**Pembimbing
Oleh:
Fazilla Maulidia
G1A219104
Universitas Jambi
2021
Pembimbing,
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan judul “Peritonitis Diffuse Et Causa Trauma
Tumpul Abdomen”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan
Klinik Senior di bagian BedahRSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Dennison, Sp. B, selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik dan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan Case
Report Session ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi
kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak ± 3 jam
SMRS setelah kejadian kecelakaan.
STATUS GENERALISATA
Kulit
Warna : Sawo matang Turgor : Baik
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : Dalam batas normal
Jar. Parut : (-)
Edema : (-)
Ikterus : (-)
Kelenjar
Pembesaran Kel. Submandibula : (-)
Jugularis Superior : (-)
Submental : (-)
Jugularis Interna : (-)
Kepala
Bentuk kepala : Normocephal
Ekspresi muka : Tampak sakit berat
Simetris muka : Simetris
Rambut : Tampak hitam tumbuh merata
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan syaraf : (-)
Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Conjungtiva anemis : (-/-)
Sklera Ikterik : (-/-)
Pupil : Isokor (+/+)
Lensa : Tidak keruh
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : Baik kesegala arah
Hidung
Bentuk : Normal Selaput lendir : normal
Septum : Deviasi (-) Penumbatan : (-)
Sekret : (-) Perdarahan : (-)
Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi geligi : Dbn
Gusi : Berdarah (-)
Lidah : Tremor (-)
Bau pernafasan : Dbn
Leher
Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cm H2O
Thorax
Bentuk : Simetris
Paru-paru
Inspeksi : Pernafasan simetris
Palpasi : Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
Perkusi batas jantung
Kanan : ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS V Linea midklavikularis sinistra
Atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi :
Datar, distensi abdomen (+), sikatrik (-), massa (-), bekas operasi
(-),
Palpasi :
Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen (+), nyeri lepas (+),
defans muscular (+), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi :
Hipertimpani (+), nyeri ketuk (+) di seluruh lapangan abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) menurun
Genetalia Eksterna
Dalam batas normal
Ekstremitas atas
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Extremitas bawah
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
STATUS GENERALISATA
Kulit
Warna : Sawo matang Turgor : Baik
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : Dalam batas normal
Jar. Parut : (-)
Edema : (-)
Ikterus : (-)
Kelenjar
Pembesaran Kel. Submandibula : (-)
Jugularis Superior : (-)
Submental : (-)
Jugularis Interna : (-)
Kepala
Bentuk kepala : Normocephal
Ekspresi muka : Tampak sakit berat
Simetris muka : Simetris
Rambut : Tampak hitam tumbuh merata
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan syaraf : (-)
Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Conjungtiva anemis : (-/-)
Sklera Ikterik : (-/-)
Pupil : Isokor (+/+)
Lensa : Tidak keruh
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : Baik kesegala arah
Hidung
Bentuk : Normal Selaput lendir : normal
Septum : Deviasi (-) Penumbatan : (-)
Sekret : (-) Perdarahan : (-)
Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi geligi : Dbn
Gusi : Berdarah (-)
Lidah : Tremor (-)
Bau pernafasan : Dbn
Leher
Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cm H2O
Thorax
Bentuk : Simetris
Paru-paru
Inspeksi : Pernafasan simetris
Palpasi : Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
Perkusi batas jantung
Kanan : ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS V Linea midklavikularis sinistra
Atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi :
Cembung, distensi abdomen (-),sikatrik (-), massa (-), bekas
operasi (+),
Palpasi :
Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen (-), nyeri lepas (+), defans
muscular (-), hepar dan lien tidak teraba, Mcburney sign (-),
Rovsing sign (-), Psoas sign (-), obturator sign (-).
Perkusi :
Hipertimpani (+), nyeri ketuk (+)
Auskultasi : Bising usus (+)
Genetalia Eksterna
Dalam batas normal
Ekstremitas atas
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Extremitas bawah
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
2.7 Penatalaksanaan
1. Pre operasi
IVFD RL 30 tpm
Kateter
NGT
Inj keterolac 3x1 amp
Inj ranitidin 2x1 amp
Inj ondensartan 2x1 amp
Inj omeprazole 1x1 vial
2. Operasi
Laparotomi eksplorasi
Reseksi + anastomosis ileum
3. Post op
Post Operasi Laparatomy
IVFD RL 30 tpm
Inj. Ceftriaxon1 x 2gr
Inj. omeprazole 1 x 1 amp
Inj. Ranitidin 2 x 500mg
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad santionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Peritonitis
3.1.2 Anatomi Peritoneum
Peritonitis merupakan peradangan pada rongga peritoneum yang dapat
disebabkan oleh bakteri ataupun reaksi kimiawi.Peritonitis kimiawi merupakan
peradangan pada peritoneum yang disebabkan langsung oleh zat kimia seperti
asam lambung.
Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar di dalam
tubuh manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain
peritoneum parietal yang melapisi bagian internal dari dinding abdominopelvis
dan peritoneum visceral yang melapisi organ-organ abdomen.1,2 Hubungan
peritoneum dan organ-organ dalam kavitas intra abdomen dikelompokkan
menjadi, antara lain organ intraperitoneal yang terlapisi seluruhnya dengan
peritoneum, dan retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, colon desendens,
dan rectum) yang tidak terlapisi maupun terlapisi hanya sebagian peritonum.
Peritoneum visceral yang membungkus atau menunjang organ-organ bersama-
sama dengan jaringan ikat disekitarnya dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan
istilah ligamen peritoneum, omentum atau mesenterium.2 Mesenterium
merupakan dua lapis peritoneum yang terjadi akibat invaginasi peritoneum karena
suatu organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan dinding posterior
abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon).1,2 Ligamen
peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang menghubungkan organ satu
dengan lainnya atau dengan dinding abdomen (falciform ligament yang
menghubungkan liver dengan dinding abdomen anterior).1 Berbeda dengan
ligamen peritoneum dan mesenterium, greater omentum terdiri dari 4 lapisan
peritoneum (karena peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan
sejumlah jaringan adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic
ligament, gastrosplenic ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser
omentum terdiri dari hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.1,2
3.1.2 Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang
melapisirongga abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyulit
berbahayayang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini
biasanya terjadiakibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi
saluran cerna, atau dariluka tembus abdomen.9
Peritonitis didefinisikan sebagai adanya peradangan pada peritoneum baik
lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik dari natural history,
dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya.3
3.1.3 Klasifikasi
Peritonitis umumnya dikategorikan menjadi primary peritonitis
(primer), secondary peritonitis (sekunder) , dan tertiary peritonitis (tersier).3,4,5
3.1.4 Etiologi
3.1.5 Patofisiologi
Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang
kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis
dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi
peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi
perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan
parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan
lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah. Proses
inflamasi akut dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf
simpatis dan supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan
terganggu sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga peritoneum, tetapi
juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan pertumbuhan
mikroorganisme yang tidak terkontrol.
Kimia darah mungkin normal, tetapi pada kasus yang serius dapat
menunjukkan dehidrasi parah, seperti peningkatan nitrogen ureum darah (BUN)
dan hipernatremia.dan pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat menunjukan
adanya asidosis metabolik, Asidosis metabolik membantu dalam konfirmasi
diagnosis. Urinalisis sangat diperlukan untuk menyingkirkan infeksi saluran
kemih, pielonefritis, dan nefrolitiasis.6
3.1.8 Tatalaksana
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad
spectrum, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau
ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam
4x 3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal). 3 Terapi empiris
untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien dengan primary bacterial
peritonitis (PBPatau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya mengalami
perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat
diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur darah
yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya
rekurensi pada SBP, sampai 70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi
<20%. Regimen yang diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain
ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim-
sulfamethoxazole.3
3.1.9 Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis
intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan
distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya
infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut
misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan,
dan sistem imun.
3.1.10 Prognosis
.
3.2 Trauma Tumpul Abdomen
3.2.1 Anatomi abdomen
Abdomen merupakan bagian tubuh yang terletak di antara toraks dan
pelvis. Rongga abdomen yang sebenarnya dipisahkan dari rongga toraks di
sebelah atas oleh diafragma dan dari rongga pelvis di sebelah bawah oleh
suatu bidang miring yang disebut pintu atas panggul. Dapat dikatakan bahwa
pelvis termasuk bagian dari abdomen, dan rongga abdomen meliputi juga
rongga pelvis. Rongga abdomen meluas ke atas sampai mencapai rongga
toraks setinggi sela iga kelima. Jadi sebagian rongga abdomen terletak atau
dilindungi oleh dinding toraks. Sebagian dari hepar, gaster dan lien
terterdapat di dalamnya. Rongga abdomen atau cavitas abdominis berisi
sebagian besar organ sistem digestivus, sebagian organ urinarium, sistem
genitalia, lien, glandula suprarenalis, dan plexus nervorum. Juga berisi
peritoneum yang merupakan membrane serosa dari sistem digestivus.
Kadang-kadang ada organ sistem digestivus yang sebagian atau sementara
terletak di dalam rongga pelvis, misalnya ileum dan sebaliknya kadang-
kadang organ genitalia terdapat di dalam rongga abdomen, misalnya uterus
yang membesar. Untuk menentukan lokalisasi yang lebih teliti dari rasa nyeri,
pembengkakan atau letak suatu organ, maka abdomen dibagi menjadi
sembilan region oleh dua bidang horizontal yaitu bidang subcostalis dan
bidang transtubercularis serta dua bidang vertikal yang melalui linea
midklavikularis kanan dan kiri.
Anatomi dalam dari abdomen meliputi 3 regio:
1. Rongga Peritoneal
2. Rongga Pelvis
Rongga yang potensial ini adalah rongga yang berada di belakang dinding
peritoneum yang melapisi abdomen. Di dalamnya terdapat aorta abdominalis, vena cava
inferior, sebagian besar dari duodenum, pancreas, ginjal dan ureter, serta sebagian posterior
dari colon ascendens dan colon descendens, dan bagian rongga pelvis yang retroperitoneal.
Cedera pada organ dalam retroperitoneal sulit dikenali karena daerah ini jauh dari jangkauan
pemeriksaan fisik yang biasa, dan juga cedera di sini pada awalnya tidak akan
memperlihatkan tanda maupun gejala peritonitis. Rongga ini tidak termasuk dalam bagian
yang diperiksa sampelnya Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL).
Proyeksi letak organ dalam abdomen
Cavum Abdominalis
Kranial : diaphragma
m. psoas major
m. psoas minor
m. quadratuslumborum
Cavum abdominalis tidak sesuai dengan batas tulang yang membatasinya karena :
a. Cutis
b. Subcutis (fascia abdominalis superficialis)
a. Fascia abdominalis
d. Tulang
3. Stratum profunda (lapisan dalam)
a. Fascia transversalis
c. Peritoneum parietale
1. Musculi anterolaterales
m. Transversus abdominis
m. Rectus abdominis
m. Pyramidalis
2. Musculi posteriores
a. m. psoas major
b. m. psoas minor
c. m.iliacus
Pembuluh Nadi
2. Aa. Lumbales
3. A. Epigastrica superior
4. A. Epigastrica inferior
Rr. Musculares
N. iliohypogastricus
N. Iloinguinalis
Nn. Iliohypogastricus et ilioinguinales berjalan diantara m. Obliqusinternus
abdominis dan m. Transversus abdominis sampai spina iliaca anterior superior.
Kira – kira 2,5 cm disebelah kranial annulus inguinalis superficialis, Nn.
Iliohypogastricus menembus aponeurosis otot serong dinding perut dan berubah
menjadi saraf kulit.
N. Iloinguinalis berjalan di kanalis inguinalis lal mempersarafi kulit disekitar
radix penis, bagian ventral scrotum dan kulit tungkai atas didekatnya.
Trauma abdomen adalah trauma yang melibatkan daerah antara diafragma pada bagian
atas dan pelvis pada bagian bawah. Trauma abdomen dibagi menjadi dua tipe yaitu trauma
tumpul abdomen dan trauma tembus abdomen.10
Trauma tumpul abdomen adalah cedera atauperlukaan pada abdomen tanpa penetrasi ke
dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi
(perlambatan), atau kompresi. Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas
pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di
bawahnya. Benturan pada trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ
berongga berupa perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan.16
3.2.3 Epidemiologi
Trauma merupakan penyebab kematian tersering ketiga pada populasi umum setelah
penyakit kardiovaskular dan kanker.10
Trauma abdomen, merupakan penyebab kematian yang cukup sering, ditemukan sekitar
7– 10% dari pasien trauma. 11 Di Eropa, trauma tumpul abdomen sering terjadi, sekitar 80% dari
keseluruhan trauma abdomen. Pada tigaperempat kasus trauma tumpul abdomen, kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab tersering dan sering ditemukan pada pasien politrauma. Diikuti oleh
jatuh sebagai penyebab kedua tersering. Hal ini seringnya berhubungan dengan tindakan
percobaan bunuh diri, kecelakaan kerja, dan kecelakaan saat olahraga.10
Di Indonesia, didapatkan bahwa prevalensi cedera secara nasional adalah sebesar 8,2%,
dimana prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi
(4,5%). Penyebab cedera secara umum yang terbanyak adalah jatuh (40,9%) dan kecelakaan
sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda tajam/tumpul
(7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Penyebab cedera transportasi
sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4 persen) dan terendah di Papua (19,4%).12
Pada trauma tumpul abdomen, cedera organ intra abdomen yang didapatkan umumnya
merupakan organ solid, terutama lien dan hepar dimana kedua organ ini dapat menyebabkan
perdarahan intra abdomen. Sedangkan untuk organ berongga cukup jarang terjadi, dan
seringnya dihubungkan dengan seat-belt atau deselerasi kecepatan tinggi.
3.2.4 Mekanisme trauma tumpul abdomen
Pada trauma tumpul abdomen, cedera pada organ intraabdomen bergantung pada
mekanisme cedera dan organ yang terlibat. Organ yang terlibat contohnya organ berhubungan
dengan lokasi anatomis, organ padat atau organ berongga, terfiksir atau mobile. Berbagai
macam mekanisme cedera dapat dikaitkan dengan trauma tumpul, tetapi sebagian besar
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan jatuh.
Ada beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat
menyebabkan cedera organ intraabdomen, yaitu :
Benturan langsung terhadap organ intraabdomen diantara dinding abdomen anterior dan
posterior
Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan dengan kecepatan
tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi menjadi deselerasi horizontal dan
deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini terjadi peregangan pada struktur-struktur organ
yang terfiksir seperti pedikel dan ligament yang dapat menyebabkan perdarahan atau
iskemik
Terjadinya closed bowel loop pada disertai dengan peningkatan tekanan intraluminal yang
dapat menyebabkan rupture organ berongga
Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang (fraktur pelvis, fraktur
costa)
Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat menyebabkan ruptur
diafragma bahkan ruptur kardiak.13
3.2.5 Patofisiologi
1. Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak,
sedangkan bagian belakang dan bagian dalam tetap bergerak ke depan. Organ-organ
terjepit dari belakang oleh bagian belakang thorakoabdominal dan kolumna
vetebralis dan di depan oleh struktur yang terjepit. Trauma abdomen
menggambarkan variasi khusus mekanisme trauma dan menekankan prinsip yang
menyatakan bahwa keadaan jaringan pada saat pemindahan energi mempengaruhi
kerusakan jaringan. Pada tabrakan, maka penderita akan secara refleks menarik
napas dan menahannya dengan menutup glotis. Kompresi abdominal mengkibatkan
peningkatan tekanan intrabdominal dan dapat menyebabkan ruptur diafragma dan
translokasi organ-organ abdomen ke dalam rongga thorax. Transient hepatic
kongestion dengan darah sebagai akibat tindakan valsava mendadak diikuti kompresi
abdomen ini dapat menyebabkan pecahnya hati. Keadaan serupa dapat terjadi pada
usus halus bila ada usus halus yang closed loop terjepit antra tulang belakang dan
sabuk pengaman yang salah memakainya.
Mekanisme cedera
Injury (cedera yang didapat)
Signs (tanda atau gejala yang dialami)
Treatment (penanganan yang telah diberikan)
Pemeriksaan fisis
Penilaian klinis terhadap pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen terkadang
sulit dilakukan dan tidak akurat, dan dapat ditemukan pada sekitar 50% pasien yang
mengalami trauma tumpul abdomen. Selain penurunan kesadaran, efek hemoperitoneum dan
variasi cedera dari berbagai variasi gejala cedera organ padat atau berongga membuat
interpretasi yang sulit dilakukan. Adanya cedera lainnya pada pasien multi trauma memberikan
tantangan tambahan.
Tanda dan gejala yang sering ditemukan pada pasien yang sadar baik yaitu :
Nyeri perut
Nyeri tekan pada abdomen
Perdarahan gastrointestinal
Hipovolemik
Tanda-tanda peritonitis.14
Bagaimanapun, akumulasi darah dalam jumlah yang banyak di intraperitoneum dan
rongga pelvis dapat memberikan perubahan pemeriksaan fisik yang tidak signifikan. Keluhan
nyeri perut maupun nyeri tekan pada abdomen memiliki sensitifitas yang baik untuk
mengidentifikasi cedera organ intraabdomen, tetapi sensitifitas tersebut dapat menurun bila
didapatkan penurunan skor Glasgow Coma Scale (GCS).15
Evaluasi terhadap cedera penyerta yang berhubungan sangat diperlukan pada pasien
yang mengalami trauma tumpul abdomen. Pada pemeriksaan fisis, ada beberapa tanda yang
dapat membantu untuk memprediksi kemungkinan cedera organ intraabdomen, yaitu :
Lap belt marks : berhubungan dengan ruptur usus halus
Kontusio dengan steering wheel shaped
Ekimosis pada daerah panggul (Grey Turner sign) atau umbilicus (Cullen sign) :
mengindikasikan perdarahan retroperitoneal tetapi biasanya timbul setelah beberapa jam
sampai beberapa hari
Distensi abdomen
Terdengar bising usus pada daerah thorak : mengindikasikan cedera pada diafragma
Bruit pada abdomen : mengindikasikan adanya penyakit vaskuler yang mendasari atau
adanya fistel arteriovenous fistula.
Nyeri tekan lokal atau difus, disertai rigiditas : kemungkinan cedera peritoneum
Krepitasi atau thoracic cage yang tidak stabil mengindikasikan kemungkinan cedera lien
atau hepar.14
Pemeriksaan penunjang
Pasien dengan trauma tumpul abdomen yang berat, organ intra-abdomen harus
dievaluasi dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif dibandingkan hanya dengan
pemeriksaan fisis sendiri bila didapatkan nyeri yang signifikan dan disertai dengan penurunan
kesadaran. Pemeriksaan yang umum digunakan untuk evaluasi abdomen adalah
1. Computed Tomography (CT) abdomen
Computed Tomography abdomen merupakan baku emas untuk diagnostik cedera organ
intra- abdomen dengan hemodinamik stabil. Pemeriksaan ini menggunakan kontras intravena,
sehingga pemeriksaan ini sensitif terhadap darah dan dapat mengevaluasi masing-masing
organ, termasuk struktur organ retroperitoneal. Helical CT Scan sagital dan koronal
rekonstruksi berguna untuk mendeteksi cedera diafragma. Selain itu, juga dapat meningkatkan
diagnosis cedera gastrointestinal.13
Computed Tomography abdomen memiliki akurasi yang tinggi, mencapai 95% dan
memiliki negative predictive value yang sangat tinggi yaitu hamper 100%. Tetapi pasien
dengan kecurigaan trauma tumpul abdomen harus dirawat di rumah sakit selama paling sedikit
24 jam untuk observasi meskipun hasil CT abdomen negatif. Pemeriksaan ini sangat
membantu dalam menentukan derajat cedera organ padat dan menjadi penuntun untuk
penatalaksanaan non- operatif dan juga keputusan untuk dilakukan tindakan pembedahan.13
Pemeriksaan CT abdomen juga memiliki batasan yaitu diperlukan petugas yang ahli untuk
melakukannya dan dokter spesialis radiologi untuk membuat interpretasi hasil. Pemeriksaan
CT abdomen walaupun sangat sensitif terhadap organ padat, tetapi tidak menunjukkan adanya
robekan pada mesenterium, cedera pada usus terutama robekan yang kecil, cedera diafragma
bila rekonstruksi sagital dan coronal tidak dilakukan, dan cedera pankreas bila dilakukan
segera setelah trauma. Adanya cairan bebas intraperitoneal pada keadaan tidak adanya cedera
pada organ padat dapat menyebabkan keraguan dimana terdapat 25% lesi pada usus tidak
terdeteksi. Sehingga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan Diagnostic Peritoneal Lavage
(DPL) bila disepakati untuk tatalaksana konservatif.13
Kerugian CT abdomen yaitu perlunya mentransfer pasien ke unit CT scan, bahaya radiasi
yang didaptkan, pasien dapat tidak koperatif atau mengambil posisi yang baik bila kesakitan
atau dengan penurunan kesadaran. Gagal ginjal atau riwayat syok anafilaktik sebelumnya
dapat menghalangi penggunaan CT abdomen. Pemeriksaan tanpa menggunakan kontras dapat
13
menurunkan sensitifitas CT abdomen dalam mendiagnosis cedera organ padat.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pemeriksaan CT
abdomen, yaitu :
Tidak boleh dilakukan pada pasien dengan status hemodinamik tidak stabil
Jika dari mekanisme cedera dicurigai cedera pada duodenum, maka pemberian kontras
peroral dapat membantu diagnosis.
Jika dicurigai cedera pada rektum dan kolon distal dengan adanya darah pada pemeriksaan
rektum, pemberian kontras melalui rektum dapat membantu.
2. Focused Assessment Sonography for Trauma (FAST)
Focus Assesment Sonography for Trauma awalnya dilakukan di Eropa dan Jepang pada
tahun 80-an yang kemudian diadopsi oleh Amerika Utara pada tahun 90-an, yang kemudian
berkembang ke seluruh dunia. Kuwait merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang
pertama kali menggunakan FAST di unit gawat darurat.13
Focus Assesment Sonography for Trauma merupakan suatu pemeriksaan yang mendeteksi
ada tidaknya cairan intraperitoeneal. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang aman dan
cepat serta dapat dengan mudah untuk dipelajari. Pemeriksaan FAST juga sangat berguna bagi
pasien dengan hemodinamik tidak stabil dan tidak dapat dibawa ke ruang CT abdomen,
bahkan dapat dilakukan disamping pasien selama dilakukan resusitasi tanpa harus dipindahkan
dari ruangan resusitasi (Radwan, Zidan, 2006). Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemeriksaan ini memiliki sensitifitas 79 – 100% dan spesifitas 95 – 100%, terutama pada
pasien dengan hemodinamik tidak stabil. 13
Diagnostic Peritoneal Lavage adalah suatu pemeriksaan yang digunakan untuk menilai
adanya darah di dalam abdomen. Gastric tube dipasang untuk mengosongkan lambung dan
pemasangan kateter urin untuk pengosongan kandung kemih. Sebuah kanul dimasukkan di
bawah umbilicus, diarahkan ke kaudal dan posterior. Jika saat aspirasi didapatkan darah
(>10ml dianggap positif) dan selanjutnya dimasukkan cairan ringer laktat (RL) hangat
sebanyak 1000 mililiter (ml) dan kemudian dialirkan keluar. Jika didapatkan sel darah merah
>100.000 sel/mikroliter(μL) atau leukosit >500 sel/μL maka pemeriksaan tersebut dianggap
positif. Jika terdapat keterbatasan laboratorium, dapat menggunakan urine dipstick. Jika
didapatkan drainage cairan lavage melalui chest tube mengindikasikan penetrasi diafragma.
Bila hemodinamik stabil, dilakukan pemeriksaan FAST dan CT abdomen. Apabila dengan
hemodinamik tidak stabil, dilakukan pemeriksaan FAST atau DPL. FAST sangat berguna
sebagai alat diagnostic untuk mendeteksi cairan intra-abdomen, sehingga indikasi DPL
menjadi lebih terbatas. Ketiga modalitas diagnostic ini saling melengkapi dan tidak kompetitif.
Kegunaan masing-masing dapat dimaksimalkan ketika digunakan secara tepat.13
4. Laparotomi eksplorasi
Laparotomi eksplorasi merupakan modalitas diagnostik paling akhir. Indikasi dilakukan
laparotomi eksplorasi adalah :
- Hipotensi atau syok yang tidak jelas sumbernya
- Perdarahan tidak terkontrol
- Tanda – tanda peritonitis
- Luka tembak pada abdomen
- Ruptur diafragma
- Pneumoperitoneum
- Eviserasi usus atau omentum.
- Indikasi tambahan : perdarahan signifikan dari naso-gastric tube (NGT) atau rectum,
perdarahan dari sumber yang tidak jelas, luka tusuk dengan cedera vascular, bilier, dan
usus.
Berdasarkan sistem skoring BATSS, pasien dibagi menjadi 3 kelompok yaitu resiko
rendah yaitu jika jumlah skor BATSS kurang dari 8, resiko sedang jumlah skor BATSS 8-12,
resiko tinggi jumlah skor BATSS lebih dari 12. Pada kelompok pasien dengan risiko sedang
diperlukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis yang tepat.
Sistem skoring yang ada saat ini yaitu Clinical Abdominal Scoring System (CASS)
sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan perlunya tindakan laparotomi segera,
dan juga meminimalisir penggunaan pemeriksaan lanjutan pada pasien trauma tumpul
abdomen. Selain itu mengurangi waktu dan biaya yang tidak perlu (Afifi, 2008). Hal ini juga
didukung oleh Avini et al, dimana skoring tersebut memberikan sensitifitas dan spesifisitas
yang baik dalam penentuan laparotomi.
Sistem skoring CASS ini disusun dengan menggunakan sampel dengan rentang usia
yang luas termasuk anak usia 2 tahun pada penelitian Afifi et al. Dimana angka hipotensi pada
rentang usia anak dan dewasa berbeda. Pemeriksaan fisik atau ultrasound sendiri tidak dapat
menggambarkan kondisi pasien. Tetapi kombinasi gambaran klinis dan hasil Focus Assesment
with Sonography in Trauma (FAST), memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang sama
dengan CT scan untuk mendiagnosis cedera organ intra-abdomen.15
Blunt Abdominal Trauma Scoring System memberikan sistem skor dengan akurasi
tinggi dalam mendiagnosis cedera organ intra-abdomen pada pasien trauma tumpul abdomen
berdasarkan gambaran klinis seperti riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan FAST. Diagnosis
yang ditegakkan berdasarkan sistem skoring ini sangat mirip dengan hasil yang didapatkan
dari CT scan.
Jika tersedia USG, sangat disarankan penggunaan FAST pada semua pasien
dengan trauma tumpul abdomen. Jika hasil FAST jelek, misalnya kualitas gambar yang
tidak bagus, maka selanjutnya perlu dilakukan DPL. Jika USG dan DPL menunjukkan
adanya hemoperitoneum, maka diperlukan laparotomi emergensi. Hemoperitoneum pada
pasien yang tidak stabil secara klinis, tanpa cedera lain yang terlihat, juga
mengindikasikan untuk dilakukan laparotomi. Jika melalui USG dan DPL tidak didapati
adanya hemoperitoneum, harus dilakukan investigasi lebih lanjut terhadap lokasi
perdarahan. Pada penatalaksanaan pasien tidak stabil dengan fraktur pelvis mayor, harus
diingat bahwa USG tidak bisa membedakan hemoperitoneum dan uroperitoneum
X-ray dada harus dilakukan sebagai bagian dari initial evalutiaon karena
dapat menunjukkan adanya perdarah pada cavum thorax. Radiography antero-posterior
pelvis bisa menunjukkan adanya fraktur pelvis yang membutuhkan stabilisasi segera dan
kemungkinan dilakukan angiography untuk mengkontrol perdarahan.
1. kehilangan darah dan hipotensi yang tidak diketahui penyebabnya, dan pada
pasien yang tidak bisa stabil setelah resusitasi, dan jika ada kecurigaan kuat
adanya cedera intrabdominal
2. adanya tanda - tanda iritasi peritoneum
6. jika melalui nasogastic drainage atau muntahan didapati adanya GI bleeding yang
persisten dan bermakna
3.2.8 Komplikasi
Komplikasi segera yang dapat terjadi pada pasien dengan trauma abdomen adalah
hemoragi, syok, dan cedera. Sedangkan komplikasi jangka panjangnya adalah infeksi.
Komplikasi yang dapat muncul dari trauma abdomen terutama trauma tumpul adalah cedera
yang terlewatkan, terlambat dalam diagnosis, cedera iatrogenik, intra abdomen sepsis dan
abses, resusitasi yang tidak adekuat, rupture spleenyang muncul kemudian.
Peritonitis merupakan komplikasi tersering dari trauma tumpul abdomen karena
adanya rupture pada organ.Gejala dan tanda yang sering muncul pada komplikasi dengan
peritonitis antara lain:
Nyeri perut seperti ditusuk
Perut yang tegang (distended)
Demam (>380C)
Produksi urin berkurang
Mual dan muntah
Haus
Cairan di dalam rongga abdomen
Tidak bisa buang air besar atau kentut
Tanda-tanda syok.
3.2.9 Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan trauma abdomen bervariasi. Tanpa data statistic yang
menggambarkan jumlah kematian di luar rumah sakit, dan jumlah pasien total dengan
trauma abdomen, gambaran spesifik prognosis untuk pasien trauma intra abdomen sulit.
Angka kematian untuk pasien rawat inap berkisar antara 5-10%.
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan nyeri padaseluruh bagian perut. Setelah dilakukan
anamnesis lebih lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka pasien ini di
diagnosis peritonitis et causa trauma tumpul abdomen.
Diagnosa itu sendiri bisa ditegakkan berdasarkan hasil temuan klinis yang didapat pada
anamnesis pasien, lalu temuan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta hasil lain yang
mendukung dari pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Berdasarkan anamnesis pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak
± 3 jam SMRS setelah kejadian kecelakaan. Kecelakaan yang terjadi tabrakan dari belakang
antara mobil travel dan mobil truk batu bara sehingga menyebabkan perut pasien terhimpit
dengan stir mobil. Sekitar 1 jam setelah kejadian pasien mengatakan masih sadar pada saat itu.
Setelah itu pasien tidak sadar lagi dan kesadaran kembali saat sesampai di IGD RS Raden
Mattaher.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis di IGD di regio abdomen terlihat distensi abdomen,
ketika di palpasi terdapat nyeri tekan (+) dan nyeri lepas (+) pada seluruh bagian perut, defans
muscular (+), pada aukustasi bunyi bising usus menurun, saat di perkusi terdapat suara
hipertimpani di bagian perut, nyeri ketuk (+).
Pemeriksaan Penunjang
Terjadi peningkatan dari WBC yaitu 20.1 109/L
Diagnosa
Diagnosa pada pasien ini adalah peritonitis et causa trauma tumpul abdomen
Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah tindakan bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas,
sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dan
CT Scan abdomen dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Penangan
pada pasien ini selama observasi yaitu dipasang NGT, kateter, rehidrasi dengan Ringer Lactat
dan pemberian antibiotik.
4. Pre Op
- IVFD RL 30 tpm
- Pasang kateter
- Inj keterolac 3x1 amp
- Inj ranitidin 2x1 amp
- Inj ondensartan 2x1 amp
- Inj omeprazole 1x1 vial
5. Operasi
- Laparotomi eksplorasi
- Reseksi + anastomosis ileum
6. Post op
- Post Operasi Laparatomy
- IVFD RL 30 tpm
- Inj. Ceftriaxon1 x 2gr
- Inj. omeprazole 1 x 1 amp
- Inj. Ranitidin 2 x 500mg
BAB V
KESIMPULAN
Trauma tumpul abdomen adalah cedera atauperlukaan pada abdomen tanpa penetrasi ke
dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi
(perlambatan), atau kompresi. Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas
pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di
bawahnya. Benturan pada trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ
berongga berupa perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan.
Komplikasi yang dapat muncul dari trauma abdomen terutama trauma tumpul adalah
cedera yang terlewatkan, terlambat dalam diagnosis, cedera iatrogenik, intra abdomen sepsis
dan abses, resusitasi yang tidak adekuat, rupture spleenyang muncul kemudian. Peritonitis
merupakan komplikasi tersering dari trauma tumpul abdomen karena adanya rupture pada
organ.
DAFTAR PUSTAKA
1. Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR. Essential
Clinical Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins. 2007. p. 118-204
2. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S. Gray’s
Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th Edition. Churchill
Livingstone El Sevier. 2008.
3. Silen W. Chapter 300. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo DL, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies. 2012
4. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Medscape 2013.
Accessed in: http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#showall
5. Chris tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media Aeskulapius; 2014
6. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill Patient. Surg
Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49
7. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT Diagnosis
& Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010. Accessed November 11,
2013
8. Sabiston, et al. Sabiston texbook of surgery the biological basis of modern surgical
practice. Edisi ke 18; 2007.
9. Sjamsuhidajat, R., W.D. Jong. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC: 2012.
10. Guillon, F. (2011). Epidemiology of Abdominal Trauma. CT of the AcuteAbdomen,
Medical Radiology Diagnostic Imaging. Berlin: Springer-Verlag p.15-2
11. Costa, G., Tierno, S.M., Tomassini, F.,Venturini, L., Frezza,B., Cancrini,G.,Stella,F.
(2010). The epidemiology andclinical evaluation of abdominal trauma.Ann. Ital Chir, 81,
95-102
12. Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
13. Irma Liani, Fuad Iqbal Eka Putra. Modalitas Diagnostik Pada Kasus Kegawatdaruratan
Traumatumpul Abdomen. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. Jurnal Gawat
Darurat Volume 1 No2. 2019, Hal57-64.