Diana Octavina *
Diana Octavina *
Disusun Oleh :
Diana Octavina
G1A1219105
Universitas Jambi
Pembimbing
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan Case Report Session ini dengan
judul “Hipoglikemia Berat on DM tipe II + CKD Stage V”. Laporan ini merupakan bagian dari
tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai
pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Fenny Febrianty,
Sp.PD, selaku pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga laporan Case Report
Session ini dapat terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan Case Report Session ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup semoga kiranya laporan
Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada
umumnya.
Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS
KULIT
Warna : Sawo matang, hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-)
KEPALA
Bentuk Kepala : normocephal
Simetris muka : simetris
Rambut : hitam
MATA
Conjungtiva : Anemis (+/+)
Lapangan penglihatan : sama dengan pemeriksa
Sklera : ikterik (-/-)
Gerakan kedua belah mata : normal
Lensa : Jernih
Pupil : Isokor
TELINGA
Bentuk : simetris
Sekret : serumen minimal
Nyeri tekan : nyeri tekan tragus (-/-)
HIDUNG
Bentuk : Simetris
Septum : Deviasi septum (-/-)
Penyumbatan : (-)
Ingus : (-)
Pendarahan : (-)
MULUT
Bibir : kering (-), dan pecah-pecah (-), sianosis (-)
- Elektrolit
- Faal Ginjal
1.2.4 Diagnosis
Hipoglikemia Berat on DM tipe II + CKD stage V
1.2.6 Terapi
1.2.7 Resep
Pro : Ny. I
Usia : 51 Tahun
Berat badan : 60 kg
Alamat : Sumber jaya, Bahar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hipoglikemia
1. Definisi Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dL.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya
gejala-gejala system autonom, seperti adanya whipple’s triad :
Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
Kadar glukosa darah yang rendah
3. Klasifikasi Hipoglikemia
Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terkait dengan derajat
keparahannya, yaitu : 1
Hipoglikemia ringan : pasien tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk
pemberian glukosa per-oral
Hipoglikemia berat : Pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk
pemberian glukosa intravena, glucagon, atau resusitasi lainnya.
Hipoglikemia berat dapat ditemui pada berbagai keadaan, antara lain :
Kendali glikemik yang terlalu ketat
Hipoglikemia berulang
Hilangnya respons glucagon terhadap hipoglikemia setelah 5 tahun
terdiagnosis DMT1
Attenuation of epinephrine, norepinephrine, growth hormone, cortisol
responses.
Neuropati autonom
Tidak menyadari hipoglikemia
End Stage Renal Disease (ESRD)
Penyakit / gangguan fungsi hati
Malnutrisi
Konsumsi alcohol tanpa makanan yang tepat.
1
4. Pengobatan pada hipoglikemia ringan :
Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana).
Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain yang
berisi glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah.
Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respons kenaikan
glukosa darah.
Glukosa 15-20 g (2-3 sendok makan gula pasir) yang dilarutkan dalam air
adalah terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar.
Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah
pengobatan hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat diulang kembali.
Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal,
pasien diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk mencegah
berulangnya hipoglikemia.
1
5. Pengobatan pada hipoglikemia berat :
1) Menghentikan obat-obatan antidiabetes. jika pasien menggunakan insulin, maka
perlu dilakukan penyesuaian dosis.
2) Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral dibutuhkan berupa
pemberian dextrose 10% sebanyak 150 mL dalan 15 menit, atau dextrose 40%
sebanyak 25 mL (hati-hati risiko terjadinya ekstravasasi)
3) Periksa glukosa darah tiap 15-30 menit setelah pemberian I.V tersebut dengan
target ≥ 70 mg/dL. Bila target belum tercapai maka prosedur dapat diulang
4) Jika glukosa darah sudah mencapai target, maka pemeliharaannya diberikan
dextrose 10% dengan kecepatan 100 mL/jam (hati-hati pada pasien dengan
gangguan ginjal dan jantung) hingga pasien mampu untuk makan.
5) Pemberian glucagon 1 mg intramuscular dapat diberikan sebagai alternative lain
terapi hipoglikemia (hati-hati pada pasien malnutrisi kronik, penyalahgunaan
alcohol, dan penyakit hati berat).
6) Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia.
1
6. Pencegahan Hipoglikemia :
1) Lakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemia, penanganan sementara
dan hal lain yang harus dilakukan.
2) Anjurkan melakukan pemantauan glukosa darah mandiri (PDGM), khususnya
bagi pengguna insuli atau obat oral golongan insulin sekretagog.
3) lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang dikonsumsi, tentang dosis,
waktu mengkonsumsi, efek samping
4) bagi dokter yang menghadapi penyandang DM dengan kejadian hipoglikemia
perlu melakukan :
Evaluasi secara menyeluruh tentang status kesehatan pasien
evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila diperlukan melakukan
program ulang dengan memperhatikan berbagai aspek seperti : jadwal
makan, kegiatan olah raga, atau adanya penyakit penyerta yang memerlukan
obat lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
Bila diperlukan mengganti obat-obatan yang lebih kecil kemungkinan
menimbulkan hipoglikemia.
2
LFG (ml/mnt/1,73m ) = ------------------------------------- *)
3. Tatalaksana
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:2
- Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
- Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
- Memperlambat pemburukan (progression) fungsi Ginjal
- Mencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
- Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
- Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Tatalaksana ginjal kronik tersebut disesuai dengan derajat CKD yang dilihat berdasarkan LFG.
Berikut rencana tatalaksana CKD sesuai derajatnya.2
2
Tabel 2. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
Derajat LFG Rencana tatalaksana
(mlmnt/1,73m2)
Terapi peyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
1 ≥ 90 pemburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil
risiko kardiovaskular.
2 60-89 Menghambat pemburukan (progression) fungsi ginjal.
3 30- 59 Evaluasi dan terapi komplikasi.
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal.
5 < 15 Terapi pengganti ginjal.
yang cermat.2
Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering
terjadi. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Untuk
mengatasi hiperfosfatemia antara lain sebagai berikut.2
2
I. Pembatasan asupan fosfat. Asupan fosfat dibatasi 600- 800 mg/hari.
II. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah,
garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam kalsium
yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaC03) dan calcium
2
acetate.
c. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi Ginjal.
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa
hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.2
d. Terapi Hiperkalemia
+
Hiperkalemia didefinisikan sebagai K plasma > 5,0 mEq/L. Hiperkalemia sering terjadi
2
akibat berkurangnya ekskresi kalium di ginjal, terutama pada penyakit ginjal kronik.
Stabilisasi membran jantung dengan kalsium:2
Diberikan hanya untuk hyperkalemia dengan perubahan EKG yang
bermakna atau aritmia berat yang disebabkan hyperkalemia
Setelah terapi bolus insulin dan glukosa, diberikan infus dextrose dan gula
darah dimonitor
- Agonis beta 2
Dapat diberikan 150 meq dalam 1 liter dextrose 5% dengan kecepatan 250
ml/jam
Jangan diberikan bersama dengan kalsium dalam satu IV line.
Menurunkan kalium
2
Telah dilaporkan sebuah kasus mengenai Ny. K, 51 tahun yang datang dibawa keluarga
nya ke IGD RS Raden Mattaher pukul 3 pagi dengan keluhan penurunan kesadaran mendadak
sejak ± 6 jam SMRS. Pasien merupakan seorang penderita DM tipe II yang tidak rutin
mengkonsumsi obat DM nya. Pada pemeriksaan GDS cito didapatkan GDS 40 mg/dl. Pada
pemeriksaan fisik pertama kali di IGD didapatkan kesadaran pasien menurun dengan GCS 10
(E2V3M5). Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan nadi dan tekanan darah pasien meningkat.
Berdasarkan pemeriksaan IMT diketahui pasien menderita obesitas grade I dengan IMT 25
kg/m2. Konjuctiva pasien tampak anemis.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar hemoglobin pasien menurun yakni 7.68
gr/dL. Didapatkan juga penurunan GDS sebesar 40 mg/dl. ureum dan kreatinin meningkat
(masing-masing 61 dan 15.42 mg/dl) dan sedikit kenaikan ion klorida (119.8 mmol/L). Dari hasil
pemeriksaan ureum dan kreatinin, didapatkan laju filtrasi glomerulus / GFR pasien sebesar 2
ml/menit/1.73 m2 yang menunjukkan adanya gagal ginjal stadium 5. Pasien direncanakan untuk
dilakukan hemodialisa sehingga diambil sampel untuk skrining HD dan didapatkan hasil HbsAg
positif.
Kesadaran adalah kemampuan individu untuk memiliki persepsi tentang dirinya dan
lingkungan sekitarnya. Penting untuk membedakan tingkat dan isi kesadaran. Yang pertama
mengacu pada tingkat kewaspadaan dan yang kedua terkait dengan kualitas dan koherensi
pemikiran, kognisi, dan sikap individu. Untuk menjadi sadar, seseorang harus terjaga; Namun,
menjadi terjaga tidak selalu berarti bahwa seseorang itu sadar. Secara anatomis dan fungsional,
kesadaran bergantung pada interaksi dan aktivitas korteks serebral, batang otak, dan talamus.
Tingkat perubahan kesadaran dapat berkisar dari disorientasi temporer hingga keadaan koma
yang dalam.4
Ada empat kategori utama (lihat Tabel 3) dalam diagnostik diferensial untuk penurunan
kesadaran :
Neurologis
Metabolik
disfungsi otak fisiologis difus misalnya obat-obatan atau alkohol
Pada pasien ini, setelah dilakukan pemeriksaan glukosa darah didapatkan hipoglikemia,
maka disimpulkan bahwa penyebab penurunan kesadaran pada pasien adalah metabolic yakni
hipoglikemia.
ditangani oleh insulin, dan penderita diabetes tipe 2 yang dikelola dengan sulfonilurea. 6 Pada
kasus ini diketahui pasien adalah penyandang DM tipe 2 yang merupakan faktor risiko
hipoglikemia.
Episode hipoglikemia yang sering terjadi (sekali dalam sehari) menyebabkan adaptasi
otak terhadap kadar glukosa dan gejala hipoglemia akan muncul pada kadar yang lebih rendah
dari seharusnya. Kondisi tersebut didefinisikan sebagai hypoglycemic unawareness, yaitu
kegagalan saraf simpastis dalam meresponi hipoglikemi. Gejala hipoglikemi dibagi menjadi dua
kategori, antara lain gejala neurogenik (autonomik) dan gejala neuroglikopenik. Gejala
neurogenik (autonomik) terjadi karena penurunan kadar glukosa darah dan menyebabkan pasien
sadar bahwa ia sedang mengalami episode hipoglikemik. Gejala ini diaktivasi oleh autonomic
nervous system (ANS) dan dimediasi oleh katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) dari adrenal
medulla dan asetilkolin dari post-synaptic nerve endings. Gejala dan tanda neurogenik yang
berhubungan dengan peningkatan epinefrin yaitu gemetar, ansietas, tegang, palpitasi,
diaphoresis, xerosis, pucat, dan dilasi pupil. Gejala yang dimediasi oleh asetilkolin, antara lain
diaphoresis, lapar, dan paraestesia. Gejala neuroglikopenik terjadi karena otak kekurangan
glukosa. Gejala dan tanda neuroglikopenik biasanya disadari oleh keluarga atau teman pasien.
Gejala yang termasuk antara lain gangguan mental dan penurunan kesadaran, iritabilitas, sulit
berbicara, ataksia, paraestesia, sakit kepala, dan bila tidak ditangani, kejang, koma, dan bahkan
meninggal. Gejala neuroglikopenik juga termasuk defisit neurologic fokal sementara (diplopia,
7
hemiparesis).
6
Berdasarkan derajat keparahannya, hipoglikemia dibagi menjadi 3 yakni :
Risiko jangka pendek hipoglikemia termasuk situasi berbahaya yang dapat timbul saat
seseorang mengalami hipoglikemik, baik di rumah atau di tempat kerja (misalnya mengemudi,
mengoperasikan mesin). Selain itu, koma yang berkepanjangan terkadang dikaitkan dengan
gejala neurologis sementara, seperti paresis. kejang dan ensefalopati. Komplikasi jangka panjang
potensial dari hipoglikemia berat adalah gangguan intelektual ringan dan gejala sisa neurologis
permanen, seperti hemiparesis dan disfungsi pontine. Yang terakhir ini jarang terjadi dan hanya
dilaporkan dalam studi kasus. Hipoglikemia berulang dapat mengganggu kemampuan individu
6
untuk merasakan hipoglikemia berikutnya.
8
Tatalaksana hipoglikemia berat lainnya menurut Joint British Diabetes Society adalah :
1. Memeriksa:
Jalan nafas (dan berikan oksigen)
Pernafasan
Sirkulasi
Disabilitas (termasuk GCS dan glukosa darah)
Eksposur (termasuk suhu)
2. Jika pasien mendapat infus insulin in situ, segera hentikan
3. Minta bantuan segera dari staf medis
4. Tiga opsi berikut (i-iii) semuanya sesuai; kesepakatan lokal harus dicari:
Jika akses IV tersedia, berikan 75-100ml glukosa 20% selama 15 menit, (misalnya
300-400 ml / jam). Sediaan 100 ml glukosa 20% sekarang tersedia yang akan
memberikan jumlah yang dibutuhkan setelah dijalankan melalui set pemberian
standar. Jika pompa infus tersedia gunakan ini, tetapi jika tidak tersedia infus tidak
boleh ditunda. Ulangi pengukuran glukosa darah kapiler 10 menit kemudian. Jika
masih kurang dari 4.0mmol / L (< 72 mg/dL), ulangi.
Jika akses IV tersedia, berikan 150-200ml glukosa 10% (lebih dari 15 menit,
misalnya 600-800ml / jam). Jika pompa infus tersedia gunakan ini, tetapi jika tidak
tersedia infus tidak boleh ditunda. Perhatian harus diberikan jika kantung volume
yang lebih besar digunakan untuk memastikan bahwa seluruh infus tidak diberikan
secara tidak sengaja. Ulangi pengukuran glukosa darah kapiler 10 menit kemudian.
Jika masih kurang dari 4,0 mmol / L (< 72 mg/dL), ulangi.
Jika akses IV tidak tersedia, berikan 1 mg Glukagon IM. Glukagon 1g IM mungkin
kurang efektif pada pasien yang diresepkan terapi sulfonylurea dan mungkin
memerlukan waktu hingga 15 menit untuk diterapkan. Glukagon memobilisasi
glikogen dari hati dan akan kurang efektif pada mereka yang kekurangan gizi kronis
(termasuk mereka yang mengalami kelaparan dalam waktu lama), menyalahgunakan
alkohol, atau menderita penyakit hati yang parah. Dalam situasi ini glukosa IV
adalah pilihan yang lebih disukai.
5. Setelah glukosa darah lebih besar dari 4.0mmol / L (72 mg / dL) dan pasien telah pulih,
berikan karbohidrat kerja panjang pilihan pasien jika memungkinkan, dengan
mempertimbangkan kebutuhan diet tertentu. Beberapa contohnya adalah:
biscuit
Satu potong roti / roti panggang
200-300ml segelas susu (bukan kedelai)
Makan normal jika karena (harus mengandung karbohidrat)
6. JANGAN menghilangkan injeksi insulin (Namun, peninjauan rejimen insulin mungkin
diperlukan).
7. Jika pasien menggunakan insulin IV, lanjutkan pemeriksaan glukosa darah setiap 15
menit hingga di atas 3.5mmol / L, kemudian mulai kembali insulin IV setelah meninjau
rejimen dosis untuk mencoba dan mencegah kekambuhan hipoglikemia. Pertimbangkan
infus glukosa 10% IV 100ml / jam dan / atau turunkan peningkatan insulin pada skala
variabel jika sesuai.
8. Jika hipoglikemia disebabkan oleh sulfonylurea atau terapi insulin kerja lama, maka perlu
diketahui bahwa risiko hipoglikemia dapat bertahan hingga 24-36 jam setelah dosis
terakhir, terutama jika terjadi gangguan ginjal bersamaan.
9. Mendokumentasikan kejadian dalam catatan pasien. Pastikan pemantauan glukosa darah
kapiler rutin dilanjutkan setidaknya selama 24 hingga 48 jam. Minta pasien untuk
melanjutkan ini di rumah jika mereka akan dipulangkan. Berikan edukasi hipoglikemia
8
atau rujuk ke DISN atau Tim Rawat Inap Diabetes.
Pada pasien, diketahui terdapat penurunan GFR yang menunjukkan kecurigaan ke arah adanya
proses kronis pada ginjal berupa CKD. Namun, hal ini masih perlu dibuktikan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya seperti USG ginjal.
Ultrasonografi adalah modalitas investigasi non-invasif dan murah dengan rincian
anatomis yang memadai yang diperlukan untuk mendiagnosis penyakit ginjal tanpa mengekspos
terhadap radiasi atau kontras. Semua faktor ini mendorong deteksi dini dan prediksi tes fungsi
ginjal yang tidak normal yang diperlukan untuk membuat keputusan terapeutik. Morfologi ginjal
dapat ditentukan dengan beberapa cara yang mencakup pengukuran panjang dan volume ginjal
serta ketebalan kortikal ginjal. Fungsi ginjal juga dapat dievaluasi melalui panjang ginjal dan
ketebalan korteks, dan keputusan klinis yang penting dapat dibuat atas dasar itu. Oleh karena itu
evaluasi sonografi serial dilakukan untuk mengetahui perkembangan penyakit ginjal atau
normalitasnya.10
Penyakit ginjal kronis (CKD) merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan
prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang tinggi.
Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian
penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Hasil systematic review dan metaanalysis yang
dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi global PGK sebesar 13,4%. Menurut
hasil Global Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan penyebab kematian peringkat ke-
27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Sedangkan di
Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS
11
kesehatan setelah penyakit jantung.
Diabetes mellitus adalah penyebab utama penyakit ginjal kronis (CKD) dan masalah
kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia. Sekitar 20-30% pasien dengan diabetes mellitus
tipe 2 (DMT2) memiliki gangguan ginjal, diklasifikasikan sebagai CKD sedang hingga berat
(laju filtrasi glomerulus (GFR) <60 mL / menit / 1,73 m2). Sayangnya, kombinasi diabetes dan
CKD dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, terutama karena peningkatan
risiko kardiovaskular. Kontrol glikemik pada pasien gagal ginjal menghadapi tantangan khusus.
Menurut perkembangan CKD, perubahan sinyal insulin, transportasi glukosa dan metabolisme
dikaitkan dengan akumulasi toksin uremik, faktor inflamasi dan stres oksidatif, yang
menyebabkan resistensi insulin dan respons jaringan target terhadap sinyal insulin. Secara
tradisional, insulin telah dianggap sebagai pilihan yang aman untuk merawat pasien diabetes
dengan cedera ginjal. Baru-baru ini, pilihan obat oral baru telah menjadi alternatif potensial yang
baik dan obat tradisional yang digunakan dalam pengobatan diabetes telah ditinjau resep dan
dosisnya, dimana terdapat perubahan dosis dan terapi pada masing-masing tingkat GFR yang
berbeda.13
Tabel 4. Hubungan antara kelas terapeutik, dosis obat dan klirens kreatinin.
Pada penyandang DMT2 dengan PGK, kendali gula darah yang baik serta pengelolaan
faktor metabolik lainnya seperti obesitas, hipertensi, dan dislipidemia sangat penting untuk
memperlambat perburukan fungsi ginjal.7,8 Hal utama yang perlu dipertimbangkan dalam
pemilihan OAD pada kasus PGK adalah risiko hipoglikemia, karena sebagian besar obat
diekskresikan di ginjal sehingga adanya PGK dapat memperpanjang kerja OAD. Namun
demikian, hal yang tidak kalah penting adalah aspek penghambatan progresi PGK.14
Terapi medikamentosa dibagi lagi menjadi terapi OAD oral dan suntik. Pilihan OAD
yang tersedia di Indonesia meliputi metformin, SU, glinid, TZD, penghambat glikosidase alfa,
penghambat DPP-IV, dan penghambat SGLT-2.1 Pada pasien DMT2 dengan PGK tentunya
pilihannya akan menjadi lebih terbatas karena secara umum hampir semua aspek farmakokinetik
OAD (absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) dapat dipengaruhi oleh PGK dan juga
14
proses HD.
Obat anti diabetik golongan SU, seperti gliklazid dan glipizid, cukup efektif dalam
kendali glukosa darah dan menghambat progresi PGK pada pasien DMT2 dengan PGK, namun
perlu kewaspadaan terkait risiko hipoglikemia. Walaupun secara farmokinetik glikuidon ideal
untuk digunakan pada PGK, namun bukti efikasi dan keamanannya terbatas. Penghambat DPP-
IV dan TZD dengan risiko hipoglikemia yang lebih rendah, tidak terbukti dapat menghambat
progresi PGK. Sementara itu, penghambat SGLT-2 dapat menghambat progresi PGK dan
memiliki risiko hipoglikemia sebanding dengan plasebo. Walaupun demikian, harga penghambat
SGLT-2 relatif lebih mahal dibandingkan SU. Dengan mempertimbangkan faktor biaya dan
ketersediannya, maka OAD golongan SU kerja pendek nampaknya masih dapat menjadi pilihan
utama untuk pengelolaan glukosa darah pada pasien DMT2 dengan PGK di Indonesia.14
Untuk prognosis pasien dengan CKD, Nova (2019) menyatakan dalam penelitiannya
terhadap pasien CKD dengan komorbid DM bahwa dari total 249 responden bahwa terjadi
kematian (Event) sebesar 46% sedangkan yang hidup 54% yaitu berkunjung setiap bulan dan
yang mengalami drop out (Sensor). terdapat 27,3% pasien PGK dengan Komorbiditas Diabetes
Melitus.Responden hemodialisa berdasrkan jenis kelamin presentasinya tidak jauh berbeda
antara laki-laki (51%) dan perempuan (49%). hasil uji perbedaan survival antara kelompok
diabetes melitus dan tidak diabetes melitus dengan menggunakan metode Log Rank. Hasil uji
statistik diperoleh nilai-p=0.001. Dengan α=0,05, Kelompok tidak diabetes melitus memiliki
ketahanan hidup 1,9 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok diabetes melitusKelompok tidak
diabetes melitus memiliki waktu yang lebih lama untuk hidup dibandingkan dengan kelompok
diabetes mellitus.15
DAFTAR PUSTAKA