Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PBL

SISTEM GAWAT DARURAT DAN TRAUMATOLOGI


MODUL 2
“GAGAL NAPAS”

Tutor : dr. Asrini Safitri Sp.GK M.Kes


DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3

1. SITTI NUR MISLA AK 11020160002


2. FIKRAH FAUZIAH 11020160005
3. ZAIDAN 11020160023
4. AINUN 11020160050
5. ZULFIKAR ANAND PRATAMA 11020160034
6. DINDA PRATIWI BASRI 11020160115
7. DEWI RAHMAN 11020160035
8. SUCI RAMADHANI 11020160083
9. PUTRI NADILA IRIYANTI S. 11020160021
10. RAHMADANI ALI UMER 11020160014

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019

1
KASUS II
Seorang laki-laki usia 50 tahun dibawa ke Puskesmas dengan keluhan sesak napas
dialami sejak 3 hari lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/70
mmHg, nadi 110 x/menit, pernapasan 30x/menit, temperature 37.2 oC. Pasien
nampak pucat disertai kesadaran menurun. Pasien memiliki riwayat asma dan
perokok berat.

KATA / KALIMAT KUNCI :


1. Seorang laki-laki usia 50 tahun
2. Keluhan sesak napas dialami sejak 3 hari lalu.
3. Pemeriksaan fisik :
Tekanan darah 120/70 mmHg
Nadi 110x/menit
Pernapasan 30x/menit
Temperature 37.2oC
4. Pasien nampak pucat disertai kesadaran menurun.
5. Pasien memiliki riwayat Asma dan perokok berat.

PERTANYAAN – PERTANYAAN PENTING


1. Bagaimana tindakan pertama pada penderita gagal napas berdasarkan
skenario?
2. Bagaimana tindakan lanjut jika tindakan awal gagal dilakukan berdasarkan
skenario ?
3. Sebutkan penyebab gagal napas
4. Hubungan riwayat asma dan merokok dengan gejala yang dialami pasien
5. Bagaimana cara penggunaan obat darurat berdasarkan skenario ?
6. Bagaimana komplikasi yang dapat terjadi berdasarkan skenario ?
7. Syarat-syarat transportasi dan rujukan
8. Perspektif Islam

2
JAWABAN PERTANYAAN

1. Bagaimana tindakan pertama pada penderita gagal napas berdasarkan


skenario ?
Tindakan pertama pada penderita gagal napas yang dilakukan berdasarkan
skenario antara lain1,2,3,4 :
Primary Survey
Primary survey adalah pemeriksaan secara cepat fungsi vital pada
penderita dengan cidera berat dengan prioritas pada ABCDE, dimana pada
kasus trauma prioritas tersebut disertai tindakan lain yang sesuai.
1. AIRWAY
Airway maintenance adalah mempertahankan jalan nafas bersama
menjaga stabilitas tulang leher (cervical control). Hal-hal yang perlu
dilakukan dalan penanganan airway adalah:
a. Pemeriksaan
Penderita dengan kesadaran menurun mempunyai resiko tinggi
untuk gangguan jalan nafas dan kerapkali memerlukan bantuan jalan nafas
definitif.Pada pemeriksaan awal, bila ditemukan penderita yang sadar yang
dapat berbicara untuk sementara dapat menjamin adanya airway yang baik,
karena itu tindakan yang pertama adalah berusaha berbicara dengan
penderita. Gangguan dalam menjawab pertanyaan menunjukkan gangguan
kesadaran, gangguan jalan napas atau gangguan pada pernafasan.
Penilaian pada saluran napas bertujuan untuk mengetahui adanya
obstruksi saluran napas seperti adanya benda asing, adanya fraktur
mandibula atau kerusakan trakea/larings yang dapat mengakibatkan
obstruksi saluran napas. Harus diperhatikan pula secara cermat mengenai
kelainan yang mungkin terdapat pada vertebra cervikalis.
Pada keadaan penderita yang masih bernafas, mengenali ada
tidaknya sumbatan jalan napas dapat dilakukan dengan cara look, listen and
feel.

3
Gambar 3.1 Look-Listen-Feel (LLF) Dilakukan Secara Simultan

1) Lihat (look)
Apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya
menurun.Agitasi memberi kesan adanya hiperkarbia.Sianosis menunjukkan
hipoksemia.Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan.
2) Dengar (listen)
Adanya suara-suara abnormal.Pernapasan yang berbunyi (napas
tambahan) adalah pernapasan tersumbat.Suara mendengkur (snoaring),
berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin
berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring dan laring.
3) Raba (feel)
Rasakan apakah ada hembusan udara ekspirasi atau tidak, dengan
menggunakan pipi. Rasakan pula ada tidaknya getaran di leher sewaktu
bernafas.
b. Permasalahan
Obstruksi jalan napas mungkin parsial atau lengkap dan dapat hadir
dalam sadar atau korban tidak sadar.Penyebab utama obstruksi jalan napas
bagian atas adalah lidah yang jatuh ke belakang dan menutup
nasofarings.Selain itu bekuan darah, muntahan, edem atau trauma juga dapat
menyebabkan obstruksi tersebut.

4
Terjadinya sumbatan jalan napas dapat menyebabkan kematian jika
kurang dari 4 menit tidak segera diberi pertolongan. Masalah yang dapat
terjadi pada jalan napas adalah:
1. Sumbatan total: makanan atau benda asing yang mengganjal atau
menghalangi jalan napas (chocking).
2. Sumbatan parsial: biasanya akan terdengar seperti mendengkur (snoring),
berkumur (gargling), stridor (crowing). Penyebabnya ialah:
a) Lidah jatuh ke belakang pada korban tidak sadar
b) Perdarahan atau banyaknya sekret dan edema larynx yang masih
proses (belum terjadi edema total).
c. Penanganan
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernapasan harus
dikerjakan dengan cepat dan tepat.Tindakan-tindakan yang digunakan untuk
membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh
karena itu, selama mengerjakan prosedur atau maneuver harus dilakukan
immobilisasi segaris (in-line immobilization).
Fraktur spinal cervical harus selalu dicurigai pada pasien trauma
meskipun tidak didapatkan cukup tanda yang menunjukkan adanya cidera di
atas clavicula. Collar cervical diperlukan namun tidak dapat memberikan
imobilisasi penuh dan bahkan dapat mengakibatkan kerusakan kulit dengan
penggunaan yang lama.

Gambar 3.2. Pemasangan Colar Neck


1) Head Tilt-Chin Lift
Bebaskan jalan nafas dari sumbatan pangkal lidah dengan satu tangan
di dahi korban. Doronglah dahi kebelakang agar kepala menengadah dan
mulut sedikit terbuka. Pertolongan dapat ditambah dengan mengangkat dagu.

5
Gambar 3.3. Teknik head tilt, chin lift
2) JawThrust
Pada korban yang tidak sadar posisi kepala cenderung fleksi.Akibat
fleksi ini, menyebabkan terjadinya sumbatan akibat pangkal lidah jatuh
kebelakang.Posisi kepala fleksi, jalan nafas buntu fleksi ekstensi. Jalan nafas
bebas karena kepala diposisikan ekstensi dengan Head tilt, Chin lift.
Jika dengan ekstensi kepala, penarikan mandibula ke depan dan
membuka mulut pasien yang dikenal sebagai triple airway maneuver masih
belum berhasil, maka perlu dipikirkan adanya sumbatan jalan napas.

Gambar 3.4. Teknik Jaw Thrust

Jika yang terjadi adalah sumbatan jalan napas total, maka yang dapat
dilakukan adalah:
1. Back blow
Jika di duga ada sumbatan benda asing, lakukan hentakan
punggung di antara scapula.

6
Gambar 3.5. Back blow
2. Abdominal thrust
Pada posisi berdiri atau duduk penolong harus berdiri dibelakang
korban, lingkari pinggang korban dengan kedua lengan penolong,
kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan
pada perut atau sedikit diatas pusat. Pegang erat kepalan tangan dengan
tangan lainnya. Tekan kepalan tangan ke perut dengan hentakan cepat
keatas. Setiap hentakan harus terpisah dan gerakan yang jelas.

Gambar 3.6. Abdominal Thrust

3. Chest trust
Teknik ini digunakan jika penolong dengan abdominal thrust tidak
dapat dilakukan. Pasien berdiri atau duduk, penolong berada di belakang
pasien dan menempatkan kepalan jari pada sternum, pertemuan antara
costa dan xiphoideus.Angkat dada ke atas.

Gambar 3.7. Chest Thrust

7
Jika terjadi sumbatan jalan napas parsial yang dapat dilakukan adala:
a. Penangan tanpa alat
Cross finger dan Finger sweep
Jika terdengar suara snoring maka dilakukan pengecekan langsung
dengan cara cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari,
yaitu ibu jari dan jari telunjuk tangan, ibu jari mendorong rahang atas ke
atas, telunjuk menekan rahang bawah ke bawah).Lihatlah apakah ada
benda yang menyangkut di tenggorokan korban.Pindahkan benda
tersebut.Jari-jari tangan menahan mandibula, ibu jari digunakan untuk
menahan pangkal lidah, sedangkan tangan yang lain digunakan untuk
menahan benda yang menyebabkan obstruksi.

Gambar 3.8. Cross Finger dan Finger Sweep


b. Penanganan dengan Menggunakan Alat
1) Pipa nasofaringeal

Gambar 3.9. Pipa Nasofaringeal


Langkah pemasangan :
1. Lumasi pipa nasofaringeal sebelum disisipkan.
2. Nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung yang
tampak tidak tertutup.
3. Lewatkan dengan hati-hati di orofaring posterior.

8
4. Bila hambatan dirasakn sebelum pemasangan airway hentikan
dan coba melalui lubang hidung satunya.
5. Bila ujung pipa nasofaring tampak di orofaring posterior alat ini
dapat menjadi saran yang nyaman untuk memasang pipa
nasogastric tube pada penderita dengan patah tulang wajah.
6. Pada penderita yang masih memberi respon nasofaringeal lebih
baik karena tidak merangsang muntah dibanding bila
menggunakan pipa orofaringeal
2) Pipa orofaringeal

Gambar 3.10. Pipa Orofaringeal


Langkah pemasangan :
1. Pipa orofaringeal disisipkan ked alam mulut d balik lidah
2. Gunakan sapatula lidah untuk menekan lidah dan sisipkan airway
tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh mendorong lidah ke
belakang karena akan menyumbat airway.
Teknik dengan menyisipkan orofaringeal secara terbalik
sehingga bagian cekung menghadap ke arah cranial sampai di
daerah palatum molle.
3. Pada titik ini alat di putar 180 derajat, bagian cekung menghadap
ke arah kaudal, alat diselipkan ke tempatnya di atas lidah.
4. Cara ini tidak boleh dilakukan pada anak-anak karena rotasi alat
ini dapat merusak mulut dan faring.

9
3) Trakeostomi

Gambar 3.11. Pipa Orofaringeal


Teknik ini biasa digunakan apabila timbul dispneu dan
stridor eskpirasi yang khas pada obstruksi setinggi atau di bawah
rima glotis terjadinya retraksi pada insisura suprasternal dan
supraklavikular. Begitu pula dengan needle cricothyroidotomy
4) Needle Cricothyroidotomy

Gambar 3.12. Pipa Orofaringeal


2. BREATHING
Breathing adalah pernafasan yang disertai ventilasi. Pernapasan normal
sangat penting untuk mempertahankan hidup.Korban yang terengah-engah
atau tidak bernapas normal dan tidak responsif membutuhkan resusitasi.
a. Pemeriksaan
Penyebab pernafasan tidak efektif dari onset akut pernapasan mungkin
tidak ada atau tidak efektif sebagai akibat dari:
1. Depresi langsung atau kerusakan pada pusat kendali pernapasan otak.
2. Obstruksi jalan napas bagian atas.
3. Kelumpuhan atau gangguan pada saraf dan / atau otot-otot pernapasan
4. Masalah yang mempengaruhi paru-paru.

10
5. Tenggelam.
6. Mati lemas.
Ada insiden terengah-engah normal tinggi (terengah-engah agonal)
setelah serangan jantung.Penyelamat profesional kesehatan harus
menggunakan kombinasi unresponsiveness dan pernapasan abnormal untuk
mengidentifikasi kebutuhan untuk resusitasi.
Penyelamat harus:
1. Look, melihat gerakan dari perut bagian bawah / dada bagian atas
2. Listen, mendengar hembusan udara dari hidung dan mulut.
3. Feel, untuk merasakan gerakan dari perut dan dada.
Jika korban tidak sadar, tidak responsif dan tidak bernapas normal
setelah jalan napas telah dibuka dan dibersihkan, penyelamat harus segera
memulai penekanan dada dan kemudian menyelamatkan pernapasan.Berikan
30 kompresi dan kemudian dua napas memungkinkan sekitar satu detik untuk
inspirasi masing-masing mengikuti Australian Resuscitation Council and New
Zealand Resuscitation Council Basic Life Support Flowchart.Jika tidak mau
atau tidak dapat melakukan ventilasi, tim penyelamat harus terus kompresi.
b. Permasalahan
Tanda distres nafas:
1. Nafas dangkal dan cepat.
2. Gerak cuping hidung (flaring nostril)
3. Tarikan sela iga (retraksi).
4. Tarikan otot leher (tracheal tug).
5. Nadi cepat.
6. Hipotensi.
7. Vena leher distensi.
8. Sianosis (tanda lambat).

11
c. Penanganan
1) Ventilasi mouth to mouth

Gambar 3.14. Mouth to mouth

Ventilasi mulut ke mulut wajar untuk memberikan napas masing-


masing dalam waktu singkat (satu detik) dengan volume mencapai kenaikan
dada terlepas dari penyebab serangan jantung. Carilah kenaikan dada korban
selama inflasi masing-masing. Jika dada tidak naik, kemungkinan
penyebabnya adalah:
1. Obstruksi di saluran napas (kepala miring tidak memadai, dagu angkat,
lidah atau benda asing).
2. Udara cukup ditiup ke dalam paru-paru.
3. Udara yang tidak memadai di sekitar mulut dan atau hidung.Jika dada
tidak naik, pastikan memiringkan kepala yang benar, udara segel yang
memadai dan ventilasi. Setelah inflasi paru-paru, angkat mulut Anda dari
mulut korban, putar kepala ke arah dada korban dan mendengarkan dan
merasakan udara yang dihembuskan dari mulut dan hidung.
2) Ventilasi Mouth to Nose
Metode ventilasi dari mulut ke hidung dapat digunakan di mana
penyelamat memilih ketika rahang korban erat terkatup, atau ketika resusitasi
bayi dan anak kecil.Teknik untuk mulut ke hidung sama dengan mulut ke
mulut kecuali untuk menyegel jalan napas. Tutup mulut korban dengan tangan
mendukung rahang dan mendorong bibir bersama-sama dengan ibu jari.
Ambil napas dan menempatkan mulut Anda terbuka lebar melalui
hidung korban (atau mulut dan hidung pada bayi) dan meniup untuk

12
menggelembungkan paru-paru korban.Angkat mulut Anda dari hidung korban
dan mencari jatuhnya dada, dengarkan dan rasakan untuk melarikan diri dari
udara dari hidung dan mulut. Jika dada tidak bergerak, ada obstruksi, segel
tidak efektif, atau udara cukup ditiup ke paru-paru.
Dalam resusitasi mulut ke hidung kebocoran dapat terjadi jika mulut
penyelamat itu tidak terbuka cukup, atau jika mulut korban tidak disegel
memadai. Jika masalah ini terus berlanjut, gunakan mulut ke mulut resusitasi.
Ini mungkin akan menemukan bahwa penyumbatan hidung mencegah inflasi
yang memadai. Jika hal ini terjadi, mulut ke mulut resusitasi harus digunakan.

Gambar 3.15. mouth to nose


3) Ventilasi Mouth to mask
Resusitasi mulut ke masker adalah metode pernapasan yang
menghindari kontak mulut ke mulut dengan menggunakan masker
resusitasi.Tim penyelamat harus mengambil tindakan pencegahan dan
keselamatan ketika sumber daya layak dan kapan tersedia untuk
melakukannya, terutama jika korban diketahui memiliki infeksi
serius.Posisikan diri Anda pada kepala korban dan menggunakan kedua
tangan untuk menjaga jalan napas terbuka dan memegang topeng di tempat
untuk memaksimalkan segel.Menjaga memiringkan kepala dan angkat dagu.
Tempatkan ujung sempit masker di jembatan dari hidung dan
menerapkan masker ke wajah.Kembangkan paru-paru dengan meniup melalui
corong masker dengan volume yang cukup kuat untuk mencapai adanya
gerakan dada.Lepas mulut Anda dari masker untuk mengambil nafas.
Putar kepala untuk mendengarkan dan merasakan pembebasan
udara.Jika dada tidak naik, miringkan kepala, angkat dagu dan segel masker.

13
Kegagalan dalam mempertahankan kemiringan kepala dan mengangkat dagu
adalah penyebab paling umum dari obstruksi selama resusitasi.
Penyelamat harus menempatkan mulut mereka atas stoma dan
melakukan bantuan pernapasan seperti dijelaskan di atas. Jika dada gagal naik,
hal ini mungkin karena segel miskin selama stoma, atau korban memiliki
trakeostomi daripada laryngectomy sehingga memungkinkan udara untuk
melarikan diri dari mulut dan hidung tersumbat atau stoma atau tabung.Jika
stoma atau tabung diblokir menggunakan pukulan punggung dan tekanan dada
dalam upaya untuk mengusir penyumbatan.

Gambar 3.16. mouth to Mask

4) Pemberian Oksigen
Cara pemberian oksigen dapat dengan :
1. Sistem aliran rendah
a. Kanula nasal
Suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu dengan
aliran 1-6 L/mnt dengan konsentrasi 24%-44%

14
b. Sungkup muka sederhana
Alat meberian O2 kontinu atau selang seling 5-8 L/mnt dengan konsentrasi
O2 40% - 60%

c. Sungkup muka dengan kantong rebreathing


Merupakan tehnik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80%
dengan aliran 8-12 L/mnt

d. Sungkup muka dengan kantong non rebreathing


Merupakan tehnik pemberian O2 dengan konsentrasi O2 mencapai 99%
dengan aliran 8-12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak bercampur dengan
udara ekspirasi

15
2. Sistem aliran tinggi

Sungkup muka dengan ventury. Yaitu gas yang dialirkan dari tabung akan
menuju sungkup yang kemudian dihimpit untuk mengatur suplai O2
sehingga tercipta tekanan negative, akibatnya udara luar dapat diisap dan
aliran udara yang di hasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini
sekitar 4-14 L/mnt dengan konsentrasi 30-55%. Pada keadaan paO2 turun
secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai
normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang
menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan
hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang oleh hipercarbia
drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang
terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe. Dalam pemberian oksigen harus
dipertimbangkan apakah pasien benar-benar membutuhkan oksigen.
Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan
harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat
manfaat terapi dan menghindari toksisitas.Terapi oksigen jangka pendek
merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan
hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena
jika tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada
kondisi ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu
pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan

16
dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek
samping. Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus.

Tabel 1. Cara pemberian Oksigen


Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari
penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan
keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang oleh
hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan
PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe.
a) Terapi Oksigen jangka pendek
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada
pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera
diberikan dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan menimbulkan cacat
tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-
100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya
oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping.12
Indikasi lain menurut the American College of Chest Physicians dan The
National Heart, Lung and Blood Institute adalah jika:
 Hipoksemia akut (PaO2 < 60mmHg; SaO2 < 90%)
 Henti jantung dan henti napas
 Hipotensi (Tekanan darah sistolik < 100mmHg)

17
 Curah jantung yang rendah & asidosis metabolic (bikarbonat < 18
mmol/L)
 Respiratory distress (frekuensi napas > 24x/menit)
b) Terapi Oksigen Jangka Panjang
Terapi oksigen jangka panjang adalah terapi untuk pasien dengan
hipoksia kronis. Contohnya, PPOK dan kor pulmonal. Oksigen diberikan
secara kontinyu, biasanya selama 4-8 minggu. Awalnya oksigen
diberikan harus dalam konsentrasi rendah (FiO2 24-28%), lalu kemudian
dapat ditingkatkan secara bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan AGD
agar hipoksemia dapat dikoreksi dan menghindari penurunan pH di
bawah 7,26.
Secara rinci, indikasi terapi jangka panjang antara lain:
1. PaO2 istirahat < 55mmHg / SaO2 < 88%
2. PaO2 istirahat 56-59mmHg atau SaO2 89% pada salah satu keadaan
berikut:
- Edema akibat CHF
- P Pulmonal pada EKG (gelombang P > 3mm pada lead II, III,
aVF)
- Hematokrit > 56% (eritrositemia)
- PaO2 < 59 mmHg / SaO2 < 89%
METODE PEMBERIAN OKSIGEN

18
2. CIRCULATION
Circulation adalah mempertahankan sirkulasi bersama dengan
tindakan untuk menghentikan perdarahan (control of hemorrhage).
a. Pemeriksaan
Penilaian fungsi sirkulasi secara cepat dapat dilakukan dengan
manilai kesadaran, warna kulit dan nadi.manghentikan perdarahan luar
dapat dikerjakan selama survey primer.
Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korbanditentukan
dengan meraba arteri karotis didaerah leher pasien/korban dengan cara
dua atau tiga jari penolong meraba pertengahan leher sehingga teraba
trakea, kemudian digeser ke arah penolong kira-kira 1-2 cm, raba dengan
lembut selam 5 – 10 detik. Bila teraba penolong harus memeriksa
pernafasan, bila tidak ada nafas berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila
ada nafas pertahankan airway pasien/korban.

Gambar 3.17. Cara meraba nadi carotis

Nadi carotis dapat diraba dengan menggunakan 2 atau 3 jari


menempel pada daerah kira-kira 2 cm dari garis tengah leher atau jakun
pada sisi yang paling dekat dengan pemeriksa. Waktu yang tersedia untuk
mengukur nadi carotis sekitar 5 – 10 detik.
b. Permasalahan
Perdarahan merupakan penyebab utama kematian setelah trauma.
Perdarahan dianggap sebagai penyebab hipotensi pada satu trauma
sebelum dapat dibuktikan penyebab yang lain. Perlu penilaian secara

19
cepat dan akurat terhadap status hemodinamik penderita yang mengalami
trauma.
Gangguan sirkulasi yang mengancam jiwa terutama jika terjadi
henti jantung dan syok, yakni:
1. Diagnosis henti jantung ditegakkan dengan tidak adanya denyut nadi
karotis dalam waktu 5 – 10 detik. Henti jantung dapat disebabkan
kelainan jantung (primer) dan kelainan di luar jantung (sekunder) yang
harus segera dikoreksi.
2. Diagnosis syok secara cepat dapat ditegakkan dengan tidak teraba atau
melemahnya nadi radialis/nadi karotis, pasien tampak pucat,
ekstermitas teraba dingin,berkeringat dingin dan memanjangnya waktu
pengisian kapiler (capilary refill time > 2 detik).
Tanda-tanda sirkulasi normal:
1. Perfusi perifer : teraba hangat, kering.
2. Warna akral : pink/merah muda.
3. Capillary refill time :< 2 detik.
4. Denyut nadi < 100.
5. Tekanan darah sistole > 90-100.
6. Produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
Tanda klinis syok:
1. Kulit telapak tangan dingin, pucat, basah.
2. Capillary refill time > 2 detik.
3. Nafas cepat.
4. Nadi cepat > 100.
5. Tekanan darah sistole < 90-100.
6. Kesadaran : gelisah s/d koma.
7. Pulse pressure menyempit.
8. JVP rendah.
9. Produksi urin < 0,5 ml/kgBB/jam.
Perkiraan besarnya tekanan darah sistolik jika nadi teraba di:
1. Radialis :> 80 mmHg.

20
2. Femoralis :> 70 mmHg.
3. Carotis :> 60 mmHg.
c. Penanganan
Supaya RJP yang dilakukan efektif dan mencegah cedera yang
serius pada korban maka kompresi dada eksternal harusdilakukan pada
titik kompresi RJP.
Yang harus diperhatikan adalah :
1. Menentukan Titik Kompresi.
2. Posisikan diri Anda berlutut disamping korban.
3. Gunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan Anda untuk menentukan
batas bawah dari sangkar costa.
4. Jika sudah Anda dapatkan , gerakkan jari Anda menelusuri lengkung
costa sampai ke takik pada ujung sternum (proc. Xiphoideus).
5. Letakkan jari tengah Anda di atas atau pada takik dan jari telunjuk di
sebelah atasnya.
6. Letakkan tumit tangan Anda yang lain (tangan yang dekat dengan
kepala korban) di atas sternum, di sebelah atas jari telunjuk.
7. Angkat jari-jari Anda dari takik dan letakkan tangan tersebut di atas
tangan yang lain pada dada.

Gambar 3.18. Posisi tangan saat RJP


1) RJP pada orang dewasa
Langkah melakukan RJP :
1. Lakukan 30 kali pijat jantung dengan diselingi 2 kali nafas buatan ini
berulang selama 2 menit.
2. Setelah 2 menit (7-8 siklus) raba nadi leher 30 : 2.

21
3. Bila masih belum teraba denyut nadi leher, lanjutkan 30 x pijat
jantung dan 2 x nafas buatan. Ini merupakan satu siklus.
4. Setelah lima siklus, dapat diperiksa kembali apakah sudah ada denyut
jantung. Bila belum ada, ulangi kembali siklus sampai datang bantuan
atau ambulans.
Cara memberi nafas buatan:
1. Pertahankan posisi kepala tetap tengadah.
2. Jepit hidung dengan tangan yang mempertahankan kepala tetap
tengadah.
3. Buka mulut penolong lebar-lebar sambil menarik nafas panjang.
4. Tempelkan mulut penolong diatas mulut korban dengan rapat.
5. Hembuskan udara kemulut korban sampai terlihat dada terangkat/
bergerak naik
6. Lepaskan mulut penolong, biarkan udara keluar dari mulut korban,
dada korban tampak bergerak turun.
7. Berikan hembusan nafas kedua dengan cara yang sama.

Gambar 3.19. RJP pada orang dewasa dengan 1 penolong

22
Gambar 3.20. RJP dengan 2 penolong
4.DISABILITY
Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap
keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran
, serta ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat
kesadaran adalah metode AVPU.
A: Alert (sadar)
V: Verbal/Vokal. Respons terhadap rangsangan vokal
P: Pain. Respons terhadap rangsangan nyeri
U: Unresponsive. Tidak bada respons.
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah sistem scoring yang sederhana dan
dapat meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan
sebagai pengganti AVPU. Bila belum dilakukan pada survei primer, harus
dilakukan pada secondary survey pada saat pemeriksaan neurologis.
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan/atau
penurunan perfusi otak, ataupun disebabkan trauma langsung pada otak.
Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan
oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu
tingkat kesadaran penderita. Walaupun demikian, bila sudah disingkirkan
kemungkinan hipoksia ataupun hipovolemia sebagai sebab penurunan
kesadaran, maka trauma kapitis dianggap sebagai penyebab penurunan
kesadaran, dan bukan alkoholisme, sampai terbukti sebaliknya.

23
5. EXPOSURE
Buka pakaian penderita untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh.
Periksa hal-hal yg mungkin terlewat pada pemeriksaan sebelumnya, misal
perlukaan pada tubuh yg tertutup pakaian, darah yg keluar dari MUE atau
anus, dll. Setelah pakaian dibuka, penderita harus segera diselimuti untuk
mencegah hipotermi.
2. Bagaimana tindakan lanjut jika tindakan awal gagal dilakukan
berdasarkan skenario ?
Tindakan yang dilakukan jika tindakan awal gagal antara lain4,5,6 :
A. Reevaluation
Pasien harus dievaluiasi secara berkala, memastikan tidak ada kelainan
yang terlewatkan, ataupun adanya kelainan baru. Pemantauan terus-menerus
tanda vital, saturasi oksigen, dan pengeluaran urin sangat penting. Untuk
pasien dewasa normalnya urin keluar 0,5 mL/kg/jam dan pada pasien anak
yang lebih dari tahun normalnya 1 mL/kg/jam.
Setelah melaksanakan survei ABCD primer, penolong dapat meneruskan
ke survey ABCD sekunder bagi pasien yang memenuhi syarat. Setiap langkah
memerlukan dua tindakan: penilaian dan pengelolaaan, dan dengan kedua
tindakan tersebut penolong tidak akan pernah kehilangan pengamatannya
tentang kebutuhan akan evaluasi dan perawatan pasien.
Jika penilaian memperlihatkan masalah yang mengancam jiwa, penolong
tidak boleh melangkah lebih lanjut sampai masalah tersebut terselesaikan.
Pendekatan ini membantu dalam menangani semua kasus gawat darurat yang
mengancam jiwa.
1. Airway
Airway Definitif
Pada airway definitif maka ada pipa didalam trakea dengan balon (cuff)
yang dikembangkan pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat bantu
pernapasan diperkaya dengan oksigen, dan airway tersebut dipertahankan
ditempatnya dengan plaster. Terdapat tiga macam airway definitif, yaitu:

24
pipa orottrakheal, pipa nasotrakheal, dan airway surgical
(krikotiroidotomi atau trakheostomi
2. Breathing
Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik
dan kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara
keduanya.
a. Atasi Hipoksemia: Terapi Oksigen
b. Atasi Hiperkarbia: Perbaiki ventilasi
Perbaiki jalan nafas
Bantuan Ventilasi: Face mask, ambu bag
Ventilasi Mekanik
c. Fisioterapi dada
3. Circulation
Adapun penanganan yang dilakukan yaitu Resusitasi Jantung-Paru.
Supaya RJP yang dilakukan efektif dan mencegah cedera yang serius
pada korban maka kompresi dada eksternal harus dilakukan pada titik
kompresi RJP. Yang harus diperhatikan adalah :
1. Menentukan titik kompresi
2. Posisikan diri anda berlutut disamping korban
3. Gunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan anda untuk
menentukan batas bawah dari sangkar costa
4. Jika sudah anda dapatkan, gerakkan jari anda
menelusuri lengkung costa sampai ke takik pada ujung sternum
(proc. Xiphoideus)
5. Letakkan jari tengah anda di atas atau pada takik dan jari
telunjuk di sebelah atasnya
6. Letakkan tumit tangan anda yang lain (tangan yang dekat
dengan kepala korban) di atas sternum, di sebelah atas jari
telunjuk
7. Angkat jari-jari Anda dari takik dan letakkan tangan tersebut di
atas tangan yang lain pada dada

25
Gambar 1. Posisi tangan saat RJP

Dimulai setelah primary survey selesai. Pada secondary survey dievaluasi dari
kepala sampai kaki pasien, yaitu riwayat pasien dan pemeriksaan fisik,
termasuk penilaian kembali tanda-tanda vital.

3. Sebutkan penyebab gagal napas


Gagal napas juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya trauma atau non
trauma. Gagal nafas dapat disebabkan karena kasus trauma dan non trauma7 :
a. Trauma
 Sumbatan jalan napas
Sumbatan jalan napas dapat disebabkan oleh beberapa penyebab
antara lain adalah edema jalan napas bisa akibat adanya suatu
infeksi, reaksi alergi atau akibat trauma tumpul. Penyebab lain
disebabkan oleh benda asing yang masuk dalam saluran nafas selain
itu bisa disebabkan karena adanya tumor pada saluran napas, atau
akibat spasme laring dimana disebabkan oleh tetanus. Pada beberapa
kasus juga kemungkinan terjadi akibat sumbatan benda asing,
dimana benda asing yang masuk kedalam saluran nafas dan
menyebabkan obstruksi pada jalan napas sehingga terjadi gangguan
pada proses inspirasi dan ekspirasi normal. Akibat hal tersebut
menyebabkan terjadinya usaha tubuh untuk mempertahankan
pernafasan normal dengan gejala seperti sesak napas. Adapun yang
dapat dilakukan pada kasus sumbatan jalan napas akibat benda asing
antara lain keluarkan benda asing segera mungkin dengan heimlich
manuver atau usapan jari tangan.

26
 Pneumothorax
Pneumothorax adalah adanya udara dalam kavum pleura.
Pneumothorax yang dimaksud dalam kasus ini adalah pneumothorax
traumatik, yaitu pneumothorax yang disebabkan oleh trauma baik
trauma tumpul, tajam bahkan ledakan. Dimana pada trauma thorax
akan disusul dengan fraktur kosta, sehingga fragmen kosta tersebut
pada gilirannya dapat menyebabkan suatu trauma tajam yang
menembus pleura parietal maupun viseralis. Akibat hal ini udara
akan masuk dan mengisi kavum pleura sehingga akan terjadi
gangguan pegembangan paru akibat beban udara pada kavum pleura
sehingga akan terjadi sesak pada pasien ini.
 Hematothorax
Hematothorax adalah adanya cairan patologis berupa darah dimana
biasanya akibat trauma thorax atau adanya suatu tanda keganasan.
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi
dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang
disebabkan oleh cedera tajam atau cedera tumpul. Dislokasi fraktur
dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks.
Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan
intervensi operasi.
 Emboli paru
Emboli paru terjadi apabila terdapat suatu embolus, biasanya
merupakan bekuan darah yang terlepas dari perlengketan pada vena
ekstremitas bawah biasa terjadi akibat terjadinya fraktur, lalu
bersirkulasi melalui pembuluh darah dan jantung kanan sehingga
akhirnya tersangkut di arteri pulmonalis utama atau salah satu
percabangannya sehingga dapat menyebabkan sesak napas secara
mendadak yang berat dimana akan menyababkan infark paru. Infark
paru adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan fokus
nekrosis lokal yang diakibatkan oleh penyumbatan vascular

27
b. Non Trauma
 Efusi Pleura
Efusi pleura adalah terdapatnya cairan patologis pada kavum pleura.
Namun tetap perlu diingat bahwa dalam keadaan normal kavum
pleura juga selalu terdapat cairan yang berfungsi untuk mecegah
melekatnya pleura viseralis dan pleura parietalis,sehingga dengan
demikian gerakan paru berjalan dengan mulus tanpa harus adanya
friksi. Cairan fisiologis ini disekresikan oleh pleura parietalis dan
diabsorbsi oleh pleura viseralis. Dalam keadaan normal cairan
fisiologis dalam rongga pleura ini berkisar antara 1 ml sampai 20 ml.
Setiap peningkatan jumlah cairan di atas ini harus dianggap sebagai
efusi pleura. Pada umumnya kelainan ini didasari oleh suatu proses
peradangan dimana dapat bersifat akut ataupun kronik, selain itu
juga dapat sebagai salah satu manifestasi kelainan sistemik. Akibat
terdapatnya cairan patologis pada kavum pleura akan menyebabkan
gangguan pengembangan paru sehingga pasien akan menderita sesak
napas.
 Asma Bronkial
penyakit yang ditandai dengan resistensi terhadap aliran udara
intrapulmoner yang sangat variabel dalam jangka waktu yang
pendek. Dimana pada asma terdapat kombinasi keluhan sesak napas,
rasa dada yang terhimpit, suara napas mengi (wheezing). Adapun
yang mendasari terjadinya asma adalah terpajannya sesorang oleh
alergen yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi sehingga
menyebabkan hipersekresi mukus, edema mukosa dan bronkospasme
sehingga terjadinya obstruksi jalan nafas. Akibat obstruksi
menyebabkan pasien menderita sesak napas.
 Penyakit Valvular
memiliki kemungkinan besar menyebabkan sesak adalah stenosis
katup mitralis. Dimana pada stenosis katup mitral terjadi
penyempitan pembukaan katup mitral pada fase distolik dimana

28
darah dipompakan dari atrium kiri menuju ventrikel kiri, namun
apabila terjadi penyempitaan pada pembukaan katup mitral di fase
distolik dimana lama kelamaan akan terjadi peningkatan volume
pada atrium kiri dan peningkatan tekanan atrium kiri. Berjalannya
waktu akan diikuti dengan peningkatan tekanan pada arteri pulmonal
sehingga terjadi ekstravasasi cairan ke jaringan interstisial paru.
Sehingga akan terjadi gangguan pengembangan atau elastisitas paru
sehingga akan diikuti dengan gejala sesak nafas.
 Kelainan yang mengenai Central Ventilatory Drive, yang merupakan
sebuah control pernapasan atau penggerak pernapasan yang terletak di
medulla batang otak.
– Infark atau perdarahan otak
– Penekanan masa supratentorial pada batang otak
– Overdosis obat, narkotik,Benzodiazepine, agen anestesi, dll.
 Kelainan yang mengenai transmisi sinyal ke otot-otot respirasi
– Myastania Gravis
– Amytropic lateral sclerosis
– Guillain Barre Syndrom
– Spinal Cord Injury
– Multiple Sclerosis
– Paralisis residual (pelumpuh otot)
 Kelainan pada otot-otot pernapasan dan dinding dada
– Muscualr dystrophy
– Polymyositis
– Flail Chest
4. Hubungan riwayat asma dan merokok dengan gejala yang dialami pasien
Pasien asma yang merokok memiliki gejala asma yang lebih berat,
membutuhkan pengobatan yang lebih banyak dan dapat memperburuk status
kesehatan dibanding mereka yang tidak merokok. Merokok juga dapat
mengakibatkan bronkokontriksi akut serta pada pasien asma atopi akan

29
memiliki respons kurang baik terhadap adenosin inhalasi bila pasien
merokok.8
Rokok dapat merusak paru-paru dan mungkin menghentikan kerja obat
asma tertentu, seperti kortikosteroid inhalasi (suatu jenis obat
pencegah/preventer), sehingga tidak dapat bekerja dengan semestinya. Bahkan
pada orang yang tidak merokok, menghisap asap rokok yang dikeluarkan oleh
orang lain dapat membuat gejala memburuk dan bahkan memicu serangan
asma.8
Asap rokok yang dihirup penderita asma secara aktif mengakibatkan
rangsangan pada sistem pernapasan, sebab pembakaran tembakau
menghasilkan zat iritan yang menghasilkan gas yang kompleks dari partikel-
partikel berbahaya.8
Asap rokok mengandung 4.000 bahan kimia, baik berbentuk gas maupun
partikel-partikel kecil. Nikotin merangsang sistem saraf pusat, menigkatkan
detak jantung, tekanan darah dan dapat menimbulkan kecanduan. Tar
merupakan zat pekat bewarna cokelat yang terkumpul di ujung filter rokok,
menempel di paru-paru dan lama-lama dapat terserap. Zat tersebut
mengandung campuran zat-zat berbahaya meliputi formaldehida, arsenik,
sianida, benzena, toluena dan karbon monoksida yang semuanya mengganggu
sel darah merah, membuatnya membawa lebih sedikit oksigen ke seluruh
tubuh.8
Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, karbon monoksida, nitrogen
oksida dan gas amoniak. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat
lengket dan menempel pada paru-paru. Tar mengandung bahan-bahan
karsinogen, zat-zat tar ini dipindahkan ke dalam cabang-cabang tenggorok dan
paru-paru dengan perantaraan asap dan sesudah itu tersimpan pada selaput
lendir pembuluh-pembuluh ini, yang disebabkan karena banyaknya
rangsangan setempat. Selaput lendir ini mungkin menjadi lebih tebal pada
perokok berat bila dibandingkan dengan orang bukan perokok. Ini menambah
hambatan pada saluran udara ke dalam paru-paru dan menjadikan jauh lebih
sukar baginya untuk bernafas.9

30
Nikotin adalah zat adiktif yang memengaruhi syaraf dan peredaran darah.
Zat ini bersifat karsinogen yang mampu memicu kanker. Karbon monoksida
adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak
mampu mengikat oksigen dan tubuh pun menjadi kekurangan oksigen.
Padahal oksigen merupakan bahan utama bagi kehidupan manusia. Nitrogen
oksida berpengaruh pada bulu-bulu halus yang meliputi bronkial dan
merangsang bulu-bulu tersebut. Sehingga, bertambah pula keluarnya cairan
ekskresi di selaput lendir pada saluran pernafasan, dan membesarlah kelenjar
getah bening yang ada pada bronkial. Dengan demikian, berubahlah kualitas
dahak yang keluar. Gas amoniak, gas ini yang menyengat lidah,
mengakibatkan terbentuknya lapisan berwarna kuning pada permukaan lidah
dan menganggu kelenjar pengecap serta perasa yang ada pada permukaan
lidah. Gas amoniak juga dapat memperbanyak keluarnya alir liur, merangsang
batuk, membuka peluang pilek secara berulang-ulang serta radang pada mulut,
kerongkongan dan faring.9
Secara luas telah diketahui bahwa merokok dapat mengurangi “napas”.
Pernyataan ini benar karena terdapat banyak alasan. Pertama, salah satu
dampak nikotin adalah menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru-
paru, yang meningkatkan resistensi aliran udara ke dalam dan keluar paru-
paru. Kedua, efek iritasi asap rokok itu sendiri menyababkan peningkatan
sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus, juga pembengkak lapisan
epitel. Ketiga, nikotin melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel
pernapasan yang normalnya terus bergerak untuk memindahkan kelebihan
cairan dan partikel asing dari saluran pernapasan. Akibatnya, lebih banyak
debris terakumulasi di jalan napas dan menambah kesukaran bernapas.9
Setiap hisapan rokok akan merusak ribuan silia pada saluran napas.
Jumlah silia yang rusak berbanding lurus dengan jumlah paparan asap rokok
pada tiap hisapan. Partikulat dalam asap rokok mengendap dalam lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia.
Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang. Sehingga, iritasi pada sel
epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa.

31
Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia yang menimbulkan
gejala batuk kronik dan ekspektorasi. Produk mukus yang berlebihan
memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat proses penyembuhan.
Keadaan ini merupakan suatu siklus akibat terjadinya hipersekesi. Bila iritasi
dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta
pembentukan jaringa parut. Selain itu, terjadi pula metaplasia dan penebalan
lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas
yang bersifat irreversibel.10
Asap rokok merangsang pelepasan radikal bebas yang dapat menimbulkan
jejas seluler. Jejas ini merangsan pelepasan mediator-mediator sehingga
terjadi hipersekresi mukus, perusakan epitel yang bersifat irreversibel dan
menimbulkan edema saluran napas. Manifestasi klinik yang timbul berupa
batuk, sesak napas dan dalam keadaan berat dapat terjadi penurunan
keasadaran akibat hipoksia.10
Selain hal tersebut diatas, rokok juga dapat memengaruhi saraf otonom.
Pada jalur saraf otonom inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa. Sehingga, meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap rokok dan kabut. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi
melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi.10
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau

32
nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti
infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang
dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan
bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang
dibahas diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah
terhadap respons parasimpatis..11
Beberapa serabut saraf parasimpatis yang berasal dari nervus vagus
menembus perenkim paru. Saraf ini menyekresikan asetilkolin dan bila di
aktivasi, akan menyebabkan konstriksi ringan sampai sedang pada bronkiolus.
Bila proses penyakit seperti asma telah menyebabkan beberapa konstriksi
pada bronkiolus, maka adanya perangsangan saraf parasimpatis berikutnya
seringkali memperburuk keadaan. Bila hal ini terjadi, maka pemberian obat-
obatan yang menghambat asetilkolin, seperti atropin, kadang-kadang dapat
merelaksasikan jalan pernapasan sehingga cukup untuk mengatasi obstruksi.11
Saraf parasimpatis juga diaktivasi oleh refleks yang berasal dari paru.
Sebagian besar diawali dengan iritasi pada membran epitel dari jalan napas itu
sendiri, yang dicetuskan oleh gas-gas beracun, debu, asap rokok atau infeksi
bronkial. Bahan iritan juga menyebabkan refleks konstriktor parasimpatis
pada saluran napas (rokok, debu, sulfur dikosida). Beberapa substansi yang
terbentuk dalam paru itu sendiri seringkali sangat aktif menyebabkan
konstriksi bronkiolus. Dua diantaranya paling penting adalah histamin dan
substansi anafilaksis yang bereaksi lambat.12
Histamin dan zat anaflaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan
campuran leukotrien), faktor kemotatik eosinofilik dan bradikinin. Efek
gabungan dari semua faktor ini, terutama substansi anafilaksis yang bereaksi
lambat, akan menghasilkan: edema lokal pada dinding bronkiolus kecil
maupun sekresi mukus yang kental ke dalam lumen bronkiolus dan spasme
otot polos bronkiolus. Oleh karena itu, tahanan saluran napas menjadi
meningkat.13
Berdasarkan penjelasan diatas tentang hubungan merokok dengan kejadian
asma bronkial, jelaslah bahwa merokok sangat berperan sebagai salah satu

33
terjadinya asma bronkial. Karena, kandungan rokok terutama nikotin, tar dan
karbon monoksida dapat berefek pada saluran pernapasan. Hal tersebut dapat
mengaktifkan beberapa mediator kimia seperti histamin, bradikinin dan
anafilaksis yang akan memengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas dan
menyebabkan bronkospasme dan pembentukan mukus yang banyak.13
5. Bagaimana cara penggunaan obat darurat berdasarkan skenario ?
Obat-obat Bronkodilator14:
1. Adrenergik
Yang digunakan adalah B-simpatometika yang berikut :
salbutamol,terbutalin, tretoquinol, fenoterol, rimiterol, prokaterol, dan
klenbuterol. Lagi pula, obat long acting yang agak baru yaitu salmoterol
dan formoterol
Obat-obat adrenergic yang sering digunakan sebagai bronkodilator :
a. Adrenalin epinefrin Lidonest 2%
Zat adrenergic ini dengan efek alfa + beta adalah bronkodilator terkuat
dengan kerja cepat tetapi singkat dan digunakan untuk serangan asma
yang hebat. Efek samping berupa efek sentral (gelisah, tremor, sakit
kepala) dan terhadap jantung palpitasi dan aritmia. Dosis : 0,3 ml dari
larutan 1:1000 yang dapat diulang dua kali setiap 20 meter (tartrat)
b. Efedrin
Derivat adrenalin ini memiliki efek sentral lebih kuat dengan efek
bronkodilatasi lebih ringan dan bertahan lama (4 jam). Efedrin dapat
diberikan secara oral.
c. Isoprenalin
Derivat ini mempunyai efek b1+ b2 adrenergis dan memiliki daya
bronkodilatasi baik tetapi resorpsinya di usus buruk dan tidak teratur.
d. Salbutamol
Dosis 3-4 dd 2-4 mg (sulfat) inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 100 mcg,
pada serangan akut 2 puff yang dapat diulang sesudah 15 menit. Pada
serangan hebat i.m. atau s.c. 250-500 mcg, yang dapat diulang sesudah
4 jam.

34
e. Terbutalin
Dosis 2-3 dd 2,5-5 mg (sulfat) inhalasi 3-4 dd 1-2 semprotan dari 250
mcg, maksimum 16 puff sehari, s.c. 250 mcg, maksimum 4 kali sehari.
2. Antikolinergik
Contoh obat antikolinergik yang digunakan sebagai bronkodilator :
Ipratropium : atrovent :
Ipratropium berdaya mengurangi hipersekresi di bronchi, yakni efek
mengeringkan dari obat antikolinergik, maka amat efektif pada pasien
yang mengeluarkan banyak dahak. Dosis inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari
20 mcg (bromide).
3. Derivat Xanthin : teofilin, aminofilin
Obat-obat golongan xanthin yang sering digunakan sebagai bonkodilator
a. Teofilin :
Teofilin menstimulasi SSP dan pernapasan, serta bekerja diuretic
lemah dan singkat. Dosis 3-4 dd 125-250 mcg microfine (retard). I
mg teofilin 0aq =1,1 g teofilin 1 aq = 1,7 g aminofilin 0 aq=1,23 g
aminofilin 1 aq.
b. Aminofilin
Garam yang dalam darah membebaskan teofilin kembali. Garam ini
bersifat basa dan sangat merangsang selaput lendir, sehingga secara
oral sering mengakibatkan gangguan lambung, juga pada
penggunaan dalam suppositoria dan injeksi intramuskuler. Pada
serangan asma, obat ini digunakan sebagai injeksi i.v
Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada
serangan asma derajat manapun kecuali serangan ringan (bukti A), terutama
jika14:
 Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan
awal tidak memberikan respons
 Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan.
Serangan asma berat Glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan

35
oral atau intravena, pemberian oral lebih disukai karena tidak
invasif dan tidak mahal. Pada penderita yang tidak dapat diberikan
oral karena gangguan absorpsi gastrointestinal atau lainnya maka
dianjurkan pemberian intravena. Glukokortikosteroid sistemik
membutuhkan paling tidak 4 jam untuk tercapai perbaikan klinis.
Analisis meta menunjukkan glukokortikosteroid sistemik
metilprednisolon 6080 mg atau 300-400 mg hidrokortison atau
ekivalennya adalah adekuat untuk penderita dalam perawatan.
Bahkan 40 mg metilprednisolon atau 200 mg hidrokortison sudah
adekuat Glukokortikosteroid oral (prednison) dapat dilanjutkan
sampai 10-14 hari
Antibiotik
Antibiotik tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri
(pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum
purulen dan demam. Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma
adalah bakteri gram positif, dan bakteri atipik kecuali pada keadaan
dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif (penyakit/ gangguan pernapasan
kronik) dan bahkan anaerob seperti sinusitis, bronkiektasis atau penyakit
paru obstruksi kronik (PPOK). Antibiotik pilihan sesuai bakteri penyebab
atau pengobatan empiris yang tepat untuk gram positif dan atipik; yaitu
makrolid , golongan kuinolon dan alternatif amoksisilin/ amoksisilin dengan
asam klavulanat.
6. Bagaimana komplikasi yang dapat terjadi berdasarkan skenario ?
Komplikasi Pada Saat Tindakan:
1. Keracunan Oksigen
Sebagian besar (90%) oksigen digunakan oleh rantai transport
elektron. Secara struktural, oksigen memiliki dua elektron yang tidak
berpasangan dengan keadaan putaran paralel. Konsekuensinya,
O2 memiliki kecenderungan membentuk spesies oksigen reaktif (Reactive
Oxygen Species/ ROS) berupa superoksida (O2–), radikal bebas hidroksil
(OH+), dan hidrogen peroksida (H2O2). Radikal hidroksil adalah ROS

36
yang paling poten dan diduga sebagai pencetus reaksi peroksida lemak dan
radikal organik. Selanjutnya, hidrogen peroksida meski bukan
radikal,adalah pengoksidasi yang menghasilkan hidroksil melalui reaksi
Fenton. Sama halnya dengan hidrogen peroksida, superoksida dapat juga
membentuk hidroksil dan hidroperoksi yang lebih reaktif melalui reaksi
Haber-Weiss. Asam hipoklorit (HOCl) dalam tubuh manusia dibentuk
dari hidrogen peroksida oleh neutrofil dan sel granulamatosa yang
betujuan menghancurkan benda asing, yang disebut pula ledakan
pernapasan (respiratory burst).15
Pajanan oksigen bertekanan tinggi pada jaringan paru bisa
menyebabkan perubahan jaringan menjadi patologis. Derajat cedera
berhubungan denga lamanya pajanan dan tekanan oksigen yang dihirup,
bukan PaO2. Secara umum, FiO2 > 0,5, jangka waktu 16030 jam
menyebabkan keracunan. Tanda pertama keracunan oksigen adalah akibat
efek iritasi oksigen dan refleks trakeobronkitis akut. Setelah beberapa jam
bernapas dengan oksigen 100%, fungsi mukosiliar akan tertekan dan
terjadi gangguan pembersihan mukus. Dalam 6 jam pemberian oksigen
100%, bisa terjadi batuk nonproduktif, nyeri substernal, dan hidung
tersumbat. Bisa juga terjadi malaise, mual, anoreksia, dan nyeri kepala.
Keluhan tersebut akan hilang setelah terapi oksigen dihentikan.15
Fungsi makrofag alveolar juga mengalami tekanan, menjadikan
pasien lebih rentan terhadap infeksi. Cedera jaringan paru akibat
hipoksemia merupakan penyebab produksi radikal bebas oksigen yang
menekan pertahanan antioksidan tubuh. Penghentian pajanan oksigen
dosis toksis akan memberi kesempatan sel memulai perbaikan, perbaikan
bisa juga berakibat terbentuknya fibrosis paru dalam berbagai derajad
kelainan
Pencegahan jangan memberi oksigen konsentrasi >50% lebih dari
24 jam dan setiap pemberian oksigen konsentrasi tinggi harus dipantau
PaO2.15

37
2. Hipoventilasi
Hipoventilasi akibat pemberian oksigen bisa terjadi akibat supresi
pada hipoxic respiratory drive. Pada keadaan normal, karbondioksida
merupakan pengendali stimulan utama sistem respirasi. Namun, pada
pasien dengan hiperkapnia kronik (PaCO2 > 45 mmHg), respons terhadap
peningkatan kadar CO2 menjadi tumpul dan hipoksemia menjadi stimulan
utama sistem ventilasi. Pemberian gas yang kaya oksigen pada pasien
seperti ini bisa menyebabkan hipoventilasi, hiperkapnia dan apnea.
Pada keadaan demikian, oksigen sebaiknya diberikan pada kadar
rendah (< 30%) dan pasien dipantau terhadap tanda-tanda depresi nafas.
Jika oksigenasi ternyata tidak adekuat dan terjadi depresi nafas, segera
dipasang ventilasi mekanis.15
3. Atelektasis absorbs
Atelektasis absorbsi terjadi ketika alveoli kolaps akibat gas dalam
alveoli diabsorbsi masuk kedalam aliran darah. Nitrogen, gas yang relatif
tidak mudah larut, pada keadaan normal mempertahankan volume residu
dalam alveoli. Selama pernapasan dengan kadar oksigen yang tinggi,
nitrogen bisa tersingkir atau "tercuci" dari alveoli. Ketika oksigen dalam
alveoli kemudian diabsorbsi ke dalam kapiler pulmonal, akan terjadi
kolaps total pada sebagian alveoli.
Atelektasis absorbsi lebih mudah terjadi pada area dengan
penurunan ventilasi, seperti pada saluran napas sebelah distal dari
obstruksi parsial, karena oksigen diabsorbsi ke dalam darah dengan
kecepatan lebih tinggi dari pada oksigen pengganti.16
4. Occular damage
Retinopathy of Prematurity (ROP), yaitu terlepasnya retina dari
tempatnya di dalam bagian belakang mata. Retina sendiri fungsinya
menerima gambaran penglihatan, jadi jika retina tidak pada tempatnya,
makagambaran penglihatan tidak bisa masuk untuk diterima otak. Hal ini
dapat terjadi karena terpapar oksigen berlebihan menimbulkan celah di

38
antara sel spindel mesenkimal mata. Celah ini mengganggu pembentukan
pembuluh darah mata yang normal.
Cedera yang terjadi berhubungan dengan PaO2, maka dianjurkan
PaO2 dijaga pada kisaran 60 - 90 mmHg pada neonatus.16
7. Syarat-syarat transportasi dan rujukan
Hasil tindakan pada pasien berhubungan langsung dengan waktu
yang dibutuhkan dari saat kejadian sampai diberikannya terapi definitive.
Dalam rumah sakit yang tidak ada dokter emergensi purna-waktu, dianjurkan
agar ada system komunikasi, sehingga dokter akan siap pada saat penderita
tiba di ruang emergensi tetap (Full Time). Saat merujuk pasien tergantung dari
banyak factor antara lain jarak rumah sakit yang akan dirujuk, keberadaan
tenaga terampil yang akan mendampingi pasien, dan intervensi yang perlu
dilakukan. Antara Lain17 :
Transport Pasien
A. ABC harus stabil
I. Airway & Breathing
 Jalan napas aman / terintubasi
 Tracheal tube terfiksasi baik, posisi diyakini benar dengan chest X-
ray
 Sedasi, paralisis. Ventilasi
 Cek AGD untuk menilai ventilasi dan oksigenasi adekuat
II. Circulation
 Laju nadi dan tekanan darah stabil
 Adekuat perfusi jaringan dan organ
 Perdarahan terkontrol
 Resusitasi cairan adekuat
B. Jangan memindahkan pasien sendirian dan lakukan dengan hati-hati
I. Mengangkat Penderita
 Kenali kemampuan diri dan kemampuan team work
 Nilai beban yang diangkat,jika tidak mampu jangan dipaksa

39
 Selalu komunikasi, depan komando
 Ke-dua kaki berjarak sebahu, satu kaki sedikit kedepan
 Berjongkok, jangan membungkuk saat mengangkat
 Tangan yang memegang menghadap ke depan (jarak +30 cm)
 Tubuh sedekat mungkin ke beban (+ 50 cm)
 Jangan memutar tubuh saat mengangkat
 Panduan tersebut juga berlaku saat menarik/mendorong
C. Pemindahan Emergency :
 tarikan baju
 tarikan selimut
 tarikan lengan
 ekstrikasi cepat
(perhatikan kemungkinan terdapat fraktur servical)
D. Mengangkat Dan Mengangkut Korban Dengan Satu atau Dua Penolong :
1) Penderita Sadar dengan cara :
- “ Human Crutch ” – satu / dua penolong, Yaitu dengan cara
dipapah dengan dirangkul dari samping
2) Penderita sadar tidak mampu berjalan
a) Untuk satu penolong dengan cara :
- “ Piggy Back “ Yaitu di gendong, dan
- “ Cradel “ Yaitu di bopong
b) Untuk dua penolong dengan cara :
- “ Two hended seat “ Yaitu ditandu dengan kedua lengan penolong,
atau
- “ Fore and aft carry “ Yaitu berjongkok di belakang penderita.
3) Penderita tidak sadar
a) Untuk satu penolong dengan cara :
- “ Cradel “ atau “ Drag “
b) Untuk dua penolong dengan cara :
- “ Fore and aft carry “

40
Sediakan bidai, Long spine board dan neck collar jika dibutuhkan
Sediakan Infus, NGT dan Kateterisasi
E. Dokter/ tim medis ikut selama proses transport untuk monitoring tanda
vital.
Rujuk Pasien
1. Jelaskan pada pasien alasan dilakukannya rujukan untuk mendapatkan
penatalaksanaan yang spesifik.
2. Siapkan mental pasien dan finansialnya terutama pasien yang dirujuk
untuk operasi
3. Coba sesuaikan keterampilan dan keahlian spesialis untuk kondisi
pasien dan kemampuan finansialnya
4. Jangan merujuk pasien tanpa alasan yang tepat
5. Buatlah/ tulislah surat rujukan yang baik benar dan tepat.
8. Perspektif Islam
Surah al-A’raaf ayat 157
Dalil dan Hadist yang berbicara mengenai larangan merokok sejatinya
memang tidak dituliskan secara jelas. Namun, sebagai umat muslim yang
patuh terhadap larangan Allah SWT, tentunya kita wajib mengetahui dan
menjalankan segala perintah serta menjauhi larangan yang sudah tertera dalam
ayat Al Qur’an.
Beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai larangan untuk merokok
diantaranya adalah sebagai berikut;

َ‫سولَ يتَّبِعُونَ الَّذِين‬ ُ ‫الر‬َّ َ‫ي‬ ََّ ‫ل الت َّ أوراةَِ فِي ِع أند ُه أَم م أكتُوبًا ي ِجد ُون َهُ الَّذِي أاْل ُ ِم‬
َّ ِ‫ي النَّب‬ ِ ‫وف يأ أ ُم ُر ُه أَم و أ‬
َِ ‫اْل أن ِجي‬ َِ ‫بِ أالم أع ُر‬
َِ ‫ت ل ُه َُم وي ُِحلَ أال ُم أنك َِر ع‬
‫ن وي أنها ُه أَم‬ َِ ‫الطيِبا‬َّ ‫صرهُ أَم ع أن ُه أَم ويض َُع أالخبائِثَ عل أي ِه َُم ويُح ِر َُم‬ ‫ت الَّتِي و أاْل أغَللَ إِ أ‬ َ‫كان أ‬
‫ولئِكَ ۚ مع َهُ أ ُ أن ِزلَ الَّذِي النورَ واتَّبعُوا ونص ُرو َهُ وع َّز ُرو َهُ بِ َِه آمنُوا فالَّذِينَ ۚ عل أي ِه أَم‬ َٰ ُ ‫أال ُم أف ِل ُحونَ ُه َم أ‬
ُ

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik

41
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari
mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka
itulah orang-orang yang beruntung. Dari ayat tersebut telah menjelaskan
bahwa Allah SWT telah menghalalkan segal yang baik bagi umat manusia dan
mengharamkan yang buruk bagi manusia. Secara ilmu pengetahuan,
kesehatan, rokok merupakan barang yang berpotensi untuk membuat kondisi
pemakainya justru menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa merokok adalah
kebiasaan yang tidak baik serta dilarang oleh Allah SWT.

Surat al-baqarah ayat 195

ِ ‫ب ال ْ ُم ْح‬
‫س ن ِ ي َن‬ ِ ‫َو ََل ت ُل ْ ق ُ وا ب ِ أ َي ْ دِ ي ك ُ ْم إ ِ ل َ ى ال ت َّ ْه ل ُ ك َ ةِ ۛ َو أ َ ْح‬
ُّ ‫س ن ُ وا ۛ إ ِ َّن َّللاَّ َ ي ُِح‬

Artinya :

Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat


baiklah, karena sesungguhnya allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Surat an-nisa' ayat 29

‫َو ََل ت َ ق ْ ت ُ ل ُ وا أ َن ْ ف ُ سَ ك ُ مْ ۚ إ ِ َّن َّللاَّ َ ك َا َن ب ِ ك ُ مْ َر ِح ي ًم ا‬

Artinya :

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya allah adalah maha


penyayang kepadamu.

42
RFERENSI
1. Misbah, M. 2013. Referat Manajemen Gagal Nafas Akut Di Unit Gawat
Darurat. Fkui
2. Advance Trauma Life Support.Edisi 8
3. Department Of Anasthesiology And Mangement Traumatologi, Fk Ui,
Jakarta: 2007
4. Deliana, Anna Dkk. 2013. Indikasi Perawatan Pasien Dengan Masalah
Respirasi Di Instalasi Perawatan Intensif. J Respir Indo Vol. 33, No. 4.
5. Uyainah Azn. 2010. Terapi Oksigen. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi Vi. Hal: 4063. Jakarta: Interna Publishing.
6. Stewart Rm. Advanced Trauma Life Support ®. 10th Ed. American College
Of Surgeons; 2018.
7. Sloane E. Sistem Pernafasan. In: Palupi Widyastuti S, Editor. Anatomi Dan
Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Egc; 2006. P.
266-9
8. Rowlands, Barbara. 2010. Jawaban-Jawaban Alternatif Untuk Asma & Alergi.
Yogyakarta: Pt Intan Sejati
9. Bangun, A.P. 2008. Sikap Bijak Bagi Perokok. Jakarta: Bentara Cipta
10. Nashr, Abdul Karim Muhammad. 2008. Rokok Haram. Bandung: Citra
Risalah.
11. Guyton, Arthur C Dan John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,
Edisi 11. Jakarta: Egc
12. Nadyah. 2009. Jurnal Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan Uin Alauddin
Makassar: Rokok Sebagai Penyebab Bronkitis Kronis.Vol. 2 No.3/2009.
Makassar.
13. Rengganis, Iris. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkial.
Http://Indonesia.Digitaljournals.Org/Index.Php/Idnmed/Article/Download/608
/59. Diakses Tanggal 30 Januari 2013.
14. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia.2003
15. Marks Db, Marks Ad, Smith Cm. Biokimia Kedokteran Dasar: Metabolisme
Oksigen Dan Toksisitas Oksigen . Jakarta: Egc; 2000, Hlm. 321-31.

43
16. Bambang Pujo Semedi, Hardiono. 2012. Pemantauan Oksigenasi. Majalah
Kedokteran Terapi Intensif. Volume 2 Nomor 2.
17. American College Of Surgeons Committee On Trauma. Advanced Trauma
Life Support Untuk Dokter. United States Of America: Komisi Atls Pusat; .
314-319.

44

Anda mungkin juga menyukai