TUGAS
Oleh :
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu mengerti dan menguasai
No Target pembelajaran
Mampu melakukan primary pada kasus luka bakar
S 1 Mampu melakukan anamnesis mengenai mekanisme kejadian luka
bakar dan riwayat tatalaksana dari tempat sebelumnya
O 2 Mampu menjelaskan tentang anatomi kulit
Mampu menentukan derajat kedalaman dan luas luka bakar
A 3 Mampu menegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis
P 4 Mampu melakukan komunikasi dengan pasien atau keluarganya
mengenai tatalaksana yang akan dilakukan, tujuan tatalaksana, serta
hal-hal yang mungkin terjadi selama dan sesudah penanganan
5 Mampu melakukan penanganan optimal pada luka bakar fase akut
6 Mampu menjelaskan komplikasi yang terjadi pada luka bakar fase
akut
7 Mampu mengenali kasus-kasus yang perlu dirujuk ke spesialis bedah
plastik dan tata cara merujuknya.
8 Mampu melakukan perawatan pada luka bakar ringan
9 Mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan
1. Berusaha mendapatkan respons dari pasien. Cari tanda-tanda obstruksi jalan napas (stridor,
penggunaan otot-otot tambahan, gerakan dada yang paradoksal, dan pernapasan yang dilihat-
lihat). Dengarkan suara bising saluran napas atas dan suara napas. Apakah mereka absen,
berkurang atau berisik?
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
2. Intubasi dini diindikasikan dengan cedera inhalasi. Dugaan cedera inhalasi jika ada riwayat:
terpapar api dan asap di lingkungan tertutup, suara serak atau perubahan suara, batuk keras,
Terbakar ke wajah, kepala dan leher bengkak, rambut hidung, alis atau bulu mata hangus, atau
jelaga di air liur, dahak, hidung atau mulut.
3. Amankan jalan napas jika perlu (obstruksi obstruksi jalan napas sebagai keadaan darurat medis)
Indikasi standar untuk intubasi harus diikuti termasuk tetapi tidak terbatas pada sesak napas,
mengi, stridor, suara serak, suara serak, daya tarik, atau penurunan tingkat kesadaran. Kontak
harus dilakukan dengan layanan luka bakar utama segera setelah layak untuk membahas
kejadian di sekitar luka bakar dan kebutuhan untuk intubasi.
4. Buka jalan napas dengan menggunakan manuver chin lift & jaw thrust. Sedot jalan nafas jika
sekresi berlebihan dicatat atau jika pasien tidak dapat membersihkan jalan nafas secara mandiri.
Masukkan jalan napas orofaringeal (OPA) atau nasofaringeal jalan napas (NPA) jika diperlukan.
Jika jalan nafas terhambat, manuver pembukaan jalan nafas sederhana harus dilakukan,
termasuk hisap/suction, jaw thrust / chin lift. Perawatan harus diambil untuk tidak
memperpanjang tulang belakang leher.
5. Suspect cedera tulang belakang pada semua pasien poltrauma. Pastikan Cervical collar, blok
kepala dan imobilisasi in-line dipertahankan selama perawatan pasien.
• Catat Saturasi O2
1. Asumsikan keracunan karbon monoksida pada pasien yang mengalami luka bakar di area
tertutup. Karbon monoksida secara khusus mengikat hemoglobin, yang menyebabkan kadar
saturasi oksigen yang meyakinkan. Administrasi oksigen sangat penting, terlepas dari rekaman
saturasi oksigen.
2. a) Hitung laju respirasi - peningkatan laju pernapasan adalah tanda potensi cedera inhalasi dan
peringatan bahwa pasien dapat memburuk. b) Catat kedalaman dan pola respirasi, dan nilai
simetri naik turunnya dada. Ingatlah bahwa cedera dada yang mendasarinya mungkin juga ada.
c) Dengarkan dada dan nilai untuk mengi, stridor atau penurunan masuknya udara. d) Luka
bakar sirkumferensial ke dada dapat menghambat ekspansi dinding dada dan membuat ventilasi
menjadi sulit; pertimbangkan escharotomy
3. Perhatikan bahwa SpO2 tidak akan mendeteksi kadar karbon monoksida yang tinggi.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
• Pasang 2 IV kanula
• Periksa capillary refill & suhu pada kulit yang tidak terbakar
1. Periksa adanya tanda-tanda perdarahan dan berikan tekanan langsung pada luka eksternal.
Perdarahan jarang terjadi pada luka bakar terisolasi, tetapi pada luka bakar multitrauma,
pertimbangkan potensi perdarahan internal, yang dapat menyebabkan syok.
2. Ini akan memberikan penilaian kondisi sistem sirkulasi saat ini
3. Masukkan dua kanula intravena perifer besar (IV), lebih disukai melalui jaringan yang tidak
terbakar. Gunakan akses penyisipan pusat atau intraosseous jika peralatan / keterampilan
tersedia dan akses periferal sulit.
4. Mulai resusitasi cairan seperti yang diindikasikan untuk luka bakar lebih dari 20% TBSA pada
orang dewasa dan 10% pada anak-anak.
5. Nilailah sirkulasi perifer dan batang tubuh, terutama distal ke luka bakar jika ada luka bakar
sirkumferensial. Tinggikan anggota tubuh yang terkena untuk membantu meminimalkan
pembengkakan dan meningkatkan aliran darah. Perfusi yang buruk dapat mengindikasikan
perlunya melakukan escharotomy
1. Oksigenasi yang tidak adekuat serta inhalasi dari asap dan racun dapat menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran. Lakukan penilaian awal GCS (Skala Koma Glasgow) / AVPU ; periksa
respons pupil.
2. Singkirkan kasus metabolisme dari kesadaran yang berubah, seperti diabetes. Pastikan bahwa
setiap perubahan dalam tingkat kesadaran tidak terkait dengan penyebab metabolisme.
1. Lepaskan pakaian pasien dan perhiasan apa pun untuk mencegah cedera panas lebih lanjut dan
untuk dapat menilai sepenuhnya semua area tubuh. Dalam dugaan luka bakar kimia, pakaian
mungkin tetap terkontaminasi. Perhiasan dapat memberikan tekanan jika kulit sekitar terbakar
2. Periksa pasien dari kepala hingga kaki, dan log roll untuk memeriksa permukaan posterior.
Periksa untuk cedera yang menyertai dan dapatkan estimasi pertama dari% terbakar TBSA.
3. Tutupi pasien dengan selimut hangat, hangatkan lingkungan, dan berikan cairan IV hangat.
Mampu melakukan anamnesis mengenai mekanisme kejadian luka bakar dan riwayat
tatalaksana dari tempat sebelumnya
Apakah ada risiko kecelakaan bersamaan (seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas
jalan, ledakan)?
Apakah ada risiko cedera inhalasi (apakah luka bakar terjadi di ruang tertutup)?
Waktu Kejadian
Listrik
Waktu kontak
Kimia
Scald
Apa cairannya?
Apakah zat terlarut dalam cairan? (Meningkat suhu mendidih dan menyebabkan cedera yang
lebih buruk, seperti nasi mendidih)
Non Accidental
Keterlambatan bantuan
Kekerasan dalam keluarga / aniaya
Kulit merupakan pembungkus tubuh dan pelindung organ didalamnya. Luas permukaannya pada
orang dewasa 1,5-1,75 m². Berat 15 % dari total berat badan. Tebal tidak sama, bervariasi antara 5-6
mm, pada telapak tangan dan kaki, 0,5 mm pada kulit penis.
1. Lapisan- Lapisan Kulit
Kulit terdiri dari 3 lapisan pokok :
a. Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis merupakan lapisan kulit yang paling luar. Ketebalannya <1 mm.
Epidermis dibagi menjadi 5 lapisan yaitu stratum germinativum, stratum spinosum,
stratum granulosum, dan korneum.
b. Lapisan Dermis
Merupakan lapisan dibawah epidermis. Terdiri dari jaringan ikat yang terdiri 2
lapisan yaitu pars papilaris dan retikularis.
c. Lapisan Subkutis
lapisan terdalam yang banyak mengandung sel liposit yang menghasilkan banyak
lemak. Merupakan jaringan adipose sebagai bantalan antara kulit dan struktur internal
seperti otot dan tulang.
Terdapat di aksil, anus, skrotum, labia mayora dan bermuara pada folikel rambut.
Kelenjar ini memproduksi keringat yang keruh seperti susu yang diuraikan oleh bakteri
menghasilkan bau khas pada aksila.
c. Kelenjar Ekrin
Kelenjar ini terdapat disemua kulit. Melepaskan keringat sebagai reaksi
peningkatan suhu lingkunagn dan suhu tubuh. Kecepatan eksresi keringat dikendalikan
oleh saraf simpatik.
3. Fungsi Kulit :
a. Fungsi Adaptasi:
Kulit sebagai adaptor terhadap rangsangan antara lain temperatu, tekanan, fisik dan
kimia
b. Fungsi Transmisi:
Kulit dapat berfungsi sebagai alat sensorik karena adanya akhiran saraf
c. Fungsi Proteksi :
Melindungi dari benda luar (benda asing, invasi bakteri), melindungi dari trauma
yang terus menerus, mencegah keluarnya cairan yang berlebihan, dan memproduksi
melanin yang mencegah kerusakan kulit dari sinar UV.
d. Fungsi Metabolisme:
Sebagai tempat metaboisme lemak, sintesa vitamin D dan penyimpanan serum
pada lapisan dermis.5
Anatomi Kulit
Epidermal
Sensasi Nyeri
Setelah pertolongan pertama, luka bakar epidermis membutuhkan aplikasi hidrogel atau
pelembab secara teratur untuk menenangkan.
Kulit mati yang terkoagulasi dari luka bakar ketebalan penuh, yang memiliki penampilan kasar,
disebut eschar.
Dalam penilaian luas area luka bakar sering terjadi kesalahan dalam perhitungan. Untuk
menghindari overestimasi, area eritem tidak perlu dimasukkan dalam perhitungan, dengan cara
menunggu sampai eritem tersebut hilang. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas
seluruh tubuh.
Pada orang dewasa digunakan “rumus 9” oleh wallace, yaitu luas kepala dan leher, dada,
punggung, perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha
kiri, tungkai dan kaki kanan, tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%, sisanya 1% adalah daerah
genitalia. Rumus ini membantu untuk menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang
dewasa.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak lebih besar
karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi
dan rumus 10-15-20 untuk anak.
Untuk anak, kepala dan leher 15%, badan depan dan belakang masing-masing 20%, ekstremitas atas
kanan dan kiri masing-masing 10%, ekstremitas bawah kanan dan kiri masingmasing 15%. Estimasi
luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak tangan individu mewakili
±1% luas permukaan tubuh. luas luka bakar hanya di hitung pada pasien dengan derajat luka 2 (2A &
2B) atau 3. Wallace membagi tubuh atas 9% atau kelipatan 9 yang dikenal dengan nama rule of nine
atau rule of Wallace:
a. Kepala dan leher : 9%
b. Lengan : 2x9%
c. Dada, perut, punggung, bokong : 4x9%
d. Tungkai : 4x9%
e. Genetalia : 1%
Total : 100 %
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Rumus rule of nine dari Wallace tidak digunakan pada anak dan bayi karena luas relatif permukaan
kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Oleh karena itu, digunakan
rumus 10 untuk bayi dan rumus 10-15-20 dari Lund and Browder untuk anak.
Selain rumus 9, terdapat pula metode Lund and Browder untuk menyatakan luas luka bakar.
Pada metode Lund and Browder merupakan modifikasi dari persentasi bagian-bagian tubuh menurut
usia, yang dapat memberikan perhitungan yang lebih akurat tentang luas luka bakar serta akurat bagi
anak-anak.
Selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara lainnya yaitu mengunakan
metode palmar surface. Metode ini adalah cara menentukan luas atau persentasi luka bakar dengan
menggunakan telapak tangan. Satu telapak tangan mewakili 0.75 % dari permukaan tubuh yang
mengalami luka bakar. Cara ini dapat digunakan untuk menghitung luka bakar kecil (<15%) atau luka
bakar besar (>85%). Tidak berguna untuk luas luka bakar menengah.
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain:
a. Persentasi area (luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh
b. Kedalaman luka bakar
c. Anatomi/lokasi luka bakar
d. Umur penderita
e. Riwayat pengobatan yang lalu
f. Trauma yang menyertai atau bersamaan
Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar.
Walaupun demikian, beratnya luka bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Umur dan keadaan
kesehatan penderita sebelumnya akan sangat memengaruhi prognosis.
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu dan lamanya pajanan suhu tinggi. Pakaian yang
terbakar, meleleh, dan lengket pada kulit dalam memperberat kedalaman luka bakar. Luka bakar bisa
mengenai bagian epidermis, dermis maupun subkutan. Penentuan kedalaman dari luka bakar penting
diketahui karena berhubungan dengan manajemen luka yang tepat.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Mampu melakukan komunikasi dengan pasien atau keluarganya mengenai tatalaksana yang
akan dilakukan, tujuan tatalaksana, serta hal-hal yang mungkin terjadi selama dan sesudah
penanganan
Analgesik
Analgesia intravena adalah rute yang lebih disukai pada luka bakar parah. Analgesik
intramuskuler, subkutan, dan oral diserap dengan tidak baik setelah cedera luka bakar akibat
pergeseran cairan dan stasis gastrointestinal. Penyerapan opioid inhalasi mungkin tidak dapat
diandalkan pada pasien dengan cedera inhalasi. Morfin adalah obat yang lebih disukai dalam
pengelolaan nyeri akut pada luka bakar parah
Perawatan Luka
Urine Output
Kondisi Hematokro-mogen
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Urin Output
Sebelum infus diberikan, luas dan dalamnya luka bakar harus ditentukan secara teliti. Kemudian,
jumlah cairan infus yang akan diberikan dihitung. Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan
cairan ini.
a. Cara Evans
1) Luas luka dalam % x BB dalam kg menjadi mL NaCl per 24 jam
2) Luas luka dalam % x BB dalam kg menjadi mL plasma per 24 jam. Keduanya
merupakan pengganti cairan yang diberikan akibat edema. Plasma diperlukan untuk
mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis
sehingga mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali ciran yang telah
keluar.Sebagai pengganti cairan yang hilang akibat penguapan, diberikan 2.000 cc
glukosa 5% per 24 jam.
Separuh jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya.
Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari kedua. Penderita mula-mula dipuasakan karena
peristaltis usus terhambat pada keadaan prasyok, dan mulai diberikan minum segera setelah fungsi usus
normal kembali. Kalau diuresis pada hari ketiga memuaskan dan penderita dapat minum tanpa
kesulitan, infuse dapat dikurangi bahkan dihentikan.
b. Rumus Baxter
Cara lain yang dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan rumus Baxter, yaitu luas luka x
BB dalam kg x 3 mL larutan Ringer. Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama
sisanya diberikan dalam 16 jam. Hari pertama terutama diberikan kristaloid yaitu larutan Ringer Laktat.
Hari kedua diberikan setengah cairan pertama. Contoh: seorang dewasa dengan berat badan 50 kg dan
luka bakar seluas 20% permukaan kulit akan diberikan 50 x 20 mL = 1000 mL larutan NaCl 0,9% dan
juga 1000 mL plasma sebagai cairan tambahan, disertai 2000 cc larutan glukosa 5% sebagai kebutuhan
dasar. Jumlah cairan pada 8 jam pertama sama dengan jumlah cairan untuk 16 jam berikut, masing-
masing 2000 mL; 24 jam berikutnya = 2000 mL.
Menurut rumus Baxter, cairan diberikan dalam 2 hari, yaitu 20 x 50 mL x 4 = 4000 mL pada hari
pertama, 2000 mL pada hari kedua. Pemberian cairan dapat ditambah (jika perlu), misalnya bila
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
penderita dalam keadaan syok, atau jika diuresis kurang. Untuk itu, pemantauan yang ketat sangat
penting, karena fluktuasi perubahan keadaan sangat cepat terutama pada fase awal luka bakar.
Intinya, status hidrasi penderita luka bakar luas harus dipantau terus-menerus. Keberhasilan pemberian
cairan dapat dilihat dari dieresis normal yaitu sekurang-kurangnya 1000-1500mL/24 jam atau 1
mL/kgBB/jam pada pasien anak. Yang penting juga adalah pengamatan apakah sirkulasi normal atau
tidak.
Besarnya kehilangan cairan pada luka bakar luas disertai resusitasi yang tidak betul dapat
menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. Hiponatremia sebagai gejala keracunan air dapat
menyebabkan udem otak dengan tanda kejang-kejang. Kekurangan ion K akibat banyaknya kerusakan
sel dapat diketahui dari EKG yang menunjukkan depresi segmen ST atau gelombang U.
ketidakseimbangan elektrolit ini juga harus dikoreksi namun bukan menjadi prioritas utama dalam
resusitasi cairan emergensi manajemen primer pasien trauma. Selain itu, ada pula beberapa formula
yang biasa digunakan untuk resusitasi cairan pada centre luka bakar.
Escharotomy
Tetanus
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Pemberian booster dibutuhkan pada pasien yang tidak mendapatkan imunisasi tetanus
Nasogastric Tube
Mampu menjelaskan komplikasi yang terjadi pada luka bakar fase akut
Sistemik
Pulmonary failure
Cardiac failure
Hepatic failure
Hematologic failure
Lokal/Spesifik
Sepsis/infeksi
Kontraktur
Jaringan parut/scar
Eschar
Cara menilai penyembuhan parut luka bakar tergolong baik atau kurang baik (tanda-tanda
hypertrophic scar, keloid, dan kontraktur)
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Karakteristik Skor
Vaskularisasi Normal 0
Pink 1
Merah 2
Ungu 3
Pigmentasi Normal 0
Hipopigmentasi 1
Hiperpigmentasi 2
Kelenturan Normal 0
Fleksibel/supple 1
Mudah 2
lentur/yielding
3
Tegas/firm
4
Ropes
5
Kontraktur
Ketebalan Datar 0
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
<2mm 1
2-5 mm 2
>5 mm 3
Skor total 13
Mampu mengenali kasus-kasus yang perlu dirujuk ke spesialis bedah plastik dan tata cara
merujuknya.
> 10% TBSA Penyakit terdahulu yang Wajah / Tangan / Kaki / Kimia / elektrik
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Sebagai seorang dokter kita harus menjelaskan mengenai indikasi pasien harus dirujuk
Kita harus menjelaskan mengenai keparahan dari luka bakar yang dialami karena dapat
terjadi resiko yang besar akan adanya komplikasi
Jelaskan mengenai morbiditas dan mortalitas
Dukungan keluarga baik emosional dan moril sangat dibutuhkan pasien dalam pengobatan
Balutan :
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Segera menerima dan melakukan stabilisasi pasien, setelah stabil, meneruskan pasien keruang perawatan
elektif untuk perawatan selanjutnya atau meneruskan ke sarana kesehatan yang lebih mampu untuk dirujuk
lanjut, dan melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan klinis pasien.
No Target pembelajaran
S 1 Mampu melakukan anamnesis mengenai bibir dan lelangit sumbing
2 Mampu menjelaskan etiologi sumbing
O 3 Mengetahui anatomi bibir normal dan kelainan anatomi pada sumbing
bibir unilateral
A 4 Mampu menegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis
P 5 Mampu menjelaskan secara praktis tindakan penanganan operatif dan
tujuan operasi
6 Mampu mengetahui komplikasi sumbing bibir unilateral jika tidak
dilakukan operasi
Mampu melakukan komunikasi dengan pasien dan keluarganya
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
apakah terdapat kesulitan pemberian makan pada bayi (terutama saat menyedot puting susu) dan apakah
ada tersedak selama pemberian makan.
Riwayat penyakit sekarang (pasien datang dengan keluhan bibir sumbing hingga ke hidung sebelah kiri sejak
lahir
a) Tanggal lahir
b) Tempat lahir
c) Ditolong oleh siapa
d) Cara persalinan
e) Keadaan segera setelah lahir
f) Cukup bulan atau tidak
g) Berat dan panjang badan lahir
Riwayat makanan sejak lahir hingga saat ini
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Riwayat keluarga : dengan menanyakan susunan silsilah keluarga bayi tersebut, maka perihal hereditas
dapat ditentukan
1. Genetik
a. Bibir dan lelangit sumbing
1. Anak atau salah satu orang tua dengan bibir dan lelangit sumbing memiliki risiko bibir dan
lelangit sumbing sebanyak 4% pada kehamilan setelahnya.
2. Bila dua anak sebelumnya mengalami bibir dan lelangit sumbing, maka risiko meningkat
9% pada kehamilan setelahnya.
3. Salah satu orang tua dan satu anak setelahnya mengalami bibir dan lelangit sumbing,
maka risiko meningkat sebanyak 17% pada kehamilan selanjutnya.
b. Lelangit sumbing
1. Bila dalam keluarga terdapat penderita lelangit sumbing, maka kehamilan setelahnya
memiliki risiko sebesar 2%.
2. Salah satu orang tua memiliki lelangit sumbing maka risiko meningkat sebesar 6% pada
kehamilan selanjutnya.
3. Salah satu orang tua dan salah satu anak sebelumnya memiliki lelangit sumbing, maka
risiko meningkat menjadi 15% pada kehamilan selanjutnya.
2. Faktor usia ibu
Semakin bertambahnya usia ibu sewaktu hamil, maka bertambah pula risiko ketidak
sempurnaan pembelahan meiosis.
3. Faktor lingkungan
Zat kimia (rokok dan alkohol) karena zat toksik yang terkandung pada rokok dan alkohol yang
dapat mengganggu pertumbuhan organ selama masa embrional. Gangguan metabolik seperti
diabetes mellitus dan penyinaran radioaktif juga berpengaruh terhadap tumbuh kembang organ
selama masa embrional.
4. Insufisiensi zat
Untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam hal kuantitas (pada gangguan
sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi asam folat, vitamin B6 dan Zn) serta penggunaan
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
vitamin A dalam bentuk 13-cis-retinoic acid dapat menigkatkan risiko melahirkan anak dengan
labio/palatoschizis.
5. Zat Kimia
Penggunaan obat teratologi termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal. Mengkonsumsi jamu
pada waktu kehamilan dapat berpengaruh pada janin. Akan tetapi jenis jamu apa yang
menyebabkan kelainan kongenital ini masih belum jelas. Kontrasepsi hormonal pada ibu hamil
terutama hormone estrogen yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya hipertensi
sehinggaberpengaruh terhadap sirkulasi fetomaternal. Pemberian aspirin, kortisol dan insulin
pada masa kehamilan trimester pertama dapat menyebabkan terjadinya celah. Obat-obatan
seperti thalidomide, kortikosteroid dan obat penenang (diazepam, phenytoin) serta alkohol,
kafein juga dapat menyebabkan kelainan ini.
6. Infeksi
Terutama pada infeksi toksoplasma dan klamidia. Selain itu, Frases mengatakan bahwa virus
rubella dapat menyebabkan cacat berat, namun hanya sedikit kemungkinan dapat menyebabkan
celah.
7. Trauma
Strean dan Peer melaporkan bahwa trauma mental dan fisik dapat menyebabkan terjadinya
celah. Stres yang timbul menyebabkan fungsi korteks adrenal terangsang untuk mensekresi
hidrokortison sehingga nantinya dapat mempengaruhi keadaan ibu yang sedang mengandung dan
mengganggu pertumbuhan sehingga dapat menimbulkan celah, dengan terjadinya stress yang
mengakibatkan celah yaitu : terangsangnya ACTH (adrenocorticotropic hormone).
Mengetahui anatomi bibir normal dan kelainan anatomi pada sumbing bibir unilateral
Bibir merupakan “gerbang” penghubung antara dunia luar dengan rongga mulut. Fungsi bibir antara lain
adalah menjaga makanan atau minuman tetap di dalam mulut saat makan atau minum, serta membantu menjaga
artikulasi agar terdengar jelas saat berbicara. Bila terdapat sumbing pada bibir, maka dapat menganggu fungsi-
fungsi tersebut.Bibir luar ditutup oleh jaringan kulit, sedangkan bagian dalam ditutupi oleh mukosa mulut.
Bibir normal memiliki landmark nilai-nilai estetika yang simetris. Bibir atas yang baik dibentuk oleh
beberapa bagian (subunit), yaitu : medial subunit yang membentang dari dasar ala nasi setiap sisi, daerah cekung
(philtrum) yang dibatasi dengan dua puncak (philtrum columns) hingga perbatasan antara kulit dan warna merah
bibir atas (cutaneous-vermilion junction). Pada batas ini terdapat lengkung bibir atas yang menyerupai busur,
lazim disebut dengan Cupid’s Bow. Tepat diatas cutaneous-vermilion junction terlihat jelas white skin roll atau
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
garis putih yang terlihat semakin samar hingga batas lateral (samping) dari bibir (commisura oris). Pada bagian
tengah inilah lip vermilion tampak paling lebar.
Selain medial subunit, terdapat 2 lateral subunit yang dibatasi oleh dasar lubang hidung (nasal sill), pada
sisi lateral terdapat lipatan nasolabial crease , pada bagian tengah dibatasi dengan philtrum collumns dan bagian
bawah dibatasi dengan cutaneous-vermiliono junction. Lower subunit dimulai dari labiomandibular crease di
lateral dan dibatasi oleh mentolabial crease. Bibir atas dan bawah menyatu di komisura, seperti tampak pada
gambar.6
Palatum
Palatum adalah atap rongga mulut, secara anatomi palatum terbagi menjadi palatum durum di depan
(bagian dari rongga mulut) dan palatum molle di belakang (bagian dari oropharynx). Palatum memisahkan
rongga mulut dengan rongga hidung dan sinus maksilaris. Palatum terbagi menjadi bagian primer yaitu bagian
depan dari foramen incisivus, serta bagian sekunder berada dibelakang dari foramen incisivus.
Palatum Durum
Palatum durum disebut juga palatum keras bagian rongga mulut yang berada di sebelah tulang
maksilaris. Bagian dari orofaring palatum ini dapat bergerak dan terdiri dari jaringan fibrosa dan selaput lendir.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Palatum Molle
Palatum mole adalah bagian dari orofaring yang mengandung mukosa pada kedua permukaanya.
Intervensi antara kedua permukaan mukosa adalah jaringan penghubung, serat otot, aponeurosis, banyak
pembuluh darah, limfatik, dan kelenjar saliva minor. Secara fungsional, palatum mole berperan untuk
memisahkan orofaring dari nasofaring selama menelan dan berbicara. Palatum mole mendekat ke dinding
posterior faringeal selama menelan untuk mencegah regurgitasi nasopharyngeal dan mendekat selama berbicara
untuk mencegah udara keluar dari hidung.
Penegakkan diagnosis adanya celah bibir / bibir sumbing maupun celah palatum terlihat dari tampilan
klinis anak tersebut dan dinilai apa saja bagian yang mengalami defek. Sebanyak 86% anak dengan labioschizis
bilateral disertai dengan palatoschizis dan 68% labioschizis unilateral disertai palatoschizis.
Selain pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan saat bayi lahir, Labioschizis juga dapat dideteksi selama
kehamilan dengan USG rutin. Selain ultrasound yang biasanya dilakukan pada umur gestasi 25-26 minggu, dapat
juga dilakukan MRI pada umur gestasi 29-30 minggu jika pemeriksaan secara ultrasound terlalu sulit. Kepastian
diagnosis akan terkonfirmasi saat dilakukan pemeriksaan klinis pada bayi yang sudah lahir.
3. Lelangit sumbing
a. Lelangit sumbing saja (isolated cleft palate)
b. Bibir dan lelangit sumbing unilateral.
c. Bibir dan lelangit sumbing bilateral.
d. Lelangit sumbing submukosa (submucous cleft palate).
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Mampu menjelaskan secara praktis tindakan penanganan operatif dan tujuan operasi
Mampu mengetahui komplikasi sumbing bibir unilateral jika tidak dilakukan operasi
Berbagai komplikasi yang terjadi pada anak yang mengalami labiopalatoschizis yaitu:
a. Labioschizis dapat menyebabkan masalah kosmetik, serta susunan gigi yang tidak beraturan
b. Palatoschizis dapat menyebabkan mudahnya mengalami penyakit ISPA (infeksi saluran
pernapasan akut) serta berbicara sengau
c. Otitis media berulang dan ketulian sering kali terjadi, jarang dijumpai kasus karies gigi yang
berlebihan. Koreksi ortodontik dibutuhkan apabila terdapat kesalahan penempatan arkus
maksilaris dan letak gigi geligi.
d. Cacat bicara bisa ada atau menetap meskipun penutupan palatum secara anatomi telah
dilakukan dengan baik. Cacat bicara yang demikian ditandai dengan pengeluaran udara melalui
hidung dan ditandai dengan kualitas hipernasal jika membuat suara tertentu. Baik sebelum
dan sesudah operasi palatum, cacat bicara disebabkan oleh fungsi otot-otot palatum dan
faring yang tidak adekuat. Selama proses menelan dan saat mengeluarkan suara tertentu,
otot-otot palatum mole dan dinding lateral serta posterior nasofaring membentuk suatu katup
yang memisahkan nasofaring dan orofaring. Jika katup tersebut tidak berfungsi secara
adekuat, orang itu sukar mencipatkan tekanan yang cukup di dalam mulutnya untuk membuat
suara-suara tertentu. Kemungkinan terapi bicara diperlukan setelah suatu operasi.
Mampu melakukan komunikasi dengan pasien dan keluarganya mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan sumbing bibir unilateral
Menjelaskan apa saja yang harus diperhatikan orangtua yaitu untuk mempersiapkan ketahanan tubuh
bayi menerima tindakan operasi,dengan cara memberikan asupan gizi yang cukup.
Terdapat 2 cara dalam memberikan makanan pada bayi dengan celah bibir dan langit-langit yaitu:
a. Botol khusus
Botol plastik khusus tersebut memiliki bentuk yang dapat diremas, sehingga memudahkan bayi untuk meminum
susu tanpa harus menghisap. Bisa juga dengan menggunakan dot yang memiliki nipple yang panjang dan
bersayap sehingga susu langsung keluar ke faring.
b. Spuit
Pemberian nutrisi pada bayi dengan spuit, yaitu dengan cara menyemprotkan makanan cair ke dalam mulut bayi
menggunakan spuit.
Bayi yang menderita labioschizis mengalami kesulitan pada waktu menyusui. Menyusui umumnya tidak
menjadi masalah pada bayi dengan bibir sumbing, karena bayi masih dapat melakukan isapan yang adekuat.
Bahkan pada bayi dengan bibir sumbing, bayi masih dapat melakukan isapan, karena puting susu akan
memenuhi bagian yang sumbing. Posisi tegak lurus saat menyusui sangat direkomendasikan. Suplementasi botol
dibutuhkan jika terdapat kesulitan menyusu.
Menyusui bayi dengan bibir dan lelangit sumbing dilakukan dengan modifikasi khusus, salah satunya
dengan Nursing Utilize System (NUS). Dengan selang kecil, ASI akan dialirkan kemulut bayi, selang akan
direkatkan kepayudara ibu sehingga ASI akan dihisap oleh bayi. Hal ini akan menstimulasi usaha bayi dalam
menghisap dengan asupan ASI yang lebih besar dan tetap menjaga kontak fisik antara ibu dan bayi. Selain itu,
menyusui akan terus menjaga ASI tetap diproduksi. Meskipun demikian, tetap terdapat kemungkinan bayi akan
menolak puting karena merasakan ada tambahan objek diputing susu ibu.
Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan botol dan dot. Ibu masih tetap memberikan
ASI, namun melalui botol dan dot yang telah dimodifikasi khusus untuk bayi dengan bibir sumbing. ASI dapat
diperah dengan pompa ASI. Terdapat 4 parameter dasar yang harus dipertimbangkan pada pemilihan dot, yaitu
bentuk, ukuran dot, kelenturannya serta ukuran dan bentuk lubang dot. Tipe dot ditentukan berdasarkan tipe
sumbing dan kemampuan oromotor bayi.
Bayi yang menunjukkan ketidakmampuan koordinasi isap-telan-napas, batuk, tersedak, menolak dan
menjauhi puting susu/dot, peningkatan laju pernafasan, dan tampak biru selama makan, perlu dievaluasi lebih
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
lanjut oleh tim rehabilitasi medik bekerja sama dengan spesialis THT-KL. Evaluasi yang dilakukan bertujuan
untuk menilai :
Selanjutnya menginstruksikan kepada keluarga penderita untuk konsisten memperhatikan penderita sejak
lahir hingga dewasa tanpa memperlihatkan empati yang berlebih. Program habilitasi yang menyeluruh untuk
anak yang menderita bibir sumbing atau celah palatum bisa memerlukan pengobatan khusus dalam waktu
bertahun-tahun, dari tim yang terdiri dari dokter ahli anak, ahli bedah atau bedah plastik, ahli THT, ahli ortodonsi
yang akan mengikuti perkembangan rahang dan giginya serta ahli logopedi yang mengawasi dan membimbing
kemampuan bicara.
saat operasi
b. 2 tahap
(speech and
hearing
evaluation)
4 – 5 tahun Evaluasi hasil Sp.BP Evaluasi hasil operasi secara fungsional
operasi dan estetik
Pemeriksaan Ortodontis Melihat perkembangan rahang atas
sefalometri dan (maksila)
cetak dental
model
Evaluasi bicara Sp.KFR Evaluasi perkembangan kemampuan
dengan rekaman bicara
video,
preceptual
assessment,
nasopharingoen
doscopy
Operasi VPI Sp.BP Memperbaiki fungsi bicara
(velopharyngeal
Insufficiency),
bila perlu
9 tahun - Perawatan Ortodontis - Untuk mendapatkan lengkung gusi
ortodonti yang baik dan memudahkan
pre-ABG aksesibilitas prosedur bedah
- Rontgen foto
panoramic,
sefalometri,
oklusal, dan
periapical
dental (maksila)
Evaluasi bicara Sp.KFR/Sp.THT Evaluasi perkembangan kemampuan
dengan rekaman bicara
kemampuan
bicara video,
perceptual
assessment,
nasopharingoen
doscopy
10 – 11 tahun Operasi cangkok Sp.BP Menutup celah gusi (alveolar)
tulang pada
celah gusi
(Alveolar Bone
Grafting)
11 tahun – Perawatan Ortodontis - Melebarkan dan memanjangkan
maturasi ortodonti pasca lengkung gigi ke arah samping dan
skeletal ABG depan
Surgery-OGS)
Lahir – dewasa Konseling Psikiater konseling psikiatri untuk masalah
psikiatri psikiatri yang mungkin timbul pada
pasien dan orang tua
Tabel Pelayanan Medis Pasien Sumbing
2. Tahap operasi
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Penutupan bibir sumbing secara bedah biasanya dilakukan setelah umur 3 bulan, ketika
anak itu telah menunjukkan kenaikan berat badan yang memuaskan dan bebas dari infeksi
oral, saluran nafas atau sistemik.
Tujuan pembedahan/operasi :
a. Dari sisi lateral, mukosa dikupas dari otot orbikularis oris, kemudian otot orbikularis oris
bagian merah bibir dipisahkan dari sisanya.
b. Kulit dan subkutis dibebaskan dari otot orbikularis oris secara tajam, sampai kira-kira
sulkus nasolabialis.
c. Lepaskan mukosa bibir dari rahang pada lekuk pertemuannya, secukupnya, kemudian
otot dibebaskan dari mukosa hingga terbentuk 3 lapis flap : mukosa, otot dan kulit.
d. Lalu pada sisi medial, mukosa dilepaskan dari otot. Dibuat flap C, kemudian dibuat insisi
2 mm dari pinggir atap lubang hidung.
e. Bebaskan kulit dari mukosa dan tulang rawan alae, menggunakan gunting halus
melengkung.
f. Letak tulang rawan alae diperbaiki dengan tarikan jahitan yang dipasang ke kulit.
g. Setelah jahitan terpasang, lekuk atap dan lengkung atas atap lubang hidung lebih
simetris. Kolumela dan rangka tulang rawan dan vomeryang miring dari depan ke
belakang sulit diperbaiki, sehingga masih miring.
h. Luka dipinggir dalam atap nares dijahit, kemudian mukosa oral mulai dari cranial,
menghubungkan sulkus ginngivo labialis. Jahitan diteruskan sampai ke dekat merah
bibir.
i. Setelah itu, otot dijahit lapis demi lapis. Jahitan kulit dimulai dari titik yang perlu
ditemukan yaitu ujung busur Cupido. Diteruskan ke atas dan ke mukosa bibir. Jaringan
kulit atau mukosa yang berlebihan dapat dibuang.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
j. Terakhir luka operasi ditutup dengan tulle dan kasa lembab selama 1 hari, untuk
menyerap rembesan darah / serum yang masih akan keluar. 1 hari sesudahnya, barulah
luka dirawat terbuka dengan pemberian salep antibiotik.
Palatoschizis merupakan suatu masalah pembedahan, tidak ada terapi medis khusus
untuk keadaan ini. Akan tetapi komplikasi dari palatoschizis yakni permasalahan dari intake
makanan, obstruksi jalan napas, dan otitis media membutuhkan penanganan medis terlebih
dahulu sebelum diperbaiki.
Terapi pembedahan bukanlah suatu yang emergensi, dilakukan pada usia 12-18 bulan.
Pada usia tersebut akan memberikan hasil fungsi bicara yang optimal karena memberi
kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada proses penyembuhan luka
sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan demikian soft palate dapat berfungsi
dengan baik. Jika operasi dikerjakan lambat, sering hasil operasi dalam hal kemampuan
bicara atau mengeluarkan suara normal atau tak sengau, sulit di capai.
4. Furlow Z plasty
Teknik dimana bagian palatum di reposisi dan veli palatine disambung oleh double
opposing (menyilang) secara Z plasty. Operasi plastik cara ini adalah teknik yang paling
sering digunakan; garis jahitan yang diatur berguna untuk memperkecil takik bibir akibat
retraksi jaringan parut.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Pemberian makanan per-oral : untuk anak-anak yang mengonsumsi ASI, dapat terus disusui
setelah operasi. Bagi anak-anak yang menggunakan botol, disarankan untuk menggunakan
sendok selama 2 minggu setelah operasi , baru dilanjutkan dengan pengunaan dot yang biasa.
Aktivitas : tidak ada batasan aktivitas tertentu yang perlu dilakukan, namun hendaknya
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
aktivitas perlu diperhatikan untuk meminimalisasi resiko trauma pada luka operasi.
Perawatan bibir : garis jahitan yang terpapar pada dasar hidung dan bibir dapat dibersihkan
dengan kapas yang diberi larutan hidrogen peroksida dan salep antibiotika yang diberikan
beberapa kali perhari. Jahitan dapat diangkat pada hari ke 5-7.
Persiapan Rujukan: sumbing merupakan kompetensi 2 sehingga dokter umum perlu merujuk kasus ini.
Penatalaksanaan kasus membutuhkan tim multidisiplin yang terdiri dari dokter spesialis anak, dokter spesialis
bedah, dokter spesialis THT, konselor genetik, dokter gigi, tim rehabilitasi medik, dan psikolog. Sebelum
merujuk, pastikan tidak ada masalah pada jalur napas yang dapat menyebabkan kematian mendadak
Segera menerima dan melakukan stabilisasi pasien, setelah stabil, meneruskan pasien keruang perawatan
elektif untuk perawatan selanjutnya atau meneruskan ke sarana kesehatan yang lebih mampu untuk dirujuk
lanjut, dan melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan klinis pasien.
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu mengerti dan menguasai
No Target pembelajaran
S 1 Mampu melakukan anamnesis mengenai kondisi luka dan faktor-
faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka (local dan sistemik)
O 2 Mengetahui struktur anatomi kulit normal dan yang rusak sesuai
kondisi luka
3 Mengetahui fase penyembuhan luka dan menyesuaikan dengan
kondisi luka pasien
4 Mampu melakukan analisis kondisi luka
A 5 Mampu membuat diagnosis luka
P 4 Mengetahui alat-alat yang diperlukan dalam melakukan preparasi bed
luka
5 Mampu melakukan preparasi bed luka (pemilihan dressing dan cara
perawatan)
6 Mampu melakukan evaluasi perkembangan perawatan luka
7 Mampu melakukan management luka akut (Luka akut & menjahit
luka)
8 Mengetahui alat-alat yang diperlukan dalam menjahit luka
9 Fotografi
10 Mampu memutuskan indikasi dilakukan pemeriksaan penunjang
radiologi
11 Pembedahan minor, eksisi lesi / tumor, injeksi kortikosteroid
12 Mampu memutuskan kasus yang perlu dirujuk
13 Mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan
Mampu melakukan anamnesis mengenai kondisi luka dan faktor-faktor yang mempengaruhi
penyembuhan luka (local dan sistemik)
Aspek anamnesis dalam penilaian luka bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi penyembuhan luka.
Anamnesis meliputi :
1. Riwayat luka :
- Mekanisme terjadinya luka.
- Kapan terjadinya luka : setelah 3 jam (golden periode< 6 jam), kolonisasi bakteri dalam
luka akan meningkat tajam.
Tabel 2. Penilaian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
- Umur
- Dehidrasi : gangguan keseimbangan elektrolit mempengaruhi fungsi jantung, ginjal,
metabolisme seluler, oksegenasi jaringan dan fungsi endokrin.
- Status psikologis
Status psikologis pasien berpengaruh pada pemilihan regimen terapi yang tepat bagi
pasien tersebut.Pemilihan regimen terapi dengan mempertimbangkan status psikologis
pasien mempengaruhi kepatuhan pasien terhadap terapi yang ditetapkan dokter.
- Status nutrisi
Nutrisi berperan penting dalam proses penyembuhan luka (tabel 3). Kekurangan salah
satu atau beberapa nutrient mengakibatkan penyembuhan luka terhenti pada tahapan
tertentu.
- Berat badan
Pada pasien dengan obesitas, adanya lapisan lemak yang tebal di sekitar luka dapat
mengganggu penutupan luka.Selain itu, vaskularisasi jaringan adiposa tidak optimal
sehingga jaringan adiposa merupakan salah satu jenis jaringan yang paling rentan
terhadap trauma dan infeksi.
- Pekerjaan pasien.
- Aspek kosmetik.
- Kondisi psikologis pasien.
Faktor Instrinsik adalah faktor dari penderita yang dapat berpengaruh dalam proses
penyembuhan meliputi : usia, status nutrisi dan hidrasi, oksigenasi dan perfusi jaringan, status imunologi, dan
penyakit penyerta (hipertensi, DM,Arthereosclerosis).
Faktor Ekstrinsik adalah faktor yang didapat dari luar penderita yang dapat berpengaruh
dalam proses penyembuhan luka, meliputi : pengobatan, radiasi,stres psikologis, infeksi, iskemia dan trauma
jaringan.4
1. Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena
penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah.
2. Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya protein,
karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu
untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk
meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak
adekuat.
3. Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan.
4. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar lemak subkutan
dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan
luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran
darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah
perifer, hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia
atau gangguan pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan
vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
5. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh
masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk
dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
6. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum
benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah),
yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”).
7. Iskemia
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari
obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi
akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
8. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat
masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.
9. Keadaan Luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka
dapat gagal untuk menyatu.
10. Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi
penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi
luka.
a. Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera
b. Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
c. Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang
spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.
Mengetahui struktur anatomi kulit normal dan yang rusak sesuai kondisi luka
Kulit merupakan pembungkus tubuh dan pelindung organ didalamnya. Luas permukaannya pada orang
dewasa 1,5-1,75 m². Berat 15 % dari total berat badan. Tebal tidak sama, bervariasi antara 5-6 mm, pada telapak
tangan dan kaki, 0,5 mm pada kulit penis.
d. Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis merupakan lapisan kulit yang paling luar. Ketebalannya <1 mm.
Epidermis dibagi menjadi 5 lapisan yaitu stratum germinativum, stratum spinosum, stratum
granulosum, dan korneum.
e. Lapisan Dermis
Merupakan lapisan dibawah epidermis. Terdiri dari jaringan ikat yang terdiri 2 lapisan
yaitu pars papilaris dan retikularis.
f. Lapisan Subkutis
lapisan terdalam yang banyak mengandung sel liposit yang menghasilkan banyak lemak.
Merupakan jaringan adipose sebagai bantalan antara kulit dan struktur internal seperti otot dan
tulang.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
e. Kelenjar Apokrin
Terdapat di aksil, anus, skrotum, labia mayora dan bermuara pada folikel rambut. Kelenjar
ini memproduksi keringat yang keruh seperti susu yang diuraikan oleh bakteri menghasilkan bau
khas pada aksila.
f. Kelenjar Ekrin
Kelenjar ini terdapat disemua kulit. Melepaskan keringat sebagai reaksi peningkatan suhu
lingkunagn dan suhu tubuh. Kecepatan eksresi keringat dikendalikan oleh saraf simpatik.
Anatomi Kulit
Mengetahui fase penyembuhan luka dan menyesuaikan dengan kondisi luka pasien
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya.
Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal
seluler bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun
beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh,
melindungi area yang luka bebas dari kotoran dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan
penyembuhan jaringan.
Dalam proses penyembuhan luka, Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini
dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
a. Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi
segera setelah diusahakan bertautnya tepi luka biasanya dengan jahitan.
b. Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang tidak mengalami
penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan
dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini
biasanya tetap terbuka.
c. Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka
selama beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7
hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhanluka yang terakhir
a. Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya kerusakan dan
keadaan umum kesehatan tiap orang.
b. Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga,
c. Respon tubuh secara sistemik pada trauma,
d. Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka,
e. Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk mempertahankan
diri dari mikroorganisme,
f. Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh termasuk bakteri
sedikit bengkak. Selama sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial.
Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah
cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut
pagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan
ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses
penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.
b. Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah pembedahan. Fibroblast
(menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah
pembedahan. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-
kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan
dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil
kemungkinan luka terbuka. Selama waktu itu sebuah lapisan penyembuhan nampak dibawah garis
irisan luka. Kapilarisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen
dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan. Fibroblast berpindah dari pembuluh darah ke luka
membawa fibrin. Seiring perkembangan kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan ini
disebut granulasi jaringan yang lunak dan mudah pecah.
c. Fase Maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun setelah pembedahan. Fibroblast terus mensintesis
kolagen. Kolagen menjalin dirinya , menyatukan dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil,
kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih.
Menentukan ukuran dan kedalaman luka pada saat pasien pertama kali datang merupakan hal paling
mudah untuk dilakukan dibandingkan dengan penilaian parameter luka lainnya. Parameter ini dapat digunakan
untuk mengevaluasi manajemen (terapi) dan perkembangan kondisi luka karena informasi yang dihasilkan dapat
dipercaya mengingat sifatnya yang objektif.
Terdapat beberapa alat yang dapat digunakan untuk mengukur luas dan kedalaman luka; salah satunya
adalah penggaris yang terbuat dari kertas. Meskipun penggaris kertas biasa mudah digunakan karena dapat
mengikuti bentuk luka dari segi kontur dan kedalamannya,penggaris kertas asetat transparan dengan garis
pengukur (grid line) merupakan modalitas yang terbaik
Untuk mengukur luka. Penggaris kertas dapat digunakan untuk mengukur kedalaman luka,tetapi tidak terlalu
baik dalam mengukur dimensi luas luka karena pada umumnya luka secara alami berbentuk seperti sebuah pulau,
yang garis tepinya tidak membentuk garis lurus, Sebuah probe dapat membantu mengukur kedalaman luka
namun nantinya hasil pengukuran probe tersebur
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
harus ditransformasi terlebih dahulu ke dalam pengukuran penggaris biasa untuk mendapatkan hasil pengukuran
kedalaman dengan satuan ukur yang tepat; misalnya dalam milimeter (mm) atau sentimeter (cm).
Menggambar bentuk tepi luka di atas lembar transparan dapat membantu dokumentasi dan dapat
digunakan sebagai perbandingan perubahan ukuran luka dari waktu ke waktu selama perawatan. Gambar tersebut
sebaiknya digambar menggunakan pena/spidol permanen dengan warna yang berbeda-beda antara pengukuran
pertama dan yang berikutnya agar memudahkan kita dalam membedakan tiap tepian luka yang diukur pada
waktu yang berbeda.
Umumnya,ukuran luka dicatat dengan menjumlahkan banyaknya persegi pada area luka. Selain itu,
pengukuran dapat pula didokumentasikan dengan mengalikan dimensi vertikal terpanjang dengan dimensi
horizontal terpanjang luka. Meskipun kedua ukuran tersebut dapat mendeskripsikan luas dimensi luka namun
kedua metode tersebut dinilai tidak terlalu tepat karena kebanyakan luka tidak berbentuk persegi,wajik,ataupun
segitiga. Secara alami, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, luka berbentuk seperti pulau.
Hal penting yang dilakukan ketika memeriksa kedalaman suatu luka adalah mencatat keberadaan tepian
yang rusak, menggaung (undermined), sinus, atau fistula. Keberadaan sinus atau fistula yang multipel akan
membutuhkan tindakan operasi. Suatu probe yang padat atau dapat dibengkokkan dengan mudah ( maleable)
akan dapat membantu dalam proses penilaian suatu luka yang disertai tepian yang rusak (undermined), sinus, dan
fistula.
Tepi luka
Karakter tepi luka akan memberikan petunjuk mengenai etiologi luka tersebut. Sebagai contoh, pada
ulkus vena (venous ulcer) dapat dijumpai tepi luka yang landai; pada karsinoma sel basal dapat terlihat tepi yang
tergulung; pada karsinoma sel skuamosa umumnya terdapat tepi yang membalik ke luar, dan sebagainya.
Lokasi luka
Selain tepi luka, lokasi luka dapat juga menjadi pentunjuk bagi para klinisi dalam menentukan etiologi
luka tersebut. Sebagai contoh, luka ulkus vena atau ulkus diabetikum cenderung muncul pada area ekstremitas
bawah; ulkus dekubitus cenderung muncul pada area dengan tulang yang menonjol seperti area pre-sakral.
Dasar luka
Penampilan dasar atau permukaan luka dapat menjadi indikator apakah jaringan granulasi yang terbentuk
pada luka tersebut baik atau tidak. Keberadaan jaringan nekrosis,penumpukan jaringan kulit mati yang melunak
dan lengket pada dasa luka (slough),atau eskar haruslah ditangani sebaik mungkin agar area dasar luka tetap
terjaga.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Area kulit sekitar luka sangat penting untuk diperhatikan karena dapat mencerminkan penyebab dan
riwayat luka yang diderita pasien. Berbagai faktor dapat tergambarkan atau tercerminkan melalui kondisi kulit di
sekitar luka, termasuk kualiras dan kuantitas eksudat yang ada. Eksudat yang banyak dan tidak tertangani dengan
baik akan mengakibatkan maserasi kulit di sekitar luka. Selain maserasi,kondisi kulit di sekitar luka dapat
mengindikasikan terja dinya
Infeksi
Karena infeksi menghambat proses penyembuhan luka,sangat penting bagi klinisi untuk mampu
mendeteksi tanda-tanda terjadinya infeksi seperti kemerahan, bengkak, rasa hangat, dan nyeri. Sebagai
tambahan,peningkatan jumlah produksi eksudat dan bau yang tidak sedap dapat pula menjadi petunjuk terjadinya
infeksi pada luka pasien.
Nyeri
Selain mengurangi rasa sakit yang diderita oleh pasien akibat penyakit, defek, atau deformitas yang
diderita pasien, seorang dokter sebaiknya dapat membantu pasien terbebas dari rasa sakit baik pada saat
melakukan prosedur diagnostik maupun pada saat memberikan terapi. Rasa nyeri dapat menjadi indikasi
penyebab terjadinya penyakit,defek,deformitas,dan efek terapi yang diberikan baik secara medis maupun secara
bedah. Rasa nyeri dapat menyulitkan perawatan
luka karena dapat menghambat proses penyembuhan luka.Keberadaan rasa nyeri menggambarkan kekacauan
dalam tubuh di tingkat molekuler yang memperlambat proses penyembuhan luka, Selain itu, rasa nyeri akan
membuat pasien merasa tidak nyaman schinge akan memengaruhi motivasi dan kerja sama mereka dalam proses
perawatan luka.
Sensasi nyeri umumnya mengurangi kepuasan pasien terhadap perawatan yang menghambat proses
penyembuhan lula Oleh sebab itu,sangatlah penring bagi seorang dokter untuk memerhatikan keluhan nyeri.
Sensasi nyeri yang terus menerus dapat terjadi akibat bebcrapa kondisi mendasar seperti iskemi, neuropati,
edema, infeksi, kerusakan jaringan, atau jaringat parut. Pengukuran sensasi nyeri yang sudah tervalidasi seperti
Visual Analogue Scale (VAS) dan Numeric Rating Scale (NRS) dapat digunakan untuk menilai nyeri subjektif
yang diderita oleh pasien. Keberadaan seorang ahli dalam mengurangi rasa sakit atau sebuah tim
yang khusus menangani rasa nyeri dapat diikutsertakan dalam merawat pasien yang menderita kesakitan yang
parah.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Eksudat
Seperti yang sudah disebutkan pada bab sebelumnya, eksudat adalah "teman” untuk kondisi luka akut,
tetapi menjadi “musuh” dalam kondisi luka kronis. Dengan kata lain, eksudat pada luka akut memiliki perantara
molekular yang dapat membantu proses penyembuhan luka. Di lain pihak, keberadaan eksudat pada luka kronis
menggambarkan keberadaan bakteri, protein, dan perantara molekular lainnya yang dapat mengganggu
terjadinya regenerasi yang pada
Cara termudah menangani eksudat adalah dengan mengikuti prinsip membalut luka; dalam hal ini harus
merujuk pada penggolongan jenis luka dan rasionalisasi manajeman luka yang benar dan terencana. Pertama-
tama,luka harus diklasifikasikan apakah luka tersebut kering, menghasilkan sedikit eksudat atau sedang; atau
bahkan tergolong sebagai luka basah karena eksudatnya yang banyak (banjir eksudat). Selanjutnya, perhatian
perlu ditujukan pada keberadaan tanda-tanda infeksi,yang diikuti dengan pembuatan keputusan apakah
pemberian
zat antimikroba diperlukan atau tidak. Di bagian lanjut, diperlukan perhatian dan penilaian terhadap permukaan
luka dan area kulit sekitarnya untuk menentukan apakah tindakan pembersihan luka (debridement) secara
mekanik, operasi, biologis, kimiawi, atau secara autolitik diperlukan atau tidak.
a. Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan
epidermis kulit.
b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan
bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau
lubang yang dangkal.
c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau
nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang
mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot.
Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan
sekitarnya.
d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan
adanya destruksi/kerusakan yang luas.
3. Berdasarkan Ada/Tidaknya hubungan dengan dunia luar
Jenis-jenis luka dapat dibagi atas dua bagian, yaitu luka terbuka dan luka tertutup
a. . Luka terbuka; terbagi pada luka tajam dan luka tumpul
i) Luka tajam
- Vulnus scissum adalah luka sayat atau luka iris yang ditandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan
beraturan.
- Vulnus ictum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya kedalaman
luka lebih daripada lebarnya.
ii) Luka tumpul
- Luka tusuk tumpul
- Vulnus sclopetorum atau luka karena peluru (tembakan).
- Vulnus laceratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan, biasanya oleh karena
tarikan atau goresan benda tumpul.
- Vulnus penetratum
- Vulnus avulsi
- Fraktur terbuka
- Vulnus caninum adalah luka karena gigitan binatang.
b. Luka Tertutup
- Ekskoriasi atau luka lecet atau gores adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan
dengan benda berpermukaan kasar atau runcing.
- Vulnus contussum ( luka memar ); di sini kulit tidak apa-apa, pembuluh darah subkutan dapat rusak,
sehingga terjadi hematom. Bila hematom kecil, maka ia akan diserap oleh jaringan sekitarnya. Bila
hematom besar, maka penyembuhan berjalan lambat.
- Bulla akibat luka bakar
- Hematoma
- Sprain ; kerusakan (laesi) pd ligamen- ligamen / kapsul sendi
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
- Dislokasi ; terjadi pada sendi- sendi, hubungan tulang - tulang di sendi lepas / menjadi tdk normal
sebagian
- Fraktur tertutup
- Laserasi organ interna/ Vulnus traumaticum; terjadi di dalam tubuh, tetapi tidak tampak dari luar.
Dapat memberikan tanda-tanda dari hematom hingga gangguan sistem tubuh. Bila melibatkan organ
vital, maka penderita dapat meninggal mendadak.
4. Berdasarkan waktu penyembuhan luka
a. Luka akut : yaitu merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan dan biasanya
dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi.Kriteria luka akut adalah luka baru,
mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan Contoh : Luka sayat, luka
bakar, luka tusuk, crush injury. Luka operasi dapat dianggap sebagai luka akut yang dibuat oleh ahli
bedah.Contoh : luka jahit, skin grafting..
b. Luka kronis yaitu : luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali (rekuren) dimana terjadi
gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor dari
penderita, dapat karena faktor eksogen dan endogen. Pada luka kronik luka gagal sembuh pada waktu
yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul
kembali.Contoh : Ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venous, luka bakar dll.
1. Kursi untuk pasien (dengan sandaran lengan) - Larutan pencuci NaCl fisiologis
atau akuades
2. Kursi untuk operator
3. Lampu penerangan - Spuit 20-60 mL
4. Alat pengamanan diri : - Mangkuk bengkok
- Apron 7. Instrumen bedah minor :
- Masker
- Kacamata pelindung
- Kassa steril
- Spuit 5-10 mL
- Needle holder
- Gunting benang
8. Material untuk perawatan luka :
- Kassa
- Perban/ pembalut
- Plester
- Salep antibiotika
Mampu melakukan preparasi bed luka (pemilihan dressing dan cara perawatan)
Penyembuhan luka yang terbaik adalah dengan membuat lingkungan luka tetap kering. Perkembangan
perawatan luka sejak tahun 1940 hingga tahun 1970, tiga peneliti telah memulai tentang perawatan luka.
Hasilnya menunjukkan bahwa lingkungan yang lembab lebih baik daripada lingkungan kering. laju epitelisasi
luka yang ditutup poly-etylen dua kali lebih cepat daripada luka yang dibiarkan kering. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa migrasi epidermal pada luka superficial lebih cepat pada suasana lembab daripada
kering, dan ini merangsang perkembangan balutan luka modern
Perawatan luka lembab tidak meningkatkan infeksi. Pada kenyataannya tingkat infeksi pada semua
jenis balutan lembab adalah 2,5 %, lebih baik dibanding 9 % pada balutan kering. lingkungan lembab
meningkatkan migrasi sel epitel ke pusat luka dan melapisinya sehingga luka lebih cepat sembuh. Konsep
penyembuhan luka dengan teknik lembab ini merubah penatalaksanaan luka dan memberikan rangsangan
bagi perkembangan balutan lembab.3 Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan tidak hanya
berdasarkan kebiasaan, melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan tipe dan jenis luka. Penggunaan
antiseptic hanya untuk yang memerlukan saja karena efek toksinnya terhadap sel sehat. Untuk membersihkan
luka hanya menggunakan normal saline.
Citotoxic agent seperti povidine iodine, asam asetat, seharusnya tidak secara sering digunakan untuk
membersihkan luka karena dapat menghambat penyembuhan dan mencegah reepitelisasi. Luka dengan sedikit
debris dipermukaannya dapat dibersihkan dengan kassa yang dibasahi dengan sodium klorida dan tidak
terlalu banyak manipulasi gerakan.
Tepi luka seharusnya bersih, berdekatan dengan lapisan sepanjang tepi luka. Tepi luka ditandai dengan
kemerahan dan sedikit bengkak dan hilang kira-kira satu minggu. Kulit menjadi tertutup hingga normal dan
tepi luka menyatu. Dugaan tanda dari penyembuhan luka bedah insisi :
1. Tidak ada perdarahan dan munculnya tepi bekuan di tepi luka.
2. Tepi luka akan didekatkan dan dijepit oleh fibrin dalam bekuan selama satu atau
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
beberapa jam setelah pembedahan ditutup.
3. Inflamasi (kemerahan dan bengkak) pada tepi luka selama 1 – 3 hari.
4. Penurunan inflamasi ketika bekuan mengecil.
5. Jaringan granulasi mulai mempertemukan daerah luka. Luka bertemu dan menutup selama 7 – 10 hari.
Peningkatan inflamasi digabungkan dengan panas dan drainase mengindikasikan infeksi luka. Tepi luka
tampak meradang dan bengkak.
6. Pembentukan bekas luka.
7. Pembentukan kollagen mulai 4 hari setelah perlukan dan berlanjut sampai 6 bulan atau lebih.
8. Pengecilan ukuran bekas luka lebih satu periode atau setahun. Peningkatan ukuran bekas luka menunjukkan
pembentukan kelloid(Walker D,1996).
Dalam manajemen perawatan luka ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu evaluasi luka, tindakan
antiseptik, pembersihan luka, penjahitan luka, penutupan luka, pembalutan, pemberian antiboitik dan
pengangkatan jahitan.
• Evaluasi luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan eksplorasi).
•Tindakan Antiseptik, prinsipnya untuk mensuci hamakan kulit. Untuk melakukan pencucian/pembersihan
luka biasanya digunakan cairan atau larutan antiseptik seperti:
1. Menilai status kesehatan pasien secara umum. Memastikan status kesehatan tetap optimal
untuk penyembuhan luka.
2. Memastikan vaskularisasi ke area luka tetap baik.
3. Memeriksa perubahan ukuran luka.
4. Mengamati perubahan pada luka (dasar luka, tepi luka, jaringan di sekitar luka).
5. Mengamati produksi discharge (berkurang atau bertambah)
6. Menilai apakah manajemen yang diberikan masih efektif untuk penyembuhan luka.
7. Mendokumentasikan perubahan yang terjadi tiap kali penggantian balutan.
Mampu melakukan management luka akut (Luka akut & menjahit luka)
Luka bersih dan diyakini tidak mengalami infeksi serta berumur kurang dari 8 jam boleh dijahit primer,
sedangkan luka yang terkontaminasi berat dan atau tidak berbatas tegas sebaiknya dibiarkan sembuh per
sekundam atau per tertiam.5
Penutupan luka adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang baik pada luka sehingga
proses penyembuhan berlangsung optimal. Pertimbangan dalam menutup dan membalut luka sangat
tergantung pada penilaiankondisi luka. Pembalutan berfungsi sebagai pelindung terhadap penguapan,
infeksi,mengupayakan lingkungan yang baik bagi luka dalam proses penyembuhan, sebagai fiksasi dan
efek penekanan yang mencegah berkumpulnya rembesan darah yang menyebabkan hematom.
Pada prinsipnya pemberian antibiotik pada luka bersih tidak diperlukan dan pada luka terkontaminasi
atau kotor maka perlu diberikan antibiotik. Pengangkatan jahitan dilakukan bila fungsinya sudah tidak
diperlukan lagi. Waktu pengangkatan jahitan tergantung dari berbagai faktor seperti, lokasi, jenis
pengangkatan luka, usia,kesehatan, sikap penderita dan adanya infeksi.
Persiapan alat
1. Set steril yang terdiri atas :
a. Pembungkus
b. Kapas atau kasa untuk membersihkan luka
c. Tempat untuk larutan
d. Larutan anti septic
e. 2 pasang pinset
f. Gaas untuk menutup luka.
2. Alat-alat yang diperlukan lainnya seperti : extra balutan dan zalf
3. Gunting
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
4. Kantong tahan air untuk tempat balutan lama
5. Plester atau alat pengaman balutan
6. Selimut mandi jika perlu, untuk menutup pasien
7. Bensin untuk mengeluarkan bekas plester
Cara kerja
1. Jelaskan kepada pasien tentang apa yang akan dilakukan. Jawab pertanyaan pasien..
2. Minta bantuan untuk mengganti balutan pada bayi dan anak kecil
3. Jaga privasi dan tutup jendela/pintu kamar
4. Bantu pasien untuk mendapatkan posisi yang menyenangkan. Bukan hanya pada daerah luka, gunakan
selimut mandi untuk menutup pasien jika perlu.
5. Tempatkan tempat sampah pada tempat yang dapat dijangkau. Bisa dipasang pada sisi tempat tidur.
6. Angkat plester atau pembalut.
7. Jika menggunakan plester angkat dengan cara menarik dari kulit dengan hati-hati kearah luka. Gunakan
bensin untuk melepaskan jika perlu.
8. Keluarkan balutan atau surgipad dengan tangan jika balutan kering atau menggunakan sarung tangan
jika balutan lembab. Angkat balutan menjauhi pasien.
9. Tempatkan balutan yang kotor dalam kantong plastik.
10. Buka set steril
11. Tempatkan pembungkus steril di samping luka
12. Angkat balutan paling dalam dengan pinset dan perhatikan jangan sampai mengeluarkan drain atau
mengenai luka insisi. Jika gaas dililitkan pada drain gunakan 2 pasang pinset, satu untuk mengangkat gaas
dan satu untuk memegang drain.
13. Catat jenis drainnya bila ada, banyaknya jahitan dan keadaan luka.
14. Buang kantong plastik. Untuk menghindari dari kontaminasi ujung pinset dimasukkan dalam kantong
kertas, sesudah memasang balutan pinset dijauhkan dari daerah steril.
15. Membersihkan luka menggunakan pinset jaringan atau arteri dan kapas dilembabkan dengan anti
septik, lalu letakkan pinset ujungnya labih rendah daripada pegangannya. Gunakan satu kapas satu kali
mengoles, bersihkan dari insisi kearah drain :
a. Bersihkan dari atas ke bawah daripada insisi dan dari tengah keluar
b. Jika ada drain bersihakan sesudah insisi
c. Untuk luka yang tidak teratur seperti dekubitus ulcer, bersihkan dari tengah luka kearah luar,
gunakan pergerakan melingkar.
16. Ulangi pembersihan sampai semua drainage terangkat.
17. Olesi zalf atau powder. Ratakan powder diatas luka dan gunakan alat steril.
18. Gunakan satu balutan dengan plester atau pembalut
19. Amnkan balutan dengan plester atau pembalut
20. Bantu pasien dalam pemberian posisi yang menyenangkan.
21. Angkat peralatan dan kantong plastik yang berisi balutan kotor. Bersihkan alat dan buang sampah
dengan baik.
22. Cuci tangan
23. Catat penggantian balutan, kaji keadaan luka dan respon pasien
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Needle holder adalah sebuah instrumen dengan bentuk paruh pendek yang berfungsi sebagai pemegang bagian
distal jarum jahit dengan jarak 1/2 – 3/4 dari ujung jarum jahit dan sebagai penyimpul benang.8Jenis yang
digunakan bervariasi, yaitu tipe Crille wood (bentuknya seperti klem) dan tipe Mathew Kusten(bentuk segitiga).
Untuk menjahit daerah intra oral biasanya digunakan needle holder ukuran 6 inchi (15cm).
Gunting benang
Gunting benang biasanya memiliki dua buah ring sebagai tempat masuknya jari. Cara memegang gunting benang
sama dengan cara memegang needle holder. Gunting benang yang paling banyak digunakan adalah Dean
scissors. Dean scissormemiliki pisau yang bergerigi yang mengakibatkan pengguntingan benang menjadi lebih
mudah.
Pinset Chirurgis
Pinset chirurgis biasanya memiliki susunan yang khas, yaitu terdapat semacam gigi yang berjumlah dua buah
pada sisinya dan satu buah pada sisi yang lainnya. Penggunaannya adalah untuk menjepit jaringan pada waktu
diseksi dan penjahitan luka, memberi tanda pada kulit sebelum memulai insisi
Adapun bahan yang digunakan untuk penjahitan luka adalah jarum jahit dan benang jahit operasi.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Jarum jahit
Jarum jahit tersedia dalam beragam bentuk, diameter, dan ukuran. Secara umum, jarum jahit terdiri atas tiga
bagian, yaitu needle point, needle body, dan swaged (press-fit) end. Needle point berbentuk tajam dan berfungsi
untuk penetrasi kedalam jaringan. Body merupakan bagian tengah dari jarum jahit.
Jarum jahit digunakan untuk menutup luka insisi pada mukosa dan biasanya berbentuk round atau triangular.7
Jarum jahit biasanya terbuat dari besi tahan karat (stainless steel) yang kuat dan fleksibel.
Jarum jahit memiliki bentuk dan jenis yang beragam seperti straight needle, curved needle, eyed needle,
dan eyeless needle.14 Selain itu, jarum jahit juga tersedia dalam berbagai ukuran, yaitu 1/4, 3/8, 1/2, dan 5/8.14
Jenis jarum jahit yang paling sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi adalah curved (circle) needle
dengan ukuran 3/8 dan 1/2.1Curved needle berukuran 3/8 biasa digunakan pada daerah bukal ke lingual dalam
satu gerakan dengan memutar jarum jahit pada axis sentralnya. Sedangkan curved needle berukuran 1/2 biasanya
digunakan pada daerah bukal gigi molar atas dan permukaan fasial gigi insisivus pada rahang atas dan rahang
bawah. Curved needle juga dapat digunakan dalam pembedahan mukogingival dan periosteal. Secara umum,
curved needle terbagi menjadi dua jenis, yaitu round bodied dan cutting. Cutting curved needle terbagi atas dua
jenis, yaitu konvensional dan reverse cutting. Reverse cutting biasanya lebih mudah diaplikasikan pada daerah
rongga mulut karena tidak akan menembus atau mengoyak jaringan.
Benang jahit
Perkembangan bahan benang jahit untuk penjahitan luka terus berkembang. Umumnya bahan benang
jahit harus memenuhi syarat-syarat ideal seperti dibawah ini.
a.Harus memiliki tensile strength yang tinggi untuk menahan luka dengan baik hingga proses penyembuhan
selesai.
d.Harus memiliki daya kapilaritas yang minimum sehingga bahan material jahitan tidak menyerap banyak cairan
jaringan yang sedang meradang di sekitar luka dan menyebabkan infeksi.
e.Mudah disterilisasi.
f.Murah.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Fotografi
1. Pemeriksaan laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mencari faktor risiko dan faktor prognosis
yang akan mempengaruhi penyembuhan luka.
Pemeriksaan Tujuan
(usapan dasar luka, kemudian dan jenis-jenis antibiotika yang masih sensitive
2. Pemeriksaan lainnya :
Abses kulit dapat terjadi di bagian tubuh manapun, tapi paling sering terjadi di aksila, gluteus
dan ekstremitas. Insisi dan drainase material infeksius dalam abses adalah terapi utama untuk penanganan
abses, karena terapi antibiotik saja sering tidak adekuat untuk penyembuhan abses secara sempurna.
Diagnosis abses ditegakkan dari adanya gejala dan tanda kardinal radang yaitu benjolan (tumor) dengan
adanya warna kemerahan (rubor) pada kulit disekitar abses, panas pada perabaan (kalor), nyeri tekan
(dolor) dan konsistensi kistik/ fluktuasi pada palpasi, serta fungsio laesa.
Kontraindikasi insisi abses dengan anestesi lokal :1.Abses yang berukuran besar.2.Abses yang
letaknya cukup dalam di area yang sulituntuk dilakukan anestesi lokal. 3.Terdapat selulitis.Transient
bacteremiayang dapat terjadi setelah insisi dan drainase abses, terutama pada pasien dengan risiko
endokarditis (misalnya pada pasien dengan abnormalitas katub jantung), memerlukan terapi antibiotika
pre-operasi dan pemilihan waktu pelaksanaan tindakan secara seksama.Indikasi untuk merujuk ke dokter
spesialis adalah bila abses terdapat pada area tubuh di mana faktor kosmetik sangat penting (misalnya
wajah atau payudara) atau abses di telapak tangan, telapak kaki dan lipatan nasolabial.
Kista epidermoid sering berasal dari ruptur folikel pilosebasea pada jerawat (acne). Obstruksi
duktus kelenjar sebasea dalam folikel rambut mengakibatkan terbentuknya saluran yang sempit dan
panjang, bermuara di permukaan komedo, menghubungkan kavitas kista dengan permukaan kulit.
Penyebab lainnya adalah defek perkembangan dari duktus kelenjar sebasea atau implantasi dari epitel
permukaan di bawah kulit akibat trauma.
Kista berisi massa keratin yang berbau tengik karena tingginya kandungan lipid, dekomposisi
massa tumor dan infeksi oleh bakteri. Ruptur kista spontan mengakibatkan keluarnya isi kista berupa
massa keratin berwarna kuning dan lunak ke dalam dermis, diikuti dengan respons inflamasi jaringan,
menghasilkan massa purulen. Terbentuknya jaringan ikat menyebabkan pengangkatan tumor menjadi
lebih sulit. Infeksi dalam kista dapat terjadi secara spontan atau bila terjadi ruptur.
Bila terjadi infeksi maka penatalaksanaan yang dipilih adalah pemberian antibiotika, diikuti insisi
dan drainase setelah infeksi mereda. Eksisi sulit dilakukan padakista yang mengalami inflamasi atau
infeksi. Biasanya eksisi ditunda sampai inflamasi atau infeksi mereda (1 minggu). Indikasi eksisi adalah
inflamasi rekuren, rasa nyeri, mengganggu aktivitas sehari-hari, dan pertimbangan kosmetik.
Kontraindikasi relatif adalah inflamasi akut dan baru saja dilakukan tindakan insisi-drainase
sebelumnya.Terdapat beberapa teknik eksisi kista epidermoid. Eksisi komplit akan mengangkat seluruh
kantung kista dan mencegah rekurensi, akan tetapi teknik ini memakan waktu lebih lama, memerlukan
penjahitan dan risiko terbentuknya jaringan parut lebih besar. Teknik eksisi minimal, berupa insisi selebar
2-3 mm, ekspresi isi kista dan memisahkan dinding kista dari jaringan sekitarnya dengan pemijatan
(squeezing), diikuti ekstraksi dinding kista melalui lubang insisi, lebih cepat dan efisien. Insisi dan
drainase kista seperti pada abses sering mengakibatkan rekurensi.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Eksisi Lipoma
Lipoma merupakan tumor jaringan lemak yang sering berlokasi dalam jaringan subkutan di
kepala, leher, bahu dan punggung. Lipoma dapat terjadi pada semua umur, tapi tersering pada usia 40-60
tahun. Tumor tumbuh lambat, hampir selalu benigna, tanpa rasa nyeri, bulat, berupa massa lunak dan
mobile. Kulit di permukaan tumor terlihat normal.Sebagian besar lipoma asimtomatik.
Diagnosis biasanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis. Selain jaringan subkutan, tumor
dapat terjadi di jaringan yang lebih dalam, seperti septa intermuskular, organ-organ abdomen, kavum oris,
kanalis auditorius internus, intrathorakal dan angulus serebelopontin. Lipoma tidak perlu diangkat kecuali
jika terdapat indikasi kosmetik, kompresi jaringan di sekitarnya, atau jika diagnosis meragukan (dari
pemeriksaan klinis tumor sulit dibedakan dengan liposarcoma), yaitu : -Diameter tumor berukuran lebih
dari 5 cm.-Lokalisasi di bahu, paha/ ekstremitas bawah atau di jaringan yang lebih dalam
(retroperitroneal, intraabdominal, intrathorakal).-Terfiksasi atau berada di bawah fascia.-Menampakkan
gambaran malignansi : pertumbuhan cepat, invasi ke tulang atau syaraf.
Penatalaksanaan
1.Non-eksisional
Injeksi steroid, mengakibatkan atrofi sel lemak sehingga ukuran tumor akan mengecil atau
hilang. Injeksi Lidocaine 1% (Xylocaine) dan triamcinolone acetonide/ Kenalog (1:1) diberikan bila
tumor berukuran kecil (diameter < 2.5 cm). Campuran lidocaine (Xylocaine) 1% dan triamcinolone
acetonide (Kenalog), dengan dosis 10 mg per mL, diinjeksikan ke pusat tumor. Prosedur ini diulangi
beberapa kali dengan interval 1-2 bulan. Liposuctiondapat dilakukan untuk mengangkat tumor berukuran
kecil dan sedang, terutama bila lokasi tumor berada di tempat-tempat di mana pembentukan jaringan ikat
harus dihindari. Eksisi lengkap sulit untuk dilakukan dengan teknik liposuctionini.
2.Eksisi
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Persiapan Sebelum operasi, tentukan batas tumor dengan palpasi. Buatlah garis batas luar tumor
dan garis eksisi kulit berbentuk fusiform dengan arah sesuai skin tension line. Garis batas luar tumor
membantu dokter menentukan apakah tumor sudah terangkat secara komplit dan membantu menentukan
batas infiltrasi anestetikum. Batas ini sering tersamarkan bila baru ditentukan setelah tindakan injeksi
anestetikum.
Sirkumsisi
Sirkumsisi merupakan tindakan bedah yang paling sering dilakukan pada pria. Selain alasan
religius dan budaya, tujuan sirkumsisi adalah untuk menurunkan risiko infeksi, karsinoma penis dan
karsinoma serviks pada pasangannya, serta perbaikan higiene daerah genital. Penelitian membuktikan
bahwa pria yang tidak menjalani sirkumsisi lebih rentan terhadap ulkus genital (syphilis, chancroid,
herpes simplex) dan infeksi oleh human papillomavirus(HPV).
1.Adhesi preputium
3.Paraphimosis : preputium tidak dapat ditarik kembali menutupi glans setelah diretraksi.
4.Balanoposthitis (inflamasi pada glans dan preputium) dan balanitis (inflamasi terbataspada
glans).
5.Preputial “pearls”dan kulit preputium yang terlalu kencang (redundant foreskin). Preputial
pearlsadalah retensi smegma, yang merupakan sekresi kelenjar sebasea pada lapisan preputium bagian
dalam. Smegma tidak dapat disekresikan, biasanya karena adhesi preputium.
Sirkumsisi dapat dilakukan oleh dokter pada tingkat layanan primer, kecuali pada keadaan-
keadaan berikut ini :
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
1.Kelainan anatomi penis : hypospadia dan epispadia.
2.Paraphimosis kronis
4.Karsinoma penis
9.Balanitis xerotica obliterans(terbentuk plak jaringan parut yang luas di permukaan glans,
sampai ke meatus uretra dan preputium).
10.Memerlukan anestesi general, misalnya pada bayi atau bila pasien tidak kooperatif.
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi6z7Li8cTuAhVm6n
MBHUBrD6AQFjAAegQIARAC&url=http%3A%2F%2Fskillslab.fk.uns.ac.id%2Fwp-content
%2Fuploads%2F2018%2F08%2FBEDAH-MINOR-2018-smt-
7.pdf&usg=AOvVaw0cSGWvYCBh3IPB5xe3pz-0
Luka bakar
Indikasi merujuk pasien dengan luka bakar :
- Dewasa : >15%
- Anak : >10%
2. Luka bakar pada anak (<5 tahun) atau usia lanjut (>60 tahun).
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
3. Luka bakar derajat III dan IV.
- Luka bakar karena zat kimia dengan luas luka bakar >5% luas
permukaan tubuh atau >1% luas permukaan tubuh jika
konsentrasi zat kimia >50%.
7. Circumferential burn.
8. Gangguan pada saluran nafas akibat inhalasi panas dan partikel benda asing.
Ulkus arterial dan Kombinasi ulkus venosus dan ulkus arterial harus dirujuk ke spesialis
yang kompeten.
Ulkus Diabetikum
Manajemen ulkus diabetikum cukup kompleks dengan angka amputasi cukup tinggi, sehingga
manajemen ulkus diabetikum harus dirujuk ke spesialis yang terkait.
ULKUS DIABETIKUM
DEFINISI
Ulkus kaki diabetik adalah salah satu komplikasi kronis dari penyakit diabetes melitus
berupa luka pada permukaan kulit kaki penderita diabetes disertai dengan kerusakan jaringan
bagian dalam atau kematian jaringan, baik dengan ataupun tanpa infeksi, yang berhubungan
dengan adanya neuropati dan atau penyakit arteri perifer pada penderita diabetes mellitus.
ETIOLOGI
Ulkus Kaki Diabetik pada dasarnya disebabkan oleh trias klasik yaitu neuropati, iskemia,
dan infeksi.
A. Neuropati
Sebanyak 60% penyebab terjadinya ulkus pada kaki penderita diabetes adalah
neuropati.Peningkatan gula darah mengakibatkan peningkatan aldose reduktase dan
sorbitol dehidrogenase dimana enzim-enzim tersebut mengubah glukosa menjadi sorbitol
dan fruktosa.Produk gula yang terakumulasi ini mengakibatkan sintesis myoinositol pada
sel saraf menurun sehingga mempengaruhi konduksi saraf.Hal ini menyebabkan
penurunan sensasi perifer dan kerusakan inervasi saraf pada otot kaki.Penurunan sensasi
ini mengakibatkan pasien memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan cedera
ringan tanpa disadari sampai berubah menjadi suatu ulkus.Resiko terjadinya ulkus pada
kaki pada pasien dengan 12 penurunan sensoris meningkat tujuh kali lipat lebih tinggi
dibandingkan pasien diabtes tanpa gangguan neuropati.
B. Vaskulopati
Keadaan hiperglikemi mengakibatkan disfungsi dari sel-sel endotel dan abnormalitas
pada arteri perifer. Penurunan nitric oxide akan mengakibatkan konstriksi pembuluh
darah dan meningkatkan resiko aterosklerosis, yang akhirnya menimbulkan iskemia.
Pada DM juga terjadi peningkatan tromboksan A2 yang mengakibatkan
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
hiperkoagulabilitas plasma.Manifestasi klinis pasien dengan insufisiensi vaskular
menunjukkan gejala berupa klaudikasio, nyeri pada saat istirahat, hilangnya pulsasi
perifer, penipisan kulit, serta hilangnya rambut pada kaki dan tangan.
C. Immunopati Sistem kekebalan atau imunitas pada pasien DM mengalami gangguan
(compromise) sehingga memudahkan terjadinya infeksi pada luka. Selain menurunkan
fungsi dari sel-sel polimorfonuklear, gula darah yang tinggi adalah medium yang baik
untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri yang dominan pada infeksi kaki adalah aerobik gram
positif kokus seperti S. aureus dan β-hemolytic streptococci .Pada telapak kaki banyak
terdapat jaringan lunak yang rentan terhadap infeksi dan penyebaran yang mudah dan
cepat kedalam tulang, dan mengakibatkan osteitis. Ulkus ringan pada kaki dapat dengan
mudah berubah menjadi osteitis/osteomyelitis dan gangrene apabila tidak ditangani
dengan benar.
KLASIFIKASI
Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetik Derajat ulkus diabetik dapat ditentukan dengan beberapa sistem
klasifikasi yang telah banyak dikembangkan, antara lain:
Klasifikasi Wagner-Meggitt’s: Sistem klasifikasi ini telah dikembangkan sejak tahun 1970
dimana terdapat 6 grading untuk menentukan derajat lesi pada kaki diabetik. Derajat 0,1,2, dan 3
adalah berdasarkan kedalaman luka dan keterlibatan jaringan lunak pada kaki, sedangkan derajat
4 dan 5 adalah berdasarkan ada tidaknya gangren. Klasifikasi ini telah dipergunakan secara luas
hingga saat ini dan ditunjukkan pada table berikut.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Modifikasi dari klasifikasi Wagner adalah Klasifikasi Texas (University of Texas Wound
Classification) yang terdiri dari empat derajat dan menilai ada tidaknya infeksi dan atau
iskemia.Sistem ini dapat memprediksi outcome dari penderita ulkus diabetik karena
meningkatnya derajat ulkus menandakan kesulitan kesembuhan dan meningkatnya resiko
amputasi. Penjabaran klasifikasi Texas ditunjukkan pada tabel berikut
DIAGNOSIS
Diagnosis ulkus kaki diabetik ditegakkan berdasarkan anamnesa yang baik tentang
lamanya onset diabetes melitus, adanya keluhan polifagi, polidipsi, dan poliuria, keluhan
neuropati dan penyakit vascular perifer, riwayat ulkus maupun amputasi sebelumnya, serta
penurunan berat badan.
Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum penderita didapatkan status gizi kurang dan
pemeriksaan lokal pada kaki meliputi inspeksi adanya deformitas (Hammar toes,claw toes,
charcot join), kulit yang kering, fisura, ulkus, vena-vena yang tampak prominen disertai oedem.
Perabaan pulsasi arteri perifer, ankle brachial index, dan capillary refill time harus
diperiksa.Pemeriksaan ulkus kaki meliputi lokasinya, ukuran ulkus, kedalaman, dasar ulkus dan
tepinya. Permukaan ulkus dinilai adakah jaringan granulasi atau slough serta tanda-tanda
inflamasi seperti kemerahan, hangat, nyeri dan adanya eksudasi
B Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum penderita didapatkan status gizi kurang
dan pemeriksaan lokal pada kaki meliputi inspeksi adanya deformitas (Hammar toes,claw
toes, charcot join), kulit yang kering, fisura, ulkus, vena-vena yang tampak prominen
disertai oedem. Perabaan pulsasi arteri perifer, ankle brachial index, dan capillary refill time
harus diperiksa.Pemeriksaan ulkus kaki meliputi lokasinya, ukuran ulkus, kedalaman, dasar
ulkus dan tepinya. Permukaan ulkus dinilai adakah jaringan granulasi atau slough serta
tanda-tanda inflamasi seperti kemerahan, hangat, nyeri dan adanya eksudasi.
Adanya neuropati sensoris dapat dinilai dengan menggunakan monofilamen dan
biothesiometer.Semmes-Weinstein monofilament bahkan dikatakan dapat memprediksi resiko
terjadinya ulserasi dan amputasi. Pemeriksaan laboratorium standar yang diperiksa adalah kadar
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
glukosa darah, glycosylated hemoglobin (HbA1c), serta fungsi hati dan ginjal sebagai
monitoring status metabolik penderita. Bila terdapat infeksi maka pemeriksaan kultur
mikrobiologi dapat dilakukan untuk menentukan agen kuman penyebab.
Pemeriksaan foto polos radiologi adalah pemeriksaan imaging yang paling sering dipilih
pada ulkus kaki diabetik karena biayanya lebih murah dan mudah dikerjakan.Pemeriksaan ini
dapat memberi informasi adanya perubahan artropati, osteomielitis dan adanya pembentukan gas
pada jaringan lunak.Tetapi bila akumulasi gas minimal maka sulit untuk menilai adanya
perubahan pada jaringan lunak seperti selulitis, fasciitis atau abses. Peranan imaging lainnya
seperti CT scan masih terbatas pada kaki diabetik tetapi memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan foto polos, yaitu: lebih sensitif dan spesifik dalam menilai erosi kortek tulang,
adanya sequester, gas pada jaringan lunak dan kalsifikasi. Sedangkan modalitas pemeriksaan
imaging yang paling baik dalam menilai perubahan pada jaringan lunak dan sumsum tulang
penderita kaki diabetik adalah MRI.Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya edema dan
osteomielitis sebagai tahap awal dari neuroartropati dengan sensitifitas dan spesifisitas yang
tinggi (90-100% dan 40-100%).MRI memiliki kemampuan multiplanar imaging dengan kontras
19 yang tinggi pada jaringan lunak sehingga dapat menilai ada tidaknya infeksi.
Pemeriksaan lain yang memiliki sensitifitas lebih baik untuk menilai adanya perubahan
awal neuroartropati maupun osteomielitis adalah radioisotope , tetapi biayanya mahal dan
waktunya lama. Metoda bone scan yang paling sering digunakan adalah nuclear medicine
scintigraphy (NMS) yaitu scintigraphy tiga fase pada tulang menggunakan 99m-technetium
(99mTc) phosphonates. Pengambilan tiga fase tersebut untuk menilai adanya hiperperfusi fokal,
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
hiperemia fokal dan imaging dari tulang untuk mengetahui adanya oesteomielitis.Pemeriksaan
ini memiliki sensitifitas 94% dan spesifisitas 95%. Prosedur radionuklida yang sering
dikombinasi dengan bone scan ini adalah labeled leucocytes imaging, yaitu mendeteksi
akumulasi leukosit pada jaringan lunak dan tulang dengan adanya uptake 99mTc. Akurasi
pemeriksaan ini meningkat dengan sensitifitasnya menjadi 72-100% dan spesifitasnya menjadi
72-98%
Menjelaskan mengenai keparahan dari luka ulkus yang dialami karena dapat terjadi
resiko yang besar apabila tidak ditangani segera. Dan juga pada luka ini jenis luka
terbuka yang mudah mengalami infeksi di takutkan apabila tidak ditatalaksana segera
akan mengakibatkan kematian jaringan pada kaki dan perlu dilakukan tindakan serta
pertimbangkan juga karena ada faktor-faktor resiko.
Dukungan keluarga baik emosional dan moril sangat dibutuhkan pasien dalam
pengobatan
Jika pasien kembali dari RS rujukan, apa yang harus anda evaluasi?
2. Mengamati perubahan pada luka (dasar luka, tepi luka dan jaringan sekitar luka)
7. Mengedukasi pasien tentang merawat luka agar tetap terawat ketika sampai dirumah,
rutin mengonsumsi obat
10. Mengistirahatkan kaki, Menghindari tekanan pada daerah kaki yang luka Menggunakan
bantal saat berbaring pada tumit kaki/bokong/tonjolan tulang untuk mencegah lecet
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu mengerti dan menguasai
No Target pembelajaran
S 2 Mampu melakukan anamnesis mengenai keluhan pasien
O 3 Mengetahui jenis malformasi vascular dan vascular tumor
4 Mampu melakukan pemeriksaan fisik kelainan benjolan pembuluh darah
(inspeksi, palpasi, auskultasi jika diperlukan)
A 3 Mampu membuat diagnosis kelaian pembuluh darah
P 4 Mampu memutuskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
5 Mampu melakukan komunikasi edukasi kepada pasien atau keluarga
mengenai kondisi pasien, tujuan tatalaksana, dan alasan perujukan
6 Mampu mengenali kasus-kasus yang perlu dirujuk ke spesialis bedah plastik
dan tata cara merujuknya.
7 Mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan
Berdasarkan anamnesis, hemangioma infantil mulai muncul di usia 2-8 minggu dan bertumbuh cepat di
usia 6-12 bulan. Sedangkan pada hemangioma kongenital, lesi biasanya sudah dapat dilihat dari sejak
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
lahir.Kelainan awal yang mungkin orang tua temukan pada kulit saat bayi baru lahir adalah warna pucat
pada area kulit tertentu disertai telangiektasis (pelebaran pembuluh darah kapiler), warna kemerahan pada
kulit (tidak menonjol), ataupun luka pada kulit (ulcer). Di area tersebut, kemudian akan muncul benjolan
dapat berupa plak, papul, atau nodul yang berwarna kemerahan (superfisial) ataupun keunguan, kebiruan,
atau sewarna kulit bila hemangioma melibatkan jaringan dermis yang lebih dalam, subkutan, maupun
otot.
Dokter juga harus menanyakan mengenai riwayat keluarga, terutama ayah atau ibu kandung yang
memiliki hemangioma juga. Tanyakan faktor risiko antenatal seperti usia ibu saat melahirkan, riwayat
ibu preeklampsia atau plasenta previa, riwayat pemeriksaan chorionic-villus sampling ataupun
pembuahan in vitro, dan lain-lain.
1. gejala TIK meningkat oleh karena perdarahan(paling sering): 50%. Puncak kejadian umur 15-20
tahun
2. Kejang
3. Efek masa, ex : trigeminal neuralgia karena CPA AVM
4. Iskemia : steal effect
5. Sakit kepala
1. Malformasi vena: Malformasi vena dapat terjadi di semua bagian tubuh, dalam berbagai bentuk
dan ukuran. Bisa berupa benjolan jaringan lunak kecil di bagian wajah atau tubuh, atau kadang
berupa benjolan besar dimana wajah atau bagian tubuh lain dapat bengkak seluruhnya. Gangguan
ini bisa sangat mengganggu pasien jika terjadi di bagian organ intim wanita atau anus.
Malformasi vaskuler juga terjadi di kepala dan leher, dan sering terjadi pada bagian wajah.
Kondisi ini dapat disertai dengan gangguan psikologis, pendarahan, dll
2. Malformasi arteri-vena: Arteriovenous malformation/AVM adalah kelainan kongenital dilatasi
abnormal pembuluh darah disebabkan aliran darah arteri langsung berhubungan dengan draining
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
vein tanpa mealui jaringan kapier normal . Tidak didapatkan jaringan parenkim otak didalam
nidus. Seringkali ditemukan karena terjadi komplikasi perdarahan (resiko terjadi perdarahan
spontan 2-4%/tahun), jarang ditemukan kejang. Aliran darah dalam AVM berubah dari tekanan
rendah pada saat lahir,menjadi tekanan sedang - tinggi pada saat dewasa sehingga lesi AVM
cenderung membesar.
Pada pemeriksaan fisik paling sering ditemukan hemangioma di daerah kraniofasila (60%), kemudian di
tubuh (25%) dan ekstremitas (15%).Delapan puluh persen merupakan lesi tunggal, dan 20% adalah lesi
multipel. Sering juga disertai tumor pada organ lain terutama hati. Jarang hemangioma ekstrakutan tanpa
disertai lesi kulit.Presentasi hemangioma dapat sangat bervariasi dalam ukuran, luas dan
morfologinya.Jika mengenai superfisial dermis, kulit menjadi menimbul, keras dan berwarna kemerahan
cerah.Bila lesi terbatas pada dermis yang lebih dalam, subkutis atau otot, kulit di atasnya mungkin hanya
terangkat sedikit, hangat pada perabaan atau tampak kebiruan.Hemangioma pada ekstremitas dapat
berupa gambaran teleangiektasi.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Mampu membuat diagnosis kelaian pembuluh darah dan mampu memutuskan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan
Untuk penegakan diagnosis Hemangioma dan Malformasi Arterivena dapat ditegakkan secara klinis
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti yang sudah di jelaskan diatas serta pemeriksaan
penunjang yang dapat berupa:
Mampu melakukan komunikasi edukasi kepada pasien atau keluarga mengenai kondisi pasien,
tujuan tatalaksana, dan alasan perujukan
Edukasi orang tua pasien bahwa hemangioma adalah sejenis tumor jinak yang sering kali orang awam
anggap sebagai tanda lahir.Pada sebagian besar kasus tindakan yang diperlukan adalah observasi dan
menunggu involusi spontan hemangioma.Pada pasien yang dilakukan observasi, edukasi orang tua pasien
untuk membawa anak kontrol secara teratur untuk dilakukan evaluasi terhadap lesi atau bila terjadi
perdarahan pada lesi, pertambahan ukuran yang cepat, muncul gangguan pada penglihatan dan
pernapasan anak, serta tanda-tanda bahaya lainnya.Konsultasi dengan beberapa spesialis multidisiplin
(dokter spesialis kulit, mata, bedah plastik, anak) juga mungkin diperlukan.
Dianggap perlu adanya edukasi yang baik bagi pasien MAV tentang kondisi dan prognosis dari
tatalaksana MAV agar dapat dicapai hasil yang optimal dalam tatalaksana kasus MAV.Yang merupakan
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
salah satu faktor untuk menentukan tatalaksana yang tepat cukup sulit antara lain karena sering kali
pasien datang berobat dengan keadaan lanjut seperti gangguan fungsi, gangguan kosmetik hingga karena
perdarahan dari lesi yang menyebabkan pasien datang sudah dalam keadaan anemia bahkan syok, hal ini
disebabkan karena edukasi pada pasien tentang kondisi serta perjalanan penyakit MAV ini dimana lesi
tidak dapat sembuh, melainkan hanya dapat dikendalikan progresifitasnya sehingga membuat pasien
enggan menjalani terapi dan tindak lanjut secara berkala.
Mampu mengenali kasus-kasus yang perlu dirujuk ke spesialis bedah plastik dan tata
caramerujuknya.
Jika hemangioma dan malformasi arterivena terjadi di kulitrujuklah ke dokter spesialis bedah plastik
Tujuan utama di rujuk bedah plastik adalah untuk mengembalikan fungsi kulit dan jaringan sehingga
sebisa mungkin dapat kembali normal.Sementara tujuan kedua adalah untuk memperbaiki penampilan.
Segera menerima dan melakukan stabilisasi pasien, setelah stabil, meneruskan pasien keruang perawatan
elektif untuk perawatan selanjutnya atau meneruskan ke sarana kesehatan yang lebih mampu untuk
dirujuk lanjut, dan melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan klinis pasien.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
FACIAL FRACTURE
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu mengerti dan menguasai
No Target pembelajaran
1 Mampu melakukan primary survey
S 2 Mampu melakukan anamnesis mengenai mekanisme kejadian dan keluhan
yang berhubungan dengan fraktur wajah
O 3 Mengetahui anatomi tulang wajah
4 Mampu melakukan pemeriksaan fisik patah tulang wajah
(inspeksi, palpasi, intraoral)
A 3 Mampu membuat diagnosis jenis fraktur wajah
P 4 Mampu memutuskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
5 Mampu melakukan komunikasi edukasi kepada pasien atau keluarga
mengenai kondisi pasien, tujuan tatalaksana patah tulang wajah, dan alasan
perujukan
6 Mampu mengenali kasus-kasus yang perlu dirujuk ke spesialis bedah plastik
dan tata cara merujuknya.
7 Mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini disebut survei primer dalam
trauma yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit.
Airway
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas ? Jika ada obstruksi
maka lakukan :
1. Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
2. Suction / hisap (jika alat tersedia)
3. Guedel airway / nasopharyngeal airway
4. Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
Breathing
Menilai pernafasan cukup.Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas. Jika pernafasan tidak
memadai maka lakukan :
Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah.Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas dan pernafasan
cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau sama sekali
tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale
1. AWAKE = A
2. RESPONS BICARA (verbal) = V
3. RESPONS NYERI = P
4. TAK ADA RESPONS = U
Mampu melakukan anamnesis mengenai mekanisme kejadian dan keluhan yang berhubungan
dengan fraktur wajah
Anatomi kepala bersifat kompleks, baik dari sifat fisik kulit, tulang, dan otak sangat berbeda.Komponen
skeletal wajah tersusun supaya apabila terjadi retak akibat trauma jarang mengganggu jaringan
didalamnya.Tingkat keparahan dan pola fraktur tergantung pada besarnya kekuatan trauma, durasi
trauma, percepatan yang diberikan ke bagian tubuh yang terkena, dan laju perubahan percepatan serta luas
permukaan impaksi.
Regio Maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian, bagian pertama merupakan wajah bagian atas (upper face),
dimana fraktur dapat terjadi meliputi tulang frontal dan sinus frontalis.Bagian kedua merupakan wajah
tengah (midface), dibagi menjadi bagian atas dan bawah.Bagian atas midface dimana terjadi fraktur Le
Fort II dan Le Fort III dan atau fraktur tulang hidung, nasoethmoidal atau kompleks zygomaticomaxillary,
dan dasar orbita.Fraktur Le Fort I merupakan fraktur midface bagian bawah.Sedangkan bagian ketiga dari
regio Maksilofasial adalah wajah bagian bawah, yaitu fraktur yang terjadi pada mandibula. Panfacial
fracture merupakan fraktur yang melibatkan ketiga regio maksilofasial tersebut. Tujuan pada perawatan
pada trauma wajah yang parah adalah rekonstruksi 3D dengan proyeksi wajah sebelum terjadinya trauma
serta restorasi bentuk dan fungsi. Susunan anatomi tulang-tulang maksilofasial dapat lebih jelas dilihat
pada gambar berikut
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Pemeriksaan fisik
Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilofasial pada orang dewasa.
Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III merupakan fraktur yang
paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus fraktur NOE.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
2. Fraktur Zigomatikomaksila
Zygomaticomaxillary complex (ZMC) mempunyai peran penting pada struktur, fungsi, dan
estetika penampilan dari wajah.ZMC memberikan kontur 15 pipi normal dan memisahkan isi
orbita dari fossa temporal dan sinus maksilaris. Zigoma merupakan tempat melekat dari otot
maseter, oleh karena itu kerusakannya akan berpengaruh terhadap proses mengunyah.
Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding penopang yaitu
zygomaticomaxillary, frontozygomatic, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal.Fraktur
ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada fraktur maksilofasial setelah fraktur nasal.
Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight dan North.
Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut
dibagi menjadi enam yaitu
1. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara klinis dan radiologi
2. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya langsung yang
menekuk malar eminence ke dalam
3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi
4. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial
5. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral
6. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan sepanjang fragmen
utama
Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan 3 hanya membutuhkan
reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur kelompok 4, 5, dan 6 membutuhkan fiksasi untuk
reduksi yang adekuat.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
3. Fraktur Nasal
Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi fraktur tulang wajah
yang paling sering.Fraktur tulang nasal telah meningkat baik dalam prevalensi maupun keparahan
akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu lintas. Fraktur tulang nasal mencakup 51,3% dari
seluruh fraktur maksilofasial. Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu.
1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah
2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah
3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan penopang septal
yang utuh
4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis tengah
hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum
5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling dari hidung,
cedera terbuka, dan robeknya jaringan
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Ada dua tipe fraktur maksila non Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah fraktur
karena trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur yang
kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata penyebab.
Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang
umum pada cedera ini. Yang kedua adalah fraktur karena gaya dari submental yang diarahkan
langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur vertikal melalui beberapa tulang
pendukung horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan zygomatic arches.
5. Fraktur Mandibula
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang bergerak.Pada
mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh darah, otot, serta
persarafan.Mandibula merupakan dua buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis.
Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular joint (TMJ).Fungsi
yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari gigi.Fraktur mandibula dapat
mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ,
gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri
kronis.Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis,
badan, angulus, ramus, kondilar, dan subkondilar.
Mampu melakukan komunikasi edukasi kepada pasien atau keluarga mengenai kondisi pasien,
tujuan tatalaksana patah tulang wajah, dan alasan perujukan
Pemberian edukasi pasien dan keluarga adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka
memberikan informasi terhadap masalah kesehatan pasien yang belum diketahui pasien dan
keluarganya.Sedangkan hal tersebut perlu diketahui untuk membantu dan mendukung penatalaksanaan
medis atau tenaga kesehatan lainya.
Oleh : Fazilla Maulidia (G1A219104), Teguh Eko Prasetyo (G1A220010)
Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE
Sedangkan tujuan dari semua terapi fraktur adalah mengembalikan bentuk dan fungsi seperti semula.Hal
tersebut dapat dicapai dengan melakukan imobilisasi menggunakan fiksasi internal dan eksternal.Dokter
bedah plastik yang memiliki keahlian khusus dalam anatomi wajah, latar belakang estetika, dan keahlian
dalam penyembuhan luka sering kali mendapatkan rujukan untuk menangani pasien trauma wajah.
Segera menerima dan melakukan stabilisasi pasien, setelah stabil, meneruskan pasien keruang perawatan
elektif untuk perawatan selanjutnya atau meneruskan ke sarana kesehatan yang lebih mampu untuk
dirujuk lanjut, dan melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan klinis pasien.