
karena 100% spesifik, dan
juga untuk identifikasi strain
dan resistensi antibiotik.
• Metode kultur memiliki
sensitivitas berkisar antara
10% hingga 60%
• Pedoman kriteria WHO sulit diterapkan di Indonesia,
terutama untuk bayi kurang dari satu tahun.
• Jika benar-benar mengikuti kriteria itu, sebagian besar kasus
tidak memenuhi definisi kasus pertusis dan akhirnya akan
diklasifikasikan sebagai bukan kasus  Ini karena PCR untuk
pertusis tidak tersedia dan kultur hanya tersedia di lab
tertentu
• Selain itu, sebagian besar pasien berusia kurang dari satu
tahun dengan batuk tidak spesifik dengan durasi berapa pun
• Di Indonesia kebanyakan kasus adalah bayi kurang dari satu
tahun, datang dengan batuk berdurasi berapa pun, dan
didiagnosis sebagai bronkopneumonia.
Terapi Pertusis di Indonesia

• MRS pasien dikaitkan dengan usia muda <18 minggu. Presentasi klinis yang terkait
dengan masuk ke Pediatric Intensive Care Unit (PICU) termasuk denyut jantung >
180 bpm, total jumlah WBC> 25 x 109 / L
• Pengobatan pertusis bertujuan untuk mengobati infeksi bakteri dan juga
gejalanya. Sebagian besar B. pertusis secara spontan akan dibersihkan dari
nasofaring dalam 2-4 minggu infeksi, tetapi masih tetap sebagai carier selama 6
minggu. Jika antibiotik dimulai awal pada tahap catharal, dapat mempersingkat
perjalanan dan mengurangi keparahan. Tetapi sebagian besar pasien datang
dalam tahap paroxysmal, dan kondisi ini membuat antibiotik tidak efektif karena
manifestasi klinisnya disebabkan oleh efek yang dimediasi toksin.
• Durasi terapi antibiotik bervariasi antara 5-14 hari.
• Ulasan Cochrane baru-baru ini menyimpulkan bahwa pengobatan jangka pendek
dengan makrolida (azitromysin (3-5 hr), atau klaritromysin atau eritromysin
selama tujuh hari) sama efektifnya dengan pengobatan jangka panjang, dengan
efek samping yang lebih sedikit
• Di Indonesia pasien ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan atau BPJS Kesehatan.
• Obat-obatan yang tercantum dalam katalog (Formularium Nasional) semua tingkat
fasilitas kesehatan untuk macrolide hanya erythromycin
• batuk paroxysms yang parah telah menyebabkan komplikasi dan lebih sering
terjadi pada bayi yang tidak kebal.
• Komplikasi termasuk pneumonia, kegagalan untuk berkembang, kejang,
ensefalopati, hipoksia serebral, infeksi bakteri sekunder, hipertensi paru, prolaps
rektum, apnea dan kematian
Pencegahan
• Pertusis dapat dicegah dengan imunisasi, sekitar 80-85% efektif untuk mencegah
infeksi
• Program imunisasi nasional Indonesia sudah termasuk DTP, tetapi untuk booster
18-24 bulan sebenarnya dimulai pada 2013 hanya untuk empat provinsi (Jawa B
arat, DI Yogyakarta, Bali, dan Nusa Tenggara Barat), sehingga sebelum itu tidak
ada booster. Dan kemudian, akhirnya pada 2014 semua provinsi di Indonesia tel
ah memasukkan DTP booster sampai sekarang
Kesimpulan
• Meskipun kurangnya fasilitas laboratorium kasus-kasus yang disajikan pada ta
hap akhir penyakit yang tidak dapat dilakukan dan memberikan hasil laboratori
um yang memadai untuk mendukung diagnosa pertusis pada anak-anak, pedo
man WHO dan CDC akan membantu untuk membuat diagnosa dan klasifikasi
pertusis secara seragam. Namun pedoman ini, terutama pedoman WHO harus
diterapkan secara bijak sesuai dengan berbagai pengaturan di Indonesia
• Mudah-mudahan di Indonesia, pertusis dapat didiagnosis segera, sehingga ter
api yang cepat dapat diberikan untuk mengurangi komplikasi dan kematian.
• Pencegahan dapat dilakukan dengan profilaksis antibiotik pada orang yang ter
pajan, mengisolasi anak-anak dengan pertusis yang dikonfirmasi atau diduga d
ari sekolah atau tempat penitipan anak, dan meningkatkan dukungan pada pro
gram imunisasi.

Anda mungkin juga menyukai