Pembimbing:
dr. Arief Wijaya, Sp.A
oleh:
Nurmila Baitika Devi (201704200314)
PENDAHULUAN
• Pertussis atau batuk rejan atau batuk • Telat mendiagnosis sering membuat pasien
100 hari meningkat akhir-akhir ini datang dengan komplikasi berat dan kegaga
• Pertusis umumnya under-diagnosed lan pernafasan.
• Tenaga medis memiliki pengetahuan • Kurangnya laporan kasus mungkin disebabk
an karna keadaan demografis indonesia yan
terbatas mengenai pertussis
g terdiri dari ribuan pulau dan fasilitas komu
• Diagnosis adanya presentasi klinis nikasi rendah.
karena pemeriksaan penunjang untuk
diagnosis seperti culture dan test PCR
tidak tersedia
Tujuan
mereview masalah
management pertus
is pada anak - anak
di indonesia.
Metode
PROBABLE CONFIRMED
• MRS pasien dikaitkan dengan usia muda <18 minggu. Presentasi klinis yang terkait
dengan masuk ke Pediatric Intensive Care Unit (PICU) termasuk denyut jantung >
180 bpm, total jumlah WBC> 25 x 109 / L
• Pengobatan pertusis bertujuan untuk mengobati infeksi bakteri dan juga
gejalanya. Sebagian besar B. pertusis secara spontan akan dibersihkan dari
nasofaring dalam 2-4 minggu infeksi, tetapi masih tetap sebagai carier selama 6
minggu. Jika antibiotik dimulai awal pada tahap catharal, dapat mempersingkat
perjalanan dan mengurangi keparahan. Tetapi sebagian besar pasien datang
dalam tahap paroxysmal, dan kondisi ini membuat antibiotik tidak efektif karena
manifestasi klinisnya disebabkan oleh efek yang dimediasi toksin.
• Durasi terapi antibiotik bervariasi antara 5-14 hari.
• Ulasan Cochrane baru-baru ini menyimpulkan bahwa pengobatan jangka pendek
dengan makrolida (azitromysin (3-5 hr), atau klaritromysin atau eritromysin
selama tujuh hari) sama efektifnya dengan pengobatan jangka panjang, dengan
efek samping yang lebih sedikit
• Di Indonesia pasien ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan atau BPJS Kesehatan.
• Obat-obatan yang tercantum dalam katalog (Formularium Nasional) semua tingkat
fasilitas kesehatan untuk macrolide hanya erythromycin
• batuk paroxysms yang parah telah menyebabkan komplikasi dan lebih sering
terjadi pada bayi yang tidak kebal.
• Komplikasi termasuk pneumonia, kegagalan untuk berkembang, kejang,
ensefalopati, hipoksia serebral, infeksi bakteri sekunder, hipertensi paru, prolaps
rektum, apnea dan kematian
Pencegahan
• Pertusis dapat dicegah dengan imunisasi, sekitar 80-85% efektif untuk mencegah
infeksi
• Program imunisasi nasional Indonesia sudah termasuk DTP, tetapi untuk booster
18-24 bulan sebenarnya dimulai pada 2013 hanya untuk empat provinsi (Jawa B
arat, DI Yogyakarta, Bali, dan Nusa Tenggara Barat), sehingga sebelum itu tidak
ada booster. Dan kemudian, akhirnya pada 2014 semua provinsi di Indonesia tel
ah memasukkan DTP booster sampai sekarang
Kesimpulan
• Meskipun kurangnya fasilitas laboratorium kasus-kasus yang disajikan pada ta
hap akhir penyakit yang tidak dapat dilakukan dan memberikan hasil laboratori
um yang memadai untuk mendukung diagnosa pertusis pada anak-anak, pedo
man WHO dan CDC akan membantu untuk membuat diagnosa dan klasifikasi
pertusis secara seragam. Namun pedoman ini, terutama pedoman WHO harus
diterapkan secara bijak sesuai dengan berbagai pengaturan di Indonesia
• Mudah-mudahan di Indonesia, pertusis dapat didiagnosis segera, sehingga ter
api yang cepat dapat diberikan untuk mengurangi komplikasi dan kematian.
• Pencegahan dapat dilakukan dengan profilaksis antibiotik pada orang yang ter
pajan, mengisolasi anak-anak dengan pertusis yang dikonfirmasi atau diduga d
ari sekolah atau tempat penitipan anak, dan meningkatkan dukungan pada pro
gram imunisasi.