Anda di halaman 1dari 52

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A219104

**Pembimbing

PERITONITIS DIFFUSE ET TRAUMA TUMPUL ABDOMEN

Fazilla Maulidia* dr.Dennison, Sp. B**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN BEDAH


RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION

PERITONITIS DIFFUSE ET CAUSA TRAUMA TUMPUL ABDOMEN

Oleh:

Fazilla Maulidia

G1A219104

Telah Disetujui dan Dipresentasikan sebagai Salah Satu Tugas

Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Bedah

Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

2021

Jambi, Januari 2021

Pembimbing,

dr. Dennison, Sp. B


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan judul “Peritonitis Diffuse Et Causa Trauma
Tumpul Abdomen”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan
Klinik Senior di bagian BedahRSUD Raden Mattaher Jambi.

Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Dennison, Sp. B, selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik dan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan Case
Report Session ini.

Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi
kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Januari 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput


organ perut (peritonieum). Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat
akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis
merupakan komplikasi tersering dari trauma tumpul abdomen karena adanya
rupture pada organ.

Trauma tumpul abdomen yaitu trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam


rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi,
kompresi, atau sabuk pengaman. Trauma tumpul abdomen sering kali ditemui
pada unit gawat darurat. Sebanyak 75% kasus trauma tumpul abdomen adalah
sebagai akibat dari kecelakaan lalu lintas, baik itu kendaraan dengan kendaraan
maupun kendaraan dengan pejalan kaki.

Pasien dengan trauma tumpul abdomen memerlukan penatalaksanaan yang


cepat dan efisien. Pada trauma ganda, abdomen merupakan bagian yang tersering
mengalami cedera. Seorang pasien yang terlibat kecelakaan serius harus
dianggap cedera abdominal sampai terbukti lain. Ketepatan diagnosis dan
penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. E
Umur : 52 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Supir travel
Alamat : RT. 36 Kelurahan Bagan pete, Simpang Rimbo
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Masuk RS : 29/12/2020

2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak ± 3 jam
SMRS setelah kejadian kecelakaan.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak ± 3 jam
SMRS setelah kejadian kecelakaan. Kecelakaan yang terjadi tabrakan dari
belakang antara mobil travel dan mobil truk batu bara sehingga menyebabkan
perut pasien terhimpit dengan stir mobil. Pasien mengatakan merasakan sakit
dibagian perut setelah kejadian itu dan terus berlangsung sampai dibawa ke RS.
Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran.
Saat di IGD pasien mengatakan nyeri perut, nyeri dirasakan di seluruh
perut. Nyeri dirasakan semakin berat dan terus-menerus nyeri dirasakan seperti
tertusuk-tusuk, perut terlihat kembung dan keras. Nyeri bertambah sakit saat
bergerak dan menghilang saat diberi obat di IGD. Demam (-), Mual (+), muntah
(+), lemas (+), BAB tidak ada, kentut tidak ada, kejang (-).
Pada saat dibangsal pasien mengeluhkan rasa sakit pada bekas operasi,
terlihat tidak ada rembesan disekitar luka operasi, dan pada pasien terpasang
kateter, drainase. Mual (-), muntah (-), demam (-).
Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat keluhan seperti ini : Disangkal
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat Hipertensi : Disangkal
- Riwayat DM : Disangkal

Riwayat penyakit keluarga:


- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pada tanggal 29/12/2020 di IGD (berdasarkan rekam medik pasien)
TANDA VITAL
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 86 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36 ºC
SpO2 : 98%

STATUS GENERALISATA
Kulit
Warna : Sawo matang Turgor : Baik
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : Dalam batas normal
Jar. Parut : (-)
Edema : (-)
Ikterus : (-)

Kelenjar
Pembesaran Kel. Submandibula : (-)
Jugularis Superior : (-)
Submental : (-)
Jugularis Interna : (-)

Kepala
Bentuk kepala : Normocephal
Ekspresi muka : Tampak sakit berat
Simetris muka : Simetris
Rambut : Tampak hitam tumbuh merata
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan syaraf : (-)

Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Conjungtiva anemis : (-/-)
Sklera Ikterik : (-/-)
Pupil : Isokor (+/+)
Lensa : Tidak keruh
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : Baik kesegala arah

Hidung
Bentuk : Normal Selaput lendir : normal
Septum : Deviasi (-) Penumbatan : (-)
Sekret : (-) Perdarahan : (-)
Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi geligi : Dbn
Gusi : Berdarah (-)
Lidah : Tremor (-)
Bau pernafasan : Dbn

Leher
Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cm H2O
Thorax
Bentuk : Simetris
 Paru-paru
 Inspeksi : Pernafasan simetris
 Palpasi : Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
 Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
 Perkusi batas jantung
Kanan : ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS V Linea midklavikularis sinistra
Atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternalis sinistra
 Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
 Inspeksi :
Datar, distensi abdomen (+), sikatrik (-), massa (-), bekas operasi
(-),
 Palpasi :
Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen (+), nyeri lepas (+),
defans muscular (+), hepar dan lien tidak teraba.
 Perkusi :
Hipertimpani (+), nyeri ketuk (+) di seluruh lapangan abdomen
 Auskultasi : Bising usus (+) menurun

Genetalia Eksterna
Dalam batas normal
Ekstremitas atas
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Extremitas bawah
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)

Pada tanggal 31/12/2020 di Bangsal Bedah


TANDA VITAL
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 150/100 mmHg
Nadi : 96 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 36,5 ºC

STATUS GENERALISATA
Kulit
Warna : Sawo matang Turgor : Baik
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : Dalam batas normal
Jar. Parut : (-)
Edema : (-)
Ikterus : (-)

Kelenjar
Pembesaran Kel. Submandibula : (-)
Jugularis Superior : (-)
Submental : (-)
Jugularis Interna : (-)

Kepala
Bentuk kepala : Normocephal
Ekspresi muka : Tampak sakit berat
Simetris muka : Simetris
Rambut : Tampak hitam tumbuh merata
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan syaraf : (-)

Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Conjungtiva anemis : (-/-)
Sklera Ikterik : (-/-)
Pupil : Isokor (+/+)
Lensa : Tidak keruh
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : Baik kesegala arah

Hidung
Bentuk : Normal Selaput lendir : normal
Septum : Deviasi (-) Penumbatan : (-)
Sekret : (-) Perdarahan : (-)

Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi geligi : Dbn
Gusi : Berdarah (-)
Lidah : Tremor (-)
Bau pernafasan : Dbn

Leher
Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cm H2O
Thorax
Bentuk : Simetris
 Paru-paru
 Inspeksi : Pernafasan simetris
 Palpasi : Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
 Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
 Perkusi batas jantung
Kanan : ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS V Linea midklavikularis sinistra
Atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternalis sinistra
 Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
 Inspeksi :
Cembung, distensi abdomen (-),sikatrik (-), massa (-), bekas
operasi (+),
 Palpasi :
Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen (-), nyeri lepas (+), defans
muscular (-), hepar dan lien tidak teraba, Mcburney sign (-),
Rovsing sign (-), Psoas sign (-), obturator sign (-).
 Perkusi :
Hipertimpani (+), nyeri ketuk (+)
 Auskultasi : Bising usus (+)

Genetalia Eksterna
Dalam batas normal
Ekstremitas atas
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Extremitas bawah
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin (30-01-2020)
WBC : 20,1 109/H (4-10)
RBC : 5,02 1012/L (3,50- 5,50)
HGB : 15,0 g/dl (13-18)
HCT : 44,5 % (40-48)
PLT : 163 109/H (100-300)
MCV : 88,7 fL (80-100)
MCH : 29,9 pg (26-34)
MCHC : 33,7 g/dl (320-360)
Faal Ginjal (29-12-2020)
Ureum : 31 mg/dl (15-39)
Kreatinin : 0,89 mg/dl L (0,9-1,3), P (0,6-1,1)
Elektrolit (29-12-2021)
Natrium : 140,0 mmol/L (136-146)
Kalium : 3,80 mmol/L (3,34-5,10)
Chlorida : 3,5 mmol/L (98-106)
Glukosa Darah Sewaktu: 127 mg/dl <200
Masa Perdarahan : 4 menit
Masa Pembekuan : 4,5 menit
Rapid test : Non reactive

2.5 Diagnosa Kerja


Peritonitis diffuse ec trauma tumpul abdomen

2.6 Diagnosis Banding


- Gastroenteritis
- Ulkus peptikum perforasi

2.7 Penatalaksanaan
1. Pre operasi
 IVFD RL 30 tpm
 Kateter
 NGT
 Inj keterolac 3x1 amp
 Inj ranitidin 2x1 amp
 Inj ondensartan 2x1 amp
 Inj omeprazole 1x1 vial
2. Operasi
 Laparotomi eksplorasi
 Reseksi + anastomosis ileum
3. Post op
 Post Operasi Laparatomy
 IVFD RL 30 tpm
 Inj. Ceftriaxon1 x 2gr
 Inj. omeprazole 1 x 1 amp
 Inj. Ranitidin 2 x 500mg

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad santionam : dubia ad bonam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Peritonitis
3.1.2 Anatomi Peritoneum
Peritonitis merupakan peradangan pada rongga peritoneum yang dapat
disebabkan oleh bakteri ataupun reaksi kimiawi.Peritonitis kimiawi merupakan
peradangan pada peritoneum yang disebabkan langsung oleh zat kimia seperti
asam lambung.
Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar di dalam
tubuh manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain
peritoneum parietal yang melapisi bagian internal dari dinding abdominopelvis
dan peritoneum visceral yang melapisi organ-organ abdomen.1,2 Hubungan
peritoneum dan organ-organ dalam kavitas intra abdomen dikelompokkan
menjadi, antara lain organ intraperitoneal yang terlapisi seluruhnya dengan
peritoneum, dan retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, colon desendens,
dan rectum) yang tidak terlapisi maupun terlapisi hanya sebagian peritonum.
Peritoneum visceral yang membungkus atau menunjang organ-organ bersama-
sama dengan jaringan ikat disekitarnya dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan
istilah ligamen peritoneum, omentum atau mesenterium.2 Mesenterium
merupakan dua lapis peritoneum yang terjadi akibat invaginasi peritoneum karena
suatu organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan dinding posterior
abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon).1,2 Ligamen
peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang menghubungkan organ satu
dengan lainnya atau dengan dinding abdomen (falciform ligament yang
menghubungkan liver dengan dinding abdomen anterior).1 Berbeda dengan
ligamen peritoneum dan mesenterium, greater omentum terdiri dari 4 lapisan
peritoneum (karena peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan
sejumlah jaringan adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic
ligament, gastrosplenic ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser
omentum terdiri dari hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.1,2

Gambar 1. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan


peritoneum parietal dan visceral2

3.1.2 Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang
melapisirongga abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyulit
berbahayayang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini
biasanya terjadiakibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi
saluran cerna, atau dariluka tembus abdomen.9
Peritonitis didefinisikan sebagai adanya peradangan pada peritoneum baik
lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik dari natural history,
dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya.3

3.1.3 Klasifikasi
Peritonitis umumnya dikategorikan menjadi primary peritonitis
(primer), secondary peritonitis (sekunder) , dan tertiary peritonitis (tersier).3,4,5

1. Peritonitis primer merupakan peradangan pada peritoneum yang


penyebabnya berasal dari ekstraperitoneal dan umumnya dari
hematogenous dissemination.6
2. Peritonitis sekunder adalah peritonitis akibat hilangnya integritas dari
traktus gastrointestinal yang umumnya disebabkan perforasi traktus
gastrointestinal karena organ intra-abdomen yang terinfeksi.5,6
3. Adanya peritonitis persisten atau rekuren setelah penanganan yang adekuat
terhadap peritonitis primer atau sekunder dinamakan dengan istilah
peritonitis tersier.6
Pembahasan mengenai peritonitis seringkali tidak terlepas dari istilah yang
disebut sebagai intra-abdominal infections (IAI) dan abdominal sepsis.6Intra-
abdominal infections dibagi menjadi dua bagian besar, antara lain uncomplicated
IAI yang didefinisikan sebagai proses infeksi hanya mengenai organ tunggal
(organ viscera) dan complicated IAI yang adalah proses infeksi yang lebih lanjut,
tidak hanya melibatkan organ tunggal tersebut dan menyebabkan peradangan
peritoneum lokal maupun difus,5 sedangkan abdominal sepsis didefinisikan
sebagai manifestasi sistemik (tanda sepsis) akibat dari peradangan peritonitis yang
berat.6

3.1.4 Etiologi

Sesuai dengan definisinya, peritonitis secara prinsip merupakan


peradangan yang terjadi pada peritoneum akibat adanya kerusakan pada
peritoneum. Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang
berbeda dalam patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya
peritonitis tidak berasal dari traktus gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi
tidak berhubungan langsung dengan gangguan organ gastrointestinal), sedangkan
pada sekunder ditemukan adanya kerusakan integritas traktus (perforasi) tersebut
baik akibat strangulasi maupun akibat infeksi. Pada peritonitis sekunder terjadi
kontaminasi rongga peritoneum yang steril terhadap mikroorganisme yang berasal
dari traktus gastrointestinal.5

3.1.5 Patofisiologi

Dalam keadaan fisiologis tidak ada hubungan langsung antara lumen


gastrointestinal dengan rongga peritoneum, namun apabila terjadi kerusakan
integritas dari traktus gastrointestinal hubungan tersebut tercipta. Kerusakan
integritas dari traktus gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti
appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi
gallbladder, perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, sampai volvulus,
kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau obturator). 4 Akibat
kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti Escherichia coli dan Klebsiella
pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan anaerobik lainnya) masuk dalam
rongga peritoneum. Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat
polimikrobial (gram negatif aerob dan anaerob).

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya


eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan
fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus. Dapat
terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata.

Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang
kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis
dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi
peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi
perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan
parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan
lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah. Proses
inflamasi akut dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf
simpatis dan supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan
terganggu sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga peritoneum, tetapi
juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan pertumbuhan
mikroorganisme yang tidak terkontrol.

3.1.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dibagi berdasarkan manifestasi lokal dan sistemik sesuai


patofisiologi terjadinya peritonitis. Pada manifestasi lokal ditemukan adanya nyeri
perut hebat, nyeri tekan seluruh lapang abdomen (pada peritonitis umum), nyeri
tersebut konstan dan intens, dan diperburuk dengan gerakan. Sebagian besar
pasien berbaring diam, dengan lutut ditekuk dan kepala diangkat; manuver ini
mengurangi ketegangan dinding perut dan mengurangi rasa sakit. rebound
tenderness, adanya muscle guarding atau rigidity (perut papan), dan manifestasi
klinis akibat ileus paralitik (distensi abdomen, penurunan bising usus).6

Anoreksia, mual, dan muntah adalah gejala yang sering. Namun demikian,


tergantung pada etiologi peritonitis dan waktu evolusi mereka, gejalanya dapat
bervariasi. Sebagian besar pasien terlihat dalam kondisi umum yang buruk.Suhu
biasanya di atas 38 ° Celcius, tetapi pasien yang memiliki syok septik mungkin
mengalami hipotermia.  sedangkan pada tanda klinis sistemik dapat ditemukan
adanya demam, takikardia, takipnea, dehidrasi, oliguria, disorientasi, dan syok
(manifestasi SIRS). Takikardia dan penurunan amplitudo denyut nadi merupakan
indikasi hipovolemia, dan mereka sering terjadi pada sebagian besar
pasien. Pasien datang dengan curah jantung tinggi dan penurunan resistensi
vaskular sistemik. Mereka mungkin mengalami peningkatan tekanan nadi.6
3.1.7 Diagnosis
Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik.4,6 Anamnesis harus mencari kemungkinan
sumber etiologi dari peritonitis sekunder sehingga harus ditanyakan mengenai
riwayat penyakit sekarang (riwayat dyspepsia kronis mengarahkan ke perforasi
ulkus peptikum, riwayat inflammatory bowel disease atau divertikulum
mengarahkan perforasi kolon karena divertikulitis, riwayat demam lebih dari 1
minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis khas untuk tifoid
mengarahkan ke perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah inguinal
(inguinalis atau femoralis) harus disuspek kemungkinan adanya strangulasi,
sedangkan nyeri mendadak tanpa disertai adanya riwayat penyakit apapun
mengarahkan ke appendisitis perforasi), riwayat operasi abdomen sebelumnya. 2
Berbeda dengan peritonitis sekunder, peritonitis primer patut dicurigai pada
pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat penyakit liver kronis
(terutama sirosis hepatis).6

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat, dengan


temuan tanda-tanda SIRS (tanda sistemik), dan tanda-tanda lokal seperti
dijelaskan pada manifestasi klinis. Nyeri pada palpasi adalah tanda peritonitis
yang paling khas, baik untuk sentuhan yang dalam maupun superfisial. 
selanjutnya dinding otot mengalami kejang secara involunter dan terjadi
spasme. Suara usus mungkin ada atau tidak ada, dan mereka mungkin menyerupai
ileus awal. Peritonitis lokal menghasilkan rasa sakit yang terlokalisasi terhadap
organ penyebab terjadinya peritonitis. Perkusi perut dapat membantu melokalkan
tempat iritasi peritoneum maksimum secara akurat dengan mencari point of
maximal tenderness (daerah dimana terjadi iritasi maksimal dari peritoneum)
untuk menentukan lokasi proses patologis awal (etiologi dari peritonitis).4,6

Pemeriksaan dubur, meskipun sangat diperlukan dalam pemeriksaan


fisik, jarang berorientasi pada asal peritonitis. Pada jam-jam pertama iritasi
peritoneum, rasa sakitnya mungkin hebat, tetapi sejauh waktu berlalu, rasa sakit
menjadi lebih berbahaya dan lebih sulit untuk dinilai.6
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis >11.000sel/ml, dengan shift
to the left yaitu peningkatan sel batang PMN), jika pasien mengalami leukopenia,
hal ini menunjukkan sepsis menyeluruh dan dikaitkan dengan prognosis yang
buruk.6

Kimia darah mungkin normal, tetapi pada kasus yang serius dapat
menunjukkan dehidrasi parah, seperti peningkatan nitrogen ureum darah (BUN)
dan hipernatremia.dan pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat menunjukan
adanya asidosis metabolik, Asidosis metabolik membantu dalam konfirmasi
diagnosis. Urinalisis sangat diperlukan untuk menyingkirkan infeksi saluran
kemih, pielonefritis, dan nefrolitiasis.6

Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis seperti x-ray dapat


berguna (free air under diaphragm yang terlihat pada posisi upright pada
perforasi ulkus peptikum,12 tetapi jarang pada etiologi lainnya). Pemeriksaan CT-
scan umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda penanganan
pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan klinis).6

Diagnostic peritoneal lavage (DPL) adalah metode yang dapat dipercaya


dan aman untuk diagnosis peritonitis umum, khususnya pada pasien yang tidak
memiliki tanda-tanda konklusif pada pemeriksaan fisik, yang memiliki riwayat
medis yang buruk, atau yang memiliki sedasi atau cedera otak, usia lanjut, atau
cedera sumsum tulang belakang. Pasien yang menggunakan steroid atau pasien
yang mengalami gangguan kekebalan mungkin atau mungkin tidak memberikan
hasil konklusif dalam DPL. DPL positif (lebih besar dari 500 leukosit / mL)
menunjukkan peritonitis.4,6
Gambar 2. Pneumoperitoneum (free air under diaphragm)

3.1.8 Tatalaksana
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad
spectrum, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau
ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam
4x 3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal). 3 Terapi empiris
untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien dengan primary bacterial
peritonitis (PBPatau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya mengalami
perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat
diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur darah
yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya
rekurensi pada SBP, sampai 70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi
<20%. Regimen yang diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain
ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim-
sulfamethoxazole.3

Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi


etiologi (source control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian
antibiotik sistemik, dan terapi suportif (resusitasi). 4 Tidak seperti penanganan
peritonitis primer yang secara prinsip adalah tindakan non-pembedahan, sine qua
non penanganan peritonitis sekunder adalah tindakan pembedahan dan bersifat
life-saving.3 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat “early and definitive source
control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi juga dapat
mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen. 7 Keterlambatan
dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat memperburuk prognosis.

Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan resusitasi


cairan (resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan) untuk
mencegah terjadinya syok hipovolemik (dan syok septik) yang memperparah
disfungsi organ.4,8 Pemberian antibiotik mencakup bakteri gram positif dan negatif
serta bakteri anaerob (walaupun secara umum perforasi upper GI tract lebih
mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan colon lebih
mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob).4,6 Beberapa pilihan regimen
antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan penicillin/
β-lactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena), atau
golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750 mg intravena), atau sefalosporin
generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan metronidazole 3x500
mg intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care Unit dapat diberikan
imipenem 4x 500 mg intravena atau meropenem 3x 1gram intravena).Pemberian
antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit normal dan hitung
jenis batang < 3%.7 Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik perlu untuk
dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial pressure >65 mmHg, dan
urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous pressure CVP antara
8-12mmHg).6 Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT)
pada pasien ileus dengan distensi perut dan mual-muntah yang dominan. 7 Pada
pasien penurunan kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan
pemasangan intubasi.

Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari


kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan
mencegah sepsis.6,8 Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan
tujuan agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit tercapai. 7
Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang mengalami
perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi ulkus).6,7 Pada
perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus secara sementara sebelum
dilakukan tindakan anastomosis usus di kemudian hari (beberapa minggu setelah
keadaan umum pasien membaik).7 Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan
cairan normal saline (>3L) hangat dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan
tujuan mengurangi bacterial load dan mengeluarkan pus(mencegah sepsis dan re-
akumulasi dari pus). Tidak direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan
iodine atau agen kimia lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup
kembali. Secara ideal, fascia ditutup dengan benang non-absorbable dan kutis
dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kasa basah selama 48-72 jam. Apabila tidak
terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat dilakukan (delayed primary closure
technique). Teknik ini merupakan teknik closed-abdomen, pada laporan kasus ini
tidak akan dibahas secara mendalam mengenai teknik open-abdomen).6,7

3.1.9 Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis
intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan
distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya
infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut
misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan,
dan sistem imun.

3.1.10 Prognosis

Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah


10%-40% pada perforasi kolon (Tabel 1).11 Faktor yang mempengaruhi tingkat
mortalitias yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi
penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien, dan
keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan pada pasien
dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri
yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk
(APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan
tingkat serum albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi
yang membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka
mortalitas yang tinggi.

Tabel 1. Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi

.
3.2 Trauma Tumpul Abdomen
3.2.1 Anatomi abdomen
Abdomen merupakan bagian tubuh yang terletak di antara toraks dan
pelvis. Rongga abdomen yang sebenarnya dipisahkan dari rongga toraks di
sebelah atas oleh diafragma dan dari rongga pelvis di sebelah bawah oleh
suatu bidang miring yang disebut pintu atas panggul. Dapat dikatakan bahwa
pelvis termasuk bagian dari abdomen, dan rongga abdomen meliputi juga
rongga pelvis. Rongga abdomen meluas ke atas sampai mencapai rongga
toraks setinggi sela iga kelima. Jadi sebagian rongga abdomen terletak atau
dilindungi oleh dinding toraks. Sebagian dari hepar, gaster dan lien
terterdapat di dalamnya. Rongga abdomen atau cavitas abdominis berisi
sebagian besar organ sistem digestivus, sebagian organ urinarium, sistem
genitalia, lien, glandula suprarenalis, dan plexus nervorum. Juga berisi
peritoneum yang merupakan membrane serosa dari sistem digestivus.
Kadang-kadang ada organ sistem digestivus yang sebagian atau sementara
terletak di dalam rongga pelvis, misalnya ileum dan sebaliknya kadang-
kadang organ genitalia terdapat di dalam rongga abdomen, misalnya uterus
yang membesar. Untuk menentukan lokalisasi yang lebih teliti dari rasa nyeri,
pembengkakan atau letak suatu organ, maka abdomen dibagi menjadi
sembilan region oleh dua bidang horizontal yaitu bidang subcostalis dan
bidang transtubercularis serta dua bidang vertikal yang melalui linea
midklavikularis kanan dan kiri.
Anatomi dalam dari abdomen meliputi 3 regio:

1. Rongga Peritoneal

Rongga peritoneal dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

1) Rongga Peritoneal Atas

Rongga peritoneal atas dilindungi oleh bagian bawah dari dinding


thorax yang mencakup diafragma, hepar, liean, gaster, dan colon
transversum. Bagian ini juga disebut sebagai komponen
thoracoabdominal dari abdomen. Pada saat diafragma naik sampai
sela iga IV pada waktu ekspirasi penuh, setiap terjadi fraktur iga
maupun luka tusuk tembus di bawah garis intermammaria bisa
mencederai organ dalam abdomen.
2) Rongga Peritoneal Bawah

Rongga peritoneal bawah berisikan usus halus, bagian colon


ascendens dan colon descendens, colon sigmoid, dan pada wanita,
organ reproduksi internal.

2. Rongga Pelvis

Rongga pelvis, yang dilindungi oleh tulang-tulang pelvis, sebenarnya


merupakan bagian bawah dari rongga intraperitoneal, sekaligus bagian bawah
dari rongga retroperitoneal. Di dalamnya terdapat rectum, vesika urinaria,
pembuluh-pembuluh iliaca, dan pada wanita, organ reproduksi internal.
Sebagaimana halnya bagian torakoabdominal, pemeriksaan organ-organ
pelvis terhalang oleh bagian-bagian tulang di atasnya.
3. Rongga Retroperitoneal

Rongga yang potensial ini adalah rongga yang berada di belakang dinding
peritoneum yang melapisi abdomen. Di dalamnya terdapat aorta abdominalis, vena cava
inferior, sebagian besar dari duodenum, pancreas, ginjal dan ureter, serta sebagian posterior
dari colon ascendens dan colon descendens, dan bagian rongga pelvis yang retroperitoneal.
Cedera pada organ dalam retroperitoneal sulit dikenali karena daerah ini jauh dari jangkauan
pemeriksaan fisik yang biasa, dan juga cedera di sini pada awalnya tidak akan
memperlihatkan tanda maupun gejala peritonitis. Rongga ini tidak termasuk dalam bagian
yang diperiksa sampelnya Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL).
Proyeksi letak organ dalam abdomen

Hipokondrium kanan Epigastrium Hipokonrium kiri


 Lobus kanan dari hepar  Pilorus gaster  Lambung
 Kantung empedu  Duodenum  Limpa
 Sebagian dari duodenum  Pankreas  Bagian kaudal dari
 Fleksura hepatik dari  Sebagian dari hepar pankreas
Kolon  Fleksura lienalis dari
 Sebagian Dari ginjal kolon
Kanan  Kutub atas dari ginjal kiri
 Kelenjar suprarenal  Kelenjar suprarenal kiri
Kanan
Lumbal Kanan Umbilikal Lumbal Kiri
 Kolon asendens  Omentum  Kolon desendens
  Mesenterium 
Bagian bawah dari ginjal Bagian bawah dari ginjal
 Bagian bawah
kanan dari kiri
duodenum
 Sebagian dari duodenum  Sebagian jejenum dan
Jejenum dan ileum

dan jejenum ileum
Inguinal kanan Hipogastrium Inguinal kiri
 Sekum  Ileum  Kolon sigmoid
 Apendiks  Kandung kemih  Ureter kiri
 Bagian akhir dari ileum  Uterus (pada kehamilan)  Ovarium kiri
 Ureter kanan

Cavum Abdominalis

Cavum abdominalis adalah rongga batang tubuh yang terdapat diantara


diaphragma dan apertura pelvis superior. Cavum abdominalis merupakan rongga yang
terbesar dari ketiga rongga tubuh yang terdiri atas cavum cranii, cavum thoracalis, dan
cavum pelvicum. Cavum abdominalis dibatasi oleh :

 Kranial : diaphragma

 Ventrolateral : otot dinding perut dan m. Illiacus

 Dorsal : columna vertebralis

m. psoas major

m. psoas minor

m. quadratuslumborum

 Kaudal : apertura pelvis superior mencakup pelvis major

Cavum abdominalis tidak sesuai dengan batas tulang yang membatasinya karena :

1. Diaphragma berbentuk kubah dan menjorok ke dalam cavum thoracalis sampai


setinggi costa V (di kanan) sedangkan di kiri kira – kira 2,5 cm lebih rendah.
2. Dibagian kaudal cavum abdominalis juga menjorok sampai ke cavum pelvicum
dan mencakup pelvis major.

Lapisan Dinding Abdomen

1. Stratum superficialis (lapisan dangkal)

a. Cutis
b. Subcutis (fascia abdominalis superficialis)

 Lamina superficialis (fascia camperi)

 Lamina profunda (fascia scarpae)

2. Stratum intermedius (lapisan tengah)

a. Fascia abdominalis

b. Otot – otot dinding perut

c. Aponeurosis otot dinding perut

d. Tulang
3. Stratum profunda (lapisan dalam)

a. Fascia transversalis

b. Panniculus adiposus preperitonealis

c. Peritoneum parietale

Otot – Otot Dinding Perut

1. Musculi anterolaterales

a. mm. Obliqua (otot serong dinding anterior)

 m. Obliqus externus abdominis

 m. Obliqus internus abdominis

 m. Transversus abdominis

b. mm. Recti (otot lurus dinding anterior)

 m. Rectus abdominis

 m. Pyramidalis

2. Musculi posteriores

a. m. psoas major
b. m. psoas minor

c. m.iliacus

Actio otot – otot dinding perut :

1. Fixatio organa viscerales abdominales

2. Melakukan gerakan pada columna vertebralis, yaitu :

 Anteflexio tubuh (m. Rectus abdominis)

 Torsio batang tubuh (mm. Obliqus externus et internus abdominis)

3. Membantu akhir ekspirasi (mm. laterales)

4. Meningkatkan tekanan intra abdominal, misalnya pada pampat perut (buik-


persen)

Vaskularisasi Dinding Abdomen

Pembuluh Nadi

Dinding abdomen diperdarahi oleh :

1. Aa. Intercostales VII – XII

2. Aa. Lumbales

3. A. Epigastrica superior

4. A. Epigastrica inferior

5. Aa. Inguinales superficiales

6. A. Circumflexa ilium profunda

Aa. Intercostales dipercabangkan dari aorta thoracalis, lalu berjalan di dalam


sulcus costae. Setelah keluar dari sulcus costae maka ke-6 Aa. Intercostales terletak
diantara m. Transversus abdominis an m. Obliqus internus abdominis. Aa. Intercostales
mempercabangkan :
a. Rr. Posterior aa. Intercostales untuk otot punggung
b. Rr. Laterales aa. Intercostales

c. Rr. Anterior aa. Intercostales, mengurus dan memasuki vagina m. Rectus


abdominis

Aa. Lumbales, biasanya empat pasang, dipercabangkan dari Aorta abdominalis


setinggi vertebrae lumbales I – IV. Aa. Lumbales berjalan ke lateral pada corpora
vertebrae lumbales di sebelah dorsal truncus symphaticus.
A. epigastrica superior merupakan salah satu cabang akhir A. mammaria interna
(A. thoracica interna), dipercabangkan setinggi spatium intercostales VI. Setelah
meninggalkan cavum thoracis, A. epigastrica superior memasuki vagina m. Rectus
abdominis di sebelah dorsal cartilago costae VIII. Mula – mula terletak dorsal terhadap
m. Rectus abdominis lalu menembus otot tersebut untuk beranastomosis dengan A.
epigastrica inferior.
A. epigastrica inferior (A. epigastrica profunda) dipercabangkan dari A. iliaca
externa tepat kranial ligamentum inguinale Pouparti, lalu berjalan ke arah ventral di
dalam jaringan subperitoneal. Selanjutnya A. epigastrica inferior berjalan miring ke
kranial di sepanjang tepi medial annulus inguinalis profundus.
Setelah menembus fascia transversalis, A. epigastrica inferior berjalan di sebelah ventral
linea semicircularis Douglasi ke arah kranial di antara m. Rectus abdominis dan lamina
posterior vagina m. Rectus abdominis. Kranial terhadap umbilicus, A. epigastrica
superior dan Aa. Intercostales.
A.epigastrica inferior mempercabangkan :

 cremasterica (A. spermatica externa)

 R. pubicus a. epigastrica inferior

 Rr. Musculares

Pembuluh Balik Dinding Abdomen

1. Vv. Superfcialies (pembuluh balik dangkal).


Membentik anyaman pembuluh balik yang luas di jaringan subkutis lalu
bermuara ke dalam :
 V. epigastrica superficialis, yang selanjutnya bermuara ke V. Femoralis

 V. thoraco-epigastrica, bermuara ke dalam V. Axillaris

Disekita umbilikus terdapat pembuluh balik dangkal yang dinamakan Vv.


Paraumbilikalis Sappeyi dan berjalan disepanjang ligamentum teres hepatis
mulai dari umbilikus sampai ke dalam sisa V. Umbilikalis yang masih terbuka.
Bila terjadi bendungan pada V. Porta (misalnya pada hipertensi portal), Vv.
Paraumbilikalis Sappeyi mengalami varises dan membentuk gambaran yang
dinamakan Caput Medussae.
2. Vv. Profundi, biasanya mengikuti pembuluh nadinya

Persarafan Dinding Abdomen

1. Nn. Thoracales VII – XII

Rr.ventrales nn thoracales VII – XII (Nn intercostales) berjalan diantara m.


Obliqus internus abdominis dan m. Transversus abdominis. Rr. Cutanei
anteriores dipercabangkan setelah menembus vagina M. Rectus abdominis,
sedangkan RR cutanei laterales dipercabangkan sekitar umbilikus.

Nn thoracales VII –XII juga mempersarafi m. Rectus abdominis sehingga


kerusaka saraf tersebut dapat menimbulkan kelumpuhan m. Rectus abdominis.
Nn thoracalis VII mempersarafi kulit dinding abdomen setinggi proc. xiphoideus,
Nn thoracales VIII – IX antara proc. xiphoideus dan umbilikus, N.thoracalis X
setingi umbilikus sedangkan N. Thoracalis XII mengurus pertengahan antara
umbilikus dan symphisis osseus pubis.
2. N. Lumbales I

N lumbalis I berjalan sejajar dengan Nn thoracales dan mempercabangkan :

 N. iliohypogastricus

 N. Iloinguinalis
Nn. Iliohypogastricus et ilioinguinales berjalan diantara m. Obliqusinternus
abdominis dan m. Transversus abdominis sampai spina iliaca anterior superior.
Kira – kira 2,5 cm disebelah kranial annulus inguinalis superficialis, Nn.
Iliohypogastricus menembus aponeurosis otot serong dinding perut dan berubah
menjadi saraf kulit.
N. Iloinguinalis berjalan di kanalis inguinalis lal mempersarafi kulit disekitar
radix penis, bagian ventral scrotum dan kulit tungkai atas didekatnya.

N thoracalis XII (N subcostalis) dan N lumbalis I merupakan saraf yang paling


penting karena keduanya mempersarafi alat – alat penting di bagian kaudal dinding
abdomen.
3.2.2 Definisi

Trauma abdomen adalah trauma yang melibatkan daerah antara diafragma pada bagian
atas dan pelvis pada bagian bawah. Trauma abdomen dibagi menjadi dua tipe yaitu trauma
tumpul abdomen dan trauma tembus abdomen.10
Trauma tumpul abdomen adalah cedera atauperlukaan pada abdomen tanpa penetrasi ke
dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi
(perlambatan), atau kompresi. Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas
pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di
bawahnya. Benturan pada trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ
berongga berupa perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan.16

3.2.3 Epidemiologi
Trauma merupakan penyebab kematian tersering ketiga pada populasi umum setelah
penyakit kardiovaskular dan kanker.10
Trauma abdomen, merupakan penyebab kematian yang cukup sering, ditemukan sekitar
7– 10% dari pasien trauma. 11 Di Eropa, trauma tumpul abdomen sering terjadi, sekitar 80% dari
keseluruhan trauma abdomen. Pada tigaperempat kasus trauma tumpul abdomen, kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab tersering dan sering ditemukan pada pasien politrauma. Diikuti oleh
jatuh sebagai penyebab kedua tersering. Hal ini seringnya berhubungan dengan tindakan
percobaan bunuh diri, kecelakaan kerja, dan kecelakaan saat olahraga.10
Di Indonesia, didapatkan bahwa prevalensi cedera secara nasional adalah sebesar 8,2%,
dimana prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi
(4,5%). Penyebab cedera secara umum yang terbanyak adalah jatuh (40,9%) dan kecelakaan
sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda tajam/tumpul
(7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Penyebab cedera transportasi
sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4 persen) dan terendah di Papua (19,4%).12
Pada trauma tumpul abdomen, cedera organ intra abdomen yang didapatkan umumnya
merupakan organ solid, terutama lien dan hepar dimana kedua organ ini dapat menyebabkan
perdarahan intra abdomen. Sedangkan untuk organ berongga cukup jarang terjadi, dan
seringnya dihubungkan dengan seat-belt atau deselerasi kecepatan tinggi.
3.2.4 Mekanisme trauma tumpul abdomen
Pada trauma tumpul abdomen, cedera pada organ intraabdomen bergantung pada
mekanisme cedera dan organ yang terlibat. Organ yang terlibat contohnya organ berhubungan
dengan lokasi anatomis, organ padat atau organ berongga, terfiksir atau mobile. Berbagai
macam mekanisme cedera dapat dikaitkan dengan trauma tumpul, tetapi sebagian besar
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan jatuh.

Ada beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat
menyebabkan cedera organ intraabdomen, yaitu :
 Benturan langsung terhadap organ intraabdomen diantara dinding abdomen anterior dan
posterior
 Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan dengan kecepatan
tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi menjadi deselerasi horizontal dan
deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini terjadi peregangan pada struktur-struktur organ
yang terfiksir seperti pedikel dan ligament yang dapat menyebabkan perdarahan atau
iskemik
 Terjadinya closed bowel loop pada disertai dengan peningkatan tekanan intraluminal yang
dapat menyebabkan rupture organ berongga
 Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang (fraktur pelvis, fraktur
costa)
 Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat menyebabkan ruptur
diafragma bahkan ruptur kardiak.13

3.2.5 Patofisiologi

Beberapa mekanisme patofisiologi dapat menjelaskan trauma tumpul


abdomen. Secara garis besar trauma tumpul abdomen (non penetrtaing trauma) dibagi
menjadi 3 yaitu :

1. Trauma kompresi

Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak,
sedangkan bagian belakang dan bagian dalam tetap bergerak ke depan. Organ-organ
terjepit dari belakang oleh bagian belakang thorakoabdominal dan kolumna
vetebralis dan di depan oleh struktur yang terjepit. Trauma abdomen
menggambarkan variasi khusus mekanisme trauma dan menekankan prinsip yang
menyatakan bahwa keadaan jaringan pada saat pemindahan energi mempengaruhi
kerusakan jaringan. Pada tabrakan, maka penderita akan secara refleks menarik
napas dan menahannya dengan menutup glotis. Kompresi abdominal mengkibatkan
peningkatan tekanan intrabdominal dan dapat menyebabkan ruptur diafragma dan
translokasi organ-organ abdomen ke dalam rongga thorax. Transient hepatic
kongestion dengan darah sebagai akibat tindakan valsava mendadak diikuti kompresi
abdomen ini dapat menyebabkan pecahnya hati. Keadaan serupa dapat terjadi pada
usus halus bila ada usus halus yang closed loop terjepit antra tulang belakang dan
sabuk pengaman yang salah memakainya.

2. Trauma sabuk pengaman (seat belt)

Sabuk pengaman tiga titik jika digunakan dengan baik, mengurangi


kematian 65%-70% dan mengurangi trauma berat sampai 10 kali. Bila tidak dipakai
dengan benar, sabuk pengaman dapat menimbulkan trauma. Agar berfungsi dengan
baik, sabuk pengamna harus dipakai di bawah spina iliaka anterior superior, dan di
atas femur, tidak boleh mengendur saat tabrakan dan harus mengikat penumpang
dengan baik. Bila dipakai terlalu tinggi (di atas SIAS) maka hepar, lien, pankreas,
usus halus, diodenum, dan ginjal akan terjepit di antara sabuk pengaman dan tulang
belakang, dan timbul burst injury atau laserasi. Hiperfleksi vetebra lumbalis akibat
sabuk yangterlalu tinggi mengakibatkan fraktur kompresi anterior dan vetebra
lumbal.

3. Cedera akselerasi / deselerasi.

Trauma deselerasi terjadi bila bagian yang menstabilasi organ, seperti


pedikel ginjal, ligamentum teres berhenti bergerak, sedangkan organ yang
distabilisasi tetap bergerak. Shear force terjadi bila pergerakan ini terus berlanjut,
contoh pada ginjal dan limpa denga pedikelnya, pada hati terjadi laserasi hati bagian
sentral, terjadi jika deselerasi lobus kanan dan kiri sekitar ligamentum teres.13
3.2.6 Diagnosis
Anamnesis
Pada evaluasi trauma tumpul abdomen, anamnesis yang detil dan akurat sangat
diperlukan untuk memastikan kemungkinan terjadinya cedera organ intraabdomen akibat
trauma tumpul abdomen. Informasi diperoleh dari paramedis, polisi atau yang mendampingi
pasien saat transportasi dan juga dari pasien sendiri jika pasien sadar baik. Saat melakukan
anamnesis, digunakan sistem MIST, yaitu :

 Mekanisme cedera
 Injury (cedera yang didapat)
 Signs (tanda atau gejala yang dialami)
 Treatment (penanganan yang telah diberikan)

Pemeriksaan fisis
Penilaian klinis terhadap pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen terkadang
sulit dilakukan dan tidak akurat, dan dapat ditemukan pada sekitar 50% pasien yang
mengalami trauma tumpul abdomen. Selain penurunan kesadaran, efek hemoperitoneum dan
variasi cedera dari berbagai variasi gejala cedera organ padat atau berongga membuat
interpretasi yang sulit dilakukan. Adanya cedera lainnya pada pasien multi trauma memberikan
tantangan tambahan.
Tanda dan gejala yang sering ditemukan pada pasien yang sadar baik yaitu :

 Nyeri perut
 Nyeri tekan pada abdomen
 Perdarahan gastrointestinal
 Hipovolemik
 Tanda-tanda peritonitis.14
Bagaimanapun, akumulasi darah dalam jumlah yang banyak di intraperitoneum dan
rongga pelvis dapat memberikan perubahan pemeriksaan fisik yang tidak signifikan. Keluhan
nyeri perut maupun nyeri tekan pada abdomen memiliki sensitifitas yang baik untuk
mengidentifikasi cedera organ intraabdomen, tetapi sensitifitas tersebut dapat menurun bila
didapatkan penurunan skor Glasgow Coma Scale (GCS).15

Evaluasi terhadap cedera penyerta yang berhubungan sangat diperlukan pada pasien
yang mengalami trauma tumpul abdomen. Pada pemeriksaan fisis, ada beberapa tanda yang
dapat membantu untuk memprediksi kemungkinan cedera organ intraabdomen, yaitu :
 Lap belt marks : berhubungan dengan ruptur usus halus
 Kontusio dengan steering wheel shaped
 Ekimosis pada daerah panggul (Grey Turner sign) atau umbilicus (Cullen sign) :
mengindikasikan perdarahan retroperitoneal tetapi biasanya timbul setelah beberapa jam
sampai beberapa hari
 Distensi abdomen
 Terdengar bising usus pada daerah thorak : mengindikasikan cedera pada diafragma
 Bruit pada abdomen : mengindikasikan adanya penyakit vaskuler yang mendasari atau
adanya fistel arteriovenous fistula.
 Nyeri tekan lokal atau difus, disertai rigiditas : kemungkinan cedera peritoneum
 Krepitasi atau thoracic cage yang tidak stabil mengindikasikan kemungkinan cedera lien
atau hepar.14

Pemeriksaan penunjang
Pasien dengan trauma tumpul abdomen yang berat, organ intra-abdomen harus
dievaluasi dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif dibandingkan hanya dengan
pemeriksaan fisis sendiri bila didapatkan nyeri yang signifikan dan disertai dengan penurunan
kesadaran. Pemeriksaan yang umum digunakan untuk evaluasi abdomen adalah
1. Computed Tomography (CT) abdomen
Computed Tomography abdomen merupakan baku emas untuk diagnostik cedera organ
intra- abdomen dengan hemodinamik stabil. Pemeriksaan ini menggunakan kontras intravena,
sehingga pemeriksaan ini sensitif terhadap darah dan dapat mengevaluasi masing-masing
organ, termasuk struktur organ retroperitoneal. Helical CT Scan sagital dan koronal
rekonstruksi berguna untuk mendeteksi cedera diafragma. Selain itu, juga dapat meningkatkan
diagnosis cedera gastrointestinal.13
Computed Tomography abdomen memiliki akurasi yang tinggi, mencapai 95% dan
memiliki negative predictive value yang sangat tinggi yaitu hamper 100%. Tetapi pasien
dengan kecurigaan trauma tumpul abdomen harus dirawat di rumah sakit selama paling sedikit
24 jam untuk observasi meskipun hasil CT abdomen negatif. Pemeriksaan ini sangat
membantu dalam menentukan derajat cedera organ padat dan menjadi penuntun untuk
penatalaksanaan non- operatif dan juga keputusan untuk dilakukan tindakan pembedahan.13
Pemeriksaan CT abdomen juga memiliki batasan yaitu diperlukan petugas yang ahli untuk
melakukannya dan dokter spesialis radiologi untuk membuat interpretasi hasil. Pemeriksaan
CT abdomen walaupun sangat sensitif terhadap organ padat, tetapi tidak menunjukkan adanya
robekan pada mesenterium, cedera pada usus terutama robekan yang kecil, cedera diafragma
bila rekonstruksi sagital dan coronal tidak dilakukan, dan cedera pankreas bila dilakukan
segera setelah trauma. Adanya cairan bebas intraperitoneal pada keadaan tidak adanya cedera
pada organ padat dapat menyebabkan keraguan dimana terdapat 25% lesi pada usus tidak
terdeteksi. Sehingga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan Diagnostic Peritoneal Lavage
(DPL) bila disepakati untuk tatalaksana konservatif.13
Kerugian CT abdomen yaitu perlunya mentransfer pasien ke unit CT scan, bahaya radiasi
yang didaptkan, pasien dapat tidak koperatif atau mengambil posisi yang baik bila kesakitan
atau dengan penurunan kesadaran. Gagal ginjal atau riwayat syok anafilaktik sebelumnya
dapat menghalangi penggunaan CT abdomen. Pemeriksaan tanpa menggunakan kontras dapat
13
menurunkan sensitifitas CT abdomen dalam mendiagnosis cedera organ padat.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pemeriksaan CT
abdomen, yaitu :
 Tidak boleh dilakukan pada pasien dengan status hemodinamik tidak stabil
 Jika dari mekanisme cedera dicurigai cedera pada duodenum, maka pemberian kontras
peroral dapat membantu diagnosis.
 Jika dicurigai cedera pada rektum dan kolon distal dengan adanya darah pada pemeriksaan
rektum, pemberian kontras melalui rektum dapat membantu.
2. Focused Assessment Sonography for Trauma (FAST)
Focus Assesment Sonography for Trauma awalnya dilakukan di Eropa dan Jepang pada
tahun 80-an yang kemudian diadopsi oleh Amerika Utara pada tahun 90-an, yang kemudian
berkembang ke seluruh dunia. Kuwait merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang
pertama kali menggunakan FAST di unit gawat darurat.13
Focus Assesment Sonography for Trauma merupakan suatu pemeriksaan yang mendeteksi
ada tidaknya cairan intraperitoeneal. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang aman dan
cepat serta dapat dengan mudah untuk dipelajari. Pemeriksaan FAST juga sangat berguna bagi
pasien dengan hemodinamik tidak stabil dan tidak dapat dibawa ke ruang CT abdomen,
bahkan dapat dilakukan disamping pasien selama dilakukan resusitasi tanpa harus dipindahkan
dari ruangan resusitasi (Radwan, Zidan, 2006). Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemeriksaan ini memiliki sensitifitas 79 – 100% dan spesifitas 95 – 100%, terutama pada
pasien dengan hemodinamik tidak stabil. 13

Pada pemeriksaan FAST difokuskan pada 6 area, yaitu perikardium, hepatorenal,


splenorenal, parakolik gutter kanan dan kiri, dan rongga pertioneaum di daerah pelvis. Pada
evaluasi trauma tumpul abdomen, FAST menurunkan angka penggunaan CT Scan dari 56%
menjadi 26% tanpa meningkatkan resiko kepada pasien.
Pemeriksaan ini akurat untuk mendeteksi darah sebanyak >100 mililiter, namun hasil
pemeriksaan sangat bergantung pada operator yang mengerjakan dan akan terutama pada
pasien obesitas atau usus-usus terisi udara. Cedera organ berongga sangat sulit untuk
didiagnosis dan memiliki sensitivitas yang rendah sekitar 29–35% pada cedera organ tanpa
hemoperitoneum.
Keterbatasan ultrasound harus dipahami ketika menggunakan FAST. Ultrasound tidak
akurat pada pasien obesitas akibat kurangnya kemampuan penetrasi gelombang sonografi.
Selanjutnya, akan sulit juga untuk memvisualisasi struktur organ intra-abdomen pada keadaan
ileus atau elfisema subkutis. USG sangat akurat untuk mendeteksi cairan intraperitoneal tetapi
tidak dapat membedakan antara darah, urin, cairan empedu atau ascites. Organ retroperitoneal
juga sulit untuk dievaluasi.13
Pemeriksaan FAST ini dapat dipertimbangkan sebagai modalitas awal pada evaluasi
trauma tumpul abdomen, tidak invasive, tersedia dengan mudah, dan membutuhkan waktu
persiapan yang singkat. Ultrasonografi berulang pada pasien trauma tumpul abdomen yang
mendapat observasi ketat meningkakan sensitifitas dan spesifisitas mendekati 100%.13
3. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)

Diagnostic Peritoneal Lavage adalah suatu pemeriksaan yang digunakan untuk menilai
adanya darah di dalam abdomen. Gastric tube dipasang untuk mengosongkan lambung dan
pemasangan kateter urin untuk pengosongan kandung kemih. Sebuah kanul dimasukkan di
bawah umbilicus, diarahkan ke kaudal dan posterior. Jika saat aspirasi didapatkan darah
(>10ml dianggap positif) dan selanjutnya dimasukkan cairan ringer laktat (RL) hangat
sebanyak 1000 mililiter (ml) dan kemudian dialirkan keluar. Jika didapatkan sel darah merah
>100.000 sel/mikroliter(μL) atau leukosit >500 sel/μL maka pemeriksaan tersebut dianggap
positif. Jika terdapat keterbatasan laboratorium, dapat menggunakan urine dipstick. Jika
didapatkan drainage cairan lavage melalui chest tube mengindikasikan penetrasi diafragma.
Bila hemodinamik stabil, dilakukan pemeriksaan FAST dan CT abdomen. Apabila dengan
hemodinamik tidak stabil, dilakukan pemeriksaan FAST atau DPL. FAST sangat berguna
sebagai alat diagnostic untuk mendeteksi cairan intra-abdomen, sehingga indikasi DPL
menjadi lebih terbatas. Ketiga modalitas diagnostic ini saling melengkapi dan tidak kompetitif.
Kegunaan masing-masing dapat dimaksimalkan ketika digunakan secara tepat.13
4. Laparotomi eksplorasi
Laparotomi eksplorasi merupakan modalitas diagnostik paling akhir. Indikasi dilakukan
laparotomi eksplorasi adalah :
- Hipotensi atau syok yang tidak jelas sumbernya
- Perdarahan tidak terkontrol
- Tanda – tanda peritonitis
- Luka tembak pada abdomen
- Ruptur diafragma
- Pneumoperitoneum
- Eviserasi usus atau omentum.

- Indikasi tambahan : perdarahan signifikan dari naso-gastric tube (NGT) atau rectum,
perdarahan dari sumber yang tidak jelas, luka tusuk dengan cedera vascular, bilier, dan
usus.

Prioritas pembedahan pada saat laparotomi adalah :


- Menemukan dan mengontrol perdarahan
- Menemukan cedera usus untuk mengontrol kontaminasi feses
- Identifikasi cedera ogan abdomen dan struktur lainnya
- Memperbaiki kerusakan organ dan strukturnya

Penggunaan Skor Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) pada


Pasien Trauma Tumpul Abdomen15
Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) adalah suatu sistem skoring yang
digunakan untuk mendeteksi pasien yang dicurigai mengalami cedera organ intra-abdomen
akibat trauma tumpul abdomen. Dimana sistem skoring ini dapat menghemat waktu,
mengurangi penggunaan CT abdomen yang tidak perlu, paparan radiasi, dan biaya yang
digunakan untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya. Hal-hal yang dinilai dalam
BATTS antara lain :
Nyeri abdomen Skor 2
Nyeri tekan abdomen, Skor 3
Jejas pada dinding dada, Skor 1
Fraktur pelvis Skor 5
Focus Assesment Sonography for Trauma Skor 8
Tekanan darah sistolik <100 mmHg, Skor 4
skor 4 Skor 1
Denyut Nadi >100 kali/menit,

Berdasarkan sistem skoring BATSS, pasien dibagi menjadi 3 kelompok yaitu resiko
rendah yaitu jika jumlah skor BATSS kurang dari 8, resiko sedang jumlah skor BATSS 8-12,
resiko tinggi jumlah skor BATSS lebih dari 12. Pada kelompok pasien dengan risiko sedang
diperlukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis yang tepat.
Sistem skoring yang ada saat ini yaitu Clinical Abdominal Scoring System (CASS)
sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan perlunya tindakan laparotomi segera,
dan juga meminimalisir penggunaan pemeriksaan lanjutan pada pasien trauma tumpul
abdomen. Selain itu mengurangi waktu dan biaya yang tidak perlu (Afifi, 2008). Hal ini juga
didukung oleh Avini et al, dimana skoring tersebut memberikan sensitifitas dan spesifisitas
yang baik dalam penentuan laparotomi.
Sistem skoring CASS ini disusun dengan menggunakan sampel dengan rentang usia
yang luas termasuk anak usia 2 tahun pada penelitian Afifi et al. Dimana angka hipotensi pada
rentang usia anak dan dewasa berbeda. Pemeriksaan fisik atau ultrasound sendiri tidak dapat
menggambarkan kondisi pasien. Tetapi kombinasi gambaran klinis dan hasil Focus Assesment
with Sonography in Trauma (FAST), memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang sama
dengan CT scan untuk mendiagnosis cedera organ intra-abdomen.15
Blunt Abdominal Trauma Scoring System memberikan sistem skor dengan akurasi
tinggi dalam mendiagnosis cedera organ intra-abdomen pada pasien trauma tumpul abdomen
berdasarkan gambaran klinis seperti riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan FAST. Diagnosis
yang ditegakkan berdasarkan sistem skoring ini sangat mirip dengan hasil yang didapatkan
dari CT scan.

Algoritma Prosedur Pemeriksaan pada Trauma Tumpul Abdomen


3.2.7 Penatalaksanaan

A. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil

Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, penatalaksanaan


bergantung pada ada tidaknya perdarahan intraperitoneal. Pemeriksaan difokuskan pada
USG abdomen atau DPL untuk membuat keputusan.

Walaupun ada banyak penelitian retrospektif dan beberapa penelitian prespektif


mendukung penggunaan USG sebagai alat untuk skrening trauma, beberapa ahli masih
mempertanyakan USG pada penatalaksanaan trauma. Mereka menekankan pada tingkat
sensitifitas dan adanya kemungkinan hasil negatif pada penggunaan USG untuk
mendeteksi cedera intraperitoneal. Walaupun demikian kebanyakan trauma center
memakai Focused Assesment with Sonography for Trauma (FAST) untuk mengevaluasi
pasien yang tidak stabil. FAST dilakukan secepatnya setelah primary survey, atau ketika
kliknisi bekerja secara paralel, biasanya dilakukana bersamaan dengan primary survey,
sebagai bagian dari C (Circulation) pada ABC.

Jika tersedia USG, sangat disarankan penggunaan FAST pada semua pasien
dengan trauma tumpul abdomen. Jika hasil FAST jelek, misalnya kualitas gambar yang
tidak bagus, maka selanjutnya perlu dilakukan DPL. Jika USG dan DPL menunjukkan
adanya hemoperitoneum, maka diperlukan laparotomi emergensi. Hemoperitoneum pada
pasien yang tidak stabil secara klinis, tanpa cedera lain yang terlihat, juga
mengindikasikan untuk dilakukan laparotomi. Jika melalui USG dan DPL tidak didapati
adanya hemoperitoneum, harus dilakukan investigasi lebih lanjut terhadap lokasi
perdarahan. Pada penatalaksanaan pasien tidak stabil dengan fraktur pelvis mayor, harus
diingat bahwa USG tidak bisa membedakan hemoperitoneum dan uroperitoneum

X-ray dada harus dilakukan sebagai bagian dari initial evalutiaon karena
dapat menunjukkan adanya perdarah pada cavum thorax. Radiography antero-posterior
pelvis bisa menunjukkan adanya fraktur pelvis yang membutuhkan stabilisasi segera dan
kemungkinan dilakukan angiography untuk mengkontrol perdarahan.

B. Pasien dengan hemodinamik yang stabil


Penilaian klinis pada pasien trauma tumpul abdomen dengan kondisi sadar
dan bebas dari intoksikasi, pemeriksaan abdomen saja biasanya akurat tapi tetap tidak
sempurna. Satu penelitian prospective observational terhadap pasien dengan
hemodinamik stabil, tanpa trauma external dan dengan pemeriksaan abdomen yang
normal, ternyata setelah dibuktikan melalui CT-scan ditemukan sebanyak 7,1% kasus
abnormalitas.

USG dan CT sering digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma tumpul


abdomen yang stabil. Jika pada USG awal tidak terdetekdi adanya perdarahan
intraperitoneal, maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik, USG, dan CT secara serial.
Pemeriksaan fisik serial dilakukan jika hasil pemeriksaan dapat dipercaya, misal pada
pasien dengan sensoris normal, dan cedera yang mengganggu. Penelitian prospective
observational terhadap 547 pasien menunjukkan USG kedua (FAST) yang dilakukan
selama 24 jam dari trauma, meningkatkan sensitifitas terhadap cedra intraabdominal,

Jika USG awal mendeteksi adanya darah di intraperitoneal, maka kemudian


dilakukan CT scan untuk memperoleh gambaran cedera intraabdominal dan menaksir
jumlah hemoperitoneum. Keputusan apakah diperlukan laparotomy segera atau hanya
terapi non operatif tergantung pada cedera yang terdetaksi dan status klinis pasien. CT
abdominal harus dilakukan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil, tapi tidak
untuk pasien dengan perubahan sensoris dan status mental karena cedera kepala tertutup,
intoksikasi obat dan alkohol, atau cedera lain yang mengganggu.

Indikasi Klinis Laparotomi

Laparotomi segera diperlukan setelah terjadinya trauma jika terdapat indikasi


klinis sebagai berikut :

1. kehilangan darah dan hipotensi yang tidak diketahui penyebabnya, dan pada
pasien yang tidak bisa stabil setelah resusitasi, dan jika ada kecurigaan kuat
adanya cedera intrabdominal
2. adanya tanda - tanda iritasi peritoneum

3. bukti radiologi adanya pneumoperitoneum konsisten

4. dengan ruptur viscera

5. bukti adanya ruptur diafragma

6. jika melalui nasogastic drainage atau muntahan didapati adanya GI bleeding yang
persisten dan bermakna

3.2.8 Komplikasi
Komplikasi segera yang dapat terjadi pada pasien dengan trauma abdomen adalah
hemoragi, syok, dan cedera. Sedangkan komplikasi jangka panjangnya adalah infeksi.
Komplikasi yang dapat muncul dari trauma abdomen terutama trauma tumpul adalah cedera
yang terlewatkan, terlambat dalam diagnosis, cedera iatrogenik, intra abdomen sepsis dan
abses, resusitasi yang tidak adekuat, rupture spleenyang muncul kemudian.
Peritonitis merupakan komplikasi tersering dari trauma tumpul abdomen karena
adanya rupture pada organ.Gejala dan tanda yang sering muncul pada komplikasi dengan
peritonitis antara lain:
 Nyeri perut seperti ditusuk
 Perut yang tegang (distended)
 Demam (>380C)
 Produksi urin berkurang
 Mual dan muntah
 Haus
 Cairan di dalam rongga abdomen
 Tidak bisa buang air besar atau kentut
 Tanda-tanda syok.

3.2.9 Prognosis

Prognosis untuk pasien dengan trauma abdomen bervariasi. Tanpa data statistic yang
menggambarkan jumlah kematian di luar rumah sakit, dan jumlah pasien total dengan
trauma abdomen, gambaran spesifik prognosis untuk pasien trauma intra abdomen sulit.
Angka kematian untuk pasien rawat inap berkisar antara 5-10%.
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang dengan keluhan nyeri padaseluruh bagian perut. Setelah dilakukan
anamnesis lebih lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka pasien ini di
diagnosis peritonitis et causa trauma tumpul abdomen.
Diagnosa itu sendiri bisa ditegakkan berdasarkan hasil temuan klinis yang didapat pada
anamnesis pasien, lalu temuan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta hasil lain yang
mendukung dari pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Berdasarkan anamnesis pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak
± 3 jam SMRS setelah kejadian kecelakaan. Kecelakaan yang terjadi tabrakan dari belakang
antara mobil travel dan mobil truk batu bara sehingga menyebabkan perut pasien terhimpit
dengan stir mobil. Sekitar 1 jam setelah kejadian pasien mengatakan masih sadar pada saat itu.
Setelah itu pasien tidak sadar lagi dan kesadaran kembali saat sesampai di IGD RS Raden
Mattaher.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis di IGD di regio abdomen terlihat distensi abdomen,
ketika di palpasi terdapat nyeri tekan (+) dan nyeri lepas (+) pada seluruh bagian perut, defans
muscular (+), pada aukustasi bunyi bising usus menurun, saat di perkusi terdapat suara
hipertimpani di bagian perut, nyeri ketuk (+).
Pemeriksaan Penunjang
Terjadi peningkatan dari WBC yaitu 20.1 109/L
Diagnosa
Diagnosa pada pasien ini adalah peritonitis et causa trauma tumpul abdomen
Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah tindakan bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas,
sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dan
CT Scan abdomen dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Penangan
pada pasien ini selama observasi yaitu dipasang NGT, kateter, rehidrasi dengan Ringer Lactat
dan pemberian antibiotik.

4. Pre Op
- IVFD RL 30 tpm
- Pasang kateter
- Inj keterolac 3x1 amp
- Inj ranitidin 2x1 amp
- Inj ondensartan 2x1 amp
- Inj omeprazole 1x1 vial
5. Operasi
- Laparotomi eksplorasi
- Reseksi + anastomosis ileum
6. Post op
- Post Operasi Laparatomy
- IVFD RL 30 tpm
- Inj. Ceftriaxon1 x 2gr
- Inj. omeprazole 1 x 1 amp
- Inj. Ranitidin 2 x 500mg
BAB V

KESIMPULAN

Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisirongga


abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyulit berbahayayang dapat terjadi dalam
bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadiakibat penyebaran infeksi dari organ
abdomen, perforasi saluran cerna, atau dariluka tembus abdomen.

Trauma tumpul abdomen adalah cedera atauperlukaan pada abdomen tanpa penetrasi ke
dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi
(perlambatan), atau kompresi. Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas
pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di
bawahnya. Benturan pada trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ
berongga berupa perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan.

Komplikasi yang dapat muncul dari trauma abdomen terutama trauma tumpul adalah
cedera yang terlewatkan, terlambat dalam diagnosis, cedera iatrogenik, intra abdomen sepsis
dan abses, resusitasi yang tidak adekuat, rupture spleenyang muncul kemudian. Peritonitis
merupakan komplikasi tersering dari trauma tumpul abdomen karena adanya rupture pada
organ.
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR. Essential
Clinical Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins. 2007. p. 118-204
2. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S. Gray’s
Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th Edition. Churchill
Livingstone El Sevier. 2008.
3. Silen W. Chapter 300. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo DL, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies. 2012
4. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Medscape 2013.
Accessed in: http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#showall
5. Chris tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media Aeskulapius; 2014
6. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill Patient. Surg
Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49
7. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT Diagnosis
& Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010. Accessed November 11,
2013
8. Sabiston, et al. Sabiston texbook of surgery the biological basis of modern surgical
practice. Edisi ke 18; 2007.
9. Sjamsuhidajat, R., W.D. Jong. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC: 2012.
10. Guillon, F. (2011). Epidemiology of Abdominal Trauma. CT of the AcuteAbdomen,
Medical Radiology Diagnostic Imaging. Berlin: Springer-Verlag p.15-2
11. Costa, G., Tierno, S.M., Tomassini, F.,Venturini, L., Frezza,B., Cancrini,G.,Stella,F.
(2010). The epidemiology andclinical evaluation of abdominal trauma.Ann. Ital Chir, 81,
95-102
12. Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
13. Irma Liani, Fuad Iqbal Eka Putra. Modalitas Diagnostik Pada Kasus Kegawatdaruratan
Traumatumpul Abdomen. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. Jurnal Gawat
Darurat Volume 1 No2. 2019, Hal57-64.

14. Legome, E. L., & Geibel, J. 2016. BluntAbdominal Trauma. Medscape.Diunduh


dari:http://emedicine.medscape.com/article/1980980-overview.
15. Shojaee, M., Faridaalaee,G., Yousefifard,M.,Yaseri,M.,
Dolatabadi,A.A.,Sabzghabaei,A., Malekirastekenari,A.(2014). New Scoring System for
Intra-abdominal Injury Diagnosis After BluntTrauma. Chinese Journal of Traumatology,
17(1):19-24
16. https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/aab0455e7d02487c3599f01d4cc88347.pdf

Anda mungkin juga menyukai