**Pembimbing
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh:
Fazilla Maulidia
G1A219104
Universitas Jambi
2021
Pembimbing,
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan Case Report Session
ini dengan judul “Peritonitis Diffuse Et Causa Trauma Tumpul Abdomen”. Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian BedahRSUD Raden
Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai
pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Dennison, Sp.
B, selaku pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga laporan Case Report Session
ini dapat terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan Case Report Session ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup semoga kiranya
laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia
kesehatan pada umumnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan
patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan komplikasi tersering
dari trauma tumpul abdomen karena adanya rupture pada organ.
Trauma tumpul abdomen yaitu trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga
peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi, atau
sabuk pengaman. Trauma tumpul abdomen sering kali ditemui pada unit gawat darurat.
Sebanyak 75% kasus trauma tumpul abdomen adalah sebagai akibat dari kecelakaan lalu
lintas, baik itu kendaraan dengan kendaraan maupun kendaraan dengan pejalan kaki.
Pasien dengan trauma tumpul abdomen memerlukan penatalaksanaan yang cepat dan
efisien. Pada trauma ganda, abdomen merupakan bagian yang tersering mengalami cedera.
Seorang pasien yang terlibat kecelakaan serius harus dianggap cedera abdominal sampai
terbukti lain. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari
kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak ± 3 jam SMRS
setelah kejadian kecelakaan.
STATUS GENERALISATA
Kulit
Warna : Sawo matang Turgor : Baik
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : Dalam batas normal
Jar. Parut : (-)
Edema : (-)
Ikterus : (-)
Kelenjar
Pembesaran Kel. Submandibula : (-)
Jugularis Superior : (-)
Submental : (-)
Jugularis Interna : (-)
Kepala
Bentuk kepala : Normocephal
Ekspresi muka : Tampak sakit berat
Simetris muka : Simetris
Rambut : Tampak hitam tumbuh merata
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan syaraf : (-)
Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Conjungtiva anemis : (-/-)
Sklera Ikterik : (-/-)
Pupil : Isokor (+/+)
Lensa : Tidak keruh
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : Baik kesegala arah
Hidung
Bentuk : Normal Selaput lendir : normal
Septum : Deviasi (-) Penumbatan : (-)
Sekret : (-) Perdarahan : (-)
Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi geligi : Dbn
Gusi : Berdarah (-)
Lidah : Tremor (-)
Bau pernafasan : Dbn
Leher
Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cm H2O
Thorax
Bentuk : Simetris
● Paru-paru
▪ Inspeksi : Pernafasan simetris
▪ Palpasi : Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
▪ Perkusi : Sonor (+/+)
▪ Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
● Jantung
▪ Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
▪ Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
▪ Perkusi batas jantung
Kanan : ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS V Linea midklavikularis sinistra
Atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternalis sinistra
▪ Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
● Abdomen
▪ Inspeksi :
Datar, distensi abdomen (+), sikatrik (-), massa (-), bekas operasi (-),
▪ Palpasi :
Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen (+), nyeri lepas (+), defans muscular
(+), hepar dan lien tidak teraba.
▪ Perkusi :
Hipertimpani (+), nyeri ketuk (+) di seluruh lapangan abdomen
▪ Auskultasi : Bising usus (+) menurun
Genetalia Eksterna
Dalam batas normal
Ekstremitas atas
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Extremitas bawah
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
STATUS GENERALISATA
Kulit
Warna : Sawo matang Turgor : Baik
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : Dalam batas normal
Jar. Parut : (-)
Edema : (-)
Ikterus : (-)
Kelenjar
Pembesaran Kel. Submandibula : (-)
Jugularis Superior : (-)
Submental : (-)
Jugularis Interna : (-)
Kepala
Bentuk kepala : Normocephal
Ekspresi muka : Tampak sakit berat
Simetris muka : Simetris
Rambut : Tampak hitam tumbuh merata
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan syaraf : (-)
Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Conjungtiva anemis : (-/-)
Sklera Ikterik : (-/-)
Pupil : Isokor (+/+)
Lensa : Tidak keruh
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : Baik kesegala arah
Hidung
Bentuk : Normal Selaput lendir : normal
Septum : Deviasi (-) Penumbatan : (-)
Sekret : (-) Perdarahan : (-)
Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi geligi : Dbn
Gusi : Berdarah (-)
Lidah : Tremor (-)
Bau pernafasan : Dbn
Leher
Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cm H2O
Thorax
Bentuk : Simetris
● Paru-paru
▪ Inspeksi : Pernafasan simetris
▪ Palpasi : Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
▪ Perkusi : Sonor (+/+)
▪ Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
● Jantung
▪ Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
▪ Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
▪ Perkusi batas jantung
Kanan : ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS V Linea midklavikularis sinistra
Atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternalis sinistra
▪ Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
● Abdomen
▪ Inspeksi :
Cembung, distensi abdomen (-),sikatrik (-), massa (-), bekas operasi (+),
▪ Palpasi :
Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen (-), nyeri lepas (+), defans muscular
(-), hepar dan lien tidak teraba, Mcburney sign (-), Rovsing sign (-), Psoas
sign (-), obturator sign (-).
▪ Perkusi :
Hipertimpani (+), nyeri ketuk (+)
▪ Auskultasi : Bising usus (+)
Genetalia Eksterna
Dalam batas normal
Ekstremitas atas
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Extremitas bawah
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
2.7 Penatalaksanaan
1. Pre operasi
● IVFD RL 30 tpm
● Kateter
● NGT
● Inj keterolac 3x1 amp
● Inj ranitidin 2x1 amp
● Inj ondensartan 2x1 amp
● Inj omeprazole 1x1 vial
2. Operasi
● Laparotomi eksplorasi
● Reseksi + anastomosis ileum
3. Post op
● Post Operasi Laparatomy
● IVFD RL 30 tpm
● Inj. Ceftriaxon1 x 2gr
● Inj. omeprazole 1 x 1 amp
● Inj. Ranitidin 2 x 500mg
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad santionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Peritonitis
3.1.2 Anatomi Peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar di dalam tubuh
manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain peritoneum parietal
yang melapisi bagian internal dari dinding abdominopelvis dan peritoneum visceral yang
melapisi organ-organ abdomen.1,2
Hubungan peritoneum dan organ-organ dalam kavitas intra abdomen dikelompokkan
menjadi, antara lain organ intraperitoneal yang terlapisi seluruhnya dengan peritoneum, dan
retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, colon desendens, dan rectum) yang tidak
terlapisi maupun terlapisi hanya sebagian peritonum. Peritoneum visceral yang membungkus
atau menunjang organ-organ bersama-sama dengan jaringan ikat disekitarnya dalam kavitas
peritoneum, dikenal dengan istilah ligamen peritoneum, omentum atau mesenterium. 2
Mesenterium merupakan dua lapis peritoneum yang terjadi akibat invaginasi peritoneum
karena suatu organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan dinding posterior
abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon). 1,2 Ligamen peritoneum
terdiri dari dua lapis peritoneum yang menghubungkan organ satu dengan lainnya atau
dengan dinding abdomen (falciform ligament yang menghubungkan liver dengan dinding
abdomen anterior).1 Berbeda dengan ligamen peritoneum dan mesenterium, greater omentum
terdiri dari 4 lapisan peritoneum (karena peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan)
dengan sejumlah jaringan adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic
ligament, gastrosplenic ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser omentum terdiri
dari hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.1,2
Gambar 1. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan peritoneum parietal
dan visceral2
3.1.2 Definisi
Peritonitis didefinisikan sebagai adanya peradangan pada peritoneum baik lokal atau difus
(generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik dari natural history, dan infectious atau aseptik
dari patogenesisnya.3
3.1.3 Klasifikasi
Peritonitis umumnya dikategorikan menjadi primary peritonitis (primer),
secondary peritonitis (sekunder) , dan tertiary peritonitis (tersier).3,4,5
3.1.4 Etiologi
3.1.5 Patofisiologi
Dalam keadaan fisiologis tidak ada hubungan langsung antara lumen gastrointestinal
dengan rongga peritoneum, namun apabila terjadi kerusakan integritas dari traktus
gastrointestinal hubungan tersebut tercipta. Kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal
terjadi pada beberapa kondisi, seperti appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster
atau duodenum), perforasi gallbladder, perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, sampai
volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau obturator). 4 Akibat
kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae
(serta bakteri gram negatif dan anaerobik lainnya) masuk dalam rongga peritoneum. Infeksi
pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat polimikrobial (gram negatif aerob dan
anaerob).
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus. Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau
generalisata.
Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta
mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan
usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi
peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan
peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat
terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah. Proses inflamasi akut dalam
rongga abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis dan supresi dari peristalsis
(ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan terganggu sehingga cairan tidak hanya terdapat pada
rongga peritoneum, tetapi juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan
pertumbuhan mikroorganisme yang tidak terkontrol.
Anoreksia, mual, dan muntah adalah gejala yang sering. Namun demikian, tergantung
pada etiologi peritonitis dan waktu evolusi mereka, gejalanya dapat bervariasi. Sebagian
besar pasien terlihat dalam kondisi umum yang buruk.Suhu biasanya di atas 38 ° Celcius,
tetapi pasien yang memiliki syok septik mungkin mengalami hipotermia. sedangkan pada
tanda klinis sistemik dapat ditemukan adanya demam, takikardia, takipnea, dehidrasi,
oliguria, disorientasi, dan syok (manifestasi SIRS). Takikardia dan penurunan amplitudo
denyut nadi merupakan indikasi hipovolemia, dan mereka sering terjadi pada sebagian besar
pasien. Pasien datang dengan curah jantung tinggi dan penurunan resistensi vaskular
sistemik. Mereka mungkin mengalami peningkatan tekanan nadi.6
3.1.7 Diagnosis
Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik.4,6 Anamnesis harus mencari kemungkinan sumber etiologi dari peritonitis
sekunder sehingga harus ditanyakan mengenai riwayat penyakit sekarang (riwayat dyspepsia
kronis mengarahkan ke perforasi ulkus peptikum, riwayat inflammatory bowel disease atau
divertikulum mengarahkan perforasi kolon karena divertikulitis, riwayat demam lebih dari 1
minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis khas untuk tifoid mengarahkan ke
perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah inguinal (inguinalis atau femoralis) harus
disuspek kemungkinan adanya strangulasi, sedangkan nyeri mendadak tanpa disertai adanya
riwayat penyakit apapun mengarahkan ke appendisitis perforasi), riwayat operasi abdomen
sebelumnya.2 Berbeda dengan peritonitis sekunder, peritonitis primer patut dicurigai pada
pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat penyakit liver kronis (terutama sirosis
hepatis).6
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat, dengan temuan tanda-
tanda SIRS (tanda sistemik), dan tanda-tanda lokal seperti dijelaskan pada manifestasi klinis.
Nyeri pada palpasi adalah tanda peritonitis yang paling khas, baik untuk sentuhan yang dalam
maupun superfisial. selanjutnya dinding otot mengalami kejang secara involunter dan terjadi
spasme. Suara usus mungkin ada atau tidak ada, dan mereka mungkin menyerupai ileus
awal. Peritonitis lokal menghasilkan rasa sakit yang terlokalisasi terhadap organ penyebab
terjadinya peritonitis. Perkusi perut dapat membantu melokalkan tempat iritasi peritoneum
maksimum secara akurat dengan mencari point of maximal tenderness (daerah dimana terjadi
iritasi maksimal dari peritoneum) untuk menentukan lokasi proses patologis awal (etiologi
dari peritonitis).4,6
Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis seperti x-ray dapat berguna (free
air under diaphragm yang terlihat pada posisi upright pada perforasi ulkus peptikum, 12 tetapi
jarang pada etiologi lainnya). Pemeriksaan CT-scan umumnya tidak diperlukan dan hanya
akan menunda penanganan pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan
klinis).6
Diagnostic peritoneal lavage (DPL) adalah metode yang dapat dipercaya dan aman
untuk diagnosis peritonitis umum, khususnya pada pasien yang tidak memiliki tanda-tanda
konklusif pada pemeriksaan fisik, yang memiliki riwayat medis yang buruk, atau yang
memiliki sedasi atau cedera otak, usia lanjut, atau cedera sumsum tulang belakang. Pasien
yang menggunakan steroid atau pasien yang mengalami gangguan kekebalan mungkin atau
mungkin tidak memberikan hasil konklusif dalam DPL. DPL positif (lebih besar dari 500
leukosit / mL) menunjukkan peritonitis.4,6
3.1.8 Tatalaksana
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad spectrum,
seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau ceftriaxone 1x2
gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam 4x 3,375 gram pada orang
dewasa dengan fungsi ginjal normal). 3 Terapi empiris untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan
pada pasien dengan primary bacterial peritonitis (PBPatau SBP). Pasien peritonitis primer
umumnya mengalami perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat.
Antibiotik dapat diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur
darah yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya rekurensi
pada SBP, sampai 70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun. Pemberian antibiotik
profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi <20%. Regimen yang diberikan pada
pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin
400mg/hari, atau trimethoprim-sulfamethoxazole.3
Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi etiologi
(source control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian antibiotik sistemik, dan
terapi suportif (resusitasi).4 Tidak seperti penanganan peritonitis primer yang secara prinsip
adalah tindakan non-pembedahan, sine qua non penanganan peritonitis sekunder adalah
tindakan pembedahan dan bersifat life-saving.3 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat
“early and definitive source control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi
juga dapat mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen.7 Keterlambatan
dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat memperburuk prognosis.
3.1.9 Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal
dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan
fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang
persisten, edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan
merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem
imun.
3.1.10 Prognosis
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah 10%-40%
pada perforasi kolon (Tabel 1).11 Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitias yang tinggi
adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum
penanganan, usia pasien, dan keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10%
ditemukan pada pasien dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda,
kontaminasi bakteri yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang
buruk (APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan tingkat
serum albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi yang membutuhkan
penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka mortalitas yang tinggi.
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan nyeri padaseluruh bagian perut. Setelah dilakukan
anamnesis lebih lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka pasien ini di
diagnosis peritonitis et causa trauma tumpul abdomen.
Diagnosa itu sendiri bisa ditegakkan berdasarkan hasil temuan klinis yang didapat
pada anamnesis pasien, lalu temuan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta hasil lain
yang mendukung dari pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Berdasarkan anamnesis pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut
sejak ± 3 jam SMRS setelah kejadian kecelakaan. Kecelakaan yang terjadi tabrakan dari
belakang antara mobil travel dan mobil truk batu bara sehingga menyebabkan perut pasien
terhimpit dengan stir mobil. Sekitar 1 jam setelah kejadian pasien mengatakan masih sadar
pada saat itu. Setelah itu pasien tidak sadar lagi dan kesadaran kembali saat sesampai di IGD
RS Raden Mattaher.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis di IGD di regio abdomen terlihat distensi
abdomen, ketika di palpasi terdapat nyeri tekan (+) dan nyeri lepas (+) pada seluruh bagian
perut, defans muscular (+), pada aukustasi bunyi bising usus menurun, saat di perkusi
terdapat suara hipertimpani di bagian perut, nyeri ketuk (+).
Pemeriksaan Penunjang
Terjadi peningkatan dari WBC yaitu 20.1 109/L
Diagnosa
Diagnosa pada pasien ini adalah peritonitis et causa trauma tumpul abdomen
Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah tindakan bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas,
sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi
dan CT Scan abdomen dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan.
Penangan pada pasien ini selama observasi yaitu dipasang NGT, kateter, rehidrasi dengan
Ringer Lactat dan pemberian antibiotik.
4. Pre Op
- IVFD RL 30 tpm
- Pasang kateter
- Inj keterolac 3x1 amp
- Inj ranitidin 2x1 amp
- Inj ondensartan 2x1 amp
- Inj omeprazole 1x1 vial
5. Operasi
- Laparotomi eksplorasi
- Reseksi + anastomosis ileum
6. Post op
- Post Operasi Laparatomy
- IVFD RL 30 tpm
- Inj. Ceftriaxon1 x 2gr
- Inj. omeprazole 1 x 1 amp
- Inj. Ranitidin 2 x 500mg
BAB V
KESIMPULAN
Trauma tumpul abdomen adalah cedera atauperlukaan pada abdomen tanpa penetrasi
ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi
(perlambatan), atau kompresi. Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas
pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ
di bawahnya. Benturan pada trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ
berongga berupa perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan.
Komplikasi yang dapat muncul dari trauma abdomen terutama trauma tumpul
adalah cedera yang terlewatkan, terlambat dalam diagnosis, cedera iatrogenik, intra
abdomen sepsis dan abses, resusitasi yang tidak adekuat, rupture spleenyang muncul
kemudian. Peritonitis merupakan komplikasi tersering dari trauma tumpul abdomen
karena adanya rupture pada organ.
DAFTAR PUSTAKA
1. Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR. Essential
Clinical Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins. 2007. p. 118-204
2. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S. Gray’s
Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th Edition. Churchill
Livingstone El Sevier. 2008.
3. Silen W. Chapter 300. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo DL, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies. 2012
4. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Medscape 2013.
Accessed in: http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#showall
5. Chris tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media Aeskulapius;
2014
6. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill Patient. Surg
Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49
7. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT
Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010. Accessed
November 11, 2013
8. Sabiston, et al. Sabiston texbook of surgery the biological basis of modern surgical
practice. Edisi ke 18; 2007.
9. Sjamsuhidajat, R., W.D. Jong. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC:
2012.
10. Guillon, F. (2011). Epidemiology of Abdominal Trauma. CT of the AcuteAbdomen,
Medical Radiology Diagnostic Imaging. Berlin: Springer-Verlag p.15-2
11. Costa, G., Tierno, S.M., Tomassini, F.,Venturini, L., Frezza,B., Cancrini,G.,Stella,F.
(2010). The epidemiology andclinical evaluation of abdominal trauma.Ann. Ital Chir,
81, 95-102
12. Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
13. Irma Liani, Fuad Iqbal Eka Putra. Modalitas Diagnostik Pada Kasus
Kegawatdaruratan Traumatumpul Abdomen. Fakultas Kedokteran, Universitas
Lampung. Jurnal Gawat Darurat Volume 1 No2. 2019, Hal57-64.