Disusun Oleh :
Dosen Pembimbing :
JAMBI
2020
2
HALAMAN PENGESAHAN
DISUSUN OLEH
Adpriyanti Candra S
(G1A219117)
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher/ Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
PEMBIMBING
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan YME sebab karena
rahmatNya,laporan kasus yang berjudul “Chronic Kidney Disease Grade IV +
Hipoalbumin” ini dapat terselesaikan. Laporan kasus ini dibuat agar penulis dan
teman–teman sesama coass periode ini dapat memahami tentang gejala klinis
yang sering muncul ini. Selain itu juga sebagai tugas dalam menjalankan
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu penyakit Saraf RSUD Raden
Mattaher Jambi.
Penulis
4
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, nnengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada unnumnya
berakhir dengan gagal ginjal. PGK ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan ginjal
yaitu albuminuria, abnormalitas sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun
adanya riwayat transplantasi ginjal, juga disertai penurunan laju filtrasi glomerulus.1
Prevalensi gagal ginjal kronik (sekarang disebut PGK) di Indonesia pada pasien usia
lima belas tahun keatas di Indonesia yang didata berdasarkan jumlah kasus yang didiagnosis
dokter adalah sebesar 0,2%. Prevalensi gagal ginjal kronik meningkat seiring bertambahnya
usia, didapatkan meningkat tajam pada kelompok umur 25-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-
54 tahun (0,4%), umur 55-74 tahun (0,5%), dan tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun
(0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%).3
5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. M.Saleh
Umur : 63 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Muara Jambi
No RM : 954772
Ruangan/Kamar : Interne A3
MRS : 12/10/2020
Tanggal pemeriksaan : 14/10/2020
2.2 Anamnesis
Dilakukan anamnesis pada tanggal 14 Oktober 2020 secara Autoanamnesis dan
Alloanamnesis.
Keluhan Utama : Bengkak Seluruh Tubuh 1 bulan SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan bengkak seluruh tubuh 1 bulan SMRS. Bengkak bermula
dari kaki dan tangan lalu semakin memberat dan bengkak dirasakan di seluruh tubuh.
Pasien juga mengeluhkan badan yang lemas, tetapi pasien masih bisa beraktivitas
seperti biasa.. Pasien juga mengeluhkan sesak 1 bulan SMRS . Sesak dirasakan saat
beraktivitas dan berkurang saat beristirahat. Sesak juga dirasakan saat duduk dan
berkurang saat pasien berbaring. Namun sesak tidak dirasakan terus menerus. Pasien
tidak mengeluhkan adanya batuk dan tidak mengeluhkan adanya nyeri dada serta
demam dan juga tidak ada nyeri menelan. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya
dada berdebar-debar. Pasien sudah berobat di Puskesmas lalu diberi obat pil namun
pasien lupa nama obatnya. Namun pasien mengatakan bengkak tidak berkurang
walaupun sudah minum obat dari Puskesmas.
Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri perut yang dirasakan di ulu hati 1 hari
SMRS. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan juga disertai rasa begah (kembung).
Nyeri perut terjadi mendadak. Saat pasien makan, nyeri dirasakan berkurang. Pasien
mengeluhkan mual tapi pasien tidak ada muntah. Pasien tidak mengalami gangguan
6
saat berkemih, tidak ada nyeri saat berkemih, tidak pernah buang air kecil berdarah
dan tidak pernah terbangun saat malam hari serta tidak ada gangguan buang air besar.
Pasien juga tidak mengeluhkan adanya nyeri pinggang. Keluarga pasien mengatakan
nafsu makan pasien masih seperti biasa dan tidak ada penurunan nafsu makan.
Pasien memiliki riwayat hipertensi 6 tahun SMRS. Pasien mengatakan jarang
mengkonsumsi obat antihipertensi. Obat antihipertensi diminum saat pasien
merasakan gejala sakit kepala dan pergi berobat ke puskesmas dan dilakukan
pengukuran tekanan darah dan diberikan obat oleh puskesmas sehingga pasien hanya
meminum obat yang diberikan oleh puskesmas tetapi jika obat tersebut habis, pasien
tidak membeli obat tersebut dan tidak meminum obatnya kembali. Namun, pasien
lupa nama obat yang diberikan oleh pihak puskesmas.
MULUT Bibir : Kering (-), Sianosis (-), tebal (-), pecah-pecah (-), luka pada
sudut mulut (-), ulkus (-), bercak (-).
Bau pernafasan : Normal, alkohol (-).
Palatum : Menutup dan simetris.
Gusi : Hiperemis (-), bengkak (-).
Selaput Lendir : (-)
Lidah : Keputihan (-)
PARU – PARU
Inspeksi :
Dalam pernafasan : Normal
Jenis pernafasan : Thorako abdominal
Kecepatan pernafasan: 22 x/ menit
Lain – lain : (-)
Palpasi : ( Fremitus )
Kiri : Tactil vocal fremitus normal
Kanan : Tactil vocal fremitus normal
Perkusi
Kiri : Sonor, nyeri ketok (-)
Kanan : Sonor, nyeri ketok (-)
Auskultasi :
Kiri : Vesikuler, Ronkhi (-),Wheezing (-)
Kanan : Vesikuler, Ronkhi (-), Wheezing (-)
JANTUNG :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictur cordis teraba
Tempat : Linea midklavikula sinistra ICS V
Luas : ± 2 cm
Kuat angkat : tidak kuat angkat
Lain-lain :(-)
Perkusi : batas-batas jantung :
Kiri : Linea midklavikula sinistra ICS V
Kanan : Linea parasternalis dextra ICS IV
10
Pembuluh darah
A. Temporalis : teraba A. Femoralis : teraba
A.Carotis : teraba A. Poplitea : teraba
A.Brachialis : teraba A. Tibialis Posterior : teraba
A.Radialis : teraba A. Dorsalis pedis : teraba
PERUT
Inspeksi : Striae (-), Venektasi (-), caput medusa (-),
peristaltik usus (-), distensi (-), spider naevi (-)
Palpasi :
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement ginjal (-)
Lain - lain : Nyeri tekan epigastrium (+).
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) normal
PUNGGUNG
Inspeksi : Simetris, jaringan parut ( - )
Palpasi : Nyeri di sekitar vertebra (-), vertebra terletak
11
ALAT KELAMIN :
Pria
Rambut : dalam batas normal
Penis : -
Sekret uretra : -
Testis : -
Skrotum : -
Epididimis : -
Hernia : tidak ada
Hidrokel : tidak ada
Inspeksi : edema (-)
TANGAN :
Warna : Sianosis (-)
Tremor : Tidak ada
Ujung jari : Normal
Kuku : Pucat Lain –lain : edema (-)
REFLEKS
Fisiologik : Normal Kiri : Normal Kanan : Normal
Patologik : tidak ada Kiri : tidak ada Kanan : tidak ada
12
SENSIBILITAS :
Pemeriksaan halus : Sensibilitas nyeri ( + )
Sensibilitas raba ( + )
Sensibilitas suhu : Tidak Dilakukan.
1. Darah Rutin
Kesan : Hiperkloremia
3. Kimia Darah
Sekunder :
Hipoalbumin + Anemia mikrositik hipokromik + Hipertensi Grade II
2. Medikamentosa
- IVFD RL 20 tpm
- Transfuse albumin 20% 100 ml 3 botol
- Inj. Furosemide 3x1
- PO. Captopril 3x12,5 mg
- Inj.. Omeprazole 1x1
- PO. Bicnat 1x1
- PO. As.Folat 1x1
- PO. CaCO3 1x1
3. Monitoring
- Evaluasi ureum, kreatinin
- Evaluasi Darah Rutin
- Evaluasi Albumin
- Evaluasi urinalisa
2.6 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
15
16
FOLLOWUP
Tanggal S O A P
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pengertian
Penyakit Ginjal Kronik merupakan penurunan progresif fungsi ginjal yang
bersifat irreversible. Penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
persisten dengan karakteristik adanya kerusakan strukturl atau fungsional (seperti
mikroalbuminuria/ proteinuria, hemataruia, kelainan histologis atau radiologis),
dan/atau menurunnya Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) menjadi <60 ml/menit/1,73 m 2
selama sedikitnya 3 bulan.4
Penatalaksanaan CKD membutuhkan pemahaman yang jelas tentang
definisinya seperti yang dikemukakan oleh National Kidney Foundation (NKF).
Diperlukan interpretasi informasi dari perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR),
karena GFR masih dianggap sebagai indeks keseluruhan fungsi ginjal terbaik pada
pasien yang stabil dan tidak dirawat di rumah sakit. Kerusakan ginjal ditentukan oleh
salah satu dari temuan berikut:5
a. Kelainan ginjal patologis
b. Proteinuria persisten
c. Kelainan urin lainnya, misalnya hematuria ginjal
d. Kelainan pencitraan
e. eGFR <60 ml/menit/ 1,73 m2 pada dua kesempatan dengan jarak 90
hari dan yang tidak berhubungan dengan teransien, kondisi
reversible seperti pengurangan volume.
3.2 Klasifikasi
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:5
( 140−umur ) x Berat Badan
LFG : mg *)
72 x Kreatinin Plasma( )
dl
Catatan : * pada perempuan dikalikan 0,85
19
albuminuria yang memburuk secara perlahan, GFR menurun, breakout hipertensi, dan
sindrom nefrotik.
3.4 Epidemiologi
Orang dengan CKD memiliki tingkat morbiditas, mortalitas, rawat inap, dan
pemanfaatan layanan kesehatan yang jauh lebih tinggi. Prevalensi CKD Stadium 2-5
terus meningkat sejak 1988 seperti halnya prevalensi diabetes dan hipertensi, yang
masing-masing merupakan etiologi pada sekitar 40% dan 25% kasus CKD. Perkiraan
saat ini adalah 26 juta orang AS> 20 tahun. menderita CKD. Namun, 15,2% adalah
perkiraan prevalensi CKD yang lebih baru, berdasarkan data NHANES 2003-2006
dari orang dewasa AS berusia 20 tahun, penurunan dari 15,9% yang dikutip dalam
data NHANES yang dikumpulkan dari 1999–2002. Penurunan ini tercermin dalam
CKD Tahap 1 karena Tahap 3 meningkat menjadi 6,5% dari tahun 2003-2006.
Prevalensi PGK Tahap 4 dan 5 meningkat dua kali lipat sejak 1988-1999, tetapi tetap
stabil sejak 2002 sebesar 0,6%.5
Prevalensi CKD sekitar 10% sampai 14% pada populasi umum. Demikian
pula, albuminuria (mikroalbuminuria atau A2) dan GFR kurang dari 60 ml / menit /
1,73 mt2 memiliki prevalensi masing-masing 7% dan 3% hingga 5%.5
Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun
dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih
tinggi dari perempuan (0,2%).3
3.5 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa {surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi,
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi.1
21
serta pengeluaran produk sisa metabolisme, yang terjadi tiba-tiba dan cepat.
Definisi AKI didasarkan kadar serum kreatinin (Cr) dan produksi urin (urine
output/ UO). Pada tahun 2004, acute dialysis quality initiative (ADQI) mengganti
istilah acute renal failure (ARF) menjadi acute kidney injury (AKI) dan
menghadirkan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kriteria akut berdasarkan
peningkatan kadar serum Cr dan UO (Risiko/Risk, Cedera/ Injury, Gagal/Failure)
dan 2 kategori lain menggambarkan prognosis gangguan ginjal.6
Untuk meningkatkan sensitivitas kriteria RIFLE agar AKI dapat dikenali lebih
awal, acute kidney injury network (AKIN) memodifikasi jangka waktu
peningkatan serum Cr dari 7 hari pada RIFLE menjadi 48 jam, tidak diperlukan
kadar serum Cr awal, kenaikan kadar serum Cr sebesar >0,3 mg/ dL sebagai
ambang definisi AKI, serta semua pasien yang membutuhkan terapi pengganti
ginjal diklasifikasikan ke dalam AKI tahap 3.6
KDIGO (kidney disease improving global outcome) 2012 menggabungkan
kriteria RIFLE dan AKIN.3 AKI didiagnosis jika kadar kreatinin serum
meningkat minimal 0,3 mg/dL (26,5 µmol/L) dalam 48 jam atau meningkat
minimal 1,5 kali nilai dasar dalam 7 hari.7
Konsep gagal ginjal akut (GGA) telah menjalani pemeriksaan ulang yang
signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Bukti yang banyak menunjukkan bahwa
cedera ginjal akut dan relatif ringan atau gangguan fungsi ginjal, yang
dimanifestasikan oleh perubahan keluaran urin dan kimia darah, menandakan
konsekuensi klinis yang serius. Sebagian besar ulasan dan bab buku teks
menekankan penurunan yang paling parah dalam fungsi ginjal, dengan azotemia
berat dan seringkali dengan oliguria atau anuria. Hanya dalam beberapa tahun
terakhir penurunan sedang dari fungsi ginjal telah diakui sebagai potensi penting,
pada orang sakit kritis, dan dalam studi tentang nefropati yang diinduksi oleh
kontras.7
Kelompok Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) mengembangkan sistem
untuk diagnosis dan klasifikasi berbagai gangguan akut fungsi ginjal melalui
konsensus yang luas dari para ahli. Karakteristik sistem ini dirangkum dalam
Gambar 1. Akronim RIFLE adalah singkatan dari peningkatan kelas keparahan
Risiko, Cedera, dan Kegagalan; dan dua kelas hasil, Penyakit Ginjal Stadium
Akhir dan Penyakit Ginjal Stadium Akhir (ESRD). Tiga tingkat keparahan
didefinisikan berdasarkan perubahan SCr atau keluaran urin yang menggunakan
26
kriteria terburuk dari setiap kriteria. Dua kriteria hasil, Kehilangan dan ESRD,
ditentukan oleh durasi hilangnya fungsi ginjal.7
Gambar 1. RIFLE criteria for AKI
Sumber : NKF-KDIGO. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Clinical Practice Guideline for
Acute Kidney Injury (AKI). ISN. 2012
2. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis sering menjadi bagian dari kelainan multisistem. Edema
merupakan tanda penyakit yang parah atau kronis.Biopsi ginjal adalah tes untuk
diagnosis pasti, meskipun tidak diperlukan pada semua pasien. Mengobati
gangguan yang mendasari dan mengelola hipertensi, hiperlipidemia, dan
proteinuria adalah terapi andalan.8
Beberapa pasien pada akhirnya mungkin membutuhkan dialisis atau
transplantasi. Pemantauan fungsi ginjal secara teratur, dan terkadang sering,
sangat penting. Glomerulonefritis (GN) menunjukkan cedera glomerulus dan
terjadi pada sekelompok penyakit yang umumnya, tetapi tidak selalu, ditandai
dengan perubahan inflamasi pada kapiler glomerulus dan membran basal
glomerulus (GBM). Cedera dapat melibatkan sebagian atau seluruh glomeruli atau
berkas glomerulus. Perubahan inflamasi sebagian besar dimediasi oleh kekebalan.
Penyakit termasuk GN membranosa, penyakit perubahan minimal,
glomerulosklerosis fokal dan segmental, nefropati imunoglobulin A, bentuk GN
27
progresif cepat (penyakit vaskulitis dan anti-GBM), dan lupus nefritis sebagai
bentuk yang lebih umum.8
3.10 Tatalaksana
a. Manajemen umum
Menyesuaikan dosis obat untuk tingkat perkiraan laju filtrasi glomerulus
(GFR).4
Persiapan terapi penggantian ginjal dengan menempatkan fistula arteriovenosa
atau graft.
Obati Penyebab Gagal Ginjal Reversibel
Penyebab cedera ginjal akut yang berpotensi reversibel seperti infeksi,
obat-obatan yang mengurangi GFR, hipotensi seperti akibat syok, kejadian
yang menyebabkan hipovolemia seperti muntah, diare harus diidentifikasi dan
diintervensi.4
Pasien dengan CKD harus dievaluasi secara hati-hati untuk
penggunaan studi kontras intravena, dan alternatif untuk studi kontras harus
digunakan terlebih dahulu. Agen nefrotoksik lain seperti antibiotik
aminoglikosida dan NSAID harus dihindari.4
b. Memperlambat Perkembangan CKD
Faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan CKD harus ditangani seperti
hipertensi, proteinuria, asidosis metabolik, dan hiperlipidemia. Hipertensi harus
dikelola di CKD dengan menetapkan tujuan tekanan darah. Demikian pula, tujuan
proteinuria harus dipenuhi.4
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa merokok dikaitkan dengan
risiko pengembangan nefrosklerosis dan penghentian merokok memperlambat
perkembangan CKD.4
Pembatasan protein juga telah terbukti memperlambat perkembangan CKD.
Namun, jenis dan jumlah asupan protein belum dapat ditentukan.1
Suplementasi bikarbonat untuk pengobatan asidosis metabolik kronis telah
terbukti dapat memperlambat perkembangan CKD juga. Selain itu, kontrol
glukosa yang intensif pada penderita diabetes telah terbukti memperlambat
perkembangan albuminuria dan juga perkembangan albuminuria menjadi
proteinuria yang jelas.4
28
Pasien dengan CKD memenuhi syarat untuk terdaftar untuk program transplantasi
ginjal donor ketika eGFR kurang dari 20 ml / menit / 1,73m2
Penatalaksanaan konservatif ESRD juga merupakan pilihan untuk semua
pasien yang memutuskan untuk tidak melanjutkan terapi penggantian ginjal.
Perawatan konservatif mencakup manajemen gejala, perencanaan perawatan di muka,
dan penyediaan perawatan paliatif yang sesuai. Strategi ini seringkali kurang
dimanfaatkan dan perlu dipertimbangkan untuk pasien yang sangat lemah dengan
status fungsional yang buruk dengan banyak komorbiditas. Untuk memfasilitasi
diskusi ini, kalkulator skor kematian 6 bulan digunakan yang mencakup variabel
seperti usia, albumin serum, adanya demensia, penyakit vaskular perifer, dan (ya /
tidak) jawaban atas pertanyaan oleh ahli nephrolog yang merawat "apakah saya heran
jika pasien ini meninggal tahun depan?4
f. Kapan Merujuk ke Nephrologist?
Pasien dengan CKD harus dirujuk ke nephrologist jika GFR diperkirakan
kurang dari 30 ml / menit / 1,73 m 2. Inilah saatnya membahas pilihan
terapi pengganti ginjal.4
3.11 Prognosis
Perbedaan ras dan etnis yang signifikan ada dalam tingkat kejadian dan
prevalensi ESRD. CKD tahap awal dan ESRD dikaitkan dengan peningkatan
morbiditas dan tingkat pemanfaatan layanan kesehatan. Tinjauan terhadap laporan
data tahunan USRDS 2009 menunjukkan bahwa jumlah rawat inap pada pasien ESRD
adalah 1,9% per pasien-tahun. Dalam sebuah studi oleh Khan SS et al., Prevalensi
penyakit kardiovaskular, penyakit serebrovaskular, dan penyakit pembuluh darah
perifer pada tahap awal CKD sebanding dengan populasi dialisis di AS. Ditemukan
juga bahwa pasien dengan CKD memiliki tingkat rawat inap 3 kali lebih tinggi dan
jumlah hari di rumah sakit yang dihabiskan per pasien-tahun dibandingkan dengan
populasi umum AS. Pasien PGK memiliki risiko lebih tinggi untuk dirawat di rumah
sakit dan penyakit kardiovaskular dan risiko tersebut meningkat dengan penurunan
GFR.4
Pasien dengan CKD dan terutama penyakit ginjal stadium akhir (ESRD)
berada pada peningkatan risiko kematian, terutama dari penyakit kardiovaskular.
Review data USRDS 2009 menunjukkan bahwa kemungkinan bertahan hidup 5 tahun
pada pasien dialisis hanya sekitar 34%.4
30
BAB IV
ANALISIS MASALAH
Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien Tn.M laki-laki usia 63 tahun di bangsal
penyakit dalam dengan keluhan bengkak seluruh tubuh 1 bulan SMRS, keluhan disertai
sesak, mual dan nyeri uluhati. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 6 tahun yang lalu.
Pasien meminum obat antihipertensi saat merasakan gejala sakit kepala saja. Dari hasil
pemeriksaan fisik pada tanggal 08 Oktober 2020 didapatkan pasien edema pada tungkai
kanan dan kiri, tekanan darah 180/90 mmHg (hipertensi grade II), dari pemeriksaan
penunjang berupa laboratorium, didapatkan dari darah rutin pasien mengalami anemia
dengan hemoglobin 9,21. Pada pemeriksaan faal hati, didapatkan albumin 1,8 dengan kesan
hipoalbumin dari elektrolit pasien mengalami hiperkloremia, dari pemeriksaan urin rutin,
didapatkan protein +4 bermakna proteinuria dari kimia darah, didapatkan pasien mengalami
hiperurisemia dengan kreatinin 3,79; maka nilai LFG pasien adalah sebagai berikut
( 140−umur ) x Berat Badan
LFG = mg
72 x Kreatinin Plasma( )
dl
( 140−63 ) x 75
mg
72 x 3,79( )
dl
LFG = 21,16
Penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal persisten dengan
karakteristik adanya kerusakan strukturl atau fungsional (seperti mikroalbuminuria/
proteinuria, hematuria, kelainan histologis atau radiologis), dan/atau menurunnya Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) menjadi <60 ml/menit/1,73 m2 selama sedikitnya 3 bulan.
Prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam
pada kelompok umur 35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi
pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%). Pasien merupakan laki-laki dengan
usia 63 tahun.1
Hubungan hipertensi dengan terjadinya CKD adalah tekanan darah tinggi merupakan
penyebab dan komplikasi dari penyakit ginjal kronis. Sebagai komplikasi, tekanan darah
tinggi dapat berkembang lebih awal selama perjalanan penyakit ginjal kronis dan dikaitkan
dengan hasil yang merugikan khususnya, hilangnya fungsi ginjal lebih cepat dan
perkembangan penyakit kardiovaskular.9
Tekanan darah harus dipantau secara ketat pada semua pasien dengan
penyakit ginjal kronis.
31
Pada populasi umum, ada hubungan yang kuat dan bertingkat antara tingkat tekanan
darah dan semua penyebab kematian dan penyakit kardiovaskular yang fatal dan nonfatal.
Tingkat optimal tekanan darah sistolik dan diastolik masing-masing didefinisikan sebagai
kurang dari 120 dan 80 mm Hg. Di antara pasien dengan penyakit ginjal kronis, ada juga
bukti substansial tentang hubungan antara peningkatan tekanan darah dan risiko
kardiovaskular. Selain itu, tekanan darah tinggi dikaitkan dengan tingkat penurunan fungsi
ginjal yang lebih besar dan risiko perkembangan gagal ginjal. Namun, tingkat tekanan darah
yang optimal untuk meminimalkan hasil yang merugikan untuk penyakit kardiovaskular dan
ginjal belum ditetapkan.9
Sudah diketahui dengan baik bahwa anemia berkembang selama penyakit ginjal
kronis dan hampir universal pada pasien gagal ginjal. Pengembangan pilihan terapeutik yang
efektif, seperti terapi eritropoietin, telah menyediakan pengobatan anemia yang efektif.
Pedoman praktik klinis K / DOQI sebelumnya dikhususkan untuk topik ini, namun pedoman
tersebut difokuskan terutama pada pasien yang dirawat dengan dialisis. Yang penting,
pedoman sebelumnya mengandalkan kadar kreatinin serum 2 mg / dL sebagai kriteria untuk
menguji adanya anemia. Pedoman Anemia pada K / DOQI diperbarui menjadi GFR yang
diperkirakan 60 mL / menit / 1,73 m2 untuk memicu penentuan anemia, daripada kadar
kreatinin serum yang disebutkan sebelumnya.9
Hemoglobin yang rendah dapat terjadi akibat hilangnya sintesis eritropoietin di ginjal
dan / atau adanya inhibitor eritropoiesis. Banyak artikel yang mendokumentasikan hubungan
anemia dengan gagal ginjal dan menjelaskan berbagai penyebabnya. Tingkat keparahan
anemia pada penyakit ginjal kronis berhubungan dengan durasi dan luasnya gagal ginjal.
Kadar hemoglobin terendah ditemukan pada pasien anephric dan mereka yang memulai
dialisis pada penurunan fungsi ginjal yang sangat parah.9
Pada pasien, didapatkan nilai LFG 21,16; menandakan Resiko tinggi menjadi gagal
ginjal berdasarkan nilai LFG. Risiko gagal ginjal tergantung pada tingkat GFR (keparahan)
saat mendeteksi penyakit ginjal dan laju hilangnya GFR setelahnya. Tingkat GFR dapat
ditingkatkan dengan pengobatan khusus pada beberapa penyakit ginjal kronis, tetapi tidak
34
pada kebanyakan penyakit lainnya. Laju hilangnya GFR (perkembangan penyakit ginjal)
dipengaruhi oleh diagnosis dan oleh faktor pasien yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat
dimodifikasi. Faktor-faktor ini dapat dinilai bahkan sebelum penurunan GFR, dengan
memungkinkan implementasi intervensi memperlambat perkembangan sementara GFR masih
normal. Beberapa terapi untuk mencegah atau memperlambat hilangnya GFR bersifat
spesifik untuk diagnosis, sementara yang lain tidak spesifik. Sulit untuk memperkirakan laju
perkembangan sampai terjadi penurunan GFR. Pada penyakit yang ditandai dengan penanda
kerusakan yang dapat dihitung misalnya, albuminuria pada penyakit ginjal diabetik
perkembangan, stabilitas, atau regresi dapat diperkirakan dengan perubahan penanda. Untuk
kebanyakan penyakit, bagaimanapun, hubungan kuantitatif antara perubahan penanda dan
perkembangannya belum terbentuk.
Asupan protein dengan nilai biologis yang tinggi harus dipertahankan, sedangkan
asupan natrium, kalium, dan fosfor dibatasi. Target protein bervariasi tergantung pada
Stadium CKD. Diet protein terkontrol memperlambat penurunan fungsi ginjal lebih dari satu
dengan asupan protein lebih liberal. Pembatasan cairan hanya boleh dilakukan, jika terdapat
hiponatremia. Pengurangan asupan natrium dan fosfat jauh lebih penting daripada membatasi
asupan cairan, kecuali jika terjadi hiponatremia (SNa <130 mEq / L).5
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah: Pembatasan
Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG :< 60 ml/mnt,
sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein
diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai
biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, Dibutuhkan
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan
kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan
protein tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen
lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui
ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik
akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian,
pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah
penting lain adalah, asupan protein berlebih {protein overload) akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus
{intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi
35
ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena
protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk
mencegah terjadinya hiperfosfatemia.1
Metabolisme protein dalam tubuh bertanggung jawab atas pertumbuhan yang cukup
pada anak-anak dan pemeliharaan massa protein tubuh seperti massa otot pada orang dewasa.
Setiap hari, sekitar 250 g protein dikatabolisme, menghasilkan produk katabolik protein,
seperti urea dan banyak senyawa lain yang dikenal atau tidak teridentifikasi. Sebagian besar
produk degradasi ini biasanya dibersihkan oleh ginjal dan dikeluarkan melalui urin. Ketika
fungsi ginjal menurun, akan ada penumpukan produk sampingan ini ke dalam darah, yang
secara progresif akan merusak fungsi organ. Hal ini telah diidentifikasi dengan jelas untuk
senyawa seperti P-cresylsulphate, indoxyl-sulphate, trimethyl aminoxide, fibroblast-growth
factor 23 , yang sekarang dianggap sebagai racun uremik. Kedua, asupan protein bertanggung
jawab atas sebagian besar beban kerja ginjal, dan banyak penelitian eksperimental dan klinis
telah mengkonfirmasi efek beban protein pada ginjal dan peran yang merusak dari respons
hiperfiltrasi ginjal yang terkait dengan asupan protein. Oleh karena itu, dalam situasi
pengurangan nefron, seperti CKD, pengurangan asupan protein akan mengurangi
hiperfiltrasi, dengan efek tambahan pada obat penurun angiotensin. Sebagai konsekuensi dari
kedua tindakan tersebut, mengurangi uremia dan toksin uremik di satu sisi dan meningkatkan
Di sisi lain, hemodinamik ginjal, pengurangan asupan protein dapat mengurangi gejala klinis
dan menunda kebutuhan untuk memulai perawatan dialisis pemeliharaan.11
Pemantauan Pengumpulan urin 24 jam untuk natrium (target <100 mEq Na per 24
jam), nitrogen urea, dan kreatinin sangat informatif mengenai tingkat kepatuhan terhadap
resep makanan. Untuk mempertahankan massa tubuh tanpa lemak, regimen olahraga yang
diawasi harus dipertimbangkan sehubungan dengan rekomendasi diet. Pasien dengan BP
tinggi disarankan untuk mengikuti diet DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension),
yang telah terbukti kemanjurannya. Modifikasi diet DASH akan diperlukan pada pasien PGK
karena kandungan kalium dan fosfatnya yang tinggi. Terakhir, pasien dengan proteinuria
pada setiap tahap CKD harus dirujuk ke Ahli Gizi / Ahli Gizi.
Tabel . Kebutuhan Kalori dan Protein Pada Pasien CKD5
CKD Stage Kalori (kcal/kg/hari) Protein g/kg/hari)
3 30-35 0,75
4 30-35 0,6-0,8
5 Per dietitian 0,6-0,8
Pada pasien ini didapatkan CKD stage 4, maka untuk penatalaksanaan non
medikamentosa yaitu diet protein 0,6-0,8 g/kg/hari, diet kalori 30-35 kcal/kgBB/hari.
36
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan.
Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang
masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun
insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui Insensible water loss
antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk
dianjurkan 500800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah
kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang
mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus
dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan
untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan,
disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.1
Terapi farmakologi pasien stadium 3-5 (GFR <60 mL / menit / 1,73 m2), dengan atau
tanpa diabetes :5
Saline: Profilaksis natrium bikarbonat isotonik (normal) atau natrium
bikarbonat isotonik direkomendasikan untuk pasien CKD non-diabetes dan
diabetes. Pasien CKD yang dirawat di rumah sakit , secara hemodinamik stabil
harus menerima infus natrium bikarbonat isotonik atau saline 0,9%. Pada
pasien ini, mendapatkan IVFD RL 20 tpm
Obat: diuretik. Pada pasien ini mendapatkan furosemide untuk mengurangi
terjadinya edema perifer pada pasien. Furosemide yang merupakan “Loop atau
HighCeiling Diuretic” dapat menghambat kotranspor Na+/K+/Cl- dari
membrane lumen pada pars ascenden ansa Henle sehingga reabsorbsi
Na+/K+/Cl- menurun. Loop diuretic berkerja cepat bahkan di antara pasien
dengan fungsi ginjal yang terganggu.
Dialisis: dialisis / hemofiltrasi tidak direkomendasikan sebagai profilaksis.
Terapi ACEI atau ARB: pada pasien ini mendapatkan obat captopril 3x12,5
mg sebagai tatalaksana hipertensi yang dialami pasien, namun pemberian obat
ini harus dikontrol dengan evaluasi nilai kretinin >35 % dan bila terjadi
hiperkalemi, pemberian obat dihentikan.5 Beberapa obat antihipertensi
terutama ACE inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme inhibitor), seperti
Captopril, melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
37
perburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi melalui mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria.2
Rekomendasi untuk target BP pada pasien dengan PGK telah berubah
karena semakin banyak bukti yang tersedia. Pedoman ACC / AHA 2017
merekomendasikan pengurangan SBP menjadi <130 mm Hg dan DBP
menjadi <80 mm Hg, berdasarkan data baru dari SPRINT. Tekanan darah
sistolik belum dievaluasi seketat tekanan darah diastolik sampai SPRINT
melihat kontrol SBP dan hasil klinis. Untuk pasien dengan tekanan darah
tinggi dan risiko ASCVD tinggi, pengobatan hipertensi yang agresif
memberikan perbaikan yang signifikan dalam hasil klinis. Data yang tersedia
saat ini menunjukkan bahwa target SBP <130 mm Hg masuk akal.12
Untuk CKD, (KDIGO) pada tahun 2012 merekomendasikan target BP
untuk pasien dengan PGK <140/90 mmHg jika ekskresi albumin urin <30 mg
per 24 jam dan <130/80 mmHg jika ekskresi albumin urin ≥ 30 mg per 24 jam.
KDIGO sedang meninjau rekomendasinya berdasarkan hasil SPRINT,
termasuk pasien CKD. Berdasarkan hasil SPRINT, rekomendasi kami juga
menerapkan target 130/80 mm Hg pada pasien PGK dengan ekskresi albumin
urin <30 mg per 24 jam. Perhatian praktis untuk menghindari hipotensi dan
untuk memantau hiperkalemia.12
Pada populasi CKD tertentu, termasuk orang tua, kontrol BP yang
agresif dapat menyebabkan hasil negatif seperti kerusakan akut pada fungsi
ginjal, peningkatan risiko kejadian kardiovaskular dan hipotensi ortostatik.
Secara umum, tekanan darah sistolik harus tetap> 110 mm Hg dan bahkan
lebih tinggi jika terjadi gejala ortostatik. Untuk tekanan darah diastolik, kehati-
hatian disarankan bila tekanan darah diastolik turun di bawah 60 mm Hg atau
kurang. Kematian meningkat ketika pasien diabetes memiliki tekanan darah
diastolik di bawah 70.12
Dari agen antihipertensi, ACEI dan ARB sangat efektif dalam
memperlambat perkembangan penyakit pada CKD diabetes dan non-diabetes.
Jika ACEI atau ARB tidak efektif sendiri untuk mengontrol TD, kemudian
penghambat saluran kalsium tiazid atau dihidropiridin (misalnya, amlodipin)
dapat ditambahkan. Perlu dicatat bahwa penghambat saluran kalsium
dihidropiridin tidak boleh diresepkan tanpa penggunaan ACEI atau ARB
38
pasien mengalami hipoalbuminemia dengan kadar albumin <2,5 g/dL. Pada pasien ini
kadar albumin pasien adalah 1,8 dan pasien perlu mendapatkan terapi albumin.
Albumin yang diberikan adalah sediaan albumin 20%.
Kebutuhan albumin pasien = 0,8 x BB x (3,5-1,8) = 102 gram
Albumin 20% = 20 gram per 100 ml, maka pasien membutuhkan 5 botol albumin 20%.
Segera setelah pasien mengalami perbaikan keadaan umum, dilakukan hemodialisis.
Pengetahuan mengenai modifikasi gaya hidup diharapkan dapat menekan perburukan kondisi
dan secara tidak langsung dapat menurunkan angka mortalitas pasien dengan CKD. Hal ini
terlihat dari berbagai penelitian yang telah dilakukan dimana, pada 6 penelitian
memperlihatkan diet rendah protein berhubungan dengan reduksi sebanyak 42% angka
mortalitas.
40
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilakukan pemeriksaan pasien laki-laki usia 63 tahun dengan edema seluruh
tubuh 1 bulan SMRS dan nyeri uluhati 1 hari SMRS. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien
didiagnosa dengan CKD grade IV + hipoalbumin + hipertensi grade II + Anemia. Pasien
mendapatkan tatalaksana non medikamentosa berupa diet protein 0,8 gr/kgBB/hari dan
tatalaksana medikamentosa berupa IVFD RL 20 tpm, Transfuse albumin 20% 100 ml 3 botol,
Inj. Furosemide 3x1, PO. Captopril 3x12,5 mg, Inj.. Omeprazole 1x1, PO. Bicnat 1x1, PO.
As.Folat 1x1, PO. CaCO3 1x1.
Penyakit Ginjal Kronik merupakan penurunan progresif fungsi ginjal yang bersifat
irreversible. Penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal persisten dengan
karakteristik adanya kerusakan strukturl atau fungsional (seperti mikroalbuminuria/
proteinuria, hemataruia, kelainan histologis atau radiologis), dan/atau menurunnya Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) menjadi <60 ml/menit/1,73 m2 selama sedikitnya 3 bulan.
Tatalaksana meliputi tatalaksana non medikamentosa dan tatalaksana medikamentosa
yang meliputi tatalaksana manajemen umum dan memperlambat perburukan CKD. Segera
setelah pasien mengalami perbaikan keadaan umum, dilakukan hemodialysis. Pengetahuan
mengenai modifikasi gaya hidup diharapkan dapat menekan perburukan kondisi dan secara
tidak langsung dapat menurunkan angka mortalitas pasien dengan CKD.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jili II. VI. Jakarta : InternaPublishing; 2014: 2159-65
2. Agnez Zahrah. Chronic Kidney Disease Stage V. Lampung : Universitas Lampung.
2014
3. Situasi penyakit ginjal kronis.infodatin kementerian kesehatan RI. 2017. ISSN 2442-
7659.
4. Vaidya SR, Aeddula NR. Chronic Renal Failure. [Updated 2020 Jul 16]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535404/
5. Henry Ford Health System. Chronic Kidney Disease (CKD),Clinical Practice
Recommendations for Primary Care Physicians and Healthcare Providers 6th Edition,
Division Of Nephrology & Hypertension and General Medicine.2011
6. Melyda. Diagnosis dan Tatalaksana Acute Kidney Injury Pada Syok Septik.RSUD
Kafemenanu. Nusa Tenggara Timur 2017
7. NKF-KDIGO. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Clinical
Practice Guideline for Acute Kidney Injury (AKI). ISN. 2012. 13-14
8. Jeremy Levy. Glomerulonefritis [update 2020 Oct 14]. In: bestpractice.bmj [internet].
Publishing; 2020 Sep- Available from: https://bestpractice.bmj.com/topics/en-us/207
9. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kidney Disease: Evaluation, Clasification and Stratification. Am J Kidney
Disease.2002
10. Alwi, I. e. Penyakit Ginjal Kronik Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu PEnyakit Dalam
Panduan Praktis Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
2015
11. National Kidney Foundation. K/DOQI .Clinical Practice Guideline For Nutrition In
Chronic Kidney Disease: 2019 Update.
12. Jennifer Reilly. Management of Chronic Kidney Disease. University of Michigan :
2013
13. The National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. Anemia in
Chronic Kidney Disease [publishing july 2014]. Available from
https://www.niddk.nih.gov/
42
14. Alves FC, Sun J, Qureshi AR, Dai L, Snaedal S, Ba ´ra ´ny P, et al. (2018) The higher
mortality associated with low serum albumin is dependent on systemic inflammation
in end-stage kidney disease. PLoS ONE 13(1): e0190410.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0190410