Anda di halaman 1dari 21

REFRESHING

ATLS

Pembimbing :

dr. Gatot Sugiharto Sp.B

Disusun Oleh :

Dyah Rachmayanti Asysyifa (2011730027)

KEPANITERAAN KLINIK

STASE BEDAH RS SEKARWANGI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2016
ATLS

(ADVANCE TRAUMA LIFE SUPPORT)


Kasus-kasus yang perlu penanganan bantuan hidup dasar seperti :

Tenggelam
Kecelakaan
Serangan jantung
Kesetrum listrik
Kehabisan oksigen dan darah
Pangkal lidah yang menutupi tenggorokan

Tujuan dari bantuan hidup dasar adalah menormalkan kembali sistem tubuh antara lain yaitu :
- Sirkulasi pernapasan

- Sirkulasi peredaran darah

Penanganan bantuan hidup dasar merupakan suatu tindakan untuk mencegah terjadinya
kematian. Dari jenis kematian dibagi 2 yaitu :

Mati klinis : Keadaan tanpa napas dan nadi yang baru terjadi sekitar 4-6 menit (bersifat
reversible) belum terjadi kerusakan sel-sel otak.
Mati biologis : suatu keadaan tanpa napas dan denyut nadi yang terjadi lebih dari 8
menti, atau adanya tanda-tanda mati.

Tanda-tanda kematian berupa :

Adanya kekakuan mayat


Terdapat kebiruan disekitar tubuh
Suhu tubuh dingin
Pupil tidak ada refleks dan melebar
Gangguan Mati dalam

Airway Sumbatan 3-5

Breathing Henti nafas 3-5

Circulation Shock berat 1-2 jam

Disability Coma 1-2 minggu

Doktrin pertolongan pasien gawat adalah Time saving is life saving, dimana waktu dan data
dasar untuk bertindak sangat terbatas. Sehingga diperlukan konsep berpikir sederhana, tindakan
sistematik dan ketrampilan yang memadai dalam menolong pasien. Prognosis pasien trauma
paling baik pada jam pertama atau yang disebut The Golden Hour.

Trauma meruupakan salah satu yang membutuhkan tindakan bantuan dasar, trauma di negara
berkembang banyak menghadapi kendala sehingga menyebabkan perbedaan konsep penanganan.
Yang disebabkan oleh berbagai macam kendala berupa sumber dana, sumber fasilitas dan
komunikasi yang terbatas. Karena oleh karena keterbatasan ini maka tetap berarah ke
pertolongan individu, membantu dan mengembangkan sistem dan melihat ke arah prevensi.

Pedoman penanganan Hidup dasar (Basic and Advance Life Therapy Support) adalah A, B, C.

Basic and Advance Life Therapy Support (dulu) :

Airway
Breathing
Circulation
Drugs
ECG
Fibrilation Treatment
Basic and Advance Life Therapy Suppport (Sekarang) :

Airway
Breathing
Circulation
Disabilty
Exposure/ Enviroment

Tujuan :

1. Evaluasi korban dengan cepat dan tepat

2. Resusitasi & stabilisasi korban sesuai prioritas.

3. Menentukan kebutuhan korban cukup/melebihi fasilitas yang ada.

4. Mengatur cara rujukan antar rumah sakit.

5. Menjamin bahwa penanganan korban sudah optimum.

ATLS terdiri dari Initial Assesment. Initial Assesment adalah penilaian awal yang cepat tepat dan
sistematis terhadap pasien trauma. Initial Assesment terdiri dari 10 langkah, yaitu:

1. Persiapan

a. Fase pra-rumah sakit

RS diinformasikan sebelum penderita dibawa dari tempat kejadian.

Penjagaan airway, kontrol pendarahan, imobilisasi penderita & pengiriman ke RS


terdekat.

Mengumpulkan keterangan : waktu kejadian, sebab & riwayat penderita, mekanisme


kejadian
b. Fase rumah sakit

Lakukan perencanaan sebelum penderita tiba.

Persiapkan : ruangan / daerah resusitasi, perlengkapan airway & sudah dicoba, ringers
lactate yg sudah dihangatkan, perlengkapan monitoring.

Tenaga medik tambahan, tenaga lab & radiologi

2. Triase

Pemilihan korban berdasarkan kebutuhan ABCnya, tingkat cedera, serta fasilitas yang
ada.

Golongan/pelabelan pasien adalah sebagai berikut;

- Golongan Nol (hitam) : Pasien sudah tidak dapat diselamatkan lagi (meninggal
seketika).
- Golongan Pertama (merah) : Pasien yang paling diutamakan untuk ditolong,
biasanya pasien yang cedera berat seperti cedera maksilofasial, cedera thorax, cedera
abdomen, dimana semua cedera tersebut disertai dengan syok hipovolemik. Luka
bakar yang berat dan fraktur terbuka juga termasuk dalam pelabelan golongan
pertama.
- Golongan Kedua (kuning) : Biasanya pasien dengan trauma seperti fraktur
ekstremitas, cedera abdomen, cedera thorax yang semuanya tanpa disertai syok
hipovolemik.
- Golongan Ketiga (hijau) : Pasien dengan trauma ringan, misalnya hanya terdapat
erosi-erosi pada kulitnya.

3. Primary Survey (ABCDE)

Adalah penilaian utama terhadap pasien, dilakukan dengan cepat, bila ditemukan hal
yang membahayakan nyawa pasien, langsung dilakukan tindakan resusitasi.
- A : AIRWAY. Jika pasien sadar : Dengarkan suara yang dikeluarkan pasien, ada
obstruksi airway atau tidak. Jika pasien tidak sadar : Look ; ada sumbatan airway atau
tidak, Listen; suara-suara nafas, Feel ; hembusan nafas pasien.

Untuk mengetahui dan menilai pasien sadar atau tidak, kita menilai dengan mengajak
bicara pasien. Jika pasien dapat menjawab dengan baik maka dapat dinilai kesadaran
pasien dan tidak adanya sumbatan pada jalur pernapasan pasien.

Salah satu tanda adanya sumbatan pada pasien adalah :

Mendengkur : pangkal lidah (snoring)


Suara berkumur : cairan (gaargling)
Stridor : kejang / edema pita suara (crowing)

Kalau terjadi obstruksi parsial maka pasien akan menunjukan tanda bunyi nafas
tambahan. Beberapa bunyi nafas itu antara lain:

1. Gurgling (kumur-kumur) = obstruksi akibat adanya air dalam saluran nafas.


Penanganannya melalui suction. Terdapat dua jenis suction yakni, yang elastic
dan yang rigid. Pilih saction yang rigid karena lebih mudah diarahkan. Jangan
melakukan tindakan yang berlebihan di daerah laring sehingga tidak timbul vagal
refleks.
2. Stridor (crowing) = obstruksi karena benda padat dan terjadi pada URT.
Penanganan pertama nya dengan penggunaan endotracheal tube (ETT)

3. Snorg (mengorok) = biasa nya obstruksi karenan lidah terlipat dan pasien dalam
keadaan tidak sadar. Penangannya yang pertama dengan membuka mulut pasien
dengan jalan; chin lift atau jaw trust. Kemudian diikuti dengan membersihkan
jalan nafas melalui finger sweep (cara ini tidak amam karena memungkinkan
trauma mekanik pada jari dokter) atau melalui bantuan instrumen.

Tindakan berikutnya dengan pemasangan oropharingeal tube (untuk pasien tidak


sadar) atau nasopharyngeal tube untuk pasien sadar. Sebagai tambahan info, bahwa
pada oropharingeal tube terdapat tiga jenis ukuran sehingga sebelum memasangnya
dokter harus menentukan ukuran yang sesuai. Cara mudahnya dengan menyamakan
ukuran dengan panjang dari lubang telinga ke sudut mulit atau panjang dari sudut
telinga ke lubang hidung, Begitu pula dengan pemasangan nasopharingeal tube.
C-spine kontrol mutlak harus dilakukan terutama pada pasien yang mengalami trauma
basis crania (Suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang tebal.
Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada Duramater). Cirinya adalah keluar
darah atau cairan bercampur darah dari hidung atau telinga. C-spine kontrol dilakukan
dengan indikasi:

a. Multiple trauma
b. Terdapat jejas di daerah serviks ke atas
c. Penurunan kesadaran.
d. Jika semuanya gagal, maka terapi bedah menjadi pilihan terakhir.

Jika terjadi dalam waktu yang lama keadaan pasien akan makin parah maka akan muncul tanda-
tanda berupa yaitu :

Gelisah (hipoksia)
Gerak otot nafas tambahan (tracheal tug, retraksi sela iga)
Gerak dada dan gerak paradoksal
Sianosis (Tanda lambat)

Ada berbagai cara pembebasan jalan nafas yaitu :

Sumbatan pangkal lidah


o Jaw thrust
o Chin lift
o Jalan nafas orofaring
o Jalan nafas nasofaring
o Intubasi trakea / LMA
Bersihkan cairan
o Penghisap / suction
Sumbatan di plica vocalis
o Cricothiroidotomy

Orofaringeal tube

Nasofaring tube

Necklift

(Necklift, jawthrust dan chinlift kontraindikasi pada pasien dengaan trauma cervikal)
Chinlift

Jawthrust

Cricotiroidotomy

Obstruksi terbagi menjadi 2, yaitu :

* Obstruksi airway totalis : yaitu penghambatan jalan nafas secara total, biasanya
karena tersedak. Jika pasien tidak sadar, bisa terjadi sianosis, dan resistensi
terhadap nafas buatan. Jika pasien sadar, pasien akan terlihat berusaha bernafas
dan memegang lehernya dalam keadaan sangat gelisah, bisa ditemukan sianosis.

* Obstruksi airway parsial : yaitu penghambatan jalan nafas karena:


Cairan seperti darah, cairan serosa. Terdengar bunyi gurgling atau seperti
orang berkumur-kumur.
Lidah Jatuh kebelakang, terdengar bunyi snoring atau seperti orang
mengorok.
Penyempitan laring/trakea. Biasanya karena edema di daerah leher.
Terdengar bunyi crowing atau bunyi high pitched karena penyempitan
tersebut.

Pada Airway juga harus diperhatikan kontrol servikal , karena harus dipastikan ada
trauma atau fraktur servikal/tidak. Trauma dari Os. Clavicula keatas sudah dianggap
pasien trauma inhalasi.

Pada korban trauma yang tidak sadar adan atau tidak diketahui mekanisme terjadinya
trauma dengan pasti, meskipun tidak ditemukan adanya tanda cedera leher, patut
dicurigai mengalami cedera leher. Tindakan yang menyebabkan bergeraknya servikal
pada cedera leher dapat menyebabkan henti napas dan henti jantung seketika.

Kontrol servikal dapat dilakukan dengan bantuan colar neck atau dengan bantuan benda
keras lainnya yang dapat menahan kepala dan leher untuk tidak bergerak. Dapat pula
menggunakan kedua tangan atau paha penolong (jika penolong lebih dari 1 orang) sambil
melakukan control pada jalan napas korban.

- B : BREATHING. Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang
baik meliputi: fungsi paru baik, dinding dada dan diafragma. Nilai frekuensi
pernafasannya, lihat ada sesak atau tidak, lihat ada trauma di thorax atau tidak,
tanda-tanda sianosis juga harus diperhatikan.

Tanda-tanda pernafasan yang memadai (adekuat)


Dada dan perut bergerak naik turun seirama dengan pernafasan
Udara terdengar dan terasa saat keluar dari mulut/hidung
Penderita tampak nyaman
Frekuensi cukup
Tanda-tanda pernafasan tidak adekuat
Gerakan dada kurang baik
Ada suara nafas tambahan
Sianosis
Frekuensi kurang atau lebih
Perubahan status mental (gelisah)

Tanda-tanda tidak adanya pernafasan


Tidak ada gerakan dada atau perut
Tidak terdengar aliran udara mulut atau hidung
Tidak terasa hembusan nafas dari mulut atau hidung

Lihat keadaan torak pasien, ada atau tidak cyanosis, dan kalau pasien sadar maka pasien
mampu berbicara dalam satu kalimat panjang. Keadaan dada pasien yang mengembung
apalagi tidak simetris mungkin disebabkan pneuomotorak atau pleurahemorage. Untuk
membedakannya dilakukan perkusi di daerah paru. Suara paru yang hipersonor
disebabkan oleh pneumotorak sementara pada pleurahemorage suara paru menjadi
redup. Penanganan pneumotorak ini antara lain dengan menusukan needle 14 G di
daerah yang hipersonor atau pengguanan chest tube.

Jika terdapat henti napas :

Hal yang dapat dilakukan antara lain Resusitasi Paru, bisa dilakukan melalui :
a. Mouth to mouth
b. Mouth to mask
c. Bag to mask (Ambu bag).

Jika menggunakan ventilator oksigen dapat diberikan melalui :

a. Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu memberikan oksigen


24-44 %. Sementara saturasi oksigen bebas sebesar 21 %.

b. Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask hanya
sebesar 35-60%.

c. Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing mask


inilah pilihan utama pada pasien cyanosis. Konsentrasi oksigen yang
diantarkannya sebesar 80-90%. Perbedaan antara rebreathing mask dan non-
rebreathing mask terletak pada adanya valve yang mencegah udara ekspirasa
terinhalasi kembali.

Note : pada pasien pneumotorok perhatikan adanya keadaan pergesaran


mediastinum yang tampak pada pergeseran trakea, peningkatan tekanan vena
jugularis, dan kemungkinan timbul tamponade jantung

- C : CIRCULATION. Setelah melakukan penangan pada system pernapasan, sistem


sirkulasi dapat segera dinilai dengan cara :

- Memeriksa denyut nadi (radialis atau carotis). Pada orang dewasa dan anak-anak,
denyut nadi diraba padaarteri radialis dan arteri carotis (medial dari M.
Sternocleidomastoideus). Sedangkan pada bayi, meraba denyut nadi adalah pada
A.Brachialis, yakni pada sisi medial lengan atas. Frekuensi denyut jantung pada orang
dewasa adalah 60-100 kali/menit. Bila kurang dari 50 kali/menit disebut bradikardi dan
lebih dari 100 kali/menit disebut takikardi. Bradikardi normal sering ditemukan pada atlit
yang terlatih. Pada bayi frekuensi denyut jantung adalah 85-200 kali/menit sedangkan
pada anak-anak adalah 60-140 kali/menit. Pada syok bila ditemukan bradikardi
merupakan tanda diagnostic yang buruk.
- Menilai warna kulit
- Meraba suhu akral dan kapilari refill
- Periksa perdarahan

Selain itu, kesadaran yang menurun dapat digunakan sebagai penilaian terhadap adanya
masalah pada system sirkulasi, karena kurangnya perfusi oksigen ke otak dapat
menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.

Pemeriksaan sirkulasi dapat dilakukan bersamaan dengan penilaian jalan napas dan
system pernapasan. Pada saat melakukan penilaian jalan napas, nadi radialis maupun nadi
carotis dapat pula teraba.

Jika ditemukan perdarahan terbuka segera tutup dengan bebat tekan. Cegah
bertambahnya jumlah darah yang keluar. Waspada terhadap terjadinya shock. Penanganan
luka secara baik dilakukan setelah korban stabil.

Jika ditemukan henti jantung, penderita mungkin masih akan berusaha menarik napas
satu atau dua kali, setelah itu akan berhenti napas. Penderita akan ditemukan dalam
keadaan tidak sadar. Pada perabaan nadi tidak ditemukan arteri yang tidak berdenyut,
maka harus dilakukan masase jantung luar yang merupakan bagian resusitasi jantung paru
(RJP, CPR).

Kesimpulan Circulation dengan kontrol perdarahan;


1.Penilaian
- Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
- Mengetahui sumber perdarahan internal
- Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak
diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi
masif segera.
- Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
- Periksa tekanan darah
D : Dissability. Penilaian neurologis cepat (apakah pasien sadar, member respon suara
terhadap rangsang nyeri, atau pasien tidak sadar). Tidak ada waktu untuk melakukan
pemeriksaan Glasgow Coma Scale, maka sistem AVPU pada keadaan ini lebih jelas dan
cepat:

- Awake (A)
- Verbal response (V)
- Painful response (P)
- Unresponsive (U)

Pada tahap ini dokter diharapkan menilai keadaan neurologic pasien. Status neurologic
yang dinilai melalui GCS (Glasgow Coma Scale) dan keadaan pupil serta kecepatannya.

Hal yang dinilai dari GCS antara lain (E-V-M)

Eye

4. Membuka spontan

3. Membuka terhadap suara

2. Membuka terhadap nyeri

1. Tidak ada respon

Verbal

5. Berorientasi baik

4. Berbicara tapi tidak berbentuk kalimat

3. Berbicara kacau atau tidak sinkron

2. Suara merintih atau menerang

1. tidak ada respon

Motorik

6. Mengikuti perintah

5. Melokalisir nyeri

4. Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)

3. Fleksi abnormal (dekortikasi)

2. Ekstensi abnormal (deserebrasi)


1. tidak ada respon (flasid)

Kesadaran baik >13, sedang 9 -12, Buruk /koma < 8

Respon pupil dinilai pada kedua mata. Jika terdapat lateralisasi maka
kemungkinan terdapat cedera kepala yang ipsilateral. Jika respon pupil lambat
maka kemungkinan terdapat cedera kepala.

- Exposure. Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka/trauma lain secara
generalis. Tetapi jaga agar pasien tidak hipotermia.

- Buka pakaian pasien untuk mengeksplorasi tubuh pasien untuk melihat kemungkinan
adanya multiple trauma. Kemudian selimuti pasien agar mencegah hipothermi.

- Setelah semua dilakukan dan keadaan pasien menjadi stabil lakukan kembali
Secondary Survey Pelayan Kesehatan diharapkan memeriksan kembali dari awal,
anamnesis riwayat pasien, lakukan pemeriksaan neurologi yang komplit (tes refleks,
CT-scan, MRI), dan membuat diagnosis spesifik, dan lainnya.

4. Resusitasi

Prinsip : resusitasi yang agresif & pengelolaan cepat dari keadaan yang mengancam
hidup. Mutlak bila ingin penderita tetap hidup.

A. Airway

Harus dijaga dengan baik, dapat menggunakan Jaw thrust / Chin lift bila lidah jatuh
kebelakang. Perasat helmnich bila tersedak, dan finger sweep bila ada cairan.

Pasien sadar dipakai naso-pharyngeal airway

Pasien tidak sadar/tidak ada gag refleks dipakai oro-pharyngeal airway

Jika ragu airway definitif

B. Breathing/ventilasi/oksigenasi
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway tergganggu karena faktor mekanik, ada
gangguan ventilasi/ kesadaran, dicapai dengan intubasi endo-trakeal baik oral maupun
nasal.

Surgical airway (crico-thyroidotomy) dapat dilakukan bila intubasi endo-trakeal tidak


memungkinkan karena kontra-indikasi/masalah teknis

C. Circulation (dengan kontrol pendarahan)

Pada saat datang penderita diinfus cepat dgn 2-3 liter cairan kristaloid (RL)

Kateter yang dipakai harus ukuran yang besar

Besar arus (tetesan infus) tergantung dari besar kateter IV

Bila tidak ada respon diberikan darah se-golongan

5. Tambahan Primary Survey

Monitoring EKG, laju nafas, nadi, tekanan darah, ABG (Arterial Blood Gases), suhu,
ekskresi urin. Pasang kateter urin dan lambung.

Rontgen : pemakaian foto rontgenharus selektif, tapi jangan mengganggu proses


resusitasi.

6. Secondary Survey (anamnesa & pemeriksaan head to toe)

Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi dilakukan dan
ABC-nya penderita dipastikan membaik.

A. Anamnesis
A : Alergi

M : Medikasi (obat yg diminum saat ini)

P : Past illnes ( penyakit penyerta)/ pregnancy

L : Last meal

E : Event/ environment (lingkungan) yg berhubungan dgn kejadian perlukaan

B. Pemeriksaan fisik

- Kepala - Abdomen

- Maxilo-facial - Perineum/vagina/rektum

- Leher - Muskulo-skeletal

- Thorax - Pemeriksaan neurologis lengkap

7. Tambahan Secondary Survey

Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika penderita dlm
keadaan stabil.

1. CT Scan (head, thorax, abdomen)

2. Pemeriksaan rontgen dengan kontras

3. Foto ekstremitas & vertebrae

4. Endoskopi dan USG (transesofageal, bronkoskopi, esofagoscopi, urografi)


Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC pasien sudah stabil bila sewaktu survei
sekunder kondisi pasien memburuk maka kita harus kembali mengulangi PRIMARY
SURVEY.
Semua prosedur yang dilakukan harus dicatat dengan baik.
Pemeriksaan dari kepala sampai ke jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan
perhatian utama :
Pemeriksaan kepala
Kelainan kulit kepala dan bola mata
Telinga bagian luar dan membrana timpani
Cedera jaringan lunak periorbital
Pemeriksaan leher
Luka tembus leher
Emfisema subkutan
Deviasi trachea
Vena leher yang mengembang
Pemeriksaan neurologis
Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik
Penilaian rasa raba / sensasi dan refleks
Pemeriksaan dada
Clavicula dan semua tulang iga
Suara napas dan jantung
Pemantauan ECG (bila tersedia)

Pemeriksaan rongga perut (abdomen)


Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah
Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul abdomen kecuali bila ada
trauma wajah
Periksa dubur (rectal toucher)
Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus
Pelvis dan ekstremitas
Cari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes gerakan
apapun karena memperberat perdarahan)
Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
Cari luka, memar dan cedera lain
Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan) untuk :
Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak)
Pelvis dan tulang panjang
Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma kepala tidak disertai defisit
neurologis fokal
Foto atas daerah yang lain dilakukan secara selektif.
Foto dada dan pelvis mungkin sudah diperlukan sewaktu survei primer

8. Pemantauan & re-evaluasi berlanjut

Untuk memantau penurunan keadaan dengan evaluasi ulang terus-menerus, sehingga


gejala yang baru timbul segera dapat dikenali dan dapat ditangani secepatnya. Bila perlu
lakukan primary survey (ABCDE) dan Resusitasi ulang (ABC).

9. Penanganan definitif

Dimulai setelah primary survey dan sekunder selesai. Misalnya menangani keluhan-
keluhan pasien lain (selain yang trauma berat). Atau tindakan operatif, serta konsultasi ke
dokter spesialis, termasuk dalam tahap ini.

10. Rekam Medis & Rujukan

Catat data pasien di rekam medik. Bila fasilitas RS kurang memadai untuk menangani
pasien trauma, dapat dirujuk ke RS yang lebih lengkap fasilitasnya.
Daftar Pustaka

1. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam: Advanced


Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 7.
Komisi trauma IKABI, 2004; 168-193
2. Tabrani (1998), Agenda Gawat Darurat, Pembina Ilmu, Bandung
3. Hudack & Galo (1996), Perawatan Kritis; Pendekatan Holistik, EGC , Jakarta
4. Emanuelsen, K.L. & Rosenlicht, J.McQ. (1986). Handbook of critical care nursing.
New York: A Wiley
5. Dorland,2002,Kamus Saku Kedokteran .Jakarta :EGC
6. American College of Surgeon Committee of Trauma,2004.Advanced Trauma Life
Support Seventh Edition.Indonesia: Ikabi
7. Scheets,Lynda J.2002.Panduan Belajar Keperawatan Emergency.Jakarta: EGC
8. American College of Surgeon. 1997. Advanced Trauma Life Support Student
Manual.Trauma Abdomen. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
9. Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta
10. American College of Surgeons. 1997. Advanced Trauma Life Support. United States
of America: First Impression.
11. Fahmi R. 2010. Cedera Kepala. http://community.um.ac.id/archive/index.php/t-
55154.html
12. Purwadianto A. Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi Pedoman
Penatalaksanaan Praktis. Jakarta: Binarupa Aksara, pp: 47-49.
13. Setyono, H. 2011. Kuliah Penatalaksanaan Trauma Kepala. Surakarta : FKUNS.
14. .Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrtz Principles of Surgery. 8th
ed. McGraw-Hill, 2005; 1615-20.

Anda mungkin juga menyukai